Anda di halaman 1dari 11

CS 2- PERIKORONITIS DAN OPERKULEKTOMI

A. Skenario
Seorang wanita 26 tahun yang berprofesi sebagai pramugari datang ke
RSGMP Unsoed karena merasa nyeri pada gigi geraham bungsu paling
belakang bawah kiri sejak seminggu yang lalu. Nyeri dirasakan berdenyut dan
menjalar hingga ke telinga kiri serta kepala. Awalnya, nyeri yang dirasa ini
hilang timbul, tetapi sejak 3 hari lalu nyeri semakin memburuk dan terus
menerus. Gusi di area belakang terasa menebal dan sering tergigit, sehingga
mudah terjadi perdarahan. Pasien mengaku tidak memiliki alergi obat dan tidak
memiliki riwayat penyakit sistemik. Ayah pasien memiliki riwayat penyaki
hipertensi. Pasien mengaku menggosok gigi sehari 2 kali dan pernah ke dokter
gigi 1 bulan yang lalu untuk melakukan prosedur perawatan saluran akar pada
gigi geraham kanannya. Pasien hanya minum obat oskadon dengan maksud
meredakan sakit, tetapi keluhan tersebut tidak berkurang.
Berdasarkan pemeriksaan objektif terdapat gingiva berwarna kemerahan
menutupi setengah disto oklusal gigi 38, palpasi di sekitar gigi tidak terasa,
palpasi limfonodi sekitar mandibula sedikit terasa sakit. Tidak ada
pembengkakan di sekitar wajah.
Vital sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Pulse : 75x/ menit
- Respirasi : 16x/menit
- Suhu : afebris
B. Analisa Kasus
1. Pemeriksaan Subyektif
a. Chief complaint (CC) : pasien merasa nyeri pada gigi geraham bungsu
paling belakang bawah kiri sejak seminggu yang lalu
b. Present illness (PI) : pasien merasa nyeri berdenyut dan menjalar
hingga ke telinga kiri serta kepala. Awalnya, nyeri yang dirasa ini
hilang timbul, tetapi sejak 3 hari lalu nyeri semakin memburuk dan
terus menerus. Gusi di area belakang terasa menebal dan sering tergigit,
sehingga mudah terjadi perdarahan. Pasien hanya minum obat oskadon
dengan maksud meredakan sakit, tetapi keluhan tersebut tidak
berkurang.
c. Past dental history (PDH) : pasien pernah ke dokter gigi 1 bulan yang
lalu untuk melakukan prosedur perawatan saluran akar pada gigi
geraham kanannya
d. Past medical history (PMH) : . Pasien mengaku tidak memiliki alergi
obat dan tidak memiliki riwayat penyakit sistemik.
e. Family history (FH) : Ayah pasien memiliki riwayat penyaki hipertensi.
f. Social history (SH) : pasien seorang pramugari.
2. Pemeriksaan Obyektif
a. Vital sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg  normal
- Pulse : 75x/ menit  normal
- Respirasi : 16x/menit  normal
- Suhu : afebris  tidak dalam kondisi demam
b. Pemeriksaan Ekstraoral :
- Palpasi limfonodi mandibula terasa sakit
- Tidak ada pembengkakan di sekitar wajah.
c. Pemeriksaan Intraoral
- Inspeksi : gingiva berwarna kemerahan menutupi setengah disto
oklusal gigi 38
- palpasi (-), perkusi : t.a.k, vitalitas : t.a.k,.
3. Diagnosa
Diagnosa pada pasien tersebut adalah perikoronitis subakut. Hal ini
karena pasien sudah tidak memiliki keluhan demam dan trismus namun
masih memiliki keluhan nyeri yang terus menerus.
4. Rencana Perawatan
Rencana perawatan perikoronitis pada pasien menurut Hollins
(2009) yaitu : irigasi daerah dibawah operkulum, instruksi untuk menjaga
kebersihan rongga mulut terutama penggunaan obat kumur, antibiotik
apabila pasien mengeluhkan terjadinya demam, operkulektomi apabila
kondisi memungkinkan, dan pencabutan gigi antagonis untuk memutus
siklus trauma dan inflamasi. Rencana perawatan yang dapat diterapkan
pada kasus pasien ini diantaraya :
a. Kunjungan pertama
- Debridement area dibawah operkulum dengan irigasi dan skalling
- Pemberian instruksi untuk menjaga kebersihan rongga mulut
- Pemberian antibiotik dan analgesik
b. Kunjungan kedua
- Prosedur operkulektomi
c. Kunjungan ketiga
- Pembukaan periodontal pack dan evaluasi pasca tindakan.
C. Gambaran Umum Perikoronitis
1. Pengertian
Perikoronitis mengacu pada inflamasi gingiva yang berhubungan
dengan mahkota gigi yang belum erupsi sempurna. Perikoronitis
merupakan akumulasi eksudat dibawah flap gingiva yang mengelilingi
mahkota pada gigi yang baru erupsi sebagian (Dhonge, dkk., 2015).
Ruangan antara mahkota gigi dengan bagian atas gingiva yang
menutupinya (operkulum) adalah tempat ideal untuk akumulasi debris
makanan dan pertumbuhan bakteri karena pemeliharaan kebersihan mulut
pada area tersebut sulit dicapai. Infeksi ini sering terjadi pada gigi molar
ketiga bawah, dan dapat bersifat akut maupun kronis. Perlu diperhatikan
bahwa dari daerah perikoronitis dapat terjadi abses yang menyebar dan
muncul sebagai abses meruncing pada aspek bukal gigi molar kedua atau
bahkan pada gigi molar pertama bawah (Juniper dan Parkins, 2011).
Perikoronitis adalah darurat periodontal yang paling umum terjadi dan
melibatkan area molar ketiga mandibula. pada pasien tanpa tanda atau
gejala klinis, operkulum gingiva secara kronis sering mengalami inflamasi
dan terinfeksi, juga dapat disebabkan karena trauma dari gigi antagonisnya.
Insidensi tertinggi perikoronitis terjadi pada usia 20-29 tahun dan jarang
terlihat sebelum 20 atau setelah 40 tahun (Newman, dkk., 2012).
2. Tanda dan gejala perikoronitis
Tanda klinis yang tampak diantaranya pembengkakan berwarna
merah dari jaringan yang sebagian menutupi gigi yang terlibat dan apabila
daerah tersebut ditekan menggunakan probe tumpul maka akan
mengeluarkan pus. Menurut Juniper dan Parkins (2011), tanda lainnya
yaitu trismus, foetor oris, pembengkakan wajah pada sudut mandibula,
limfadenitis, dan pireksia.
Menurut Newman dkk (2012), gambaran klinis dari perikoronitis
diantaranya lesi bengkak supuratif disertai rasa sakit dapat menyebar ke
telinga, tenggorokan, dan dasar mulut. Selain itu, temporomandibular joint
dan regio posterior mandibula juga dapat terlibat (Fragiskos, 2007). Pasien
merasa tidak nyaman karena munculnya rasa busuk dan nyeri pada saat
pembukaan dan penutupan mulut. Pada kasus berat dapat mucul
pembengkakan pada pipi dan limfadenitis regional serta trismus. Gejala
sistemik yang dialami pasien yaitu demam, malaise, dehidrasi, dan
leukositosis. Manifestasi klinis yang tampak berupa rasa sakit pada regio
gigi yang terlibat yang dapat menyebar ke telinga, temporomandibular
joint dan regio posterios submandibula (Fragiskos, 2009).
Menurut Matthew (2007), berdasarkan manifestasinya, perikoronitis
dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :
a. Perikoronitis akut
Pada fase ini, pasien memiliki keluhan berupa susah membuka
mulut dan rasa nyeri akibat adanya proses inflamasi lokal, penyebaran
nyeri melalui beberapa otot, tidak nyaman mengunyah dan
pembengkakan ekstraoral. Nyeri yang dirasakan tajam dan timbul saat
mengunyah atau terkadang saat tidur. Pasien juga mengeluhkan terjadi
limfadenitis kelenjar submandibula, kelenjar limfe, eritema edema dan
terasa keras saat dipalpasi disertai keluarnya pus. Gejala sistemik
berupa malaise, bau mulut dan demam.
b. Perikoronitis subakut
Gejala yang dominan yaitu rasa nyeri tajam dan terus menerus
tanpa disertai kesulitan membuka mulut, jarang ditemukan penyebaran
ke otot, jarang ditemukan kondisi demam dan limfadenitis hanya
terbatas pada kelenjar submandibula.
c. Perikoronitis kronis
Gejala berupa rasa nyeri ringan hingga sedang diawali satu
hingga dua hari kemudian menghilang, nyeri tekan pada limfa dan
maserasi jaringan. Periode kronis mengikuti akut yang terjadi sekitar 3-
15 bulan. Perikoronitis kronis berhubungan dengan kondisi kebersihan
mulut, stres dan adanya infeksi saluran pernafasan bagian atas.
3. Etiologi
Penyebab perikoronitis adalah erupsi gigi molar ketiga terutama
rahang bawah yang belum sempurna sehingga menjadi akumulasi sisa
makanan, plak, dan bakteri terperangkap di bawahnya. Status kehidupan
sosial, jenis kelamin dan ukuran rahang bukan merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya perikoronitis. Sebaliknya ketiga hal tersebut
mempengaruhi status kesehatan mulut dari masing-masing individu.
Meskipun berbagai usia dapat menderita perikoronitis akut, tetapi infeksi
ini lebih sering terjadi pada usia antara 16-25 tahun (Akpata, dkk., 2007).
Secara klinis, retromolar pad pada gigi molar yang mengalami
impaksi berkontak dengan gigi antagonisnya ketika mengunyah sehingga
menyebabkan trauma dan membentuk poket yang dalam, area ini
merupakan jalan masuknya plak dan bakteri sehingga akan menyebabkan
infeksi yaitu perikoronitis. Menurut Dhonge dkk (2015), mikroorganisme
patogen pada infeksi perikoronitis terutama didominasi bakteri anaerob
yaitu spesies Streptococcus, Actinomyces, dan Propionibacterium. Selain
itu, juga terdapat bakteri yang memproduksi β-laktamase seperti
Provotella, Bacteroides, Fusobacterium, Capnocytophaga, dan
Staphylococcus sp.
4. Patogenesis
Perikoronitis kemungkinan disebabkan adanya trauma dari
operkulum (jaringan lunak yang menutupi gigi) karena gigi molar
antagonis ketiga atau karena terjebaknya sisa makanan dibawah operkulum
sehingga menjadi tempat berkembangnya bakteri (Fragiskos, 2009).
Bakteri ini kemudian mengeluarkan eksotoksin dan endotoksin sehingga
tubuh merespon dengan adanya infiltrasi leukosit PMN dan sel plasma serta
peningkatan vaskular. Hal inilah yang dapat menimbulkan kemerahan, rasa
nyeri, dan pembengkakan operkulum yang memicu kesulitan penutupan
rahang. Kondisi sistemik seperti influenza atau infeksi jalur respirasivatas
dan stres dapat menekan sistem imun pasien dan memperparah kondisi
perikoronitis (Dhonge, dkk., 2015).
5. Komplikasi
Secara umum menurut Juniper dan Parkins (2011), komplikasi yang
muncul pada perikoronitis yaitu disfagia, trismus, dan juga abses
perikoronal. Disfagia muncul akibat penyebaran infeksi secara posterior ke
arah orofaringeal dan ke tengah menuju dasar lidah sehingga menyebabkan
pasien sulit menelan (Dhonge, dkk., 2015). Gejala trismus muncul pada
pasien yang mengeluhkan kesulitan membuka dan menutup mulut akibat
penyebaran infeksi ke arah telinga dan temporomandibular joint.
Sedangkan, apabila tidak segera ditangani perikoronitis dapat
menimbulkan abses perikoronal. Berdasarkan keparahan dan perluasan
infeksi, dapat melibatkan submaksila, servikal posterior, servikal bagian
dalam, dan limfanodi retrofaringeal. Abses peritonsilar, selulitis, dan
ludwig angina dapat terbentuk tetapi pada perikoronitis akut yang parah
(Newman dkk., 2012).
Menurut Dhonge dkk (2015) ludwig angina memiliki karakteristik
berupa demam, malaise, elevasi lidah dan dasar mulut akibat keterlibatan
sublingual, kesulitan menelan, dan pembengkakan luas melibatkan suang
submandibula secara bilateral. Abses parafaringeal juga dapat memicu
demam dan malaise, nyeri hebat saat menelan, dispnea dan deviasi laring.
Kondisi ini membutuhkan keadaan bedah darurat untuk menyelamatkan
airway.
6. Prognosis
Prognosis perikoronitis biasanya baik, karena kebanyakan faktor
lokal dapat ditangani dengan obat golongan antibiotik jika disebabkan oleh
infeksi. Pada kasus perikoronitis berulang sebaiknya dilakukan ekstraksi
gigi untuk menghindari komplikasi (Pederson, 2013). Prognosis perawatan
perikoronitis pada kasus diatas juga baik karena inklinasi dari molar ketiga
mandibula vertikal dan kondisi gigi antagonisnya juga baik, selain itu
kebersihan rongga mulut pasien juga baik sehingga dapat menunjang
keberhasilan perawatan.
D. Penatalaksanaan Perikoronitis
Pengobatan perikoronitis terdiri dari operkulektomi atau ekstraksi gigi
tergantung pada tingkat keparahan inflamasi, komplikasi sistemik, dan perlu
tidaknya mempertahankan gigi yang terlibat.
1. Kunjungan pertama
a. Bilas area menggunakan hydrogen peroxide 2% secara perlahan untuk
mengilangkan debris dan eksudat
b. Menyeka dengan antiseptik seperti klorheksidin atau povidone iodine.
c. Melakukan prosedur skalling dengan membersihkan area dibawah
operkulum gigi. Mungkin perlu dilakukan penyesuaian oklusal gigi
antagonis untuk menghilangkan sumber trauma. Kuretase atau prosedur
pembedahan merupakan kontraindikasi pada kunjungan awal. Tetapi,
apabila operkulum berfluktuasi dan bengkak maka perlu dilakukan
insisi untuk drainase dan meringankan tekanan (Juniper dan Parkins,
2011).
d. Pemberian dental health education sangat penting dilakukan pada
kunjungan pertama, yaitu berupa penjelasan cara, waktu, frekuensi, dan
durasi dalam menggosok gigi. Pasien juga diinstruksikan untuk
menggosok pada area inflamasi dengan hati-hati dan fokus pada area
yang tertutupi gingiva yang terinflamasi (Indrasari, 2016).
e. Resepkan antibiotik pada kasus berat dan pada pasien yang
menunjukkan infiltrasi mikroba ke jaringan terutama jika diduga ada
keterlibatan sistemik. Apabila pasien mengalami trismus maka berikan
muscle relaxan.
f. Setelah peradangan membaik (5 hari pasca medikasi) lakukan
operkulektomi (Rini dan Rusyanti, 2016).
2. Operkulektomi
Operkulektemi adalah pembuangan operkulum secara bedah.
Operkulektomi merupakan perawatan dari perikoronitis yang bertujuan
untuk mempertahankan gigi molar yang masih memiliki tempat untuk
erupsi tetapi tertutup oleh sebagian operkulum (Newman, dkk., 2012).
Operkulektomi dapat dilakukan menggunakan scalpel bedah,
elektrokauter, laser atau dengan agen kausatik seperti asam trikloroasetik
(Indrasari, 2016).
a. Indikasi
Menurut Indrasari (2016), indikasi operkulektomi yaitu :
- Terdapat ruang yang cukup untuk gigi molar ketiga erupsi
- Gigi molar ketiga erupsi pada lengkung rahang yang tepat dengan
angulasi vertikal
- Gigi antagonis pada angulasi dan posisi yang tepat
- Apabila gigi molar ketiga akan digunakan sebagai gigi abutment
dari gigi tiruan cekat
- Apabila pasien tidak ingin giginya dilakukan ekstraksi.
b. Kontraindikasi
- Gigi molar ketiga antagonis overeruption
- Apabila tidak cukup ruang untuk molar ketiga erupsi
- Gigi molar ketiga tumbuh dengan angulasi horizontal (Balaji,
2009).
c. Tatalaksana
- Komunikasikan kepada pasien mengenai prosedur yang akan
dilakukan
- Siapkan alat dan bahan yang diperlukan
- Mengusapkan antiseptik pada area pembedahan dengan kapas dan
povidone iodine
- Melakukan anastesi infiltrasi pada area operkulum
- Melakukan pemotongan gingiva yang menutup permukaan
mahkota gigi. Pemotongan dilakukan mulai dari batas anterior
ramus ke arah anterior dan ditarik ke bawah dan ke depan ke arah
permukaan distal mahkota gigi sedekat mungkin dengan CEJ.
- Melakukan irigasi kemudian pasien diminta menggigit tampo
- Pasang periodontal pack dan instruksikan pasien untuk kembali
lagi setelah 7 hari (Bathla, 2011).
3. Medikasi
Medikasi yang dapat diberikan pada pasien abses adalah.
a. Antibiotik
Pilih antibiotik anaerob agar pengobatan lebih efektif.
- Berikan metronidazole 400 mg tiga kali sehari selama lima hari atau
penisilin V 250 mg empat kali sehari selama lima hari (Juniper dan
Parkins, 2011). Apabila pasien alergi maka dapat diberikan
eritromisin 500 mg empat kali sehari selama lima hari (Dhonge,
dkk., 2015).
b. Analgesik
Analgesik diberikan untuk mengurangi rasa nyeri pasca insisi dan
drainase. Obat analgesik yang diberikan dapat berupa golongan NSAID
maupun asam salisilat seperti asam mefenamat 500 mg diminum 3 kali
sehari apabila nyeri.
c. Muscle relaxan, diberikan kepada pasien apabila terdapat keluhan
trismus.
DAFTAR PUSTAKA

Akpata O., 2007, Acute Pericoronitis and the Position of the Mandibular Third
Molar in Nigerians, Journal of Biomedical Science, 1-2:4.

Ayanbadejo P.O, Umesi K, 2007, A Retrospective Study of Some-Demograhic


Factors Associated with Pericoronitis In Nigeriasn, West African Journal of
Medicine, p 303-4

Balaji, S. M., 2007, Textbook of oral and maxillofacial surgery, Elsevier, New
Delhi.

Bathla, S., 2011, Periodontics revisited, 1st ed, Jaypee Brothers Medical Publishers
Ltd, New Delhi.

Dhonge RP. Zade RM. Gopinath V., 2015, Amirisetty R. An insight of pericoronitis
: A Review Article, International Journal Dental Medicine Research, 1(6)
:172-175.

Fragiskos, F.D., 2009, Oral Surgery, Springer, New York.

Hollins, C., 2009, Levison’s, Textbook for Dental Nurses, Blackwell, Munksgaard.

Indrasari, S.D., 2016, Management of Pericoronitis of Newly-erupted Permanent


Tooth using Electrosurgery- A Case Report, CDK-243, 43 _8) :597-600.

Juniper, R.P, Parkins, B.J., 2011, Kedaruratan dalam Praktik Dokter Gigi :
Diagnosis dan Penatalaksanaan, Hipokrates, Jakarta.

Levine, R., Vitruk P., 2015, Laser Assisted Operculectomy, Compendium, 36 (5) :
1-8.

Matthew, D. M., 2007, The Impact Of Pericoronitis On Health Related Quality of


Life, Tesis, University of North California, Chapel Hill.

Pedersen, G.W., 2013, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai