Ny. T berusia 50 tahun datang ke Poli THT RS Karsa Husada dengan keluhan pilek
tapi ingus tidak kunjung keluar selama 4 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan suara
selalu terdengar bindeng. Selain itu, pasien mengalami demam 4 hari terakhir ini serta
terkadang hidung terasa buntu dan pengap. Pasien tidak ada keluhan pada tenggorokan
namun pada kedua telinga terkadang terasa grebek-grebek saat pilek. Pasien tidak pernah
merasakan keluhan seperti ini sebelumnya, namun pasien mempunyai riwayat gigi berlubang
atas dan bawah serta sempat diberikan obat minum dari dokter untuk keluhan gigi namun
hanya diminum sesekali saat kambuh.Sehari sebelum ke poli THT pasien melaksanakan
vaksin Covid-19 menggunakan Sinovac. Sebelum datang ke poli THT, pasien telah
mengonsumsi obat paracetamol dan Panadol warna merah. Riwayat alergi disangkal.
1. Bindeng : Suara sengau atau kondisi dimana salah satu atau kedua telinga tidak bisa
mendengar suara dengan jelas, seperti ada sesuatu yang meredam suara tersebut.
2. Pengap : sesak akibat
9. Mengapa diberikan terapi tremenza dan paracetamol serta control 1 mgg lagi?
Tremenza : dekongestan + antihistamin
Paracetamol : antipiretik + analgesic
Control : untuk control gejala sinus
Pemberian obatnya secara simptomatis
Pemberian antibiotic ditunda
LANGKAH 2 (Rumusan Masalah)
1. Mengapa pasien mengeluh pilek dengan ingus yang tertahan sejak 4 bulan lalu?
2. Mengapa pasien mengalami demam sejak 4 hari lalu dan hidung buntu disertai suara
bindeng?
3. Mengapa pasien mengeluh grebek-grebek pada kedua telinga saat pilek ?
4. Apa hubungan riwayat gigi berlubang dengan keluhan-keluhan pasien?
5. Apa hubungan/ pengaruh riwayat minum obat yang tidak rutin saat gigi sakit dengan
keluhan-keluhan pasien?
6. Apa ada kaitan keluhan pasien dengan post vaksin yang dijalani pasien?
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus pasien
ini?
8. Mengapa diberikan terapi berupa tremenza dan paracetamol serta kontrol 1 minggu lagi
pada pasien tersebut?
LANGKAH 3 (Jawaban Rumusan Masalah)
1. Mengapa pasien mengeluh pilek dengan ingus yang tertahan sejak 4 bulan lalu?
Pilek : infeksi (virus, bakteri, jamur), zat iritan, alergen inflamasi pada mukosa edem
mukosa (KOM), disfungsi mukosilia dan sekresi mukus abnormal meningkat menurunnya
drainase mukus penumpukan mukus Hidung tersumbat dan ingus tertahan
2. Mengapa pasien mengalami demam sejak 4 hari lalu dan hidung buntu disertai suara
bindeng?
Demam : dikarenakan infeksi bakteri menyebabkan mengeluarkan pirogen eksogen
rangsangan pada limfosit, monosit, neutrofil mengeluarkan pirogen endogen (IL-1, IL-6,
TNF-@, IFN) merangsang hipotalamus memproduksi prostglandin PG meningkatkan
termostat di pusat termoregulasi hipotalamus hipotalamus menganggap suhu tubuh saat ini
lebh rendah drpd termostat terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengeluaran
panas (vasokontriksi) > suhu tubuh meningkat (demam)
3. Mengapa pasien mengeluh grebek-grebek pada kedua telinga saat pilek ?
Inflamasi yang terjadi pada mukosa hidung > inflamasi juga terjadi pada mukosa tuba
eustachius > terjadinya oklusi tuba > keluhan grebek2 pada telinga
4. Apa hubungan riwayat gigi berlubang dengan keluhan-keluhan pasien?
Gigi berlubang (terutama gigi pada rahang atas) yang telah terinfeksi mikroorganisme,
infeksi dapat menjalar pada tulang alveolar > terjadinya infeksi pada sinus maksilaris >
menyebabkan proses inflamasi > peningkatan produksi mukus dan edem mukosa > pasien
mengeluhkan pilek dan hidung tersumbat
5. Apa hubungan/ pengaruh riwayat minum obat yang tidak rutin saat gigi sakit dengan
keluhan-keluhan pasien?
Dengan tidak rutinnya obat sakit gigi yang dikonsumsi meningkatkan risiko penjalaran
infeksi mikroorganisme dr gigi ke sinus
6. Apa ada kaitan keluhan pasien dengan post vaksin yang dijalani pasien?
Tidak ada hubungan keluhan pasien dengan riwayat post vaksin
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang pada kasus pasien
ini?
8. Mengapa diberikan terapi berupa tremenza dan paracetamol serta kontrol 1 minggu lagi
pada pasien tersebut?
Tremenza : merupakan obat golongan dekongestan kombinasi dengan antihistamin yang
dapat meredakan hidung tersumbat dan meredakan reaksi inflamasi
Paracetamol : obat golongan antipiretik-analgesik, untuk meredakan demam dan nyeri
keluhan pasien
LANGKAH 4 (Problem Tree)
a. Virus
Sinusitis virus biasanya terjadi selama infeksi saluran napas atas, virus yang lazim
menyerang hidung dan nasofaring juga menyerang sinus. Mukosa sinus paranasalis
berjalan kontinu dengan mukosa hidung, dan penyakit virus yang menyerang hidung
perlu dicurigai dapat meluas ke sinus.
b. Bakteri
Edema dan hilangnya fungsi silia normal pada infeksi virus menciptakan suatu
lingkungan yang ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini seringkali
mnelibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama
dengan penyebab otitimcdia. Yang scring ditemukan dalam frekuensi yang makin
menurun adalah Streptococcus pneumoniae, Haemoplilus influenzae, bakteri anerob,
Branhamella catarrhalis, streptokok alfa, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus
pyogenes. Seiama suafu fase akut, sinusitis kronik dapat disebabkan olch bakteri yang
sama seperti yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronik biasanya
berkaitan dengan drainase yang tidak adekuat ataupun fungsi mukosiliar yang terganggu,
maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, di mana proporsi terbesar
merupakan bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan
pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering
ditemukan elalarn frekuersi yang makin mcnurun antara lain Staphylococcus aureus,
Streptococcus viridans, Haemophilus influenzae, Neisseria flavus, Staphylococcus
epidermidis, Streptococcus pneumoniae, dan Escherichia coli. Bakteri anaerob termasuk
Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bacteroides, dan Veillonella. Infeksi campuran
antara organisme aerob dan anaerob seringkali terjadi.
Banyak sekali penyakit penyerta maupun keadaan lingkungan sekitar yang mampu
menyebabkan rinosinusitis, diantara lain sebagai berikut :
a. ISPA ( Infeksi Saluran Pernafasan Atas ) dari virus dan juga infeksi sekunder dari
bakteri
b. Rinogenik, seperti : rinitis alergi,rinitis infeksi,rinitis vasomotor,rinitis medika
mentosa.
c. Pajanan lingkungan : polusi udara,iritan dan rokok
d. Obstruksi rongga hidung ( hipertrofi konka,deviasi septum dan benda asing ) atau
meatus medius
e. Kelainan anatomi hidung : infandibulumlebih sempit dari keadaan normal, obstruksi
koane oleh jaringan adenoid jinak
f. Trauma pada sinus paranasal seperti fraktur atau luka tembak
g. Tonsilitis atau adenoiditis
h. Kelainan keadaan umum seperti : pasien imunokompremais, gangguan silia atau
mukosilier
i. Berenang atau menyelam, contohnya : air terhisap dan masuk ke dalam sinus
j. Resistensi terhadap obat : amoksilin
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan
tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah
satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis (Bashiruddin
et al., 2012).
Bila terinfeksi organ yang membentuk kom mengalami oedem, sehingga mukosa
yang berhadapan akan saling bertemu. Hal ini menyebabkan silia tidak dapat bergerak dan
juga menyebabkan tersumbatnya ostium. Hal ini menimbulkan tekanan negatif di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi atau penghambatan drainase sinus.
Efek awal yang ditimbulkan adalah keluarnya cairan serous yang dianggap sebagai sinusitis
non bakterial yang dapat sembuh tanpa pengobatan. Bila tidak sembuh, maka sekret yang
tertumpuk dalam sinus ini akan menjadi media yang poten untuk tumbuh dan multiplikasi
bakteri, dan sekret akan berubah menjadi purulen yang disebut sinusitis akut bakterialis
yang membutuhkan antibiotik. Jika terapi inadekuat maka keadaan ini bisa berlanjut, akan
terjadi hipoksia dan bakteri anaerob akan semakin berkembang. Keadaan ini menyebabkan
perubahan kronik dari mukosa yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kista
(Bashiruddin et al., 2012).
Drainase cairan mukus keluar dari rongga sinus juga bisa terhambat oleh pengentalan
cairan mukus itu sendiri. Pengentalan ini terjadi akibat pemberian obat antihistamin,
penyakit fibro kistik dan lain-lain. Sel penghasil mukus memiliki rambut halus (silia) yang
selalu bergerak untuk mendorong cairan mukus keluar dari rongga sinus. Asap rokok
merupakan salah satu penyebab terbesar dari rusaknya silia ini sehingga pengeluaran cairan
mukus menjadi terganggu. Cairan mukus yang terakumulasi di rongga sinus dalam jangka
waktu yang lama merupakan tempat yang nyaman bagi hidupnya bakteri, virus dan jamur.
Mukosa hidung dilengkapi sistem pertahanan tertentu untuk melawan fungus atau bakteria.
Apabila ada celah dalam sistem imun, maka spora fungus, virus maupun bakteri dapat
berkembang dengan baik (Bashiruddin et al., 2012).
Sinusitis kronik berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau bisa terus berlangsung
sampai tahunan. Pada sinusitis akut, perubahan patologik membran mukosa berupa infiltrat
poliomorfonuklear, kongesti vaskuler dan deskuamasi epitel permukaan yang semuanya
reversible. Gambaran sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversible. Mukosa umumnya
menebal membentuk lipatan-lipatan pseudopolip. Epitel permukaan tampak mengalami
deskuamasi, regenerasi, metaplasi, atau epitel biasa dalam jumlah yang bervariasi pada
suatu irisan histology yang sama. Pembentukan mikroabses dan jaringan granulasi bersama-
sama dengan pembentukkan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar
dan poliomorfonuklear dalam lapisan submucosa (Bashiruddin et al., 2012).
Zat yang semakin merangsang proses peradangan antara lain adalah interleukin dan
leukotrien. Masuknya sel darah putih dan bakteri ke dalam lendir menyebabkan lendir
menjadi lebih kental daripada biasanya dan sering menjadi kekuningan atau kehijauan,
maka terjadilah infeksi. Zat yang kental ini disebut sebagai pus (nanah) atau mukus purulent
(Bashiruddin et al., 2012).
Sebagian dari pus di sinus berhasil keluar melalui ostium, melintasi KOM, dan
menuju bagian belakang rongga hidung. Pus ini cenderung berkumpul di tenggorokkan,
menimbulkan iritasi, atau mengalir ke bawah sebagai postnasal drip yang menggangu.
Kasus sinusitis yang sudah menyebar besar kemungkinan bertambah buruk sebelum
membaik. Untuk melawan infeksi, sinus menjadi lebih sering meradang, yang
menyebabkan bertambahnya pembengkakkan, yang memperparah penyumbatan sehingga
bakteri semakin mudah berkembang biak (Bashiruddin et al., 2012).
Saraf sensorik hidung muncul dari saraf olfaktori, yang berasal dari cabang
ophthalmic dan maxillary dari saraf trigeminal. Saraf sensorik nonolfaktori terdiri dari baik
mielin maupun nonmielin (terutama nosiseptif) serat. Rangsangan fisik dan kimia, serta
endogen produk biokimia, dapat merangsang aferen sensorik di mukosa hidung untuk
membawa sensasi (misalnya, pruritus) ke pusat sistem saraf dan juga mengaktifkan refleks
(misalnya bersin) (Robert M Naclerio, et al., 2013).
6. Mengetahui dan Memahami tentang Manifestasi Klinis Sinusitis
Menurut Task Force yang dibentuk oleh the American Academy of Otolaryngologic
Allergy (AAOA) dan American Rhinologic Society (ARS), gejala klinis RS pada dewasa
dapat digolongkan menjadi : (Benninger et al, 2003) Gejala mayor yaitu gejala yang banyak
dijumpai serta mempunyai faktor prediksi yang tinggi.
Diagnosis penting yang bisa dilihat dari pasien yang menderita sinusitis maksilaris
adalah keluarnya cairan atau dahak dari hidung berwarna kuning-hijau purulent, nyeri
wajah atau tekanan pada sinus atau sinus yang terkena, obstruksi hidung, onset gejala yang
akut (antara durasi 1 dan 4 minggu), gejala terkait yang termasuk didalamnya adalah batuk,
malaise, demam, dan sakit kepala, dan infeksi gigi serta apabila terdapat gigi yang lunak
sebaiknya segera diperiksakan untuk mencari abses.
Bila perlu, pemindaian CT scan koronal tanpa kontras lebih hemat biaya dan
memberikan lebih banyak informasi daripada film sinus konvensional. CT memberikan cara
yang cepat dan efektif untuk menilai semua sinus paranasal, mengidentifikasi area yang
menjadi perhatian lebih besar (seperti dehiscence tulang, elevasi periosteal atau paparan
akar gigi maksila di dalam sinus), dan mempercepat terapi yang tepat.
CT scan cukup sensitif tetapi tidak spesifik. Pembengkakan jaringan lunak dan cairan
mungkin sulit untuk dibedakan ketika kekeruhan sinus hadir dari kondisi lain, seperti
rinosinusitis kronis, polip hidung, atau kista retensi lendir. Kelainan sinus dapat terlihat
pada sebagian besar pasien dengan infeksi saluran pernapasan atas, sedangkan rinosinusitis
bakterial hanya berkembang pada 2%.Menurut American Academy of Otolaryngology,(2)
kriteria diagnosis dari Sinusitis yaitu:
Diagnosis Sinusitis terdiri atas sinusitis akut dan sinusitis kronik, antara lain :
A. Sinusitis Akut
Dasar penegakkan diagnosis Sinusitis Akut dapat dilihat pada tabel berikut ini.(1)
Tabel 2. Tabel Dasar Penegakkan Diagnosis Sinusitis Akut(1)
Dewasa
Dasar Penegakkan Klinis
Diagnosis
Kriteria Sekurangnya 2 faktor mayor, salah satunya adalah:
1. Hidung tersumbat
2. Keluar secret dari hidung atau post-nasal discharge
yang purulent
Dan dapat disertai:
1. Nyeri pada wajah
2. Hiposmia/anosmia
Onset gejala/Durasi Tiba-tiba:
gejala 1. <12 minggu
2. Bila rekurens, terdapat interval bebas, gejala yang
jelas
Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior:
1. Edema dan hiperemi konka
2. Secret mukopurulen
B. Sinusitis Kronis
Dasar penegakkan diagnosis Sinusitis Kronis dapat dilihat pada tabel berikut ini.(1)
Dewasa
Dasar Penegakkan Klinis
Diagnosis
Kriteria Sekurangnya 2 faktor mayor, salah satunya adalah:
1. Hidung tersumbat
2. Keluar secret dari hidung atau post-nasal
discharge yang purulent
Dan dapat disertai:
1. Nyeri pada wajah
2. Hiposmia/anosmia
Onset gejala/Durasi ≥12 minggu
gejala
Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior:
1. Edema konka dapat disertai hiperemis
2. Secret mukopurulen
Inspeksi rongga mulut:
1. Sekret pada faring
2. Eksklusi infeksi pada gigi
Pemeriksaan Dianjurkan bila tidak sembuh setelah 2 minggu terapi
penunjang (foto
rontgen)
Pemeriksaan lain Elaborasi faktor risiko yang mendasari
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) adalah kejadian medis (sakit / kematian)
yang tidak diinginkan yang terjadi setelah imunisasi dapat berupa reaksi vaksin, reaksi
suntikan, kesalahan prosedur, ataupun koinsidens sampai ditentukan adanya hubungan
kausal.(4) KIPI diklasifikasikan serius apabila kejadian medik akibat setiap dosis vaksinasi
yang diberikan menimbulkan kematian, kebutuhan untuk rawat inap, dan gejala sisa yang
menetap serta mengancam jiwa. Klasifikasi serius KIPI tidak berhubungan dengan tingkat
keparahan (berat atau ringan) dari reaksi KIPI yang terjadi. KIPI dapat dijelaskan dalam
berbagai macam jenisnya, yaitu:(5)
Seseorang mengalami KIPI karena KIPI merupakan reaksi yang muncul setelah kita
divaksinasi yang biasanya menandakan bahwa vaksin sedang bekerja di dalam tubuh kita.
Sistem daya tahan tubuh sedang belajar cara melindungi diri kita dari penyakit. KIPI
umumnya bersifat sementara, dan akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Pada
timbulnya KIPI harus diperhatikan apakah resipien termasuk dalam kelompok risiko, yang
dimaksud dengan kelompok risiko adalah anak yang mendapat efek samping pada
imunisasi terdahulu dan bayi berat lahir rendah. Selain itu, ada juga kelompok risiko tinggi
yang termasuk di dalamnya adalah:(6)
1. Pasien imunokompromais
a. Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat peyakit dasar atau
pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang).
b. Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk
polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia.
c. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian
dalam waktu pendek.
d. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik
dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari.
e. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau
3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai
2. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin.
3. Pasien HIV
a. Mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi. Walaupun responnya
terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang, penderita HIV tetap memerlukan imunisasi.
b. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan atau yang
mati.
Memantau KIPI diwajibkan karena tidak ada vaksin yang 100% aman dan tanpa
risiko, penting untuk mengetahui risiko dan bagaimana menangani peristiwa semacam itu
ketika terjadi, menginformasikan kepada orang dengan benar tentang KIPI sehingga
membantu menjaga kepercayaan publik terhadap program imunisasi serta pemantauan KIPI
juga membantu meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Vaksin yang digunakan dalam
program vaksinasi COVID-19 ini masih termasuk vaksin baru sehingga untuk menilai
keamanannnya perlu dilakukan surveilan baik aktif maupun pasif yang dirancang khusus, di
mana kejadian ini dimasukkan dalam Kejadian Ikutan dengan Perhatian Khusus (KIPK).
KIPI yang tidak terkait dengan vaksin atau koinsiden harus diwaspadai. Seleksi status
kesehatan sasaran yang akan divaksinasi harus dilakukan seoptimal mungkin supaya tidak
memunculkan baik KIPI maupun KIPK.(5)
Secara umum, vaksin tidak menimbulkan reaksi pada tubuh, atau apabila terjadi,
hanya menimbulkan reaksi ringan. Vaksinasi memicu kekebalan tubuh dengan
menyebabkan sistem kekebalan tubuh penerima bereaksi terhadap antigen yang terkandung
dalam vaksin. Reaksi lokal dan sistemik seperti nyeri pada tempat suntikan atau demam
dapat terjadi sebagai bagian dari respon imun. Komponen vaksin lainnya (misalnya bahan
pembantu, penstabil, dan pengawet) juga dapat memicu reaksi. Vaksin yang berkualitas
adalah vaksin yang menimbulkan reaksi ringan seminimal mungkin namun tetap memicu
respon imun terbaik. Frekuensi terjadinya reaksi ringan vaksinasi ditentukan oleh jenis
vaksin.(4)
Efek samping yang dilaporkan dari vaksin COVID-19 sebagian besar ringan hingga
sedang dan berlangsung singkat, yaitu:(5)
Terdapat SOP yang harus diikuti penerima vaksin setelah divaksin supaya menangani
secara cepat apabila terdapat KIPI setelah dilakukan vaksin COVID-19, yaitu:(5)
1. Setelah vaksinasi, mintalah pasien untuk menunggu 30 menit untuk melihat adanya
reaksi cepat yang terjadi setelah vaksinasi.
2. Bila tidak ada reaksi yng cepat, bisa pulang, biasanya petugas akan memberikan
nomor kontak yang bisa dihubungi, dan bisa beraktivitas seperti biasa, jangan lupa
untuk mencatat nomor telpon yang bisa dihubungi bila ada keluhan pasca vaksinasi.
3. Petugas akan melakukan pemantauan reaksi tersebut, dan sesungguhnya ini sudah
dimulainya pemantauan kasus KIPI langsung setelah vaksinasi.
4. Puskesmas/ RS menerima laporan KIPI dari sasaran yang
divaksinasi/masyarakat/kader, dan apabila ditemukan dugaan KIPI serius agar segera
dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan pelacakan.
5. Hasil pelacakan dilaporkan ke Pokja/Komda PP-KIPI untuk dilakukan analisis
kejadian, tindak lanjut kasus, seperti dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Dalam kebanyakan kasus, gejala-gejala di atas dapat dikelola atau diantisipasi sesuai
dengan jenis gejala yang dirasakan, seperti:(5)
1. Reaksi lokal dan reaksi lokal lain yang berat dapat diantisipasi dengan
menggunakan kompres dingin pada lokasi dan parasetamol/asetaminofen
2. Reaksi sistemik dapat diantisipasi dengan minum lebih banyak, memakai pakaian
yang nyaman, mengompres dingin pada lokasi dan menggunakan
paracetamol/asetaminofen
3. Reaksi lain, seperti: reaksi alergi dan reaksi anafilaksis
Hubungi penyedia perawatan Anda jika nyeri tekan (nyeri) di mana Anda
mendapat suntikan meningkat setelah 24 jam, atau efek sampingnya tidak hilang dalam
beberapa hari. Jika Anda mengalami kesulitan bernapas, nyeri dada, kebingungan,
kehilangan bicara atau mobilitas, segera hubungi penyedia layanan kesehatan.
4. Reaksi ringan setelah imunisasi umum dapat sembuh sendiri, hampir tidak
memerlukan perawatan simtomatik. Akan tetapi, penting untuk meyakinkan dan
menjamin bahwa pasien/ orang tua memahami reaksi tersebut.
5. Reaksi Berat dalam banyak kasus self-limiting (membatasi diri) dan tidak mengarah
ke masalah jangka panjang. Selain itu, terdapat anafilaksis yang meskipun berpotensi
fatal, namun dapat diobati tanpa efek jangka panjang.
Setiap tempat pelayanan imunisasi harus menyediakan Kit Anafilaktik. Isi dari Kit
Anafilaktik minimal terdiri dari: satu ampul epinefrin 1 : 1000, satu spuit 1 ml, satu infus
set, satu jarum infus untuk bayi dan balita dan satu kantong NaCl 0,9% 500 ml.(6)
Kemungkinan salah satu dari efek samping di atas setelah vaksinasi berbeda sesuai
dengan vaksin COVID-19 yang spesifik. Efek samping vaksin inaktif adalah salah satu
yang terendah dibandingkan platform lain, contohnya pada Brazil mempunyai efek samping
Sinovac yang terendah, Turki dan Bandung menunjukkan angka yang juga rendah apabila
dibandingkan dengan Pfizer dan Moderna yang bisa meminimalkan efek samping hingga
70%. Efek samping lain vaksin mRNA adalah alergi berat, anafilaksis, pembengkakan di
lokasi filler bedah plastik di wajah. Sedangkan kasus yang sempat dilaporkan pada uji
klinik mRNA dan Oxford yaitu Bell’s palsy, transverse myelitis.(5)
Apabila didapatkan KIPI yang terjadi di rumah sakit, dapat melaporkan kepada Dinas
Kesehatan (Dinkes) Kabupaten/Kota, sehingga Dinkes Kabupaten/Kota akan melakukan
pelacakan juga pada puskesmas dan masyarakat apakah terdapat KIPI pada warga yang
telah divaksin. Kemudian Dinkes Kabupaten/Kota melaporkan kepada Dinkes Provinsi
apabila puskesmas dan masyarakat telah melaporkan adanya KIPI. Pelaporan dilanjutkan
kepada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (Ditjen P2P)
Subdirektorat bagian Imunisasi yang dilakukan koordinasi juga dengan Balai POM RI dan
Komisi Nasional (Komnas) KIPI. Balai POM RI juga melakukan pelacakan kepada
produsen vaksin mengenai adanya KIPI. Setelah terkumpul semua pelaporan, pada
puncaknya laporan akan diserahkan kepada Menteri Kesehatan. Pelaporan dapat melalui
website apabila tersedia.(5)
Gambar 1. Alur pelaporan dan kajian KIPI
1. Setiap fasyankes harus menetapkan contact personyang dapat dihubungi apabila ada
keluhan dari penerima vaksin
2. Penerima vaksin yang mengalami KIPI dapat menghubungi contact
personfasyankes tempat mendapatkan vaksin COVID-19
3. Selanjutnya fasilitas pelayanan kesehatan akan melaporkan ke Puskesmas,
sementara Puskesmas dan rumah sakit akan melaporkan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota
4. Bila diduga KIPI serius maka Dinkes Kota akan melakukan konfirmasi kebenaran,
berkoordinasi dengan Pokja KIPI atau dengan Komda PP KIPI/Dinkes Provinsi.
a. Bila perlu dilakukan investigasi maka Dinkes Provinsi akan berkoordinasi dengan
Komda PP-KIPI dan Balai Besar POM Provinsi serta melaporkan ke dalam website
keamanan vaksin untuk kajian oleh Komite independen (Komnas dan/atau Komda
PP-KIPI)
5. Format pelaporan KIPI non serius, format pelaporan KIPI serius, format investigasi
serta panduan penggunaan web keamanan vaksin dapat diunduh pada tautan
http://bit.ly/LampiranJuknisVC19.
6. Pasien yang mengalami gangguan kesehatan diduga akibat KIPI diberikan
pengobatan dan perawatan selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas
KIPI berlangsung KIPI yang meresahkan dan menimbulkan perhatian berlebihan
masyarakat, harus segera direspons, diinvestigasi dan laporannya segera dikirim
langsung kepada:
a. Kementerian Kesehatan cq. Sub Direktorat Imunisasi/Komnas PP-KIPI atau
melalui WA grup Komda KIPI –Focal Point,
b. email: komnasppkipi@gmail.com dan data_imunisasi@yahoo.com;
c. website: www.keamananvaksin.kemkes.go.id
10. Mengetahui dan Memahami tentang Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sinusitis
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis
rhinosinusitis, antara lain (Tanto, 2014):
Pengobatan untuk sinusitis akut viral cukup dengan analgesik, steroid topikal
intranasal, dan/atau irigasi nasal dengan normal saline untuk meringankan gejala. Untuk
sinusitis akut bakterial tanpa komplikasi dapat dilakukan pemberian obat yang sama untuk
meringankan gejala dan dilakukan watchful waiting tanpa antibiotik. Pemberian antibiotik
dapat dilakukan setelah 7 hari watchful waiting tanpa ada peningkatan keadaan atau bisa
diberikan langsung pada awal diagnosis. Antibiotik lini pertama yang digunakan adalah
Amoxicillin dengan atau tanpa Clavulanate selama 5 – 10 hari. Bila kondisi pasien tidak
membaik setelah 7 hari pemberian antibiotik lini pertama, pastikan kembali diagnosis
pasien. Bila diagnosis sinusitis akut bakterial sudah tegak, ganti dengan antibiotik lain. Bila
gejala sinusitis berjalan selama 4 – 12 minggu, maka masuk ke sinusitis subakut.
Tatalaksana untuk sinusitis subakut dapat dilakukan dengan tatalaksana akut maupun kronis
sesuai dengan keputusan klinis dokter (Rosenfeld et al. 2015).
Bila sinusitis dalam keadaan kronis yang ditandai dengan adanya inflamasi sinonasal,
perlu dilakukan konfirmasi kondisi kronis yang menyertai. Kondisi tersebut seperti asma,
cystic fibrosis, keadaan immunocompromised, dan ciliary dyskinesia. Perlu juga
dikonfirmasi tentang ada tidaknya polip nasal pada pasien. Pada sinusitis kronis, irigasi
nasal dengan saline dan/atau kortikosteroid topikal intranasal direkomendasikan. Terapi
dengan antijamur sistemik atau topikal lebih baik tidak diberikan pada pasien sinusitis
kronis. Perlu dilakukan penilaian pada pasien dengan sinusitis akut bakterial yang berulang
atau sinusitis kronis terkait keadaan yang dapat memodifikasi tatalaksana sinusitis.
Tatalaksana berupa obat – obatan serta pembedahan dapat dilakukan untuk sinusitis kronis
atau sinusitis akut bakterial berulang (Rosenfeld et al. 2015).
Gambar Guideline Sinusitis Oleh American Academy of Otolaryngology (AAO)
(Rosenfeld et al. 2015)
Pada beberapa kasus sinusitis, dokter umum harus melakukan rujukan ke dokter
spesialis. Husain et al (2018) menyatakan bahwa terdapat beberapa kedaan yang
menyebabkan pasien harus dirujuk baik pada kasus sinusitis akut maupun sinusitis kronis.
Pada beberapa kasus, rujukan harus dilakukan dengan segera. Keadaan tersebut
diantaranya:
a. Sinusitis Akut
Kriteria rujukan awal (dalam 1 minggu) adalah:
Gejala menetap biarpun secara umum telah diberi terapi yang optimal
Pasien immunocompromised seperti pada pasien dengan DM tidak terkontrol,
GGK fase akhir, atau pada pasien HIV
Kejadian berulang (> 4 episode per tahun)
Adanya defek anatomis yang menyebabkan terjadinya obstruksi
Curiga adanya malignansi
Kriteria rujukan segera (dalam 24 jam) adalah:
1. Komplikasi pada orbita
Edema periorbital
Displace bola mata
Double vision
Oftalmoplegia/ tahanan gerak mata
Penurunan ketajaman visual
2. Sakit kepala hebat pada area frontal / retro-orbital
3. Pembengkakan dahi (subperiosteal abscess)
4. Manifestasi neurologis seperti meningitis, gangguan kesadaran, atau kejang
5. Septikemia
b. Sinusitis Kronik
Kriteria rujukan awal (dalam 1 minggu) adalah:
Kegagalan terapi medikamentosa yang optimal
Infeksi sinusitis kronis > 3 kali per tahun
Curiga infeksi akibat jamur, penyakit granulomatosa atau malignansi
Kriteria rujukan segera (dalam 24 jam) adalah:
Nyeri hebat atau pembengkakan daerah sinus, utamanya pada pasien
immunocompromised (pasien dengan DM tidak terkontrol, GGK fase akhir,
atau pada pasien HIV)
12. Mengetahui dan Memahami tentang Komplikasi dan Prognosis Sinusitis
Komplikasi dari sinusitis akut jarang ditemukan karena penggunaan antibiotik oral
yang telah tersedia secara luas. Komplikasi masih bisa ditemukan pada pasien
immunocompromised dan harus segera dilakukan evaluasi. Komplikasi pada anak dan
remaja umumnya berupa selulitis orbital atau preseptal dan abses pada epidural, subdural,
atau pada otak (Carr. 2016).
Battisti et al (2021) menjelaskan bahwa mayoritas kasus sinusitis akut bakterial tanpa
komplikasi dapat diobati dengan rawat jalan dan memiliki prognosis yang baik. Kasus
sinusitis frontalis dan sinusitis sphenoidalis dengan temuan gambaran air-fluid level
mungkin membutuhkan rawat inap dengan ditambah pemberian antibiotik intravena. Pasien
dengan kondisi immunocompromised atau muncul tanda – tanda keracunan juga
membutuhkan rawat inap. Sinusitis akibat jamur juga sering dikaitkan dengan angka
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
PETA KONSEP
SOAP
DAFTAR PUSTAKA
Akdis C. A., Bachert C., Cingi C., Dykewicz M. S., Hellings P. W., Naclerio R. M., et al.
2013. Endotypes and phenotypes of chronic rhinosinusitis: a PRACTALL document of the
European Academy of Allergy and Clinical Immunology and the American Academy of
Allergy, Asthma & Immunology. J Allergy Clin Immunol, 131, 1479-90. Bashiruddin J,
Iskandar N, Soepardi EA, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THTKL FK UI.
Edisi ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
Battisti AS, Modi P, Pangia J. Sinusitis. (2021). dalam: StatPearls [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Diakses dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/
Benninger MS, et al. Adult chronic rhinosinusitis: Definitions, diagnosis, epidemiology, and
pathophysiology. Otolaryngology Head and Neck Surg 2003; 129: S1-S32. Benninger, M.S.,
Ferguson, B.J., Hadley, J.A., Hamilos, D.L., Jacobs, M., Kennedy, D.W., Lanza, D.C.,
Marple, B.F., Osguthorpe, J.D., Stankiewicz, J.A. and Anon, J., 2003. Adult chronic
rhinosinusitis: definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngology-
Head and Neck Surgery.
Chow, A. W., Benninger, M. S., Brook, I., Brozek, J. L., Goldstein, E. J. C., Hicks, L. A.,
Pankey, G. A., Seleznick, M., Volturo, G., Wald, E. R., & File, T. M. (2012). Executive
Summary: IDSA Clinical Practice Guideline for Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children
and Adults. Clinical Infectious Diseases, 54(8), 1041–1045.
https://doi.org/10.1093/cid/cir1043
Depkes RI. 2003. Riset kesehatan dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kemenkes RI.
Desrosiers, M., Evans, G.A., Keith, P.K., Wright, E.D., Kaplan, A., Bouchard, J., Ciavarella,
A., Doyle, P.W., Javer, A.R., Leith, E.S. and Mukherji, A., 2011. Canadian clinical practice
guidelines for acute and chronic rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology.
Dhingra, P., & Dhingra, S. (2018). Diseases of Ear, Nose and Throat: & Head and Neck
Surgery. In Self Assessment and Review: ENT (7th ed.). Elsevier.
https://doi.org/10.5005/jp/books/12861_7
Fokkens, W. J., Lund, V. J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody, F., Cohen, N.,
Cervin, A., Douglas, R., Gevaert, P., Georgalas, C., Goossens, H., Harvey, R., Hellings, P.,
Hopkins, C., Jones, N., Joos, G., Kalogjera, L., Kern, B., … Wormald, P. J. (2012). EPOS
2012: European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. A summary for
otorhinolaryngologists. Rhinology, 50(1), 1–12. https://doi.org/10.4193/rhino50e2
Husain, S., Amilia, H. H., Rosli, M. N., Zahedi, F. D., Sachlin, I. S., & Development Group
Clinical Practice Guidelines Management of Rhinosinusitis in Adolescents & Adults (2018).
Management of rhinosinusitis in adults in primary care. Malaysian family physician : the
official journal of the Academy of Family Physicians of Malaysia, 13(1), 28–33.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinis. Edisi revisi 2014. p: 421, 647-650.
KEMENKES; GERMAS. (2020). MODUL PELATIHAN MATERI INTI 8: SURVEILANS
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI (KIPI). Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (KEMENKES RI) Dan Gerakan Masyarakat (GERMAS).
http://139.99.194.68/clc/pluginfile.php/22198/mod_resource/content/1/MODUL
PELATIHAN MATERI INTI 8 - SURVEILANS KEJADIAN IKUTAN PASCA
IMUNISASI %28KIPI%29 Final.pdf
Koesnoe, S. (2021). Teknis Pelaksanaan Vaksin Covid dan Antisipasi KIPI. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI). https://www.papdi.or.id/pdfs/1001/Dr
Sukamto - Ws Vaksin Covid KIPI.pdf
Rosenfeld, R. M., Piccirillo, J. F., Chandrasekhar, S. S., Brook, I., Kumar, K. A., Kramper,
M., Orlandi, R. R., Palmer, J. N., Patel, Z. M., Peters, A., Walsh, S. A., & Corrigan, M. D.
(2015). Clinical Practice Guideline (Update) Adult Sinusitis. American Academy of
Otolaryngology—Head and Neck Surgery Foundation, 152(2), 1–39.
https://doi.org/10.1177/0194599815572097
Rosenfeld, R. M., Piccirillo, J. F., Chandrasekhar, S. S., Brook, I., Ashok Kumar, K.,
Kramper, M., Orlandi, R. R., Palmer, J. N., Patel, Z. M., Peters, A., Walsh, S. A., &
Corrigan, M. D. (2015). Clinical Practice Guideline (Update): Adult Sinusitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery, 152(2_suppl), S1–S39.
https://doi.org/10.1177/0194599815572097
UNICEF. (2021). Vaksin COVID-19 & KIPI. UNICEF For Every Child, 3.
https://www.unicef.org/indonesia/id/media/9896/file/Booklet_Vaksin_COVID-19_
%26_KIPI.pdf