Anda di halaman 1dari 58

MAKALAH

“RHINOSINUSITIS KRONIS”
SPECIAL SENSORY SYSTEM

Tutorial A4
Nurfitri Bustamam, SSi, M.Kes, MPdKed.

Disusun Oleh :
M. Hafidz Nugroho (1610211108)
Raden Roro Ariesna Muharany (1910211002)
Balqis Salsabila (1910211030)
Arinda Maharani (1910211046)
Nabilatussalma Syeftiani (1910211050)
Rida Sophiatul Khofifah (1910211068)
Nadhila Sarasvati Buwana (1910211083)
Dhia Adhi Perwirawati (1910211125)
Maishariifa Ishafani S. (1910211127)
Faizagina Istighfar (1910211130)
Reinhart Fikram Imam A. (1910211137)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
2019/2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya yang
telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
yang berjudul “Miopia” ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Nurfitri
Bustamam, SSi, M.Kes, MPdKed. selaku pembimbing tutorial kami, yang telah membantu
kami dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah “Miopa” ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang diberikan serta
sebagai bahan pembelajaran kami untuk melakukan ujian yang terkait dengan makalah ini.
Makalah ini berisi materi mengenai kasus klinis seorang pasien beserta alur pikir yang telah
kami lakukan dalam mendiagnosis penyakit yang diderita pasien beserta basic science yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosa.
Kami sebagai penyusun makalah ini menyadari bahwa masih ada berbagai kesalahan dan
kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun sehingga kami dapat melakukan penyusunan yang lebih baik lagi nantinya.
Semoga laporan ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat bagi para pembaca.
Demikian kata pengantar yang kami sampaikan. Terimakasih.

Jakarta, 19 April 2020

Penyusun

2
Minggu ke 6 : mengapa aku sering nyeri pipi dan keluar cairan
dari hidung???

Seorang perempuan berusia 28 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan nyeri pipi kiri
apalagi jika ditekan, nyeri kepala hebat dan keluar cairan dari hidung, disertai demam sejak 1
hari yang lalu. Cairan yang keluar dari hidung kiri, berbau, kental seperti susu yang semakin
banyak. Pasien merasakan hidungnya juga tersumbat. Bila dalam posisi telentang cairan dapat
masuk ke tenggorokan. Pasien juga merasakan tidak bisa mencium bau. Riwayat hidung
berdarah tidak ada. Tiga hari yang lalu pasien bersih-bersih rumah sejak saat itu pasien
mengeluhkan batuk, pilek dan nyeri pipi, kepala dan hidung tersumbat. Dua minggu
sebelumnya pasien menderita nyeri di pipi kiri, keluar cairan dari hidung selama tiga hari,
warna seperti nanah, kemudian berhenti.
Sejak 2 tahun yang lalu pasien sering mengalami gejala hilang timbul nyeri kepala, nyeri di
pipi dan rasa menelan dahak. Tetapi pasien hanya mengkonsumsi obat-obatan warung. Pasien
juga mengeluhkan pekerjaannya sebagai sekertaris kadang terganggu jika sedang ada keluhan
tersebut. Pasien alergi terhadap debu, tidak menderita asma, atau penyakit lainnya. Pasien
tidak pernah mengeluhkan batuk dengan dahak yang kental ataupun dirawat dengan keluhan di
paru-paru. Pasien tidak mengeluhkan gigi nyeri atau bengkak. Penderita tidak pernah
mengeluhkan penglihatan ganda atau penurunan visus, sekitar mata bengkak, mata juling atau
nyeri dan kaku di leher.
Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga dengan penyakit yang sama dengan yang diderita pasien.

Instruksi
1. Dapatkah anda mengidentifikasi masalah dari pasien ini?
2. Apa hipotesis yang dapat anda buat?

3
3. Pemeriksaan apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis kasus ini ?

4
Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum : komposmentis, sakit ringan
- Status gizi : cukup
- Tanda vital :
o Suhu 38,50C
o Nadi 80 x/mnt
o TD 120/80
o RR 20 x/mnt

Status generalis:
Kepala : normocephali
Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+
Thorak : denyut jantung regular, tidak ada bising jantung
Pulmo : suara dasar vesikuler, retraksi intercostae (-), wheezing (-), rhonki (-)
Abdomen :
- inspeksi : datar
- Auskultasi : bunyi usus normal
- Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), nyeri lepas
(-) Ekstremitas dan kulit : dalam batas normal

Status lokalis :
a. Telinga : normal
b. Hidung:
(anterior rinoskopi dengan nasal spekulum dan lampu kepala) : pus di meatus media kiri, mukosa
oedema, hiperemis dan hipertrofi. Septal deviasi. Tidak ada polip. Transluminasi
: gelap di sinus maxillaris kiri, di sinus maxillaris kanan terang
c. Wajah : nyeri tekan di sinus maxillaris kiri
d. Mulut : karies (+) , tidak ada infeksi di gingiva
e. Tenggorok:
Inspeksi
- Tampak adanya post nasal drip.
- Tonsil : normal
- Dinding faring post. : normal
- Uvula : Deviasi (-)

f. Leher
- Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
- Nodul : (-)

Pemeriksaan penunjang
Darah
- Hb: 14 mg/dl (N: 13 – 17 mg/dl)
- Ht: 45% (N: 42 – 51%)

5
- Leukosit 14.000/mm2 (N: 6000 – 11.000/mm3)

X Ray sinus :
Daerah sinus maksilaris kiri tampak perselubungan, air fluid level (+) disertai dengan penebalan
mukosa.

Diagnosis
Rhinosinusitis kronis eksaserbasi akut ec rhinitis alergika dan deviasi septum (SKDI 3A)

Penatalaksanaan
 Medikamentosa
- Antibiotik: eritromisin (50 mg/kgBB/hari) atau cefixime (2 x 100 mg/hari) atau
azithromicin (1 x 500 mg/hari) selama 10-14 hari
- Corticosteroid nasal spray contoh avamsyt nasal spray hidung kanan dan kiri
- Analgetik oral.
- Dekongestan contoh rhinos SR 2 kali sehari
- Mukolitik

 Non Medikamentosa
- Edukasi untuk nasal saline irrigation dengan NaCl 0.9% sebanyak 250 cc tiap hari
dilakukan irigasinya.
- Rujuk SpTHT-KL jika tidak berhasil dengan pengobatan tahap pertama.

Instruksi
1. Bagaimanakah mekanisme terjadinya rhinosinusitis kronik?
2. Sebutkan komplikasi dan prognosis dari rhinosinusitis kronik
3. Bagaimana tujuan pengobatan pada penderita ini?
4. Bagaimana rasionalisasi pemberian antibiotik pada pasien ini?
5. Bagaimanakah penulisan resep untuk pasien ini?
6. Bagaimanakah penyampaian edukasi yang baik kepada pasien ini?

6
LEARNING PROGRESS REPORT
Hari/Tanggal : Senin, 17 Mei 2020 Nama Tutor : Bu Nurfitri Bustamam

Kasus :mengapa aku sering meler, pusing dan


nyeri saat menelan? Grup : A4
TERMINO PROBLEM HIPOTESIS MEK MORE I DON’T LEARNING
LOGI ANIS INFO? KNOW ISSUE
ME
1) Translumi 1. Mengapa pasien mengeluhkan nyeri pipi 1. Karena ada Pemeriksaan 1) Apakah 1. Anatomi
nasi: kiri jika ditekan? peradangan di fisik, semua (vaskularisasi
Pemeriksaa 2. Mengapa bisa timbul nyeri kepala hebat sinus Pemeriksaan rhinitis ,inervasi)
n dan keluar cairan dari hidung sejak 1 hari maxillaris lokalis harus di dan
transilumin yang lalu? sebelah kiri telinga, kasih Embriologi
asi 3. Mengapa bisa keluar cairan yang keluar 2. Karena Pemeriksaan antibiotik? Hidung dan
(diaphanosc dari hidung kiri, berbau, kental seperti mungkin di penunjang 2) Bagaiman Sinus
opia) kita susu yang semakin banyak? bagian sinus a cara paranasal
gunakan 4. Mengapa pasien hidungnya tersumbat dan frontal sudah kerja obat 2. Histologi
untuk tidak bisa mencium bau? terkena yang Hidung dan
mengamati 5. Mengapa pada saat posisi terlentang cairan 3. Paling sering diberikan? Sinus
sinus dapat masuk ke tenggorokan? di sinus paranasal
frontalis 6. Apa hubungan keluhan batuk, pilek dan maxilla karena 3. Fisiologi
dan sinus nyeri pipi? muaranya di (penghidu)
maksilaris 7. Dua minggu sebelumnya pasien menderita hidung dan 4. Interpretasi
2) Rinoskopi: nyeri di pipi kiri, keluar cairan dari hidung berhubungan Kasus dan
pemeriksa selama tiga hari, warna seperti nanah, dengan akar Pemeriksaan
an yang
kemudian berhenti gigi atas; 5. Tata laksana
dilakukan
oleh dokter 8. Apa hubungan alergi debu dengan gejala cairan yang (farmakokine
THT untuk yang diderita pasien? keluar dari tik,
memastika 9. Apa hubungan riwayat asma dengan hidung kiri, farmakodina
n atau penyakit yang di derita? berbau, kental mik) macam-
mendeteks 10. Sejak 2 tahun yang lalu pasien sering seperti susu macam
i gangguan mengalami gejala hilang timbul nyeri yang semakin antibiotik
kesehatan kepala, nyeri di pipi dan rasa menelan banyak 6. Penyebab
yang dahak kemungkinn Infeksi
terjadi 11. Apakah hubungan keluhan gigi nyeri atau ada infeksi 7. Diagnosis
pada bengkak dengan penyakit yang diderita? bakteri utama:
bagian 12. Apa hubungan penglihatan ganda atau 4. Karena banyak Rhinosinusiti
telinga, penurunan visus, sekitar mata bengkak, cairan dari s kronik
hidung mata juling dengan penyakit yang sinus maxilaris 8. Rhinitis
maupun
diderita? dan ke hidung alergi
tenggorok
an. 13. Mengapa ada penebalan mukosa di sinus 5. Karena cairan (macam-
3) Gingiva: maxilla bisa masuk ke macam
Gingiva (g Pemeriksaan Fisik bagian rhinitis)
usi) adalah - Keadaan umum : komposmentis, sakit ringan nasopharyng 9. Rhinosinusiti
bagian - Status gizi : cukup 6. Karena hidung s akut
mukosa di - Tanda vital : tersumbat 10. Sinusitis
dalam o Suhu 38,50C sehingga dentogen
rongga o Nadi 80 x/mnt odorantnya
mulut yang o TD 120/80 tidak dapat di
mengelilin salurkan ke
o RR 20 x/mnt
gi gigi dan reseptor
menutupi
Status generalis:
Kepala : normocephali penghidu
lingir
(ridge) Mata : anemis -/-, ikterus -/-, reflek pupil +/+
alveolar Thorak : denyut jantung regular, tidak ada bising jantung
4) air fluid Pulmo : suara dasar vesikuler, retraksi intercostae (-), wheezing (-), rhonki (-)
level: hasil Abdomen :
foto - inspeksi : datar
rontgen - Auskultasi : bunyi usus normal
untuk - Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba,
mendiagno nyeri tekan (-), nyeri lepas (-)
sis Ekstremitas dan kulit : dalam batas normal
rhinosinusi Status lokalis :
tis a. Telinga : normal
5) post nasal b. Hidung:
drip: lendir (anterior rinoskopi dengan nasal spekulum dan
menumpuk lampu kepala) : pus di meatus media,
di mukosa oedema, hiperemis dan hipertrofi.
belakang Septal deviasi. Tidak ada polip.
sinus dan Transluminasi : gelap di sinus maxillaris kiri,
menetes
di sinus maxillaris kanan terang
ke dalam
2
tenggorok c. Wajah : nyeri tekan di sinus maxillaris kiri
an dan d. Mulut : karies (+) , tidak ada infeksi di
dada. gingiva
e. Tenggorok:
Inspeksi
- Tampak adanya post nasal drip.
- Tonsil : normal
- Dinding faring post. : normal
- Uvula : Deviasi (-)
f. Leher
- Kelenjar limfe : Pembesaran (-)
- Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
- Nodul : (-)
Pemeriksaan Penunjang
Darah
- Hb: 14 mg/dl (N: 13 – 17 mg/dl)
- Ht: 45% (N: 42 – 51%)
- Leukosit 12.000/mm2 (N: 6000 –
11.000/mm3)
X Ray sinus : Daerah sinus maksilaris tampak
perselubungan, air fluid level (+) disertai
dengan penebalan mukosa.
Diagnosis
Rhinosinusitis kronis eksaserbasi akut ec
rhinitis alergika dan deviasi septum
Penatalaksanaan
 Medikamentosa
- Antibiotik: eritromisin (50 mg/kgBB/hari)
atau cefixime (2 x 100 mg/hari) atau
azithromicin (1 x 500 mg/hari) selama 10-14
hari
- Corticosteroid nasal spray contoh avamsyt
nasal spray hidung kanan dan kiri
- Analgetik oral.
- Dekongestan contoh rhinos SR 2 kali sehari
- Mukolitik

3
 Non Medikamentosa
Edukasi untuk nasal saline irrigation dengan NaCl 0.9% sebanyak 250 cc tiap hari
-
dilakukan irigasinya.
- Rujuk SpTHT-KL jika tidak berhasil
dengan pengobatan tahap pertama.

Mekanisme

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama Deviasi septum

kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik


terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil


Histamin

↓ ↓ ↓ ↓

Rasa gatal pada hidung bersin-bersin hipersekresi kelenjar mukosa & sel goblet peningkatan permeabilitas kapiler

4

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
berbagai sitokin. (113, lL4, lL5, lL6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating
Factor)

Vasodilatasi mukosa hidung



Peningkatan permeabiliitas vascular

Ekstravasasi cairan

Edema mukosa

Obstruksi Kompleks osteomiatal (KOM)

Drainase mukus terhambat


Penumpukkan mukus di sinus
Mucus overflow 5
↓ Obstruksi nasal
↓ ↓ ↓ Hiposmia
Anatomi dan Fisiologi Hidung

2.1.1. Anatomi Hidung

Bagian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari nares anterior

hingga koana di posterior yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi

membagi tengah bagian hidung dalam menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Setiap kavum

nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior.13

Bagian inferior kavum nasi berbatasan dengan kavum oris dipisahkan oleh palatum

durum. Ke arah posterior berhubungan dengan nasofaring melalui koana. Di sebelah

lateral dan depan dibatasi oleh nasus externus. Di sebelah lateral belakang berbatasan

dengan orbita : sinus maksilaris, sinus etmoidalis, fossa pterygopalatina, fossa

pterigoides.13

Gambar 1. Anatomi kavum nasi14

6
A) Dasar hidung

Dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum.

Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, dan tulang-tulang

os nasale, os frontale lamina cribrosa, os etmoidale, dan corpus os sphenoidale.

Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Septum nasi terdiri atas

kartilago septi nasi, lamina perpendikularis os etmoidale, dan os vomer.

Sedangkan di daerah apex nasi, septum nasi disempurnakan oleh kulit, jaringan

subkutis, dan kartilago alaris major. 15

B) Dinding lateral

Dinding lateral dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu di anterior terdapat

prosesus frontalis os maksila, di medial terdapat os etmoidal, os maksila serta

konka, dan di posterior terdapat lamina perpendikularis os palatum, dan lamina

pterigoides medial. Bagian terpending pada dinding lateral adalah empat buah

konka. Konka terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior kemudian

konka yang lebih kecil adalah konka media, konka superior dan yang paling kecil

adalah konka suprema. Konka suprema biasanya akan mengalami rudimenter.15

Diantara konka- konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang

dinamakan dengan meatus. Terdapat tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan

superior.15,16

Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit

antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Resesus

8
sfenoetmoidal terletak di posterosuperior konka superior dan di depan

konka os spenoid. Resesus sfenoetmoidal merupakan tempat bermuaranya sinus

sfenoid.15

Meatus media merupakan salah satu celah yang di dalamnya terdapat

muara sinus maksila, sinus frontal dan bagian anterior sinus etmoid. Di balik

bagian anterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateralnya

terdapat celah berbentuk bulan sabit yang disebut sebagai infundibulum. Muara

atau fisura berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan

infundibulum dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial

infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai

prosesus unsinatus. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan sel-sel etmoid

anterior bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel etmoid anterior

biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila bermuara di posterior

muara sinus frontal.15

Meatus nasi inferior adalah yang terbesar di antara ketiga meatus,

mempunyai muara duktus nasolakrimalis yang terdapat kira-kira antara 3 sampai

3,5 cm di belakang batas posterior nostril.15

9
C) Septum Hidung

Gambar 2. Anatomi septum hidung14

Septum membagi kavum nasi menjadi ruang kanan dan kiri. Bagian

posterior dibentuk oleh lamina perpendikularis os etmoid, bagian anterior oleh

kartilago septum, premaksila dan kolumela membranosa. Bagian posterior dan

inferior oleh os vomer, krista maksila, krista palatina dan krista sfenoid.15

Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang

a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina mayor yang

disebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya

superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber

epistaksis (pendarahan hidung) terutama pada anak.17

10
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan

berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung

bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena

di hidung tidak memiliki katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk

mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intrakranial.17

Gambar 3. Vaskularisasi Hidung14

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari

n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari

n.oftalmikus (N.V1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan

sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum

selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor

atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut

sensoris dari n.maksila (N.V2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis

mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion

sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka

media.17

11
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah

bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa

olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.17,18

Gambar 4. Inervasi hidung14

2.1.2 Fisiologi Hidung

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka

fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk

mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi,

penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2)

fungsi penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir

udara untuk menampung stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk

resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri

melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan

beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.17

12
2.2 Sumbatan Hidung

2.2.1 Definisi Sumbatan Hidung

Hidung tersumbat atau kongesti hidung terjadi karena adanya aliran udara

yang terhambat dikarenakan rongga hidung yang menyempit. Penyempitan rongga

ini bisa terjadi akibat proses inflamasi yang memberikan efek vasodilatasi atau

sekresi mukus yang berlebih, kelainan struktural anatomi yang mempersempit

rongga, serta infeksi.19

2.2.2 Faktor yang berpengaruh

2.2.2.1 Rinitis Alergi

Reaksi alergi terdiri atas dua fase yaitu fase sensitisasi dan fase aktivasi.

Paparan alergen terhadap mukosa menyebabkan alergen tersebut dipresentasikan

oleh Antigen Presenting Cell (APC) ke CD4+ limfosit T. Ikatan antara sel penyaji

antigen dan sel Th0 memicu deferensiasi Sel Th0 menjadi sel Th2. Hal ini

mengakibatkan sitokin-sitokin IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan Granulocyte-

Macrophage Colony-Stimulating (GMCSF) dilepaskan.12

IL 3 dan IL4 kemudian berikatan dengan reseptornya yang berada pada

permukaan sel limfosit B dan menyebabkan aktivasi sel B untuk memproduksiIgE.

IgE dapat berikatan dengan reseptornya (FceRI) di permukaan sel mast yang ada di

sirkulasi darah dan jaringan membentuk ikatan IgE-sel mast. Dengan adanya

komplek tersebut, individu ini disebut individu yang sudah tersensitisasi.19

Selanjutnya, pada fase aktivasi, paparan antigen yang sama pada mukosa

nasal akan menyebabkan adanya crosslinking (ikatan antara dua molekul igE yang

13
berdekatan pada permukaan sel mast dan basofil dengan alergen yang polivalen).

Hasil akhirnya adalah degranulasi sel mastosit dan basofil hingga pengeluaran

mediator kimia (preformed mediators) terutama histamin, triptase, dan bradikinin.

Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain PGD2,

LTD4, LTC4, bradikinin, TNF-α, IL-4, serta Platelet Activating Factor (PAF) dan

berbagai sitokin.19 Mediator-mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil

akan berikatan dengan reseptor yang berada pada ujung saraf, endotel pembuluh

darah, dan kelenjar mukosa hidung.

Histamin sebagai mediator utama yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil

mengakibatkan lebih dari 50% gejala reaksi hidung. Efek histamin pada kelenjar

karena aktivasi reflek parasimpatis yang meningkatkan efek sekresi kelenjar dan

mengakibatkan gejala rinore dengan seros yang akan memperberat gejala

sumbatan hidung. Histamin juga menstimulasi sel-sel endotel untuk mensintesis

relaxan yang bekerja pada pembuluh darah seperti Prostaglandin (PGI)2 dan Nitrit

Oksida (NO) yang menyebabkan vasodilatasi dan timbulnya gejala hidung.19

Leukotrien berefek pada maturasi esinofil, bertindak sebagai

chemoattractants eosinofil, mendorong adhesi eosinofil dan menginhibisi

apoptosis eosinofil.20 PGI D2 adalah prostanoid utama yang diproduksi pada fase

cepat reaksi alergi. Prostaglandin berhubungan dengan efek hipertrofi dan

infalamasi pada hidung dan peningkatan jumlah eosinofil. Prostaglandin akan

terikat pada reseptornya di pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi.21

14
Eosinofil adalah sel yang paling berperan dalam RAFL. Eosinofil

melepaskan berbagai mediator pro-inflamasi seperti leukotrien sisteinil, eosinofil

peroksidase dan protein basic.22 Sitokin lain, PAF, juga mempunyai peranan dalam

mekanisme sumbatan hidung dengan cara retraksi dan relaksasi sel-sel endotel

pembuluh darah dan vasodilatasi.19

Hasil pelepasan sitokin dan mediator lain adalah mukosa nasal menjadi

terinfiltrasi dengan sel inflamasi seperti eosinofil, neutrofil, basofil, sel mast dan

limfosit. Hal ini membuat reaksi inflamasi pada mukosa hidung semakin parah

sehingga menyebabkan hidung tersumbat.

2.2.2.2 Kelainan Anatomi

Anatomi bentuk hidung seseorang akan sesuai dengan tipe suku bangsa

atau ras tertentu. Bentuk dan ukuran hidung bagian luar akan mempengaruhi

ukuran dan bentuk hidung bagian dalam atau rongga hidung, sehingga akan

mempengaruhi pula tahanan hidungnya. Kelainan anatomi yang dapat

menyebabkan sumbatan hidung adalah septum deviasi, konka hipertrofi, konka

bulosa. Sedangkan kelainan anatomi yang bersifat kongenital adalah atresia koana

dan celah palatum.

A) Septum Deviasi

Bentuk septum normal adalah lurus di tengah rongga hidung, namun bisa

terdapat kelainan berupa septum yang tidak terletak di tengah yang disebut septum

deviasi. Septum deviasi dapat menyebabkan gangguan jalan napas dan gejala

15
sumbatan hidung. Defleksi anterior yang memiliki dampak terbesar pada aliran

udara.

Tipe septum menurut Mladina adalah23 :

-Tipe I, terdapat rista unilateral di puncak septum yang tidak mengganggu

fungsi katup hidung

-Tipe II, krista unilateral di ujung konka media

-Tipe III, terdapat krista unilateral di ujung konka media

-Tipe IV, terdapat dua krista, satu krista terletak berdekatan dengan ujung

konka media, sedangkan krista lain terletak di sisi berseberangan pada area

katub

-Tipe V, krista unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain septum

lurus.

-Tipe VI, menunjukan sulkus pada sisi yang berseberangan dengan krista

16
-Tipe VII adalah campuran dari jenis I ke VI.

Gambar 5. Klasifikasi Tipe Septum Menurut Mladina23

Menurut Janardhan, klasifikasi septum deviasi tipe V yang paling banyak

(46%) pada 100 pasien dengan septum deviasi yang paling sering menimbulkan

gangguan pada aliran udara di rongga hidung adalah tipe III-VI.24

Jin RH et al juga membagi septum deviasi berdasarkan berat atau

ringannya keluhan yaitu ringan ketika deviasi kurang dari setengah rongga hidung

dan belum ada bagian septum yang menyentuh dinding lateral hidung, sedang

ketika deviasi kurang dari setangah rongga hidung tetapi ada sedikit bagian septum

yang menyentuh dinding lateral hidung dan berat ketika septum deviasi sebagian

besar sudah menyentuh dinding lateral hidung.25

17
B) Konka Hipertrofi

Konka terdiri dari struktur tulang yang dibatasi oleh mukosa. Mukosanya

memiliki epitel kolumnar pseudostratifed bersilia dengan sel goblet dan banyak

mengandung pembuluh darah dan kelenjar lendir. Konka melindungi hidung

dengan mengatur temperatur dan kelembaban udara inspirasi dan menyaring

benda-benda asing yang terhirup bersama udara inspirasi. Hipertrofi konka

menimbulkan keluhan hidung tersumbat dengan mekanisme proses inflamasi.

Inflamasi dapat diakibatkan rinitis maupun rinosinusitis. Inflamasi ini

menyebabkan adanya vasodilatasi, dan produksi mukus yang meningkat sehingga

aliran udara terhambat dan timbul gejala hidung tersumbat.15

2.2.2.3 Tumor Hidung

Tumor hidung adalah pertumbuhan ke arah ganas yang mengenai hidung

dan lesi yang menyerupai tumor pada rongga hidung, termasuk kulit dari hidung

luar dan vestibulum nasi. Tumor hidung sering tidak diketahui sejak dini karena

letaknya yang terlindung dan sulit dideteksi. Gejala awalnya pun tidak spesifik

seperti hidung tersumbat, epistaksis, atau nyeri wajah.26

Klasifikasi tumor hidung dibagi menjadi 2, yaitu tumor hidung ganas dan

tumor hidung jinak. Contoh tumor jinak adalah papilloma squamosa, displasia

fibros dan angiofibroma. Sedangkan contoh tumor ganas adalah melanoma,

karsinoma adenoid kistik, dan karsinoma sel squamosa..26

18
Tumor hidung mengakibatkan kavum nasi semakin menyempit. Hal ini

akan berakibat pada tahanan hidung yang meningkat sehingga aliran udara

terhambat dan semakin sempit yang akhirnya menyebabkan sumbatan hidung.

2.2.2.4 Pemakaian obat

Obat-obatan seperti ACE inhibitor, Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs

(NSAIDs), pil KB dapat menyebabkan rinitis yang terinduksi obat (drug induced

rhinitis) yang menimbulkan gejala hidung tersumbat.

A) NSAID

Obat-obatan NSAID (terutama aspirin) mempunyai mekanisme menghambat

enzim COX-1 sehingga menyebabkan pergeseran metabolisme asam arakidonat ke

lipooxigenase pathway. Hal ini mengakibatkan penurunan produksi tromboksan

dan prostaglandin. Penurunan PGI2 menghasilkan peningkatan produksi sisteinil

leukotrien oleh lipooxygenase yang melibatkan jalur enzim 5-lipooxygenase (5-

LO). Leukotrien C4, D4 dan E4 (LTC4, D4, E4) adalah semua produk dari jalur ini

dan secara kolektif dikenal sebagai cysteinyl leukotrien. LTC4 sintase adalah

enzim yang bertanggung jawab untuk produksi LTC4. Alel dari LTC4 gen

synthase (alel

C) telah diidentifikasi pada individu dengan sensitivitas aspirin. Insiden ekspresi C

alel lebih tinggi pada individu yang memiliki sensitivitas terhadap aspirin. Pada

individu dengan sensitivitas aspirin terjadi overproduksi zat leukotrien yang

bersifat pro-inflamasi. 27

19
B) ACE inhibitor

Salah satu efek ACE inhibitor adalah vasodilatasi sistemik melalui produksi

bradikinin.28 Hal ini menyebabkan terjadi vasodilatasi pada pembuluh darah

hidung sehingga dapat terjadi pembengkakan konka dan penyempitan rongga

hidung dan hidung tersumbat. Penggunaan ACE inhibitor dapat meningkatkan

produksi leukotrien dan prostaglandin E2. Mediator ini menyebabkan terjadinya

vasodilatasi dan peningkatan sekresi mukus sehingga mengakibatkan hidung

tersumbat.29

C) Pil Kontrasepsi Kombinasi (PKK)

Hormon yang digunakan dalam pil KB adalah estrogen dan progesteron.

Estrogen mempunyai reseptor yang tersebar di seluruh tubuh, termasuk hidung.

Diketahui reseptor estrogen juga terdapat pada kelenjar seromukus yang berada di

lamina propria. Efek lain estrogen adalah memodulasi reaksi inflamasi. Hal ini

mengakibatkan kadar estrogen yang meninggi akan sebanding dengan sekresi

mukus yang dihasilkan. Apabila mukus yang disekresi jumlahnya berlebih dapat

mengganggu aliran udara sehingga menyebabkan hidung tersumbat. Hasil

penelitian Philpott et al menyebutkan bahwa perempuan yang menggunakan

kontrasepsi mengalami peningkatan sumbatan hidung dibandingkan dengan

perempuan tanpa alat kontrasepsi.30

2.2.3 Pemeriksaan Derajat Sumbatan Hidung

Berdasarkan sifatnya, pemeriksaan gejala sumbatan hidung dapat dibagi

menjadi pemeriksaan subyektif dan pemeriksaan objektif.

20
2.2.3.1 Pemeriksaan Subjektif

Pemerisaan sumbatan hidung secara subjektif berdasar keluhan pasien.

Jenis pemerisaan subjektif yang telah mendapat validasi internasional adalah

Congestion Symptomp Score (CSS) of Total Nasal Symptom Score (TNSC),

Congestion Nquantifier Seven Item Test, Sinonasal Outcomes Test (SNOT)-22,

Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) Scale, Visual Analog Scale,

International Primary Care respiratory Group Guidelines Allergic rinitis

Questionnaire, rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (rQLQ), dan

Medical Outcomes Short Form-36.

Kelebihan pemeriksaan subyektif adalah lebih murah, mudah dan efektif.

Namun, karena berdasarkan asumsi pasien, sangat memungkinkan terjadinya bias.

1) Congestion Symptom Score (CSS) of Total Nasal Symptom Score

(TNSC)

TNSS adalah skala tervalidasi untuk mengukur agregasi gejala hidung

berhubungan dengan rinitis alergi. Item yang dinilai adalah obstruksi hidung,

hidung gatal, hidung berair dan bersin. Kriteria penilaian : Sangat ringan (0-2),

ringan (3-6), sedang : (7-9), parah (10-12).31

2) Sinonasal Outcomes Test (SNOT)-22

SNOT 22 meupakan penilaian subjektif yang valid dan mudah. SNOT-22

lebih banyak digunakan pada post-operasi. Item yang dinilai : Hidung berair,

telinga penuh, penurunan konsentrasi, kelelahan, dll.32

21
3) Visual Analog Scale (VAS)

VAS merupakan cara pengukuran subyektif menggunakan garis linier yang

berskala 0 sampai 10 cm. Nol artinya tidak ada sumbatan hidung sama sekali dan

10 artinya hidung tersumbat parah.33

Ada beberapa tipe VAS, horizontal simple, horizontal middle-marked,

horizontal graphic, horizontal graduated, horizontal graduated, horizontal

numerical.

4) Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE) Scale

NOSE scale adalah penilaian subjektif derajat sumbatan hidung yang

didesain oleh Stewart tahun 2004 dan sudah diaptasi ke dalam bahasa Perancis,

Portugis dan Itali. NOSE scale terdiri atas 5 item obstruksi yang dinilai dengan

skala 1-5. Penilaian dilakukan per pertanyaan. Setiap pertanyaan dikonversi

menjadi skala 0-100 dengan mengalikan 20. Skor 0 menunjukkan tidak adanya

obstruksi sama sekali, sedangkan 100 menunjukkan adanya obstruksi yang parah.

Meskipun pertanyaan dalam kuesioner cenderung singkat, NOSE scale telah

tervalidasi untuk menilai obstruksi hidung.34,35

Item yang dinilai dalam NOSE scale : 1) rasa seperti ada yang mengganjal

di hidung, 2) rasa hidung tertutup/buntu, 3) kesulitan bernafas melalui hidung

karena tersumbat, 4) gangguan tidur akibat hidung tersumbat, 5) kesulitan bernapas

melalui hidung selama latihan fisik. Penelitian Baraniuk membagi variabel skor

sumbatan hidung menjadi 4; diberi skor 0 bila tidak ada gangguan, skor 1 bila

keluhan sumbatan hidung ringan, skor 2 bila keluhan sumbatan hidung sedang, dan

22
skor 3 bila keluhan sumbatan hidung berat. Skor dijumlahkan sehingga didapatkan

nilai skor total, dikelompokkan menjadi tidak ada sumbatan hidung (skor = 0),

terdapat sumbatan hidung ringan (skor = 1-5), sedang (skor = 6-10), dan berat

(skor

= 11-15).36

2.2.3.2 Pemeriksaan Objektif

Pemeriksaan sumbatan hidung secara objektif yang telah mendapat

sertifikasi internasional adalah pemeriksaan patensi hidung secara kuantitatif

diantaranya adalah mengukur aliran udara pernafasan dengan Peak Nasal

Inspiratory Flow (PNIF), atau dengan mengukur tekanan dan aliran udara hidung

dengan rinomanometri dan rinometri akustik.33 Rinomanometri lebih banyak

digunakan untuk mengevaluasi sumbatan hidung, sementara rinometri lebih

banyak digunakan untuk melihat lokasi obstruksi lebih jelas dalam hidung..33

Pemeriskaan objektif juga dapat dilakukan dengan nasal endoscopy, rhinoscopy,

CT-scan, MRI, Nasal spirometer, Rhinostereometer. Rinomanometri dan PNIF

mendapat ingkat rekomendasi tertinggi dalam menilai sumbatan hidung.37

Kelebihan dari pemeriksaan objektif ialah tidak berdasar pada asumsi

pasien yang bisa jadi salah. Namun, alat-alat yang digunakan cukup canggih. Tidak

bisa didapat dengan mudah dan tidak semua fasilitas kesehatan memilikinya

23
24
FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

Berdasarkan teori struktural, teori revolusioner dan teori fungsional, maka fungsi fisiologis hidung
dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring
udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal ; 2) fungsi
penghidu, karena terdapanya mukosa olfaktorius (penciuman) dan reservoir udara untuk menampung
stimulus penghidu ; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses berbicara dan
mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk
meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal.

Anatomi dan Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal

Struktur hidung luar berbentuk piramida tersusun oleh sepasang tulang hidung pada bagian superior
lateral dan kartilago pada bagian inferior lateral. Struktur tersebut membentuk piramid sehingga
memungkinkan terjadinya aliran udara di dalam kavum nasi (Krouse dan Stachler, 2006). Dinding lateral
kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan meatus. Meatus merupakan ruang di antara
konka (Ballenger, 2016). Meatus media terletak di antara konka media dan inferior yang mempunyai peran
penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini kelompok sinus anterior (sinus frontal,
sinus maksila dan sinus etmoid anterior) berhubungan dengan hidung (Ballenger, 2016; Krouse dan
Stachler, 2006). Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada permukaan
lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis (Ballenger, 2016). Septum nasi merupakan
struktur tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago septum, premaksila
dan kolumela membranosa. Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi hidung dan
menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks ostiomeatal dan hambatan aliran sinus.
Meatus inferior berada diantara konka inferior dan rongga hidung. Pada permukaan lateral meatus lateral
terdapat muara duktus nasolakrimalis (Ballenger, 2016). 6 Gambar 2.1. Dinding lateral hidung (Levine,
2005) Perdarahan hidung berasal dari a. etmoid anterior, a. etmoid posterior cabang dari a. oftalmika dan a.
sfenopalatina. Bagian anterior dan superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari
a. etmoid anterior, sedangkan cabang a. etmoid posterior yang lebih kecil hanya mensuplai area olfaktorius.
Terdapat anastomosis di antara arteri-arteri hidung di lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior
septum yang disebut pleksus Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi
predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Persarafan hidung terutama berasal dari cabang
oftalmikus dan cabang maksila nervus trigeminus (Ballenger, 2016). Fungsi fisiologi hidung adalah
penghidu, filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat udara dan resonansi suara. Sistem vaskuler dan sekresi
hidung berperan penting dalam mempersiapkan udara inspirasi sebelum masuk ke saluran napas atas dan
trakeobronkial (Metson, 2005; Krouse dan Stachler, 2006; Walsh dan Kern, 2006). Saat inspirasi udara

25
masuk ke vestibulum dengan arah vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal
valve terjadi turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak dengan permukaan mukosa 7
hidung yang luas (Dhillon dan East, 1999). Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi
penghangat dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi (Krouse dan Stachler, 2006; Walsh dan Kern, 2006).
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus sfenoid dan sinus frontal.
Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas empat jenis sel yaitu sel
kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel basal. Membran mukosa bersilia
bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Jumlah silia
makin bertambah saat mendekati ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan
drainasenya ke hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium (Ballenger, 2016). Berdasarkan
lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung, sinus dibagi menjadi kelompok sinus anterior
dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara
ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok sinus posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid
yang bermuara di atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya kompleks osteomeatal,
transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal (Ballenger, 2016). 8 Gambar 2. 2 Penampang koronal
sinus paranasal. (Levine, 2005) Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok
sinus anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris, infundibulum etmoid,
bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur anatomi tetapi
merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang inflamasi atau massa yang akan
menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi infeksi sinus (Ballenger, 2016). Gambar 2. 3.
Kompleks ostiomeatal (KOM), potongan koronal. (Levine, 2005) 9 Sinus maksila disebut juga antrum
Highmore merupakan sinus paranasal terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan
palatum durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar ke dua, gigi molar
pertama dan ke dua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya dipisahkan oleh membran mukosa,
sehingga proses supuratif di sekitar gigi tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus. Silia sinus maksila
membawa mukus dan debris langsung ke ostium alamiah di meatus media. Perdarahan sinus maksila
dilayani oleh cabang a. maksila interna yaitu a. infraorbita, a. sfenopalatina cabang nasal lateral, a. palatina
descendens, a. alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani oleh cabang
nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n. infraorbital (Ballenger, 2016). Sinus frontal merupakan
pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus
frontal. Perdarahan dilayani oleh cabang supratroklear dan suborbital a. oftalmika, sedangkan vena dialirkan
ke sinus kavernosus. Inervasi mukosa dilayani oleh cabang supratrokhlear dan supraorita n. V1 (Ballenger,
2016). Sinus etmoid terdiri dari sel etmoid anterior yang bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel
etmoid posterior yang bermuara ke meatus superior (Ballenger, 2016; Krouse dan Stachler, 2006). Cabang
26
nasal a. sfenopalatina dan a. etmoid anterior dan posterior, cabang a. oftalmika dari sistem karotis interna
melayani sinus etmoid dan aliran venanya menuju sinus kavernosus. Inervasi 10 dilayani oleh cabang nasal
posterior nervus V2 dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1 (Ballenger, 2016). Sinus sfenoid
merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting
yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons
serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan
beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a. sfenopalatina dan a. etmoid posterior.
Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2
(Ballenger, 2016). Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai pertahanan
tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia
dan produksi mukus yang normal. Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah
patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki
peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam
keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada
karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung
kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport mukosiliar (Jackman dan
Kennedy, 2006).

27
RHINOSINUSITIS

Definisi

Sinusitis adalah keadaan inflamasi pada sinus sedangkan Rhinitis adalah inflamasi pada membrana mukosa.
Karena letak sinus yang berdekatan dengan membran mukosa hidung serta struktur epitel yang sama
menyebabkan hampir setiap keadaan sinusitis bersamaan dengan Rhinitis yang disebut Rhinosinusitis
(suatu penyakit yang ditandai dengan peradangan pada mukosa hidung dan sinus paranasal.

Etiologi

1. Virus
Rhinosinusitis akibat virus disebut Common cold. Contoh: Rhinovirus, coronavirus, adenovirus,
influenza virus, enterovirus.
2. Bakteri
Contoh: Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus grup A,
Staphilococcus aureus, Neisseria sp
3. Jamur
Contoh: Aspergillus dan candida
4. Masalah pada gigi
Epidemiologi

1. Terjadi paling banyak pada musim hujan atau musim dingin dan pada daerah dengan udara atau
polusi udara yang tinggi
2. Perempuan > laki-laki
3. Biasa terjadi pada usia 40-46 tahun
Faktor Resiko

28
Faktor resiko terdiri dari 2 jenis yaitu Eksogen dan Endogen

Endogen

1. Genetik
2. Alergi/kondisi imun tubuh
3. Kelainan kongenital(kista fibrosis sindrom silia imotil)
4. Kelainan anatomi ( ostium sinus sempit)
5. Kelainan endokrin
6. Penyakit sistemik
7. Gangguan metabolik keganasan
Eksogen

1. Paparan agen infeksi


2. Lingkunan (polusi, udara dingin/kering),
3. Bahan kimia berbahaya
4. Kebiasaan merokok

Klasifikasi

1.Rhinosinusitis Akut (RSA)


2. Rhinosinusitis subakut (RSSA)
3. Rhinosinusitis Akut Berulang ( Reccurent Acute Rhinosinusitis)

4. Rhinosinusitis Kronik (RSK)

5. Rhinosinusitis Kronik Ekserbasi Akut

1) Rhinosinusitis Akut
Gejala muncul tiba tiba dan berlangsung kurang dari 4 minggu, setelah itu seluruh gejala akan
menghilang. Pada RSA Viral akan memburuk setelah 5 hari sedangkan pada RSA bakteri akan menetap
setelah 10 hari

2) Rhinosinusitis Subakut

29
Gejala berlangsung antara 4 sampai 12 minggu. Rhinosinusitis Subakut merupakan perkembangan
dari RSA yang tidak membaik dalam 4 minggu,dengan gejala lebih ringan daripada RSA. Penderita
RSSA mungkin sebelumnya sudah mendapat perawatan namun mengalami kegagalan atau terapi
belum adekuat
3) Rhinosinusitis Akut Berulang
terjadi serangan multiple yang setiap serangannya berlangsung 7- 10 hari dan kurang dari 30 hari
(>4 kali serangan pertahun) dan terdapat gejala gejala asymptomatic interval
4) Rhinosinusitis Kronik
Gejala berlangsung berturut turut selama >12 minggu seperti:

1. Pilek > 3 bulan


2. Ada sekret post nasal di nasofaring
3. Rinore dengan ingus yang kental dan berbau busuk

Rhinosinusitis kronik dibagi menjadi 2 yaitu :

1. RSK dengan polip ditandai dengan mukosa polipoid dengan edema, infiltrasi eusinofil
2. RSK tanpa polip ditandai dengan hiperplasia kelenjar seromukosa submukosa yang Jelas

5) Rhinosinusitis kronik Ekserbasi Akut


Penderita RSK yang memiliki gejala yang menetap, pada suatu saat akan terjadi gejala yang tiba
tiba memburuk karena infeksi yang berulang

30
Gejala Klinis

Kriteria diagnosis dibutuhkan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor dan 2 gejala minor.
Gejala Mayor

- Obstruksi hidung/sumbatan
- kongesti wajah (penuh)
- Sekret hidung purulen
- Nyeri Tekan pada Wajah
- Gangguan penghidu, seperti Hiposmia (daya penciuman menurun) atau Anosmia(tidak mampu
merasakan sensasi penciuman)
- Demam (hanya pada RS Akut)

Gejala Minor

- Sakit Kepala
- Halitosis (bau mulut)
-Lemah/Letih
- Nyeri gigi
- Batuk
- Nyeri Tekan dan rasa penuh pada telinga

31
Diagnosis
1. Anamnesis
Menanyakan riwayat dan perjalanan penyakit dan menemukan setidaknya 2 gejala mayor atau 1
gejala mayor dengan 2 gejala minor.

2. Pemeriksaan Fisik
a) Rinoskopi Anterior
Ditemukan kelainan-kelainan di rongga hidung yang berkaitan dengan RS, seperti oedema,
hiperemis, septum deviasi, sekret, krusta, polip, atau tumor. Dilakukan pada kondisi rongga
hidung yang lapang (bisa diberi dekongestan terlebih dahulu)

b) Rinoskopi Posterior
Untuk melihat rongga hidung bagian belakang dan nasofaring. Ditemukan kelainan seperti
Postnasal drip, dll.

3. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan Radiologis
Pilihan utama untuk menilai gambaran sinus adalah CT-Scan (nilai objektif tinggi), kelainan pada
sinus dan Kompleks Ostiomeatal (KOM) dapat terlihat jelas. Indikasinya adalah untuk evaluasi
lebih lanjut apabila pengobatan medikamentosa tidak memberi respon seperti yang diharapkan.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah foto polos dengan posisi Waters, PA, dan lateral.
Dapat juga dilakukan MRI jika ada kecurigaan komplikasi pada orbita dan intrakranial.

32
Gambar: proyeksi Water’s yang menunjukkan air fluid level

b) Transiluminasi
Pemeriksaan dalam ruangan gelap dengan menggunakan senter yang diarahkan ke dalam mulut,
untuk menilai kelainan pada sinus frontalis dan sinus maksilaris. Akan memperkuat diagnosis,
apabila hasil transiluminasi kanan dan kiri berbeda. Sinus yang terisi cairan akan tampak suram /
gelap.

33
Komplikasi

Komplikasi rinosinusitis yang berat dapat terjadi pada rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronik
eksaserbasi akut, meliputi komplikasi ekstrakranial dan intrakranial. Komplikasi intrakranial dapat berupa
meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan trombosis sinus kavernosus. Komplikasi
ekstrakranial terutama mengenai orbita, hal ini disebabkan letak sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Komplikasi pada orbita yang dapat terjadi yakni edema palpebra, sellulitis orbita, abses
subperiostal, dan abses orbita. Komplikasi pada rinosinusitis kronis dapat berupa osteomielitis dan abses
subperiostal maupun kelainan pada paru seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis (Soepardi, 2012; Thaler,
2001).

Prognosis
Biasanya peradangan (khususnya yang disebabkan oleh virus) akan sembuh dengan sendirinya
dengan prognosis baik, namun untuk infeksi bakteri prognosis akan baik jika pengobatan adekuat.

Patofisiologi

34
Corticosteroid nasal spray:
avamsyt nasal spray

Dekongestan:
Rhinos SR

Mukolitik

35
Antibiotik

Analgesik

36
TATA LAKSANA

Rhinosinusitis Kronik eksaserbasi akut ec. rhinitis alergika dan deviasi septum

A. Antibiotik
1. Eritromisin

 Antibiotika golongan makrolid mempunyai cincin lakton yang besar dalam rumus
molekulnya
 Eritromisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces erythreus.
 Zal ini berupa Kristal berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2 mg/ml.
 Eritromisin larut lebih baik dalam etanol atau pelarut organik.
 Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana asam, kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup
stabil pada suhu rendah.
 Aktivitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis.
 Farmakokinetik
- Basa eritromisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas
- Aktivitasnya hilang oleh cairan lambung dan absorpsi diperlambat oleh adanya makanan
dalam lambung. (diberi selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester
stearat atau etilsuksinat.)
- Dengan dosis oral 500 mg eritromisin basa dapat dicapai kadar puncak 0,3-1,9 ug/ml
dalam waktu 4 jam.
- Hanya2-5% erilromisin yang diekskresi dalam bentuk aktif melalui urin.
- Masa paruh eliminasi eritromisin adalah sekitar 1,6 jam.
- Obat ini diekskresi terutama melalui hati.
 Efek samping dan interaksi obat
- Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinolilia dan eksantem yang
cepat hilang bila terapi dihentikan.
- Eritromisin oral (terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna
seperti mual, muntah, dan nyeri epigastriurn.
- Eritromisin dilaporkan meningkatkan toksisitas karbamazepin, kortikosteroid,
siklosporin, digoksin, warlarin, dan teotilin,
 Dosis
- DEWASA
1-2 g /hari, dibagi dalam 4 dosis
- ANAK-ANAK
30-50 mg/kg bb sehari dibagi dalam 4 dosis

2. Cefixim

37
 Golongan : Sefalosporin generasi III
 Cefixime memiliki spektrum antibakteri yang luas
 Gram-positif seperti Streptococcus sp, Streptococcus pneumoniae,
 Gram-negatif seperti branhamella catarrhalis, Escherichia coli, proteus sp, Haemophillus
influenzae.
 Cara kerjanya: bakterisidal.
 Cefixime sangat stabil dan memiliki aktivitas yang baik terhadap beta-laktamase yang
dihasilkan banyak organisme.
 Farmakokinetik:
- Pemberian Cefixime secara oral dengan dosis tunggal 50, 100, atau 20 mg pada orang
dewasa sehat yang berpuasa, konsentrasi maksimum setelah 4 jam berturut-turut adalah:
0,69 ; 1,13 dan 1,95 mg/mL.
- Waktu paruh dalam serum: 2,3 – 2,5 jam.
- Penetrasi ke dalam air liur, tonsil, jaringan mukosa sinus maksilaris, sekret telinga,
cairan empedu, dan jaringan kantong empedu sangat baik.
- Tidak ditemukan metabolit antibakteri yang aktif pada serum manusia atau urin.
- Eksresi: ginjal.
 Mekanisme kerja

- Cefixime menghambat langkah akhir transpeptidasi sintesis peptidoglikan dengan cara


berikatan pada protein pengikat penisilin. Ketika pembentukan dinding sel terhambat,
aktivitas enzim autolysin dan murein hydrolase (enzim autolitik dinding sel) tetap
berlanjut akibatnya bakteri mengalami lisis
 Dosis
- Untuk orang dewasa dan anak dengan berat badan, > 30 kg : dosis yang dianjurkan
adalah 50-100 mg (potensi), 2 kali sehari.
- Pada infeksi yang berat atau dapat berinteraksi, dosis dapat ditingkatkan menjadi 200
mg (potensi), 2 kali sehari.
 Efek samping
- Syok
- Hipersensitivitas
- Granulositopenia atau eosinofilia
- Insufisiensi ginjal akut dapat terjadi.
38
-
Jarang terjadi colitis serius, seperti colitis pseudomonas, yang ditandai adanya darah
pada feses
- Jarang terjadi intestitial pneumonia atau gejala PIE
3. Azithromisin

 Azitromisin adalah suatu senyawa cincin makrolida lakton yang diturunkan dari
eritromisin.
 Antibiotik ini efektif terhadap bakteri gram positif, namun ada beberapa spesies bakteri
gram negatif yang sangat peka terhadap azitromisin, diantaranya Neisseria gonorrhoeae,
Campylobacter jejuni, M. Pneumonia, Legionella pneumophila dan C. Trachomatis.
 Farmakodinamik
- Azitromisin merupakan antibiotik spektrum sedang yang bersifat bakteriostatik
- Antibiotik ini bekerja dengan cara menghambat sintesis protein kuman
dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50.
- Azitromisin tidak menghambat pembentukan ikatan peptide, namun lebih pada
menghambat proses translokasi tRna dari tempat akseptor di ribosome ke lokasi
donor di peptidil
 Farmakokinetik
- Absorpsi: di usus halus bagian atas, namun karena sifatnya yang basa azitromisin
mudah hancur oleh asam lambung yang terdapat pada usus halus. Oleh sebab itu
obat ini harus diberikan dalam bentuk kapsul salut enterik.
- Kadar puncak: ½-5 jam
- Waktu eliminasi: 2-4 hari
- Distribusi: keseluruh tubuh kecuali otak dan cairan serebrospinal.
- Eksresi: dalam empedu dan hilang dalam feses, dan hanya 5% yang
diekskresikan melalui urin.
 Dosis
- 250mg dan 500mg untuk dewasa yang dibagi dalam 1 kali pemberian dalam
sehari.
-
200mg/5ml untuk anak yang dibagi dalam 1 kali pemberian sehari selama 3 hari.
 Efek samping
- Efek Samping
- Gangguan saluran pencernaan. (Anoreksia, mual, muntah dan diare)
- Toksisitas di Hati (hepatitis kolestatik akut)
- Reaksi alergi lain yang mungkin timbul meliputi demam, eosinofilia, dan ruam.

39
B. Kortikosteroid
1. Avamys Nasal Spray

 Fluticasone furoate adalah kortikosteroid trifluorinasi sintetis yang memiliki afinitas


sangat tinggi untuk reseptor glukokortikoid dan memiliki aksi antiinflamasi yang kuat.
 Farmakokinetik
- Absorpsi: di usus halus bagian atas, namun karena sifatnya yang basa azitromisin
mudah hancur oleh asam lambung yang terdapat pada usus halus. Oleh sebab itu
obat ini harus diberikan dalam bentuk kapsul salut enterik.
- Kadar puncak: ½-5 jam
- Waktu eliminasi: 2-4 hari
- Distribusi: keseluruh tubuh kecuali otak dan cairan serebrospinal.
- Eksresi: dalam empedu dan hilang dalam feses, dan hanya 5% yang
diekskresikan melalui urin.
 Dosis
40
- Dewasa dan remaja (12 tahun ke atas)
- Dosis awal yang disarankan adalah dua aktuasi semprotan (27,5 mikrogram
fluticasone furoate per semprotan) di setiap lubang hidung sekali sehari (dosis
total harian, 110 mikrogram).
- Anak-anak (usia 6 hingga 11 tahun)
- Dosis awal yang disarankan adalah satu aktuasi semprotan di setiap lubang
hidung sekali sehari (dosis total harian, 55 mikrogram).

C. Analgetik oral
1. Paracetamol

 Mekanisme kerja: Dengan menghambat produksi dari prostaglandin,maka jumlah


prostaglandin pada system saraf pusat menjadi berkurang sehingga respon tubuh terhadap
nyeri berkurang, efek analgetik parasetamol serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan
atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang
 Dosis : Dewasa : 300mg – 1 g per kali dengan 4 g maksimum; Anak 6- 12 tahun : 150-
300 mg/kal1; 1-6 tahun : 60-120 mg/kali; Bayi dibawah 1 tahun : 60mg / kali
 Farmakokinetik
- Parasetamol diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna.
- Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu setengah jam dan masa
paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh.
- Pengikatan obat ini pada protein plasma beragam, hanya 20%-50% yang
mungkin terikat pada konsentrasi yang ditemukan selama intoksikasi akut.
- Setelah dosis terapeutik, 90%-100% obat ini ditemukan dalam urin selama hari
pertama.
- Sebagian kecil parasetamol12 mengalami proses N-hidroksilasi yang
diperantarai sitokrom P450 yang membentuk N-asetil-benzokuinoneimin, yang
merupakan suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini bereaksi
dengan gugus sulfhidril pada glutation.
2. Ibuprofen

41
 Mekanisme kerja: Kerja ibuprofen sebagai antiinflamasi, analgesik dan antipiretik adalah
dengan cara inhibisi pada jalur produksi prostanoids, seperti prostaglandin E2 (PGE2) dan
prostaglandin I2 (PGI2), yang bertanggungjawab dalam mencetuskan rasa nyeri,
inflamasi dan demam. Ibuprofen menghambat aktivitas enzim siklooksigenase I dan II,
sehingga terjadi reduksi pembentukan prekursor prostaglandin dan tromboksan.
 Dosis : Dosis ibuprofen untuk dewasa: 200-400 mg secara oral setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan
 Farmakokinetik
- Ibuprofen diabsorpsi dengan cepat melalui saluran pencernaan dengan
bioavailabilitas lebih besar dari 80%.
- Puncak konsentrasi plasma dapat dicapai setelah 1-2 jam.
- Ibuprofen menunjukkan pengikatan (99%) yang menyeluruh dengan protein
plasma (Anderson, 2002).
- Pada manusia sehat volume distribusi relatif rendah yaitu (0,15 ± 0,02 L/kg).
- Waktu paruh plasma berkisar antara 2 - 4 jam.
- Kira-kira 90% dari dosis yang diabsorpsi akan dieksresi melalui urin sebagai
metabolit atau konyugatnya.
- Metabolit utama merupakan hasil hidroksilasi dan karboksilasi (Stoelting, 2006;
Sinatra, et al., 1992).
D. Dekongestan
1. Rhinos SR

 Rhinos SR bermanfaat untuk meredakan gejala akibat rhinitis alergi, seperti bersin, rasa
gatal pada hidung, hidung berair, dan hidung tersumbat.
 Bahan aktif: loratadine dan pseudoephedrine.
 Loratadine merupakan golongan antihistamin yang bekerja dengan cara mengurangi efek
histamin yang memicu reaksi alergi di dalam tubuh.
 Dosis Rhinos SR untuk dewasa dan anak-anak berusia 12 tahun ke atas adalah 1 kapsul
setiap 12 jam.

42
 Reseptor alfa-adrenergic (pada mukosa saluran pernapasan) vasokonstriksi
penyusutan bengkak selaput lendir hidung; pengurangan hiperemia jaringan, edema, dan
hidung tersumbat; peningkatan hidung patensi jalan napas; dan peningkatan drainase
sinus sekresi
 Reseptor beta2-adrenergicmelemaskan otot polos bronkial
 Melepaskan norepinefrin dari situs penyimpanan, efek tidak langsung. Ini adalah
mekanisme utama dan aksi langsung. Noradrenalin yang dipindahkan dilepaskan ke
sinaps saraf di mana ia bebas untuk mengaktifkan reseptor adrenergik pasca-sinaptik.
 Farmakokinetik
- ABSORPSI
Bioavailabilitas
Hampir sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan pada penggunaan oral.
Konsentrasi Puncak plasma tercapai dalam waktu sekitar 1,39-2,4 atau 3,8-6,1
jam setelah pemberian oral sebagai larutan oral atau sediaan diperpanjang-
release, secara berurutan.
- DISTRIBUSI
Dianggap melewati plasenta dan masuk CSF.
Sekitar 0,5% dari dosis oral didistribusikan ke dalam susu lebih dari 24 jam.
- METABOLISME
Tidak lengkap dimetabolisme di hati menjadi metabolit aktif
- ELIMINASI
Diekskresikan dalam urin; 55-96% dari dosis dihilangkan sebagai obat tidak
berubah
Waktu Paruh: 3-6 jam pada pH urin dari 5; 9-16 jam pada pH urin 8.
 Efek samping
- Efek sistem saraf (misalnya, stimulasi SSP, gugup, rangsangan, gelisah, pusing,
lemah, insomnia, sakit kepala, mengantuk)
- Efek kardiovaskular (misalnya, peningkatan iritabilitas dari otot jantung,
mengubah fungsi berirama ventrikel, takikardia, palpitasi).
E. Mukolitik
1. Bromhexin

 Merupakan obat yang dapat mengencerkan secret saluran napas


 Mekanisme kerja: Bromheksin merupakan secretolytic agent, yang bekerja dengan cara
memecah mukoprotein dan mukopolisakarida pada sputum sehingga mukus yang kental
pada saluran bronkial menjadi lebih encer, kemudian memfasilitasi ekspektorasi.
 Farmakokinetik
43
- Absorbsi : Bromhexine secara cepat diserap di saluran cerna. Metabolisme jalur
pertama berjumlah sekitar 75-80%. Penggunaan bersamaan dengan makanan
akan menyebabkan peningkatan konsentrasi plasma Bromhexine.
- Distribusi : Dari penelitian setelah pemberian Bromhexine secara oral, distribusi
ke jaringan paru (bronkus dan parenkim) adalah 32 mg dan 64 mg. Konsentrasi
pada jaringan paru dua jam pasca dosis 1.5 – 4.5 kali lebih tinggi pada jaringan
bronkiolo-bronkial dan antara 2.4 dan 5.96 kali lebih tinggi pada parenkim paru
dibandingkan dengan konsentrasi plasma.
- Metabolisme : Hampir seluruh Bromhexine di metabolisme menjadi berbagai
metabolit yang terhidroksilasi dan asam dibromanthranilic. Semua metabolit dan
Bromhexine itu sendiri sebagian besar akan terkonjugasi dalam bentuk N-
glucuronides dan 0 glucuronides.
- Ekresi : Bromhexine memperbaiki transpor mukus dengan mengurangi viskositas
mukus dan dengan mengaktifkan epitel bersillia (klirens mukosillia). Studi klinis
menunjukkan bahwa Bromhexine memiliki efek sekretolitik dan skretomotor
pada daerah saluran bronkus, yang dapat mempermudah pengeluaran dahak dan
batuk.
 Dosis
- Oral: diminum saat perut kosong (1 jam sebelum – 2 jam sesudah makan). Tablet
8 mg atau sirup 4 mg/5mL:
Dewasa dan anak-anak >10 tahun: 1 tablet atau 10 mL sirup 3 kali sehari, anak
5-10 tahun: 1/2 tablet atau 5 mL sirup 3 kali sehari, anak 2-5 tahun: 1/2 tablet atau 5
mL sirup 2 kali sehari.
 Efek samping
- Hipersensitivitas, syok dan reaksi anafilaktik, bronkospasme, mual, muntah,
diare, nyeri perut bagian atas, ruam, angioedema, urtikaria, pruritus
F. Tata laksana non-medikamentosa
1. Edukasi untuk nasal saline irrigation dengan NaCl 0.9% sebanyak 250 cc tiap hari dilakukan
irigasinya.

 EFEK :
Irigasi hidung dapat menjadi terapi yang efektif untuk meredakan gejala sinusitis kronis
maupun sinusitis akut yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan atas seperti flu
biasa.
 MEKANISME KERJA : Membilas rongga hidung dapat menenangkan jaringan yang
meradang dan menghilangkan iritasi seperti alergen; mungkin membantu membersihkan

44
lendir. Penggunaan khas melibatkan menuangkan atau memompa air garam melalui satu
lubang hidung dan membiarkannya mengalir dari yang lain.
2. Rujuk SpTHT-KL jika tidak berhasil dengan pengobatan tahap pertama.
 Pemanasan (diatermi) hidung
Tujuan: dengan menggunakan sinar gelombang pendek, akan menaikkan suhu
sinussebesar 1,7 – 2,2 °C. Sehingga memperbaiki vaskularisasi sinus (khususnya sinus
maksilaris).
 Rencana Irigasi Sinus
Langkah mengeluarkan secret dari rongga sinus maksila yang dapat dilakukan melalui
ostium sinus maksila di meatus medius. Dilakukan 2-3 hari sekali. Jika terdapat nanah,
dinyatakan pengobatan konservatif ini tidak berhasil dan dipertimbangkan pengobatan
secara operatif.
 Caldwell-Luc Operation
Dilakukan apabila terjadi kegagalan pada terapi konservatif
G. Referensi
- Farmakologi UI
- Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis. Teuku Husni T.R. Fakultas Kedokteran Universitas
Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
- Jurnal FK UNDIP
- Repository USU

45
SINUSITIS DENTOGEN

Definisi

• Sinusitis : peradangan pada sinus paranasal


• Sinusitis Dentogen : sinusitis akibat infeksi gigi rahang atas (premolar dan molar)
• Konsensus tahun 2004:
o Akut dengan batas sampai 4 minggu
o Subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan
o Kronik jika lebih dari 3 bulan
o Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik.
Etiologi

• Bakteri gram +
Contoh: Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Streptococcus grup A, Staphilococcus
aureus, Neisseria sp

Gejala

• Nyeri pada salah satu pipi


• Ingus kental kekuningan
• Napas berbau busuk
• Rasa penuh pada wajah
• Hidung tersumbat

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-
gejala dibawah ini yaitu:

• Sakit kepala kronik, post-nasal drip


• Batuk kronik
• Gangguan tenggorok
• Gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius

Diagnosis

• Diagnosis ditegakkan berdasarkan:


• Anamnesis
o Curigai sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi
dengan ingus purulen dan napas berbau busuk.
• Pemeriksaan fisik (Tanda khas : Pus di meatus medius (pada sinusitis maksila, etmoid
anterior dan frontal)
o Rinoskopi anterior
o Rinoskopi posterior
o Pemeriksaan naso-endoskopi
• Pemeriksaan penunjang
o Foto polos posisi Waters, PA dan lateral (Gambaran edema mukosa dan cairan dalam
sinus)
o CT Scan
46
Patofisiologi Bakteri anaerob

Karies profunda gigi rahang atas

Pulpa terbuka

kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa

Gangren pulpa

Infeksi meluas

Mengenai selaput periodontium


periodontitis dan iritasi

Abses periodontal
47
mencapai tulang alveolar

Inflamasi
Abses mukosa
alveolarsinus
 Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus
maksila hanya terpisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang
pembatas
 lnfeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah
menyebar secara langsung ke sinus, atau melalui pembuluh darah dan limfe.

48
Tata Laksana

• Antibiotik spektrum luas yang mencakup bakteri anaerob.


• Asam mefenamat tablet 3x500 mg
• Oksimetazolin HCL nasal spray → meredakan kongesti nasal
• konsultasi ke dokter gigi → gigi yang terinfeksi harus dicabut atau dirawat

Komplikasi

• Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang
paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat
terjadi trombosis sinus kavernosus.
• Kelainan intrakranial: dapat berupa meningitis,abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.
• Kelainan paru (kronik)
• seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan
kelainan paru ini disebut sino-bronkitis.
• Osteomielitis dan abses subperiostal (kronik)
• Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
• Pada osteomielitis, sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi

 Alasan yang melemahkan diagnosis tersebut → faktor lokasi karies dan kedalaman karies

Referensi

• Buku THT UI Edisi 6


• Textbook of ENT Diseases 9th Edition [Ussama Maqbool]
• Jurnal FK Unila
• Repository Unimus

49
RHINITIS ALERGI

A. Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien yang
sebelum nya sudah tersensitasi dengan allergen, sehingga dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulang dengan allergen spesifik tersebut yang dapat menyebabkan timbulnya gejala-gejala tertentu.

Rhinitis alergi termasuk ke dalam rhinitis kronik bersama dengan rhinitis non alergi atau yang
disebut rhinitis vasomotor.

B. Etiologi
Seperti yang sudah disebutkan, etiologi dari rhinitis alergi berhubungan dengan pasien yang terpajan
dengan suatu allergen. Allergen yang dapat memicu terjadinya rhinitis alergi bisa bermacam-macam:

1. Allergen inhalan  masuk bersama dengan udara pernapasan: dermatophagoides pteronyssinus,


dermatophagoides farina, serpihan epitel dari kulit binatang (kucing, anjing), dll.
2. Allergen ingestan  masuk lewat saluran cerna dan berupa makanan: kacang-kacangan, udang,
ikan, dll.
3. Allergen injektan  masuk melalui suntikan atau tusukan: sengatan lebah atau penisilin. 4.
Allergen kontaktan  masuk ke dalam tubuh melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa:
pemakaian kosmetik.

C. Epidemiologi
 30% dewasa, 40% anak → 10-20% populasi dunia
 Pada anak lebih sering pada laki-laki, pada dewasa laki-laki dan perempuan memiliki prevalensi
sama
 Ada kecenderungan peningkatan prevalensi rhinitis alergi di AS dan seluruh dunia
 Penyebab belum bisa dipastikan, tetapi ada kaitan dengan meningkat nya polusi udara, populasi
dust mite, kurang ventilasi dirumah atau kantor, dll

D. Klasifikasi Pada awalnya rhinitis dikelompokkan menjadi 2 macam berdasarkan sifat


berlangsungnya:
1. Rhinitis alergi musiman (hay fever)
 Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman dan hanya terdapat pada negara dengan 4
musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur. Gejala yang
tampak ialah gejala pada hidung dan mata, biasanya berupa mata merah, lakrimasi dan gatal
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perinneal)
 Gejala pada penyakit ini timbul terus-menerus atau bisa intermittent (hilang timbul) tanpa
variasi musim jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah
allergen inhalan dan ingestan. Gangguan fisiologik pada rhinitis perineal ini lebih ringan
dibandingkan dengan golongan musiman, tetapi karena lebih persisten ia lebih sering
ditemukan komplikasi
50
Saat ini digunakan klasifikasi yang baru menurut WHO berdasarkan sifat berlangsungnya:

1. Intermittent (kadang)  bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Persisten  bila gejala lebih dari 4 hari/minggu atau lebih dari 4 minggu
Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit dibagi menjadi:

1. Ringan  bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, gangguan saat bekerja,
dll.
2. Sedang – berat  bila ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, gangguan saat bekerja,
dll.

E. Gejala Klinis
 Serangan bersin berulang
 Hidung berair (encer dan banyak) atau rinore
 Hidung tersumbat
 Hidung, mata, dan tenggorokan gatal
 Kadang disertai banyak air mata keluar (lakrimasi)

F. Histologi
Secara mikroskopik tampak adanya:

 Dilatasi pembuluh darah dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mucus.
 Pembesaran ruang interseluler dan penebalan membrane basal
 Infiltrasi sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submucosa hidung
Gambaran demikian dapat terdapat saat terjadinya serangan. Diluar keadaan serangan mukosa
Kembali normal.

Jika serangan terjadi persisten sepanjang tahun lama kelamaan dapat terjadi perubahan ireversibel seperti
proliferasi jaringan ikat dan hyperplasia mukosa sehingga tampak mukosa hidung menebal.

G. Diagnosis
1. Anamnesis
Untuk mendiagnosis penyakit ini dapat melalui anamnesis. Gejala rhinitis alergi yang khas adalah
terdapat serangan bersin berulang-ulang, rinore yang encer, hidung tersumbat, dll.

2. Pemeriksaan Fisik
Kemudian melalui pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior tampak mukosa yang edema, basah,
berwarna pucat, disertai adanya sekret encer yang banyak.

Gejala spesifik lain yang dapat muncul pada anak adalah “allergic shiner” dimana terdapat bayangan
gelap pada daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Selain itu pasien dapat
sering menggosok hidung karena gatal dengan punggung tangan yg disebut “allergic salute”. Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah
yang disebut “allergic crease”.

3. Pemeriksaan Penunjang

51
Untuk pemeriksaan penunjang dapat ditemukan:

 Hitung eosinophil darah tepi: dapat normal atau meningkat


 Pemeriksaan yang lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA.
 Pemeriksaan sitologi hidung yang dapat ditemukan:
o Eosinophil dalam jumlah banyak  alergi inhalan
o Jika basophil >5 (sel/lap)  alergi ingestan/makanan
o Jika ditemukan sel PMN  infeksi bakteri.

H. Patofisiologi

Untuk patofisiologinya pertama diawali dengan tahap sensitisasi diikuti dengan reaksi alerginya. Pada
kontak pertama dengan allergen (tahap sensitisasi), makrofag atau monosit yg berperan sebagai APC akan
menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung.

Setelah diproses, antigen akan membentuk MHC yang kemudian akan dipresentasikan pada sel T helper
yang nanti akan melepaskan sitokin2 dan mengaktifkan sel T dan sel B naïve. Sel b yang berikatan dengan
sitokin ini akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor di
permukaan sel mastosit/basophil yang merupakan sel mediator sehinga sel ini aktif. Proses ini merupakan
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi.

Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan allergen yang sama untuk kedua kalinya, maka
IgE akan mengikat allergen spesifik dan menyebabkan degranulasi dari mastosit dan basophil sehingga
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk, terutama histamin. Selain histamin diproduksi juga
prostaglandin, leukotriene, bradykinin, dll.

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada
hidung dan bersin2. Histamin juga menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi
serta permeabilitas kapiler untuk meningkat  rinore dan kongesti. Sekresi yang berlebihan ini membuat
hidung tersumbat

I. Tata Laksana
52
1. Non-Farmakologi
Terapi yang paling ideal adalah menghindari kontak dengan allergen.
2. Farmakologi
 Anti histamin, yang bekerja sebagai antagonis H1 dan bekerja secara inhibitor kompetitif.
Pemberian dapat dikombinasi dengan atau tanpa dekongestan peroral. Contoh antihistamin
yang dapat digunakan adalah  loratadine dan prometasin
 Dekongestan bertindak pada reseptor di mukosa nasal yang bekerja untuk vasokonstriksi
pembuluh darah. Sehingga dapat mengurangi pembengkakan pada mukosa hidung dan
melegakan pernapasan. Contoh obat yang sering digunakan  efedrin.
 Kemudian ada kortikosteroid topical yang dapat mengurangi jumlah sel mastosit pada
mukosa hidung  beklometason, budesonide

J. Komplikasi
 Polip hidung : penonjolan keluar mukosa sinus maksilaris dan etmoidalis
 Otitis media (terutama pada anak) : terutama jenis serosa
 Rinosinusitis : karena perubahan sinus berat dan infeksi sekunder

53

Anda mungkin juga menyukai