Anda di halaman 1dari 36

TULI KONGENITAL

Presenter : dr. Nurhalimah Nasution


Pembimbing : Dr. dr. HR Yusa Herwanto, M.Ked(ORL-HNS),Sp.T.H.T.K.L.
(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN T.H.T.K.L.


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2021
Tuli Kongenital
Nurhalimah Nasution, HR Yusa Herwanto

Pendahuluan
Pendengaran mempunyai peranan penting dalam berbicara dan berkomunikasi
verbal. Proses belajar mendengar bagi bayi dan anak sangat kompleks dan bervariasi
karena menyangkut aspek tumbuh kembang, perkembangan embriologi, anatomi,
fisiologi, neurologi dan audiologi. Diagnosis gangguan pendengaran kongenital
sering sekali terlambat. Stimulus auditori penting pada masa 6 bulan pertama
kehidupan untuk menjamin perkembangan berbicara dan berbahasa. Intervensi dini
dapat dilakukan dengan alat diagnostik yang secara objektif dan akurat menskrining
dan memastikan adanya gangguan pendengaran bahkan pada neonatus. Bila
gangguan pendengaran bilateral terjadi sejak lahir atau sebelum periode
perkembangan bicara (prelingual) tidak terdeteksi maka akan mengganggu
perkembangan bicara, berbahasa dan kognitif. Dan akhirnya akan berdampak pada
kemampuan akademis, perkembangan sosial dan emosional anak. Deteksi dan
rehabilitasi dini yang tepat akan memberikan peluang yang sangat besar untuk
perkembangan bicara dan berbahasa yang lebih baik (HTA, 2010; Ghanie, 2013).
Gangguan pendengaran secara garis besar dapat disebabkan oleh faktor
genetik (bawaan) dan faktor non genetik (didapat). Gangguan pendengaran juga bisa
timbul sejak lahir (prelingual) atau timbul setelah usia tiga tahun (postlingual) yang
akan mempengaruhi kemampuan komunikasi penderita (Mishra, 2013). Prevalensi
gangguan pendengaran sedang hingga sangat berat bilateral pada bayi baru lahir
adalah 1- 3 per 1000 kelahiran. Di Indonesia berdasarkan survei kesehatan indera
pendengaran di tujuh provinsi tahun 1994-1996, sebesar 0,1% penduduk menderita
tuli kongenital. Hasil survei tersebut juga menunjukkan bahwa prevalensi gangguan
pendengaran pada anak kelompok usia 0-4 tahun, 5-6 tahun dan 7-18 tahun berturut-
turut sebesar 8,3%, 9,5%, dan 10,4%. Berdasarkan data kunjungan Poliklinik
Departemen THT-KL FK UI/ RSCM tahun 2005, didapatkan prevalensi gangguan
pendengaran pada usia 6 bulan hingga 6 tahun sebesar 36,92% (Eva et al., 2006).

1
Anatomi Telinga
Berdasarkan anatomi, telinga dibagi menjadi 3 area: telinga luar, telinga
tengah dan telinga bagian dalam (Gambar 1)

Gambar 1. Anatomi telinga (Dhingra,2018).

Telinga luar dimulai dari daun telinga (pinna) dan meatus akustikus eksternus
yang berakhir di membran timpani. Daun telinga disusun sebagian besar oleh tulang
rawan. Meatus akustikus eksternus berukuran kurang lebih 2,5 cm yang sepertiga
lateral disusun oleh tulang rawan serta mengandung kelenjar dan folikel rambut.
Bagian dua per tiga terdiri dari tulang sejati yang dilapisi oleh jaringan epitel
(Jhonson, 2014). Telinga luar memiliki kemampuan akustik yang berhubungan
dengan penguatan getaran suara yang ditangkap dari luar (Snow, 2009).
Telinga tengah merupakan ruangan yang berada di antara membran timpani
dan labirin yang dinamakan kavum timpani. Kavum timpani berisikan tulang-tulang
pendengaran: malleus, incus dan stapes yang akan meneruskan getaran suara dari
meatus akustikus eksternus yang berisi suara hingga ke koklea yang berisi cairan. Di
bagian anterior kavum timpani, terdapat tuba eustachius yang menghubungkan
kavum timpani dengan bagian belakang hidung (Johnson, 2014; Snow, 2009).

2
Telinga dalam terdiri dari labirin yang dibagi menjadi labirin tulang dan
labirin membranosa (Gambar 2), yang memiliki dua peran penting, yaitu:
pendengaran dan keseimbangan. Labirin tulang memiliki tiga komponen, yaitu:
vestibulum, kanalis semisirkularis dan koklea. Koklea seperti rumah siput yang
melingkar 2,5 lingkaran. Ketika dipotong secara melintang, koklea dibagi ke dalam 3
skala, skala vestibuli, skala media dan skala timpani (Gambar 3). Labirin
membranosa (Gambar 2) yang terletak di dalam labirin tulang terdiri dari: ductus
koklear, utriculus dan sakulus serta ductus dan sakulus endolimfatik. Di dalam labirin
membranosa berisi cairan jernih yang disebut endolimfe. Sedangkan cairan perilimfe
mengisi ruangan antara labirin tulang dan labirin mebranosa (Dhingra, 2018; Snow,
2009).

Gambar 2. (A) Labirin tulang; (B) Labirin membranosa; (C) Gambaran melintang labirin
tulang (Dhingra,2018).

Semua organ sensori di labirin memiliki sel-sel rambut dengan silia di


ujungnya dan dipersarafi oleh saraf aferen dan eferen. Pergerakan silia-silia ini akan
menyebabkan terbukanya kanal natrium (Na) – Kalium (K) sehingga terjadi potensial

3
listrik di dalam sel rambut yang akan membawa sinyal berisi informasi ke otak
(Snow, 2009).

Gambar 3. (Kiri) Penampang melintang koklea. Sc Vest = Skala Vestibuli; RM = Membran


Reissner; Sc Media = Skala Media; TM = Mebrana Tektoria; OC = Organ Corti; BM =
Membran Basiller; SV = Stria vascularis; SL = Spriral Ligament; Sc Tymp = Skala Tympani;
(Kanan) Penampang detil dari Organ Corti (Snow, 2009).

Organ sensori pendengaran adalah Organ Corti, yang terletak di membran


Basiler di skala media yang juga disebut ductus koklear. Pada Organ Corti, terdapat
barisan susunan sel- sel rambut dalam dan luar yang terdiri dari 1 baris sel-sel rambut
dalam dan 3-5 baris sel-sel rambut luar. Secara morfologi, sel-sel rambut dalam
berbentuk seperti botol dengan bagian bawah lebih lebar disbanding atas, sedangkan
sel rambut luar berbentuk silindris (Dhingra 2018; Snow, 2009).

Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar secara garis besar terbagi menjadi dua mekanisme,
konduksi, yang terjadi di telinga luar dan tengah, serta transduksi yang terjadi di
telinga dalam. Ketika getaran suara terjadi, maka organ yang pertama kali menangkap
getaran tersebut adalah daun telinga. Permukaan daun telinga yang lebar akan
mengumpulkan getaran dan meneruskannya ke dalam meatus akustikus eksternus
hingga ke permukaan membran timpani. Luas permukaan membran timpani yang
lebih kecil dibandingkan daun telinga menyebabkan meningkatnya kekuatan getaran

4
suara yang dihantarkan. Prinsip yang sama juga terjadi ketika getaran suara
diteruskan dari membran timpani ke foot plate tulang stapes. Perjalanan getaran suara
dari telinga luar hingga ke telinga tengah mengalami penguatan sebesar 30dB (Snow,
2009).
Fungsi telinga tengah adalah untuk mengubah getaran suara menjadi impuls
atau sinyal yang akan diteruskan ke saraf pendengaran. Di saat yang sama, telinga
dalam juga menganalisa frekuensi (pitch) dan intensitas (besar kecilnya) dari suara
yang diterima. Suatu serat saraf dapat mengirimkan sebuah impuls dengan kecepatan
di bwah 200 kali per detik. Ketika getaran dari kaki stapes menggerakkan membrana
Basillar dan cairan di dalam koklea. Getaran ini akan diteruskan hingga menyebabkan
sel-sel rambut bergerak dan kanal Na-K terbuka yang menyebabkan terjadi
depolarisasi ion (Dhingra. 2018). Sel-sel rambut tadi mendapat persarafan dari sel-sel
bipolar ganglion. Bagian akson serabut saraf sel-sel ini berkumpul untuk membentuk
nervus koklear yang menuju ventral dan dorsal nukleus koklear. Serabut saraf
kemudian akan saling menyilang di nukleus olivary superior, lalu naik ke lemniscus
lateral, genikulatum medial dan akhirnya tiba di korteks auditori di bagian temporal
(Dhingra, 2018).
Definisi
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat
lahir. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini
dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli sebagian
adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun masih dapat dimanfaatkan
untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat bantu dengar, sedangkan tuli
total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya sehingga
tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Tuli kongenital dibagi menjadi genetik
herediter (terdapat faktor keturunan) dan non genetik (Faundes. V, Pardo and Castillo
Tauncher, 2012).
Ketulian yang terjadi biasanya merupakan tuli saraf (sensorineural) derajat
berat sampai sangat berat, pada kedua telinga (bilateral). Gejala awal sulit diketahui

5
karena ketulian tidak terlihat. Biasanya orang tua baru menyadari adanya gangguan
pendengaran pada anak bila tidak ada respons terhadap suara keras atau belum/
terlambat berbicara. Oleh karena itu informasi dari orang tua sangat bermanfaat untuk
mengetahui respons anak terhadap suara di lingkungan rumah, kemampuan vokalisasi
dan cara pengucapan kata (Gutler, 2008).
Gangguan pendengaran sensorineural merupakan gangguan pendengaran
akibat kerusakan atau lesi pada koklea, saraf ke delapan (VIII), atau jalur auditori
sentral. Gangguan ini bisa didapat sejak lahir (kongenital) ataupun didapat setelah
lahir (acquired) (Alford, et al., 2014; Dhingra, 2010).
Gangguan pendengaran juga biasanya digambarkan sebagai berikut
berdasarkan (Alford et al,2014) :
• Onset usia - kongenital, prelingual (sebelum kemampuan berbicara), postlingual
(setelah kemampuan bicara), onset dewasa, atau presbikusis (kehilangan pendengaran
onset lambat terkait usia);
• Jenis gangguan pendengaran - sensorineural, konduktif, campuran, atau neuropati
auditori;
• Sisi telinga dan simetri dari gangguan pendengaran – unilateral atau bilateral,
simetris atau asimetris;
• Tingkat gangguan pendengaran - ringan (26-40 dB), sedang (41-55 dB), sedang
berat (56-70 dB), berat (71-90 dB), atau sangat berat (91 dB atau lebih besar); dan
• Gambaran dari gangguan pendengaran berdasarkan analisis audiometri - miring,
datar, naik, atau kehilangan midfrekuensi (cookie-bite).
Epidemiologi
Tuli kongenital umumnya sering terjadi dan lebih sering dibandingkan kondisi
lain yang didapat saat skrining rutin bayi baru lahir. Data dari program skrining
pendengaran bayi baru lahir menunjukkan bahwa kejadian gangguan pendengaran
adalah dua kali lebih tinggi dari semua penyakit lainnya yang diskrining saat lahir,
terjadi pada sekitar 2 sampai 4 per 1.000 kelahiran dibandingkan dengan sekitar 1,2
per 1.000 kelahiran untuk total gabungan semua penyakit. Di Amerika Serikat, sekitar
8.000 hingga 12.000 bayi lahir setiap tahunnya dengan gangguan pendengaran

6
permanen. Sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan di 7 Propinsi pada tahun 1994 – 1996 yaitu sebesar 0,1 %
(Chi dan Sabo, 2014; Eva, et al., 2006).
Insiden gangguan pendengaran permanen bilateral dengan ambang dengar di
atas 40 dB adalah 1-2 dari 1.000 bayi baru lahir. Kenaikan rata- rata pada usia 5 tahun
menjadi 2,7 dari 1.000 anak dan 3,5 pada dewasa. Enam dari 1.000 bayi baru lahir
menderita gangguan pendengaran unilateral di atas 30 dB. Sepertiga dari anak-anak
dengan cacat pendengaran memiliki komorbiditas tambahan, terlepas apakah satu
atau kedua telinga yang terpengaruh (Lang-Roth, 2014).
Etiologi
Tuli kongenital secara garis besar disebabkan oleh :
1. Genetik
Ketulian berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki etiologi yang berbeda-
beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses
pendengaran. Secara garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan
genetik terbagi menjadi ketulian non sindromik dan ketulian sindromik. Perubahan
genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal atau merupakan kombinasi
mutasi pada gen yang berbeda dan faktor lingkungan. Mutasi gen ini dapat diturunkan
kepada keturunannya (Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel,
2002).
Diperkirakan 30% dari gangguan pendengaran genetik adalah sindromik.
Beberapa sindrom, seperti sindroma Pendred (aquaduktus vestibularis membesar,
masalah tiroid), sindroma Usher (retinitis pigmentosa), Waardenburg (anomali
pigmentasi), dan sindroma branchio- oto-renal (lengkung branchial dan anomali
ginjal), merupakan beberapa sindroma yang berhubungan dengan gangguan
pendengaran pada beberapa populasi. Gangguan pendengaran sindromik dapat
ditransmisikan sebagai autosomal resesif, autosomal dominan, X-linked, atau
matrilineal trait (Alford, et al., 2014).
Diperkirakan 70% gangguan pendengaran adalah nonsindromik. Gangguan
pendengaran nonsindromik dapat ditransmisikan sebagai autosomal resesif (~80%),

7
autosomal dominan (~15%), atau X-linked (~1%). Selain itu, transmisi matrilineal
(mitokondria) gangguan pendengaran nonsindromik terjadi dengan suatu frekuensi ~
1% di negara- negara barat namun memiliki kejadian sedikit lebih tinggi di Spanyol
dan negara-negara Asia Timur termasuk China, Mongolia, Korea, dan Jepang
(Alford, et al., 2014). Zahara, et al. (2015) menemukan 27,03% penderita tuli
kongenital non-sindromik di Indonesia memiliki mutasi gen GJB2 (Gap Junction
Beta 2).
2. Non genetik
A. Masa kehamilan (PRENATAL)
Kehamilan trimester I merupakan periode penting karena infeksi bakteri
maupun virus akan menyebabkan terjadinya ketulian. Infeksi yang sering
mempengaruhi pendengaran antara lain adalah infeksi TORCHS (Toksoplasmosis,
Rubella, Cytomegalovirus, Herpes dan Sifilis), selain campak dan parotitis (Adler dan
Marshall, 2007).
Beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik seperti salisilat, kina,
gentamisin, streptomisin dll mempunyai potensi menyebabkan terjadinya gangguan
proses pembentukan organ dan sel rambut pada rumah siput (koklea). Gangguan
struktur anatomi telinga juga dapat menyebabkan terjadinya ketulian antara lain
aplasia koklea (rumah siput tidak terbentuk), displasia Mondini dan atresia liang
telinga (Mudd, 2016).
B. Saat lahir ( PERINATAL )
Penyebab ketulian pada saat lahir antara lain : lahir prematur, berat badan lahir
rendah (< 1500 gram), tindakan dengan alat pada proses kelahiran (ekstraksi vakum,
forcep), hiperbilirubinemia, asfiksia (lahir tidak langsung menangis), dan hipoksia otak bila
nilai Apgar < 5 pada 5 menit pertama (Gomella, et al., 2004).
Faktor risiko untuk terjadinya gangguan pendengaran seperti yang ditetapkan
pada tahun 2007 oleh Joint Committee of Infant Hearing (JCIH). Diantara etiologi
yang paling menonjol adalah riwayat keluarga, kelainan kraniofasial, infeksi
intrauterin, hiperbilirubinemia berat, perawatan selama 2 hari di neonatal intensive
care unit (NICU), gangguan pernapasan, ventilasi mekanis berkepanjangan dan

8
sindroma yang berhubungan dengan gangguan pendengaran. Namun, pada 50% dari
bayi dengan tuli kongenital permanen tidak ada faktor risiko yang diketahui (Chi &
Sabo, 2014; Paludetti, et al., 2012; Joint Committee of Infant Hearing, 2007).
Gangguan pendengaran monosimtomatik (70%) jauh lebih sering dari pada
penyakit dengan sindromik (30%). Gangguan pendengaran nonsindromik tidak
berhubungan dengan anomali telinga luar atau kelainan tambahan. Lebih jauh
klasifikasi gangguan pendengaran kongenital tergantung pada lokasi gen dan cara
pewarisan (Lang-Roth, 2014).
Klasifikasi
Terdapat dua bentuk ketulian, yaitu sindromik dan nonsindromik. Ketulian
sindromik artinya selain masalah ketulian seorang anak juga mempunyai masalah di
bagian tubuh yang lain, seperti jantung, ginjal, mata, tiroid ataupun organ lain.
Mengetahui penyebab genetik pada pasien ini dapat membantu dokter untuk
memikirkan kemungkinan kelainan di sistem lain selain ketulian. Ketulian non
sindromik adalah penderita hanya mempunyai masalah pada ketulian dan tidak pada
bagian tubuh yang lain (Rehm, et al., 2008).
Gambaran Klinis
Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat ketulian
tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi respons terhadap
bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara (delayed speech),
tidak memberi respons saat dipanggil atau tidak memberi respons saat ada suara atau
bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan
usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat (HTA
Indonesia, 2010).
Bayi mulai melokalisir suara pertama sekali pada bidang horizontal dan
kemudian vertikal. Antara usia 3 dan 6 bulan, bayi mencari suara, menanggapi suara
memanggil namanya, dan menanggapi suara berbeda- beda tergantung pada nada
suara orang tua yang digunakan. Sekitar usia 5 sampai 6 bulan, pengujian audiologi-
perilaku yang dapat diandalkan dan resmi dapat dimulai. Antara 6 sampai 10 bulan,
bayi bisa mencari sumberi suara dan menanggapi suara umum di lingkungannya.

9
Mereka menanggapi baik suara keras dan pelan dan memberi perhatian ketika
orangtua berbicara kepada mereka. Antara usia 10 dan 15 bulan, mulai mengoceh dan
lebih mirip bicara. Antara 15 sampai 18 bulan, bayi mampu langsung melokalisasi
sebagian besar suara, memahami frase sederhana, mengidentifikasi objek yang
dikenali seperti bagian tubuh, dan diikuti dengan petunjuk sederhana. Seorang anak
pada usia 18 bulan harus memiliki kosakata ekspresif 20 kata atau lebih dan frasa
singkat (Chi dan Sabo, 2014).
Terlambatnya fase mengoceh bisa menjadi aspek penting pada skrining untuk
perkembangan cacat pada akhir tahun pertama kehidupan. Pendekatan skrining
praktis ini memberikan hasil kecenderung apakah bayi memiliki resiko tinggi untuk
gangguan spesifik bicara dan bahasa, atau bayi memiliki gangguan pendengaran yang
berat atau yang sangat berat (Oller, Eilers, Neal dan Schwartz, 1999).
Sebagian besar kasus tuli kongenital adalah nonsindomik, sehingga kelainan
fisik sering tidak ditemukan. Namun, untuk kasus-kasus tuli sindromik, temuan fisik
mungkin gampang atau sulit untuk diidentifikasi. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik
harus mencakup pemeriksaan umum dan evaluasi teratur dari semua sistem (Smith,
Kochhar dan Friedman, 2009).

Diagnosis
Diagnosis gangguan pendengaran memerlukan pendekatan multidisiplin mulai
dari audiologi-otologis dan evaluasi genetik seperti yang direkomendasikan oleh
Joint Committee of Infant Hearing pada tahun 2007 (Paludetti, et al., 2012).
Pernyataan JCIH pada tahun 2007 merekomendasikan bahwa semua bayi
yang baru lahir diskrining untuk gangguan pendengaran pada usia 1 bulan. Jika anak
gagal proses penyaringan, evaluasi diagnostik audiologik harus dilakukan sebelum
usia 3 bulan, dan ketika kehilangan pendengaran dijumpai, anak harus dilakukan
intervensi awal sebelum usia 6 bulan (Chi dan Sabo, 2014; Joint Committee of Infant
Hearing, 2007).
Deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting untuk perkembangan
bicara dan bahasa anak. Setiap anak dapat diuji untuk gangguan pendengaran. Telah

10
terbukti bahwa pada anak-anak dengan gangguan pendengaran, deteksi dan
penanganan dini dapat meningkatkan kemampuan bahasa di kemudian hari. Anak
berusia 6 bulan dapat diskrining dengan respon audiometri visual. Respon audiometri
visual di tangan audiologis yang berpengalaman bisa sangat diandalkan. Teknik lain
untuk anak-anak yang lebih muda atau anak-anak yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan tuntutan tugas antara lain uji emisi otoacoustic / Oto-Acoustic Emmision
(OAE) dan respon batang otak / Auditory Brainstem Response (ABR) (McMurray,
2010).
Deteksi dini atau skrining pendengaran bayi baru lahir dilakukan dengan
maksud membedakan populasi bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai
masalah gangguan pendengaran (pass/lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin
mengalami gangguan pendengaran (refer/tidak lulus) (HTA Indonesia, 2010).
Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat
dikelompokkan menjadi : (HTA Indonesia, 2010).
1. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit ( hospital based hearing
screening)
2. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas (community based hearing
screening )
Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit ( hospital based hearing screening )
dikelompokkan menjadi : (HTA Indonesia, 2010; Suwento, 2007)

1. Universal Newborn Hearing Screening (UNHS), bertujuan melakukan deteksi dini


gangguan pendengaran pada semua bayi baru lahir. Upaya skrining pendengaran ini
sudah dimulai pada saat usia 2 hari atau sebelum meninggalkan rumah sakit. Untuk
bayi yang lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki program UNHS, paling
lambat pada usia 1 bulan sudah melakukan skrining pendengaran.
2. Targeted Newborn Hearing Screening, khusus pada bayi yang mempunyai faktor
risiko terhadap ketulian.

11
ALUR SKRINING BAYI BARU LAHIR (2010)

Bayi baru lahir/2 hr

TIDAK ADA GANGGUAN OAE REFER

Faktor Risiko (-) Faktor Risiko (+)


3 bulan
1 –3 Bulan Otoskopi
Auto ABR P Timpanometri R
atau OAE
click 35 dB Auto ABR

PERLU TINDAKAN LANJUT R


ABR Click & Tone B 500 Hz
atau ASSR
Timpanometri High Frequeny

Tidak perlu tindak lanjut ABR Click + CochlearMicrophonic


ABR Tone B 500 Hz atau ASSR
Timpanometri ( refleks akustik) Neuropati AuditorikTuli Sensorineural
High Frequency

Pemantauan
Speech development Habilitasi usia
Audiologi 6 bulan
Tiap 3-6 bulan smp (anak bisa bicara) usia 3 th

Gambar 4. Alur Skrining Pendengaran pada Bayi Baru Lahir di Indonesia (Kolegium THT,
2015)
Saat ini emisi otoakustik dan brainstem evoked response audiometry (BERA)
merupakan teknik pemeriksaan baku emas (gold standard) dengan prinsip
pemeriksaan cepat, mudah, tidak invasif dengan sensitifitas mendekati 100% (Genetic
Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel, 2002).
Pemeriksaan Skrining Pendengaran
Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometri
karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifat spesifik
frejuensi. Kelemahan pemeriksaan audiometri adalah besarnya faktor subyektif dan
membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan membutuhkan respons yang dapat
dipercaya dari pasien; akibatnya pemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada
pasien berusia dibawah 6 bulan (HTA Indonesia,2010).

12
A. Pemeriksaan Subjektif
Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidak
tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan respons
behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antara lain pemeriksaan
Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA),
Visual Reinforcement Audiometry (VRA) dan Conditioned Play Audiometry (CPA).
Namun bila memungkinkan, tetap dianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan
pemeriksaan obyektif ( HTA Indonesia, 2010).
Behavioural Observation Audiometry (BOA)
Audiometri perilaku adalah tes skrining yang digunakan pada bayi untuk
mengamati perilaku mereka dalam menanggapi suara tertentu. Audiometri perilaku
pada anak kecil mengamati perubahan perilaku mereka ketika terkena stimulus
akustik dari speaker atau dengan Hear-Kit Noisemakers. Tes ini menetapkan
jangkauan pendengaran anak dan dapat menentukan tingkat gangguan pendengaran
(Nic, 2013).
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan ambang pendengaran
berdasarkan unconditioned response terhadap bunyi. Dan dilakukan pemeriksaan
terhadap bayi 0-6 bulan (HTA Indonesia, 2010).
Pemeriksaan dilakukan pada ruangan yang cukup tenang (bising lingkungan
tidak lebih dari 60dB), idealnya pada ruang kedap suara (sound proof room). Sebagai
sumber bunyi sederhana dapat digunakan tepukan tangan, tambur, bola plastik berisi
pasir, remasa kertas minyak, bel, terompat karet, mainan yang mempunyai bunyi
frekuensi tinggi. Sumber bunyi tersebut harus dikalibrasi frekuensi dan intensitasnya.

13
Bila tersedia bisa dipakai alat buatan pabrik seperti baby reactometer, Neometer,
Viena tone (frekuensi 3000 Hz dengan pilihan intensitas 70, 80 , 90, dan 100 dB) (
Chi dan Sabo, 2014).
Visual Reinforcement Audiometry (VRA)
Visual reinforcement audiometry, sering disebut sebagai VRA, adalah teknik
yang digunakan untuk menguji pendengaran anak-anak dari usia 6 bulan hingga 2
tahun. VRA merupakan alat yang sering digunakan dan efisien untuk mengukur
ambang batas pendengaran pada bayi dan anak kecil. VRA digunakan untuk
menemukan tingkat terlembut yang dapat didengar anak untuk suara bernada rendah,
sedang, dan tinggi. Pemeriksaan ini dilakukan di ruang kedap suara dan anak dilatih
untuk melihat sesuatu yang akan menarik perhatian mereka, seperti mainan atau
boneka, saat mendengar suara. Anak duduk di pangkuan pengasuh. Suara
diperkenalkan melalui speaker atau earphone. Anak merespon dengan memutar
kepala ketika suara terdengar, dan diperkuat dengan sesuatu yang menarik secara
visual, seperti mainan animasi (W. Floyd, 2016).

Gambar 5. Visual Reinforcement Audiometry (VRA)S : Speaker; VR : Visual reinforcer;:


Orang tua( memangku bayi); I : Bayi; A : Pemeriksa; (HTA Indonesia, 2010).

Conditioned Play Audiometri (CPA)


Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk menilai menilai ambang
pendengaran berdasarkan respons yang telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan
bermain terhadap stimulus bunyi. Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone

14
sehingga dapat diperoleh ambang pada masing masing frekuensi (frequency-specific)
dan masing- masing telinga (ear specific). Pemeriksaan ini dilakukan untuk anak uis
30 bulan- 5 tahun.Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan derajat gangguan
pendengaran (HTA Indonesia, 2010).

Gambar 6. Contoh pemeriksaan play audiometry (Ferdiansyah, 2014)

Diperlukan 2 orang pemeriksa, yang pertama bertugas memberikan stimulus


melalui audiometer sedangkan pemeriksa kedua melatih anak dan mengamati
respons. Stimulus biasanya diberikan melalui headphone (Gambar 4). Dengan
mengatur frekuensi dan menentukan intensitas stimulus bunyi terkecil yang dapat
menimbulan respons dapat ditentukan ambang pendengaran pada frekuensi tertentu
(spesifik) (Ferdiansyah, 2014).

B. Pemeriksaan Objektif
Pemeriksaan Emisi Otoakustik
Emisi otoakustik digunakan secara luas untuk skrining pendengaran bayi baru
lahir. OAE adalah sinyal akustik yang dihasilkan oleh koklea dalam menanggapi
rangsangan pendengaran. OAE menggambarkan suatu indikator fisiologis status
koklea, terutama sel rambut luar koklea. OAE tidak bergantung kepada aktivitas
saraf, sehingga pemeriksaan OAE dalam mengukur status koklea tidak bergantung
kepada status SSP (Norton, Bhama dan Perkins, 2010).

15
Emisi otoakustik merupakan suara dengan intensitas rendah yang diproduksi
oleh sel rambut luar koklea dan direkam pada meatus akustikus eksternus baik
dengan tidak adanya stimulasi akustik (emisi spontan) atau sebagai respon terhadap
stimulasi akustik (akustik-menimbulkan emisi) atau rangsangan listrik (elektrik
menimbulkan emisi). Suara yang ditangkap oleh koklea sangat kecil berkisar pada 30
dB, namun berpotensi untuk didengar. Emisi otoakustik timbul secara spontan karena
suara yang sudah ada di koklea secara terus menerus bersirkulasi, tetapi pada
umumnya emisi otoakustik didahului adanya stimulasi. Emisi otoakustik dihasilkan
hanya bila organ Corti dalam keadaan mendekati normal, dan telinga tengah
berfungsi dengan baik (Donovalova, 2006; Hall III dan Antonelli, 2014).
Pergerakan sel rambut luar dapat dicetuskan oleh bunyi click dengan
intensitas sedang atau kombinasi yang sesuai dari dua tone, kemudian terjadi gerakan
biomekanik dari membran basilaris sehingga menghasilkan amplifikasi energi
intrakoklea dan tuning koklea. Pergerakan sel rambut luar menimbulkan energi
mekanis dalam koklea yang diperbanyak dan keluar melalui sistem telinga tengah dan
membran timpani menuju liang telinga. Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena
dinyatakan dengan kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass
menunjukkan keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan
koklea (Prieve & Fitzgerald, 2009).
Aplikasi utama dari pemeriksaan OAE yakni skrining pada pasien dengan
resiko gangguan pendengaran. Hasil skrining OAE ini secara umum digambarkan
sebagai pass atau refer. Jika terdapat gelombang OAE (≥ 6 dB diatas tingkat
kebisingan) untuk frekuensi pemeriksaan yang paling banyak maka bayi dapat
melewati tes OAE (pass), yang berarti bayi tersebut tidak mengalami gangguan
pendengaran. Namun walaupun terdapat OAE tidak selalu menggambarkan sensivitas
pendengaran yang normal, hasil pass mengeliminasi hilangnya pendengaran pada
tingkat yang serius. Jika tidak ditemukan gelombang OAE berarti ada gangguan
pendengaran (refer). Hasil refer perlu dilihat sebagai faktor risiko hilangnya
pendengaran yang dapat mempengaruhi komunikasi, sehingga pasien dengan hasil
pemeriksaan refer dianjurkan untuk dilakukan tes lanjutan (Syarifuddin, 2007).

16
Pemeriksaan BERA
BERA atau Brainstem Evoked Response Audiometry disebut juga Auditory
Brainstem Response (ABR), atau Evoked Response Audiometry (ERA), atau BAER /
BAEP (Brainstem Auditory Evoked Response atau Potential). BERA merupakan tes
elektrofisiologik yang menimbulkan potensial listrik pada berbagai level dari sistem
pendengaran mulai dari koklea sampai korteks pendengaran. Yaitu suatu pemeriksaan
untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi nervus auditorius. Berfungsi untuk
menilai integritas saraf sepanjang jalur pendengaran. Rangsang bunyi yang diberikan
melalui headphone akan menempuh perjalanan melalui saraf ke VIII di koklea,
nukleus koklearis, nukleus olivarius superior, lemniskus lateralis, kolikulus inferior
kemudian menuju ke korteks auditorius di lobus temporal otak (Hall III dan
Antonelli, 2014; Syarifuddin, 2007).
Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA), atau Evoked Response
Audiometry (ERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) yaitu suatu pemeriksaan
untuk menilai fungsi pendengaran dan fungsi nervus auditorius. BERA menilai
perubahan potensial listrik di otak yang timbul setelah pemberian stimulus suara click
atau toneburst. Berfungsi untuk menilai integritas saraf sepanjang jalur pendengaran.
Rangsang bunyi yang diberikan melalui headphone akan menempuh perjalanan
melalui saraf ke VIII di koklea, nukleus koklearis, nukleus olivarius superior,
lemniskus lateralis, kolikulus inferior kemudian menuju ke korteks auditorius di
lobus temporal otak. Respons neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan
direkam komputer melalui elektroda permukaan (surface electrode) yang
ditempelkan pada kepala (vertex atau dahi) dan dekat telinga (biasanya pada lobulus
atau pada kanalis akustikus eksternus) atau pada mastoid dengan elektroda bumi
(ground electrode) dipasang pada kepala. Parameter yang dinilai berdasarkan
morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas

17
stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih memberikan gelombang BERA.
(Syarifuddin, 2007; HTA Indonesia, 2010).

Gambar 7. Bentuk gelombang BERA normal (Bhattcharrya, 2015).


Pemeriksaan BERA terdiri dari tujuh gelombang yang terjadi dalam waktu 10
msec setelah onset rangsangan pada intensitas yang tinggi (70- 90 dBnHL). Bentuk
puncak gelombang yang tercatat diberi nama dan angka Romawi, yaitu gelombang I-
VII (Bhattcharrya, 2015).
Komponen gelombang (Moller, 2006) :
a. Gelombang I: merupakan representasi dari potensial aksi saraf pada daerah distal
saraf kranial ke VIII. Respon tersebut berasal dari aktivitas afferen dari serabut saraf
VIII.
b. Gelombang II: dihasilkan oleh bagian proksimal saraf VIII, intrakranial tetapi pada
bagian ekstramedulla.
c. Gelombang III: berasal dari kompleks olivarius superior, tetapi ada yang menyebut
berasal dari nukleus koklearis.
d. Gelombang IV: berasal dari lemniskus lateralis.

18
e. Gelombang V: berasal dari kolikulus inferior. Gelombang ini paling sering
dianalisa dalam aplikasi klinis BERA.
f. Gelombang VI dan VII: diduga berasal dari korpus genikulatum medialis, tetapi
lokasi pastinya masih belum jelas.
Pemeriksaan ASSR
Auditory steady-state responses (ASSR) adalah pemeriksaan elektrofisiologis
terhadap respon sistem pendengaran berupa potensi otak yang ditimbulkan oleh
stimulus steady-state, yang berirama, respon listrik otak terhadap rangsangan
berulang secara teratur. Stimulus steady-state dimodulasi suara atau nada atau akustik
sementara (mis. klik atau tone burst). Hasil tes ASSR berupa gambaran audiogram.
ASSR menghasilkan prediksi khusus frekuensi dari batas pendengaran yang disebut
dengan ”Perkiraan Audiogram” (Estimated Audiogram). Prediksi audiogram tersebut
dapat dipakai sebagai dasar untuk menentukan intervensi yang sesuai, misalnya
rekomendasi penggunaan alat bantu dengar atau pertimbangan untuk implan koklea
(Cone dan Dimitrijevic, 2009; Stapells, 2000).
ASSR memiliki tingkat ketepatan yang baik dalam mendeteksi gangguan
pendengaran pada anak, terutama untuk menentukan sisa pendengaran dan untuk
memberikan informasi frekuensi spesifik (Eva, et al., 2006). Pemeriksaan ini mirip
dengan pemeriksaan BERA, namun waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan
ambang dengar lebih cepat karena dapat dilakukan secara simultan pada kedua telinga
sekaligus diperiksa 4 frekuensi baku seperti pada audiometri konvensional. Pada
BERA diukur dalam mikrovolt, sedangkan pada ASSR diukur dalam nanovolt. Hasil
tes BERA gambarannya berupa gelombang-gelombang, sedangkan hasil tes ASSR
berupa audiogram. Biasanya, jika dalam pemeriksaan BERA tidak ditemukan
gelombang V di intensitas 80 dB, maka disarankan untuk melakukan tes ASSR untuk
mengetahui berapa derajat gangguan pendengaran bayi atau anak (Herdman, et al.,
2002; Tonini, Ballay dan Manolidis, 2005).
Audiometri Nada Murni
Pemeriksaan audiometri nada murni dapat digunakan untuk mengevaluasi
defisit pendengaran dengan memeriksa frekuensi tertentu, atau untuk mengevaluasi

19
defisit secara lebih lengkap. Pemeriksaan ini dilakukan pada anak yang berusia lebih
dari 4 tahun yang koorperatif. Audiometri nada murni dilakukan dengan
menggunakan audiometer. Ada beberapa jenis audiometer yang tersedia, tetapi
semuanya berfungsi sama dengan memungkinkan penguji untuk meningkatkan dan
menurunkan intensitas (kenyaringan, dalam desibel dan frekuensi (pitch, dalam siklus
per detik atau Hz) dari sinyal yang diinginkan (Walker 2013).
American Speech- Language-Hearing Association memiliki prosedur yang
direkomendasikan untuk tes pencarian ambang nada murni yang dikenal sebagai
metode Hughson-Westlake yang dimodifikasi. Pengujian dimulai dengan telinga di
mana pasien merasa memiliki pendengaran yang lebih baik. Penguji menyajikan nada
murni pada tingkat yang dapat didengar dengan jelas. Setelah pasien merespon sinyal
nada murni, penguji menurunkan intensitas sebesar 10 dB dan menampilkan nada
lagi. Jika pasien merespon nada ini, pola “turun 10” digunakan, dengan penguji
menurunkan intensitas nada sebesar 10 dB dan menampilkan nada sampai pasien
tidak lagi merespons. Penguji kemudian meningkatkan intensitas nada sebesar 5 dB
sampai pasien merespon. Ini adalah respons menaik awal pasien. Untuk memeriksa
akurasi, penguji harus menurunkan intensitas nada sebesar 10 dB sekali lagi untuk
memeriksa tidak adanya respons, kemudian meningkatkan intensitas sinyal dengan
peningkatan 5 dB hingga pasien merespons kembali sinyal tersebut. Jika pasien
merespons secara konsisten (minimal dua dari tiga respons dalam urutan menaik),
penguji mencatat tingkat dB di mana pasien merespons sebagai ambang konduksi
udara. Setelah menguji telinga yang dianggap memiliki pendengaran lebih baik,
penguji kemudian melakukan tes yang sama pada telinga pasien yang lain ( Walker,
2013).
Audiometri Tutur ( Speech Audiometry)
Pada pemeriksaan audiometri tutur kemampuan pasien untuk mendengar dan
memahami pembicaraan diukur. Dua parameter dipelajari: (i) ambang batas
penerimaan ucapan dan (ii) skor diskriminasi (Dhingra, 2018);

20
- Speech Reception Threshold (SRT). Ini adalah intensitas minimum di mana
50% dari kata-kata diulang dengan benar oleh pasien. Satu set kata spondee
(dua suku kata dengan tekanan yang sama pada setiap suku kata, misalnya
baseball, sinar matahari, lamunan, dll.) dikirim ke setiap telinga melalui
headphone audiometer. Daftar kata disampaikan dalam bentuk kaset rekaman
atau suara yang dipantau dan intensitasnya bervariasi dalam langkah 5 dB
hingga setengahnya terdengar dengan benar. Biasanya, SRT berada dalam
jarak 10 dB dari rata-rata ambang nada murni dari tiga frekuensi bicara (500,
1000 dan 2000 Hz).
- Speech Discrimination Score. Juga disebut pengenalan suara atau skor
pengenalan kata. Ini adalah ukuran kemampuan pasien untuk memahami
ucapan. Di sini, daftar kata-kata yang secara fonetis seimbang (PB) (kata satu
suku kata, misalnya pin, sin, hari, bus, dll.) dikirimkan ke masing-masing
telinga pasien secara terpisah pada 30–40 dB di atas SRT-nya dan persentase
kata dengan benar didengar oleh pasien dicatat. Pada orang normal dan
mereka yang mengalami gangguan pendengaran konduktif, skor tinggi dapat
diperoleh 90-100%.

Pemeriksaan Radiologi
Perkembangan terbaru dalam teknik pencitraan memberikan pengetahuan
rinci akan anatomi, terutama untuk struktur-struktur yang kecil seperti telinga dalam
(Teissier, Abbeele, Sebag dan Berges, 2010). Kebanyakan pasien dengan gangguan
pendengaran sensorineural kongenital (SNHL) diyakini memiliki kelainan labirin
membran yang tidak dapat dideteksi oleh teknik pencitraan konvensional. Kelainan
tulang dari telinga bagian dalam dapat dideteksi pada 10% - 25% dari pasien tersebut
dengan tomografi komputer konvensional. Malformasi koklea kongenital yang dapat
dideteksi oleh tomografi komputer konvensional adalah aplasia labirin komplit
(Michel), common cavity, aplasia koklea / hipoplasia, dan partisi inkomplit (Kono,
2008).

21
Saat ini, tomografi komputer resolusi tinggi / high resolution computed
tomography (HRCT) dari tulang temporal adalah modalitas pencitraan pilihan untuk
mengevaluasi pasien dengan SNHL, dan telah memainkan peranan penting dalam
penilaian malformasi koklea (Kono, 2008). Tomografi komputer resolusi tinggi
(HRCT) sebelum operasi, tanpa kontras, dilakukan pada semua kandidat implan
koklea (Wackym dan Runge- Samuelson, 2009). Fatterpekar, et al. (2000)
menemukan bahwa dari gambaran HRCT didapatkan hipoplasia tulang kanalis dari
nervus koklearis yang kemungkinan merupakan penyebab tuli sensorineural
kongenital.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu dalam memilih telinga mana yang
mungkin lebih cocok untuk implantasi. Tomografi komputer resolusi tinggi (HRCT)
memberikan informasi mengenai struktur labirin tulang, jumlah dan patensi putaran
koklea, ukuran liang telinga dalam / internal auditory canal (IAC), posisi saraf
fasialis dan struktur pembuluh darah, dan anatomi telinga tengah dan mastoid.
Magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam mengkonfirmasi adanya saraf
koklearis, serta dalam mencari kelainan jalur pendengaran sentral dan obliterasi
fibrosa dari labirin membranosa (Vincenti, et al., 2014).
Beberapa tim implan koklea menganjurkan pemeriksaan rutin MRI telinga
dalam sebagai modalitas pilihan sebelum operasi implan koklea. MRI lebih sensitif
dan spesifik mendiagnosa kelainan jaringan lunak telinga dalam dibandingkan CT
scan. MRI dapat memvisualisasikan cairan intrakoklea dan mendeteksi tulang atau
jaringan lunak yang mengobliterasi koklea. MRI juga dipakai untuk mengidentifikasi
komponen saraf telinga dalam sebagai konfirmasi keberadaan saraf koklearis (Ying
dan Toh, 2009).
Penatalaksanaaan
Penatalaksanaan tuli kongenital sejak dini dapat membantu memperbaiki
gangguan bahasa dan berbicara pada penderita. Penatalaksanaan tuli sensorineural
pada anak-anak dan bayi menjadi suatu tantangan baru bagi tenaga medis. Beberapa
cara penatalaksanaan tuli kongenital yaitu intervensi dini, ABD konvensional, Bone-
Anchored Hearing Device (BAHD), Implantable Middle-Ear Devices, implan koklea,

22
Auditory Brainstem Implant (ABI) serta rehabilitasi audiologi dan terapi wicara
(Paludetti, 2016).

Intervensi dini dan pendidikan khusus


1. Usia 0-3 tahun
Tuli kongenital akan mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara,
berbahasa dan bersosialisasi. Semakin dini hal ini diketahui dan diterapi maka
kemungkinan untuk terjadinya perbaikan akan semakin besar. Intervensi usia 0-3
tahun membantu anak-anak untuk mempelajari kemampuan berbahasa dan
kemampuan penting lainnya. Anak-anak yang berusia kurang dari 3 tahun dengan
gejala tuli kongenital atau beresiko memiliki tuli kongenital boleh mendapatkan
intevensi sejak dini sebagai usaha pencegahan.
2. Usia 3-22 tahun
Pendidikan khusus dibuat untuk usaha pengajaran dan kebutuhan
perkembangan anak dengan tuli kongenital atau anak-anak dengan keterlambatan
pertumbuhan. Usaha ini diberikan melalui sekolah ( Centers for Disease Control and
Prevention. Hearing loss in children, 2021).
Alat Bantu Dengar Konvensional

Anak-anak dan bayi yang berhasil diidentifikasi menderita tuli kongenital


biasanya akan mendapatkan alat amplifikasi pada usia 3-6 bulan atau dapat diberikan
lebih cepat. Indikasi pemberian ABD konvensional pada anak-anak adalah gangguan
pendengaran (tuli) sedang hingga berat yang menyebabkan terjadinya keterlambatan
proses pertumbuhan dan perkembangan seperti keterlambatan bicara dan gangguan
pengucapan ( Fitzpatrick, 2010; Doshi, 2016) .

Alat amplifikasi pada anak-anak dengan gangguan tuli kongenital ringan harus
diberikan secara hati-hati terutama pada anak-anak dengan keterbelakangan mental
dan/atau dengan sindroma tertentu (contoh: gangguan penglihatan, defisiensi mental,
dan lain-lain). Keefektifan ABD konvensional tergantung dari derajat tuli kongenital.
Tatalaksana yang diberikan adalah komponen intervensi penting karena manfaat dari
alat amplifikasi dapat dirasakan dengan penggunaan ABD yang benar dan konsisten.

23
ABD modern menggunakan sistem digital dimana sinyal analog akan dikumpulkan
oleh mikrofon yang kemudian dikonversikan ke dalam bentuk digital sebelum
diamplifikasi atau masuk ke dalam proses lain untuk memenuhi kebutuhan pengguna.
Beberapa reciever membutuhkan proses digital untuk mengkonversikan suara
kembali ke dalam bentuk sinyal analog sebelum mengirimkan suara ke telinga,
sedangkan produk lain dapat langsung mengubah suara digital menjadi sinyal
analog (Doshi, 2016).

Gambar 8. Berbagai bentuk ABD ( Medicalopia, 2021).


Jenis ABD tergantung pada kebutuhan penderita. ABD Behind-The-Ear
(BTE) adalah yang paling sering digunakan dan direkomendasikan untuk bayi dan
anak-anak. Alat ini dapat dengan mudah disambungkan ke sistem FM. Anak-anak
memiliki telinga yang lebih kecil daripada orang dewasa sehingga memiliki
keterbatasan dalam memberikan respon sikap ataupun verbal terhadap stimulus.
Anak-anak biasanya sangat tergantung pada alat amplifikasi untuk membentuk
respon wicara dan kata serta untuk menggambarkan lingkungan sekitarnya.
Pengawasan terhadap kemampuan komunikasi anak memiliki peran penting untuk
menentukan pengubahan ABD menjadi implantasi koklea ( Paludetti, 2012).
Bone-Anchored Hearing Device (BAHD)
Prinsip Bone-Anchored Hearing Aid (BAHA) adalah adanya konduksi suara

24
yang akan melewati tulang-tulang pendengaran melalui percutaneous
osseointegrated implant. Indikasi BAHA termasuk atresia aural kongenital dan
mikrotia serta tuli berat pada telinga unilateral dan campuran. BAHA dapat juga
digunakan pada anak-anak dengan OMSK, OME dan traumatic ossicular chain
disruption yang gagal dengan terapi konvensional. Salah satu jenis BAHA
menggunakan protesis dari titanium yang ditanamkan ke dalam tulang tengkorak
dengan sedikit bagian terpapar di luar kulit. Sebuah prosesor suara akan diletakkan
pada bagian yang terpapar tersebut dan akan mentransmisikan getaran suara ke
prostetik titanium di dalam tulang tengkorak. Komplikasi tersering dari BAHA
adalah terjadinya reaksi inflamasi pada jaringan lunak. BAHA diindikasikan pada
anak-anak dengan usia minimal 3 tahun saat penanaman alat dengan atau tanpa
penipisan tulang kortikal ≥ 3 mm yang dilihat melalui CT SCAN ( Shannon,2012).

Gambar 9. Bone-Anchored Hearing Device (BAHD) ( medcity,2021).

Implan koklea
Implan koklea adalah sebuah alat elektronik pendengaran yang memiliki
kemampuan untuk menggantikan fungsi koklea dalam mendengar dan membantu
komunikasi. Implan koklea akan menggantikan fungsi rambut getar yang terdapat di
dalam rumah siput yang sebelumnya telah rusak. Melalui implan koklea stimulasi
suara tetap dapat diterima oleh saraf pendengaran untuk selanjutnya diteruskan ke
pusat pendengaran di otak. Implan koklea memiliki bagian dalam yang harus
diletakkan ke dalam rumah siput melalui tindakan operasi, dimana implan akan
diletakkan di antara tulang tengkorak dan kulit kepala sedangkan serabut elektroda

25
akan dimasukkan ke dalam rongga koklea. Implan koklea terdiri dari dua komponen:
pertama, bahan eksternal atau bagian pemroses suara, bagian ini akan menjadi
pengumpul dan pemroses suara yang ada di lingkungan dan mengirimkannya
kekomponen kedua yaitu bagian implan yang akan mengirimkan stimulus langsung
ke serabut saraf dalam bentuk sinyal elektrik melewati reseptor koklea yang tidak
lagi berfungsi ( Paludeeti, 2012).

Gambar 10. Implan koklea ( Paludeeti, 2012).

Indikasi penggunaan implan koklea berubah dari waktu ke waktu yang


dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta termasuk
didalamnya pengalaman tenaga kesehatan. Impan koklea unilateral direkomenasikan
untuk anak-anak dengan tuli kongenital berat hingga sangat berat yang didefinisikan
sebagai peningkatan ambang batas dengar yang lebih dari 90 dB pada frekuensi 2-4
kHz tanpa menggunakan ABD atau dengan menggunakan ABD, tetapi efeknya tidak
ada. Tidak adanya efek penggunaan ABD dilihat dari ketidakmampuan anak untuk
berbicara, berbahasa dan tidak memiliki kemampuan mendengarkan yang baik
sesuai dengan usia, tingkatan pertumbuhan dan kemampuan kognitifnya. Usia
penderita antara 12 bulan hingga 17 tahun, tidak ditemukan kontraindikasi medis.
Ketentuan tambahan lainnya adalah, anak yang akan diberikan implan koklea
setidaknya telah mencoba ABD konvensional selama minimal selama 3 bulan.
Kontraindikasi implan koklea adalah tuli akibat kelainan pada jalur saraf pusat ,

26
proses penulangan pada koklea dan tidak berkembangnya koklea ( Paludeeti, 2012).
Auditory Brainstem Implant (ABI)
ABI memiliki bentuk dan fungsi yang hamper mirip dengan implan koklea,
perbedaan keduanya yaitu pada ABI elektroda tidak diletakkan pada rambut getar
rumah siput melainkan diletakkan pada nukleus koklear di batang otak. ABI dibuat
untuk individu yang mengalami tuli akibat tidak berfungsinya nervus auditorius
misalnya akibat aplasia nervus VIII, fraktur tulang temporal, schwanoma vestibular
bilateral (neurofibromatosis tipe 2) atau osifikasi berat ari koklea dan modiolus.
Keterbatasan kerja ABI dipengaruhi oleh selektivitas stimulasi yang rendah hal ini
bergantung pada posisi elektoda pada permukaan batang otak yang akan
memungkinkan terjadinya interaksi antar elektroda pada lapangan elektrik yang luas.
Penelitian dan pelaporan mengenai angka keberhasilan terapi ABI untuk terapi tuli
kongenital masih lebih rendah bila dibandingkan dengan implan koklea, dimana
terdapat juga penelitian yang melaporkan tidak semua pasien ABI mengalami
perkembangan wicara (Shannon, 2012).

Gambar 11. Cara kerja Auditory Brainstem Implant (ABI) (Shanon, 2012)

Rehabilitasi audiologi dan terapi wicara


Rehabilitasi adalah salah satu tatalaksana penting pada penderita tuli
kongenital. Rehabilitasi audiologi adalah proses pelatihan dan penatalaksanaan

27
untuk memperbaiki kelainan pendengaran pada anak. Dimana proses rehabilitasi ini
terfokus pada pengembalian kemampuan yang hilang pada anak, meskipun pada
anak-anak kemampuan wicara tidak diletakkan pada fokus pertama. Rehabilitasi
bergantung pada kebutuhan setiap anak dan berdasarkan faktor-faktor lain seperti
usia anak, derajat gangguan pendengaran, usia ketika tuli pertama kali muncul dan
teridentifikasi, jenis tuli kongenital dan alat bantu yang digunakan. Rehabilitasi
audiologi termasuk beberapa kemampuan yang berbeda pada anak yaitu
pembentukan bahasa, pelatihan mendengar dan penggunaan ABD yang benar
sehingga anak dapat berinteraksi dengan wajar terhadap lingkungan sekitarnya
(Paludeeti, 2012).
Terapi wicara bergantung pada metoda komunikasi yang digunakan dalam
keluarga terhadap anak. Terapi wicara diberikan kepada anak atau orang dewasa
yang mengalami gangguan bicara, kelainan kemampuan bahasa, irama dan
kelancaran dalam pengucapan bahasa. Beberapa jenis terapi wicara yang dapat
diberikan kepada penderita gangguan pendengaran antara lain ( Paludeeti, 2012) :
1. Latihan organ wicara
Termasuk didalamnya latihan untuk memperkuat otot-otot bibir, penguatan otot
rahang, dan penguatan otot lidah.
2. Latihan mendengar
Terdiri dari latihan untuk membantu penderita mengenali berbagai macam jenis
suara seperti suara binatang dan bagaimana memberikan respon yang tepat
terhadap rangsangan suara dan mengidentifikasinya.
3. Latihan bahasa
Membantu penderita untuk meningkatkan kemampuannya untuk memahami lisan
seperti memahami kata perintah dan konsep letak.
4. Latihan pengucapan
Membantu penderita mengucapkan kata-kata yang berbeda dengan huruf awal
yang sama sehingga penderita dapat membedakan cara pengucapan masing-
masing kata.
Prognosis
Prognosis dari penyakit ini sangat tergantung dari penyebabnya. Akan tetapi,
pada dasarnya derajat ketulian menetap pada level yang sama atau semakin

28
bertambah parah dan tidak pernah mengalami perbaikan. Pada pasien gangguan
pendengaran yang terdeteksi awal kemudian mulai memperoleh intervensi pada usia
kurang dari 6 bulan, selain akan mempunyai kemampuan wicara yang lebih baik,
ternyata juga menunjukkan tampilan yang lebih baik selama pendidikannya di
sekolah maupun produktifitasnya di lingkungan kerja dibandingkan pasien gangguan
pendengaran yang terdeteksi lambat dan memperoleh intervensi pada usia lebih dari 6
bulan (Hendarmin, 2017) .
Kesimpulan

1. Tuli kongenital merupakan ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan
faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini
dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf).

2. Prevalensi tuli kongenital dari program skrining pendengaran bayi baru lahir
menunjukkan bahwa kejadian gangguan pendengaran adalah dua kali lebih tinggi dari
semua penyakit lainnya yang diskrining saat lahir.

3. Etiologi tuli kongenital terdiri atas genetik dan non genetik

4. Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat ketulian tidak
terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi respons terhadap
bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara (delayed speech),
tidak memberi respons saat dipanggil atau tidak memberi respons saat ada suara atau
bunyi.

6. Deteksi dini gangguan pendengaran sangat penting untuk perkembangan bicara dan
bahasa anak. Setiap anak dapat diuji untuk gangguan pendengaran. Telah terbukti
bahwa pada anak-anak dengan gangguan pendengaran, deteksi dan penanganan dini
dapat meningkatkan kemampuan bahasa di kemudian hari.

29
7. Penatalaksanaan tuli kongenital yaitu intervensi dini, ABD konvensional, Bone-
Anchored Hearing Device (BAHD), Implantable Middle-Ear Devices, implan koklea,
Auditory Brainstem Implant (ABI) serta rehabilitasi audiologi dan terapi wicara

8. Prognosis tuli kongenital sangat tergantung dari penyebabnya, Pada pasien


gangguan pendengaran yang terdeteksi awal kemudian mulai memperoleh intervensi
pada usia kurang dari 6 bulan, selain akan memiliki prognosa yang lebih baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

Adler, S.P. dan Marshall, B.C. 2007. Cytomegalovirus Infections. Pediatr Rev. 28
(3), pp. 92-100.

Alford, R.L., et al., 2014. American college of medical genetics and genomics
guideline for the clinical evaluation and etiologic diagnosis of hearing loss. ACMG
Practice Guideline : Genetics in Medicine. 16 (4), pp. 347-55.

Bhattcharrya, N. 2015. Auditory Brainstem Response Audiometry. Harvard


Medical School. Available from: http://emedicine.medscape.com/
article/836277-overview (Accesed 6 September 2021).

Centers for Disease Control and Prevention. Hearing loss in children. In: Treatment
and intervention services. Diakses pada 5 September 2021 Dari:
http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/language.html.

Chi, D. H. dan Sabo, D. L., 2014. Pediatic audiology and implantable hearing
devices. In: Johnson, J.T., Rosen, C.A., eds. Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer
business. pp.1507-22

Cone, B. dan Dimitrijevic, A., 2009. The auditory steady-state response. In


th
: Jack Katz - Handbook of Clinical Audiology. 6 Ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins. pp.322-41

Dhingra, P.L., 2010. Anatomy of the ear. In : Dhingra, P.L. and Dhingra, S., eds.
Disease of the ear, nose & throat. 5th ed. New Delhi : Elsevier, pp. 3-22.

Donovalova, G. 2006. Otoacoustic emissions and their use in diagnosing hearing


impairment in children. Bratisl Lek Listy, 107 (6-7), p.272.

Doshi J, Sheehan P, McDermott AL. Bone anchored hearing aids in children: an


update. J Pediatr Otorhinolaryngol: May 2012;Vol.76(5).p.618-22. Diakses pada 9
Juni 2016

Eva, A., Suwento, R., Zizlavsky, S., Indriatmi, W. 2006. Laporan Penelitian Uji
diagnostik auditory steady-state response dalam mendeteksi gangguan pendengaran
pada anak. Jakarta : Medical Research Unit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

31
Fatterpekar, G.M., et al., 2000. Hypoplasia of the bony canal for the cochlear nerve in
patients with congenital sensorineural hearing loss : initial observations. Head and
neck imaging . Radiology. 215 (1), pp. 243–6.

Faundes. V, Pardo, R.A. dan Castillo Tauncher, S. 2012. Genetics of congenital


deafness. Med Clin (Barc), 139(10), pp.446-51.

Fitzpatrick EM, Durieux-Smith A, Whittingham J. Clinical practice for children with


mild bilateral and unilateral hearing loss. Ear Hear: June 2010;Vol.31(3).p.392-400

Genetic Evaluation of Congenital Hearing Loss Expert Panel, 2002. Genetics


Evaluation Guidelines for the Etiologic, Diagnosis of Congenital Hearing Loss.
ACMG Statement, 4(3), pp. 162-71.

Ghanie, A. 2013. Pentingnya deteksi dini pendengaran dan intervensinya. Dalam :


Clinical Approaches and Intervention of growth and developmental disorders in
daily practice. Palembang : Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Unversitas Sriwijaya.

Gomella, et al., 2004. Follow up of high risk infants. Clinical Manual Neonatology
Management, Procedures, on Call Problems, Disease and Drugs. Fifth edition.
USA : The McGraw Hill, pp. 139-143.

Gutler, N. 2008. Hereditary hearing impairment. In : Lalwani, A.K. Ed. Current


Diagnosis & Treatment in Otolaryngology Head and Neck Surgery. Second edition.
USA : The McGraw Hill, pp.697-704.

Hall III, J.W. dan Antonelli, P.J., 2014. Assesment of peripheral and central auditory
function, In: Johnson, J.T., Rosen, C.A., eds. Bailey’s Head and Neck Surgery
Otolaryngology. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer
business, pp. 2274-90.

Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi ketujuh. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017. 30-35

Herdman, A.T., Picton, T.W. and Stapells, D.R., 2002. Place specificity of multiple
auditory steady-state responses. J Acoust Soc Am, 112(4), pp.1569-82.

HTA Indonesia, 2010. Buku panduan tatalaksana bayi baru lahir di rumah sakit.
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI, pp. 20-34.

Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s Head and Neck Surgery Otolaryngology. Fifth Edit.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.

32
Joint Committee of Infant Hearing, 2007. Year 2007 position statement : principles
and guidelines for early hearing detection and intervention programs. American
Academy of Pediatrics, 120 (4), pp.898-921.

Kolegium Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. THT
KOMUNITAS : Modul tuli kongenital pada bayi dan anak. In 2015.

Kono, T., 2008. Computed tomographic features of the bony canal of the cochlear
nerve in pediatric patients with unilateral sensorineural hearing loss. Radiation
Medicine, 26 (3), pp.115–9.

Lang-Roth, R., 2014. Hearing impairment and language delay in infant : diagnostics
and genetics. GMS Current Topics in Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery,
13. pp.1-31.

McMurray, J.S., 2010. General considerations in pediatric otolaryngology. In :


th
Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery. 5 ed. Philadelphia : Elsevier,
pp. 2569-79.

Medcity News. Medical devices. Diakses pada 4 September 2021. Dari


http://medcitynews.com/2012/09/sophono-raises-7m-series-b-rolls-out-new-
features-of-bone-conduction-hearing-device/

Medicalopedia. The Future Is Here: 7 Hearing Aids Your Grandfather Couldn’t


HaveImagined.Diaksespada 5 September 2021. Dari
http://medicalopedia.org/4720/the-future-is-here-7-hearing-aids-your- grandfather-
couldnt-have-imagined/

Mishra, G., et al. 2013. Efficacy of distortion product oto-acoustic emission (OAE) /
Auditory Brainstem Evoked Response (ABR) Protocols in universal neonatal hearing
screening and detecting hearing loss in children < 2 years old age. Indian Journal
Otolaryngology Head Neck Surgery, 65, pp.105-10.

Moller, A.R., 2006. Anatomy of the auditory nervous system, In: Hearing : anatomy,
physiology, and disorders of the auditory system. Burlington: Elsevier, pp. 80-4.

Mudd, P.A. 2016. Ototoxicity. Pediatric Otolaryngology, Children's National Medical


Center, available from : http://emedicine.medscape.com/article/857679-
overview#aw2aab6b3. [accesed Sepember 2021]

Nic. 2013. Behavioral Audiometry Test. available


from :https://audgendb.github.io/index.php/tutorialpg/audiology-
tutorial/behavioral-audiometry/. . [accesed 9 Sepember 2021]

33
Norton, S.J., Bhama, P.K. dan Perkins, J.A., 2010. Early detection and diagnosis of
infant hearing impairment. In : Cummings Otolaryngology head & neck surgery.
th
Hearing loss and pediatric otology. Volume one. 5 ed. Philadelphia : Elsevier, pp.
2718-25.

Oller, D.K., Eilers, R.E., Neal, A.R. dan Schwartz, H.K., 1999. Precursors to speech
in infancy: the prediction of speech and language disorders, Elsevier. 32, pp. 223-45.

Paludetti, G., et al., 2012. Infant hearing loss: from diagnosis to therapy. Official
report of XXI conference of italian society of pediatric otorhinolaryngology. ACTA
Otorhinolaryngologica Italica, 32, pp. 347- 70.

Prieve, B. and Fitzgerald, T., 2009. Otoacoustic emissions. In : Katz, J. ed. Handbook
th
of clinical audiology. 6 ed. New York : Lippincott William & Wilkins, pp. 497-521.

Rehm, H.L., Williamson, R.E., Kenna, M.A., Corey, D.P., Korf, B.R., 2008.
Understanding the genetics of deafness : a guide for patients and families, Harvard
Medical School Center for Hereditary Deafness, pp. 1-15.

Shannon RV . Advances in auditory prostheses. Curr Opin Neurol. September 2021;


Vol.25(1).p.61–66. Diakses pada 9 Juni 2016. Dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/.

Smith, R.J.H., Kochhar, A. dan Friedman, R.A., 2009. Hereditary hearing


impairment, In: Snow, J.B, Wackyym, P.A., eds. Ballenger’s otorhinolaryngology
head and neck surgery. Connecticut: BC Decker Inc., pp.289-300.

Snow J, Wackym PA. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.


Centennial. Shelton: People’s Medical Publishing House; 2009. 1–15 p.

Stapells, D.R., 2000. Threshold estimation by the tone-evoked auditory brainstem


response: a literature meta-analysis. J Speech-Lang Path Audiol; 24(2). pp. 74-83.

Syarifuddin, Bashiruddin, J., Alviandi, W. 2007. Tuli Koklea dan Tuli Retrokoklea.
Dalam: Soepardi, E.A. et al., eds. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok
th
kepala dan leher. 6 ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hal. 23-30.

Tonini, R., Ballay, C. dan Manolidis, S., 2005. Auditory steady-state response
audiometry in profound SNHL: the impact of abnormal middle ear function. ENT
Journal, 84(5): pp.282-6.

Vincenti, V., et al., 2014. Pediatric cochlear implantation : an update. Italian Journal
of Pediatrics. 40 (1), p.72.

34
Wackym, P.A. dan Runge-Samuelson, C.L., 2009. Cochlear and auditory brainstem
implantation. In : Snow, J.B, Wackyym, P.A., eds. Ballenger`s Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery, Connecticut: Decker BC Inc, pp. 363-82.

Walker, JJ, Cleveland, LM, Davis, JL, Seales, JS 2013, ‘Audiometry screening and
interpretation’, American Family Physicians, vol. 8, no. 1, h. 41-48.

Ying, Y.L.M. dan Toh, E.H., 2009. Cochlear Implantation. Elsevier. Available from:
http://www.expertconsultbook.com/expertconsult/b/book.do? method=g (Accessed
16 Sept 2009).

Zahara, D., et al., 2015. Gap junction beta 2 gene mutation in Indonesian patients
with non syndromic congenital hearing loss. International Journal of PharmTech
Research, 8 (9), pp. 67-76.

35

Anda mungkin juga menyukai