Anda di halaman 1dari 31

USULAN PENELITIAN

HUBUNGAN KEPATUHAN PASIEN YANG MENJALANI


HEMODIALISIS DENGAN KOMPLIKASI DURANTE
HEMODIALISIS.

IWIT RATNA ARI DEWI


NIM. 1912045
Program Studi Pendidikan Ners

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


PATRIA HUSADA BLITAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Masalah yang mengakibatkan kegagalan pada terapi hemodialisa
adalah masalah kepatuhan klien, secara umum kepatuhan (Adherence)
didefenisikan sebagai tingkat perilaku seseorang yang mendapatkan pengobatan,
mengikuti diet, dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan
rekomendasi pemberi pelayanan kesehatan (WHO,2003).
Berbagai komplikasi dapat terjadi saat klien menjalani dialisis. Komplikasi
intradialisis merupakan kondisi abnormal yang terjadi saat pasien menjalani dialisis.
Komplikasi intradialisis yang umum dialami klien antara lain hipotensi, hipertensi,
kram otot, mual dan muntah. (Aru, 2006).
Penyebab tidak patuhnya pasien gagal ginjal kronik adalah rasa haus yang
dirasakan oleh pasien, pasien merasa bosan dengan menu yang ada sehingga tidak
bisa mematuhi diet; dan ada yang kurang menjaga diit setelah hemodialisis karena
merasa telah segar kembali setelah makan dan minum (Susilowati, 2016). Kepatuhan
pasien dalam penatalaksanaan penyakitnya sangatlah penting karena dapat
mempengaruhi proses dalam mempertahankan kualitas hidup pasien.
Berat badan merupakan hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan
yang ada pada tubuh. Berat badan menjadi indikator terpenting pada pasien yang
menjalani dialisis. Peningkatan berat badan secara signifikan dalam rentang
beberapa hari mengindikasikan adanya kelebihan cairan dalam tubuh pasien.
Tindakan hemodialisis meningkat dari tahun ke tahun dan pada tahun 2017
peningkatan sangat drastis sejalan dengan penambahan penduduk yang mengikuti
program BPJS Kesehatan atau JKN sehingga mempunyai akses dan pembiayaan
penuh untuk hemodialisis kronik. Jumlah Tindakan HD Di Indonesia Tahun 2017
adalah 1.694.432. Menurut Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2017 dari Pernefri,
terdapat 77.892 orang saat ini hidup dengan hemodialisis regular. IRR pada tahun
2015 mencatat komplikasi yang paling sering terjadi pada durante hemodialisis
adalah hipertensi (38 %), yang disusul dengan hipotensi (15 %), dimana etiologi dari
kedua komplikasi di atas sangat berkaitan erat dengan jumlah ultrafiltasi
(PERNEFRI, 2015).
Hipotensi Intradialitik merupakan komplikasi akut yang paling sering ditemui pada
pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) yang menjalani hemodialisis rutin dengan
angka kejadian mencapai 25 – 55 %, Hipertensi Intradialitik merupakan komplikasi
yang cukup dikenal dngan insidensi 5 % – 15 % pada pasien PGK yang menjalani
hemodialisis rutin
Hipertensi Intradialitik berkaitan dengan kelebihan cairan signifikan interdialitik dan
berkaitan dengan tingginya ultrafiltrasi selama sesi dialisis. Beberapa laporan
menunjukkan bahwa Hipertensi Intradialitik berkaitan dengan hiperaktivitas sistem
saraf simpatis, gangguan fungsi endotel dan peningkatan curah jantung akibat
pengeluaran cairan (ultrafiltrasi). (Astuti & Endang, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian Sari tahun 2009 didapatkan hasil bahwa pasien yang
tidak patuh terhadap pembatasan cairan sebanyak 66,7% dan yang patuh sebanyak
33,3%. Berdasarkan hasil observasi pada bulan Juli 2020 di ruang Hemodialisis
Rumah sakit Katolik Budi Rahayu Blitar diperoleh data bahwa dari 20 pasien
hemodialisis yang tidak patuh 12 pasien atau sekitar 60%, padahal pada awal
menjalani hemodialisis sudah diberikan penyuluhan kesehatan mengenai pembatasan
diet dan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis berikutnya masih sering
terjadi pasien datang dengan keluhan sesak (akibat kelebihan volume cairan tubuh
yaitu kenaikan berat badan melebihi 5% dari berat badan kering pasien) dan gejala
uremik (mual, muntah, anoreksia). Dan akibatnya pasien tersebut mengalami
komplikasi, yang sering terjadi yaitu hipotensi dan hipertensi.
Salah satu masalah besar yang memberikan kontribusi kegagalan dalam proses
hemodialisis adalah masalah ketidakpatuhan. Pasien dianjurkan mengikuti aturan
diet, merubah gaya hidup, mengkonsumsi obat-obatan yang direkomendasikan
pemberi pelayanan kesehatan dan teratur melakukan terapi hemodialisis.
Ketidakpatuhan yang dilakukan pasien memberikan dampak buruk terhadap
kesehatan pasien tersebut (Syamsiah, 2011).
Pembatasan cairan dan pengaturan diet makanan adalah salah satu program
yang diterapkan pada penderita gagal ginjal kronik dengan tujuan untuk
mempertahankan keadaan gizi agar kualitas hidup dan rehabilitasi dapat dicapai
semaksimal mungkin, mencegah dan mengurangi sindrom uremik, serta mengurangi
risiko semakin berkurangnya fungsi ginjal. Setelah menjalankan terapi hemodialisis
pasien diberi obat oleh dokter, keberhasilan pengobatan juga bisa dipengaruhi oleh
kepatuhan terhadap pengobatannya. Hasil terapi tidak akan optimal tanpa adanya
kesadaran dari pasien untuk mempertahankan hidupnya, dan dapat pula
menyebabkan kegagalan terapi atau komplikasi yang merugikan dan berakibat fatal
(Hussar, 1995 dalam Karuniawati, 2016).
Komplikasi durante hemodialisis yang sering terjadi yaitu hipotensi, mual
muntah dan hipertensi. Penyebab dari IDH (intradialytik hypotension) adalah
multifaktorial. Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan
darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan kardiomiopati,
anemia, large interdialytic weight gain (IDWG), penggunaan obat-obat anti
hipertensi.
Kelebihan cairan pradialisis kemungkinan juga menjadi pemicu tingginya kejadian
intradialisis hipertensi. Kelebihan cairan memegang peranan penting dalam
kejadian hipertensi pada pasien hemodialisis (Schimdt, 2002; Tomson, 2009).
Observasi selama pengambilaan data menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
mengalami kelebihan cairan pradialisis. Observasi menunjukkan sebagian besar
pasien mengalami peningkatan berat badan 3-5 kg.Kelebihan cairan pradialisis
akan meningkatkan resistensi vaskuler dan pompa jantung. Pasien yang mengalami
hipertensi intradialisis terjadi peningkatan nilai tahanan vaskuler perifer yang
bermakna pada jamakhir dialisis (Landry, Oliver, Chou, Lee, Chen, Hsu, Chung, Liu
dan Fang(2006).
Kejadian mual dan muntah saat hemodialisis merupakan gejala gastrointestinal
yang sudah biasa dialami klien sekaligus merupakan adaptasi terhadap klien yang
baru saja menjalani hemodialisis. Banyak klien mengalami kejadian mual dan
muntah karenan perubahan tekanan darah, UFR yang terlalu cepat, cemas dan
terlalu banyak makan selama hemodialisis.
Tingginya persentasi pasien yang tidak patuh mengakibatkan kerugian
jangka panjang yaitu kerusakan sistem kardiovaskuler, gagal jantung, hipertensi
dan edema paru serta kerugian jangka pendek yaitu edema, nyeri tulang dan
sesak napas (Jonh, Anggela, Masterson& Rosemary. 2012).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai,” Hubungan Kepatuhan Pasien Yang Menjalani Hemodialisis Dengan
Komplikasi Durante Hemodialisis di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu.” Peneliti
akan memberikan edukasi kesehatan kepada responden untuk menambah
pengetahuan dan diharapkan dapat mengubah tingkat kepatuhan responden, sehingga
dapat mempertahankan kualitas hidup lebih baik lagi.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
“adakah hubungan kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dengan komplikasi
durante hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu”

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisis


dengan komplikasi durante hemodialisis di Unit Hemodialisis Rumah Sakit
Katolik Budi Rahayu.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi kepatuhan pada pasien yang mejalani hemodialisis di ruang


Hemodialisis Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu.

b. Mengidentifikasi komplikasi yang terjadi durante hemodialisis di ruang


Hemodialisis Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu.

c. Menganalisis hubungan kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisis dengan


komplikasi durante hemodialisis di ruang Hemodialisis Rumah Sakit Katolik
Budi Rahayu.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi tambahan pengetahuan di bidang


pendidikan keperawatan terutama pada mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah..

1.4.2 Manfaat Praktis.

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi perawat ruang
Hemodialisis untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan membuat
rencana intervensi terhadap pasien hemodialisis yang mengalami komplikasi
akibat dari ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan dan terapi
hemodialisis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Hemodialisis

a. Pengertian Hemodialisis
Hemodialisis berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis
yang berarti pemisahan atau filtrasi. Hemodialisis adalah proses pembersihan
darah oleh akumulasi sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien
dengan tahap akhir gagal ginjal atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan
dialysis waktu singkat (Nursalam, 2006).
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui
dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke
dalam tubuh pasien (Baradero Mary, dkk., 2009).
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa
nitrogen yang terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti
kalium, fosfor, dan lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik,
khususnya pada gagal ginjal terminal (GGT) (Hartono, 2008).
b. Tujuan Hemodialisis
Tujuan hemodialisis adalah untuk memindahkan produk-produk
limbah yang terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin
dialysis (Muttaqin & Sari, 2011).
Menurut Nurdin (2009), sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisis
mempunyai tujuan :
1) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asamurat.
2) Membuang kelebihan air.
3) Mempertahankan atau mengembalikan system buffer tubuh.
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
5) Memperbaiki status kesehatan penderita.

2.2 Prinsip yang mendasari kerja hemodialisis

Aliran darah pada hemodialisis yang penuh dengan toksin dan limbah nitrogen
dialihkan dari tubuh pasien ke dializer tempat darah tersebut dibersihkan dan
kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien. Sebagian besar dializer merupakan
lempengan rata atau ginjal serat artificial berongga yang berisi ribuan tubulus
selofan yang halus dan bekerja sebagai membran semipermeabel. Aliran darah akan
melewati tubulus tersebut sementara cairan dialisat bersirkulasi di sekelilingnya.
Pertukaran limbah dari darah ke dalam cairan dialisat akan terjadi melalui membrane
semipermeabel tubulus (Brunner &Suddarth, 2006). Tiga prinsip yang mendasari
kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi.
Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi
dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat
dengan konsentrasi yang lebih rendah (Lavey, 2011). Cairan dialisat tersusun dari
semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan
cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat
dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, dimana air bergerak dari daerah
dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan
dialisat). Gradient ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negative yang
dikenal sebagai ultrafiltrasi pada mesin dialisis. Tekanan negative diterapkan pada
alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air
(Elizabeth, et all, 2011).

2.3 Indikasi dilakukan hemodialisis

Indikasi Hemodialisis Pada Penyakit Ginjal Kronis Kidney Disease Outcome Quality
Initiative (KDOQI) merekomendasikan untuk mempertimbangkan manfaat dan risiko
memulai terapi pengganti ginjal (TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi
glomerulus (eLFG) kurang dari 15 mL/menit/1,73 m2 (PGK tahap 5). Akan tetapi
kemudian terdapat bukti –bukti penelitian baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil
antara yang memulai dialisis dini dengan yang terlambat memulai dialisis.

2.4 Kontraindikasi Hemodialisis

Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang hemodialisis
adalah sebagai berikut:

a. Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).

b. Hipotensi (TD < 100 mmHg).

c. Adanya perdarahan hebat.


d. Demam tinggi.

Beberapa kondisi lainya untuk pasien dengan penyakit ginjal kronik tahap akhir yang
tidak boleh dilakukan hemodialisis yaitu:

1. Kondisi pasien yang terlalu lemah atau dengan sakit stadium terminal, misalnya
kanker stadium lanjut, penyakit hati yang berat.

2. Tekanan darah pasien rendah.

3. Pasien dengan gangguan proses pembekuan darah.

4. Pasien yang sedang mengalami gangguan jiwa.

5. Pasien yang menolak untuk dilakukan hemodialisis.

6. Pasien yang sulit didapatkan akses vaskulernya.

Terhadap pasien dengan kondisi diatas, risiko hemodialisis lebih besar dibandingkan
manfaatnya. Kalau memang mendesak dapat diambil cara terapi pengganti ginjal yang
lain.

2.5 Komplikasi Hemodialisis

Hemodialisis bukan tanpa komplikasi. Komplikasi dapat timbul selama proses


hemodialisis yang disebut sebagai komplikasi intradialisis. Walaupun tindakan
hemodialisis saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih
banyak penderita yang mengalami masalah medis saat menjalani hemodialisis.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani hemodialisis adalah
gangguan hemodinamik. Salah satu komplikasi intradialisis yang penting untuk
dievaluasi adalah komplikasi kardiovaskuler karena menyebabkan peningkatan
mortalitas sebesar 43%. Komplikasi kardiovaskuler dapat berupa aritmia jantung,
sudden death, hipotensi intradialisis, dan hipertensi intradialisis (Naysilla, 2012).

Komplikasi terapi dialisis mencakup beberapa hal seperti hipotensi, emboli


udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan dialisis, dan pruritus. Masing – masing
dari point tersebut (hipotensi, emboli udara, nyeri dada, gangguan keseimbangan
dialisis, dan pruritus) disebabkan oleh beberapa faktor. Hipotensi terjadi selama terapi
dialisis ketika cairan dikeluarkan. Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena
pemakaian dialisat asetat, rendahnya dialisis natrium, penyakit jantung, aterosklerotik,
neuropati otonomik, dan kelebihan berat cairan. Emboli udara terjadi jika udara
memasuki sistem vaskuler pasien (Hudak & Gallo, 2010 ). Nyeri dada dapat terjadi
karena PCO₂ menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh,
sedangkan gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang.

Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia
yang berat. Pruritus terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit (Smelzer, 2008)

Terapi hemodialisis juga dapat mengakibatkan komplikasi sindrom


disekuilibirum, reaksi dializer, aritmia, temponade jantung, perdarahan intrakranial,
kejang, hemolisis, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan
hipoksemia, namun komplikasi tersebut jarang terjadi. (Brunner & Suddarth, 2008).

Komplikasi hemodialisis dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi


kronik (Daurgirdas et al., 2007).

a. Komplikasi Akut

Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama


hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi diantaranya adalah
hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit
punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang cukup sering
terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun hipertensi
intradialisis. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom disekuilibrium,
reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,
hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen, hipoksemia
(Rahardjo et al., 2009).

Penyebab dari masing – masing komplikasi akut yang sering terjadi antara lain
(Sumber: Beiber & Himmelfarb (2013) :

 Hipotensi
Penyebab dari IDH (intradialytic hypotension) adalah multifaktorial.
Pada satu sisi, kondisi pasien dapat mencetuskan penurunan tekanan
darah selama hemodialisis: umur, komorbid seperti diabetes dan
kardiomiopati, anemia, large interdialytic weight gain (IDWG),
penggunaan obat-obat antihipertensi. Pada sisi lain, faktor-faktor yang
berhubungan dengan dialisis itu sendiri dapat berkontribusi terhadap
instabilitas hemodinamik: sesi hemodialisis yang pendek, laju
ultrafiltrasi yang tinggi, temperatur dialisat yang tinggi, konsentrasi
sodium dialisat yang rendah, inflamasi yang disebabkan aktivasi dari
membran dan lain-lain.penarikan cairan yang berlebihan, terapi
antihipertensi, infark jantung, reaksi anafilaksis.
 Hipertensi
Penyebab dari hipertensi adalah kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi
yang tidak adekuat
 Aritmia
Penyebabnya adalah gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang
terlalu cepat, obat antiaritmia yang terdialisis.
 Kram otot
Penyebabnya adalah ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit.
 Reaksi Alergi
Penyebabnya adalah reaksi dialiser, heparin.
 Emboli Udara
Penyebabnya adalah udara memasuki sirkuit darah
 Sindrom disekuilibirium
Penyebabnya adalah penurunan konsentrasi urea plasma yang teralu
cepat.
 Mual dan Muntah
Mual dan muntah dapat menjadi komplikasi terkait dengan dialisis
seperti sindrom disequilibrium, hipotensi, reaksi alergi dan
ketidakseimbangan elektrolit, mereka juga dapat menyertai sindrom
koroner akut, cerebrovascular event dan infeksi. prevalensi keluhan
dispepsia dan gastritis, duodenitis, ulkus peptikum dan colelithiasis
juga meningkat pada kelompok pasien dialisis.

b. Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan
hemodialisis kronik. Komplikasi kronik yang sering terjadi antara lain:
penyakit jantung, malnutrisi, hipertensi/volume excess, anemia, renal
osteodystrophy, neurophaty, disfungsi reproduksi, komplikasi pada akses,
gangguan perdarahan, infeksi, amiloidosis, acquired cystic kidney disease
(Beiber & Himmelfarb, 2013).

2.6 Konsep Kepatuhan

2.6.1 Pengertian

Menurut Kozier (2010) kepatuhan adalah perilaku individu (misalnya:


minum obat, mematuhi diet, atau melakukan perubahan gaya hidup) sesuai
anjuran terapi dan kesehatan. Tingkat kepatuhan dapat dimulai dari tindak
mengindahkan setiap aspek anjuran hingga mematuhi rencana. Sedangkan
Sarafino (dalam Yetti, dkk 2011) mendefinisikan kepatuhan sebagai tingkat
pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh
dokternya.

2.6.2 Kepatuhan pada pasien Hemodialisis

Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) dalam mempertahankan kualitas


hidupnya harus patuh terhadap terapi hemodialisis dan dianjurkan pula untuk
melakukan pembatasan asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisis
berikutnya sering pasien datang dengan keluhan sesak nafas akibat kenaikan
volume cairan tubuh (Smeltzer& Bare 2002; Kresnawan 2001). Peneliti lain
mengatakan pasien mengerti tentang pembatasan asupan cairan, tetapi pasien
mengaku tidak mematuhi anjuran dari perawat hemodialisis dan keluarga (Sari
2012).

Pasien gagal ginjal kronis menjalani hemodialisis seumur hidupnya


dengan frekwensi 2-3 kali dalam seminggu dengan lama hemodialisis 4-5 jam
untuk 1 kali kunjungan. Pasien mengkonsumsi obat pengendali tekanan darah,
membatasi cairan, makan makanan tinggi kalori rendah protein, menghindari
mengkonsumsi buah-buahan, melakukan aktivitas sesuai toleransi dan istirahat
yang cukup serta mengendalikan emosi atau menghindari stress (Smeltzer,
2013).
Hemodialisis yang efektif dicapai 10-12 jam perminggunya. Selain itu
lama hemodialisis kecepatan aliran darah, akses vascular yang baik, patuh
terhadap diet cairan, garam dan menghindari buah-buahan menjadikan terapi
dialysis efektif (Rohimi, 2016).

Salah satu masalah besar yang memberikan kontribusi kegagalan


dalam proses hemodialisis adalah masalah ketidakpatuhan. Pasien dianjurkan
mengikuti aturan diet, merubah gaya hidup, mengkonsumsi obat-obatan yang
direkomendasikan pemberi pelayanan kesehatan dan teratur melakukan terapi
hemodialisis. Ketidakpatuhan yang dilakukan pasien memberikan dampak
buruk terhadap kesehatan pasien tersebut (Syamsiah, 2011).

Diperlukan kepatuhan dalam proses penatalaksanaan hemodialisis


untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Anissa, 2016). Faktor yang
mempengaruhi pasien dalam kepatuhan menjalani hemodialisis adalah
dukungan keluarga (Sunarni, 2009; Rostanti, Bawotong, dan Onibala, 2016),
Motivasi (Lestari dan Nurmala, 2015). usia (Syamsiah, 2011), akses pelayanan
dalam hal jarak (Budiono, 2016), pendapatan dan dukungan keularga
(Syamsiah, 2011), motivasi (Izzati dan Nurmala, 2016).

Ketidakpatuhan menimbulkan komplikasi kegawatan pada pasien


gagal ginjal kronis seperti hiperkalemia dan edema pada tubuh. Komplikasi
tersebut akan menyebabkan penurunan fungsi fisik, nyeri pada tubuh,
perubahan persepsi dan proses fikir serta mengalami ketidaknyamana sehingga
mempengaruhi aktifitas pasien dalam kehidupan sehari-hari, berdampak pada
kualitas hidup pasien (Suhud, 2009 dalam Hendiani & Wahyuni, 2012).

2.6.3 Faktor – faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

a. Pemahaman Tentang Instruksi


Tak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Lcy dan Spelman (dalam Neil, 2000)
menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu
dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada
mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan professional
kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan
istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang harus diingat
oleh pasien.
b. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan
bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Korsch &
Negrete (Dalam Neil, 2000) telah mengamati 800 kunjungan orang tua
dan anak - anaknya ke rumah sakit anak di Los Angeles. Selama 14 hari
mereka mewawancarai ibu-ibu tersebut untuk memastikan apakah ibu-
ibu tersebut melaksankan nasihat - nasihat yang diberikan dokter, mereka
menemukan bahwa ada kaitan yang erat antara kepuasaan ibu terhadap
konsultasi dengan seberapa jauh mereka mematuhi nasihat dokter, tidak
ada kaitan antara lamanya konsultasi dengan kepuasaan ibu. Jadi
konsultasi yang pendek tidak akan menjadi tidak produktif jika diberikan
perhatian untuk meningkatkan kualitas interaksi.
c. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga
menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Pratt
(dalam Neil, 2000) telah memperhatikan bahwa peran yang dimainkan
keluarga dalam pengembangan kebiasaan kesehatan dan pengajaran
terhadap anak-anak mereka. Keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang
sakit.
d. Keyakinan, Sikap dan Keluarga
Becker (dalam Neil, 2000) telah membuat suatu usulan bahwa model
keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya
ketidakpatuhan. Mereka menggambarkan kegunaan model tersebut dalam
suatu penelitian bersama Hartman dan Becker (1978) yang
memperkirakan ketidakpatuhan terhadap ketentuan untuk pasien
hemodialisa kronis. 50 orang pasien dengan gagal ginjal kronis tahap
akhir yang harus mematuhi program pengobatan yang kompleks, meliputi
diet, pembatasan cairan, pengobatan, dialisa. Pasien-pasien tersebut
diwawancarai tentang keyakinan kesehatan mereka dengan menggunakan
suatu model. Hartman dan Becker menemukan bahwa pengukuran dari
tiap-tiap dimensi yang utama dari model tersebut sangat berguna sebagai
peramal dari kepatuhan terhadap pengobatan.

2.6.4 Cara mengurangi ketidakpatuhan

Dinicola dan Dimatteo (dalam Neil, 2000) mengusulkan rencana untuk


mengatasi ketidakpatuhan pasien antara lain:

a. Mengembangkan tujuan dari kepatuhan itu sendiri, banyak dari pasien


yang tidak patuh yang memiliki tujuan untuk mematuhi nasihat-
nasihat pada awalnya. Pemicu ketidakpatuhan dikarenakan jangka waktu
yang cukup lama serta paksaan dari tenaga kesehatan yang menghasilkan
efek negatif pada penderita sehingga awal mula pasien mempunyai sikap
patuh bisa berubah menjadi tidak patuh. Kesadaran diri sangat dibutuhkan
dari diri pasien.
b. Perilaku sehat, hal ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, sehingga perlu
dikembangkan suatu strategi yang bukan hanya untuk mengubah perilaku,
tetapi juga mempertahankan perubahan tersebut. Kontrol diri, evaluasi diri
dan penghargaan terhadap diri sendiri harus dilakukan dengan kesadaran
diri. Modifikasi perilaku harus dilakukan antara pasien dengan pemberi
pelayanan kesehatan agar terciptanya perilaku sehat.
c. Faktor kognitif juga berperan penting. Suatu program dapat secara total
dihancurkan sendiri oleh pasien dengan menggunakan pernyataan
pertahanan diri, sehingga penting untuk mengembangkan perasaan
mampu, bisa mengontrol diri dan percaya pada diri sendiri pada setiap
pasien.
d. Dukungan sosial, dukungan sosial dari anggota keluarga dan sahabat
dalam bentuk waktu, motivasi dan uang merupakan faktor-faktor penting
dalam kepatuhan pasien. Contoh yang sederhana, tidak
memiliki pengasuh, transportasi tidak ada, anggota keluarga sakit,
dapat mengurangi intensitas kepatuhan. Keluarga dan teman dapat
membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh penyakit tertentu,
mereka dapat menghilangkan godaan pada ketidaktaatan dan mereka
seringkali dapat menjadi kelompok pendukung untuk mencapai
kepatuhan.
e. Dukungan dari professional kesehatan merupakan faktor lain yang dapat
mempengaruhi perilaku kepatuhan. Dukungan mereka terutama berguna
saat pasien menghadapi bahwa perilaku sehat yang baru tersebut
merupakan hal penting dan secara terus menerus memberikan
penghargaan yang positif bagi pasien yang telah mampu beradaptasi
dengan program pengobatannya.

2.6.5 Faktor yang mendukung kepatuhan

a. Pendidikan
Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan. Sepanjang bahwa
pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan
buku – buku dan kaset oleh pasien secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien
yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Sebagai contoh, pasien yang
mandiri harus dapat merasakan bahwa ia dilibatkan secara aktif dalam
program pengobatan, sementara pasien yang mengalami ansietas, harus
diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia atau
dengan teknik – teknik yang lain sehingga pasien termotivasi untuk
mengikuti anjuran pengobatan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan social
Hal ini berarti membangun dukungan social dari keluarga dan teman –
teman. Kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu kepatuhan
terhadap program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin, dan pasien
terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
e. Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien.
Sangat penting memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh
informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang
kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan
dengan kondisi seperti itu. Penjelasan yang diberikan dapat membantu
meningkatkan kepercayaan pasien untuk melakukan konsultasi dan
selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.
2.7 Pengetahuan

2.7.1 Pengertian pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan (knowledge) adalah hasil


tahu dari manusia yang sekedar menjawab pertanyaan “What”. Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan, penciuman, rasa
dan raba. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior).

Menurut Bloom dan Skinner pengetahuan adalah kemampuan


seseorang untuk mengungkapkan kembali apa yang diketahuinya dalam
bentuk bukti jawaban baik lisan atau tulisan, bukti atau tulisan tersebut
merupakan suatu reaksi dari suatu stimulasi yang berupa pertanyaan baik lisan
atau tulisan (Notoatmodjo 2003).

2.7.2 Kategori pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan dibagi dalam 3 kategori, yaitu :

a. Baik : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100% dari
seluruh pertanyaan.

b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75% dari
seluruh pertanyaan

c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% - 55% dari
seluruh pertanyaan

2.7.3 Faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Soekidjo Notoadmojo (2003) faktor – faktor yang


mempengaruhi pengetahuan adalah :

1. Umur
Usia atau umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir
seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik. Dapat diperkirakan bahwa IQ akan menurun sejalan
dengan bertambahnya usia, khususnya beberapa kemampuan yang lain
seperti misalnya kosakata dan pengetahuan umum (Erfandi, 2009).
2. Jenis kelamin
Pada umumnya perempuan lebih sensitif dan mau menerima masukan
yang baik terutama masalah kesehatan sehingga memunculkan motivasi
untuk menjaga kebersihan dan kesehatan pribadi dan lingkunganya lebih
baik dibandingkan laki – laki (Syachroni, 2012).
3. Pendidikan
Pendidikan juga suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.
Pendidikan mempengaruhi proses belajar, semakin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Semakin banyak informasi yang masuk semakin banyak pula pengetahuan
yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan sangat erat hubunganya
dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan
tinggi maka orang tersebut semakin luas pengetahuanya. Namun perlu
ditekankan bahwa seseorang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak
berpengetahuan rendah pula.
Pengetahuan seseorang tentang suatu obyek juga mendukung dua aspek
yaitu aspek positif dan aspek negatif. Kedua aspek inilah yang akhirnya
menentukan sikap seseorang terhadap obyek tertentu. Semakin banyak
aspek positif dari obyek yang diketahui akan menumbuhkan sikap makin
positif terhadap obyek tersebut (Erfandi, 2009).
4. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan. Ditinjau
dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang lain lebih
banyak pengetahuanya bila dibandingkan dengan orang tanpa ada
interaksi dengan orang lain. Pengalaman belajar dalam bekerja yang
dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional
serta pengalaman belajar dalam bekerja akan dapat mengembangkan
kemampuan dalam mengambil keputuan yang merupakan keterpaduan
menalar secara ilmiah dan etik (Ratnawati, 2009)
5. Sumber informasi
Informasi yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal
dapat memberikan pengaruh jangka pendek sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya tehnologi akan
tersedia beermacam – macam media masa yang dapat mempengaruhi
pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Adanya informasi baru
mengenai suatu hal memberikan landasan kognitif baru terbentuknya
pengetahuan terhadap hal tersebut (Erfandi, 2009).

2.8 Sikap

2.8.1 Pengertian sikap

Howard kendle mengemukakan bahwa sikap merupakan


kecenderungan (tendency) untuk mendekati (approach) atau menjauhi (avoid),
atau melakukan sesuatu, baik secara positif maupun secara negatif terhadap
suatu lembaga, peristiwa, gagasan atau konsep.

Paul Massen dan David Krech, berpendapat sikap merupakan suatu sistem dari
tiga komponen yang saling berhubungan, yaitu kognisi (pengenalan), feeling
(perasaan), dan action tendency (kecenderungan untuk bertindak) (Yusuf,
2006).

2.8.2 Kategori sikap

Menurut Azwar (2011), sikap terdiri dari :

1. Menerima (receiving)
Menerima, diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatiakan
stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan
tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, lepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang
menerima ide tersebut
3. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan
orang lain terhadap suatu masalah
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.

2.8.3 Faktor yang mempengaruhi tebentuknya sikap

Menurut Azwar (2011) faktor – faktor yang mempengaruhi


terbentuknya sikap, yaitu :

1. Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Middlebrook
(1974) mengatakan bahwa tidak adanya pengalaman sama sekali dengan
suatu objek psikologis cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap
objek tersebut.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis
atau searah dengan sikap seseorang yang dianggapnya penting. Diantara
orang yang biasanya dianggap penting oleh individu adalah orang tua,
orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru,
teman kerja, dan lain-lain.
3. Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap
berbagai masalah karena kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan
mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita.
4. Media massa

Dalam penyampaian informasi dalam tugas pokoknya, media massa


membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini
seseorang. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut,
apabila cukup kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama


Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam
individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang
mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.
6. Pengaruh faktor emosional
Suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego. Peran gender sangat mempengaruhi keadaan
emosional, perempuan menekankan pada tanggung jawab sosial dalam
emosinya. Perempuan lebih merasa bertanggung jawab terhadap emosi
orang lain. Mereka sangat memperhatikan keadaan emosi orang lain
sehingga lebih mampu untuk memahami perubahan emosional. Oleh
sebab itu kaum perempuan biasanya jauh lebih memiliki empati daripada
laki-laki (Azwar, 2011).

2.8.4 Pengukuran sikap

Skala Likert merupakan metode pengukuran yang digunakan untuk


mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau kelompok orang
tentang fenomena sosial. Skala Likert adalah teknik skala non-komparatif dan
unidimensional (hanya mengukur sifat tunggal) secara alami. Responden
diminta untuk menunjukkan tingkat kesepakatan melalui pernyataan yang
diberikan dengan cara skala ordinal (Sugiono, 2012).

Menurut Azwar (2011), pengukuran sikap diklasifikasikan menjadi 2


kategori, yaitu :

a) Sikap baik, apabila total skor ≥ 66,7%

b) Sikap kurang baik, apabila total skor < 66,7%

2.9 Perilaku

2.9.1 Pengertian perilaku

Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang


mempunyai bentangan yang sangat luas, mencakup : berjalan, berbicara,
bereaksi, berpakaian dan lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal
aktivity) seperti berfikir, persepsi dan emosi juga merupakan perilaku
manusia. Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok,batau masyarakat.
(Notoatmodjo, S. 2003).

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku


merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari
luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus
-----> Organisme -----> Respons, sehingga teori Skinner disebut dengan teori
“S-O-R”. Respons ini terbentuk 2 macam yaitu :

a. Respondent respons atau reflexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh


rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu yang disebut eliciting tetap.
stimulus, karena menimbulkan respon yang relatif
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau rangsangan yang lain.
(Notoatmodjo, S. 2010). Berdasarkan teori “S-O-R” tersebut, maka
perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
 Perilaku Tertutup (covert behavior)

Perilaku tertutup terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut masih


belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon
seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi,
pengetahuan, dan sikap terhadap stimulus yang bersangkutan. Bentuk
covert behavior yang dapat diukur adalah pengetahuan dan sikap.

 Perilaku Terbuka (overt behavior)

Perilaku terbuka ini terjadi bila respon terhadap stimulus tersebut


sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari
luar atau “observable behavior”. Bentuk perilaku terbuka diantaranya
berupa tindakan nyata atau dalam bentuk praktik (Notoatmodjo, 2010).

2.9.2 Faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Notoatmodjo (2010) perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor)


Faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap halhal
yang berkaitan dengan kesehatan, system nilai yang dianut oleh
masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors)

Faktor pemungkin mencakup ketersediaan sarana dan prasana atau


fasilitas kesehatan. Untuk dapat berperilaku sehat, diperlukan sarana dan
prasarana yang mendukung atau fasilitas yang memungkinkan
terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor ini disebut faktor pendukung
atau pemudah.

3. Faktor-faktor penguat

Untuk dapat berperilaku sehat positif dan dukungan fasilitas saja tidak
cukup, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) yang baik dari tokoh
masyarakat, petugas kesehatan (Notoatmodjo, 2010) dan pihak-pihak yang
bersangkutan.

2.9.3 Pengukuran perilaku

Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,
secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati
secara langsung tindakan dari subyek. Sedangkan secara tidak langsung
menggunakan metode mengingat kembali (recall), metode ini dilakukan
melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subyek tentang apa yang telah
dilakukan berhubungan dengan obyek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

2.10 Kerangka konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini meliputi 2 (dua) komponen, yaitu


variabel independen dan dependen. Variabel independen (bebas) dalam
penelitian ini adalah kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisis.
Sementara itu variabel dependennya (terikat) adalah komplikasi durante
hemodialisis. Berdasarkan uraian di atas didapatkan kerangka konsep sebagai
berikut
Karakteristik Faktor – faktor
1. Usia yang
2. Jenis Kelamin mempengaruhi
3. Pendidikan kepatuhan pasien
4. Status Hemodialisis:
pernikahan - Dukungan
5. Pekerjaan Gagal keluarga
Ginjal - Tingkat
Kronis pendidikan
stadium V - Lamanya
dengan menjalani
Faktor yang Hemodiali hemodialisis
mempengaruhi : sis - Motivasi

1. Diabetes
2. Hipertensi
3. Infeksi saluran
kemih
4. Batu saluran
kemih Kepatuhan:
5. Riwayat keluarga. - Pengaturan
cairan
- Pengaturan
makanan
- Program
pengobatan
Keluhan pre hemodialisis:

1. Oedem
2. Sesak
3. Mual muntah
4. Hipertensi Komplikasi akut hemodialisis :

1. Hipotensi
2. Hipertensi
3. Aritmia
4. Kram otot
5. Mual muntah

Keterangan:

Diteliti

Tidak diteliti

Gambar 2.1 Kerangka konsep kepatuhan pasien hemodialisis.


2.11 Hipotesis penelitian

Hipotesis penelitian yaitu jawaban sementara atau kesimpulan


yang diambil untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam
penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh antara
kepatuhan pasien hemodialisis dengan komplikasi durante hemodialisis
di Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Desain penelitian ini adalah analitik korelasi dengan pendekatan cross


sectional

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan di Unit Hemodialisis Rumah Sakit Katolik Budi


Rahayu Blitar pada bulan November 2020. Pasien Hemodialisis merupakan pasien
tetap sehingga diharapkan dalam rentang satu bulan telah mencakup seluruh pasien
CKD (Chronic Kidney Disease) yang menjalani Hemodialisis serta jumlah populasi
pada saat penelitian dapat mewakili jumlah pasien selama satu tahun.

3.3 Variabel penelitian

Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota suatu kelompok
(orang, benda, situasi) yang berbeda dengan yang dimliki oleh kelompok tersebut
(Nursalam,2011). Dalam penelitian ini terdapat 2 variabel, yaitu :

1. Variabel Independen (bebas)


Variabel independen (bebas) adalah suatu variabel yang nilainya menentukan
variabel lain (Nursalam,2011). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini
adalah kepatuhan pasien yang menjalani hemodialisis.
2. Variabel dependen (terikat)
Variabel Dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain
(Nursalam,2011). Dalam penelitian ini variabel terikat nya adalah komplikasi
durante hemodialisis.

3.4 Definisi operasional

Definisi operasional pada penelitian ini dijelaskan pada tabel 3.1

Tabel 3.1 Definisi operasional


Variabel Definisi operasional Parameter Alat ukur Skala data
Variabel Ketaatan pasien Kemampuan Kuesioner Interval
independen: dalam melaksanakan mengontrol diri kepatuhan,
Kepatuhan program pengobatan, dalam: merupakan
pasien diet dan pembatasan 1. Pengaturan modifikasi dari
menjalani cairan sesuai dengan cairan. kuesioner yang
hemodialisis ketentuan yang 2. Pengaturan disusun oleh
diberikan oleh makanan Hirmawati
petugas kesehatan. 3. Program (2014)
pengobatan Cara ukur
dengan
menggunakan
skala Likert
Variabel Komplikasi durante Komplikasi Lembar Interval
dependen: hemodialisis durante observasi
Komplikasi didefinisikan sebagai hemodialisis:
durante adanya manifestasi 1. Hipotensi
hemodialisa klinis terkait 2. Mual
dengan hemodialisa muntah
yang terjadi selama 3. Kram
sesi dialisis 4. Hipertensi

3.5 Populasi, Sampel dan Sampling Penelitian

3.5.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah 15 responden yaitu seluruh pasien


hemodialisis pada bulan November 2020 di Unit Hemodialisis Rumah Sakit
Katolik Budi Rahayu.

3.5.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien hemodialisis di Unit


Hemodialisis Rumah Sakit Katolik Budi Rahayu yang ada saat penelitian
dilaksanakan dan memenuhi kriteria inklusi.

3.5.3 Sampling penelitian

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling,


yaitu pengumpulan sampel dilakukan secara selektif dengan cara menetapkan
kriteria inklusi sebelumnya. Jadi, subyek yang diteliti benar – benar dipilih
dan disesuaikan dengan topik yang diteliti (Doli,2016)

3.5.4 Kriteria inklusi

a. Pasien CKD (Chronic Kidney Disease) stadium V yang menjalani


Hemodialisis.
b. Pasien yang mampu membaca dan menulis.
c. Pasien tidak dalam kondisi kritis.
3.5.5 Kriteria eksklusi

a. Pasien yang mengalami komplikasi


b. Pasien yang mengalami penurunan kesadaran dan kondisi.

3.6 Kerangka kerja penelitian

Kerangka kerja penelitian disajikan dalam gambar 3.1, sebagai berikut :

Pasien dengan gagal ginjal kronis yang menjalani


hemodialisis di RS Katolik Budi Rahayu Blitar

Sample sesuai kriteria inklusi

Kriteria eksklusi

Pengisian lembar informed consent

Pengumpulan data dengan


pengisian lembar quesioner dan
hasil cheklist

Pengolahan dan analisa data

Penyajian hasil

3.7 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kuesioner

Alat pengumpul data atau instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner yang merupakan modifikasi dari kuesioner yang disusun oleh Hirmawati
(2014) dalam bentuk pernyataan – pernyataan yang berkaitan dengan data
karakteristik pasien Hemodialisis, dan kepatuhan pasien Hemodialisis.

Tabel 3.2 Blue print kuesioner kepatuhan

Jenis Nomor Item


Variabel Indikator
anjuran Favorable Unfavorable
Kepatuha Terapi Pasien mematuhi jadwal
n
hemodialisis terapi yang telah 20
dan ditetapkan
Pasien tidak mengakhiri
pengobatan
sesi terapi sebelum batas 21, 22
waktu yang ditetapkan
Pasien meminum obat
19
sesuai anjuran
Membatasi Pasien membatasi jumlah
konsumsi air air yang dikonsumsi setiap 1,4,5,6,7,8,17,18 2,3,9,16
hari
Mengawasi Pasien mengawasi
13,15 10,11,12,14
makanan makanan yang dikonsumsi

b. Lembar observasi
Lembar observasi ini berisikan observasi kepatuhan pasien terhadap terapi dan
pengobatan, pembatasan cairan serta diet. Dan kejadian komplikasi durante
hemodialisis.

3.8 Metode pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian. Langkah-
langkah dalam pengumpulan data bergantung pada rancangan penelitian dan teknik
instrumen yang digunakan (Burns dan Grove, 1999). Langkah – langkah penelitian
yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Proses pengumpulan data didahului dengan prosedur birokrasi atau surat


perijinan. Peneliti mengurus surat ijin dari kampus STIKes Patria Husada Blitar
yang ditujukan kepada lahan penelitian (direktur Rumah Sakit katolik Budi
Rahayu Blitar).
2. Peneliti melakukan sosialisasi dan persamaan persepsi kepada perawat ruang HD
(sebagai enumerator) yang akan menjadi tempat penelitian. Syarat sebagai
enumerator adalah perawat HD yang sudah bersertifikat pelatihan HD dan
mempunyai pengalaman di HD > 3 tahun.
3. Peneliti menentukan sampel yang memenuhi kriteria dalam penelitian.
4. Peneliti menjelaskan tujuan penelitian, manfaat penelitian dan proses penelitian
kepada responden.
5. Peneliti menyerahkan kuesioner dan responden dipersilahkan untuk memahami
penelitian yang dilaksanakan dengan membaca petunjuk penelitian.
6. Peneliti mempersilahkan responden untuk menandatangani lembar persetujuan
atas keikutsertaannya sebagai subyek penelitian dan mengisi kuesioner tentang
kepatuhan.
7. Waktu pengisian kuesioner adalah 15 menit.
8. Kuesioner yang telah selesai diisi diserahkan kembali kepada peneliti dan peneliti
melakukan pengecekan terhadap kelengkapan dan kejelasan isian kuesioner.
9. Peneliti mengumpulkan kuesioner – kuesioner yang telah diisi oleh responden
dalam satu dokumen.
10. Peneliti bersama enumerator melakukan observasi selama durante hemodialisis
dengan menggunakan lembar observasi.
11. Peneliti mengumpulkan data untuk dianalisa dan ditabulasi.
12. Penyajian hasil

3.9 Metode pengolahan dan Analisis data

Setelah proses pengambilan data selesai, data yang didapat diolah dan
disajikan dalam bentuk diagram. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan
program pengolahan data statistic komputerisasi.

Jenis skala variabel yang diuji menggunakan uji t berpasangan, bila kelompok data
yang dibandingkan datanya saling mempunyai ketergantungan, jika persebaran data
yang tidak normal sehingga uji hipotesis yang digunakan adalah uji Wilcoxon (Doli,
2016). Uji normalitas berguna untuk menentukan data yang telah dikumpulkan
berdistribusi normal atau diambil dari populasi normal. Uji normalitas yang
digunakan adalah Uji Shapiro Wilk yang efektif dan valid digunakan untuk sampel
yang berjumlah kecil (Hidayat, 2013).

3.10 Etika Penelitian

3.10.1 Informed consent

Informed Concent atau lembar persetujuan adalah suatu formulir pernyataan


yang berisi tentang kesediaan pasien untuk menjadi subjek penelitian.
Informed consent diberikan kepada responden sebelum penelitian dilakukan,
dengan tujuan responden mengetahui maksud dan tujuan penelitian. Jika
responden menolak diteliti, maka peneliti tidak akan memaksa dan
menghormati haknya.

3.10.2 Anonimity

Nama responden tidak dicantumkan pada lembar kuisioner, untuk mengetahui


keikutsertaannya, peneliti cukup menuliskan kode nomor tertentu.

3.10.3 Confidentiality

Semua informasi yang dikumpulkan akan dijamin kerahasiaannya oleh


peneliti, hanya data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

CANTUMKAN DAFTAR PUSTAKANNYA DAN LAMPIRAN KUESIONER SERTA


LEMBAR OBSERVASI

Anda mungkin juga menyukai