PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus
eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi ,6autoimun
kronis multisistemik. Perempuan usia reproduktif memiliki
prevalensi yang paling tinggi. SLE memiliki manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor
genetik, imunologis, hormonal serta lingkungan berperan
penting dalam patofisiologi SLE. Berdasarkan data Infodatin
2017, diperkirakan jumlah pasien SLE di Indonesia mencapai
1.250.000 orang.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dan kriteria imunologis. Pedoman yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kriteria berdasarkan American College of
Rheumatology tahun 1997 yang sudah direvisi dan divalidasi
oleh The Systemic Lupus International Collaborating
Clinics (SLICC).Manifestasi klinis SLE meliputi keterlibatan
kulit, mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan
sistem saraf pusat dan sistem imun. Kriteria imunologis
didasarkan pada hasil pemeriksaan ANA dan anti-dsDNA.
Terapi SLE berupa obat anti inflamasi non-steroid (OAINS),
kortikosteroid, dan disease modifiying drug yang pemberiannya
disesuai dengan derajat keparahan penyakit. Diperlukan
pemeriksaan secara periodik untuk mengetahui adanya
keterlibatan sistem organ lain serta pemantauan respon terapi
dan efek samping.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah
Konseling Eklektik efektif untuk memperbaiki derajat
depresi dan kualitas hidup pasien lupus eritematosus
sistemik ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
keefektifan konseling eklektik efektif memperbaiki derajat
depresi dan kualitas hidup pasien lupus eritematosus
sistemik
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis dalam memperkaya ilmu di bidang Psikiatri dan Ilmu
Penyakit Dalam tentang pemanfaatan konseling eklektik untuk
memperbaiki derajat depresi dan kualitas hidup pasien lupus
eritematosus sistemik.
2. Manfaat Klinis
a) Bagi pasien LES hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu cara untuk memperbaiki depresi dan
kualitas hidup.
b) Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan konseling
eklektik dapat dimasukkan ke dalam Standart
Operational Procedure perbaikan depresi dan kualitas
hidup pada pasien LES.
3. Manfaat Kedokteran Keluarga
Memberikan informasi bagi teman sejawat dokter pada
umumnya serta spesialis Kedokteran Jiwa dan spesialis
Penyakit Dalam pada khususnya, tentang penatalaksanaan
depresi pada pasien LES dengan menggunakan konseling
eklektik.
BAB II
PEMBAHASAN
Nyeri sendi
Sendi bengkak
Mulut atau hidung mengalami luka yang tak kunjung sembuh
berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Di dalam urin terdapat darah atau bahkan protein (proteinuria)
Terdapat ruam-ruam di berbagai permukaan kulit
Rambut rontok
Demam
Kejang-kejang
Dada sakit dan sulit bernapas akibat peradangan pada paru-paru
1. Faktor genetik
Para peneliti dari John Hopkins Center, pertama kali tertarik
oleh faktor penyebab penyakit lupus, dari adanya hubungan
antara gen keluarga dengan penderita. Nyatanya, keberadaan
penderita lupus dalam sebuah keluarga, dapat meningkatkan
kecenderungan penyakit lupus pada anggota keluarga lain.
Selain itu, anggota keluarga penderita lupus, ketika melakukan
tes medis, cenderung positif hasilnya.
2. Hormon
3. Lingkungan
2. Obat antimalaria
3. Kortikosteroid
4. Imunosupresan
Gagal ginjal
Gangguan pada darah, seperti anemia
Tekanan darah tinggi
Vaskulitis, peradangan pada pembuluh darah
Gangguan ingatan
Mengalami perubahan perilaku, seperti sering berhalusinasi
Kejang
Stroke
Penyakit jantung
Masalah pada paru-paru, contohnya peradangan pada selaput
paru-paru dan pneumonia
Mudah terserang berbagai penyakit infeksi
Kanker
antaranya:
Sinar matahari
Obat-obatan
Terjadi infeksi
eritematosus sistemik):
pada bagian wajah, kulit kepala, dan leher. Ruam ini sering
rongga mulut
Arthritis
mikroskop)
counts (sel darah putih rendah) atau low patelet counts (platelet
nuklir Sm, tes serologi positif palsu untuk sifilis yang diketahui
treponema fluoresen
berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada
rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-
leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema
inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet.
dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus
rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien.
pengobatan, glucocorticoidwithdrawalsyndrome,
ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada
yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non
dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak
Namun, ada beberapa tanda dan gejala khas dari penyakit lupus
yang mungkin bisa Anda amati dan waspadai. Beberapa tanda
dan gejala khas SLE adalah:
Penyebab
Faktor-faktor risiko
Dokter mungkin juga akan melakukan tes anti DNA yang lebih
spesifik untuk mengetahui perkembangan LES yang dialami
pasien. Dokter mungkin juga akan menyarankan pasiennya
melakukan konsultasi ke rheumatologist (spesialis sendi) untuk
diagnosis lebih lanjut.
Pengobatan di rumah
Sel darah.
Paru-paru.
Ras, lupus lebih sering terjadi pada ras Asia, Afrika, dan
Hispanik.
1. SLE
Rambut rontok.
Pitak permanen.
Gejala utama lain dari SLE adalah rasa nyeri. Pada sebagian
besar kasusnya, gejala ini muncul pada persendian tangan dan
kaki. Rasa nyeri juga mungkin dapat berpindah dengan cepat
dari sendi satu ke sendi lain. Meskipun demikian, kondisi
tersebut tidak akan menyebabkan kerusakan atau cacat
permanen pada persendian.
Ada beragam gejala lain yang dapat muncul selain yang gejala
di atas. Berikut beberapa gejala SLE lain yang mungkin dialami
pengidapnya:
Sakit kepala.
Rambut rontok.
Mata kering.
Sakit dada.
Hilang ingatan.
Ada beberapa hal yang bisa anda lakukan untuk mencegah diri
dari serangan penyakit lupus, di antaranya:
Berhenti merokok.
Berolahraga secara teratur.
(Hahn BH, 1992) Pada interaksi antara gen yang rentan dan
faktor lingkungan dapat berakibat pada respon imun
abnormal yang bervariasi di antara penderita. Respon imun
tersebut terdiri dari
1) aktivasi kekebalan bawaan (sel dendritik, monosit/
makrofag) oleh DNA CpG, DNA pada kompleks
imun, virus RNA, dan RNA pada RNA/ protein
self-antigen
2) turunnya ambang aktivasi yang abnormal pada jalur
kekebalan adaptif (limfosit T dan limfosit B).
3) pengaturan CD4 + yang tidak efektif dan CD8 + sel
T dan
4) mengurangi clearence kompleks imun dan sel
apoptosis (Hahns BH, 1992).
Self-antigen (DNA nucleosomal/protein, RNA/ protein Sm, Ro
dan La, fosfolipid) yang terdapat di dalam surface bleps pada
sel apoptosis akan mudah dikenali sistem kekebalan tubuh,
sehingga antigen, autoantibodi dan kompleks imun bertahan
untuk jangka lama, menyebabkan aktivitas peradangan
meningkat. Aktivasi sel kekebalan disertai dengan peningkatan
sekresi tipe proinflamasi 1 dan 2 interferon (IFNs) tumor
necrosis factor (TNF ) interleukin (IL) 17 dan B cytocin cell-
maturation/ survival B limfosit stimulator (BlyS/ Baff) dan IL-
10 (Dean GS et al., 2000; Shmerling RH., 2003) Upregulation
gen yang disebabkan oleh interferon adalah tanda tangan
genetik dalam sel darah perifer dari LES sekitar 50 % pasien.
Penurunan produksi sitokin juga memberikan kontribusi untuk
LES; LES T dan natural killer (NK) sel 18 gagal untuk
menghasilkan faktor pertumbuhan yang cukup IL-2 dan
mengubah (TNF ) untuk menginduksi dan mempertahankan
CD4+ dan CD 8 + sel T. Hasil dari kelainan ini didukung
kompleks produksi antibodi (Dean GS et al., 2000) . Pada
kekebalan, subset patogenik mengikat jaringan target, dengan
aktivasi komplemen, menyebabkan pelepasan sitokin, kemokin,
vasoaktif peptida, oksidan dan enzim yang merusak. Hal ini
disertai dengan masuknya jaringan target sel dendritik. Dalam
pengaturan peradangan kronis, akumulasi faktor pertumbuhan
dan produk oksidasi kronis berkontribusi pada kerusakan
jaringan ireversibel, termasuk fibrosis/ sklerosis, di glomeri,
arteri, otak, paru-paru dan jaringan lainnya. Interaksi faktor
genetik dan lingkungan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal, sehingga terjadi produksi patogenik
autoantibodi dan terbentuk kompleks antigenantibodi di
sirkulasi dan jaringan , mengaktivasi komplemen, terjadi
inflamasi serta kerusakan jaringan melalui reaksi
hipersensitivitas tipe III (Hahn BH 1992, Dean DS, et al.,
2000).
1.5. LES dan Psikoneuroimunologi