Anda di halaman 1dari 17

Djamhoer Martaadisoebrata

Bagian Obstetri Ginekologi FKUP/RSHS

Bandung [1]

Pendahuluan

Ada perempuan mengeluh tentang siklus haidnya yang tidak datang sudah beberapa bulan disertai sakit di daerah panggul, tetapi pada pemeriksaan ginekologis, sama sekali tidak ditemukan kelainan organik. Ada pula perempuan yang mengalami amenorea beberapa bulan, disertai dengan mual, muntah dan perut membesar, tetapi pada pemeriksaan klinik, laboratorik maupun USG, sama sekali tidak ditemukan tanda-tanda kehamilan.

Contoh pertama bisa didiagnosis sebagai Amenorea Sekunder disertai Nyeri Panggul, sedangkan kasus kedua kita sebut Pseudocyesis. Kedua-duanya sering disebut sebagai kasus Psikosomatik, , yaitu suatu keluhan medis yang disebabkan karena masalah kejiwaan, emosi atau fikiran, yang selama ini menjadi garapan Psychosomatic Medicine.

Di lain fihak, para pakar kesehatan menyadari bahwa masalah sehat dan sakit bukan hanya sekedar masalah biomedis saja, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti psikologi, sosioekonomi dan budaya, baik dalam kejadian, perjalanan penyakit, maupun hasil pengobatannya.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kaitannya antara Psychosomatic Medicine dengan Psychological Aspect in Medicine, apakah sama atau berbeda?

Bagi kita, yang berkecimpung dalam Obstetri dan Ginekologi, pertanyaan tersebut di atas menjadi lebih penting karena selama ini, masalah tersebut tidak pernah dipelajari secara eksplisit. Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa kita tidak atau kurang pengalaman dalam menangani kasus-kasus semacam itu

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah bagaimana :

* Sejauh mana persepsi kita tentang kelainan tersebut * Bagaimana hubungan antara faktor psikososial dengan kejadian kelainan medis dan perkembangannya * Bagaimana wujudnya dalam bidang Obstetri dan Ginekologi * Bagaimana cara menentukan diagnosis, terapi serta parameter keberhasilannya * Apakah kelainan ini termasuk bidang garapan ObGin Klinik atau ObGinSos * Kompetensi apa lagi yang harus dikuasai oleh para SpOG, agar dapat menangani masalah ini secara paripurna.

Perkembangan persepsi

Psikosomatik sudah lama dikenal dalam dunia kedokteran. Di dalam perkembangannya telah mengalami berbagai perubahan dan perluasan, baik dalam wawasan, pengertian, maupun cara penanggulangannya. Karena masalah psikis itu sangat berkaitan dengan lingkungan sosial, budaya dan agama, maka tidak mengherankan bila terdapat berbagai variasi dalam pengertiannya.

Di luar negeri, perkembangan Psychosomatic Medicine sangat pesat, termasuk dalam bidang Obstetri dan Ginekologi. Bahkan mereka sudah mempunyai asosiasinya yang di sebut The International Society of Psychosomatic Obstetrics and Gynecology (ISPOG) , dan telah mempunyai jurnal dengan nama Journal of Psychosomatic Obstetrics and Gynecology .

Menurut Lock dan Donelly (dikutip dari Hudono & Wiknyosatro1), di antara penderita-penderita yang datang ke akhli ginekologi, kira-kira 33% menderita keluhan psikosomatik. Mengingat hal ini, maka kemungkinan salah diagnosis dan salah terapi cukup besar apabila segi-segi psikologi tidak/kurang mendapat perhatian.

Di Indonesia, saat ini, Psikosomatik lebih banyak diajarkan di bidang Psikiatri dan Interne. Tetapi dalam Buku Ilmu Kandungan edisi pertama yang diterbitkan oleh YDBSP pada tahun 1982, telah tercantum topik mengenai Psikosomatik dan Seksologi, yang ditulis oleh Hudono ST dan Wiknyosastro H 1

Kolegium Obstetri Ginekologi Indonesia2 di dalam kurikulum PPDS, juga mencantumkan topik Psikosomatik dan Psikososial, yang diberikan pada semester ke V dan VI. Tetapi pada kenyataannya, perhatian utama masih tertuju kepada bidang klinik dengan bioteknologi sebagai pendukung utamanya.

Sadock BJ dan Sadock VA3, dalam makalahnya yang berjudul Psychological Factors Affecting Medical Condition and Psychosomatic Medicine mengatakan bahwa :

Psychosomatic Medicine emphasizes the unity of mind and body, and the interaction between them

Menurut pendapatnya, Psikosomatik sekarang merupakan bagian dari keilmuan yang lebih luas, yaitu Behavioral Medicine , yang menurut the National Academic of Sciences, mempunyai pengertian sebagai berikut :

Behavioral Medicine is the interdsiciplinary field concerne with the development and integration of behavioral and biomedical science, techniques relevant to health and illness and the application of this knowledge and this techniques to prevention, diagnosis and rehabilitation.

Di dalam DSM-IV-TR (Diagnosis and Statistical Manual Of Mental Disorders, edisi ke empat), mereka tidak menggunakan lagi istilah Psychosomatic, melainkan menggambarkannya sebagai :

Psychological Factors Affecting Medical Condition as one or more psychological or behavioral problems that adversely and significantly affect the course or outcome of a general medical condition, or that significantly increase a person s risk of an adverse outcome.

Soucasaux N4, seorang ginekolog dari Brasil, masih menggunakan istilah Psychosomatic Gynecology , walaupun dalam uraian selanjutnya, lebih banyak berbicara tentang pengaruh psikososial terhadap keluhan dan kelainan ginekologi. Ungkapannya di bawah ini merupakan bukti dari pengertian di atas :

In the daily practice of gynecology office, it is very easy to preceive that highly intricate emotional problems often lie behind a great number of the complaints, symptoms and disturbances that the patients bring to the consultation. To a great extent, these emotional problems are related to several aspects of the female nature and constitution. Menstrual disorders, hormononal

dysfunctions, prementrual and menstrual symptoms, pelvic pains, recurrent vulvo vaginitis, sexual problems, some of the symptoms attributed to the use of the hormonal contraception to mention only some of the most frequent examples -, are often somatization of several emotional problems.

Menurut pendapatnya, perempuan cenderung untuk memproyeksikan masalah emosi atau psikologinya ke dalam organ yang memiliki sifat khas perempuan, yaitu organ seksual dengan fisiologi endokrinnya yang rumit.

Haessler A dan Rosenthal MB5, mengatakan bahwa praktek ginekologi dan obstetri selalu di pengaruhi oleh cerita-cerita rakyat, taboo, agama dan budaya masyarakat. Pelayanan ginekologi harus bersifat life cycle approach , mulai dari menarche, remaja, masa reproduksi, menopause dan lansia. Karena itu para ginekologi perlu dibekali dengan pengetahuan tentang psikoseksual dan perkembangan fisik perempuan. Pelayanan obstetri ginekologi yang baik, harus dilakukan dengan cara pendekatan biopsychosocial , dengan melihat setiap penderita sebagai individu ( manusia ), dan tidak semata-mata sebagai penyakit.

Menurut Ross EK, dikutip dari Suhatno6, setiap penderita kanker akan mengalami gangguan psikologis sebagai berikut. Mula-mula penderita akan Menolak (Denial) bahwa dia menderita kanker dan Menutup Diri (Isolation). Kemudian Marah (Anger), mengapa dia menderita kanker. Seterusnya, karena kenyataannya memang dia menderita kanker maka dia mencoba mengadakan Tawar Menawar (Bargaining), dengan harapan mudah-mudahan penyakitnya tidak terlalu berat dan bisa sehat lagi seperti sediakala. Bila kemudian ternyata bahwa harapannya itu tidak bisa terkabul maka dia mengalami Dipresi (Dipression). Akhirnya, setelah melalui berbagai konsultasi dan introspeksi diri, khususnya dalam bidang spiritual, mungkin dia dapat masuk dalam suasana Penerimaan (Acceptance), yang melegakan , baik secara psikologis maupun sosial.

Perubahan emosi atau kejiwaan yang dilalui oleh penderita itu secara bertahap itu, harus difahami benar oleh setiap ginekolog, agar dia bisa melakukan pendekatan secara biopsikososial.

Seperti dikatakan oleh Buckman R7, setiap intervensi klinik selalu harus mempunyai dua tujuan yang jelas. Pertama, kalau mungkin, menghasilkan perbaikan yang nyata dari penyakitnya (helping the patient get better), dan kedua, apapun hasil pengobatan medisnya, harus ada upaya untuk memperbaiki keluhan subjektifnya (helping the patient feel better). Untuk kedua tujuan tersebut, diperlukan kemampuan berkomunikasi

Dengan komunikasi yang baik, kita bisa mendapat informasi yang akurat, yang pada gilirannya akan dapat membuat diagnosis dan rencana pengelolaan yang tepat. Di samping itu, dengan komunikasi

yang baik, kepercayaan penderita kepada dokter meningkat, persepsi tentang penyakit, harapan kesembuhan dan kepatuhan makin meningkat ke arah positif. Semuanya ini akan membantu penderita menjaga jati diri dan kualitas hidupnya (Quality of Life), walaupun penyembuhan fisik tidak tercapai secara sempurna.

Wenzel LB et al8, Berkowitz RS9 dan Ngan HYS10 meneliti aspek psikologi, sosial dan seksual dari penderita Penyakit Trofoblas Gestasional (PTD) baik Mola Hidatidosa yang jinak, maupun Koriokarsinoma yang ganas. Mereka menemukan cukup banyak penderita yang mengalami distress cukup lama, baik akibat penyakitnya, efek samping kemoterapi maupun kekhawatiran terhadap masalah kesuburannya. Mereka menganjurkan diadakannya Psychological assesments and Interventions, terutama bagi penderita yang disertai metastasis.

Karena Koriokarsinoma itu dimulai dengan suatu kehamilan, maka penderita dan pasangannya dianjurkan untuk segera merubah sikap dari suatu penantian yang menggembirakan menjadi sikap penuh pengertian tentang suatu keadaan yang mungkin membahayakan jiwanya .

Dengan melihat perkembangan tersebut di atas, ada dua hal yang kita patut perhatikan, yaitu :

1. Pengertian psikosomatik tidak lagi sesederhana seperti pada contoh Pseudocyesis, melainkan telah berkembang jauh menjadi Psychosomatic Medicine yang menekankan adanya kesatuan jiwa dan raga serta interaksi antara keduanya. 2. Pendekatan terbaik adalah secara biopsikososial. Karena itu setiap pakar Obstetri dan Ginekologi harus membekali dirinya dengan pengetahuan dan ketrampilan komunikasi, psikologi dan ilmu perilaku lainnya.

Sebetulnya pendekatan secara biopsikososial ini telah pula ditawarkan oleh Techemediyan NS11 dalam makalahnya yang berjudul Quality of Life in Current Oncology Practice and Research , hanya dia menyebutnya dengan istilah biomedispsikososiospiritual. Biomedis adalah CURE yang merupakan hak dan kewajiban para dokter beserta timnya, dan hanya dapat dilakukan di rumah sakit, sedangkan psikososiospiritual adalah CARE, yang merupakan upaya gabungan dari tim kesehatan, keluarga, social worker, ulama, dan pihak-pihak lain yang terkait, yang dalam pelaksanaannya sebagian bisa dilakukan di luar rumah sakit, seperti Hospice Home Care.

Menurut Martaadisoebrata D12,13, CURE dan CARE harus diberikan secara proporsional, sesuai dengan keadaan penyakitnya. Pada keadaan akut, CURE yang diutamakan, sedangkan kalau sudah kronis atau telah mencapai stadium terminal, upaya CARE yang lebih menjadi pilihan utama.

Sebenarnya pada setiap penyakit selalu ada aspek medis (klinik) dan aspek psikososial. Karena itu wajar saja bila kita mendekati setiap permasalahannya secara biomedispsikososiospritual. Bentuk pelayanan kesehatan semacam inilah yang dianjurkan oleh Etika Profesi atau Etika Klinik, karena sifatnya yang Holistik, Etis dan Humanistis. Parameter keberhasilan tidak lagi sekedar hilangnya gangguan fisik, tetapi juga dengan melihat kenyamanan psikososial dan Quality of Life (QOL) nya.

Jadi dengan mengembangkan Psikosomatik Medicine secara benar dan proporsional, kita sebenarnya juga memperkuat pembekalan Kompetensi Etik.

Apakah para dokter sekarang sudah menghayati dan mengimplementasikannya dalam praktek sehari-hari? Jawaban terhadap pertanyaan ini ternyata bervariasi. Ada kelompok yang memang benar-benar menghayati dan melaksanakannya. Ada pula yang mengerti dan menghayati, tetapi tidak mengamalkannya, karena tidak didukung oleh ketrampilan lain seperti komunikasi dan psikoanalisis. Ada yang tidak mau mengerti atau menerima wawasan ini karena menganggap bahwa behavioral sciences seperti psikologi dan ilmu perilaku lainnya kurang rasional , kurang berbobot atau kurang ilmiah bila dibandingkan dengan dibandingkan dengan medical sciences.

Menurut Alexander F14, para klinisi modern banyak yang mempunyai dual personality . Pada saat berbicara di dalam forum dunia kedokteran dia mampu menunjukkan sikap medical scientific nya, yang pada dasarnya merupakan sikap anti psikologi yang dogmatis. Tetapi sebagai praktisi dokter, mereka tidak bisa begitu saja mengabaikan faktor psikososial ini. Mereka harus mendengarkan dan menanggapi keluhan yang diberikan oleh penderita, yang sering kali tidak bersifat medis. Bahkan mereka sering menganjurkan kegiatan-kegiatan yang sifatnya non medis. Misalnya, kepada penderita hipertensi kronis, mereka menganjurkan perubahan pola hidup yang santai, hindarkan bekerja dan ambisi yang berlebihan, dan pola makan yang berimbang.

Sikap tidak mendukung terhadap perkembangan Psikosomatik Medicine ini, tampak jelas para kurikulum Fakultas Kedokteran, baik Umum maupun PPDS. Bila hal ini berlangsung terus, maka terjadilah lingkaran setan antara minimnya pembekalan selama pendidikan dan citra profesi dokter yang tidak paripurna.

Hubungan faktor psikososial dengan kondisi medik

Bahwa faktor psikososial itu mempunyai peranan penting dalam kejadian suatu penyakit, sudah tidak diragukan lagi. Tetapi bagaimana menerangkannya secara ilmiah mekanisme hubungan

antara keduanya itu? Apakah psikososial itu berfungsi sebagai faktor risiko, berpengaruh terhadap perjalanan penyakit, atau mempunyai peranan dalam proses penyembuhan?

Di atas telah dijelaskan oleh Soucasaux bahwa perempuan sering memproyeksikan masalah emosi dan psikologinya ke dalam alat genitalia dengan sistem endokrinnya yang rumit. Menurut pendapatnya, jalur yang dilalui, yang disebutnya sebagai the psychosomatic pathways , ada tiga :

1. Jalur Neuroendokrin

Interrelasi antara psike, korteks serebri, sistem limbik, serta pengaruhnya terhadap poros hipotalamus-hipofise-ovarium, sudah lama dikenal. Fungsi ovarium dipengaruhi oleh FSH dan LH. Sebaiknya hormon ovarium, estrogen dan progesteron, berpengaruh terhadap hipotalamus melalui sistem umpan balik. Dengan cara ini, bila terjadi gangguan pada poros tersebut di atas, maka berbagai gangguan hormonal dapat terjadi, diikuti dengan berbagai bentuk kelainan pola menstruasi.

1. Jalur Neurovegetative

Jalur ini melalui sistem syaraf simpatik dan parasimpatik, langsung mempengaruhi organ panggul.

1. Jalur Imunologi

Perubahan dalam sistem imunologi, berdampak pula terhadap alat genitalia. Bisa merupakan faktor predisposisi terhadap infeksi, atau bersama-sama dengan faktor lain, berperan dalam kejadian kanker.

Mengingat bahwa sebagian besar fisilogi ginekologi itu bersifat hormonal, nampaknya jalur Neuroendokrinlah yang paling berperan. Melalui jalur ini, pengaruh fikiran (mind) dan sistem syaraf pusat terhadap badan perempuan, berlangsung secara hormonal.

Kuantitas dan intensitas keluhan dan gejala yang terjadi, sangat bervariasi antar perempuan, dan pada satu perempuan, antar siklus, tergantung kepada kurun kehidupan, kondisi emosi dan variasi endokrin.

Daerah sasaran (target) dari proyeksi psikosomatik beserta pola keluhannya, sangat bersifat individual. Ada perempuan yang datang dengan keluhan haid, baik siklus, jumlah, lama dan rasa sakitnya. Tidak sedikit yang datang dengan keluhan Premenstrual Syndrome dengan sakit payu daranya, insomnia dan emosi yang labil.

Yang mengherankan adalah mereka yang datang dengan keluhan vulvovaginitis berulang. Pada kesan pertama, dokter akan selalu menganggapnya sebagai kelainan murni medis akibat Sexual Trasmitted Disease (STD). Anamnesis, pemeriksaan dan penangannya selalu diarahkan kepada STD, termasuk suami atau pasangan seksualnya. Kalau tidak waspada, hal ini dapat menimbulkan ketegangan antar suami istri.

Yang masih merupakan misteri adalah, mengapa somatisasi dari konflik tersebut selalu berwujud dalam cara yang spesifik, menghasilkan keluhan dan keadaan patologi tertentu. Menurut Soucasoux, hal ini disebabkan karena logika dari proyeksi tidak selalu jelas.

Wujud kelainan psikosomatik dalam Obstetri dan Ginekologi

Kalau kita berbicara tentang wujud kelainan, di samping membicarakan jenis-jenis kelainan psikosomatik, kita juga harus membicarakan pengaruh faktor psikososial terhadap perjalanan dan proses penyembuhannya.

Kelainan psikosomatik dalam bidang Obstetri

Contoh klasik dari fenomena psikosomatik dalam bidang Obstetri adalah Pseudocyesis, yaitu suatu keadaan di mana seorang perempuan merasa yakin sekali bahwa dia hamil dengan menunjukkan berbagai gejala kehamilan seperti mual, muntah, perut membesar dan merasa gerakan anak, padahal tidak ada bukti sama sekali, baik organik, laboratorik maupun pencitraan.

Menurut Haessler dan Rosenthal, Pseudocyesis adalah suatu reaksi konversi di mana konflik psikis diekspresikan dalam bentuk pengertian fisik. Griengl H15, menyebutnya sebagai Delusional Pregnancy . Dahulu disangka bahwa kelainan in jarang terjadi, dan sering berkaitan dengan schizophrenia atau kelainan organik otak. Sekarang ternyata bahwa kelainan ini tidak terlalu jarang, dan dapat terjadi pada perempuan yang sebelumnya tidak mempunyai kelainan psikiatri maupun kelainan organik dari otak. Kelainan ini dapat diobati dengan cara psikoterapi.

Haessler dan Rosenthal mengatakan bahwa, walaupun kehamilan itu dapat memberikan rasa senang dan kebahagiaan, tetapi dapat pula merupakan pengalaman yang penuh ketegangan, sehingga menimbulkan konflik.

Menurut mereka, keinginan untuk hamil tidak selalu identik dengan keinginan untuk punya anak. Ada yang ingin hamil hanya untuk membuktikan identitas seksualnya atau kemampuan reproduksinya. Bisa juga sebagai jawaban terhadap perasaan kehilangan atau kesepian, atau karena ingin mempunyai seseorang untuk dicintai dan yang mencintainya.

Perubahan emosi pada perempuan hamil dapat terjadi pada berbagai fase kehamilan, mulai dari trimester pertama, kedua dan ketiga, persalinan, sampai masa nifas dan menyusui. Sikap atau perilaku perempuan selama kehamilan, tidak selalu merupakan prediktor yang baik untuk menentukan status psikologisnya pada masa persalinan. Rasa takut dan ketidaktahuaannya tentang situasi kamar bersalin, dapat meninggikan ketegangan dan rasa sakit. Rasa sakit, tidak hanya berhubungan dengan faktor biologis, lama persalinan atau komplikasi, tetapi juga berkaitan dengan pengalaman masa lalu tentang sakit, kepribadian, cara berekspresi dan budaya. Untuk beberapa orang, alat elektronik pemantau kesejahteraan bayi yang canggih, dapat pula menimbulkan ketegangan. Sebaliknya, untuk mereka yang pernah mengalami kehilangan anak, kehadiran alat tersebut sangat melegakan.

Para obstetricus modern diharapkan dapat mengenal adanya konflik emosi dan psikologi tersebut di atas, serta harus mampu mengatasinya. Antara lain dengan mengadakan kelas pendidikan persalinan, di mana diberikan informasi yang lengkap tentang proses kehamilan dan persalinan, cara-cara relaksasi, pengetahuan tentang prosedur obstetri yang normal dan tidak normal, dan membiasakan diri mengenal sarana dan suasana rumah sakit, termasuk kamar bersalin. Mereka harus mampu mengubah suasana rumah sakit sebagai lembaga yang resmi dan asing, menjadi familier seperti di lingkungan rumah.

Di dalam masa nifas, perempuan yang baru melahirkan dapat mengalami suatu konflik emosi yang dikenal dengan istilah Postpartum Blues, 3-days Blues atau Baby Blues, yaitu gangguan suasana hati yang bersifat sementara, terjadi dalam dua minggu pasca salin. Insidensinya cukup tinggi, sekitar 5085 %. Ciri-cirinya adalah mudah marah, peka terhadap kritik, murung, tegang, sedih atau gembira. Kelainan ini tidak ada hubungannya dengan kesehatan ibu anak, ada atau tidaknya komplikasi, tingkat sosial atau hospitalisasi. Postpartum Blues jarang terjadi pada masyarakat di mana ada kebebasan untuk mengekspresikan emosi, dan di mana keluarga dan teman menunjukkan perhatian dan dukungannya.

Walaupun pada umumnya kelainan ini akan hilang sendiri dalam waktu dua sampai tiga minggu, tanpa perlu pengobatan, 20 % di antaranya ada yang menderita depresi selama tahun pertama pasca salin.

Contoh lain adalah peristiwa kegagalan kehamilan atau reproductive failure. Yang termasuk kelainan ini, antara lain, adalah Abortus, Kehamilan Ektopik, Mola Hidatidosa dan Cacat Bawaan. Kehamilan seharusnya merupakan suatu peristiwa yang diinginkan, terencana dan didambakan. Dengan terjadinya kegagalan, maka calon orang tua, terutama calon ibu tentunya akan mengalami gangguan psikologis. Hatinya terguncang., dan berbagai macam perasaan akan timbul, seperti kecewa, sedih, murung, bahkan mungkin ada perasaan khawatir dan takut akan terjadi pengulangan. Bila terjadi pengulangan, rasa takutnya akan meningkat, tidak mustahil disertai depresi. Di samping itu mungkin timbul rasa rendah diri, karena sebagai perempuan atau seorang istri dia tidak mampu memberikan keturunan.

Martaadisoebrata D16, berdasarkan pengalamannya, menganggap bahwa pada kasus Mola Hidatidosa, gangguan psikologisnya lebih menonjol dibandingkan dengan bentuk-bentuk kegagalan lainnya, karena 15 sampai 20 % dari kasus bisa mengalami transformasi keganasan menjadi kanker, termasuk di antaranya Koriokarsinoma. Walaupun jenis kanker ini sangat responsif terhadap kemoterapi, dan bisa baik dan sehat lagi seperti sediakala, tetapi proses pengobatannya sendiri akan sangat berpengaruh terhadap kondisi psikososialnya. Kemoterapi itu mahal, lama dan sering disertai efek samping yang mengkhawatirkan. Jadi di sini kita melihat suatu peristiwa yang pada permulaannya, sebagai kehamilan, diharapkan akan memberikan kebahagiaan, ternyata berakhir dengan suatu kegagalan. Pada beberapa orang penderitaan ini tidak berakhir di sini saja, tetapi berlanjut menjadi sesuatu keadaan yang dapat mengancam jiwanya. Adakalanya, penderita datang dalam keadaan lanjut sehingga pemberian kemoterapi saja dianggap belum mencukupi, dan harus disertai dengan tindakan operasi. Dalam keadaan ini efek psikososialnya bagi penderita dan keluarga makin bertambah.

Operasi, bagaimanapun kecilnya, tetap merupakan tindakan invasif, yang bagi sekelompok orang sangat menakutkan. Pada umumnya mereka takut sakit dan rasa tidak nyaman lainnya, di samping tentu takut akan kemungkinan kematian. Pada penderita Koriokarsinoma ada ketakutan lain yang khas karena berkaitan dengan citra atau jati keperempuanannya. Sering kali, jenis operasi yang dilakukan pada penderita Korikarsinoma adalah histerektomi, di mana penderita terpaksa kehilangan rahimnya, suatu organ yang sangat vital dalam kehidupan seorang perempuan, terutama kalau masih muda, tanpa anak atau paritas rendah. Walaupun mereka bukan termasuk menopause, mereka tidak bisa menstruasi dan tidak bisa mempunyai anak lagi.

Masih banyak masyarakat yang beranggapan bahwa perempuan yang tidak bisa menstruasi dan tidak bisa hamil, mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Sikap budaya masyarakat inilah yang akan menimbulkan trauma yang besar terhadap kondisi psikologi serta kehidupan sosial maupun

seksual penderita tersebut. Tidak mustahil bahwa penderitaan yang demikian hebatnya, akan meruntuhkan keimanannya, sehingga tidak percaya lagi akan sifat rahman dan rahim Allah SWT. Bila hal ini terjadi, sesungguhnya mereka telah kehilangan segala-galanya.

Untuk kasus semacam ini tepat sekali bila pendekatannya harus secara biomedispsikososiospiritual. Kelanjutan mutu kehidupan atau QOL dari penderita ini akan sangat tergantung kepada keluarga, terutama suami. Sangat penting untuk bisa menciptakan suasana kehidupan yang wajar, di mana penderita benar-benar merasa sebagai seseorang yang masih dibutuhkan.

Dari contoh terakhir kita melihat bahwa kasus psikosomatik ini proses kejadiannya terbalik. Kasus tersebut tidak dimulai dengan adanya konflik psikososial yang kemudian menyebabkan kelainan somatis atau kelainan medis, tetapi di sini justru kelainan medis terjadi lebih dahulu, kemudian diikuti dengan serangkaian gangguan psikososioseksual.

Kelainan psikosomatik dalam bidang Ginekologi dan Seksual

Ginekologi adalah bidang keilmuan yang mempelajari kelainan alat dan fungsi reproduksi, di luar kehamilan. Sedangkan alat reproduksi dengan fungsinya merupakan salah satu wujud dari citra atau jati diri keperempuanan. Jadi kalau terjadi sesuatu pada alat ini, terutama kalau disertai gangguan fungsi, maka mudah dimengerti bahwa keadaan ini akan mengganggu kondisi psikis, sosial maupun kehidupan seksualnya.

Seperti telah diterangkan oleh Soucasaux dan pakar-pakar lainnya, bentuk kelainan psikosomatik dalam bidang ginekologi bisa berupa kelainan haid, seperti amenore, menometroragi, dismenore dll, gangguan seksual seperti disparunia, atau vulvovaginitis.

Keluhan-keluhan tersebut, walaupun tidak membahayakan jiwa, tetapi tetap akan mengganggu kehidupan sehari-hari, baik sebagai ibu rumah tangga, istri maupun sebagai karyawati di ruang publik.

Di sini kita lihat bahwa kelainan psikosomatik ini bersifat timbal balik. Di satu fihak, gangguan suasana hati (mood) atau emosi dapat menyebabkan kelainan haid, terutama melalui jalur neuroendokrin. Sebaliknya kondisi medis yang tidak nyaman ini akan mengganggu keseimbangan psikologis, sosial dan kehidupan seksualnya.

Seperti telah diuraikan di atas, gangguan emosi, baik disertai atau tidak disertai dengan kelainan medis, dapat menimbulkan kesulitan dalam hubungan seksual. Disfungsi seksual ini, antara lain, bisa berupa frigiditas, anorgasmi, disparunia atau vaginisme1

Pangkahila W17, mengatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap dorongan seksual adalah psikososial. Menurutnya, disfungsi seksual pada perempuan bisa berbentuk :

1. Sexual desire disorder (Gangguan dorongan seksual)

* Hypoactive sexual desire disorder (Dorongan seksual hipoaktif) * Sexual aversion disorder (Gangguan aversi seksual)

1. Sexual arousal disorder (Gangguan bangkitan seksual) 2. Orgasmic disorder ( Gangguan orgasme) 3. Sexual pain disorder (Gangguan sakit seksual)

* Dysparunia * Vaginsismus * Non coital sexual disorder (Gangguan sakit seksual non koitus)

Walaupun terjadi disfungsi seksual, banyak istri-istri yang masih bersedia melakukannya, demi kewajiban. Bila fihak suami tidak bijaksana, hal ini bisa menjurus ke arah situasi yang dikenal sebagai kekerasan dalam rumah tangga .

Bagi masyarakat Indonesia, termasuk para dokter, pengetahuan tentang seks dan seksologi, masih minim, karena adanya mitos bahwa masalah seks itu taboo untuk dibicarakan secara terbuka. Kalaupun dilakukan, lebih banyak dalam bentuk lelucon yang berbau porno. Situasi semacam ini kurang mendukung upaya pengobatan bagi mereka yang mengalami disfungsi seksual.

Sebenarnya masih ada satu kelainan ginekologi yang sangat besar pengaruh psikososioseksualnya bagi mereka yang menderitanya, yaitu Ambiguous genitals . Yang termasuk kelainan ini bermacammacam, di antaranya yang disebut Intersexes , di mana pada pemeriksaan alat genitalia eksterna, menimbulkan keraguan apakah bayi itu laki-laki atau perempuan, seperti misalnya tampak penis yang kecil dengan hipospadia, disertai labia mayora dan lekukan vagina yang rudimenter, atau klitoris yan besar menyerupai penis, tanpa uretra dengan skrotum yang tidak sempurna.

Efek psikososial kelainan ini dimulai sejak bayi dilahirkan, terutama bagi orang tuanya. Waktu bayi intersex dilahirkan, para penolong, baik bidan maupun dokternya, tidak mau segera menunjukkan bayi tersebut kepada ibunya, bahkan kemudian mengadakan konsultasi kepada dokter anak, endokrinologis dan akhli bedah plastik.

Ibu yang masih kecapaian akibat persalinannya tentu merasa gelisah dan bertanya-tanya, ada apa dengan anaknya. Kegelisahan ini kemudian bertambah dengan kekecewaan, kekhawatiran, ketakutan dan mungkin juga rasa malu setelah diberi tahu bahwa anaknya sehat, tetapi ada semacam kelainan pada organ genitalianya, terutama bagian eksternanya. Selanjutnya diinformasikan bahwa untuk penanggulangannya diperlukan serangkaian pemeriksaan endokrin, genetik dll, dan pada suatu waktu akan diikuti dengan operasi plastik yang mungkin tidak cukup sekali. Kalaupun operasi itu berhasil, apakah sebagai laki-laki atau perempuan, pribadinya tidak mungkin utuh, karena pasti ada gangguan dalam fungsi reproduksinya, terutama kemampuan fertilitasnya.

Keluarga yang mempunyai anak intersex, sering menyembunyikan keadaan ini dari anggota keluarga lainn dan masyarakat umum, sehingga anak ini mengalami isolasi sosial yang jelas dapat mempengaruhi perkembangan jiwanya. Di negara Baratpun, situasi semacam ini masih banyak terjadi.

Banyak fihak bertanya-tanya seberapa besar prevalensi kelainan ini? Menurut James Kalat18, di Amerika Serikat, paling sedikit, 1 di antara 100 anak yang dilahirkan, disertai dengan kelainan ambiguiti genital ini, dan 1 di antara 1000-2000, kelainannya cukup berat, sehingga sukar untuk menentukan jenis kelaminnya, apakah laki-laki atau perempuan.

Dengan makin meningkatnya umur dan makin besarnya pertumbuhan badan, anak-anak intersex, mulai merasakan adanya perbedaan antara dirinya dengan kawan-kawanya. Kesulitan psikososial timbul saat kawan-kawannya mulai memperhatikan kelainannya, mengejek dan mengucilkannya.

Sseorang atlet perempuan intersex terkenal, pernah mengalami pengalaman yang sangat pahit. Beberapa saat menjelang pertandingan Olimpiade, seorang panitia mengatakan : We advice you to to fake an injury and leave quitely . Ternyata panitia baru saja menerima laporan bahwa hasil pemeriksaan sitogenetik atlet tersebut hanya mengandung satu X. Atlet tersebut kemudian didikualifikasi.

Di Indonesia, aspeks epidemiologi klinik intersex ini belum diketahui dengan jelas. Alasannya karena di masyarakat masih yang menganggap kelainan semacan ini, seperti juga masalah sekual, taboo untuk dibahas secara umum. Di samping itu, harus diakui bahwa belum banyak ginekolog yang benar-benar mahir menangani masalah ini, terutama dari psikososioseksualnya, padahal penderita semacam ini benar-benar memerlukan pendekatan secarabiopsikososioseksual.

Diagnosis kelainan psikosomatik

Dalam kaitan dengan masalah ini, ada dua pertanyaan penting yang perlu dijawab. Apakah memang perlu kita membuat diagnosis kelainan psikosomatik, ataukah yang kita perlukan hanya mengidentifiser adanya faktor-faktor psikososial yang berkaitan dengan suatu kelainan medis, baik sebagai penyebab maupun akibat dari kelainan tersebut?

Di dalam DSM-IV-TR, istilah psikosomatik sudah tidak digunakan lagi, malahan buku itu menggambarkan tentang adanya faktor-faktor psikososial yang berpengaruh terhadap suatu kondisi medis. Demikian juga Soucasaux serta beberapa pakar lainnya, mengatakan bahwa di belakang setiap masalah medis selalu tersembunyi sejumlah masalah psikososial.. Karena itu , sebaiknya diagnosis tetap disebut dalam pengertian medis, seperti Abortus, Mola Hidatidosa, Kanker Ovarium dsb, tetapi para dokternya selalu harus memperhatikan faktor psikososialnya. Dengan demikian, alasan keharusan untuk melakukan pendekatan masalah secara biomedispsikososiospiritual, semakin kuat.

Pendekatan biomedispsikososiospiritual

Secara konseptual, wacana ini sangat ideal, tetapi implementasinya tidak mudah. Salah satu alasannya adalah karena para Obstetricus dan Ginekoloog kita belum siap dan tidak dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi masalah ini, baik secara sendiri-sendiri, apalagi dalam bentuk tim dengan unsur-unsur non medis lainnya.

Berdasarkan pengalamannya, semua dokter pasti pernah melihat dan meyakini adanya hubungan antara faktor psikososial dengan keluhan dan kelainan medis. Hanya saja tidak semua dokter berminat untuk terlibat secara utuh. Sebagian besar masih puas dengan pendekatan klinik saja. Di sinilah justru letak masalahnya mengapa sistem pendekatan ini sulit dilaksanakan.

Barangkali sudah saatnya para dokter untuk kembali kepada pengertian profesi dokter yang sesungguhnya dan berikrar untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Profesi mengahruskan kita untuk memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dalam bentuk CURE dan CARE. CURE menggambarkan kemampuan klinik berdasarkan Evidence Based Medicine (EMB), dengan tujuan untuk menghilangkan atau mengurangi penyakit, sedangkan CARE menggambarkan perhatian kita terhadap manusianya yang sakit, termasuk permasalahan psikososialnya, melalui niat, sikap dan perilaku yang holistik, etis dan humanistik, dengan tujuan memberi kenyamanan, menjaga jati diri dan mempertahankan QOL.

CURE lebih mudah dilaksanakan, asal saja para dokter tetap berpegang kepada Standard Quality Care yang diwajibkan. Pelanggaran terhadap kewajiban ini bisa menimbulkan Malapraktek.

Seorang dokter tidak mungkin bisa memberikan CARE secara utuh, karena banyak faktor-faktor psikososial yang tidak dikuasainya. Untuk itu dia wajib berkonsultasi dengan pakar-lain seperti psikolog, psikiater, social worker, ulama dll. Pelanggaran terhadap CARE, walaupun bukan merupakan Malapraktek, bisa digugat sebagai pelanggaran trhadap Etika Profesi.

Bentuk CARE yang bisa dan harus dilakukan oleh seorang dokter adalah melakukan Informed Concent (IC). Seperti diketahui IC adalah salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh setiap dokter, dalam kaitannya dengan Etika Profesi atau Etika Klinik. IC bukan hanya sekedar secarik dokumen legal yang memberi hak kepada dokter untuk bertindak, melainkan adalah suatu proses dialog antara dokter dengan penderita/keluarga, dalam rangka untuk membuat diagnosis dan rencana pengelolaan yang tepat. Di mulai pada saat pertama kali penderita itu berkonsultasi kepada dokter, dan berakhir saat hubungan dokter-penderita selesai.

Pada dasarnya proses IC itu dapat dibagi dalam lima tahap. Tahap pertama, anamnesis, di mana dokter meminta dan penderita memberikan keterangan secara jujur, mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan keluhan dan penyakitnya, baik yang berifat medis maupun non medis.

Tahap kedua, dokter memberikan informasi tentang prosedur diagnosis yang harus dijalani, baik fisik, laboratorik atau pencitraan, termasuk kemungkinan ketidaknyamanannya.

Tahap ketiga, berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan lainnya, dokter menentukan diagnosis dan rencana pengelolaan selanjutnya. Hal ini disampaikan kepada penderita/keluarga dengan cara yang mudah dimengerti, sehingga mereka dapat menghayati benar kondisi penyakitnya, serta apaapa yang akan dialaminya selama proses penyembuhan, serta kemungkinan prognosisnya. Pada kasus yang berat seperti kanker, atau kasus yang memerlukan tindakan invasif, informasi harus harus lebih teliti, disertai dengan penjelasan tentang risiko pengobatan.

Tahap keempat, dokter mempersilahkan penderita/keluarga untuk memilih alternatif terapi yang ditawarkan, termasuk penolakan atau permintaan second opinion.

Tahap kelima, penderita dan keluarga memberikan consentnya, sebaiknya dalam bentuk tertulis.

Pelaksanaan IC yang benar, diharapkan dapat merupakan bagian dari pendekatan biopsikososial yang harus dilakukan oleh setiap klinisi. Pertemuan, diskusi dan dialog yang dilakukan secara berulang kali, akan meningkatkan rasa percaya diri dan kepercayaan kepada dokternya, mengurangi atau menghilangkan konflik psikologinya, menerima situasi penyakit apa adanya, yang pada gilirannya diharapkan akan mampu membantu proses penyembuhan.

Pada akhirnya para Obstetricus dan Ginekolog, harus sepakat bahwa dalam menjalankan fungsi profesinya, mereka harus berdasarkan pendekatan biopsikososial. Untuk itu, mereka harus membekali diri dengan kemampuan komunikasi, agar bisa bekerja sama dengan penderita/keluarga dan fihak-fihak lain yang terkait.

Rujukan

1. Hudono ST, Wiknyosastro H. Psikosomatik dan Seksologi. Ilmu Kebidanan, ed kedua, 1994, YBPSP. 2. Manajemen Pendidikan Dokter Spesialis Obstetri Indonesia, Jakarta, 2005 (draft 1) Ginekologi, Kolegium Obstetri Ginekologi

3. Sadock BJ, Sadock VA. Psychological Factors Affecting Medical Condition and Psychosomatic Medicine. In Kaplan & Sadock s, Synopsis of Psychiatry, Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2003.

4. Soucasaux N. Clinical and Psychosomatic Gynecology. New Perspectives in Gynecology. Imago Editora, Rio de Janeiro, 2003. 5. Haessler A, Rosenthal MB. Psychological Aspects of Obstetrics & Gynecology. 6. Suhatno . Psychological Concept in Dealing with Malignant Trophoblastic Tumor Patients with Psychological Problems. PIT XIV, 2004, Bandung. 7. Buckman R. Communication Skills. In Practical Gynecology Oncology. 3rd ed. Editors : Berek JS and Hacker NF. Lippincott Williams & Wilkins, 2000. 8. Wenzel LB, Berkowitz RS, Robinson S, et al: Psychological, Social and Sexual Effects of Gestational Trophoblastic Disease. J Reprod Med 39 :163, 1994 9. Berkowitz RS, Marean AR, Hamilton N et al : Psychological and social impact of gestational trophoblastic neoplasia. J Reprod Med 25 : 14, 1980 10. Ngan HYS, Tang GWK : Psychosocial aspects of gestational trophoblastic disease in Chinese residents of Honkong. J Reprod Med 31 : 173, 1986 11. Techekmedyan NS, Cella DF. Quality of Life in Current Oncology Practice and Research . Oncology 4, Special Issues, 1990 12. Martaadisoebrata D. Pengelolaan Penderita Kanker Ginekologi Stadium Terminal. MKI 43 :8 : 462, 1993 13. Martaadisoebrata D. Pengantar Ke Dunia Profesi Kedokteran. YBPSP, 2004 14. Alexander F. Psychosomatic Medicine Its Principles and Applications.GEORGE ALLEN & UNWIN LTD, London, 1952 15. Griengl H. Delusional pregnancy with primary sterility. J Psychosom Obstet Gynecol 21 : 1 :57, 2000 16. Martaadisoebrata D. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas Gestasional. Penerbit Buku Kedokteran EGC, ed 1, 2005 17. Pangkahila W. Seksologi dalam Kesehatan Reproduksi. Workshop Obstetri Ginekologi Sosial, Jakarta, 17-18 April 2004

Anda mungkin juga menyukai