Anda di halaman 1dari 8

Rinosinusitis kronik: hubungan gejala-gejala dengan penemuan yang

didapat dari CT-Scan

Abstrak

Pendahuluan: Berdasarkan gejala, endoskopi hidung, dan CT-scan sudah digunakan untuk
mendiagnosa rinosinusitis kronik. Nilai dari skor keparahan pada acuan penatalaksanaan dari
rinosinusitis kronik tidak teridentifikasi dengan baik. Karenanya, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menghubungkan skor keparahan dari gejala sebelum operasi beserta skor
keparahan penyakit secara keseluruhan dari pasien dengan rinosinusitis kronik dengan skor
CT-scan.

Metode: Penelitian ini menggunakan metode prospektif dari 60 pasien yang secara klinis
didiagnosis dengan rinosinusitis kronik. Setiap pasien secara subjektif menilai gejala saat ini
dan keparahan penyakit pada skala analog visual. Pasien menjalani CT-scan pada sinus
paranasal yang akan dilakukan penghitungan derajat dan skor menggunakan sistem penilaian
Lund-Mackay. Hubungan penelitian ini antara keparahan gejala/penyakit dan skor CT sudah
dilaksanakan. Tingkat signifikan secara statistik yang dipertimbangkan apabila p<0.05 dan
interval kepercayaan adalah 95%.

Hasil: Seluruh pasien memiliki lebih dari satu gejala dengan rata-rata skor keparahan
tertinggi terdapat pada gejala sekret hidung dan obstruksi nasal. Terdapat korelasi signifikan
antara skor CT dan sekret hidung (r=-0.132; p=0.03) dan obstruksi nasal (r=0.193; p=0.049).
tidak ada korelasi dengan gejala lain. Tidak ada korelasi antara skor keparahan penyakit
secara umum dengan skor Lund-Mackay (r=0.195; p=0.6).

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa skor CT-scan dapat membantu dokter untuk
memperkirakan berat gejala dari obstruksi nasal dan sekret tetapi tidak untuk gejala lain dari
rinosinusitis kronik. Namun, tidak ada hubungan dari skor CT dengan skor keparahan
penyakit secara umum.
Pendahuluan

Rinosi nusitis kronik adalah penyakit umum di seluruh dunia, merupakan 78% dari kasus
rinologi yang datang ke klinik otolaringologi di Afrika Barat. Beban tersebut terhadap
kualitas hidup setiap individu berpengaruh secara signifikan dan penyakit tersebut
menyebabkan tantangan manajemen kepada dokter. Berdasarkan dari pedoman diagnostik
yang dibuat oleh Rhinosinusitis Task Force of the American Academy of Otolaryngology,
Head and Neck Surgery (AAO-HNS) dan direvisi oleh Sinus and Allergy Health Partnership
(SAHP), rinosinusitis kronik dapat didiagnosa menggunakan tanda dan gejala klinis yang
akan dikategorikan menjadi kriteria minor dan mayor. Mendiagnosa hanya menggunakan
tanda dan gejala dari rinosinusitis akan tidak adekuat karena tumpang tindih dengan gejala
penyakit sinonasal jinak yang lainnya. Gejala yang timbul juga dapat tidak spesifik
mengindikasikan sinus paranasal yang terkena dan luasnya penyebaran penyakit. Baru-baru
ini, artikel tentang rinosinusitis dan polip nasal oleh European Academy of Allergy and
Clinical Immunolgy memasukkan nasal endoskopi dan atau temuan CT-scan sebagai
diagnosis. Sistem tingkatan Lund-Mackay direkomendasikan oleh American Academy of
Otolaryngology untuk menentukan derajat rinosinositis kronik.

CT-Scan dari sinus paranasal adalah standar emas diagnostik secara radiologi untuk
rinosinusitis kronik. Karena Ct-scan tidak secara luas tersedia pada sumber-sumber di negara
miskin, maka CT-scan akan diindikasikan setelah kegagalan pengobatan, ketika terapi
operatif direncakan dan jika terdapat komplikasi. CT-scan telah menunjukkan keuntungan
pada evaluasi bersama dari kavum nasal, kompleks osteomeatal, dan sinus paranasal. Hal
tersebut dapat dipercaya, akurat, dan efektif dalam mendemonstrasikan luasnya penyebaran
penyakit dan hubungannya dengan komplikasi. Walaupun secara publikasi terdapat hubungan
dari gejala rinosinusitis kronik dengan temuan CT yang ditulis di literatur tetapi tidak ada
nilai diagnostik dari CT-scan rinosinusitis kronik terhadap lingkungan kami di mana
cuacanya panas dan kelembapan yang tinggi dengan kemungkinan meningkatnya predisposisi
terhadap penyakit. Penelitian telah menunjukkan bahwa gejala klinis dari rinosinusitis kronik
tidak memiliki hubungan yang baik dengan tingkatan CT-scan, namun sebuah penelitian telah
menunjukkan bahwa tingkatan CT-scan sebelum operasi dapat memprediksi perubahan gejala
setelah operasi intervensi sinus. Dikarenakan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk
mengevaluasi nilai dari CT-scan dalam manajemen rinosinusitis kronik dengan
menghubungkan skor derajat keparahan gejala sebelum operasi dan skor keparahan penyakit
rinosinusitis kronik dengan temuan radiologis CT-scan.
Metode

Ini adalah penelitan prospektif rumah sakit terhadap seluruh pasien dewasa dengan gejala
klinis rinosinusitis kronik di National Hospital, Abuja, Nigeria antara Januari 2011 dan
Desember 2011. Persetujuan etik telah diperoleh dari komite institusi di National Hospital,
Abuja, Nigeri untuk dapat diadakannya penelitian. Diagnosis klinis dari kronik rinosinusitis
dicapai dengan menggunakan pedoman dari Rhinosinusitis Task Force of the American
Academy of Otolaryngologu, Head, and Neck Surgery (AAO-HNS). Diagnosis dibuat jika
pasien terdapat sedikitnya 2 kriteria mayor atau satu mayor dan 2 kriteria minor lebih dari 1
jam hampir setiap hari untuk jangka waktu lebih dari tiga bulan. Kriteria mayor termasuk
obstruksi nasal atau hambatan, sekret nasal (anterior dan/posterior), anosmia/hiposmia dan
nyeri wajah/kongesti/tekanan di mana kriteria minor termasuk sakit kepala, mulut berbau,
nyeri telinga, sakit gigi, batuk, dan kelelahan. Pasien dengan massa sinonasal, muncul dengan
komorbid seperti diabetes mellitus, infeksi HIV dan riwayat sebelumnya dari trauma wajah
atau operasi sinonasal diekslusi dari penelitian. Sebuah form digunakan untuk
mengumpulkan biodata pasien dan gejala klinis yang muncul. Pasien secara subjektif diukur
keparahan dari setiap gejala klinis yang muncul dengan skala visual analog dikalibrasi dari 0
sampai 10 di mana 0 berarti tidak ada, 1 berarti sedikit berat, dan 10 berarti sangat berat. Jika
rata-rata skor total adalah 4, skor keparahan adalah ringan/rendah; 5 sampai 7 adalah
sedang/menengah di mana 8 adalah berat/tingi. Keparahan penyakit secara keseluruhan juga
diukur dengan skala analog visual yang mirip dengan bertanya seberapa beratkah penyakit
mereka mempengaruh rutinitas sehari-hari mereka dan tidur. Skala dikalibrasi dari 0 sampa
10 di mana 0 berarti tidak mengganggu, 1 berarti sedikit mengganggu dan 10 berarti sangat
mengganggu. Jika skor 4 berarti ringan/rendah; dari 5 sampai 7 berarti sedang/menengah di
mana 8 adalah berat/tinggi.

Seluruh pasien mendapatkan CT-scan di bagian sinus paranasal dilakukan dalan Aquillion 64-
CT-Scanner (Toshiba). Rekonstruksi gambar secara axial, coronal, dan sagital dari sunus
paranasal dan otak dari pasien dilakukan dengan ketebalan 3.0mm setiap bagin dalam 120 kV
dan 300 mA. Gambar kemudian dipindah ke komputer kerja dengan DICOM untuk evaluasi
sinus paranasal. Seluruh hasil scan dievaluasi menggunakan tulang window (lebar window
2000 Hounsfield units (HU); level window 500 HU) dan window jaringan lunak (lebar
window 200 HU; level window 40 HU). Hasil radiologis akan dibuat tingkatan berdasarkan
sistem tingkatan Lund-Mackay. Sinus paranasal terdiri dari maksilari, etmoid, frontal, dan
sfenoid. Sinus etmoid akan dibagi menjadi anterior dan posterior. Untuk sinus paransal, setiap
bagian (kanan dan kiri) akan dinilai terpisah dan nilai akan diberi tingkatan sebagai berikut; 0
jika tidak terdapat kelainan; 1 untuk kekeruhan sebagian, dan 2 jika terdapat kekeruhan total.
Namun, untuk kompleks osteomeatal, akan diberikann nilai 0 untuk tidak terdapat oklusi
(paten) dan 2 jika terdapat oklusi. Total nilai untuk kedua bagian akan didapatkan 0 sampai
24. Variasi anatomi yang ditemukan akan dievaluasi untuk dihubungkan dengan derajat
keparahan penyakit.

Data yang ditemukan akan dikumpulkan dan dipresentasikan dalam bentuk tabel, grafik, dan
diagram yang sesuai. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan Statistical Package
for Social Sciences (SPSS) versi ke 17 dan hubungan penelitian antara keparahan
gejala/penyakit dan penemuan CT dilakukan dengan menggunakan korelasi Person. Analisis
regresi dilakukan untuk menguji hubungan antar variabel. Niai CT digunakan sebagai
variabel dependen sedangkan nilai keparahan gejala dan keparahan penyakit sebagai variabel
independen. Tingkat signifikan statistik dipertimbangkan dengan p.

Hasil

Enam puluh pasien didiagnoosa dengan rinosinusitis kronik berpartisipasi dalam penelitian.
Didapatkan 36 laki-laki (57%) dan 24 perempuan (43%) dengan ratio laki-laki dan
perempuan adalah 1.5:1. Umur pasien antara 18 sampai 60 tahun (rata-rata: 35.6 11.42).
Rata-rata usia laki-laki adalah 36.6 tahun 11.9 sedangkan wanita adalah 34.2 10.8.
Seluruh pasien memiliki gejala lebih dari satu dengan seluruh pasien muncul dengan gejala
obstruksi hidung dan cairan hidung. Rata-rata nilai keparahan gejala lebih tinggi pada cairan
hidung dan obstruksi hidung di mana rata-rata paling rendah untuk nilai derajat keparahan
gejala adalah lemas, nyeri telinga/tekanan/penuh dan sakit gigi. (Tabel 1). Nilai keparahan
penyakit secara umum adalah ringan/rendah pada 16 (26.7%) pasien; sedang/menengah pada
24 (40.0%) pasien dan berat/tinggi pada 20 (33.3%) pasien.

CT-Scan menunjukkan adanya keterlibatan minimal satu sinus paranasal pada 59 (98.3%)
pasien. Sinus maksilar adalah yang paling sering terlibat dalam 49 pasien (81.7%), diikut
dengan anterior dan posterior etmoid (68.3%), frontal pada 24 pasien (40%) dan sfenoid pada
12 (20%) pasien. Rata-rata nilai CT Lund-Mackay dilakukan secara terpisah oleh dua penulis
dengan hasil 16.78SD 3.76 (9 sampai 24). Median nilai adalah 16 dan modus adalah 14
(tabel 2).
Ethmoid posterior sebanyak 41 (68.3%) pasien, frontal sebanyak 24 (40%) pasien dan
sphenoid sebanyak 12 (20%) pasien. Rerata Lund-Mackay CT sinus score, sebagaimana
dinilai secara independen oleh dua orang dari tim peneliti, adalah 16.78 SD 3.76 (rentang
nilai dari 9 sampai 24). Nilai median adalah 16 dan modus adalah 14 (Tabel 2).

Pasien dengan skor keparahan ringan mempunyai skor CT scan antara 10 sampai 22, pasien
dengan skor keparahan sedang mempunyai skor CT scan antara 12 sampai 24, sedangkan
keparahan berat mempunyai skor CT scan 9 sampai 24. Analisis statistic tidak menunjukkan
adanya korelasi yang signifikan antara skor keparahan penyakit secara keseluruhan dengan
the Lund-Mackay CT scores (r=0.195; p = 0.6). Terdapat korelasi yang signifikan antara skor
CT dan nasal discharge (r=-0.132; p=0.03), tetapi hanya terdapat korelasi yang lemah antara
skor CT dengan hidung tersumbat (r=0.193; p=0.049) (Tabel 3). Gejala lainnya tidak
menunjukkan hubungan yang signifikan dengan skor CT.

Variasi anatomi ditemukan pada CT Scan 15 pasien, yang terdiri dari 4 pasien dengan konka
bulosa, 1 pasien dengan paradoxical middle turbinate, 2 dengan haller cell 1 dengan Onodi
cell 1 dengan agar nasi, dan 6 dengan septum deviasi. Tidak ditemukan hubungan antara
keparahan penyakit dengan variasi anatomi (p>0.05).

Diskusi
Meningkatnya prevalensi rhinosinusitis di seluruh dunia, seiring dengan peningkatan
frekuensi rhinosinusitis alergi, telah menempatkan penyakit ini sebagai masalah kesehatan
yang signifikan. Pada penelitian ini, terdapat lebih banyak sampel laki-laki dibandingkan
perempuan, sesuai dengan penelitian-penelitian lain yang melaporkan predileksi yang lebih
tinggi pada laki-laki [16, 17].

Gejala rhinosinusitis yang tersering ditemukan pada penelitian ini adalah nasal discharge dan
hidung tersumbat yang merupakan kriteria mayor rhinosinusitis. Dua gejala tersebut juga
merupakan gejala tersering rhinosinusitis yang dilaporkan dalam berbagai penelitian dan
literatur [1-3,18,19]. Sinus maksilaris merupakan yang paling sering terlibat dibandingkan
sinus parasanal lainnya, sesuai dengan temuan pada beberapa penelitian lain. [20,21]. Oleh
karena itu, dalam menangani kasus rhinosinusitis, sinus maksilaris tidak boleh luput dari
perhatian. Penelitian ini menemukan bahwa sinus ethmoidalis merupakan sinus paranasal
tersering kedua yang mengalami peradangan pada kasus rhinosinusitis, dan penebalan
mukosa pada sinus tersebut dihubungkan dengan perubahan aroma nafas.
Peneliti menggunakan simple staging system untuk menilai derajat keparahan gejala
rhinosinusitis kronik. Pasien pada umumnya memiliki perspektif yang berbeda dalam menilai
penyakitnya, keparahannya, serta dampaknya terhadap kualitas tidur dan kehidupan sehari-
hari. Derajat keparahan rata-rata lebih tinggi untuk hidung tersumbat dan sekret berlebih
dibandingkan gejala lainnya, dan keduanya merupakan kriteria mayor diagnosis rhinosinusitis
kronik yang direkomendasikan oleh the Rhinosinusitis Task Force of the American Academy
of Otolaryngology, Head and Neck Surgery (AAO-HNS) [2]. Pengaruh rhinosinusitis kronik
terhadap kualitas hidup pasien cukup banyak dibahas dalam berbagai literatur [22]. Pada
penelitian ini terdapat 1/3 pasien yang menyatakan bahwa rhinosinusitis kronik sangat
mempengaruhi kualitas hidup dan kualitas tidurnya, 1/3 lainnya merasakan pengaruh yang
sedang, sedangkan 1/3 sisanya tidak terlalu merasa terganggu oleh penyakit ini. Menurunnya
kualitas tidur akan berpengaruh terhadap performa di sekolah dan produktivitas kerja,
sehingga dapat berakibat pada kerugian finansial dan ekonomi. Oleh karena itu, CRS harus
dikategorikan sebagai masalah kesehatan masyarakat yang perlu diberikan perhatian yang
cukup dalam penentuan kebijakan kesehatan nasional.

Fisiologi hidung normal tergantung pada kondisi drainase ostium sinus dan ventilasi dari
sinus paranasal. Ostium sinus terletak pada dinding lateral hidung dan disebut kompleks
ostiomeatal. Kompleks ostiomeatal merupakan faktor penting dalam patogenesis CRS karena
fungsinya sebagai saluran drainase dari mayoritas sinus paranasal [2,3]. Penelitian lain
mengungkapkan faktor lokal, sistemik, dan lingkungan lainnya yang berperan dalam
pathogenesis CRS [25-27]. Kesimpulan bahwa terdapat faktor-faktor lain berpengaruh
didukung oleh temuan kompleks ostiomeatal normal pada 30% pasien. Salah satu yang secara
spesifik dianggap sebagai faktor penting dari pathogenesis CRS adalah variasi anatomi yang
menentukan arah aliran udara hidung atau mempersempit kompleks ostiometal [28].

Variasi anatomi yang ditemukan pada penelitian ini mirip dengan temuan pada penelitian-
penelitian sebelumnya [25-28], namun penelitian ini tidak menemukan hubungan antara
variasi anatomi dengan tingkat keparahan penyakit (p>0,05). Hal ini bertolak belakang
dengan beberapa penelitian lain yang melaporkan adanya hubungan antara variasi anatomi
dengan patogenesis CRS, namun terdapat penelitian lainnya yang juga tidak menemukan
hubungan tersebut [21,25-27]. Sementara itu, terdapat sebuah penelitian yang menemukan
hubungan sebab akibat antara konka bulosa dengan CRS [29], tetapi penelitian ini pun tidak
menemukan adanya hubungan antara konka bulosa dan septum deviasi dengan CRS pada
pasien dengan tingkat keparahan sedang dan berat.

CT scan selama ini telah digunakan oleh klinisi untuk menegakkan diagnosis,
menggambarkan tingkatan penyakit, dan mengidentifikasi sinus paranasal yang terlibat serta
ada/tidaknya abnormalitas anatomi [30]. Selain itu, CT scan juga berfungsi sebagai panduan
bagi dokter bedah etika melakukan endoskopi sinus dan operasi basis kranii [31]. Penelitian
ini menginvestigasi peran CT scan sebagai bukti yang cukup mewakili untuk menilai tingkat
keparahan penyakit dan gejalanya, dan sebaliknya. Kami menemukan hubungan antara skor
CT scan dengan nasal discharge dan hidung tersumbat. Hubungan yang signifikan secara
statistik antara kedua gejala tersebut dengan skor CT scan juga ditemukan pada penelitian
serupa lainnya [22,32]. Berlawanan dengan temuan di atas, beberapa penelitian tidak
menemukan hubungan antara skor CT score of Lund Mackay dengan CRS [33,34]. Karena
terdapat kesimpulan yang berbeda-beda antara penelitian-penelitian sebelumya, peneliti
menyarankan penilaian skor keparahan penyakit sebagai tambahan dari CT scan dan gejala
klinis dalam mengevaluasi kasus CRS. Walaupun tidak ditemukan hubungan antara skor CT
dengan skor keparahan penyakit secara keseluruhan, kombinasi keduanya dapat membantu
klinisi dalam menilai derajat penyakit pasien sehingga memudahkan dalam menyusun
prioritas terapi. Tidak adanya korelasi gejala-gejala lain CRS dengan CT score of Lund
Mackay pada penelitian ini mungkin disebabkan karena gejala-gejala tersebut jarang
ditemukan, baik pada pasien yang CT scannya positif, ataupun pasien yang ditegakkan CRS
secara klinis namun tidak menunjukkan CT scan yang khas.

Penelitian ini menemukan penebalan mukosa pada satu paranasal atau lebih pada 98% pasien.
Hal ini menegaskan pentingnya CT scan dalam menangani kasus CRS. Akan tetapi,
penemuan ini bertentangan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa CT scan
seharusnya tidak digunakan sebagai satu-satunya instrumen dalam menilai derajat CRS [33].
Beberapa penelitian lainnya secara tidak sengaja menemukan penebalan mukosa dan polip
yang terisolasi pada pasien yang tidak memiliki gejala CRS [35,36]. Oleh karena itu, untuk
penilaian morbiditas dan perkembangan penyakit CRS, penilaian keparahan penyakit harus
dilakukan.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa skor CT scan dapat membantu memprediksi keparahan
gejala sekret berlebih dan hidung tersumbat, namun tidak dapat digunakan untuk gejala lain
dari CRS. Akan tetapi, tidak ditemukan hubungan antara skor CT scan dengan skor keparahan
penyakit secara keseluruhan. Penelitian juga tidak menemukan hubungan antara keparahan
penyakit dengan variasi anatomi (p>0.05).

Anda mungkin juga menyukai