Anda di halaman 1dari 8

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

ANALISIS JURNAL NASIONAL DAN INTERNASIONAL

”PENGARUH USIA SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERHADAP KUALITAS HIDUP


PASIEN DENGAN EPILEPSI”

DAN

”ANXIETY SENSITIVITY AS A PREDICTOR OF EPILEPSI – RELATED QUALITY


OF LIFE AND ILLNESS SEVERITY AMONG”

DOSEN PENGAMPU :
Dr. Hj. Nunung Herlina, SKp, Mpd

DISUSUN OLEH :
Rismaya Ulfah
1811102411158

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR


FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI
S1 KEPERAWATAN
2020

Analisa Jurnal Dalam Negeri


Title Pengaruh Usia Sebagai Faktor Risiko Terhadap Kualitas Hidup Pasien Dengan
Epilepsi
Journal Callosum Neurology
Published September 2018
Author Rizaldy Taslim Pinzon, Andre Dharmawan Wijono, Rosa De Lima Renita
Sanyasi, Fransiscus Buwana Jesisca

Hanya ada sedikit penelitian tentang kualitas hidup pasien epilepsi di


Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan antara usia,
Abstrak
usia saat onset kejang pertama muncul, dan durasi epilepsi terhadap kualitas
hidup pasien epilepsi. Kualitas hidup diukur menggunakan Short form 8 (SF-8).
Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering
terjadi dan didefinisikan sebagai suatu keadaan kejang berulang (dua kali atau
lebih) tanpa diprovokasi oleh penyebab yang jelas. Diperkirakan lebih dari 50
juta orang di dunia menderita epilepsi. Kasusnya di negara berkembang berkisar
antara per-1.000 orang menderita epilepsi, dengan insiden mencapai 50 per-
100.000 pertahun. Sekitar 77% pasien epilepsi mengalami hambatan dalam
fungsi sosial sehari-hari yang berpengaruh pada kualitas hidupnya. Penelitian
terdahulu telah membuktikan bahwa pasien epilepsi memiliki kualitas hidup
yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi orang sehat pada umumnya.
Pasien epilepsi tidak hanya terbebani dengan risiko penyakitnya berupa timbul/
Pendahuluan
kambuhnya gejala bangkitan saja, namun juga terbebani dengan pandangan
negatif masyarakat terhadap mereka sebagai penyandang epilepsi. Hal tersebut
akhirnya akan memengaruhi kualitas hidup mereka.
Faktor usia, usia saat onset kejang pertama muncul, dan durasi epilepsi
memiliki potensi mempengaruhi kualitas hidup pasien epilepsi. Sampai saat ini,
hanya ada sedikit literatur yang meneliti tentang hal ini. Meskipun usia, usia
saat onset kejang pertama muncul, dan durasi epilepsi merupakan faktor risiko
yang tidak dapat diubah, namun ketiga faktor tersebut sangatlah penting untuk
menentukan tinggi atau rendahnya kualitas hidup dan akan sangat bermanfaat
untuk membantu proses perawatan fisik maupun sosial pasien epilepsi.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh usia, usia saat onset
kejang pertama muncul, dan durasi epilepsi terhadap kualitas hidup pasien
Tujuan
epilepsi dengan menggunakan Short Form 8 (SF8). SF-8 merupakan instrumen
yang digunakan untuk menilai kualitas hidup.
Metode Penelitian ini menggunakan metode potong lintang yang dilakukan di
Penelitian Poliklinik Saraf Rumah Sakit Bethesda, Yogyakarta pada November 2017
sampai Februari 2018.
Kriteria inklusi meliputi semua pasien baik wanita maupun laki-laki yang
didiagnosis epilepsi oleh dokter spesialis saraf, usia di atas 18 tahun. Pasien
dieksklusi dari penelitian ini apabila: mengalami depresi berat, demensia, dan
penurunan kesadaran yang persisten, rekam medis yang tidak lengkap, menolak
mengikuti penelitian ini.
Kualitas hidup diukur menggunakan Short form 8 (SF-8). Short Form
(SF) 8 terdiri dari 8 pertanyaan yang mewakili 8 parameter kualitas hidup, yaitu:
general health perceptions (GH), physical functioning (PF), physical role
functioning (RP), bodily pain (BP), vitality (VT), social role functioning (SF),
mental health (MH), emotional role functioning (RE). Physical component score
(PCS), dan mental component score (MCS) merupakan hasil ringkasan skor dari
komponen kualitas hidup pada aspek kesehatan fisik dan mental. Pertanyaan
harus dijawab oleh pasien/ orang tua/ pengasuh melalui wawancara secara
langsung dengan peneliti
Penelitian ini dirancang untuk mencari pengaruh usia, usia saat onset
kejang pertama muncul, dan durasi epilepsi terhadap kualitas hidup pasien
epilepsi. Usia memiliki pengaruh besar terhadap kualitas hidup pasien epilepsy.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien epilepsi usia ≥60 tahun
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dalam aspek kesehatan mental
maupun fisik. Pasien epilepsi yang lebih tua mengalami penurunan proses
belajar dan daya ingat yang lebih cepat dibandingkan dengan orang tanpa
epilepsi. Hal ini membuat pasien epilepsi usia tua memiliki kualitas hidup yang
lebih rendah baik fisik maupun mental. Penambahan usia secara signifikan
berhubungan dengan bertambahnya masalah kesehatan. Pasien epilepsi usia tua
juga akan memiliki masalah kesehatan lain yang berhubungan erat dengan
kualitas hidup yang rendah. Penelitian ini menemukan bahwa usia saat onset
kejang pertama muncul ≥55 tahun berhubungan dengan kesehatan mental yang
Pembahasan rendah. Endermann dan Zimmermann mengatakan bahwa onset kejang yang
pertama muncul pada usia dewasa meningkatkan perasaan cemas dan depresi
sehingga mempengaruhi kualitas hidup. Mengalami onset epilepsi yang pertama
muncul pada usia dewasa akan mengubah banyak hal dalam diri penderitanya.
Kehilangan pekerjaan, pembatasan aktivitas, ketergantungan pada orang lain
merupakan beberapa contoh perubahan yang dapat terjadi. Orang yang
mengalami onset epilepsi pertama pada usia dewasa juga akan lebih sulit untuk
beradaptasi dengan kondisi barunya. Hal ini akan menambah beban penderita
epilepsi dan membuat kualitas hidup menjadi rendah. Pengaruh durasi epilepsi
terhadap kualitas hidup masih menjadi perdebatan. Hasil analisis penelitian ini
menunjukkan bahwa durasi epilepsi tidak berhubungan dengan kualitas hidup.
Shetty dkk menemukan bahwa pasien dengan durasi epilepsi lebih lama
memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih rendah. Mereka memiliki
kecemasan yang tinggi tentang penyakitnya karena pengobatan jangka panjang
yang harus dijalani.
Keterbatasan penelitian ini yaitu menggunakan metode potong lintang
sehingga pemeriksaan kualitas hidup menggunakan kuesioner SF-8 hanya dapat
Keterbatasan dilakukan sebanyak satu kali saja. Idealnya pemeriksaan dilakukan beberapa
kali dalam interval waktu tertentu sehingga perubahan kualitas hidup secara
kuantitatif dapat dinilai.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
pasien epilepsi berusia ≥60 tahun memiliki kualitas hidup yang rendah dalam
kedua aspek yaitu kesehatan mental dan fisik. Pasien dengan usia saat onset
Kesimpulan
pertama muncul ≥55 tahun memiliki kualitas hidup yang rendah dalam aspek
kesehatan mental. Durasi epilepsi tidak memengaruhi kualitas hidup pasien
epilepsi.
Analisa Jurnal Internasional

Title Sensitivitas Kecemasan Sebagai Prediktor Kualitas Hidup Terkait Epilepsi dan
Tingkat Keparahan Penyakit di antara Epilepsi Dewasa
Journal CrossMark
Published 2018
Author Adrienne L. Johnson, Alison C. McLeish, Talya Alsaid – Habia, Paula K. Shear,
Michael Privitera

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji peran sensitivitas


kecemasan dalam memprediksi kemungkinan kejang dan kualitas hidup di
antara 49 orang dengan epilepsi menggunakan pengukuran WRAT-4, PANAS,
QOLIE-31. Saat ini, tingkat sensitivitas kecemasan yang lebih tinggi secara
signifikan memprediksi kualitas hidup yang lebih buruk serta domain kualitas
Abstrak hidup dari kekhawatiran kejang, efek pengobatan, keterbatasan sosial, dan
fungsi kognitif. Sensitivitas kecemasan tidak secara signifikan memprediksi
kemungkinan kejang atau kualitas hidup terkait dengan kesejahteraan emosional
dan kesulitan energi. Penemuan ini menunjukkan bahwa orang dengan epilepsi
yang takut akan sensasi yang berhubungan dengan gairah mengalami gangguan
fungsional yang lebih besar, tetapi belum tentu epilepsi menjadi lebih parah.
Pendahuluan Epilepsi adalah kelainan neurologis paling umum keempat, yang
gambaran klinis utamanya adalah kejang akibat sinyal listrik yang berlebihan di
otak. Kejang dapat diklasifikasikan berdasarkan tiga kriteria yaitu di mana
kejang dimulai di otak, tingkat kesadaran selama kejang, fitur kejang lainnya.
Secara fisik, epilepsi dikaitkan dengan peningkatan risiko dua kali lipat untuk
serangan jantung, stroke, dan kematian dini. Orang dengan epilepsi juga sering
melaporkan kesulitan dengan memori, pengambilan keputusan, dan kemampuan
verbal dan nonverbal, seperti penguasaan bahasa, kecepatan proses, dan
kemampuan perseptual. Orang dengan epilepsi melaporkan kehilangan
pekerjaan dua kali lebih banyak karena kesehatan mereka dan hampir enam kali
lebih mungkin untuk memenuhi syarat disabilitas dibandingkan mereka yang
tidak menderita epilepsy. Kesejahteraan emosional juga terganggu karena
Orang dengan epilepsi dua kali lebih mungkin didiagnosis dengan gangguan
psikologis dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita epilepsi. Selain
itu, di antara mereka dengan epilepsi, individu yang mengalami kejang lebih
sering memiliki kualitas hidup yang paling buruk. Selain frekuensi kejang, salah
satu kontributor terkuat untuk kualitas hidup terkait epilepsi yang buruk adalah
psikopatologi komorbid. Gangguan kecemasan umum pada epilepsi termasuk
gangguan panik, gangguan kecemasan umum, dan fobia. Selain itu, Tingkat
gejala kecemasan di antara orang dengan epilepsi dikaitkan dengan frekuensi
kejang yang lebih besar dan waktu yang lebih singkat sejak kejang terakhir,
namun hubungan ini dimediasi oleh gejala depresi. Salah satu gangguan
kecemasan yang menjadi masalah utama pada epilepsi adalah gangguan panik.
Sensitivitas kecemasan, umumnya dikenal sebagai ketakutan akan kecemasan
atau sensasi psikologis dan fisik terkait kecemasan. Penelitian ini berhipotesis
bahwa peningkatan tingkat sensitivitas kecemasan akan mengakibatkan
peningkatan tingkat stres serta amplifikasi gejala kecemasan umum dan
epilepsi-spesifik yang sudah ada sebelumnya. Proses ini dapat berkontribusi
pada penurunan kualitas hidup secara keseluruhan dan peningkatan frekuensi
kejang pada mereka yang memiliki epilepsi dan kecemasan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan tes awal hipotesis
dengan memeriksa sejauh mana sensitivitas kecemasan berfungsi sebagai
Tujuan
prediktor dari kehadiran kejang dalam satu tahun terakhir (indeks keparahan
epilepsi) dan kualitas hidup terkait epilepsi.
Penelitian ini adalah cross sectional. Peserta dari penelitian ini adalah 49
non orang dewasa yang merokok dengan epilepsi rentang usia 21–76 tahun.
Semua peserta di bawah perawatan spesialis epilepsi yang bekerja di Pusat
Medode
Epilepsi Komprehensif dengan sertifikasi Level IV oleh National Association of
Penelitian
Epilepsy Centres (Labiner et al. 2010 ). Untuk dimasukkan dalam penelitian,
peserta harus berusia di atas 18, dengan diagnosis epilepsi yang dikonfirmasi
oleh ahli saraf, seperti yang dinilai melalui tinjauan rekam medis.
Pembahasan Studi ini meneliti hubungan antara sensitivitas kecemasan dan keparahan
epilepsi dan kualitas hidup di antara individu dengan berbagai jenis epilepsi
yang dirawat di klinik rawat jalan. Bertentangan dengan hipotesis, Temuan ini
menunjukkan bahwa ketakutan akan sensasi terkait dengan penurunan kualitas
hidup dan fungsional yang lebih besar dapat menimbulkan gangguan, tapi tidak
terkait dengan kemungkinan mengalami kejang dalam satu tahun terakhir.
Kejang dapat melibatkan beberapa sensasi, termasuk mual, takikardia,
gemetar, paresthesia, sesak napas, berkeringat, depersonalisasi, dan kehilangan
kendali. Untuk individu yang memiliki kepekaan kecemasan tinggi dan takut
akan sensasi seperti itu, kemungkinan akan memicu kekhawatiran tentang
kejang dan dapat berkontribusi pada keterbatasan fungsional yang lebih besar
karena menghindari aktivitas atau situasi yang mungkin memicu kejang atau
menghasilkan sensasi terkait gairah. Peningkatan sensitivitas kecemasan juga
dapat mengganggu fungsi kognitif, karena proses perhatian dialihkan ke
kecemasan dan pikiran mengganggu. Secara keseluruhan, tampak bahwa
sensitivitas kecemasan yang lebih besar tidak menghasilkan kemungkinan
kejang yang lebih besar, tetapi justru memperburuk dampak negatif dari
penyakit. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sensitivitas kecemasan
tampaknya menjadi konstruksi penting untuk diperiksa dalam populasi ini dan
mungkin menjadi target yang berguna untuk upaya intervensi yang bertujuan
untuk mengurangi gangguan fungsional yang signifikan yang dialami oleh
orang dengan epilepsy.
Penelitian ini adalah cross sectional, membatasi interpretasi kausal.
Penelitian selanjutnya akan mendapatkan keuntungan dari pemeriksaan dampak
longitudinal dari sensitivitas kecemasan pada keparahan epilepsi dan kualitas
hidup. Frekuensi kejang dikodekan sebagai variabel dikotomis (yaitu ada atau
tidaknya kejang dalam setahun terakhir) karena terbatasnya ketersediaan data
Keterbatasan frekuensi kejang dari tinjauan rekam medis. Pendekatan seperti itu
kemungkinan akan membutuhkan pengumpulan data prospektif daripada
penarikan retrospektif untuk secara akurat mencatat terjadinya kejang. Terakhir,
peserta dalam penelitian ini memiliki berbagai jenis epilepsi, membatasi
kemampuan kami untuk memeriksa efek diferensial pada populasi epilepsi yang
berbeda
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
Sensitivitas kecemasan tidak secara signifikan memprediksi kemungkinan
kejang atau kualitas hidup terkait dengan kesejahteraan emosional dan kesulitan
energi. Penemuan ini menunjukkan bahwa orang dengan epilepsi yang takut
Kesimpulan
akan sensasi yang berhubungan dengan gairah akan mengalami gangguan
fungsional yang lebih besar, tetapi belum tentu epilepsi yang lebih parah.
Intervensi yang bertujuan untuk mengurangi sensitivitas kecemasan mungkin
berguna dalam meningkatkan kualitas hidup pada populasi ini.
Kesimpulan Dari Kedua Jurnal Tersebut

Persamaan Kedua Kedua Jurnal menggunakan metode penelitian potong


Jurnal lintang/ cross sectional dengan mengambil peserta di atas usia
18 tahun.
Pasien epilepsi memiliki kualitas hidup yang lebih rendah
dalam aspek kesehatan mental. Kejang dapat muncul karena
perasaan cemas dan depresi sehingga mempengaruhi kualitas
hidup.
Kedua jurnal memiliki keterbatasan pada kesediaan data.
Hasil analisis kedua penelitian ini menunjukkan kesamaan
bahwa durasi epilepsi tidak berhubungan dengan kualitas hidup.
Perbedaan Kedua Perbedaan pada penelitian ini yaitu perbandingan sasaran dari
Jurna hipotesis kedua jurnal tersebut terkait kualitas hidup penderita
epilepsi dapat dipengaruhi oleh faktor usia dan sesitivitas
kecemasan pada penderita epilepsi.

Kesimpulan Dari Dari analisa kedua jurnal tersebut maka dapat disimpulkan
Kedua Jurnal bahwa Epilepsi merupakan salah satu kelainan neurologis yang
paling sering terjadi dan umum. pasien epilepsi mengalami
hambatan dalam fungsi sosial sehari-hari yang berpengaruh pada
kualitas hidupnya. Dan pasien epilepsi memiliki kualitas hidup
yang lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak menderita
epilepsi.

Anda mungkin juga menyukai