Anda di halaman 1dari 50

1

Proposal Penelitian
Efektifitas Penggunaan Ear Plugs dan Eye Mask dalam meningkatkan
Kualitas Tidur pada Pasien denga TB Paru

Disusun dalam rangka memenuhi tugas Individu


Mata Kuliah Metodologi Riset Kuantitatif
Fasilitator: Prof. Dr. Nursalam, M.Nurs., (Hons).

Disusun Oleh :
Sandi Alfa Wiga Arsa
131614153152

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di

dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan

tuberkulosis sebagai Global Emergency. Dalam laporan WHO tahun 2013

diperkirakan terdapat 8,6 kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%) di

antaranya adalah pasien HIV positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di

wilayah Afrika. Pada tahun2012 diperkirakan terdapat 450.000 orang yang menderita

TB MDR dan 170.000 di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 2012 diperkirakan

proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus TB secara global mencapai 6% atau

530.000 pasien TB anak pertahun, atau sekitar 18% dari total kematian yang

disebabkan TB.( Kemenkes RI, 2016)

Indonesia berpeluang mencapai penurunan angka kesakitan dan kematian akibat

TB menjadi setengahnya di tahyn 2015 jika dibandingkan dengan data tahun 1990.

Angka prevalensi TB pada tahun 1990 sebesar 443 per 100.000 penduduk, pada tahun

2015 ditargetkan menjadi 280 per 100.000 penduduk. Berdasarkan hasil survei

prevalensi TB tahun 2013, prevalensi TB paru smear positif per 100.000 penduduk

umur 15 tahyn ke atas sebesar 257.

Angka notifikasi kasus menggambarkan cakupan temuan kasus TB. Secara

umum angka notifikasi kasus BTA positif bary dan semua kasus dari tahun ke tahun

di Indonesia mengalami peningkatan. Angka notifikasi kasus (case notification

rate/CNR) pada tahun 2015 untuk semua kasus sebesar 117 per 100.000 penduduk.
3

Walaupun telah diperoleh kemajuan dan keberhasilan yang signifikan dalam proses

pengendalian TB, tetapi besaran masalah yang dicapai saat ini masih cukup besar

menginat setiap tahun masih terdapat 450.000 kasus baru dan masih tingginya anka

kematian akibat TB yaitu 64.000 pertahun atau 175 orang/hari. (Kemenkes RI, 2016)

Tingginya angka kematian penderita tuberkulosis di Indonesia tentu

menjadikan penderita tuberkulosis banyak mengalami berbagai kecemasan

terhadap kesembuhan penyakit yang dideritanya. Kondisi cemas tersebut tentu akan

mempengaruhi jumlah (Quantity of Sleep) dan kualitas (Quality of Sleep) tidur

penderita, seperti gejala primer kurang tidur atau sulit tidur pada tiap malamnya.

Bagi pasien tuberkulosis, penyakit yang disertai terjadinya nyeri dada, batuk,

sesak nafas, nyeri otot, dan keringat malam mengakibatkan terganggunya

kenyamanan tidur dan istirahat penderita (Doenges, 2000). Selain itu, kondisi ruang

rawat inap juga dapat menyebabkan gangguanpola tidur pasien tuberkulosis,

menimbulkan kegaduhan, seperti lampu yang aktifitas yang menyala terang,

temperature udara yang panas karena kurangnya ventilasi terganggu oleh

dengkuran pasien lain ataupun yang terpaksa dibangunkan karena adanya prosedur

tindakan tertentu (Audrey et.al, 2003).

Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki

malam hari (16%), psycho physiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%),

ketergantungan alcohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi (65%),

demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%), gangguan obstruksi

sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%), narcolepsy (mendadak

tidur) (0,03%-0,16%) (Japardi, 2002). Menurut data international of sleep disorder

di atas, gangguan penyakit pusat pernafasan termasuk didalamnya penyakit TB


4

memiliki prevalensi yang cukup tinggi (40-50%) sebagai penyebab gangguan tidur.

TB merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau

mortalitas tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang

cukup lama.

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang termasuk kedalam

kebutuhan dasar dan juga universal karena umumnya semua individu dimanapun ia

berada membutuhkan tidur dan tidak pernah ada individu yang selama masa

hidupnya tidak tidur. Hal ini mengindikasikan bahwa tidur memiliki peranan

penting bagi manusia, yaitu menjaga kesejahteraan fisik dan kualitas hidup setiap

individu. Sehingga tercukupinya kebutuhan tidur bias membuat seseorang aktif dan

fresh dalam menjalankan aktivitasnya, demikian pula sebaliknya (Kozier, 2004).

Faktor lainnya yang mengganggu kualitas tidur pasien tuberkulosis adalah

masalah stres dan emosi yang diakibatkan karena perubahan kondisi lingkungan

dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak

orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya (Doenges, 2000),

mengalami perasaan isolasi karena penyakit menular (Doenges, 2000), adanya

proses pengobatan yang lama, dan perasaan cemas sehubungan dengan adanya

ancaman kematian yang dibayangkan akibat ketidakmampuan untuk bernafas.

Menurut Allison (2007) dalam Jurnal Self Care Requirements for activity

and Rest; An Orem Nursing Focus Istirahat atau restmeliputi; activity, inactivity,

atau perubahan aktifitas. Maksud dari rest sebagai inactivity adalah pergerakan

yang minimal termasuk diantaranya adalah tidur, makan, duduk menonton televisi,

membaca, atau bekerja di depan komputer, dan passive commuting. Tidur adalah

kondisi istirahat yang terjadi secara teratur yaitu 6-8 jam /24 jam. Tidur
5

memberikan manfaat pada tubuh untuk me-restore energi baik fisik, mental, dan

emosional. Oleh karena itu gangguan tidur membutuhkan terapi. Kualitas tidur

adalah ukuran dimana seseorang itu dapat kemudahan dalam memulai tidur dan

untuk mempertahankan tidur, kualitas tidur seseorang dapat digambarkan dengan

lama waktu tidur, dan keluhan keluhan yang dirasakan saat tidur ataupun sehabis

bangun tidur.

Berbagai penelitian telah mencoba menjelaskan tentang pengaruh

penggunaan terapi nonfarmakologi yang dikaitkan dengan kualitas tidur pasien.

Beberapa faktor yang menyebabkan gangguan tidur telah dikemukakan seperti

kebisingan, ketidaknyamanan dan nyeri. Dari beberapa jurnal didaptkan beberapa

terapi yang digunakan untuk mengatasi atau memperbaiki kualitas tidur pasien

yaitu : penggunaan eye mask, earplugs, dan kombinasi eye mask-earplugs-musik.

Dalam jurnal yang telah di review penggunaan terapi yang disebutkan diatas

digunakan pada pasien dengan gangguan kardiovaskular dan dengan perawatan

intensif.

Penelitian dilakukan oleh Rong-Fang Hu, et.al., (2015) dengan desain RCT

pada 45 pasien dewasa yang dibagi menjadi 2 secara acak; 25 kelompok perlakuan

dan 25 kelompok kontrol dengan cara mengombinasikan antara earplugs, eye mask,

dan pemberian musik selama 30 menit pada pkl. 21.00 06.00 dibandingkan

dengan kelompok kontrol yang tidak dilakukan intervensi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa subjective sleep quality lebih tinggi pada kelompok intervensi

dibandingkan dengan kelompok kontrol (p value< 0.05) sehingga dapat

disimpulkan bahwa kualitas tidur pada kelompok perlakuaan lebih baik

dibandingkan kelompok kontrol.


6

Penggunaan terapi nonfarmakologi akan coba diterapkan pada masalah

kualitas tidur pada pasien TB paru, dengan mengunakan eye masks, dan earplugs.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah penggunaan eye masks dapat meningkatkan kualitas tidur pada

pasien dengan TB paru

2. Apakah penggunaan earplugs dapat meningkatkan kualitas tidur pada

pasien dengan TB paru

3. Apakah penggunaan eye masks dan earplugs dapat meningkatkan kualitas

tidur pada pasien dengan TB paru

1.3 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh penggunaan eye masks dan earplugs terhadap

peningkatkan kualitas tidur pada pasien TB paru.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kualitas tidur pada pasien TB paru pada kelompok

perlakuan dan kelompok kontrol.

2. Menganalisis kualitas tidur pasien TB paru setelah menggunakan eye mask

dan earplugs pada kelompok perlakukan

3. Menganalisis kualitas tidur pasien TB paru pada kelompok kontrol dan

kelompok perlakuan
7

1.4 Manfaat

1.4.1. Teoritis

Diharapkan dapat memberikan sumbangsih teoritis bagi perkembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya dan keperawatan dasar, berupa data empiris

tentang pemenuhan kebutuhan dasar (istirahat tidur) dengan menggunakan terapi

nonfarmakologi berupa eye mask dan earplugs pada pasien TB paru.

1.4.2. Praktis

1. Pasien dan keluarga.

Dapat meningkatkan kualitas tidur pasien TB paru.

2. Tenaga kesehatan/perawat.

Sebagai upaya memberikan pelayan prima dalam memenuhi kebutuhan dasar

pasien (istirahat tidur) pada pasien TB paru.


8

1.5.3. Orisinalitas Penelitian

Variabel, Sampel,& Teknik Instrumen Desain


No Judul Penelitian Hasil
Sampling (Alat ukur) Penelitian

1 Effects of earplugs and Variabel : RCSQ RCT Kualitas tidur yang lebih baik
eye masks combined Eyemask+earplugs+music, pada kelompok intervensi. tidak
with relaxing music on Richards- ditemukan perbedaan pada
sleep, melatonin, and Melatonin Campbell kortisol dan melatonin pada urin
cortisol levels in ICU sleep pasien sebelum dan setelah
patients: a RCT. questionare tindakan pembedahan.
Jumlah sampel 50 pasien ICU usia
Rong-Fang Hu, et al. 40 thn, 20 responden klp
2015 intervensi dan 25 responden klp
kontrol, 5 responden di drop

2 Effect of Using Eye Variabel : Eye mask, PSQI RCT Penggunaan eye mask dapat
mask on sleep quality meningkatkan kualitas tidur
in Cardiac patients: Sleep quality (Petersburgs pre dan pasien jantung dengan signifikan
Randomized controlled Sleep Quality post test
trial Index) design (p<0,05)
Sampel 60 pasien jantung usia
Ateye Babaii, et al. 4769 thn,
2015
9

Kemudian sampel dibagi menjadi 2


yang dipilih secara random

3 Effect of oral melatonin Variabel : Melatonin, PSG RCT - Penggunaan melatonin lebih
and wearing earplugs (Polysomnogra Cross over baik dalam meningkatkan
and eye masks on Earplugs, phy), design kualitas tidur dibandingkan
nocturnal sleep in Eye mask, dengan penggunaan earplugs
healthy subjects in a Subjective dan eye masks.
simulated ICU Sleep quality sleep quality
environment. (visual analog Serum melatonin meningkat
scale), pada pasien yg menggunkan
Hua-Wei Huang, et al. melatonin dibandingkan
Sampel 40 pasien ICU usia > 18 Serum intervensi yang lain
2015 tahun, melatonin
concentration
Teknik sampling menggunakan
random sampling

4 The Effect Of Eye Variabel : Eye mask, Verran and RCT Penggunaan eye mask selama
Mask on Sleep Quality Snyder- tidur malam meningkatkan
in Patient of Coronary Sleep quality Halpern Sleep Cross meningkatkan kualitas tidur
Care Unit. Scale (VSH Over dengan signifikan (p<0,05)
Sleep Scale) Design
Masyhayekhi, Fateme, Sampel sebanyak 60 pasien jantung
dkk dibagi dalam 2 kelompok, masing-
masing 30 responden
10

2013

5 Effect of eye mask on Variabel : Eye mask, PSQI RCT Pengguanaan eye mask dapat
sleep quality in patientt meningkatkan kualitas tidur
with acute coronary Sleep quality (Petersburgs pre post pada pasien dengan ACS
syndrome. Sleep Quality test design
Index) (p<0,05)
Mohammad danesh Sampel = 60 pasien jantung usia
mandi, dkk. 2012 >18 thn,

6 The Effect of earplugs Variabel : Earplugs, PSQI RCT Penggunaan Earplugs dapat
on sleep quality in meningkatkan kualitas tidur
patients with acut Sleep quality, (Petersburgs yang signifikan
coronary syndrome. Sleep Quality
Acute coronary syndromes patients Index)
Fateme Neyse,
dkk.2012
Sampel 60 pasien jantung

Dibagi 2 grup

Secara random
11

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar TB Paru

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa

kronik yang telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering

disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar

kuman tuberkulosis menyerang paru, 85% dari seluruh kasus tuberkulosis

adalah tuberkulosis paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai

dari kulit, tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak dan lainnya

(Ichsan, 2008)

Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit menular langsung yang

disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar

kuman menyang paru, tetapi dapat juga menyerang organ lainnya. Kuman

ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam

pada pewarnaan. Oleh karena itu disebut sebagai Basil Tahan Asam

(BTA). Kuman tuberkulosis ini cepat mati dengan sinar langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant (tertidur lama) selama

beberapa tahun (Depkes RI, 2005 dikutip Mutia, 2013).

Sumber penularan penyakit tuberkulosis paru adalah penderita

tuberkulosis BTA (+), yang dapat menular kepada orang sekelilingnya,


12

terutama yang mempunyai kontak erat. Pada waktu bantuk atau bersin,

penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan

dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada

suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet

tersebut terhirup ke dalam pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk

ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan kuman tuberkulosis tersebut

dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran

darah, sistem limfe, saluran nafas, atau penyebaran lansung ke bagian-

bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2005 dikutip Mutia, 2013).

2.1.2 Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi di Indonesia dipakai berdasarkan kelainan klinis,

radiologis, dan makro biologis :

a. Tuberkulosis paru.

b. Bekas tuberkulosis paru.

c. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam :

1) Tuberkulosis tersangka yang terobati : sputum BTA (-), tetapi

tanda-tanda lain (+).

2) Tuberkulosis tersangka yang tidak diobati: sputum BTA (-) dan

tanda-tanda lain juga meragukan.

Klasifikasi menurut WHO (1991) tuberkulosis dibagi dalam 4

kategori yaitu:

a. Kategori 1 ditujukan terhadap :

1) Kasus batu dengan sputum (+).

2) Kasus baru dengan bentuk tuberkulosis berat.


13

b. Kategori 2 ditujukan terhadap :

1) Kasus kambuh.

2) Kasus gagal dengan sputum BTA (+).

c. Kategori 3 ditujukan terhadap :

1) Kasus BTA (-) dengan kelainan paru yang luas.

2) Kasus tuberkulosis ekstra paru selain dari yang disebut dalam

kategori 1.

d. Kategori 4 ditujukan terhadap: tuberkulosis kronik (Sudoyo Aru,dkk,

2009).

2.1.3 Etiologi

Kuman penyebab tuberkulosis adalah mycobacterium tuberculosis.

Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar

matahari, dan sinar ultraviolet. Ada dua macam mikrobakteria penyebab

tuberkulosis, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada

dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum

dapat menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di

bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita tuberkulosis

terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi tuberkulosis bila menghirup

bercak ini. Perjalanan tuberkulosis setelah infeksi melalui udara (Jong,

2005)

2.1.4 Patogenesis

Menurut Jong (2005) fase-fase tuberkulosis dibagi menjadi 4 fase,

yaitu :
14

a. Fase Pertama

Pertama adalah fase tuberkulosis primer. Setelah masuk

ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi

pertahanan tubuh. Fase ini disebut afek primer. Basil kemudian

masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan

limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya

granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan

di kelenjar limfe hilus. Afek primer ini limfadenitis regional ini

disebut kompleks primer yang bisa mengalami resolusi dan

sembuh tanpa meninggalkan cacat atau membentuk fibrosis.

b. Fase Kedua

Dalam fase ini mengalami komplikasi berupa penyebaran

milier-milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui

bronkus. Penyebaran milier menyebabkan tuberkulosis di seluruh

paru-paru, tulang, dan meningen. Infeksi ini dapat berkembang

terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan

jaringan parut.

c. Fase Ketiga

Fase ketiga ini disebut fase laten. Dimana fase dengan

kuman yang tidur. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang

panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfa hilus dan

leher serta ginjal. Kuman ini tetap bisa tidur selama bertahun-

tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten).


15

d. Fase Keempat

Dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan

selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan

meninggalkan fibrosis.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Menurut Alsagaff dan Mukty (2006) tanda dan gejala

tuberkulosisdibagi atas 2 (dua) golongan yaitu gejala sistemik dan gejala

respiratorik.

a. Gejala Sistemik adalah:

1) Panas Badan

Panas badan merupakan gejala pertama dari tuberkulosis

paru, sering kali panas badan sedikit meningkat pada siang

maupun sore hari. Panas badan meningkat atau menjadi lebih

tinggi bila proses berkembang menjadi progresif sehingga

penderita merasakan badannya hangat atau muka terasa panas.

2) Menggigil

Menggigil dapat terjadi bila panas badan naik dengan

cepat, tetapi tidak diikuti pengeluaran panas dengan kecepatan

yang sama atau dapat terjadi sebagai suatu reaksi umum yang

lebih hebat.

3) Keringat Malam

Keringat malam bukanlah gejala yang patognomonis

untuk penyakit tuberkulosis paru. Keringat malam umumnya baru

timbul bila proses telah lanjut, kecuali pada orang-orang dengan


16

vasomotor labil, keringat malam dapat timbul lebih dini. Nausea,

takikardi dan sakit kepala timbul bila ada panas.

4) Malaise

Karena tuberkulosis bersifat radang menahun, maka dapat

terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan

berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan

pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan menstruasi.

b. Gejala Respiratorik

1) Batuk

Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah

melibatkan bronchus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi

bronchus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronchus,

batuk akan menjadi produktif. Batuk produktif ini berguna untuk

membuang produk-produk ekskresi peradangan. Dahak dapat

bersifat mukoid atau purulen.

2) Sekret

Suatu bahan yang keluar dari paru sifatnya mukoid dan

keluar dalam jumlah sedikit, kemudian berubah menjadi

mukopurulen/kuning atau kuning hujau sampai purulen dan

kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi pengejuan

dan perlunakan
17

3) Batuk

Suatu kondisi yang terjadi karena adanya iritasi pada

bronchus dan berguna untuk membuang produk-produk ekskresi

peradangan.

4) Nyeri Dada

Gejala ini timbul apabila sistem persyarafan yang terdapat

di pleura terkena, gejala ini dapat bersifat lokal atau pleuritik.

5) Ronchi

Suatu bunyi tambahan yang terdengar gaduh terutama

terdengar selama ekspirasi disertai adanya sekret.

2.2 Kualitas Tidur

2.2.1 Definisi

Kualitas tidur adalah ukuran dimana seseorang itu dapat kemudahan

dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur, kualitas tidur

seseorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur, dan keluhan

keluhan yang dirasakan saat tidur ataupun sehabis bangun tidur. Kebutuhan

tidur yang cukup ditentukan selain oleh faktor jumlah jam tidur (kuantitas

tidur), juga oleh faktor kedalaman tidur (kualitas tidur). Beberapa faktor

yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur yaitu, faktor fisiologis,

faktor psikologis, lingkungan dan gaya hidup. Dari faktor fisiologis

berdampak dengan penurunan aktivitas sehari hari, rasa lemah, lelah, daya

tahan tubuh menurun, dan ketidak stabilan tanda tanda vital, sedangkan dari
18

faktor psikologis berdampak depresi, cemas, dan sulit untuk konsentrasi

(Potter dan Perry. 2005).

2.2.2 Faktor faktor yang mempengaruhi kualitas tidur

Pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang berbeda beda , ada

yang yang dapat terpenuhi dengan baik bahkan sebaliknya. Seseorang bisa

tidur ataupun tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diantaranya

sebagai berikut, (Asmadi. 2008).

a. Status kesehatan

Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan ia dapat

tidur dengan nyenyak, sedangkan untuk seseorang yang kondisinya

kurang sehat (sakit) dan rasa nyeri , makan kebutuhan tidurnya akan

tidak nyenyak (Asmadi. 2008).

b. Lingkungan

Lingkungan dapat meningkatkan atau menghalangi seseorang untuk

tidur. Pada lingkungan bersih, bersuhu dingin, suasana yang tidak

gaduh (tenang), dan penerangan yang tidak terlalu terang akan

membuat seseorang tersebut tertidur dengan nyenyak, begitupun

sebaliknya jika lingkungan kotor, bersuhu panas, susana yang ramai

dan penerangan yang sangat terang, dapat mempengaruhi kualitas

tidurnya (Asmadi. 2008).

c. Stres psikologis

Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan pada frekwensi

tidur. Hal ini disebabkan karena kondisi cemas akan meningkatkan


19

norepineprin darah melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan

mengurangi tahap IV NREM dan REM (Asmadi. 2008).

d. Diet

Makanan yang banyak menandung L Triptofan seperti keju, susu,

daging, dan ikan tuna dapat menyebabkan seseorang mudah tidur.

Sebaliknya minuman yang menandung kafein maupun alkohol akan

mengganggu tidur (Asmadi. 2008).

e. Gaya hidup

Kelelahan yang dirasakan seseorang dapat pula memengaruhi

kualitas tidur seseorang. Kelelahan tingkat menengah orang dapat tidur

dengan nyenyak. Sedangkan pada kelelahan yang berlebih akan

menyebabkan periode tidur REM lebih pendek (Asmadi. 2008).

f. Obat obatan

Obat obatan yang dikonsumsi seseorang ada yang berefek

menyebabkan tidur, adapula yang sebaliknya mengganggu tidur

(Asmadi. 2008).

2.2.3 Jenis jenis tidur

Pada hakekatnya tidur dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori

yaitu dengan gerakan bola mata cepat (Rapid Eye Movement REM), dan

tidur dengan gerakan bola mata lambat Non Rapid Eye Movement

NREM, (Asmadi. 2008).

a. Tidur REM

Merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur paradoksial. Hal

tersebut bisa disimpulkan bahwa seseorang dapat tidur dengan nyenyak


20

sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola matanya bersifat

sangat aktif. Tidur REM ini ditandai dengan mimpi, otot otot kendor,

tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung

bergerak bolak balik), sekresi lambung meningkat, ereksi penis tidak

teratur sering lebih cepat, serta suhu dan metabolisme meningkat, tanda

tanda orang yang mengalami kehilangan tidur REM yaitu, cenderung

hiperaktif, emosi sulit terkendali, nafsu makan bertambah, bingung dan

curiga (Asmadi. 2008).

b. Tidur NREM

Menurut Asmadi (2008), merupakan tidur yang nyaman dan dalam.

Pada tidur NREM gelombang otak lebih lambat dibandingkan pada

orang yang sadar atau tidak tidur. Tanda - tanda tidur NREM ini antara

lain : mimpi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah turun,

kecepatan pernapasan turun, metabolisme turun, dan gerakan bola mata

lambat. Pada tidur NREM ini mempunyai empat tahap masing masing

tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas gelombang otak.

1) Tahap I

Merupakan tahap tranmisi dimana seseorang beralih dari sadar

menjadi tidur. Ditandai dengan seseorang merasa kabur dan rileks,

seluruh otot menjadi lemas, kelopak mata menutup mata, kedua bola

mata bergerak ke kiri dan kekanan kecepatan jantung dan pernapasan

menurun secara jelas, seseorang yang tidur pada tahap ini dapat

dibangunkan dengan mudah.


21

2) Tahap II

Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menerus.

Tahap ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak, suhu

tubuh menurun, pernapasan turun dengan jelas. Tahap II ini

berlangsung sekitar 10 15 menit.

3) Tahap III

Merupakan tahap fisik yang lemah lunglai karena tonus otot lenyap

secara menyeluruh. Kecepatan jantung, pernapasan, dan proses

tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi sistem saraf

parasimpatis. Seseorang yang tidur pada tahap III ini sulit untuk

dibangunkan.

4) Tahap IV

Merupakan tahap dimana seseorang tersebut tidur dalam keadaan

rileks, jarang bergerak karena keadaan fisik yang sudah lemah

lunglai, dan sulit dibangunkan. Pada tahap IV ini dapat memulihkan

keadaan tubuh.

Selain keempat tahap tersebut, sebenarnya ada satu tahap lagi yakni

tahap V. Tahap ini merupakan tahap tidur REM dimana setelah tahap

IV seseorang masuk pada tahap V, yang ditandai dengan kembali

bergeraknya kedua bola mata yang berkecepatan lebih tinggi dari tahap

tahap sebelumnya. Tahap ini berlangsung sekitar 10 menit, dan dapat

pula terjadi mimpi. Selama tidur malam sekitar 6 7 jam, seseorang

mengalami REM dan NREM bergantian sekitar 4 6 kali (Asmadi.

2008).
22

2.1 Gambar. Siklus tidur

Sumber. Asmadi 2008

Keterangan : kondisi pre sleep merupakan dimana seseorang masih dalam

keadaan sadar penuh, namun mulai ada keinginan untuk tidur. Pada perilaku

pre sleep ini, misalnya, sesorang pergi ke kamar tidur lalu berbaring di

kasur atau berdiam diri merebahkan badan dan melemaskan otot, namun

belum tidur. Selanjutnya mulai merasakan ngantuk, maka orang tersebut

memasuki tahap I. Bila tidak bangun, baik itu disengaja ataupun tidak, maka

orang tersebut telah memasuki tahap II. Begitu seterusnya sampai tahap IV.

Setelah selesai tahap IV, ia akan kembali memasuki tahap III dan

selanjutnya tahap II. Ini adalah fase tidur NREM. Dan ketika memasuki

tahap V , ini disebut tidur REM. Bila telah terlalui semua, maka orang

tersebut telah melalui siklus tidur pertama baik NREM maupun REM.

Siklus ini berlanjut selama orang tersebut tidur. Namun, pergantian siklus

ini tidak lagi dimulai dari awal tidur, yaitu pre sleep dan tahap I, tetapi

langsung tahap II ke tahap selanjutnya seperti pada siklus yang pertama.


23

Semua siklus ini berakhir ketika orang tersebut terbangun dari tidurnya

(Asmadi. 2008)

2.2.4 Gangguan tidur

Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan

kualitas tidur yang kurang (Gunawan L, 2001).

a. Insomnia

Insomnia adalah kesulitan untuk tidur atau kesulitan untuk tetap tidur,

atau gangguan tidur yang membuat penderita merasa belum cukup tidur

pada saat terbangun. Gejala fisik : Muka pucat, mata sembab, badan

lemas dan daya tahan menurun sehingga menjadi mudah terserang

penyakit, dan gejala psikisnya : Lesu, lambat menghadapi rangsangan

dan sulit berkonsentrasi.

b. Hipersomnia

Hipersomnia adalah gangguan jumlah tidur yang berlebihan dan selalu

mengantuk di siang hari. Gangguan ini dikenal sebagai narkolepsi yaitu

pasien tidak dapat menghindari untuk tidur. Dapat terjadi pada setiap

usia, tapi paling sering pada awal remaja atau dewasa muda. Gejala fisik

: mengantuk yang hebat, gugup, depresi, harga diri rendah, hilangnya

tonus otot dipicu oleh emosi mengakibatkan immobilisasi, tidak mampu

bergerak waktu mula mula bangun. Gejala psikis: halusinasi visual

atau audio (pendengaran).

c. Parasomnia

Parasomnia adalah gangguan tidur yang tidak umum dan tidak

diinginkan, yang tampak secara tiba tiba selama tidur atau terjadi pada
24

ambang terjaga dan tidur. Sering muncul dalam bentuk mimpi buruk

yang ditandai mimpi lama dan menakutkan. Gejala fisik : jalan watu

tidur, kadang kadang berbicara waktu tidur, mendadak duduk

ditempat tidur dan matanya tampak membelalak liar. Gejala psikis :

penderita jarang memngingat kejadiannya

2.2.5 Faktor Lingkungan

Lingkungan dapat meningkatkan atau dapat menghalangi seseorang

untuk tidur. Pada lingkungan yang tenang memungkinkan seseorang untuk

tidur dengan nyenyak. Sebaliknya lingkungan yang ribut, bising, gaduh,

kotor, terang, dan panas akan dapat menghambat seseorang untuk tidur

(Asmadi 2008). Pengaruh dari faktor lingkungan yang perlu

dipertimbangkan lagi adalah kenyamanan ukuran ranjang, serta kebiasaan

teman saat tidur. Jika anda tidur dengan seseorang yang mempunyai

kebiasaan mendengkur bisa membuat anda sulit untuk tidur atau tidur

kurang nyenyak (Rafknowledge, 2004). Faktor lingkungan yang

mempengaruhi kualitas tidur antara lain :

a. Suara / kebisingan

Suara dapat mempengaruhi tidur, tingkat suara yang diperlukan untuk

membangunkan orang tergantung pada tahap tidur. Suara yang rendah

lebih sering membangunkan orang pada tahap tidur tahap 1, sementara

suara pada percakapan yang normal dapat membangunkan seseorang

yang tidur dengan tahap 3 dan 4 (Potter & Perry, 2005).


25

b. Ventilasi yang baik

Ventilasi yang baik adalah ensensial untuk tidur yang tenang (Potter &

Perry, 2005). Kelembapan ruangan perlu diatur agar paru paru tidak

kering karena apabila kelembapan ruangan tidak diatur maka seseorang

tidak akan dapat tidur, walaupun dapat tidur maka seseorang akan

terbangun dengan kerongkongan kering seakan akan seseorang

tersebut menderita radang amandel. Persyaratan ventilasi yang baik

menurut (Lubis, 2002 dalam Fauzy adytya putra, 2011) adalah Luas

lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan

luas lubang ventilasi insidentil ( dapat dibuka dan ditutup) minimal 5%

dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.

Luas ventilasi rumah < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat

kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan

bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi

penghuninya.

c. Ruangan dan tempat tidur

Ruang tidur merupakan tempat dimana seseorang melepaskan pikirian

yang penat / lelah setelah seharian melakukan aktifitas. Apabila ruang

tidur kotor ataupun bau maka bisa dikatakan itulah faktor utama dari

susahnya tidur. Ukuran, kekerasan dan posisi tempat tidur

mempengaruhi kualitas tidur (Potter & Perry, 2005). Kepadatan

penghuni adalah perbandingan antara luas lantai ruangan dengan

jumlah anggota dalam satu ruang yang tinggal. Persyaratan kepadatan

hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m/orang.


26

Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas

bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana,

minimum 8m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum

3m/orang. Kamar tiudur sebaiknya tidak dihuni >2 orang, kecuali

untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun.

d. Cahaya / lampu yang terang

Tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Level

cahaya yang normal adalah cahaya disiang hari lebih terang apabila

dibandingkan dengan malam hari. Seseorang yang terbiasa dengan

lampu yang redup disaat tidur akan mengalami kesulitan tidur jika sorot

lampu yang terlalu terang (Potter & Perry, 2005). Pencahayaan alami

ruangan adalah cahaya penerangan yang bersumber dari sinar matahari

(alami), yaitu semua jalan yang memungkinkan untuk masuknya

cahaya matahari alamiah, misalnya melalui jendela atau genting kaca

(Notoatmodjo,2003).

e. Suhu ruangan

Ruangan yang terlalu panas / terlalu dingin sering kali menyebabkan

seseorang gelisah. Keadaan ini akan mengganggu tidur seseorang

(Potter & Perry, 2005). Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang

dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan

menurut Walton (2001) adalah: a. Suhu kering yang ditunjukan oleh

termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih 10

menit, umumnya suhu kering antara 24 34C. b. Suhu basah yaitu

suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air,
27

umumnya lebih rendah dari suhu kering, yaitu antara 20-15C. Secara

umum, penilaian suhu ruangan menggunakan termometer ruang.

Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu ruangan yang

memnuhi syarat kesehatan adalah antara 20-25C, dan yang tidak

memenuhi syarat kesehatan adalah < 20-< 25C.

f. Kebersihan lingkungan kamar

Pemenuhan kebersihan lingkungan ini adalah kebersihan tempat tidur .

melalui kebersihan tempat tidur diharapkan seseorang dapat tidur

dengan nyaman tanpa gangguan selama tidur (Hidayat, 2008).

2.2.6 Hubungan faktor lingkungan ruang rawat inap pasien dengan kualitas tidur

pasien TB Paru

Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%),

kram kaki malam hari (16%), psycho physiological (15%), sindroma kaki

gelisah (5-15%), ketergantungan alcohol (10%), sindroma terlambat tidur

(5-10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja

(2-5%), gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus

peptikus (<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Japardi,

2002). Menurut data international of sleep disorder di atas, gangguan

penyakit pusat pernafasan termasuk didalamnya penyakit TB memiliki

prevalensi yang cukup tinggi (40-50%) sebagai penyebab gangguan tidur.

TB merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau

mortalitas tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi

yang cukup lama.


28

Selai faktor penyakit, masalah faktor lingkungan ruang rawat inap

pasien juga mempengaruhi kualitas tidur pasien TB paru. Dijelaskan oleh

Kozier (2004), kondisi ruang rawat inap yang menyebabkan gangguan pola

tidur pasien TB paru antara lain: aktifitas yang menimbulkan kegaduhan,

lampu yang menyala terang, temperatur udara yang panas karena kurangnya

ventilasi, terganggu oleh dengkuran pasien lain ataupun yang terpaksa

dibangukan karena prosedur tindakan tertentu.

Berpijak dari penjelasan diatas maka dapat dikatakn bahwa faktor

lingkungan ruang rawat inap merupakan salah satu faktor yang menganggu

kualitas tidur penderita sebagai akibat aktifitas yang menimbulkan

kegaduhan, lampu yang menyala terang, suhu ruangan yang panas karena

kurangnya ventilasi, terganggu oleh dengkuran pasien lain ataupun yang

terpaksa dibangunkan karena prosedur tindakan.

2.3 Earplugs terhadap kualitas tidur pasien

Ear plugs (Sumbat Telinga) ialah alat pelindung telinga yang berfungsi

untuk mengurangi tingkat kebisingan suara atau musik yang terdengar lewat

telinga kita.

Fateme Neyse, et.al., (2011) melakukan penelitian tentang efektifitas

earplugs dalam meningkatkan kualitas tidur dengan desain RCT dan instrumen

PSQI pada 60 pasien jantung yang dibagi menjadi 2 kelompok; 30 kelompok

perlakuan dan 30 kelompok kontrol. Pemasangan earplugs dilakukan setiap

malam selama pasien di rumah sakit sampai pulang. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan earplugs dapat meningkatkan kualitas tidur


29

(p value< 0.05) pada kelompok perlakukan dibandingkan dengan kelompok

kontrol.

2.4 Eye mask terhadap kualitas tidur pasien.

Eye mask atau penutup maya dapat digunakan sebagai salah satu

penatalaksanaan farmakologi yang dapat membantu pasien dalam menagani

gangguan tidur yang dialami dan meningkatkan kualitas tidur. Terdapat tiga

penelitian yang dilakukan untuk membuktikan efektifitas eye mask terhadap

kualitas tidur pasien. Pada tahun 2012, Mohammad Daneshmandi, et.al.

melakukan penelitian dengan desain RCT terhadap 60 pasien jantung usia

>18 tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok; 30 kelompok perlakuan dan 30

kelompok kontrol. Eye mask digunakan selama 2 malam berturut-turut pada

kelompok perlakuan, kemudian pada hari ketiga dilakukan penilaian

menggunakan PSQI (Petersburgs Sleep Quality Index) pada kedua

kelompok. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengguanaan eye mask

dapat meningkatkan kualitas tidur pada pasien dengan ACS di CCU

(p<0.05).

Tahun 2013, Mashayekhi, et.el. melakukan penelitian RCT jenis

cross over design pada 60 pasien jantung usia 47-62 tahun yang dirawat di

CCU yang dibagi menjadi dua; 30 kelompok perlakuan dan 30 kelompok

kontrol. Instrumen yang digunakan berbeda dengan penelitian sebelumnya

yaitu menggunakan Verran and Snyder-Halpern Sleep Scale (VSH Sleep

Scale) dengan 16 item yang terdiri dari 3 item besar yaitu disturbance,

effectiveness, and supplementation. Kelompok perlakukan dipasang eye

mask selama 2 malam berturut turut dan dievaluasi dengan VSH Sleep
30

Scale setiap hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas tidur di

malam hari pada pasien CCU meningkat secara signifikan setelah

menggunakan eye mask (p<0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Metode penggunaan eye mask selain harga terjangkau juga dinilai cukup

nyaman untuk pasien sehingga bisa direkomendasikan untuk meningkatkan

kualitas tidur pasien CCU.

Pada tahun 2015 Atye Babaii, et.al. melakukan penelitian yang sama

dengan desain RCT dan alat ukur PSQI pada 60 pasien jantung yang dibagi

menjadi dua kelompok; 30 kelompok perlakuan dan 30 kelompok kontrol.

Pada kelompok perlakukan eye mask digunakan selama 3 malam berturut-

turut kemudian dilakukan post test PSQI pada kedua kelompok. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penggunaan eye mask dapat meningkatkan

kualitas tidur pada pasien jantung secara signifikan (p value< 0.05)

dibandingkan dengan kelompok kontrol.

2.5 Teori Keperawatan Kebutuhan Perawatan Diri(Self Care Requisities)

Orem

1. KebutuhanSelf Care Universal

a. Mempertahankan/ Pemeliharaan asupan udara yang cukup

b. Pemeliharaan asupan makanan yang cukup

c. Pemeliharaan asupan air yang cukup

d. Penyediaan perawatan yang terkait dengan proses eliminasi dan kotoran

e. Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat (termasuk

kebutuhan tidur)

f. Pemeliharaan keseimbangan antara kesendirian dan interaksi sosial


31

g. Pencegahan bahaya bagi kehidupan manusia, fungsi manusia, dan

kesejahteraan manusia.

h. Promosi fungsi dan perkembangan manusia dalam kelompok sosial

sesuai dengan potensi manusia, keterbatasan manusia yang dikenal, dan

keinginan manusia untuk menjadi normal.

2. Kebutuhan Perawatan Diri (Self Care) Developmental

a. Penyediaan kondisi yang mempromosikan perkembangan

b. Keterlibatan dalam perkembangan diri

c. Pencegahan atau penanggulangan efek efek dari kondisi manusia dan

situasi kehidupan yang dapat memengaruhi perkembangan manusia

secara negatif

3. Kebutuhan Perawatan Diri Terhadap Penyimpangan Kesehatan (Health

Deviation Self Care Requisities)

Memenuhi kebutuhan perawatan diri pada orang yang sakit atau terluka,

gangguan patologis, kondisi yang terpapar oleh agen biologis atau fisik

khusus atau kondisi lingkungan yang berhubungan dengan kondisi

patologis, disabilitas/kecacatan, atau ketika adanya penyebab kondisi

genetik, fisiologis, atau psikologis yang diketahui dapat menyebabkan

patologis pada manusia.

Teori self care deficit merupakan model konsep keperawatan yang

dicetuskan oleh Dorothea E. Orem. Dasar untuk self care deficit nursing

theorist (SCDNT) Orem adalah sistem filsafat realisme moderat. Sumber

utama ide ide Orem tentang keperawatan adalah pengalamannya dalam

keperawatan. Pertanyaan yang merangsang pemikiran Orem (2001) adalah


32

Kondisi seperti apa yang ada dalam diri seseorang ketika keputusan harus

dibuat seorang perawat dalam situasi tersebut? Kondisi yang

menunjukkan perlunya bantuan keperawatan adalah ketidakmampuan

orang untuk memberikan diri mereka sendiri perawatan diri yang

diperlukan karena situasi kesehatan pribadi (Alligood, 2014)

Self care deficit adalah sebuah istilah untuk mengungkapkan

hubungan antara kemampuan tindakan individu dan kebutuhan (tuntutan)

mereka untuk perawatan (Alligood, 2014).

SCDNT (Self Care Deficit Nursing Theory) terdiri dari tiga teori;

1. Teori self care deficit

2. Teori self care

3. Teori sistem keperawatan

Teori Orem telah banyak diaplikasikan dan digunakan dalam

penelitian, praktik, dan administrasi.Penggunaan teori Orem secara luas

digunakan dalam praktik yaitu menggunakan teori untuk perawatan pasien

dengan penyakit kronis, seperti pasien diabetes, pada perawatan pasien

dengan amyotropic lateral sclerosis, pada pasien psikiatrik, pada pasien

kritis dan perawatan akut, perawatan pasien stroke, perawatan pasien

jantung, dll.

Keperawatan adalah perawatan diri terapeutik yang dirancang

untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri pada saat terjadi

ketidakmampuan untuk melakukannya. Tindakan keperawatan (Nursing

actions) disebut juga dengan teori sistem keperawatan meliputi :


33

1. Wholly compensatory: Perawat memberikan perawatan terapeutik

kepada pasien secara penuh untuk pasien yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan perawatan dirinya sendiri atau ketika pasien membutuhkan

pendampingan perawatan diri secara kontinyu.

2. Partly compensatory: Baik perawat maupun pasien melakukan upaya

memenuhi kebutuhan perawatan diri pasien.

3. Supprotive educative system: Pada sistem ini, pasien mampu

melakukan perawatan diri sendiri dengan sedikit bantuan perawat.


34

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Kerangka Konseptual

Pemeliharaan keseimbangan
antara aktivitas dan istirahat
(termasuk kebutuhan tidur)
pada pasien TB Paru Ear plug & eye mask

Faktor-faktor yang Faktor lingkungan :


mempengaruhi gangguan a. Suara/kebisingan
Pemeliharaan
kualitas tidur : b. Ventilasi baik
a. Status kesehatan c. Tempat nyaman
b. Pemeliharaan
Lingkungan d. Cahaya/lampu
Pemeliharaanyang
c. Stres psikologis terang
keseimbangan antara keseimbangan antara
d. Diet e. Suhu ruangan
e. aktivitas
Gaya dan istirahat
hidup f. Kebersihan
(termasuk
f. Obat -kebutuhan
obatan lingkungan
tidur)

Kualitas tidur
meningkat

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti
35

3.2. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh penggunaan Ear plugs dan Eye mask terhadap peningkatan

kualitas tidur pasien TB Paru


36

BAB 4

METODE PENELITIAN

1.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasy experimen

karena penelitian ini dilakukan untuk mengungkapakan hubungan sebab akibat

dengan melibatkan dua kelompok subjek, kelompok perlakuan dan kelompok

kontrol. Masing masing kelompok di observasi sebelum dilakukan intervensi

kemudian di observasi kembali setelah dilakukan intervensi (Nursalam, 2014).

Berikut bentuk rancangan penelitian ini :

Subjek Pra Perlakuan Pasca-tes


K-A O I O1-A
K-B O - O1-B
Time 1 Time 2 Time 3

Keterangan :

K-A : subjek perlakuan (pasien TB dengan gangguan tidur)

K-B : subjek kontrol (pasien TB dengan gangguan tidur)

- : aktivitas lainnya selain ear plugs dan eye mask

O : Observasi kualitas tidur sebelum intervensi (kelompok

perlakuan)

I : Intervensi (penggunaan ear plugs dan eye mask selama 3

malam)

O1 (A+B) : observasi setelah intervensi (kelompok kontrol dan

perlakuan)
37

1.2. Populasi dan Sampel

1.2.1. Populasi

Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pasien TB paru di

Ruang Mawar Rawat Inap RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar yang mengalami

gangguan istirahat tidur.

1.2.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru di Ruang Mawar

Rawat Inap RSUD Mardi Waluyo Kota Blitar yang mengalami gangguan istirahat

tidur. Dalam rentang tanggal 1 Agustus-1 November 2017 yang memenuhi kriteria

inklusi.

Penentuan sampel berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut:

1. Pasien yang mengalami gangguan tidur

2. Pasien yang tidak mengalami kebutaan dan,atau tuli

3. Pasien yang tidak ada kontra indikasi penggunaan eye mask dan atau

earplug

Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah: pasien drop out selama

penelitian yaitu tidak memakai eye mask dan atau earplug selama 3 malam.

1.2.3. Teknik sampling

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi yang dapat mewakili

populasi yang ada (Nursalam, 2003). Teknik sampling dalam penelitian ini

menggunakan purposive sampling.

1.2.4. Besar sampel

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 30 responden, yang terbagi menjadi

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.


38

1.3. Variabel Penelitian

4.3.1 Variabel Independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah eye mask dan earplug.

4.3.2 Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian adalah Kualitas tidur Pada Penderita TB

Paru.

4.4 Definisi Operasional Variabel

Variabel Defenisi Parameter Alat Ukur Skala Skor

Independen Eye mask adalah Eye mask dan ear SPO Ordinal
penutup mata plug digunakan
terbuat dari bahan tidur/istirahat
kain yang malam hari
Variabel
berfungsi selama 3 hari.
independen
mengurangi
: eye mask
pencahayaan
dan earplug
ketika mata
terpejam.
Ear plug adalah
penutup liang
telinga terbuat
dari bahan karet
yang berfungsi
meredam suara
gaduh/bising
yang
mengganggu
tidur.
Dependen

Kualitas Kepuasan Dalam PSQI ini PSQI (The Ordinal Skor > 5
tidur pasien seseorang terdapat tujuh Pittsburgh kualitas
TB Paru terhadapap skor yang Sleep tidur
digunakan
terpenuhinya Quality buruk
sebagai
kebutuhan parameter Index)
tidurnya sendiri Skor 5
penilaiannya.
sehingga tidak Tujuh skor kualitas
menunjukan tersebut yaitu : tidur baik
gejala keletihan
akibat kurang 1. Kualitas tidur
2. Latensi tidur
39

tidur. 3. Durasi tidur


4. Kebiasaan
tidur
5. Gangguan
tidur
6. Penggunaan
obat tidur
(yang
berlebihan)
7. Disfungsi
siang hari
selama satu
bulan terakhir
40

4.5 Instrumen Penelitian

4.5.1 Penggunaan eye mask dan ear plug

Standar prosedur operasional dibuat untuk standarisasi penggunaan alat bantu

tidur berupa eye mask dan ear plug, dibuat standar operasinal ini agar ada persamaan

persepsi dan kesamaan setiap responden yang berpartisipasi.

4.5.2 Kualitas Tidur

Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan sebuah metode yang

bernama PSQI (The Pittsburgh Sleep Quality Index). PSQI sendiri ialah suatu

metode penilaian yang berbentuk kuesioner yang digunakan untuk mengukur

kualitas tidur dan gangguan tidur orang dewasa dalam interval satu bulan. Dari

penilaian kualitas tidur dengan menggunakan metode PSQI ini akan didapatkan

outputan berupa Sleeping Index. Sleeping Index merupakan suatu skor atau nilai

yang didapatkan dari pengukuran kualitas tidur seseorang yang pengurkurannya

dicari dengan cara mengisi kuesioner PSQI dengan pembobotan tertentu. Index atau

nilai tersebut yang nantinya akan menggambarkan seberapa baikkah kualitas dari

tidur seseorang.

7 Komponen penilaian =

1. Pertanyaan 9 = jumlah skor

2. Pertanyaan 2 skor (<15 menit =0), (16-30 menit=1) (31-60 menit=2) (>60

menit=3)

ditambah pertanyaan 5 jika jumlahnya sama dengan 0=0, 1-2=1, 3-4=2, 5-

6=3

3. Pertanyaan 4 skor >7=0, 6-7=1, 5-6=2,<5=3


41

4. Jumlah jam tidur pulas/ jumlah jam di tempat tidur dikali 100, >85%=0,,

75-84%=1, 65-74%=2, <65%=3

5. Jumlah skor 5b hingga 5j (0=0, 1-9=1, 10-18=2, 19-27=3)

6. Pertanyaan 6 jumlah skor

7. Pertanyaan 7 ditambah pertanyaan 8(0=0, 1-2=1,3-4=2, 5-6=3)

Interpretasi=

1. Skor > 5 kualitas tidur buruk

2. Skor 5 kualitas tidur baik

4.5.3 Tahap Uji Validitas dan Reabilitas Alat Ukur

Sebelum melakukan penelitian, alat ukur diuji coba terlebih dahulu. Uji coba

alat ukur dilakukan dengan menyebar kuesioner kepada sejumlah partisipan yang

bukan subjek pada penelitian ini untuk menguji validitas dan reabilitas instrument

maka dilaksanakan uji coba terhadap 20 responden di Ruang Rawat Inap Mawar

RSUD Mardi Waluyo Blitar. Responden dalam uji coba kuesioner ini tidak termasuk

reponden penelitian.

Hasil uji coba ukur selanjutnya dianalisis validitas dan reliabilitasnya. Uji

validitas dilakukan untuk melihat sejauh mana alat ukur yang akan digunakan benar

dan akurat dalam mengukur apa yang akan diukur. Sementara uji reliabititas dilakukan

untuk melihat sejauh mana alat ukur yang digunakan memiliki konsistensi, stabilitas

dan akurat (Anastasia & Urbina, 1997). Untuk uji reabilitas dilakukan pengujian

berdasarkan konsistensi internal dari skala denga teknik Cronbach Alpha () dengan

> 0,60 (Ghozali, 2005). Sedangkan uji validitas deilakukan dengan menggunakan

uji validitas konstruk dengan menggunakan terknik korelasi Pearsons Product

Moment dengan < 0,05 (Ghozali, 2005).


42

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dan intervensi dilaksanakan di Ruang Rawat Inap Mawar RSUD

Mardi Waluyo Blitar pada tanggal 1 Agustus-1 November 2017.

4.7 Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses

pengumpulan karakteristik subyek yang diperlukan dalam suatu penelitian

(Nursalam, 2008). Prosedur pengambilan dan pengumpulan data yang dilakukan

dalam penelitian adalah :

1. Administrasi

2. Pengumpulan data

1) Tahap persiapan alat ukur penelitian PSQI

2) Tahap uji coba alat ukur/ instrument, tahap uji coba instrument dilakukan di

Ruang Rawat Inap Mawar RSUD Mardi Waluyo Blitar

4.8 Cara Pengolahan dan Analisis Data

Tahap-tahap analisis data antara lain :

Analisis secara kuantitatif dilakukan untuk data kuantitatif yang meliputi tahapan

analisis univariat dilanjutkan analisis bivariat secara deskriptif dan analitik.

1. Deskriptif

Pada penelitian ini akan dilakukan pada semua variabel penelitian dengan

membuat distribusi frekuaensi berdasarkan kategori masing-masing variabel.

Analisi univariat pada umumnya ini hanya menghasilkan distribusi dan presentase

dari tiap variabel (Martini, 2007). Kategori untuk kualitas tidur :

1. Skor > 5 kualitas tidur buruk


43

2. Skor 5 kualitas tidur baik

2. Analisis Inferensial

Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji statistic. Pada penelitian ini skala

data yang digunakan dalam bentuk data nonparametrik yaitu ordinal, sehingga

untuk menetukan analisa data tidak dilakukan uji normalitas terlebih dahulu. Uji

yang digunakan :

1. Mann withey test digunakan untuk uji beda mean peringkat (data ordinal)

dari 2 kelompok independen (kualitas tidur pasien TB Paru setelah

intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol). Dengan

kemaknaan < 0,05. Artinya menunjukan adanya perbedaan antara

kelompok yang mendapatkan intervensi dan tidak mendapatkan

intervensi.

2. Wilcoxon test digunakan untuk menguji beda mean peringkat (data

ordinal) dari 2 hasil pengukuran pada satu kelompok (peringkat pre dan

post kualitas tidur pasien TB Paru pada kelompok perlakuan). Dengan

kemaknaan 0,05. Artinya uji statistik menunjukan ada pengaruh yang

signifikan antara data pre test dan post test.


44

4.9 Kerangka Operasional

Populasi : Pasien TB Paru dengan keluhan gannguan tidur

Sampel berjumlah 30 pasien

Menyerahkan lembar Persetujuan menjadi responden

Mengindentifikasi Kualitas tidur dengan PSQI


(pre test)

15 pasien (perlakuan)
Menggunakan eye mask dan
ear plugselam 3 malam, 15 pasien (Kontrol)
sepanjang tidur malam

Mengindentifikasi Kualitas tidur dengan PSQI


(post test)

Pengumpulan data

Melakukan uji staristik Mann withey tes dan Wilcoxon test

Gambar 4.9 Kerangka Operasional

4.10 Etik Penelitian

Milton,1999; Loiselle, Profetto-McGrath, Polit&Beck, 2004 terdapat 4 prinsip

dalam etik penelitian keperawatan, yitu :

1. Menghormati harkat dan martabat manusia.

a. Informed Consent disiapkan (lembar persetujuan menjadi responden)

Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan diteliti yang

berisi : penjelasan tentang judul, tujuan dan manfaat penelitian, permintaan

kepada subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian, penjelasan prosedur


45

penelitian, gambaran tentang risiko dan ketidaknyamanan selama

penelitian, penjelasan tentang keuntungan yang didapat dengan

berpartisipasi sebagai subjek penelitian, penjelasan tentang jaminan

kerahasiaan dan anonimitas, hak untuk mengundurkan diri dari

keikutsertaan sebagai subjek penelitian, kapanpun sesuai dengan keinginan

subjek, pemberian informasi yang jujur terkait dengan prosedur penelitian,

pernyataan persetujuan dari subjek untuk ikut serta dalam penelitian.

b. Penjelasan diberikan langsung kepada subjek untuk menentukan pilihan

mengikuti atau menolak ikut serta sebagai subjek penelitian

c. Subjek diberikan kesempatan untuk bertanya tentang aspek yang belum

dipahami dari penjelasan dan menjawab seluruh pertanyaan subjek dengan

terbuka

d. Subjek diberikan waktu yang cukup untuk menentukan pilihan mengikuti

atau menolak ikut serta sebagai subjek penelitian

e. Subjek diminta untuk menandatangani formulir informed consent, jika

responden menyetujui ikut serta dalam penelitian.

2. Privasi dihormati dan subjek dirahasiakan (respect for privacy and

confidentiality)

3. Keadilan dan iklusivitas

Manfaat dan kerugian yang ditimbulkan diperhitungkan


46

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dan Mukti, Abdul. (2006). Dasar-dasar Ilmu Penyakit


Paru.Surabaya : Airlangga University Press.

Asmadi. ( 2008 ), Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta : EGC.

Audrey. Berman, ShirleeJ. Snyder, Barbara.Kozier, Glenora Erb. (2003). Buku Ajar
Praktek Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC. Bonica. JJ

Ayee, B., Adib-Hajbaghery, M., & Hajibagheri, A. (2015). Effect of Using Eye
Mask on Sleep Quality in Cardiac Patients: A Randomized Controlled Trial.
Nursing and Midwifery Studies, 4(4), e28332. Diakses 13 Oktober 2016,
dari Pubmed database.

Doenges E Marilynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.


Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta kedokteran. Media Aesculaapius.
FKUI:Jakarta.

Depkes RI, 2005 dikutip Mutia, Anik. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan
Tentang Tuberkulosis dengan Kepatuhan Minum Obat di Puskesmas
Banyuanyar Surakarta. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PKU
Muhammadiyah : Surakarta

Fateme Neyse., Daneshmandi, M., Sharme, M. S., & Ebadi, A. (2011). The effect
of earplugs on sleep quality in patients with acute coronary syndrome,
Journal Of Caring Sciences, 4(3), 127134. Diakses 13 Oktober 2016, dari
Pubmed database.

Gunawan,L. (2001). Insomnia, Gangguan Sulit Tidur. Yogyakarta : Kanisius

Hidayat, A. Aziz Alimul, (2008), Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, Jakarta:


Salemba Medika.

Hu, Huang, ., Zheng, B.-L., Jiang, L., Lin, Z.-T., Zhang, G.-B., Shen, L., & Xi, X.-
M. (2015). Effect Of Oral Melatonin And Wearing Earplugs And Eye
Masks On Nocturnal Sleep In Healthy Subjects In A Simulated Intensive
Care Unit Environment: Which Might Be A More Promising Strategy For
ICU Sleep Deprivation? Critical Care (London, England), 19(1),124.
Diakses 13 Oktober 2016, dari BioMed Central database.

Ichsan, Aziza. (2008). Radiologi Toraks Tuberkulosis Paru. Jakarta : CV.Sagung


Seto.

Japardi, Iskandar. (2008). Gangguan Tidur. http://library.usu.ac.id/download/fk


/bedah-iskandar%20japardi12.pdf. Diakses 29 Juni 2017
47

Jong, Wim dan Sjamsuhidajat. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Kozier. (2004). Fundamental of nursing: concepts, process and practice. New


Jersey: Pearson prentice hall

Mashayekhi, F., Arab, M., Pilevarzadeh, M., Amiri, M., & Rafiei, H. (2013). The
Effect of Eye Mask on Sleep Quality in Patients of Coronary Care Unit, 6
(3), 108-111. Diakses 2 November 2016, dari PubMed database.

Mohammadpour, A., Mohammadian, B., Moghadam, M.B., & Nemmatollahi, M.R.


(2014). The Effect of Topical Heat Therapy on Chest Pain in Patients with
Acute Coronary Syndrome: a Randomised Double-Blind Placebo-
Controlled Clinical Trial. Journal Of Clinical Nursing, 23, 3460-3467.
Diakses 14 November 2016, dari Ebschohost database.

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2003). Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Rineka.


Cipta. Jakarta.

Rafknowledge. (2004). Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta : PT Elex


Media Komputindo

Potter & Perry. ( 2005 ). Buku Ajar fundamental Keperawatan : konsep, Proses, dan
praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Rong Fang,Hu Jiang, X.Y., Hegadoren, K.M., & Zhang, Y.H. (2015). Effect Of
Earplugs and Eye Mask Combine With Relaxing Music On Sleep,
Melatonin, And Cortisol Level in ICU patients: a randomized contolled
trial. Critical Care. 19,115. Diakses 25 September 2016, dari Biomed
Central database.

Sudoyo, Aru, dkk. (2009). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & NANDA. Edisi Revisi jilid 2. Jakarta : EGC.
48

QUISIONER PENELITIAN PSQI (PIRTZBURG SLEEP QUALITY INDEX)

Nama :

Umur :

Jenis kelamin:

Tekanan darah :

Selama sebulan ini :

1. Jam berapa anda tidur malam hari?


2. Berapa menit anda perlukaan sampai anda tidur di malam hari?
3. Jam berapa anda bangun di pagi hari?
4. Berapa jam anda tidur pulas di malam hari?
5. Dalam sebulan inui Tidak Kurang Sekali atau 3 atau
berapa sering anda pernah sekali 2 kali lebuh
mengalami masalah seminggu seminggu dalam
tidur (0) seminggu
(1) (2)
(3)

A. Tidak dapat tidur


dalam 30 menit
B. Bangun ditengah
malam atau dini
hari

C. Sering bangun
untuk ke kamar
kecil
D. Tidak dapat
bernafas dengan
baik
E. Batuk atau
mendengkur secara
nyaring
F. Merasa terlalu
dingin
G. Merasa terlalu
panas
H. Mengalami mimpi
buruk
49

I. Merasa sakit

J. Berapa sering kamu


mengalami masalah
tidur
6. Selama sebulan ini
berapa sering kau
menggunakan obat
obatan untuk
membuat kamu
tidur
7. Dalam sebulan ini
berapa sering kamu
mengalami masalah
dalam mengemudi,
makan, ataupun
aktivitas sosial
8. Dalam sebulan ini
berapa banyak
masalah yang
membuat anda
tidak antusias untuk
menyelesaikannya
9. Dalam sebulan ini Sangat Baik(1) Buruk(2) Sangat
bagaimana kualitas baik (0) Buruk (3)
tidurmu secara
keseluruhan

7 Komponen penilaian =

8. Pertanyaan 9 = jumlah skor


9. Pertanyaan 2 skor (<15 menit =0), (16-30 menit=1) (31-60 menit=2) (>60
menit=3)
ditambah pertanyaan 5 jika jumlahnya sama dengan 0=0, 1-2=1, 3-4=2, 5-
6=3
10. Pertanyaan 4 skor >7=0, 6-7=1, 5-6=2,<5=3
11. Jumlah jam tidur pulas/ jumlah jam di tempat tidur dikali 100, >85%=0,,
75-84%=1, 65-74%=2, <65%=3
12. Jumlah skor 5b hingga 5j (0=0, 1-9=1, 10-18=2, 19-27=3)
13. Pertanyaan 6 jumlah skor
14. Pertanyaan 7 ditambah pertanyaan 8(0=0, 1-2=1,3-4=2, 5-6=3)

Interpretasi=
3. Skor > 5 kualitas tidur buruk
4. Skor 5 kualitas tidur baik
50

Anda mungkin juga menyukai