Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus
eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi ,6autoimun
kronis multisistemik. Perempuan usia reproduktif memiliki
prevalensi yang paling tinggi. SLE memiliki manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor
genetik, imunologis, hormonal serta lingkungan berperan
penting dalam patofisiologi SLE. Berdasarkan data Infodatin
2017, diperkirakan jumlah pasien SLE di Indonesia mencapai
1.250.000 orang.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis
dan kriteria imunologis. Pedoman yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kriteria berdasarkan American College of
Rheumatology tahun 1997 yang sudah direvisi dan divalidasi
oleh The Systemic Lupus International Collaborating
Clinics (SLICC).Manifestasi klinis SLE meliputi keterlibatan
kulit, mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan
sistem saraf pusat dan sistem imun. Kriteria imunologis
didasarkan pada hasil pemeriksaan ANA dan anti-dsDNA.
Terapi SLE berupa obat anti inflamasi non-steroid (OAINS),
kortikosteroid, dan disease modifiying drug yang pemberiannya
disesuai dengan derajat keparahan penyakit. Diperlukan
pemeriksaan secara periodik untuk mengetahui adanya
keterlibatan sistem organ lain serta pemantauan respon terapi
dan efek samping.

Sumber : dokterinternet, Wikimedia Commons, 2013


Morbiditas dan mortalitas akibat SLE cukup tunggi. SLE
menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan angka
kematian. Oleh karena itu diperlukan pengenalan dini serta
penatalaksanaan penyakit yang tepat agar prognosis pasien SLE
menjadi lebih baik.
Masalah Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah prototipe
penyakit autoimun, yang merupakan suatu penderitaan yang
dapat menimbulkan manifestasi klinis dengan spektrum yang
luas dan gangguan imunologi yang beragam yang melibatkan
hampir semua sistem organ (Ramirez, 2004). Saat ini belum
ada obat untuk LES, dan kondisi ini dapat mengancam hidup
ketika mempengaruhi organ utama. Baru-baru ini, terdapat
penurunan dramatis dalam kematian dari semua penyebab
antara pasien dengan LES yang sebagian dapat dikaitkan
dengan kemajuan pengobatan yang menunda perkembangan
penyakit dan meminimalkan kerusakan organ. Bagi banyak
pasien yang terdiagnosis LES, penyakit ini terus memiliki
dampak besar pada kehidupan sehari-hari mereka (Julian,
2009)..
Di Amerika Serikat, Angka Kejadian 2 LES diperkirakan
mencapai 5,1 per 100.000 penduduk, sementara prevalensi LES
di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, 10
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.
Prevalensi penderita LES di Cina adalah 1 :1000 (Isenberg and
Manzi, 2008). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika
mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap LES, penyakit ini
ternyata sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang
hidup di Afrika. Di Inggris, LES mempunyai prevalensi 12
kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per
100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini
pada Polynesian sebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan
hanya 14,6 kasus per 100.000 populasi pada orang kulit putih
(Pons-Estel, 2010). Di Indonesia sendiri jumlah penderita LES
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama atau
bahkan lebih besar daripada jumlah penderita LES di Amerika
yaitu 1.500.000 orang (Yayasan LES Indonesia, 2012),
sedangkan berdasar data dari riset kesehatan dasar tahun 2013
(RISKESDAS) Kementrian Kesehatan Indonesia prevalensi
LES dari populasi penduduk belum didapatkan data. Data YLI
menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit LES di
Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi
13.300 jiwa per April 2013. Setiap tahun ditemukan lebih dari
100.000 penderita baru.

Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya


kebutuhan penderita LES dan keluarganya tentang informasi,
pemberian edukasi dan konseling, serta dukungan sosial yang
terkait dengan LES. Oleh karena itu penting sekali
meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk
penyakit LES terhadap kesehatan serta dampak psikososial
yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya.
Permasalahan manifestasi klinik yang muncul baik secara fisik
dan psikis pada pasien LES dapat berpengaruh terhadap
penerimaan diri pasien ketika terdiagnosis LES serta
menghambat tugas perkembangannya karena kesehatan fisik
(Hurlock, 2011). LES merupakan penyakit yang menyerang
lebih banyak wanita. Pada anak-anak dan orang dewasa dengan
usia diatas 50 tahun, penyakit LES 4 memiliki kemungkinan
hanya sekitar < 5% dari semua kasus yang ada, sementara pada
usia 15-45 tahun hampir 90%. Hurlock (2011) menyebutkan
bahwa masa dewasa awal yang dimulai dari usia 18-40 tahun
terjadi perubahan secara fisik dan psikis yang mengikuti dalam
proses perkembangan individu. Dalam tugas perkembangan
pada tahap dewasa awal, individu cenderung akan menerapkan
nilai-nilai serta harapan dan penyesuain pola hidup baru dalam
bermasyarakat atau bersosial. Menurut Hurlock (2011),
tuntutan dari tugas perkembangan pada usia dewasa awal ini
lebih berfokus pada pencarian pekerjaan (karir dan prestasi),
memilih pasangan hidup atau membangun relasi lawan jenis,
keinginan untuk membentuk keluarga, mengelola rumah tangga
dan membesarkan anak-anak. Tugas-tugas perkembangan yang
terhambat akibat penyakit LES ini juga akan berdampak pada
kesejahteraan psikologis odapus, dimana salah satu dimensi
kesejahteraan psikologis menurut Hurlock (2011) adalah
penerimaan diri (self-acceptance). Seseorang yang terdiagnosis
penyakit kronis seperti LES mengalami perubahan yang
dramatis dalam gaya hidup dan penurunan yang berat pada
kemampuan fungsional dan kualitas hidup (Philip et al., 2009).
Pada studi ternyata terdapat skema kognitif pada waktu
seseorang terdiagnosis dengan suatu penyakit kronis yang
berkorelasi dengan mekanisme koping terhadap penyakit dan
kondisi yang diakibatkan penyakit (Philip et al., 2009) ada
hubungan antara persepsi diagnosis penyakit kronis dalam
durasinya, gejala yang tak terkendali, dengan munculnya
konsekuensi negatif dan manifestasi gejala depresi (Van Exel et
al., 2013). Seseorang yang terdiagnosis dengan penyakit kronis
seringkali terjadi gangguan kesehatan mental (Van Exel et al.,
2013). Studi juga menunjukkan bahwa orang yang terdiagnosis
penyakit kronis sebagaimana halnya dengan LES memiliki
tingkat gangguan emosional yang lebih tinggi daripada orang
yang sehat (Bachen, Chesney, & Criswell, 2009). Pasien LES
memiliki cara pandang terhadap dampak dari penyakit mereka
pada fisik mereka, emosional, fungsi sosial, dan kualitas
kesehatan yang berhubungan dengan kualitas hidup secara
keseluruhan yang memandang dirinya lebih rendah pada pasien
5 dengan LES dibandingkan dengan populasi umum (Barnado
et al., 2012). Sebagian besar pasien LES melaporkan bahwa
mereka dihadapkan dengan tantangan masalah emosional dan
gejala psikologis seperti emosi negatif termasuk gangguan
depresi, kecemasan, dan gangguan mood (Beckerman &
Auerbach, 2012). Salah satu hal penting yang menyebabkan
timbulnya gangguan kecemasan dan depresi adalah SLE pada
sebagian orang dapat memasuki masa dimana gejalanya tidak
aktif (remisi) dan pada saat lainnya penyakit ini dapat menjadi
aktif (flare).
Temuan ini menunjukkan bahwa dampak depresi pada
pasien LES dapat menimbulkan pengaruh yang serius dari
masalah kesehatan mental apabila tidak diobati . 7
Pemberian antidepresan pada pasien LES digunakan pada
depresi dan kecemasan yang terdapat pada lebih dari
setengah dari semua orang yang menyandang LES yang
dapat disebabkan oleh penyakit itu sendiri, oleh obat yang
digunakan untuk mengobati penyakitnya, atau timbul oleh
sebab mekanisme koping yang tidak memadai. Namun
demikian antidepresan dapat menyebabkan efek samping
yang mungkin meniru atau mengintensifkan gejala LES
tertentu. Sebagai contoh, antidepresan dapat menyebabkan
peningkatan pengeringan selaput lendir, yang selanjutnya
dapat memperburuk gejala pada orang dengan sindrom
Sjogren (mata kering / kering sindrom mulut). Selain itu,
antidepresan telah dikaitkan dalam kasus yang jarang
terjadi di antara (pasien non-LES dan LES) populasi umum
dengan memburuknya perasaan depresi dan pikiran untuk
bunuh diri. Efek samping ini terutama terjadi di awal
pengobatan, selama perubahan dosis, atau pada orang di
bawah 25 tahun, sehingga memerlukan pemilihan yang
tepat saat memberikan antidepresan. Meskipun
direkomendasikan antidepresan yang aman seperti
Escitalopram yang memiliki efek samping yang sedikit,
namun demikian beberapa antidepresan menjadi kontra
indikasi karena efek samping yang ditimbulkan yang
tergantung pada situasi dan kondisi tertentu pasien LES.
Bahkan diantaranya mempunyai efek aritmia jantung dan
hipotensi dan SSRI yang mempunyai pengaruh terhadap
gastrointestinal seperti mual, muntal. Untuk itulah
dipertimbangkan dengan pemberian terapi non farmakologi
(Keogh, 2011; Cape J et al., 2010; Syamsulhadi, 2016).
Auerbach & Beckerman (2011) mempelajari dimensi
psikososial 378 orang yang didiagnosis dengan LES.
Dalam studi ini, pasien melaporkan tingginya angka
depresi terkait perubahan tubuh dan penampilan fisik,
kecemasan karena ketidaktahuan tentang LES, stres karena
ketidakpastian tentang masa depan, dan depresi karena rasa
keterbatasan sebagai akibat telah terdiagnosis penyakit
LES.
Strategi pengembangan dukungan ini penting untuk
memberikan dukungan psikososial kepada pasien LES oleh
keluarga mereka karena merawat pasien dengan penyakit
kronis seperti LES merupakan masalah yang kompleks
yang sering dipengaruhi oleh faktor psikosomatik dan
biofisik (Deter, 2012), selain itu juga agar pasien memiliki
perasaan otonomi dalam kehidupan dengan kemampuan
mengelola penyakit (Ben, 2011). Tujuannya adalah untuk
menguatkan daya tahan mental, dan meningkatkan adaptasi
lingkungan sehingga pasien dapat beradaptasi dengan baik
terhadap suatu masalah yang dihadapi dan untuk
mendapatkan suatu kenyamanan hidup terhadap gangguan
psikisnya (Sudiyanto, 2012). Untuk itu diperlukan suatu
bentuk terapi psikososial yang memungkinkan, yang sesuai
dengan perkembangan dan masalah pasien LES.
Pasien juga diharapkan mampu mengatasi stresor yang ada
setiap hari oleh sebab LES adalah suatu kondisi chronic
ilness yang faktor-faktor kekambuhan dan berat ringannya
terdapat keterkaitan dengan lifestyle seperti pola hidup
yang berdasarkan persepsi (Rizzuto d.,et al., 2012) serta
dapat mengurangi penggunaan obat-obatan antidepresan
akibat pengaruh depresi dan kecemasan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah
Konseling Eklektik efektif untuk memperbaiki derajat
depresi dan kualitas hidup pasien lupus eritematosus
sistemik ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
keefektifan konseling eklektik efektif memperbaiki derajat
depresi dan kualitas hidup pasien lupus eritematosus
sistemik
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
teoritis dalam memperkaya ilmu di bidang Psikiatri dan Ilmu
Penyakit Dalam tentang pemanfaatan konseling eklektik untuk
memperbaiki derajat depresi dan kualitas hidup pasien lupus
eritematosus sistemik.
2. Manfaat Klinis
a) Bagi pasien LES hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi salah satu cara untuk memperbaiki depresi dan
kualitas hidup.
b) Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan konseling
eklektik dapat dimasukkan ke dalam Standart
Operational Procedure perbaikan depresi dan kualitas
hidup pada pasien LES.
3. Manfaat Kedokteran Keluarga
Memberikan informasi bagi teman sejawat dokter pada
umumnya serta spesialis Kedokteran Jiwa dan spesialis
Penyakit Dalam pada khususnya, tentang penatalaksanaan
depresi pada pasien LES dengan menggunakan konseling
eklektik.
BAB II
PEMBAHASAN

A.Definisi LES Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

Lupus (odapus) adalah suatu penyakit yang menyerang sistem


imunitas dimana jaringan yang ada di dalam tubuh dianggap
sebagai benda asing. Lupus sendiri tergolong penyakit
berbahaya yang cukup banyak merenggut nyawa seseorang.
Bahkan penyakit ini setara dengan penyakit kanker yang bisa
berdampak pada kematian. Tidak sedikit dari mereka yang
menderita lupus tidak bisa tertolong lagi.

Di dunia penyakit ini cukup banyak di derita, dimana terdeteksi


lebih dari 5 juta orang mengidap penyakit lupus dan lebih dari
100 ribu kasus baru ditemui setiap tahunnya. Kata lupus yang
bahasa latinnya diartikan sebagai "anjing hutan" telah dikenal
sejak 1 abad lalu. Dulunya, penderita lupus dianggap sebagai
orang yang memiliki kelainan pada kulit. Dimana tanda awal
dari penyakit ini adalah munculnya abercak merah di bagian
wajah terutama pipi, badan terasa panas, rambut mulai rontok,
adanya pembengkakan pada sendi dan masih banyak lagi.

Menurut Dr. Rahmat Gunadi Dosen Fakultas Kedokteran


Unpad menyebutkan, jika reaksi pada sistem imunitas bisa
menyerang sebagian besar organ lain, seperti otot, jaringan
kulit, sistem saraf, sistem pencernaan, paru-paru, hati, tulang,
ginjal, mata, otak, pembuluh darah dan sel-sel darah di
dalamnya.

Secara garis besar, lupus diartikan sebagai kondisi dimana


tubuh telah memproduksi antibodi dengan jumlah yang sangat
besar. Dalam kondisi normal, antibodi memiliki peran untuk
menjaga tubuh dari masuknya benda asing seperti virus dan
bakteri yang dapat menyebabkan penyakit. Namun pada
penderita lupus, antibodi justru menyerang tubuhnya sendiri
dengan merusak sel-sel sehat di dalamnya. Akibatnya,
penderita lupus sering mengalami peradangan dan infeksi pada
sistem jaringan tubuhnya.

Lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus


eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis multisistemik. Perempuan usia reproduktif memiliki
prevalensi yang paling tinggi. SLE memiliki manifestasi klinis,
perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Faktor
genetik, imunologis, hormonal serta lingkungan berperan
penting dalam patofisiologi SLE. Berdasarkan data Infodatin
2017, diperkirakan jumlah pasien SLE di Indonesia mencapai
1.250.000 orang.
Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan
kriteria imunologis. Pedoman yang umumnya digunakan di
Indonesia adalah kriteria berdasarkan American College of
Rheumatology tahun 1997 yang sudah direvisi dan divalidasi
oleh The Systemic Lupus International Collaborating
Clinics (SLICC).Manifestasi klinis SLE meliputi keterlibatan
kulit, mukosa, sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan
sistem saraf pusat dan sistem imun. Kriteria imunologis
didasarkan pada hasil pemeriksaan ANA dan anti-dsDNA.
Terapi SLE berupa obat anti inflamasi non-steroid (OAINS),
kortikosteroid, dan disease modifiying drug yang pemberiannya
disesuai dengan derajat keparahan penyakit. Diperlukan
pemeriksaan secara periodik untuk mengetahui adanya
keterlibatan sistem organ lain serta pemantauan respon terapi
dan efek samping.

Sumber : dokterinternet, Wikimedia Commons, 2013


Morbiditas dan mortalitas akibat SLE cukup tunggi. SLE
menurunkan kualitas hidup pasien dan meningkatkan angka
kematian. Oleh karena itu diperlukan pengenalan dini serta
penatalaksanaan penyakit yang tepat agar prognosis pasien SLE
menjadi lebih baik.

terjadi Seberapa sering penyakit lupus?

Penyakit lupus termasuk peyakit yang jarang terjadi. Meski


belum diketahui angka yang pasti, namun di Indonesia sendiri,
orang yang mengalami penyakit ini ada sekitar 12.700 jiwa
pada tahun 2012. Kejadian penyakit ini kemudian meningkat
menjadi 13.300 pada tahun 2013.

Sebagian besar orang yang memiliki penyakit lupus adalah


wanita. Dilaporkan bahwa sebanyak 90% kasus penyakit lupus
yang terjadi dialami oleh wanita. Alasan hal ini belum
diketahui dengan pasti sampai sekarang. Tetapi, sebuah studi
yang diterbitkan dalam Annals of the Rheumatic
Disease menyatakan kalau hal ini terkait dengan kromosom gen
yang dimiliki wanita.
Selain itu, kebanyakan kasus lupus terdeteksi pada pasien yang
berusia 15-45 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan
kondisi ini terjadi pada anak-anak dan orang tua.

B. Jenis Jenis Penyakit SLE

Ada beberapa jenis penyakit lupus yang ada, yaitu:

 Systemic lupus erthematosus (SLE), merupakan jenis lupus


yang paling sering terjadi. Jenis penyakit ini menyerang
berbagai jaringan seperti, sendi, kulit, otak, paru-paru, ginjal,
dan pembuluh darah.
 Discoid lupus erthematosus, adalah jenis lupus yang
menyerang jaringan kulit, sehingga menyebabkan ruam-ruam.
 Neonatal lupus adalah penyakit lupus yang menyerang bayi
baru lahir. Penyakit ini dialami oleh bayi yang dilahirkan ibu
yang memiliki kelainan antibodi.
 Lupus akibat obat-obatan, gangguan ini biasanya hanya
dialami dalam waktu yang singkat saja. Jadi beberapa obat-
obatan mungkin saja menimbulkan efek samping yang
gejalanya mirip lupus. Kondisi pasien akan membaik kalau
penggunaan obat dihentikan.
 Subacute cutaneous lupus erythematosus, merupakan lupus
yang membuat jaringan kulit luka dan terbakar ketika terpapar
sinar matahari.

terjadi Seberapa sering penyakit lupus?

Penyakit lupus termasuk peyakit yang jarang terjadi. Meski


belum diketahui angka yang pasti, namun di Indonesia sendiri,
orang yang mengalami penyakit ini ada sekitar 12.700 jiwa
pada tahun 2012. Kejadian penyakit ini kemudian meningkat
menjadi 13.300 pada tahun 2013.

Sebagian besar orang yang memiliki penyakit lupus adalah


wanita. Dilaporkan bahwa sebanyak 90% kasus penyakit lupus
yang terjadi dialami oleh wanita. Alasan hal ini belum
diketahui dengan pasti sampai sekarang. Tetapi, sebuah studi
yang diterbitkan dalam Annals of the Rheumatic
Disease menyatakan kalau hal ini terkait dengan kromosom gen
yang dimiliki wanita.
Selain itu, kebanyakan kasus lupus terdeteksi pada pasien yang
berusia 15-45 tahun. Namun, tidak menutup kemungkinan
kondisi ini terjadi pada anak-anak dan orang tua.

Apa saja gejala dan ciri-ciri penyakit lupus?

Lupus adalah penyakit yang dikenal sebagai ‘penyakit 1000


wajah’. Sebutan ini muncul akibat penyakit kronis ini
menimbulkan gejala dan tanda yang hampir mirip dengan
penyakit lainnya. Sehingga, penyakit ini cenderung sulit untuk
dideteksi dini. Berikut adalah beberapa gejala dan tanda yang
biasanya dialami oleh odapus, menurut American College of
Rheumatology:

 Nyeri sendi
 Sendi bengkak
 Mulut atau hidung mengalami luka yang tak kunjung sembuh
berhari-hari hingga berbulan-bulan.
 Di dalam urin terdapat darah atau bahkan protein (proteinuria)
 Terdapat ruam-ruam di berbagai permukaan kulit
 Rambut rontok
 Demam
 Kejang-kejang
 Dada sakit dan sulit bernapas akibat peradangan pada paru-paru

Bila Anda mengalami setidaknya 4 gejala dan tanda tersebut,


maka sebaiknya segera periksakan diri ke dokter.

Apa saja penyebab penyakit lupus?

Lupus adalah penyakit kronis yang diakibatkan oleh gangguan


di dalam tubuh, sehingga sudah pasti bukan virus atau bakteri
penyebab utamanya. Faktanya, para ahli belum mengetahui
dengan pasti apa penyebab lupus. Ada banyak faktor yang
mungkin menyebabkan hal ini. Namun, beberapa teori
menyatakan bahwa penyakit lupus disebabkan karena adanya
interaksi gen, hormon, dan lingkungan.

1. Faktor genetik
Para peneliti dari John Hopkins Center, pertama kali tertarik
oleh faktor penyebab penyakit lupus, dari adanya hubungan
antara gen keluarga dengan penderita. Nyatanya, keberadaan
penderita lupus dalam sebuah keluarga, dapat meningkatkan
kecenderungan penyakit lupus pada anggota keluarga lain.
Selain itu, anggota keluarga penderita lupus, ketika melakukan
tes medis, cenderung positif hasilnya.

Lalu, dengan adanya gen yang memicu berkembangnya suatu


penyakit, bukan berarti juga orang tersebut dapat langsung
terkena atau dapat mewariskan penyakit lupus. Di lain hal, para
peneliti yakin kalau penyebab penyakit lupus ada kaitannya
dengan kondisi lingkungan yang buruk. Tapi sayangnya,
mereka masih belum bisa menentukan faktor mana yang paling
kuat menyebabkan seseorang menderita lupus.

2. Hormon

Nyatanya, wanita 9 kali lebih berisiko terkena lupus


dibandingkan pria. Fenomena ini dapat dijelaskan oleh hormon
seks yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh perempuan dan
laki-laki, di mana keduanya jelas berbeda. Tubuh wanita
menghasilkan dan menggunakan hormon estrogen yang lebih
banyak, sementara tubuh laki-laki bergantung pada hormon
yang disebut androgen.

Estrogen dikenal sebagai hormon “immuno-enhancing“, yang


berarti bahwa wanita memiliki sistem kekebalan tubuh lebih
kuat daripada pria, mengingat kebutuhan evolusioner bagi
wanita untuk bertahan hidup, berperan melahirkan, dan
mengasuh anak-anak mereka. Namun akibatnya, saat sistem
imun ini berbalik menyerang tubuh, wanita akan lebih mudah
mengalami penyakit autoimun.

3. Lingkungan

Selain itu, beberapa faktor lingkungan telah dikaitkan menjadi


penyebab penyakit lupus. Para peneliti telah menghubungkan
antara lupus dan berbagai racun lingkungan, contohnya seperti
asap rokok, gel natrium silika, dan merkuri. Virus herpes
zoster (virus yang menyebabkan herpes zoster), dan
sitomegalovirus digadang-gadang juga menjadi salah satu
penyebab seseorang terkena lupus.

Apa saja faktor yang meningkatkan risiko terkena penyakit


lupus?

Selain ketiga faktor penyebab tersebut, ada beberapa hal lain


yang mungkin membuat seseorang berisiko lebih besar untuk
terkena lupus. Apa saja?
 Jenis kelamin. Diketahui bila wanita lebih mudah terkena
lupus ketimbang laki-laki. Hal ini berkaitan dengan genetik
yang ada di tubuh wanita.
 Ras. Penyakit lupus lebih rentan dialami oleh orang yang
memiliki ras Asia dan Afrika.
 Mengonsumsi obat-obatan. Beberapa jenis obat anti-
kejang, obat tekanan darah, hingga antibiotik, dapat memicu
munculnya lupus saat mereka berhenti minum obat.
 Paparan sinar matahari. Paparan sinar matahari dapat
menyebabkan luka pada kulit yang bisa memicu lupus akibat
organ atau sel dalam tubuh yang rentan.

Bagaimana dokter mendiagnosis penyakit lupus?

Tak hanya karena memiliki 1000 wajah, namun juga lupus


hadir dalam kondisi yang berbeda-beda pada setiap orang. Hal
ini yang membuat lupus semakin sulit dideteksi.

Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan khusus yang dapat


mendeteksi penyakit lupus. Meskipun begitu, dokter biasanya
akan menganjurkan pasien untuk melakukan beberapa tes,
seperti tes urin, tes darah, serta tes antibodi.

Untuk mendiagnosis apakah seseorang mengalami penyakit


lupus, dokter juga biasanya akan melihat riwayat kesehatan
keluarga, melakukan pemeriksaan kesehatan secara umum,
serta menganjurkan pasien menjalani biopsi kulit serta ginjal.

Apa saja pengobatan untuk penyakit lupus?

Sampai saat ini, penyakit lupus adalah penyakit yang belum


ditemukan obatnya. Jadi orang yang mengalami penyakit lupus
tidak bisa disembuhkan secara total. Namun, pasien tetap akan
menerima pengobatan. Pengobatan yang dilakukan adalah
bertujuan untuk:

 Mencegah munculnya gejala akibat lupus


 Mengurangi berbagai gejala lupus
 Mengurangi kerusakan organ dan masalah lainnya
 Mengurangi pembengkakan dan nyeri
 Menenangkan sistem kekebalan tubuh
 Mengurangi atau mencegah kerusakan sendi
 Menghindari komplikasi
Biasanya pengobatan yang dilakukan adalah dengan cara
memberikan pasien obat untuk meringankan gejala atau
gangguan kesehatan lain. Obat yang diberikan seperti:

1. Obat anti-peradangan nonsteroid (NSAIDs)

Obat ini termasuk obat penghilang rasa sakit yang biasa


diberikan pada odapus untuk mengatasi rasa nyeri, demam, dan
sendi bengkak yang ia alami. Contoh dari jenis obat NSAIDs
adalah naproxen, ibuprofen, dan motrin. Sebagian besar obat
NSAIDs tidak membutuhkan resep dokter, namun beberapa
obat yang memiliki dosis dan efek samping yang kuat harus
menggunakan resep.

2. Obat antimalaria

Obat ini sebenarnya digunakan untuk mencegah dan mengatasi


penyakit malaria. Namun dalam hal ini, obat malaria
dibutuhkan oleh odapus untuk mengatasi gejala nyeri sendi,
ruam kulit, peradangan pada selaput jantung, serta demam –
yang juga biasanya terjadi pada pasien malaria.

Bahkan berbagai penelitian telah menunjukkan kalau pasien


lupus yang diberikan obat malaria memiliki angka harapan
hidup yang lebih pajang ketimbang yang tidak diberika obat ini.
Jenis obat malaria yang diberikan
yaitu, Hydroxychloroquine (Plaquenil), Chloroquine (Aralen),
Quinacrine (Atabrine).

3. Kortikosteroid

Obat jenis ini dibutuhkan oleh pasien lupus untuk mencegah


peradangan yang sangat rentan terjadi pada tubuhnya. Namun,
obat kortikosteroid memiliki efek samping jangka panjang
seperti menaikkan berat badan, membuat tulang lebih
keropos, tekanan darah tinggi, dan diabetes.

4. Imunosupresan

Obat imunosupressan bekerja untuk menekan sistem kekebalan


tubuh. Tentu, obat jenis ini sangat dibutuhkan oleh para odapus
yang sistem kekebalan tubuhnya terlalu dominan. Beberapa
jenis obat yang biasanya digunakan yaitu azathioprine (Imuran,
Azasan), mycophenolate (CellCept), leflunomide (Arava) and
methotrexate (Trexall).

Penggunaan obat imunosupressan dalam jangka panjang dapat


menyebabkan kerusakan hati, menurunkan kesuburan, dan
meningkatkan risiko kanker. sementara, efek samping jangka
pendek yang mungkin terjadi yaitu mual, diare, dan demam.

Komplikasi dan gangguan kesehatan yang bisa muncul


akibat penyakit lupus

Lupus adalah penyakit yang mengganggu sistem kekebalan,


sehingga banyak sistem atau jaringan tubuh lain yang
mengalami gangguan. Ada beberapa komplikasi yang mungkin
terjadi pada odapus, yaitu:

 Gagal ginjal
 Gangguan pada darah, seperti anemia
 Tekanan darah tinggi
 Vaskulitis, peradangan pada pembuluh darah
 Gangguan ingatan
 Mengalami perubahan perilaku, seperti sering berhalusinasi
 Kejang
 Stroke
 Penyakit jantung
 Masalah pada paru-paru, contohnya peradangan pada selaput
paru-paru dan pneumonia
 Mudah terserang berbagai penyakit infeksi
 Kanker

Bagaimana menjalani hidup dengan penyakit lupus?

Meski penyakit lupus adalah penyakit yang tak dapat


disembuhkan, namun odapus tetap bisa hidup dengan damai
dan mengurangi risiko gangguan yang mungkin muncul.
Berikut adalah beberapa hal yang dapat dilakukan odapus untuk
mencegah komplikasi muncul dan dapat hidup berdamai
bersama lupus:

1. Melakukan olahraga dengan rutin. Odapus rentan


mengalami gangguan pada sendi dan tulang. Tetap melakuka
olahraga degan ruti dapat membantunya untuk menjaga
kesehatan tulang dan sendi.
2. Berhenti merokok. kebiasaan merokok hanya akan membuat
penyakit ini bertambah parah, karena dapat meningkatkan
risiko penyakit jantung, serangan jantung, dan pneumonia.
3. Istirahat yang cukup dan hindari stres. Stres hanya akan
membuat gejala lupus semakin parah. Maka dari itu, odapus
harus banyak beristirahat dan menghindari stres.
4. Pahami tubuh. Para pasien dengan lupus harus tahu kapan
gejala lupus muncul dan apa yang memicunya keluar. Misalnya
saja, rasa letih muncul, maka odapus sebaiknya langsung
beristirahat dengan cukup dan menghentikan segala
kegiatannya terlebih dahulu.
5. Hindari paparan sinar matahari. Sinar matahari dapat
memperburuk ruam kulit yang terjadi. Bila memang terpaksa
untuk keluar di siang hari, sebaiknya gunakan tabir surya agar
kulit terlindungi.

Makanan yang dianjurkan dan dihindari untuk pasien


penyakit lupus

Makanan juga memengaruhi kondisi penyakit lupus. Ada yang


meringankan gejala, tetapi ada pula yang memperburuk gejala
lupus. Oleh karena itu, odapus harus pintar-pintar memilih
makanan yang tepat. Lalu pada saja makanan yang dianjurkan
dan dipantang bila mengalami lupus?

Makanan yang baik untuk penderita lupus

Makanan yang mengandung zat gizi tertentu dapat meringakan


bahkan mecegah gejala lupus muncul. Berikut adalah jenis
makanan yang dibutuhkan odapus:

1. Makanan dengan antioksidan tinggi

Odapus rentan mengalami peradangan, maka itu makanan yang


mengandung antioksidan tinggi harus ada di dalam menu
makanannya. Antioksidan dapat mencegah dan menurunkan
kejadian peradangan di dalam tubuh. Zat ini bisa ditemukan di
dalam buah-buahan dan sayuran.

2. Makanan yang megandung omega-3

Makanan seperti ikan salmon, tuna, sarden, dan makarel adalah


contoh makanan yang kaya omega-3. Jenis lemak baik ini
dibutuhkan odapus untuk mencegah komplikasi seperti
penyakit jantung dan stroke.

3. Makanan dengan kalsium dan vitamin D tinggi

Salah satu permasalahan yang umum terjadi pada orang yang


mengalami lupus adalah gangguan tulang, seperti rapuh, serta
masalah persendian. Untuk mengurangi risiko tersebut, odapus
memerlukan kalsium dan vitamin D yang dapat menguatkan
tulang dan baik bagi persendian. Kedua zat gizi tersebut bisa
didapatkan dalam susu dan olahannya, sayuran yang berwarna
hijau tua, serta kacang-kacangan seperti kacang kedelai dan
kacang almond.

Makanan yang perlu dihindari oleh penderita lupus

Sementara itu, ada makanan yang justru memperburuk gejala


bahkan meningkatkan risiko komplikasi pada odapus. Apa saja
makanan yang dipantang jika terkena lupus?

1. Makanan dengan lemak jenuh dan lemak trans tinggi

Lemak jenuh dan lemak trans hanya akan membuat gejala


lupus semakin buruk, karena meningkatkan peluang terjadinya
penyakit kronis lainnya, seperti stroke. Maka dari itu, hindari
makanan yang mengandung zat-zat tersebut, seperti
gorengan, fast food, lemak pada daging, kulit ayam, dan jeroan.

2. Makanan yang mengandung natrium terlalu banyak

Makanan yang tinggi natrium seperti makanan kemasan serta


makanan yang asin, juga harus dihindari oleh odapus. Natrium
juga membuat odapus semakin rentan untuk mengalami
penyakit jantung, bahkan hingga gagal jantung.

3. Makanan yang mengandung bawang

Bawang selalu dijadikan sebagai bumbu dapur utama yang tak


boleh terlewatkan. Tetapi, jika Anda mengalami odapus maka
Anda harus meghindari makanan yang terdapat bawang di
dalamnya. Sebab, menurut penelitian, bawang memiliki
dampak pada sistem kekebalan tubuh.

Bawang mampu meningkatkan jumlah sel darah putih, di mana


sel ini merupakan sel utama dari sistem kekebalan tubuh.
Semakin banyak sel darah putih maka semakin kuat sistem
imun. Tentu, hal ini akan menjadi bumerang bagi orang yang
mengalami lupus.

Penyebab penyakit lupus

Penyakit lupus disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh yang

menyerang jaringan sehat dalam tubuh itu sendiri. Hal tersebut


mungkin bisa terjadi karena hasil
dari kombinasi faktor genetik (bawaan) dan lingkungan. Karena

telah diketahui bahwa orang-orang dengan kecenderungan

lupus yang diwariskan dapat mengembangkan penyakit lupus

ini ketika mereka kontak dengan sesuatu pada lingkungan yang

menjadi pemicu gejala penyakit lupus.

Walau demikian, penyebab penyakit lupus secara pasti belum

diketahui. Namun beberapa pemicu potensial penyakit lupus, di

antaranya:

Sinar matahari

Paparan sinar matahari bisa menjadi penyebab penyakit lupus

karena pada orang-orang yang rentan dapat menimbulkan lesi

pada kulit yang merupakan salah satu gejala penyakit lupus.

Obat-obatan

Penyakit lupus dapat dipicu oleh beberapa jenis obat anti-

kejang, obat tekanan darah, dan antibiotik. Gejala

penyakit lupus yang terjadi ketika minum obat biasanya akan

hilang ketika mereka berhenti minum obat.

Terjadi infeksi

Beberapa infeksi virus, bakteri, parasit dapat menjadi salah

satu gejala penyakit lupus. Penyakit lupus ini tidak

menular, tetapi tetap ada risiko yang dapat diturunkan.

Gejala penyakit lupus


Seperti yang dijelaskan di atas, penyakit lupus dapat

menyerang berbagai sistem organ sehingga gejala yang timbul

umumnya sangat bervariasi. Namun, ada ciri-ciri

atau gejala penyakit lupus yang umumnya menjadi acuan

bahwa seseorang diduga menderita penyakit lupus.

Berikut ini 11 tanda atau gejala penyakit lupus. Jika seseorang

memiliki minimal 4 dari 11 gejala berikut, maka orang tersebut

kemungkinan besar positif menderita penyakit lupus (lupus

eritematosus sistemik):

1. Butterfly Rash atau malar rash. Ruam dengan gambaran

seperti sayap kupu-kupu yang berada pada kedua pipi

dengan hidung sebagai bagian tengahnya (badan). Ini menjadi

tanda yang khas pada penyakit lupus

2. Discoid Rash. Ruam yang cukup "klasik", berbentuk cakram

tampak merah yang lebih jelas di bagian tepi. Biasanya timbul

pada bagian wajah, kulit kepala, dan leher. Ruam ini sering

meninggalkan bekas luka. Discoid Rash dapat berdiri sendiri

pada penyakit lupus discoid. Baca juga: Jenis-jenis penyakit


lupus

3. Photosensitivity. Ruam-ruam di atas akan timbul atau

semakin parah setelah terkena sinar matahari


4. Oral ulcers. Timbulnya sariawan terus menerus atau hilang

timbul kembali, baik di lidah ataupun di bagian mana lain di

rongga mulut

5. Arthritis (Radang sendi). Perdangan pada sendi yang

menimbulkan rasa nyeri, memerah, bahkan sampai bengkak.

Baca juga: Penyebab, Gejala, dan Pengobatan Rheumatoid

Arthritis

6. Serositis. Suatu radang pada lapisan paru-paru yang dikenal

sebagai pleuritis (radang selaput paru) ataupun dapat juga

terjadi pada lapisan jantung yang dikenal

sebagai pericarditis (peradangan pada selaput jantung)

sehingga menimbulkan gejala nyeri dada yang tajam terutama

ketika batuk dan tarik napas dalam, terkadang juga

menyebabkan nafas pendek

7. Gangguan pada ginjal. Gangguan ginjal pada penyakit lupus

ditandai dengan adanya protein dalam air kencing (proteinuria)

atau endapan (sediments) dalam urin (ini dapat dilihat di bawah

mikroskop)

8. Gangguan neurologis dan psychosis. Penyakit lupus dapat

mengganggu kerja otak dan sistem saraf sehingga dapat

menimbulkan sakit kepala,

kebingungan, gangguan penglihatan seperti halusinasi,


bahkan kejang (jenis penyakit lupus bukan karena faktor obat)
9. Kelainan dalam darah. Hemolytic anemia (anemia karena

pecahnya sel darah merah), low white blood cell

counts (sel darah putih rendah) atau low patelet counts (platelet

atau trombosit rendah)

10. Immunologic Disorders. Gangguan imunitas yang ditandai

dengan sel LE positif, anti-DNA: antibodi DNA asli dalam

titer normal, anti-Sm: kehadiran antibodi terhadap antigen

nuklir Sm, tes serologi positif palsu untuk sifilis yang diketahui

positif selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi oleh

treponema pallidum imobilisasi atau tes penyerapan antibodi

treponema fluoresen

PATOFISIOLOGI LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK


Oleh :
Patofisiologi lupus eritematosis sistemik atau systemic lupus
eritematosus (SLE) didasari oleh autoantibodi dan kompleks
imun yang berikatan ke jaringan dan menyebabkan inflamasi
multisistem. Penyebab spesifik SLE hingga saat ini belum
diketahui, namun berbagai faktor seperti faktor genetik, sistem
imun, hormonal serta lingkungan berhubungan dengan
perkembangan penyakit ini.
Sistem imun bawaan maupun didapat memberikan respon imun
yang tidak seharusnya kepada partikel sel tubuh. Salah satunya
adalah pembentukan autoantibodi terhadap asam nukleat yang
disebut antinuclear antibodies (ANA). Pada umumnya ANA
dapat ditemukan pada populasi umum, namun tidak seluruh
orang yang memiliki ANA mengalami SLE, oleh karena itu
terdapat mekanisme lain yang menyebabkan progresi kondisi
autoimun ini menjadi penyakit. Selain ANA, terdapat dua
autoantibodi yang spesifik ditemukan pada pasien SLE
dibandingkan dengan penyakit autoimun lainnya yaitu antibodi
anti-Smith (Sm) dan antibodi anti-double-stranded
DNA (dsDNA).[1,4,5]
3.4 Patofisiologi Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu

fase inisiasi, fase propagasi, dan fase puncak (flares). Inisiasi

lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi kematian sel

secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini

disebabkan oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan

pajanan yang cukup sering ditemukan pada manusia, namun

dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan yang dimiliki

oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas

autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan.

Autoantibodi pada lupus dapat menyebabkan 6 cedera jaringan

dengan cara (1) pembentukan dan generasi kompleks imun, (2)

berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan

mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan

(3) secara langsung menginduksi kematian sel dengan ligasi

molekul permukaan atau penetrasi ke sel hidup. Fase puncak

merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon

untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama

muncul. Apoptosis tidak hanya terjadi selama pembentukan dan

homeostatis sel namun juga pada berbagai penyakit, termasuk


SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak

penyakit.2,3,4 3.5. Manifestasi Klinis Gambaran klinis SLE

sangat bervariasi, baik dalam keterlibatan organ pada suatu

waktu maupun keparahan manifestasi penyakit pada organ

tersebut. Sebagai tambahan, perjalanan penyakit berbeda


antarpasien. Keparahan dapat bervariasi dari ringan ke sedang
hingga parah atau bahkan membahayakan hidup. Karena
perbedaan multisistem dari manifestasi klinisnya, lupus telah

menggantikan sifilis sebagai great imitator.1,2,3,4,5

Kebanyakan pasien dengan SLE memiliki penyakit ringan

sampai sedang dengan gejala kronis, diselingi oleh peningkatan

aktivitas penyakit secara bertahap atau tiba-tiba. Pada sebagian

kecil pasien dikarakteristikkan dengan peningkatan aktivitas

penyakit dan remisi klinis sempurna. Pada keadaan yang sangat

jarang, pasien mengalami episode aktif SLE singkat diikuti

dengan remisi lambat. Gambaran klinis SLE menjadi rumit

karena dua hal. Pertama, walaupun SLE dapat menyebabkan

berbagai gejala dan tanda, tidak semua gejala dan tanda pada

pasien dengan SLE disebabkan oleh penyakit tersebut. Banyak

penyakit, khususnya penyakit infeksi virus, dapat menyerupai

SLE. Kedua, efek samping pengobatan, khususnya penggunaan

glukokortikoid jangka panjang, harus dibedakan dengan gejala

dan tanda SLE. 1,2,3,4,5 3.5.1 Manifestasi Konstitusional

Demam muncul pada sebagian besar pasien dengan SLE aktif,

namun penyebab infeksius tetap harus dipikirkan, terutama

pada pasien dengan terapi imunosupresi. Penurunan berat

badan dapat timbul awal penyakit, di mana peningkatan berat

badan, khususnya pada pasien yang diterapi dengan


glukokortikoid, dapat menjadi 7 lebih jelas pada tahap

selanjutnya. Kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala

yang paling umum dan seringkali merupakan gejala yang

memperberat penyakit. Penyebab pasti gejala-gejala ini masih

belum jelas. Aktivitas penyakit, efek samping pengobatan,


gangguan neuroendokrinologis, dan faktor psikogenik terlibat

dalam timbulnya gejala konstitusional. 1,4 Pada kasus ini


dijumpakan gejala demam namun gejala ini mungkin juga
disebabkan oleh infeksi pneumonia. Penurunan badan juga

ditemukan pada pasien ini. Sesuai dengan teori yang

mengatakan kelelahan dan malaise merupakan salah satu gejala

yang paling umum yang memperberat penyakit, gejala ini turut

ditemukan pada kasus ini. 3.5.2 Manifestasi Mukokutan

Fotosensitivitas dapat dikenali dengan pembentukan ruam,

eksaserbasi ruam yang telah ada sebelumnya, reaksi terhadap

sinar matahari yang berlebihan (exagerrated sunburn), atau

gejala seperti gatal atau parestesis setelah terpajan sinar

matahari atausumber cahaya buatan. Fotosensitivitas sering

ditemukan dan dapat terjadi pada semua kelompok ras dan

etnis, walaupun belum ada studi mengenai prevalensinya

dipopulasi umum. Ruam berbentuk kupu-kupu yang khas, yaitu

ruam kemerahan di area malar pipi dan persambungan hidung

yang membagi lipatan nasolabial, lebih dikenal sebagai malar

rash atau butterfly rash. Ruam ini dapat ditemukan pada 20-

25% pasien. Gejala ini dapat meningkat dan sangat meradang,

bertahan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.

Gejala ini hilang tanpa jaringan parut. Plak eritematosa dengan

adherent scale dan telangiektasis umumnya terdapat di wajah,

leher, dan kulit kepala. Lupus kutis akut dalam bentuk eritema
inflamasi yang jelas dapat dipicu oleh pajanan sinar ultraviolet.

Lesi lupus subakut dan kronik lebih sering ditemukan di kulit

yang terpajan sinar matahari dalam waktu lama (lengan depan,

daerah V di leher) tanpa pajanan sinar matahari dalam waktu

dekat. Lesi kulit lainnya termasuk livedo reticularis, eritema


periungual, eritema palmaris, nodulpalmaris, vesikel atau bula,

urtikaria akut atau kronik, panniculitis, purpuravaskulitis, dan


ulkus vaskulitis. 1,2,3 Alopesia dapat timbul akibat lesi pada
kulit kepala, namun biasanya muncul pada puncak SLE.

Alopesia bersifat reversibel, kecuali jika terdapat lesi diskoid 8

dikepala. Ulkus oral dan nasal cukup sering terjadi dan harus

dibedakan dari infeksi virus maupun jamur. Mata dan mulut

kering (sindrom Sicca) dapat disebabkan oleh inflamasi

autoimun pada kelenjar lakrimal dan saliva, yang mungkin

tumpang tindih dengan sindrom Sjögren. Umumnya mata dan

mulut kering merupakan efek samping pengobatan.4,5 Pada

kasus ini ditemukan manifestasi mukokutan. Sesuai dengan

teori, pada pasien ini ditemukan fotosensitivitas, yaitu

eksaserbasi ruam dengan pajanan pada sinar matahari. Pada

kasus ini juga ditemukan ruam berbentuk kupu-kupu (malar

rash atau butterfly rash) pada bahagian pipi dan hidung pasien.

Alopesia juga ditemukan pada pasien ini yang mengeluh

rambutnya yang sering rontok waktu menyikat rambut. 3.5.3

Manifestasi Muskuloskeletal Artritis SLE biasanya meradang

dan muncul bersamaan dengan sinovitis dan nyeri, bersifat

nonerosif dan nondeforming. Manifestasi yang jarang adalah

deformitas Jaccoud yang menyerupai artritis reumatoid namun

berkurang dan tidak terbukti secara radiologis menyebabkan

destruksi kartilago dan tulang. Kelemahan otot biasanya


merupakan akibat terapi glukokortikoid atau antimalaria,

namun myositis dengan peningkatan enzim otot jarang

ditemukan dan biasanya merupakan gejala yang tumpang

tindih. Tenosinovitis dan bursitis jarang ditemukan. Ruptur

tendon dapat merupakan komplikasi terapi glukokortikoid.


Osteonekrosis (nekrosisavaskular) dapat disebabkan oleh

penyakit maupun efek pengobatan gukokortikoid, biasanya


terjadi pada kaput femoris, kaput humoral, lempeng tibia, dan
talus. Artralgia dan mialgia merupakan gejala lain yang sering

ditemukan, dapat disebabkan oleh penyakit, efek samping

pengobatan, glucocorticoidwithdrawalsyndrome,

endokrinopati, dan faktor psikogenik. 1,2,3 Pada kasus ini,

ditemukan nyeri pada sendi yaitu nyeri pada sendi jari pada

kedua tangan yang tidak disertai dengan gangguan

pergerakkan. Ini sesuai dengan manifestasi muskuloskletal

yang ditemukan pada pasien SLE yaitu non erosive dan non

deforming arthritis. 9 3.5.4 Manifestasi Kardiovaskular

Perikarditis merupakan gejala khas, dengan nyeri substernal

posisional dan terkadang dapat ditemukan rub. Ekokardiografi

dapat menunjukkan efusi, atau dalam kasus kronik penebalan

dan fibrosis perikardium. Tamponade atau hemodinamik

konstriktif jarang ditemukan, namun dapat diinduksi oleh

karbamazepin. Miokarditis jarang terjadi, namun harus

dicurigai pada pasien dengan SLE aktif dan gejala dada tidak

khas, perubahan EKG minimal, aritmia, atau perubahan

hemodinamik. Miokarditis dapat mengakibatkan kardiomiopati

dilatasi, dengan tanda gagal jantung kiri.5 Endokarditis

trombotik nonifeksi (Libman-Sacks) jarang dan seringkali tidak

menimbulkan gejala, namun dapat menimbulkan disfungsi


katup mitral atau katup aorta atau embolisasi. Arteriosklerosis

prematur dengan angina pektoris dan infark miokardium

merupakan sumber mortalitas dan morbiditas jangka panjang

yang paling serius. Penyakit sendiri, hiperkoagulasi, terapi

glukokortikoid kronik, menopause prematur, serta faktor diet


dan gaya hidup dapat menyebabkan arteriosklerosis. Fenomena

Raynaud, vasospasme yang diinduksi dingin pada jari, sering


ditemukan pada SLE. Penyempitan arteri ireversibel di tangan
dan kaki sering tumpang tindih dengan skleroderma. Gambaran

patologis yang sama pada sirkulasi paru dapat menyebabkan

hipertensi pulmonal, komplikasi yang jarang namun seringkali

fatal. Sebagian besar cedera vaskular trombotik pada pasien

SLE dimediasi oleh antibodi antifosfolipid (aPL), ditemukan

pada sekitar 30% pasien SLE. aPL dapat menyebabkan

trombosis arteri dan vena spontan pada semua ukuran

pembuluh darah. Keadaan hiperkoagulasi lain, seperti defisiensi

protein C dan protein S, faktor V Leiden, dan antitrombin III

dapat menyebabkan terjadinya trombosis, namun defisiensi

faktor-faktor ini lebih dihubungkan dengan terjadinyatrombosis

vena dibanding trombosis arteri. 3.5.5 Manifestasi Paru

Pleurisy sering ditemukan pada SLE. Nyeri dada khas pleuritik,

rub, dan efusi dengan bukti radiografi dapat ditemukan pada

sebagian pasien, namun sebagian lain mungkin hanya berupa

gejala tanpa temuan obyektif. Infeksi parenkim paru, 10

pneumonitis atau alveolitis, dan dibuktikan dengan batuk,

hemoptisis, serta infiltrate paru jarang terjadi namun dapat

membahayakan hidup. Perdarahan alveolus difus dapat timbul

dengan atau tanpa pneumonitis akut dan memiliki angka

mortalitas yang sangat tinggi. Pneumonitis lupus kronik dengan


perubahan fibrotik pada paru mirip dengan fibrosis paru

idiopatik, dengan perjalanan yang progresif dan prognosis yang

buruk. Penyakit paru restriktif juga dapat diakibatkan oleh

perubahan pleuritik jangka panjang, miopati, atau fibrosis otot

pernapasan, termasuk diafragma, dan bahkan neuropati nervus


frenikus. Emboli paru rekuren disebabkan oleh antibody

antifosfolipid harus disingkirkan pada pasien dengan gejala


paru yang tidak dapat dijelaskan.2,4 3.5.6 Manifestasi Ginjal
Nefritis lupus muncul pada sebagian pasien dengan SLE.

Spektrum keterlibatan patologis dapat bervariasi dari proliferasi

mesangial yang sama sekali tidak menimbulkan gejala sampai

glomerulonefritis membranoproliferatif difus agresif yang

menuju gagal ginjal. Gambaran klinis ditandai dengan temuan

minimal, termasuk proteinuria ringan dan hematuria

mikroskopik; sindrom nefrotik, dengan proteinuria berat,

hipoalbuminemia, edema perifer, hipertrigliseridemia, dan

hiperkoagulasi; atau sindrom nefritik, dengan hipertensi,

sedimen eritrosit atau kristal eritrosit pada sediaan sedimen

urin, dan penurunan laju filtrasi glomerulus progresif dengan

peningkatan kreatinin serum dan uremia. 5 Pada kasus ini

ditemukan kelainan ginjal yang disuspek nefritis karena

ditemukan proteinuria 25,00 mg/dL dan leucocyte pada urin

25,00 Leu/µL. 3.5.7 Manifestasi Neurologis dan Psikiatrik

Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) terjadi pada 5-15% pasien

dan terkadang merujuk pada SLE neuropsikiatrik atau serebritis

lupus. Pasien dapat memiliki manifestasi obyektif seperti

meningitis asepsis atau meningoensefalitis, kejang, khorea,

ataksia, stroke, dan mielitis transversa. Pada pasien seperti ini

diagnosis dapat didukung oleh temuan abnormal pada analisis


cairan serebrospinal, seperti peningkatan kadar protein,

pleiositosis, dan/atau autoantibodi karakteristik; pada 11 CT

scan atau MRI, dapat ditemukan lesi inflamasi pada substansia

alba dan grisea; atau bahkan pada biopsi leptomeningeal,

dengan bukti inflamasi. Gambaran alternatif lupus SSP adalah


gangguan psikiatrik mayor, yaitu psikosis. Pada kasus ini,

cairan serebrospinal dan pencitraan menunjukkan hasil normal,


dan diagnosis banding dari penyakit psikogenik primer
dan/atau reaksi obat sangat sulit untuk ditentukan. Masalah lain

adalah gangguan kognitif dan kepribadian ringan. Sakit kepala

sering ditemukan dengan intensitas yang beragam. Sakit kepala

lupus yang berat dan menyerupai migren yang hanya responsif

terhadap glukokortikoid merupakan kasus yang jarang.

Neuropati kranial dan perifer dapat terjadi dan dapat

menggambarkan vaskulitis pembuluh darah kecil atau infark.1

,5 Pada pasien ini disuspek lupus serebri karena penurunan

kesadaran. 3.5.8 Manifestasi Gastrointestinal Gejala

gastrointestinal nonspesifik, termasuk nyeri perut difus dan

mual, khas untuk pasien SLE. Peritonitis steril dengan asites

jarang namun merupakan komplikasi abdomen yang serius.

Banyak gejala gastrointestinal atas berhubungan dengan

terapi,yaitu NSAID dan/atau gastropati terkait glukokortikoid.

Duodenitis dapat menimbulkan gejala. Pada kasus jarang,

vaskulitis usus dapat menimbulkan kegawatan bedah akut.

Terkadang, pankreatitis dapat merupakan gejala penyakit atau

merupakan efek pengobatan. Peningkatan enzim hati terkadang

dihubungkan dengan hepatitis noninfeksi pada SLE, yang tidak

dapat dibedakan dengan hepatitis autoimun melalui gambaran

histologis. Peningkatan enzim hati juga dapat disebabkan oleh


penggunaan NSAID, azatrioprin, atau metotreksat, dan

penggunaan jangka panjang glukokortikoid yang dapat

menyebabkan perlemakan hati dengan peningkatan

transaminase ringan.4 3.5.9 Manifestasi Hematologi

Splenomegali dan limfadenopati difus sering merupakan


temuan yang sering namun nonspesifik pada SLE aktif. Anemia

merupakan temuan khas, dapat disebabkan oleh hemolisis,


dengan hasil tes Coombs positif, kadar haptoglobin rendah, dan
kadar laktat dehidrogenase tinggi, atau dengan mielosupresi.

Mekanisme tidak langsung mencakup penurunan sintesis

eritropoietin dan 12 mielosupresi uremikum pada pasien

nefritis lupus. Hal ini dapat diperberat dengan perdarahan

ringan kronik dan ketidakcukupan asupan makanan.

Leukopenia dan limfopenia sangat sering terjadi namun jarang

mencapai kadar kritis. Studi oleh Ng dkk menghubungkan

limfopenia dengan peningkatan risiko terjadinya infeksi pada

pasien SLE. Leukositosis dapat disebabkan oleh

glukokortikoid. Trombositopenia ringan (100000 sampai 150

000/ μl) dapat disebabkan oleh antibodi antifosfolipid.

Trombositopenia autoimun berat (kurang dari 50 000/ μl),

disebabkan oleh antibodiantiplatelet, dapat mempersulit

diagnosis SLE dan awalnya mungkin didiagnosis sebagai

purpura trombositopenik idiopatik. 1,4,5 Pada kasus ini

deitemukan kelainan atau manifestasi hematologic sesuai

dengan gambaran yang sering ditemukan pada pasien SLE.

Pada kasus ini, ditemukan gejala anemia dengan nilai

haemoglobin yang rendah. 3.5.10 Manifestasi Mata Eksudat

dan infarks retina (badan sitoid) relatif jarang dan merupakan

temuan nonspesifik. Konjungtivitis dan episkleritis terkadang


dapat ditemukan pada penyakit aktif. Mata kering dapat

menunjukkan tumpang tindih dengan sindrom Sjögren.

Kebutaan singkat atau permanen dapat disebabkan oleh neuritis

optik atau oklusi arteri atau vena retina. 3,4,5 3.5.11

LateLupusSyndrome Sindrom ini disebabkan oleh kerusakan


organ tahap akhir akibat SLE dan efek samping pengobatan,

khususnya akibat penggunaan glukokortikoid jangka panjang.


Sindrom ini dikenali dengan penyakit arteriosklerotik luas,
atrofi kulit, osteoporosis,osteonekrosis, diabetes mellitus, gagal

ginjal kronik, insufisiensi adrenal, gangguan kognitif, depresi,

dan deconditioning. Keadaan ini dapat membatasi long-

termsurvival dan kualitas hidup pasien

Tanda-tanda & gejala

Apa saja tanda dan gejala systemic lupus


erythematosus (SLE)?

Pada dasarnya setiap orang bisa saja mengalami gejala penyakit


lupus yang berbeda-beda tergantung usia, keparahan penyakit,
riwayat medis, serta kondisi tubuh masing-masing.

Gejala penyakit lupus juga biasanya dapat berubah-ubah setiap


waktu.

Namun, ada beberapa tanda dan gejala khas dari penyakit lupus
yang mungkin bisa Anda amati dan waspadai. Beberapa tanda
dan gejala khas SLE adalah:

 Lemas, lesu, dan tidak bertenaga


 Nyeri sendi dan bengkak atau kekakuan, biasanya di tangan,
pergelangan tangan dan lutut
 Memiliki bintil merah pada bagian tubuh yang sering terkena
matahari, seperti wajah (pipi dan hidung)
 Fenomena Raynaud membuat jari berubah warna dan menjadi
terasa sakit ketika terkena dingin
 Sakit kepala
 Rambut rontok
 Pleurisy (radang selaput paru-paru), yang dapat membuat
bernapas terasa menyakitkan, disertai sesak napas
 Bila ginjal terkena dapat menyebabkan tekanan darah tinggi
dan gagal ginjal

Gejala SLE yang disebutkan di atas mungkin terlihat mirip


dengan gejala penyakit lain. Oleh karena itu, bila Anda
memiliki kekhawatiran akan sebuah gejala tertentu,
konsultasikanlah dengan dokter Anda. Dokter mungkin akan
menyarankan Anda untuk melakukan serangkaian tes guna
memastikan diagnosis yang akurat.

Kapan saya harus periksa ke dokter?


Ada banyak penyakit yang berhubungan dengan gangguan
sistem kekebalan tubuh, tetapi SLE adalah salah satu yang
paling umum.

Anda harus periksa ke dokter Anda jika muncul bintil merah


yang tak terduga, demam dan nyeri berkepanjangan, atau sering
merasa kelelahan yang tidak biasa.

Penyebab

Apa penyebab systemic lupus erythematosus (SLE)?

Sampai sekarang penyebab SLE masih belum diketahui.


Namun, para ahli menduga bahwa faktor keturunan dan
lingkungan dapat meningkatkan risiko terjadinya SLE.

Orang yang sering terkena sinar matahari, tinggal di lingkungan


yang terkontaminasi oleh virus, atau sering stres lebih mungkin
untuk terkena penyakit ini. Jenis kelamin dan hormon juga
diduga ikut andil dalam risiko SLE.

SLE adalah salah satu penyakit yang cenderung lebih mungkin


dialami wanita ketimbang pria. Dokter percaya bahwa
perbedaan risiko ini didasari oleh perubahan hormon estrogen
yang lebih mungkin terjadi pada tubuh wanita.

Itu kenapa gejala lupus pada wanita juga lebih mungkin


memburuk selama kehamilan dan menstruasi. Namun,
dibutuhkan banyak penelitian untuk membuktikan teori ini.

Faktor-faktor risiko

Siapa yang berisiko terkena penyakit systemic lupus


erythematosus (SLE)?

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko Anda terkena penyakit


SLE adalah:

 Jenis kelamin. Lupus cenderung lebih sering terjadi pada


wanita
 Sering berjemur atau terpapar sinar matahari dalam waktu yang
lama
 Memiliki riwayat penyakit autoimun
 Minum obat-obatan tertentu. Lupus dapat dipicu oleh beberapa
jenis obat anti-kejang, obat tekanan darah, dan antibiotik.
Penyakit lupus yang terjadi akibat efek samping obat biasanya
akan hilang ketika berhenti minum obat.
 SLE paling sering didiagnosis antara usia 15-40 tahun
Tidak memiliki faktor risiko tidak berarti Anda terbebas dari
penyakit ini. Faktor-faktor ini hanya untuk referensi saja. Anda
harus berkonsultasi dengan dokter untuk lebih jelasnya.

Obat & Pengobatan

Informasi yang diberikan bukanlah pengganti nasihat


medis. SELALU konsultasikan pada dokter Anda.

Apa saja pengobatan untuk penyakit systemic lupus


erythematosus (SLE)?

SLE adalah penyakit autoimun kronis. Artinya, kondisi ini akan


dimiliki oleh penderitanya seumur hidup. Kabar baiknya, gejala
SLE dapat diringankan dengan pengobatan yang tepat.

Yang perlu diingat, penyakit lupus menyerang dengan cara


yang berbeda-beda pada setiap orang. Jadi, perawatan dan
pengobatan yang akan diresepkan oleh dokter pun akan berbeda
sesuai kebutuhan masing-masing pasein.

Obat-obatan seperti penghilang rasa sakit dan obat antiradang


(NSAID) sering diberikan oleh dokter pertama kali sebagai
pertolongan pertama. Dokter juga mungkin meresepkan
prednison, yang bekerja lebih cepat untuk mengurangi gejala.

Jika pengobatan di atas tidak cukup membantu, obat spesifik


pengendali gejala penyakit mungkin dapat diresepkan dokter.
Obat tersebut termasuk hydroxychloroquine, methotrexate,
azathioprine, dan cyclophosphamide.

Apa saja tes untuk penyakit systemic lupus erythematosus


(SLE)

Dokter dapat membuat diagnosis dari riwayat medis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Rontegen
juga mungkin dapat dilakukan dokter.

Tes laboratorium meliputi laju endapan darah (ESR), tes darah


lengkap (CBC), antibodi antinuclear (ANA), dan tes urine.

Dokter mungkin juga akan melakukan tes anti DNA yang lebih
spesifik untuk mengetahui perkembangan LES yang dialami
pasien. Dokter mungkin juga akan menyarankan pasiennya
melakukan konsultasi ke rheumatologist (spesialis sendi) untuk
diagnosis lebih lanjut.

Pengobatan di rumah

Cara mencegah dan mengatasi systemic lupus


erythematosus (SLE)
Beberapa perubahan gaya hidup dan pengobatan rumahan yang
dapat dilakukan untuk mengatasi SLE adalah:

 Berhenti merokok. Merokok meningkatkan risiko penyakit


kardiovaskular dan dapat memperburuk efek lupus pada
jantung dan pembuluh darah Anda.
 Makan makanan yang sehat. Diet sehat seperti buah-buahan,
sayuran dan biji-bijian. Kadang-kadang Anda harus membatasi
makanan Anda, terutama jika Anda memiliki tekanan darah
tinggi, kerusakan ginjal atau masalah pencernaan.
 Berolahraga secara teratur. Latihan dapat membantu Anda
pulih dari bintil merah, mengurangi risiko serangan jantung,
membantu melawan depresi dan mempromosikan kesejahteraan
umum.
 Hindarilah paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet dapat
memicu bintil merah, mengenakan pakaian pelindung (seperti
topi, baju lengan panjang dan celana panjang) dan
menggunakan tabir surya yang mengandung SPF setiap kali
Anda pergi ke luar.
 Istirahatlah yang cukup. Orang dengan lupus sering
mengalami kelelahan berkepanjangan yang berbeda dari
kelelahan normal dan belum tentu hilang dengan istirahat. Jadi,
perbanyak istirahat di malam hari dan lakukan tidur siang atau
istirahat pada siang hari jika diperlukan.
 Ikuti saran dokter.

Pengertian Penyakit Lupus

Lupus merupakan penyakit inflamasi kronis yang disebabkan


oleh sistem imun tubuh yang bekerja dengan keliru. Dalam
tubuh yang normal, sistem imun seharusnya melindungi tubuh
dari serangan infeksi virus atau bakteri. Namun, dalam tubuh
pengidap lupus, sistem imun justru menyerang jaringan dan
organ tubuh sendiri. Inflamasi yang disebabkan oleh lupus bisa
menyerang berbagai bagian tubuh, antara lain:

 Sel darah.

 Paru-paru.

 Lupus kerap dijuluki sebagai penyakit seribu wajah


karena kelihaiannya dalam meniru gejala penyakit lain.
Kesulitan diagnosis biasanya dapat menyebabkan
langkah penanganan yang kurang tepat.

Penyakit lupus sendiri terdiri dari berbagai jenis, salah satunya


upus eritematosus sistemik (systemic lupus
erythematosus/SLE). Kira-kira sepertiga pengidap lupus ini
juga memiliki kondisi autoimun lainnya. Contohnya, penyakit
tiroid atau sindrom Sjogren.

Kondisi ini dapat berujung pada munculnya komplikasi,


termasuk gangguan pada masa kehamilan. Di samping itu,
proses pengobatannya juga bisa membuat pengidapnya rentan
terhadap infeksi serius.

Faktor Risiko Penyakit Lupus

Terdapat beberapa faktor yang bisa meningkatkan terjadi lupus,


antara lain:

 Usia, lupus memang bisa menyerang segala usia, tapi


usia 15 sampai 40 tahun merupakan usia yang paling
sering didiagnosis penyakit ini.

 Jenis kelamin, lupus lebih sering menyerang wanita


daripada pria.

 Ras, lupus lebih sering terjadi pada ras Asia, Afrika, dan
Hispanik.

Sementara itu, faktor risiko SLE bisa meliputi faktor genetik,


masalah hormonal, dan lingkungan (infeksi virus dan bakteri,
stres, paparan sinar UV, hingga merokok).

Baca juga: Ini Alasan Pengidap Lupus Berisiko Terkena


Agranulositosis

Penyebab Penyakit Lupus

Berikut beberapa penyebab dan jenis penyakit lupus:

1. SLE

Merupakan jenis lupus yang paling sering diidap masyarakat


umum dan merupakan bahan utama pembahasan pada artikel.
SLE dapat menyerang jaringan serta organ tubuh mana saja
dengan tingkat gejala yang ringan sampai parah.

Banyak yang hanya merasakan beberapa gejala ringan untuk


waktu lama, atau bahkan tidak sama sekali sebelum tiba-tiba
mengalami serangan yang parah. Timbulnya rasa nyeri dan
lelah berkepanjangan merupakan salah satu gejala ringan SLE.
Oleh karena itu, pengidap SLE bisa merasa tertekan, depresi,
dan cemas meski hanya mengalami gejala ringan.
2. Lupus Eritematosus Diskoid (discoid lupus
erythematosus/DLE).

DLE pada dasarnya hanya menyerang kulit. Namun, dampak


yang ditimbulkan oleh lupus jenis ini mampu menyerang
jaringan dan organ tubuh lainnya. DLE umumnya bisa
dikendalikan dengan menghindari paparan langsung sinar
matahari dan obat-obatan. Berikut beberapa gejala DLE:

 Rambut rontok.

 Pitak permanen.

 Ruam merah dan bulat seperti sisik pada kulit yang


terkadang akan menebal dan menjadi bekas luka.

3. Lupus Akibat Obat

Efek samping obat pasti berbeda-beda pada tiap orang. Kira-


kira ada lebih dari 100 jenis obat yang bisa menimbulkan efek
samping yang mirip dengan gejala lupus pada orang-orang
tertentu.

Gejala lupus akibat obat umumnya akan hilang jika berhenti


mengonsumsi obat tersebut, sehingga tidak perlu menjalani
pengobatan khusus. Namun, jangan lupa untuk selalu berbicara
dengan dokter sebelum memutuskan untuk berhenti
mengonsumsi obat dengan resep dokter.

Gejala Penyakit Lupus

Meski gejala SLE bervariasi, ada tiga gejala utama yang


umumnya selalu muncul, antara lain:

1. Rasa Lelah yang Ekstrem

Melakukan rutinitas sehari-hari yang sederhana, misalnya tugas


rumah tangga atau rutinitas kantor, dapat membuat penderita
SLE merasa sangat lelah. Rasa lelah yang ekstrem ini mungkin
saja tetap dialami pengidapnya meski sudah mendapatkan
istirahat yang cukup.

2.Ruam pada Kulit

Ruam yang menyebar pada batang hidung dan pipi, merupakan


ciri khas dari SLE. Gejala ini dikenal dengan istilah ruam kupu-
kupu (butterfly rash) karena bentuknya yang mirip sayap kupu-
kupu.

Selain hidung dan pipi, tangan dan pergelangan tangan


merupakan bagian tubuh lain yang mungkin mengalami ruam.
Ruam pada kulit akibat SLE dapat membekas secara permanen
dan bertambah parah jika terpapar sinar matahari akibat reaksi
fotosensitivitas.

3. Nyeri pada persendian

Gejala utama lain dari SLE adalah rasa nyeri. Pada sebagian
besar kasusnya, gejala ini muncul pada persendian tangan dan
kaki. Rasa nyeri juga mungkin dapat berpindah dengan cepat
dari sendi satu ke sendi lain. Meskipun demikian, kondisi
tersebut tidak akan menyebabkan kerusakan atau cacat
permanen pada persendian.

Ada beragam gejala lain yang dapat muncul selain yang gejala
di atas. Berikut beberapa gejala SLE lain yang mungkin dialami
pengidapnya:

 Sariawan yang terus muncul.

 Demam tinggi (38 derajat celsius atau lebih).

 Tekanan darah tinggi.

 Pembengkakan kelenjar getah bening.

 Sakit kepala.

 Rambut rontok.

 Mata kering.

 Sakit dada.

 Hilang ingatan.

 Napas pendek akibat inflamasi paru-paru, dampak ke


jantung, atau anemia.

 Tubuh menyimpan cairan berlebihan sehingga terjadi


gejala seperti pembengkakan pada pergelangan kaki

 Jari-jari tangan dan kaki yang memutih atau membiru


jika terpapar hawa dingin atau karena stres (fenomena
Raynaud).

Baca juga: 3 Jenis Penyakit Lupus, Apa Saja?

Diagnosis Penyakit Lupus

Untuk mendiagnosis penyakit lupus, dokter akan melakukan


berbagai pemeriksaan laboratorium. Mulai dari penghitungan
sel darah lengkap, pemeriksaan imunologi, tes komplemen C3
dan C4, pemeriksaan ANA (antinuclear antibody), atau analisis
urine.

Diagnosis penyakit ini bisa juga melibatkan pemeriksaan


pemindaian seperti Rontgen dan ekokardiogram. Pemeriksaan-
pemeriksaan di atas akan dilakukan dokter bila mencurigai
adanya SLE dalam diri seseorang.

Komplikasi Penyakit Lupus

SLE yang tidak terkontrol atau serius bisa menyebabkan


komplikasi yang mengancam nyawa. Misalnya penyakit
kardiovaskular, penyakit ginjal, stroke (jika lupus menyerang
otak), hingga kematian jaringan tulang.

Pengobatan Penyakit Lupus

SLE tidak bisa disembuhkan, pengobatan dilakukan untuk


mengurangi tingkat gejala serta mencegah kerusakan organ
pada pengidap SLE. Bahkan, beberapa dekade lalu penyakit ini
dipandang sebagai penyakit terminal (tdak memiliki harapan
sembuh) yang bisa berujung pada kematian.

Ketakutan ini disebabkan oleh banyaknya pengidap pada saat


itu yang meninggal dunia akibat komplikasi dalam kurun waktu
10 tahun setelah didiagnosis mengidap SLE. Namun, kini obat-
obatan untuk SLE terus berkembang. Contohnya jenis obatnya
seperti antiinflamasi nonsteroid (OAINS), kortikosteroid, obat
Imunosupresan, atau hydroxychloroquine. Obat-obatan inilah
yang membuat hampir semua pengidapnya bisa hidup normal,
atau setidaknya mendekati tahap normal. Selain itu, bantuan
dan dukungan dari keluarga, teman, serta staf medis juga
berperan penting dalam membantu para pengidap SLE dalam
menghadapi penyakit ini.

Pencegahan Penyakit Lupus

Ada beberapa hal yang bisa anda lakukan untuk mencegah diri
dari serangan penyakit lupus, di antaranya:

 Hindari stres dan terapkan pola hidup sehat.

 Kurangi kontak langsung yang berlebihan dengan sinar


matahari terutama pada siang hari.

 Berhenti merokok.
 Berolahraga secara teratur.

 Lakukan diet nutrisi.

systemic lupus erythematosus merupakan penyakit inflamasi


autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta
manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang
sangat beragam (Lahita RG, 2011). Penyakit ini terutama
menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian
yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal
Serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES
(Lahita RG, 2011). Penyakit autoimun, juga disebut penyakit
jaringan ikat, memiliki manifestasi multi-organ. Prevalensi
gejala neuropsikiatri berbeda dan tergantung pada keterlibatan
sistem saraf pusat, perifer dan otonom. Manifestasi psikiatri
yang paling umum dari penyakit autoimun adalah sebagai
berikut: disfungsi kognitif progresif, ketidakstabilan emosi,
gangguan mood dan gangguan tidur, gangguan memori,
gangguan psikosensorik, depersonalisasi, derealisasi, depresi,
kecemasan, halusinasi, delusi dan referensi. Salah satu alasan
dari gangguan di atas adalah karena terdapatnya patologi
vaskuler patogenesis multifaktorial, terutama thromboinflamasi
dan immuno-inflamasi. Faktor-faktor patogen imunologi yang
menyebabkan keterlibatan pembuluh darah yang autoantibodi
dan sitokin proinflamasi (Zhang et al., 2012).

1.2. Epidemiologi Insiden tahunan LES


di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per
100.000 penduduk, 10 dengan rasio jender wanita dan laki-laki
antara 9-14:1. 10,11. Belum terdapat data epidemiologi LES
yang mencakup semua wilayah 14 Indonesia. Data tahun 2010
di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan
1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam (Data RSCM , 2010) , sementara
di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien LES atau
10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi
selama tahun 2010 (Data RS Hasan Sadikin , 2010). Dan di RS
dr. Moewardi Surakarta terdapat 2,75% kunjungan pasien LES
di poli Reumatologi Penyakit dan 8,25% di poli VIP (Data RS
dr. Moewardi, 2012) Manifestasi klinis LES sangat luas,
meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi, darah, jantung,
paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien LES di Eropa yang diikuti
selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak berturut-turut
adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati
27,9%, fotosensitivitas 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4%
dan demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang
dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7% (Cervera R,
2009). Morbititas dan mortalitas pasien LES masih cukup
tinggi. Berturut-turut kesintasan (survival) LES untuk 1-5, 5-
10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97% 15-17 , 84-95%
15-16,18-19 , 70-85% 15-16,18-19 , 64-80% 15,19 , dan 53-
64% (Danchenko N, et al., 2006 ; Jarpa et al., 2011).
Kesintasan 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari
pengamatan terhadap 108 orang pasien LES yang berobat dari
tahun 1990-2002 (data RSCM, 2010). Angka kematian pasien
dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi
umum (Pons-Estel, 2010). Pada tahun-tahun pertama mortalitas
LES berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk
infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan
dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
aterosklerosis (Pons-Estel, 2010; Lilianna Celinzka, 2012).
Mengingat manifestasi klinis, perjalanan penyakit LES sangat
beragam dan risiko kematian yang tinggi maka diperlukan
upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang tepat oleh
dokter ahli penyakit dalam. Setelah diagnosis ditegakkan dan
terapi diberikan oleh dokter konsultan reumatologi / ahli
penyakit 15 dalam. Jika derajat penyakit ringan serta keadaan
pasien stabil pemantauan selanjutnya dapat dilakukan oleh
dokter umum (Rekomendasi Ahli Rematologi Indonesia, 2011).
Semua pasien LES perlu dilakukan pemeriksaan secara berkala
oleh dokter konsultan reumatologi/ ahli penyakit dalam. Dokter
keluarga dapat dilibatkan bersama-sama dokter ahli penyakit
dalam dalam pemantauan aktivitas penyakit. Pada LES derajat
moderat dan berat pemantauan dan pemberian terapi diberikan
oleh dokter ahli penyakit dalam/ konsultan reumatologi. Seiring
dengan meningkatnya kewaspadaan serta pengetahuan dokter
terhadap LES diharapkan prognosis pasien LES di Indonesia
akan menjadi lebih baik (Rekomendasi Ahli Rematologi
Indonesia, 2011). 1.3.Etipatologi LES Penyebab penyakit
autoimun belum diketahui dengan pasti. Namun para pakar
sependapat bahwa penyebabnya merupakan faktor endogen dan
eksogen (Lilianna K, 2010). Salah satu faktor endogen penting
adalah ditemukannya gen yang berperan pada faktor genetik
terutama haplotip Mayor Histocompatibility Complex (MHC)
terutama HLA-DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), dan
HLADR3, adanya komponen komplemen yaitu C1q, C1r, C1s,
C3, C4 dan C2 serta gengen yang mengkode reseptor sel T/
Repetoir TCR (T Cell Reseptor), imunoglobulin, dan sitokin
(Albar, 2003; Cervera R et al., 2009). Terdapat 10-20%
merupakan first degree relative, 24-69% saudara kembar
identik, dan 2-9% merupakan kembar non identik (Hahn BH,
1992; Cervera R et al., 2009) Kedua, faktor lingkungan seperti
sinar Ultra violet yang mampu mengubah struktur DNA di
daerah yang terpapar yang menyebabkan perubahan sistem
imun di daerah tersebut. Hal ini kemudian menginduksi
apoptosis dari sel keratonosit (Cervera R et al., 2009). Ketiga,
faktor obat-obatan yang bekerja sebagai asetilator penghambat
diketahui mempunyai gen HLA DR-4 , sehingga asetilasi obat
menjadi lambat yang menyebabkan obat menjadi terakumulasi
di tubuh yang pada akhirnya obat berikatan dengan protein
tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut 16 (O'Neill SG,
Goldblatt F, 2013). Keempat faktor nutrisi yang oleh Amanda
C. Palmer (2011) disampaikan bahwa wijen (alfafa sprouts)
mengandung asam amino L-cannavine yang mengurangi respon
dari sel limfosit T dan B sehingga dapat memunculkan LES.
Kelima, LES dapat disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri
yang meningkatkan antibodi antiviral sehingga mampu
mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik (O'Neill SG, Goldblatt
F, 2013). Keenam, faktor hormonal estrogen. Peningkatan
hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LES. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko LES dan
tingkat estrogen yang tinggi. Studi lain juga menunjukkan
bahwa metabolisme estrogen yang abnormal dapat
dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya LES (Edith M
et al., 2014). Ketujuh, faktor produksi kompleks imun
autoantibodi. Faktor Imunologi Pada LE terdapat beberapa
kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
a. Antigen : Dalam keadaan normal, makrofag yang
berupa APC (Antigen Presenting Cell) akan
memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita
LES, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T
mengalami perubahan pada struktur maupun fungsinya
sehingga pengalihan informasi normal tidak dapat
dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah
berubah di permukaan sel T akan salah mengenali
perintah dari sel T (Hahn BH., 1992).
b. Kelainan intrinsik sel T dan sel B Kelainan yang dapat
terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang
memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan
respon autoimun. Sel T dan sel B juga akan sulit
mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal
(Hahn BH., 1992).
c. Kelainan antibodi Ada beberapa kelainan antibodi yang
dapat terjadi pada LES, seperti substrat antibodi yang
terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel
T mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi
autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan (Hahn BH., 1992; Tutuncu ZN,
Kalunian KC. 2007).
17 1.4. Patogenesis LES

(Hahn BH, 1992) Pada interaksi antara gen yang rentan dan
faktor lingkungan dapat berakibat pada respon imun
abnormal yang bervariasi di antara penderita. Respon imun
tersebut terdiri dari
1) aktivasi kekebalan bawaan (sel dendritik, monosit/
makrofag) oleh DNA CpG, DNA pada kompleks
imun, virus RNA, dan RNA pada RNA/ protein
self-antigen
2) turunnya ambang aktivasi yang abnormal pada jalur
kekebalan adaptif (limfosit T dan limfosit B).
3) pengaturan CD4 + yang tidak efektif dan CD8 + sel
T dan
4) mengurangi clearence kompleks imun dan sel
apoptosis (Hahns BH, 1992).
Self-antigen (DNA nucleosomal/protein, RNA/ protein Sm, Ro
dan La, fosfolipid) yang terdapat di dalam surface bleps pada
sel apoptosis akan mudah dikenali sistem kekebalan tubuh,
sehingga antigen, autoantibodi dan kompleks imun bertahan
untuk jangka lama, menyebabkan aktivitas peradangan
meningkat. Aktivasi sel kekebalan disertai dengan peningkatan
sekresi tipe proinflamasi 1 dan 2 interferon (IFNs) tumor
necrosis factor (TNF ) interleukin (IL) 17 dan B cytocin cell-
maturation/ survival B limfosit stimulator (BlyS/ Baff) dan IL-
10 (Dean GS et al., 2000; Shmerling RH., 2003) Upregulation
gen yang disebabkan oleh interferon adalah tanda tangan
genetik dalam sel darah perifer dari LES sekitar 50 % pasien.
Penurunan produksi sitokin juga memberikan kontribusi untuk
LES; LES T dan natural killer (NK) sel 18 gagal untuk
menghasilkan faktor pertumbuhan yang cukup IL-2 dan
mengubah (TNF ) untuk menginduksi dan mempertahankan
CD4+ dan CD 8 + sel T. Hasil dari kelainan ini didukung
kompleks produksi antibodi (Dean GS et al., 2000) . Pada
kekebalan, subset patogenik mengikat jaringan target, dengan
aktivasi komplemen, menyebabkan pelepasan sitokin, kemokin,
vasoaktif peptida, oksidan dan enzim yang merusak. Hal ini
disertai dengan masuknya jaringan target sel dendritik. Dalam
pengaturan peradangan kronis, akumulasi faktor pertumbuhan
dan produk oksidasi kronis berkontribusi pada kerusakan
jaringan ireversibel, termasuk fibrosis/ sklerosis, di glomeri,
arteri, otak, paru-paru dan jaringan lainnya. Interaksi faktor
genetik dan lingkungan menyebabkan terjadinya respon imun
yang abnormal, sehingga terjadi produksi patogenik
autoantibodi dan terbentuk kompleks antigenantibodi di
sirkulasi dan jaringan , mengaktivasi komplemen, terjadi
inflamasi serta kerusakan jaringan melalui reaksi
hipersensitivitas tipe III (Hahn BH 1992, Dean DS, et al.,
2000).
1.5. LES dan Psikoneuroimunologi

Stres psikologis dapat didefinisikan sebagai pengalaman stres


yang mempengaruhi kemampuan individu untuk beradaptasi
dengan sehat terhadap peristiwa kehidupan (Hawro,T. 2011).
Stres berat dan atau stres kronik memiliki kaitan erat dengan
fungsi imunitas, sehingga seseorang menjadi lebih mudah
terserang penyakit, mudah mengalami kekambuhan yang
berhubungan dengan fungsi imunitas (Lawrence, E. 2012 ).
Stress kronis menyebabkan pergeseran keseimbangan sitokin
tipe 1/tipe 2 ke arah respon predominan tipe 2 (Lawrence, E.
2012; Sonia, 2009).

19 1.6 Metoda Diagnosis

METODA Para ahli pada Perhimpunan Ahli Reumatik


Indonesia yang mengacu pada American College Rhematology
(ACR, 1997) telah menyusun rekomendasi dan bersepakat
bahwa terdapat 11 (sebelas) pertanyaan terkait kewaspadaan
akan LES
(1), diagnosis
(2), pengelolaan
(3), pemantauan
(4) prognosis
(4), dan rujukan
(5). Kewaspadaan dan kecurigaan akan Penyakit LES
perlu dipikirkan bila dijumpai 2 (dua) atau lebih kriteria
(Vasudevan AR and Ginzler EM 2011; American College of
Rheumatology, 1997) , yaitu : Wanita muda dengan
keterlibatan dua organ atau lebih, gejala konstitusional:
kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat
badan, muskuloskeletal: artritis, artralgia, miositis, kulit: ruam
kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi
membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura,
urtikaria, vaskulitis, ginjal: hematuria, proteinuria, silinderuria,
sindroma nefrotik, gastrointestinal: mual, muntah, nyeri
abdomen, paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi
parenkhim paru, Jantung: perikarditis, endokarditis,
miokarditis, retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati,
splenomegali, hepatomegali), hematologi: anemia, leukopenia,
dan trombositopenia, neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma
otak organik, mielitis transversus, gangguan kognitif neuropati
kranial dan perifer . Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan
melakukan eksklusi terhadap penyakit lainnya. Bagi dokter
umum yang menemukan gejala-gejala di atas dimintakan untuk
mewaspadai kemungkinan penyakit LES dan dilanjutkan
dengan melakukan rujukan (ACR, 1997; Rekomendasi Ahli
Rematologi Indonesia, 2011). Batasan operasional diagnosis
LES yang dipakai dalam rekomendasi ini diartikan sebagai
terpenuhinya minimum kriteria (definitif ) atau banyak kriteria
terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari the
American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997
(Tan EM, 2008 sit Perhimpunan Rhematologi Indonesia, 2011)
Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda 20 LES dan
pada kondisi tertentu seperti LES nefritis, neuropskiatrik LES
(NPLES), maka dapat saja kriteria tersebut belum terpenuhi.
Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit LES, maka
diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. LES pada tahap
awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya
artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan
sebagainya. Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit
LES menjadi penting (Buyon JP, 2008 sit Perhimpunan
Rhematologi Indonesia, 2011)

PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS


SISTEMIK
Oleh :

Penatalaksanaan lupus eritematosis sistemik atau systemic


lupus eritematosus (SLE) menggunakan medikamentosa antara
lain:
 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
 Ibuprofen : 30-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis,
maksimal 2,4 gram per hari pada anak atau 3,2 g/hari pada
dewasa
 Natrium diklofenak : 100 mg per oral satu kali per hari
 Kortikosteroid
 Prednison : 0.5 mg/kg/hari
 Metil prednisolon : 2-60 mg dalam 1-4 dosis terpisah
 Peningkatan dosis harus melihat respon terapi dan penurunan
dosis harus tappering off
 Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) non-
biologis :
 Azathioprin (AZA) : 1-3 mg/kg/hari per oral, dihentikan bila
tidak ada respon dalam 6 bulan
 Siklofosfamid (CYC) : dosis rendah 500 mg IV setiap 2
minggu sebanyak 6 kali, atau dosis tinggi 500-1000
mg/m2 luas permukaan tubuh setiap bulan sebanyak 6 kali
 Mikofenolat mofetil (MMF) : 2-3 gram/hari selama 6 bulan
dilanjutkan 1-2 gram/hari
 Disease-modifying antirheumatic drugs (DMARD) biologis:
 Rituximab : 1 gram IV dibagi menjadi dua dosis dengan jarak 2
minggu [1,2,5]
Tata laksana pasien dengan SLE bergantung pada derajat
keparahan penyakit yang dibagi menjadi:
Ringan

Secara klinis tenang, tidak ada keterlibatan organ yang


mengancam nyawa, fungsi organ normal atau stabil. Misalnya
SLE dengan manifestasi kulit dan artritis
Pilihan penatalaksanaan : penghilang nyeri (paracetamol,
OAINS), kortikosteroid topikal, klorokuin atau
hidroksiklorokuin, kortikosteroid dosis rendah, tabir surya
Sedang

Manifestasi klinis yang lebih serius yang bila tidak ditangani


dapat menyebabkan kerusakan jaringan kronis. Misalnya bila
ditemukan nefritis ringan hingga sedang, trombositopenia, dan
serositis.
Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednisone,
AZA atau MTX atau MMF, hidroksiklorokuin
Berat

Terdapat ancaman kerusakan organ berat hingga kehilangan


nyawa, merupakan bentuk terparah dari SLE dan membutuhkan
imunosupresi yang poten. Misalnya ditemukan gejala
endokarditis, hipertensi pulmonal, vaskulitis berat, keterlibatan
neurologi, anemia hemolitik, dll.
Pilihan penatalaksanaan : metil prednisolon atau prednison,
siklofosfamid IV bila perlu ditambah siklosporin atau IVIg.
[1,2,5]

Jenis-jenis penyakit Lupus


Penyakit lupus terbagi ke dalam beberapa jenis, antara
lain:
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus
erythematosus/SLE)
Lupus ini terjadi secara menyeluruh (sistemik) pada
tubuh penderita dan merupakan jenis lupus yang paling
sering terjadi. Dinamakan lupus sistemik dikarenakan
terjadi pada berbagai organ, terutama sendi, ginjal, dan
kulit. Gejala utamanya adalah inflamasi kronis pada
organ-organ tersebut.
Lupus eritematosus kutaneus (cutaneous lupus
erythematosus/CLE)
Merupakan manifestasi lupus pada kulit yang dapat
berdiri sendiri atau merupakan bagian dari SLE. CLE
dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu acute
cutaneous lupus erythematosus (ACLE), subacute
cutaneous lupus erythematosus (SCLE), dan chronic
cutaneous lupus erythematosus (CCLE).
Lupus akibat penggunaan obat
Beberapa jenis obat dapat menimbulkan gejala yang
terlihat mirip dengan gejala lupus, pada orang yang tidak
menderita SLE. Akan tetapi jenis lupus ini bersifat
sementara dan akan menghilang dengan sendirinya
beberapa bulan setelah berhenti mengonsumsi obat yang
memicu gejala lupus tersebut. Beberapa jenis obat yang
dapat menyebabkan lupus jenis ini, antara
lain metildopa, procainamide, D-penicillamine (obat
untuk mengatasi keracunan logam berat),
serta minocycline (obat jerawat).
Lupus Eritematosus Neonatal
Lupus eritematosus neonatal merupakan jenis lupus yang
terjadi pada bayi baru lahir. Lupus neonatal diakibatkan
oleh autoantibodi, yaitu anti-Ro, anti-La, dan anti-RNP.
Ibu yang melahirkan anak yang menderita lupus
eritematosus neonatal belum tentu mengidap lupus.
Biasanya lupus eritematosus neonatal hanya terjadi pada
kulit dan akan menghilang dengan sendirinya. Namun
pada kasus yang jarang, lupus neonatal dapat
menyebabkan congenital heart block, yaitu gangguan
irama jantung pada bayi baru lahir. Kondisi ini dapat
diatasi dengan cara memasang alat pacu jantung.
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4440209/mengenal-
penyakit-lupus-gejala-penyebab-pencegahan-dan-pengobatannya
https://eprints.uns.ac.id/31478/1/S501108044_pendahuluan.pdf
https://hellosehat.com/hidup-sehat/tips-sehat/penyakit-lupus-
adalah-autoimun/ https://www.honestdocs.id/lupus-pengertian-
penyebab-gejala-pengobatan
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/4b5af7f9d
2503f55a347e689e5d7f2ab.pdf
https://www.alomedika.com/penyakit/alergi-dan-imunologi/lupus-
eritematosus-sistemik/diagnosis
https://hellosehat.com/penyakit/lupus-eritematosus-sistemik/
https://www.halodoc.com/kesehatan/lupus

Anda mungkin juga menyukai