Nama Anggota:
HARI/GOLONGAN/KELOMPOK: RABU/Y/2
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2014
I. TUJUAN
- Mahasiswa dapat melakukan pemeriksaan fungsi pendengaran.
- Mahasiswa mampu melakukan uji buta warna
II. DASAR TEORI
A. Telinga
Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari aurikula dan kanalis auditorius eksternus dan dipisahkan dari
telinga tengah oleh membrana timpani. Aurikula berfungsi untuk membantu pengumpulan
gelombang suara. Gelombang suara tersebut akan dihantarkan ke telinga bagian tengah
melalui kanalis auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus terdapat
sendi temporal mandibular (Kumar, 2005).
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat tempat kulit melekat. Dua pertiga medial
tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis. Kanalis auditorius eksternus berakhir pada
membrana timpani. Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula seruminosa,
yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen. Serumen mempunyai sifat
antibakteri dan memberikan perlindungan bagi kulit (Kumar, 2005).
5. Kadang-kadang penderita mendengar lebih jelas pada suasana ramai (Lalwani, 2008).
Pada pemeriksaan fisik atau otoskopi, dijumpai ada sekret dalam kanal telinga luar,
perforasi gendang telinga, ataupun keluarnya cairan dari telinga tengah. Kanal telinga luar
atau selaput gendang telinga tampak normal pada otosklerosis. Pada otosklerosis terdapat
gangguan pada rantai tulang pendengaran (Lalwani, 2008).
Pada tes fungsi pendengaran, yaitu tes bisik, dijumpai penderita tidak dapat
mendengar suara bisik pada jarak lima meter dan sukar mendengar kata-kata yang
mengandung nada rendah. Melalui tes garputala dijumpai Rinne negatif. Dengan
menggunakan garputala 250 Hz dijumpai hantaran tulang lebih baik dari hantaran udara dan
tes Weber didapati lateralisasi ke arah yang sakit. Dengan menggunakan garputala 512 Hz,
tes Scwabach didapati Schwabach memanjang (Soepardi, 2001).
2. Penderita lebih sukar mengartikan atau mendengar suara atau percakapan dalam
suasana gaduh dibanding suasana sunyi.
B. MATA
Fisiologi Mata
Mata adalah organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang
memungkinkan analisis cermat dari bentuk, intensitas cahaya, dan warna yang dipantulkan
objek. Mata terletak dalam struktur bertulang yang protektif di tengkorak, yaitu rongga
orbita. Setiap mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa yang kuat untuk mempertahankan
bentuknya, suatu sistem lensa untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan
suatu sistem sel dan saraf yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan
informasi visual ke otak (Sherwood, 2001).
Tidak semua cahaya yang melewati kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya karena
adanya iris, suatu otot polos tipis berpigmen yang membentuk struktur seperti cincin di dalam
aqueous humour. Lubang bundar di bagian tengah iris tempat masuknya cahaya ke bagian
dalam mata adalah pupil. Iris mengandung dua kelompok jaringan otot polos, satu sirkuler
dan yang lain radial. Karena serat-serat otot memendek jika berkontraksi, pupil mengecil
apabila otot sirkuler berkontraksi yang terjadi pada cahaya terang untuk mengurangi jumlah
cahaya yang masuk ke mata. Apabila otot radialis memendek, ukuran pupil meningkat yang
terjadi pada cahaya temaram untuk meningkatkan jumlah cahaya yang masuk (Sherwood,
2001).
Untuk membawa sumber cahaya jauh dan dekat terfokus di retina, harus dipergunakan
lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa
sehingga baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina dikenal sebagai
akomodasi. Kekuatan lensa bergantung pada bentuknya, yang diatur oleh otot siliaris. Otot
siliaris adalah bagian dari korpus siliaris, suatu spesialisasi lapisan koroid di sebelah anterior.
Pada mata normal, otot siliaris melemas dan lensa mendatar untuk penglihatan jauh, tetapi
otot tersebut berkontraksi untuk memungkinkan lensa menjadi lebih cembung dan lebih kuat
untuk penglihatan dekat. Serat-serat saraf simpatis menginduksi relaksasi otot siliaris untuk
penglihatan jauh, sementara sistem saraf parasimpatis menyebabkan kontraksi otot untuk
penglihatan dekat (Sherwood, 2001).
Anatomi Mata
Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang
melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata, mengandung reseptor yang
menerima rangsangan cahaya (Ilyas, 2008).
Retina merupakan bagian mata yang peka terhadap cahaya, mengandung sel-sel
kerucut yang berfungsi untuk penglihatan warna dan sel-sel batang yang terutama berfungsi
untuk penglihatan dalam gelap (Guyton, 1997).
Retina terdiri atas pars pigmentosa disebelah luar dan pars nervosa di sebelah dalam.
Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga
juga bertumpuk dengan membrana Bruch, khoroid, dan sclera, dan permukaan dalam
berhubungan dengan corpus vitreum (Guyton, 1997).
2. Lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan
menuju ke nervus optikus
10. Epithelium pigmen retina. Lapisan dalam membrane Bruch sebenarnya adalah
membrane basalis epithelium pigmen retina (Vaughan, 2000).
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub posterior.
Tiga per empat posterior retina merupakan organ reseptor. Pinggir anteriornya membentuk
cincing berombak, disebut ora serrata, yang merupakan ujung akhir pars nervosa. Bagian
anterior retina bersifat tidak peka dan hanya terdiri atas sel-sel berpigmen dengan lapisan
silindris di bawahnya. Bagian anterior retina ini menutupi prosessus siliaris dan belakang iris
(Vaughan, 2000).
Pada pertengahan bagian posterior retina terdapat daerah lonjong kekuningan, disebut
macula lutea, yang merupakan area retina dengan daya lihat paling jelas. Secara klinis,
makula adalah daerah yang dibatasi oleh arkade-arkade pembuluh darah retina temporal. Di
tengah makula, sekitar 3,5 mm di sebelah lateral diskus optikus, terdapat lekukan, disebut
fovea centralis. Secara histologis, fovea ditandai dengan menipisnya lapisan inti luar dan
tidak adanya lapisan-lapisan parenkim karena akson-akson sel fotoreseptor (lapisan serat
Henle) berjalan oblik dan pengeseran secara sentrifugal lapisan retina yang lebih dekat ke
permukaan dalam retina. Foveola adalah bagian paling tengah pada fovea, di sini
fotoreseptornya adalah sel kerucut, dan bagian retina paling tipis (Vaughan, 2000).
Retina menerima darah dari dua sumber: khoriokapilaria yang berada tepat di luar
membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar
dan lapisan inti luar, foto reseptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari
arteri sentralis retina, yang mendarahi dua per tiga sebelah dalam (Vaughan, 2000).
Etiologi
Buta warna karena herediter dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta warna total),
dikromasi (hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus trikromasi (tiga sel kerucut
berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua jenis buta warna, kasus yang paling umum
adalah anomalus trikromasi, khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria.
Sebenarnya, penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada kromosom X, namun
dapat mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda. Beberapa
penyakit yang diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia juga dapat
menyebabkan seseorang menjadi buta warna (Ilyas, 2008).
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Jadi
kemungkinan seorang pria yang memiliki genotif XY untuk terkena buta warna secara
turunan lebih besar dibandingkan wanita yang bergenotif XX untuk terkena buta warna. Jika
hanya terkait pada salah satu kromosom X nya saja, wanita disebut carrier atau pembawa,
yang bisa menurunkan gen buta warna pada anak-anaknya. Menurut salah satu riset 5-8%
pria dan 0,5% wanita dilahirkan buta warna. Dan 99% penderita buta warna termasuk
dikromasi, protanopia, dan deuteranopia (Ilyas, 2008).
Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW (Opsin 1
Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang
menyandi pigmen hijau (Ilyas, 2008).
Buta warna dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik, sedang pada
kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan kuning sedang kelainan
saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah dan hijau (Ilyas, 2008).
b. Monokromatisme cone (kerucut), di mana terdapat hanya sedikit cacat, hal yang
jarang, tajam penglihatan normal, tidak nistagmus (Ilyas, 2008).
D. TATA KERJA
Pada pemeriksaan pendengaran :
A. Cara Rinner
1. Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan memukulkan salah satu ujung jarinya
ke telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulnya pada benda yang keras.
2. Tekanlah ujung tangkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga o.p.
3. Tanyakanlah pada o.p. apakah ia mendengar bunyi penala mendengung di telinga
yang diperiksa, bila demikian o.p. harus segera memberi tanda bila dengungan itu
menghilang.
4. Pada saat itu pemeriksa mengangkat penala dari processus mastoideus o.p. dan
kemudian ujung jari penala ditempatkan sedekat-dekatnya di depan liang telinga
yang sedang diperiksa itu.
5. Catat hasilnya.
Positif : Bila o.p. masih mendengar dengungan secara hantaran aerotimpanal.
Negatif : Bila o.p. tidak mendengar dengungan secara hantaran aerotimpanal.
B. Cara Webber
1. Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan memukulkan salah satu ujung jarinya
ke telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulnya pada benda yang keras.
2. Tekankanlah ujung tangkai penala pada dahi o.p. di garis median.
3. Tanyakan kepada o.p. apakah ia mendengar dengungan bunyi penala sama kuat di
kedua telinganya atau terjadi lateralisasi.
4. Bila pada o.p. tidak terdapat lateralisasi, maka untuk menimbulkan lateralisasi
secara buatan, tutuplah salah satu telinganya dengan kapas dan ulangi
pemeriksaan.
C. Cara Schwabach
1. Getarkanlah penala (frekuensi 100) dengan memukulkan salah satu ujung jarinya
ke telapak tangan. Jangan sekali-kali memukulnya pada benda yang keras.
2. Tekanlah ujung tangkai penala pada processus mastoideus salah satu telinga o.p.
3. Suruhlah o.p. mengacungkan tangannya pada saat dengungan bunyi menghilang.
4. Pada saat itu dengan segera pemeriksa memindahkan penala dari processus
mastoideus o.p. processus mastoideus sendiri. Pada pemeriksaan ini telinga si
pemeriksa dianggap normal. Bila dengungan penala setelah dinyatakan berhenti
oleh o.p. masih dapat didengar oleh si pemeriksa maka hasil pemeriksaan ialah
Schwabach memendek.
5. Bila dengungan setelah dinyatakan berhenti oleh si pemeriksa juga tidak dapat
didengar oleh o.p. maka hasil pemeriksaan adalah Schwabach normal.
Cara Rinne
Orang Cara
Telinga (penala di Telinga (penala di
Percobaan getarkan pada proce getarkan lewat Webber Cara Schwabach
ssus mastoideus) udara)
(OP1) + + + + + normal
(OP2) + normal
+ + + +
(OP3) + + + + + normal
(OP4) + + + + + normal
(OP5) + + + + + normal
G. DAFTAR PUSTAKA
Guyton,A.C & Hall, J.E., 1997. Human Phsygology and Mechanism od Diases.
Philadelphia: Elsevier Sauders.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E., 2007. The Sense of Hearing Dalam: Textbook of
Medical Physiology. 11th ed. India: Saunders Elsevier: 651-662.
Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Indonesia,Jakarta
Kresnamurti, A. Widharna, R.M. and Surjadhana, A. 2013. Buku Petunjuk Praktikum
Anatomi Fisiologi Manusia. Surabaya: Universitas Katolik Widya Mandala.
Kumar, P., and Clark, M., 2005. Clinical Medicine. 6th ed. London, UK: Elseveir
Saunders: 1153-1154.
Lalwani, A.K., 2008. Disoreders of Smell, Taste and Hearing Dalam: Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 17th ed. US: Mc Graw Hill: 199-204.
Liston, S.L., dan Duvall, A.J., Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Telinga. Dalam:
Adams, G.L., Boie, Jr., dan Highler, P.A., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Jakarta:
EGC Penerbit Buku Kedokteran.
Maqbool, M., 2000. Deafness. Dalam: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases.
9th ed. New Delhi: Jaypee Brothers: 102-109.
Rambe, A.Y.M., 2003. Gangguan Pendengaran Akibat Bising. Bagian THT fakultas
Kedokteran USU, Perpustakaan USU. No.Akses D0300207.
Sherwood, Lauralee., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi II. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, L., 2002. Hearing and Equilibrium. Dalam: Human Physiology from Cells
to Systems. 6th ed. Australia: Thomson Brooks/Cole: 208-217.
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology.
12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628.
Vaughan, Daniel. 2000. Ofthalmologi Umum, Edisi 14. Widya Medika. Jakarta