Anda di halaman 1dari 15

PERAWATAN

KEGAWATDARURATAN
ENDODONTIK PADA KASUS
FLARE UP
Posted by Adi Pratama Rabu, 17 Juli 2013 0 comments

PERAWATAN KEGAWATDARURATAN ENDODONTIK


PADA KASUS FLARE UP 

1. Definisi Flare Up
Flare up  adalah keadaan terjadinya rasa nyeri,
pembengkakan, atau kombinasi keduanya selama
rangkaian perawatan saluran akar, yang menyebabkan
kunjungan tak terjadwal dari pasien yang bersangkutan.
Rasa sakit mungkin terjadi segera setelah perawatan
endodontik awal pada gigi yang asimtomatik atau tidak
berapa lama setelah perawatan kegawatdaruratan
endodontik awal atau selama rangkaian perawatan
(Shetty, 2005).

2. Insidensi Flare Up
Flare up sendiri memiliki insidensi yang termasuk
rendah, yakni sekitar 4,2%. Namun demikian, adanya flare
up dapat dirasakan pasien sebagai akibat dari kegagalan
perawatan endodontik (Mor dkk., 1992; Milly, 2007). Flare
upsendiri dapat disertai dengan pembengkakan serta rasa
nyeri yang teramat sangat namun okurensinya sangat kecil
(1,4% hingga 1,6%) (Siqueira dkk., 2002).

3. Etiologi Flare Up
Flare up terjadi karena adanya inflamasi periapikal
yang akut yang disebabkan oleh karena bahan iritatif
(sealer, pengisi saluran akar, dll.) yang tertinggal pada
saluran akar. Hal ini biasanya disebabkan oleh karena
proses irigasi yang kurang baik atau proses preparasi yang
tidak sempurna sehingga bahan-bahan tersebut masuk ke
dalam sistem saluran akar dan akhirnya masuk ke dalam
jaringan periapikal. Beberapa hal yang menjadi penyebab
lainnya adalah:
 Sindroma perubahan adaptasi lokal
Adaptasi lokal yang dimaksud adalah adaptasi jaringan
periapikal terhadap iritan yang timbul pada saat atau
setelah perawatan endodontik berlangsung. Iritan tersebut
membuat suatu jaringan mengalami perubahan yang
berlebih pada jaringan periapikal sehingga jaringan
meresponnya dengan inflamasi yang berlebihan bahkan
hingga kepada nekrosis jaringan hal ini mengakibatkan
rasa nyeri.
 Overinstrumentasi atau Overmedikasi
Keadaan overinstrumentasi ketika perawatan endodontik
berlangsung menyebabkan banyak debris terdorong
samapai ke jaringan periapikal, sehingga menyebabkan
inflamasi.
 Faktor mikroba
Debris yang terdorong tadi seringkali juga ditumpangi oleh
mikroba sehingga menyebabkan inflamasi karena
endotoksin yang dihasilkan oleh mikroba tersebut. Ketika
ada suatu inflamasi maka mediator kimia seperti
bradikinin, histamin, serotonin, prostaglandin dan
leukotrien akan teraktifasi. Sebagai akibat dari kejadian
ini, maka rasa nyeri akan timbul.

4. Pencegahan Flare Up
Flare up  merupakan keadaan yang sama sekali tidak
diinginkan, baik oleh pasien maupun dokter gigi. Hal yang
paling penting dalam menangani kondisiflare up  adalah
melakukan pencegahan. Pencegahan yang dapat dilakukan
menurut Torabinejad dan Walton (2009) serta Shetty
(2005) antara lain:
1. Diagnosis yang tepat
 Mengenali dengan benar gigi mana yang
menyebabkan rasa sakit
 Memastikan gigi tersebut vital atau non vital
 Mengetahui adanya keterkaitan gigi dengan lesi
periapikal
2. Prosedur perawatan yang baik dan tepat
 Menentukan panjang kerja dengan tepat: dengan
radiograf atau apex locaters
 Menggunakan larutan anestesi yang bekerja dalam
jangka waktu yang cukup lama
 Ekstirpasi pulpa vital secara sempurna
 Irigasi lebih baik dilakukan menggunakan kombinasi
bahan irigan sodium hipoklorit dengan klorheksidin
 Memberi medikamen intrakanal
3. Pemberian instruksi verbal
 Pasien sebaiknya diberitahu bahwa timbulnya rasa
tidak nyaman sangat mungkin/wajar terjadi dan
ketidaknyamanan tersebut biasanya akan reda dalam satu
atau dua hari. Pasien terkadang perlu menghubungi atau
melakukan kunjungan ke klinik terkait dengan peningkatan
rasa sakit, pembengkakan, atau tanda-tanda yang lain.
4. Pemberian obat-obatan profilaksis
 Pemberian obat analgesik ringan, NSAID, dan
antibiotik dapat mengurangi gejala pasca perawatan
endodontik.

5. Kondisi klinis yang berhubungan dengan Flare


Up, diantaranya yaitu:
1. Periodontitis apikal sekunder karena perawatan
Periodontitis apikal sekunder karena perawatan ini
bisa terjadi pada gigi asimptomatik pada saat fase awal
perawatan endodontik tapi gigi tersebut kemudian menjadi
sensitif terhadap perkusi selama perawatan dilakukan.
Penyebab utama yang paling sering terjadi dari kondisi ini
yaitu karena over instrumentation atau over
medication,  bisa juga dikarenakan ada debris yang
tertekan masuk ke dalam jaringan periapikal.
2. Pengambilan jaringan pulpa yang tidak sempurna
pada kunjungan awal
Pada beberapa perawatan endodontik yang instan
ataupun yang terburu-buru kemungkinan terjadi
pulpektomi yang tidak sempurna sangat besar. Kondisi ini
pada umumnya terjadi ketika jaringan pulpa sudah
terinflamasi sebelumnya.
3. Timbulnya periodontitis apikal kronis baru (phoenix
abscess)
Phoenix abscess  adalah suatu kondisi yang terjadi
pada gigi dengan pulpa yang sudah nekrosis serta terdapat
lesi apikal yang asimptomatik.Penyebab dari kejadian ini
diperkirakan karena adanya alterasi saluran akar selama
intrumentasi dimana banyak bakteri yang aktif. Tanda dan
gejala yang sering terjadi dari abses ini yaitu adanya
mobilitas, tenderness, dan pembengkakan.
4. Abses periapikal rekuren (kambuhan)
Ini merupakan kondisi dimana sebuah gigi kembali
mengalami abses periapikal akut setelah dilakukan
perawatan gawat darurat. Pada beberapa kasus abses ini
dapat kambuh lebih dari 1 kali, tergantung dari tingkat
virulensi mikroorganisme dan juga tingkat resistensi tubuh
pasien.

6. Sistem Penegakan Diagnosis
Pasien yang dalam keadaan sakit akan memberikan
informasi dan respons serba berlebihan dan tidak tepat.
Mereka cenderung bingung dan cemas. Oleh karena
itu, seorang dokter gigi harus tetap berpegang pada
prinsip-prinsip dasar dan pendekatan yang sistematik agar
diagnosis akurat. Agar sampai pada diagnosis yang tepat
dan dapat menentukan sumber nyerinya, maka klinisi
harus mendapatkan informasi yang tepat mengenai
riwayat medis dan riwayat giginya; mengajukan
pertanyaan mengenai riwayat, lokasi, keparahan, durasi,
karakter dan stimuli yang menyebabkan timbulnya nyeri;
melakukan pemeriksaan visual pada wajah, jaringan keras
dan lunak rongga mulut; melakukan pemeriksaan
intraoral; melakukan pengetesan pulpa; melakukan tes
palpasi, tes perkusi dan melakukan pemeriksaan radiograf
(Weine, 1996; Walton ang Torabinejad, 2002).

1. Riwayat Medis dan Gigi


Sebelum memulai prosedur yang berkaitan dengan
masalah yang harus ditanggulangi segera, riwayat medis
dan giginya harus ditinjau terlebih dahulu. Jika pasien
sudah pernah datang sebelumnya, riwayat medisnya sudah
ada dan hanya perlu diperbaharui saja. Jika pasien baru,
buatlah riwayat standarnya dengan lengkap. Riwayat gigi
dapat dibuat lengkap atau seperlunya dulu yang meliputi
pengumpulan data prosedur gigi yang telah dilakukan,
kronologis gejala, dan menanyakan kepada pasien
bagaimana komentar dokter gigi terakhir yang
dikunjunginya (Ingle, 1985; Walton and Torabinejad,
2002).

2. Pemeriksaan Subyektif
Pemeriksaan subyektif dilaksanakan dengan
mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan riwayat
penyakit, lokasi, keparahan, durasi, karakter dan stimulus
yang menimbulkan nyeri. Nyeri yang timbul karena
stimulus suhu dan menyebar, besar kemungkinan berasal
dari pulpa. Nyeri yang terjadi pada waktu mastikasi atau
ketika gigi berkontak dan jelas batasnya mungkin berasal
dari periaspeks. Tiga faktor penting yang membentuk
kualitas dan kuantitas nyeri adalah spontanitas, intensitas
dan durasinya. Jika pasien mengeluhkan salah satu gejala
ini, besar kemungkinan terdapat kelainan yang cukup
signifikan. Pertanyaan yang hati-hati dan tajam akan
mengorek informasi seputar sumber nyeri yang bisa
berasal dari pulpa atau periradikuler. Seorang klinisi yang
pandai akan mampu menetapkan diagnosis sementara
melalui pemeriksaan subyektif yang teliti sedangkan
pemeriksaan obyektif dan radiograf digunakan untuk
konfirmasi (Cohen and Burn, 1994; Weine, 1996; Walton
and Torabinejad, 2002).

3. Pemeriksaan Obyektif
Tes obyektif meliputi pemeriksaan wajah, jaringan
keras dan lunak rongga mulut. Pemeriksaan visual meliputi
observasi pembengkakan, pemeriksaan dengan kaca mulut
dan sonde untuk melihat karies, ada tidaknya kerusakan
restorasi, mahkota yang berubah warna, karies sekunder
atau adanya fraktur. Tes periradikuler membantu
mengidentifikasi inflamasi periradikuler sebagai asal nyeri,
meliputi palpasi diatas apeks; tekanan dengan jari atau
menggoyangkan gigi dan perkusi ringan dengan ujung
gagang kaca mulut. Tes vitalitas pulpa tidak begitu
bermanfaat pada pasien yang sedang menderita sakit akut
karena dapat menimbulkan kembali rasa sakit yang
dikeluhkan. Tes dingin, panas, elektrik dilakukan untuk
memeriksa apakah gigi masih vital atau nekrosis (Cohen
ang Burn, 1994; Walton and Torabinejad, 2002).
4. Pemeriksaan Periodontium
Pemeriksaan jaringan periodontium perlu dilakukan
dengan sonde periodontium (periodontal probe)  untuk
membedakan kasus endodontik atau periodontik. Abses
periodontium dapat menstimuli gejala suatu abses apikalis
akut. Pada abses periodontium lokal, pulpa biasanya masih
vital dan terdapat poket yang terdeteksi. Sebaliknya, abses
apikalis akut disebabkan oleh pulpa nekrosis. Abses-abses
ini kadang-kadang berhubungan dengan sulkus sehingga
sulkus menjadi dalam. Jika diagnosis bandingnya sukar
ditentukan, tes kavitas mungkin dapat membantu
mengidentifikasi status pulpa (Cohen and Burn, 1994;
Walton and Torabinejad, 2002).
5. Pemeriksaan Radiograf
Pemeriksaan radiograf berguna dalam menentukan
perawatan darurat yang tepat, memberikan banyak
informasi mengenai ukuran, bentuk dan konfigurasi sistem
saluran akar. Pemeriksaan radiograf mempunyai
keterbatasan, penting diperhatikan bahwa lesi periradikuler
mungkin ada, tetapi tidak terlihat pada gambar radiograf
karena kepadatan tulang kortikal, struktur jaringan
sekitarnya atau angulasi film. Demikian pula lesi yang
terlihat pada film, ukuran radiolusensinya hanya sebagian
dari ukuran kerusakan tulang sebenarnya (Bence, 1990,
Cohen and Burn, 1994).
  
7. Perawatan Flare up 
Ketika terjadi flare-up, cara mengatasinya adalah
,melalui 3 fase, yaitu: 1) secara psikologis, 2) perawatan
terlokalisir, dan 3) farmakoterapi.
1. Manajemen secara psikologis
Pasien sangat dimungkinkan dan dapat dimengerti akan
kecewa dan terkejut dengan serangan nyeri atau
pembengkakan yang dating tiba-tiba.Reassurance  adalah
sebuah aspek yang sangat kritis bahkan mungkin yang
terpenting dari perawatan ini. Pasien akan khawatir dan
bahkan berasumsi bahwa perawatan telah gagal dan
diperlukan ekstraksi. Dokter gigi harus menjelaskan
bahwa flare-up memang dapat terjadi dan dapat dirawat
dengan baik. Kemudian, pasien harus dibuat nyaman
dengan memutus rantai nyeri. Anestesi lokal yang baik
juga merupakan salah satu hal yang penting dalam
manajemen psikologis pasien.

2. Perawatan terlokalisir
 Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya
Vital dan Debridemen Sempurna
Kasus ini biasanya disebabkan oleh instrumentasi
melebihi apeks akar (overinstrumentasi) yang
mengakibatkan adanya trauma pada jaringan periapikal
atau adanya debris yang terdorong ke dalam jaringan
periapikal dan iritasi kimiawi dari larutan irigasi atau
medikamen intrakanal. Pada kasus ini biasanya pasien
merasa peka waktu mengunyah (Grossman; 1988; Walton
and Torabinejad, 2002).
Kasus ini mungkin bukan suatu flare-up  murni, yang
dibutuhkan biasanya hanyalah menenangkan pasien dan
memberikan resep analgetik ringan sampai sedang. Selain
itu, saluran akar harus dibersihkan kembali secara hati-
hati dengan irigasi berulang kali. Sebuah cotton
pellet kering diletakkan yang kemudian diikuti dengan
restorasi sementara. Rasa nyeri biasanya akan segera
berkurang dengan cepat.
Pada umumnya pembukaan gigi tidak akan
menghasilkan apa-apa, nyeri akan menurun secara
spontan. Flare-up  tidak akan tercegah dengan
kortikosteroid, baik diberikan secara intrakanal atau secara
sistemis (Walton and Torabinejad, 2002).

 Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya


Vital dan Debridemen Tidak Sempurna.
Debridenmen yang tidak sempurna akan meninggalkan
jaringan yang kemudian terinflamasi dan menjadi iritan
utama. Panjang kerja harus diperiksa ulang dan ditentukan
kembali, kemudian saluran akar dibersihkan hati-hati dan
lakukan irigasi dengan larutan natrium hipokhlorit yang
banyak. Keringkan saluran akar dengan paper
pointkemudian diisi pasta kalsium hidroksida lalu tambal
sementara. Bila perlu boleh diberi resep analgetik ringan
atau sedang (Ingle, 1985; Walton and Torabinejad, 2002).

 Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya


Nekrosis tanpa Pembengkakan
Gigi-geligi ini dapat mengalami abses apikal akut
(flare-up) setelah kunjungan. Abses terbatas pada tulang
dan biasanya sangat nyeri. Pasien dapat asimptomatik
(jarang) atau simptomatik (sering) pada kunjungan
sekarang. Pada kunjugan kegawatdaruratan flare-up,
prosedur perawatan yang sama dilakukan.
Gigi dibuka dan saluran akar dibersihkan kembali dan
diirigasi dengan larutan natrium hipokhlorit. Saluran akar
dikeringkan denganpaper point, kemudian diisi bahan
medikasi dengan pasta kalsium hidroksida dan ditutup
tambalan sementara. Setelah kunjungan yang banyak,
cenderung menjadi abses apikalis akut, pada kasus ini
harus dilakukan drainase melalui gigi. Drainase tersebut
harus terus dilakukan sampai selesai. Kemudian saluran
akar diirigasi dengan larutan natrium hipokhlorit.
Biarkan rubber dam di tempatnya dan gigi tetap dalam
keadaan terbuka, pasien dibiarkan istirahat tanpa nyeri
selama 30 menit atau sampai drainasenya berhenti.
Setelah itu keringkan saluran akar, letakkan pasta kalsium
hidroksida dan tutup dengan tambalan sementara
(Grossman, 1988; Walton and Torabinejad, 2002). Jika
tidak dilakukan drainase, saluran akar harus dibersihkan
kembali, diirigasi, dimedikasi, dan ditutup.

 Penatalaksanaan Kasus-kasus yang Awalnya


Nekrosis dengan Pembengkakan
Gigi harus dibuka dan saluran akar harus dibersihkan
kembali dan kemudian ditutup. Pada kasus dengan
pembengkakan, paling baik ditangani dengan drainase,
saluran akar harus dibersihkan dengan baik. Jika drainase
melalui saluran akar tidak mencukupi, maka dilakukan
insisi pada jaringan yang lunak dan berfluktuasi. Saluran
akar harus dibiarkan terbuka dan lakukan debridemen,
kemudian beri pasta kalsium hidroksida dan tutup
tambalan sementara. Sebaiknya diberi resep antibiotik dan
analgetik (Grossman, 1988; Walton and Torabinejad,
2002).
Pembengkakan yang tidak terlokalisir yang cepat
menyebar ke dalam ruangan-ruangan dan pasien dengan
infeksi sistemik memerlukan parameter tambahan.
Perawatan mereka mungkin paling baik dilakukan oleh
dokter gigi bedah mulut dan maksilofasial yang akan
melakukan drainase ekstraoral dan bahkan mungkin
menetapkan pasien untuk mondok.

3. Farmakoterapi
 Medikamen intrakanal
Tidak ada keuntungan yang diketahui dari meletakkan
medikamen atau substansi lain dalam saluran akar untuk
membantu menyembuhkanflare-up. Obat-obatan yang
biasa digunakan umumnya berupa obat sistemik atau
lokal. Medikasi intrakanal golongan fenol yang biasa
digunakan adalah formokresol, CMCP, kresatin dan
eugenol. Obat yang lain adalah kombinasi steroid dan
kalsium hidroksida, tetapi tidak satupun obat-obat diatas
dapat mencegah terjadinya flare-up  atau meredakan
gejala flare-up  (Armilia, 2007).
 Anestesi lokal
Memblok saraf sensoris untuk menghentikan rantai nyeri
sangatlah penting. Anestesi lokal yang biasa digunakan
adalah anestesi lokal yang kerjanya lama seperti etidokain
atau bupivakain yang merupakan agen yang menghasilkan
efek analgesik yang lebih lama.
 Pengobatan sistemik
Obat-obatan sistemik yang digunakan adalah analgesik,
steroid, dan antibiotik. Golongan nonsteroid diindikasikan
jika diinginkan adanya efek anti inflamasi atau analgetik.
Golongan narkotik bermafaat dalam menimbulkan
analgesia dan sedasi. Kombinasi suatu opioid dan bahan
non steroid paling efektif bagi nyeri yang parah.
Pembengkakan yang terlokalisasi tidak mengindikasikan
kebutuhan antibiotik, yang diperlukan adalah drainase
dengan insisi atau melalui saluran akar
dan debridementyang sempurna dari saluran akar
(Torabinejad dan Walton, 2002).
NSAID menyediakan analgesik tapi mungkin lebih sedikit
daripada efek antiinflamasinya pada kondisi akut ini. Untuk
nyeri yang berat, pendekatan kombinasi adalah yang
paling efektif. Sebuah opioid seperti
tramadol, codeine atau oxycodone, dan sebuah agen non-
steroidal bekerja beriringan. Sebuah
kombinasi, flurbiprofen  (100mg mengandungπ50mg tiap
6jam) dan tramadol (100mg tiap 6jam) terbukti efektif
dalam mengatasi nyeri pada pasien kegawatdaruratan.
Steroid, yang diminum dengan dosis tunggal (4–
6mgdexamethasone) juga dapat berguna. Obat ini dapat
mengontrol reaksi hipersensitivitas terkait imun.
Pemberian antibiotik dapat membantu jika terdapat
selulitis yang difus dan cepat menyebar ke dalam ruangan-
ruangan wajah.
8. Tindak Lanjut Perawatan Pasien Flare Up
Pasien flare-up harus dikontak setiap hari sampai
gejalanya hilang. Kontak dapat dilakukan melalui telepon.
Pada pasien dengan masalah yang lebih serius atau pasien
yang tidak sembuh, harus kembali ke dokter gigi lagi. Jika
gejala timbul kembali dan tidak dapat dikendalikan, maka
perlu dipertimbangan untuk merujuknya. Perawatan akhir
dilakukan oleh spesialis mungkin meliputi obturasi yang
diikuti dengan bedah apikal (Torabinejad dan Walton,
2009).
DAFTAR PUSTAKA

Bence R. 1990. Buku Pedoman Endodontik Klinik  (terj.), 1st ed.


Universitas UI-press. Jakarta.

Carrotte P. 2004. Endodontic Part 3. Treatment of Endodontic


Emergenies. BDJ197:299-305.

Cohen S dan Burns RC. 1994.  Pathways of The Pulp,  6th ed.


Mosby. St. Louis.

Grossman LI, Oliet S, Del Rio CE. 1988. Endodontics


Practice,  11th ed. Lea & Febiger. Philadelphia.

Guttman JL. 1992. Problem Solving in Endodontics, Prevention,


Identification and Management,  2nd ed. Mosby Year Book.
St Louis.

Ingle JL dan Bakland LK. 1985. Endodontics,  3rd ed. Lea &


Febiger. Philadelphia.

Mardewi SKSA. 2003. Endodontologi, Kumpulan


Naskah,  Cetakan I. Hafizh.Jakarta.

Milly A. 2007. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan


Endodontik, Makalah, Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Mor C, Rotstein I, Friedman S. 1992. Incidence of
Interappointment Emergency Associated with Endodontic
Therapy. J Endod ;18:10, 509-511.

Siqueira, J.F., Isabela N.R., Amauri F.,Andreia G. M., Sergio M.


G., Julio C.M.O., 2002, Incidence of post operative pain
after intracanal procedures based on an antimicrobial
strategy, J Endod, 28, 457-460.

Tarigan R.. 1994. Perawatan Pulpa Gigi (endodoti),  Cetakan I,


Jakarta : Widya Medika.

Torabinejad,M., Walton,R.E., 2002, Endodontics: Principle and


Practice, Saunders Elsevier, Missouri.

Walton, R. and Torabinejad, M., 2002, Principle and Practice of


Endodontics,  2nded., Philadelphia : W.B. Saunders
Co. weine, F.S., 1996, Endodontic Therapy  5th ed., St.
Louis : Mosby Year Book. Inc.

Walton RE. 2002. Interappointment flare-ups: Incidence,


Related Factors, Prevention, and Management. Endodontic
Topics  3: 67-76.

Anda mungkin juga menyukai