LATAR BELAKANG
Data WHO menunjukkan secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TB
yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk yang dimana insiden terbesar TB terjadi di
kawasan Asia Tengara (45%) (Kemenkes, 2018). Data tersebut juga menunjukkan bahwa negara
Indonesia adalah penyumbang kasus TB terbesar kedua di dunia setelah India (Kemenkes, 2018).
Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000
kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya
(Kemenkes, 2011). Pada Global Tuberculosis Report WHO (2017) angka insiden TB indonesia 391
per 100.000 penduduk dan angka kematian 42 per 100.000 penduduk, yang dimana TB tetap menjadi
10 penyebab kematian tertinggi di dunia dan kematian tuberkulosis secara global diperkirakan 1,3 juta
pasien (Kemenkes, 2017).
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi penyebab utama kematian di kalangan penyakit
menular, termasuk penyumbang meningkatnya angka kematian ibu (Nizar, 2017). Tubekulosis
disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis yang menumbulkan infeksi pada paru-paru (TB paru),
masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh sehingga menimbulkan TB tulang, sendi,
selaput otak, kelenjar bening dan lainnya (TB extrapulmoner) (Carolus, 2017). Pengobatan TB
memerlukan waktu yang lama dan akan mengakibatkan angka putus obat sehingga menyebabkan
terjadinya penularan yang meluas menjadi komplikasi seperti efusi pleura TB dan berdampak negatif
seperti kuman menjadi resisten.
Persentase pasien efusi pleura TB sangat bervariasi dari beberapa negara. Di Burundi lebih dari
25% pasien dengan TB memiliki efusi pleura TB, sementara di Afrika Selatan 20% dari pasien TB
memiliki efusi pleura TB. Sebaliknya hanya 3-5% dari pasien di Amerika Serikat dilaporkan memiliki
efusi pleura TB. Penelitian di Bali tahun 2013, TB paru (10.3%) adalah penyebab ketiga terbanyak
terjadinya efusi pleura setelah malignansi (34.6%), dan pneumonia (15%). Tuberkolosis merupakan
penyebab efusi pleura paling sering. angka kejadian Efusi Pleura adalah 31% dari seluruh penderita
TB Paru (Pahlewi, 2017).
Efusi pleura TB adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan penumpukan cairan dalam
rongga pleura karena infeksi Mycobacterium tuberculosis (Nofriandi, 2016). Efusi pleura adalah
terbentuknya akumulasi cairan yang abnormal di dalam cavum pleura yang terjadi karena adanya
peningkatan produksi cairan ataupun karena adanya penurunan absorbsi cairan. Manifestasi efusi
pleura ialah nyeri dada pleuritik bertambah saat menarik nafas dan batuk, disertai sesak nafas akibat
yang akumulasi cairan yang berlebih (Mattison et al., 2010). Efusi pleura TB yang merupakan
komplikasi dari pasien yang telah terdiagnosis positif TB akan memperparah kondisi pasien serta
dapat mempengaruhi kualitas hidup dari penderitanya akibat sesak nafas yang dialami (Adipratiwi et
al., 2015).
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
TATALAKSANA
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan
untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir
pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien
mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan
selama 2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama (Kemenkes
RI, 2019).
Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin (R), Isoniazid (H),
Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama 2 bulan. Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan
OAT lini pertama telah dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet
KDT RHZE untuk fase intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg, Pirazinamid 400 mg,
dan Etambutol 275 mg. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan dengan berat badan
pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat
pada Tabel 2 (PDPI, 2021).
b. Tahap lanjutan
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam
tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya
kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase lanjutan seharusnya obat diberikan
setiap hari (Kemenkes RI, 2019). Pada fase lanjutan pemberian obat yaitu Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) selama 4 bulan. Paduan OAT fase lanjutan telah dikombinasikan dalam KDT RH
yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75 mg diberikan setiap hari. Jumlah tablet KDT yang
diberikan dapat disesuaikan dengan berat badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis
pengobatan TB menggunakan OAT KDT dapat dilihat pada Tabel 2 (PDPI, 2021).
Tabel 1. Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa
Tabel 2. Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa menggunakan tablet kombinasi
dosis tetap (KDT)
Pasien dengan kasus baru diasumsikan peka terhadap OAT kecuali (Kemenkes RI, 2019):
Tabel 3. Paduan obat standar pasien TB kasus baru (dengan asumsi atau diketahui peka OAT)
Jika tidak tersedia paduan dosis harian, dapat dipakai paduan 2RHZE/4R3H3 dengan syarat
harus disertai pengawasan yang lebih ketat secara langsung untuk setiap dosis obat (Rekomendasi B)
(Kemenkes RI, 2019).
Semua pasien dengan riwayat pengobatan OAT harus diperiksa uji kepekaan OAT pada awal
pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan
2), dan metode konvensional baik metode padat (LJ), atau metode cair (MGIT) (Kemenkes RI, 2019).
Bila terdapat laboratorium yang dapat melakukan uji kepekaan obat berdasarkan uji molekular
cepat dan mendapatkan hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT
pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional dengan media cair
atau padat yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa minggu atau bulan maka daerah
tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT kategori I sambil menunggu hasil uji kepekaan obat.
Pada daerah tanpa fasilitas biakan, maka pasien TB dengan riwayat pengobatan diberikan OAT
kategori 1 sambil dilakukan pengiriman bahan untuk biakan dan uji kepekaan (Kemenkes RI, 2019).
PENCEGAHAN
Vaksin BCG masih sangat penting untuk diberikan, meskipun efek proteksi sangat
bervariasi, terutama untuk mencegah terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis
TB).29Sebaliknya pada anak dengan HIV, vaksin BCG tidak boleh diberikan karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan BCG-itis diseminata. Hal ini sering menjadi dilema bila
bayi mendapat BCG segera setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status
HIV ibu telah diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah
dilakukan maka vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif,
kecuali jika ada konfirmasi bayi telah terinfeksi HIV (Kemenkes RI, 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Adipratiwi, Gina. 2015. Pengaruh Chest Therapi terhadap Derajat Sesak Nafas pada
Penderita Efusi Pleura Pasca Pemasangan Water Seaked Drainage (WSD) di Rumah
Sakit Paru Provinsi Jawa Barat. (Skripsi). Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Tuberkulosis. Pusat Data dan Informasi Kesehat RI.
2018;2(1):3–4.
Nofriandi, F. 2016. Kadar Interferon Gamma (IFN-y) Cairan Pleura Pada Efusi Pleura
Tuberkulosis dan Non-Tuberkulosis. Universitas Andalas.
Pahlewi, H. K. 2017. Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kejadian Efusi Pleura pada
Pasien Tuberkulosis Berdasarkan Foto Toraks di RS Dustira Periode Juli 2016-
Desember 2016. Universitas Jenderal Achmad Yani.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2021) Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan diIndonesia. Jakarta: PDPI. h. 34-35.
Tim Program TB St. Carolus. (2017). Tuberkulosis Bisa Disembuhkan! Jakarta: Gramedia.
World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2017. Switzerland: World Health
Organization; 2017.