Oleh:
Pembimbing:
PPDS I RADIOLOGI
YOGYAKARTA
2024
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
Disetujui Oleh
Pembimbing
a
Departemen Radiologi dan Radioterapi, Fakultas Kedokteran dan Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan, Universitas Makerere, Kampala, Uganda
b
Departemen Mikrobiologi Medis dan Imunologi, Fakultas Kedokteran, Universitas
Gulu, Gulu, Uganda
c
Departemen Radiologi, Rumah Sakit Rujukan Nasional Mulago, Kampala, Uganda
Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyebab utama kematian di
seluruh dunia. Pada tahun 2019, diperkirakan 10 juta orang didiagnosis
dengan TB secara global. Laporan Global TB tahun 2020, WHO melaporkan
1.408.000 kematian dan 467.000 TB yang resisten terhadap rifampisin.
Rontgen dada (CXR) adalah evaluasi radiologis utama untuk
pasien dengan suspek TB atau pasien yang terlah terbukti menderita TB
paru. Ketika dikombinasikan dengan gejala dan tanda klinis, CXR
memiliki sensitivitas yang tinggi dalam diagnosis TB PARU. Namun,
beberapa faktor telah terbukti mempengaruhi temuan CXR pada pasien
dengan TB paru, yaitu infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan
tingkat imunosupresi, pengobatan sebelumnya untuk TB paru, dan profil
mikrobiologi, yaitu drug-sensitive (DS) atau TB RR. Meskipun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa TB DS dan TB RR berbeda pada
gambaran CXR baik dari segi morfologi, ukuran, dan lokasi lesi. Namun
penjelasan secara rinci tentang perbedaan CXR TB DS dan TB RR masih
belum dipublikasikan secara luas.
Di antara pasien imunokompeten di Indonesia, pasien dengan TB
RR memiliki gambaran CXR yang sebagian besar berupa gambaran
konsolidasi, infiltrat, kavitas, fibrosis, bronkiektasis, kalsifikasi, kelenjar
getah bening, dengan lesi ekstraparu yang menyertai seperti efusi dan
empiema, dengan lesi berukuran lebih besar biasanya lebih dari satu. Di
sisi lain, pasien DS TB memiliki gambaran infiltrat dan lesi yang
umumnya berukuran lebih kecil.
Di antara pasien TB yang terinfeksi HIV yang resistan terhadap berbagai
jenis obat (MDR) di Afrika Selatan, memiliki gambaran CXR berupa
limfadenopati hilar dan mediastinum, konsolidasi, loss of volume,
bronkiektasis, dan efusi pleura merupakan temuan yang paling sering
dijumpai.
Meskipun CXR tersedia secara luas dan memiliki peran penting
dalam skrining, triase, dan diagnosis TB paru, di Afrika sub-Sahara ,
namun beban TB DS dan TB RR, serta HIV, sangat tinggi, dan literatur
yang ada masih sedikit mengenai kesamaan dan perbedaan gambaran
radiologi pasien TB DS dan TB RR. Meskipun mesin GeneXpert tersedia
secara luas di Uganda untuk mendeteksi resistensi rifampisin, saat ini, tes
sensitivitas obat berbasis kultur untuk profil lengkap pola sensitivitas
terhadap agen anti-tuberkulosis belum tersedia untuk semua pasien di
tempat kami dan bagi mereka yang mendapatkan kesempatan, dibutuhkan
waktu 2 sampai 8 minggu untuk mendapatkan hasilnya. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini, kami berusaha mengatasi kesenjangan ini dengan
menggambarkan temuan CXR pada pasien TB DS dan TB RR dan temuan
yang dikelompokkan berdasarkan status HIV.
Metode
2.1 Desain penelitian
Ini adalah studi komparatif retrospektif berbasis rumah sakit yang
dilakukan di bangsal TB Rumah Sakit Rujukan Nasional Mulago
(MNRH), Kampala, Uganda, antara tanggal 1 Januari 2018 dan 31
Desember 2018. Rumah Sakit Rujukan Nasional Mulago terletak di jalan
bukit Mulago yang berjarak 2 km dari pusat kota Kampala. Bangsal TB di
rumah sakit ini memiliki klinik rawat inap dan rawat jalan untuk pasien
TB. Rumah sakit ini merupakan pusat rujukan dan pengobatan TB RR
terbesar yang melayani sekitar 10 distrik di Uganda tengah dan dianggap
sebagai pusat unggulan. Pada tahun 2018, 137 dan 713 pasien didiagnosis
dengan RR-TB dan DS-TB dengan perbandingan 1:5.
3. Hasil
3.1 Karakteristik peserta penelitian
Sebanyak 165 partisipan, 139 DS dan 26 RR-TB di mana 106 (63,9%) laki-
laki direkrut dalam penelitian ini. Dua peserta tidak diikutsertakan, satu karena tidak
ada informasi penting dan satu lagi karena CXR yang tidak memadai. Secara
keseluruhan, 118 (71,7%) peserta tidak terinfeksi HIV. Dari 118, 103 (87,3%)
memiliki DS dan 15 (12,7%) TB RR. Secara keseluruhan, 37 (22,4%) peserta
memiliki riwayat pengobatan TB sebelumnya dengan 9 orang mangkir dan 3 orang
gagal dalam pengobatan. Proporsi peserta dengan riwayat PTB sebelumnya lebih
tinggi pada kelompok TB RR dibandingkan dengan kelompok TB DS (46,2%
berbanding 18%, p = 0,04). Tabel 1 merangkum karakteristik awal peserta
penelitian.
3.2 Temuan rontgen dada
Terdapat lima (3%) peserta yaitu 3 TB DS dan 2 TB RR, memiliki CXR
yang normal. Namun kelima pasien tersebut memiliki gejala dan 2 diantaranya
menunjukkan resistensi pada rifampisisn (RIF) pada pemeriksaan Xpert MTB/RIF
assay. Gambaran paling umum pada TB paru aktif yaitu konsolidasi (77%, n= 127).
Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam proporsi konsolidasi di
antara peserta RR dibandingkan dengan peserta TB DS (88,5% versus 74,8%, p =
0,2). Gambaran milier pada CXR ditemukan pada 3 pasien (1.8%) dan ketiganya
merupakan TB DS (Tabel 2).
Peserta dengan TB DS memiliki konsolidasi sebagai temuan CXR yang paling
umum (104, 74,8%) dari PTB aktif, diikuti oleh kekeruhan bronkopneumonik (78,
56,1%) dan gigi berlubang (53, 38,1%). Proporsi yang sama antara orang yang tidak
terinfeksi HIV dibandingkan dengan orang yang terinfeksi HIV memiliki gigi
berlubang (41,7 berbanding 27,8%, p = 0,165) (Tabel 3).
Tabel 4
3.3 Lokalis dan jumlah lesi
Di antara peserta yang tidak terinfeksi HIV, konsolidasi sebagian besar
terjadi pada zona paru bagian atas (47,1% pada DS dibandingkan 9,2% pada RR
TB, p = 0,38) dan zona paru bagian tengah (48,7% pada DS vs 7,6% pada RR TB, p
= 0,27). Opasitas bronkopneumonik sebagian besar terjadi pada zona paru
tengah (37% pada DS dibandingkan 5,9% pada RR p = 0,59).
Dari peserta yang terinfeksi HIV, konsolidasi yang ditemukan terutama di
zona paru tengah (42,5%) pada kelompok TB DS dan di zona paru bawah
(12,8%) pada kelompok TB RR (p = 0,48). Kekeruhan bronkopneumonik
sebagian besar terlihat pada zona paru tengah dan bawah (34% berbanding
32%, p = 0,46) pada kelompok TB DS dan pada tiga zona paru secara sepihak
pada kelompok TB RR.
Jumlah rata-rata zona yang trkena tanda-tanda penyakit aktif sebanding
antara kelompok TB DS dan TB RR (2,7 dan 3 p= 0.46).
Di antara peserta yang terinfeksi HIV, ukuran gigi berlubang secara
statistik lebih besar pada peserta dengan TB RO dibandingkan dengan peserta
yang tidak terinfeksi HIV dengan TB RO (7,7 ± 6,8 cm dibandingkan 4,2 ± 1,3 cm,
p = 0,004). Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam ukuran
rata-rata konsolida (p = 0,8) dan jumlah rata-rata gigi berlubang (p = 0,4) di
antara peserta yang tidak terinfeksi HIV dengan TB RO dibandingkan dengan
peserta yang terinfeksi HIV dengan TB RO. Temuan ekstraparu yang paling
banyak ditemukan adalah efusi pleura diikuti oleh fibrosis dan limfadenopati
dengan tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara kelompok TB
DS dan TB RR (Tabel 5).
CXR pasien yang tidak terinfeksi HIV dan pasien yang terinfeksi HV dapat
dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Diskusi
Dalam penelitian retrospektif yang bertujuan untuk membandingkan pola
CXR pada partisipan TB DS dan TB RR ini, kami tidak menemukan perbedaan
dalam pemeriksaan radiologi. Temuan CXR yang paling umum pada TB DS adalah
konsolidasi. Pada TB RR, konsolidasi adalah temuan yang paling umum.
Distribusi lesi konsolidatif pada pasien HIV negatif dan HIV positif lebih
banyak di zona atas dan tengah dibandingkan dengan zona bawah. Ukuran
konsolidasi rata-rata lebih tinggi di antara peserta HIV positif dibandingkan
dengna peserta HIV negative namun hasil ini tidak signifikan secara statistic.
Tisak adanya perbedaan dalam presentasi radiologis sesuai dengan penelitian
yang dilakuakn di Indonesia dan penelitian lain dari India pada pasien TB MDR.
Gambaran CXR yang paling umum di antara kelompok TB RR adalah konsolidasi
di daerah paru bagian atas.
Karena mutasi mikobakterium yang didapat selama pengobatan, riwayat
pengobatan sebelumnya secara signifikan lebih tinggi diantara partisipan yang
didiagnosis TB RR yaitu sebanyak 12 pasien (46,2%) dibandingkan dengan TB DS
sebanyak 25 pasien (18%). Sebuah meta analisis yang dilakuakan di Ethiopia
menunjukkan hasil yang serupa.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk emmbandingkan temuan
CXR pada TB DS dan TB RR, dengan fokus khusus pada temuan yang didapatkan
apda pasien TB RR. Selain itu masih sedikit penelitian yang dilakuakn untuk
membandingkan temuan pada orang dewasa dengan koinfeksi HIV.
4.1 TB DS
Kekeruhan bronkopneumonik adalah temuan CXR kedua yang paling
umum dengan distribusi zona paru tengah dan bawah yang didominasi oleh
peserta HIV seronegatif dan HIV seropositif. Kekeruhan bronkopneumonik yang
diikuti konsolidasi dan gigi berlubang merupakan temuan yang paling banyak
ditemukan pada partisipan HIV seronegatif di Indonesia [5]. Temuan serupa
ditemukan pada kelompok seropositif HIV di Afrika Selatan [5,15]. Namun, pada
penelitian di Afrika Selatan, gigi berlubang lebih dominan dibandingkan infiltrat
pada pasien HIV negative.
Di antara kelompok HIV-negatif, mayoritas memiliki konformasi zona atas
diikuti zona tengah dan zona bawah. Selain itu, solidasi yang diikuti dengan
gigi berlubang dan kekeruhan bronkopneumonik merupakan temuan yang paling
banyak ditemukan pada kelompok HIV positif dan HIV seronegatif. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan di antara peserta seropositif HIV di mana
temuan CXR yang paling umum adalah infiltrat dan konsolidasi
bronkopneumonia [5,16]. Pada partisipan seropositif HIV, sebagian besar lesi
berada di daerah paru bagian bawah. Ukuran konsolidasi rata-rata lebih besar
pada partisipan seronegatif HIV dibandingkan dengan partisipan seropositif HIV.
Distribusi zona paru bagian bawah di antara partisipan seropositif HIV juga
terlihat pada penelitian yang dilakukan oleh penelitian yang serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Padyana dkk.
Kavitas adalah ciri yang paling jarang ditemukan pada penyakit aktif yang
paling banyak terjadi pada zona paru tengah baik pada peserta HIV seronegatif
maupun HIV seropositif dengan TB RR. Dalam metanalisis yang dilakukan oleh
Xia´ng J dan kawan- kawan, prevalensi gigi berlubang di antara pasien HIV positif
hanya 9%, yang serupa dengan prevalensi rendah pada penelitian ini [13].
Namun, di antara pasien imunokompeten, penyakit gigi berlubang
merupakan temuan yang paling umum pada sebagian besar penelitian [5,13].
Dalam patofisiologi konsolidasi PTB dan kekeruhan bronkopneumonik
mendahului kavitas [17]. Oleh karena itu, para peserta dapat hadir lebih awal
sebelum pembentukan kavitas.
4.2 TB RR
Ukuran kavitas juga lebih besar pada pasien HIV- seropositif
dibandingkan dengan HIV-seronegatif pada kelompok TB RR. Perbedaan ukuran
gigi berlubang di antara kedua kelompok ini tidak lazim karena gigi berlubang
tidak umum terjadi pada orang yang mengalami penekanan kekebalan. Dan
penelitian yang berbeda menunjukkan hal yang berlawanan dengan apa yang
kami temukan dalam penelitian ini.
Rata-rata jumlah zona dengan penyakit aktif pada kelompok TB RR adalah
Chuchottaworn dan rekannya menemukan bahwa 59,8% pasien dengan MDR memiliki keterlibatan lebih dari
dua zona paru.
5. Kesimpulan
Penelitian ini tidak menemukan perbedaan yang bermakna secara statistik
pada pola rontgen dada PTB antara TB RR dan TB DS di antara pasien
imunokompeten. Di antara pasien HIV-positif, ukuran rongga secara signifikan lebih
besar pada TB RR dibandingkan TB DS. Penelitian kami menemukan bahwa CXR tidak
dapat membedakan TB RR dengan TB DS. Oleh karena itu, dokter tidak perlu repot-
repot menggunakan CXR sebagai alat skrining untuk TB RR.
Conflict of Interest
Para penulis menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kepentingan
finansial yang bersaung atau hubungan pribadi yang dapat memepegarugi hasil
dari penelitian.
Ucapan terima kasih
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada staf bangsal TB yang secara
aktif mendukung proses mobilisasi berkas dan pengumpulan data peserta
penelitian.
Referensi
[1] Fukunaga R, Glaziou P, Harris JB, Date A, Floyd K, Kasaeva T. Epidemiologi tuberkulosis dan kemajuan menuju pencapaian
target global - di seluruh dunia, 2019. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 2021;70(12):427-30.
[2] Organisasi Kesehatan Dunia. Laporan tuberkulosis global 2020: ringkasan eksekutif [Internet]. Jenewa: Organisasi Kesehatan
Dunia; 2020 [dikutip 2022 Mar 19]. 11 p. Tersedia dari: https://apps.who.int/iris/handle/10665/337538.
[3] Ubaidi BAA, Ubaidi BAA. Diagnosis Radiologi Tuberkulosis (TB) Paru pada Layanan Primer. [cited 2021 Aug 22]; Tersedia
dari: https:// clinmedjournals.org/articles/jfmdp/jurnal-kedokteran-keluarga-dan-pencegahan- penyakit-jfmdp-4-073.php?
jid=jfmdp.
[4] Liu CH, Li L, Chen Z, Wang Q, Hu YL, Zhu B, dkk. Karakteristik dan hasil pengobatan pasien tuberkulosis MDR dan XDR di
rumah sakit rujukan TB di Beijing: pengalaman 13 tahun. PLoS One. 2011 Apr 29;6(4):e19399.
[5] Icksan AG, Napitupulu MRS, Nawas MA, Nurwidya F. Perbandingan temuan rontgen dada antara tuberkulosis yang resistan
terhadap berbagai jenis obat dan tuberkulosis yang sensitif terhadap obat. J Nat Sci Biol Med 2018;9(1):42-6.
[6] Solsona Peiro´ J, de Souza Galv˜ao ML, Altet Go´mez MN. Lesi fibrotik tidak aktif versus tuberkulosis paru dengan bakteriologi
negatif. Arch Bronconeumol 2014;50(11):484-9.
[7] Brust JCM, Berman AR, Zalta B, Haramati LB, Ning Y, Heo M, dkk. Temuan radiografi dada dan konversi waktu ke kultur
pada pasien dengan tuberkulosis yang resistan terhadap berbagai obat dan HIV di Tugela Ferry, Afrika Selatan. PLoS One.
2013;8(9): e73975.
[8] Story A, Aldridge RW, Abubakar I, Stagg HR, Lipman M, Watson JM, dkk. Penemuan kasus aktif untuk tuberkulosis paru dengan
menggunakan radiografi dada digital bergerak: sebuah studi observasional. Int J Tuberc Lung Dis 2012;16(11):1461-7.
[9] Organisasi Kesehatan Dunia. Kantor Regional untuk Eropa, Observatorium Eropa untuk Sistem dan Kebijakan Kesehatan, Sagan A,
McDaid D, Rajan S, Farrington J, dkk. Skrining: kapan waktu yang tepat dan bagaimana cara m e l a k u k a n n y a d e n g a n
benar? [Internet]. Copenhagen: Organisasi Kesehatan Dunia. Kantor Regional untuk Eropa; 2020 [dikutip 2021 Des 29]. (Sistem
Kesehatan dan Analisis Kebijakan: ringkasan kebijakan, 35). Tersedia dari: https://apps.who.int/iris/handle/10665/330810.
[10] Jennifer L K, Alice S. W, Alfred S. E, W. Douglas T. Metode dalam Epidemiologi Observasional. Edisi Kedua. Oxford, New York:
Oxford University Press; 1996. 448 p. (Monograf dalam Epidemiologi dan Biostatistika).