Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu kelainan dengan karakteristik berupa kolaps
secara berulang saluran napas atas baik sebagian maupun total yang terjadi pada saat tidur.
Kolaps saluran napas berhubungan dengan penurunan atau berhentinya aliran udara meskipun
masih terdapat effort untuk bernapas.1 Obstructive sleep apnea merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat, dengan prevalensi yang tinggi akan meningkatkan morbiditas,
mortalitas, biaya kesehatan serta risiko keselamatan.2 Obstructive sleep apnea mempengaruhi
sekitar 5% di penduduk negara bagian barat, akan tetapi 80% kasus tidak terdiagnosis. Gejala
tersering OSA adalah mendengkur, kelelahan atau mengantuk sepanjang hari (excessive
daytime sleepiness/EDS).3

Prevalensi OSA di masyarakat diperkirakan terjadi pada 1 dari 20 populasi dewasa. 4


Diperkirakan setidaknya 4% laki-laki dan 2% perempuan mengalami OSA. 5 Prevalensi OSA
di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 5-10% populasi.6 Untuk wilayah Asia, penelitian di
China menemukan prevalensi OSA pada populasi usia 30-60 tahun sekitar 4,1% laki-laki dan
2,1% perempuan.7 Data prevalensi OSA pada populasi di Indonesia sampai saat ini
bervariasi. Penelitian di Jakarta menemukan bahwa 25% mempunyai risiko tinggi OSA dan
sekitar 52,5% terbukti OSA dengan pemeriksaan polisomnografi. 8 Resiko terjadinya OSA
tidak hanya dilihat dari jenis kelamin serta usia melainkan juga dipengaruhi oleh indeks
massa tubuh (IMT). Beberapa studi berbasis populasi memperkirakan bahwa 1 dari 5 dewasa
usia menengah dengan indeks massa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA, dimana 1
dari 20-nya adalah asimptomatik. Kelainan ini juga terdapat lebih dari 40% pada mereka
yang mempunyai IMT diatas 30, dan umumnya pada individu dengan IMT 40.9

Selama beberapa dekade terakhir, sindrom henti napas saat tidur (sleep apnea) muncul
sebagai suatu faktor penyebab potensial beberapa penyakit kardiovaskular. Kondisi ini salah
satunya adalah hipertensi. Pengakuan terhadap peran sleep apnea di bidang kardiologi klinis
juga meningkat pesat di seluruh dunia. 10 Secara konvensional, sindrom tersebut dibagi
menjadi tipe obstruksi, dan tipe sentral. Tipe sentral ditemukan pada penderita usia tua dan
berhubungan dengan faktor ko-morbid lain seperti gagal jantung, sedangkan tipe obstruksi
terjadi pada usia yang lebih muda.

Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah di Indonesia.
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, sebanyak 25,8 % penduduk Indonesia
menderita hipertensi dan sebagian besar (63,2 %) masih belum terdiagnosis oleh petugas
kesehatan, penderita hipertensi akan berisiko terkena berbagai macam komplikasi seperti
stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi perubahan dalam tekanan darah yang utama adalah hipertensi, yaitu Genetika,
Umur, Obesitas, Kurang olahraga/ aktifitas fisik, Kebiasaan merokok.

Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga timbul kerusakan lebih berat seperti
stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung
koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri /
bilik kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit-penyakit tersebut, hipertensi dapat pula
menyebabkan gagal ginjal, penyakit pembuluh lain, diabetes mellitus dan lain-lain. 11
Penderita hipertensi sangat heterogen, hal ini membuktikan bahwa hipertensi bagaikan
mozaik, diderita oleh orang banyak yang datang dari berbagai sub-kelompok berisiko di
dalam masyarakat. Hipertensi dipengaruhi oleh faktor risiko ganda.12

Hipertensi adalah penyakit yang terjadi akibat peningkatan tekanan darah. Yang dapat
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu hipertensi primer atau esensial yang penyebabnya
tidak diketahui dan hipertensi sekunder yang dapat disebabkan oleh penyakit ginjal, penyakit
endokrin, penyakit jantung, gangguan anak ginjal, dll. Hipertensi seringkali tidak
menimbulkan gejala, sementara tekanan darah yang terus-menerus tinggi dalam jangka waktu
lama dapat menimbulkan komplikasi. Oleh karena itu, hipertensi perlu dideteksi dini yaitu
dengan pemeriksaan tekanan darah secara berkala 12

Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti berniat melakukan penelitian tentang


hubungan antara Obstructive sleep apnea dengan tekanan darah dan faktor-faktor yang
berhubungan di Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar baru.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Diperkirakan bahwa sekitar 4% populasi laki-laki dan 2% populasi wanita mengalami
OSA dan diperkirakan terjadi pada 1 dari 20 populasi dewasa
1.2.2 Data di Amerika Serikat menyebutkan bahwa prevalensi OSA diperkirakan sekitar 5-
10% populasi.
1.2.3 Penelitian di China menemukan bahwa prevalensi OSA pada populasi usia 30-60
tahun sekitar 4,1% laki-laki dan 2,1% perempuan.
1.2.4 Data di Jakarta menyebutkan bahwa prevalensi OSA bahwa 25% mempunyai risiko
tinggi OSA dan sekitar 52,5% terbukti OSA dengan pemeriksaan polisomnografi
1.2.5 Beberapa studi menyebutkan bahwa 1 dari 5 dewasa usia menengah dengan indeks
massa tubuh (IMT) 25-28 kg/m2 menderita OSA serta terdapat lebih dari 40% pada
mereka yang mempunyai IMT diatas 30, dan umumnya pada individu dengan IMT 40
1.2.6 Data di Indonesia pada tahun 2013 25 % penduduk indonesia menderita hipertensi
dan 63% belum terdiagnosis
1.2.7 Penelitian di pulau jawa mengatakan terdapat hubungan yang menjelaskan bahwa
hipertensi berhubungan dengan usia , obesitas, konsumsi makanan berlemak

1.3 Hipotesis
Tekanan darah, jenis kelamin, usia, dan IMT mempengaruhi obstructive sleep apnea di
Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru pada bulan
Mei 2018.

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Diketahui hubungan antara obstructive sleep apnea dengan tekanan darah dan faktor
faktor lain di Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar
Baru pada bulan Mei 2018.

1.4.2 Tujuan Khusus


- Diketahuinya sebaran Obstructive Sleep Apnea pada seluruh pasien dewasa yaang
datang ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Jelambar Baru di
Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat pada bulan Mei 2018.
- Diketahuinya sebaran tekanan darah, obesitas, jenis kelamin, usia dan aktivitas
fisik pada seluruh pasien dewasa yaang datang ke Puskesmas Kelurahan Jelambar
2 dan Puskesmas Jelambar Baru di Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat pada bulan
Mei 2018.
- Diketahui Hubungan antara OSA dengan Tekanan Darah, Obesitas, Jenis kelamin,
Usia, dan Aktivitas fisik pada seluruh pasien dewasa yaang datang ke Puskesmas
Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Jelambar Baru di Kelurahan Jelambar,
Jakarta Barat pada bulan Mei 2018.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu informasi yang dapat digunakan
dalam ilmu pengetahuan khususnya mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
obstructive sleep apnea.
1.5.2 Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan terutama mengenai faktor-
faktor yang mempengaruhi obstructive sleep apnea.
1.5.3 Bagi Petugas Kesehatan
Dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam meningkatkan keaktifan petugas
kesehatan memberikan penyuluhan mengenai obstructive sleep apnea.
1.5.4 Bagi Masyarakat
Dapat menjadi informasi bagi masyarakat yang bermanfaat di bidang kesehatan
terutama mengenai obstructive sleep apnea.
BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Obstructive Sleep Apnea

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kelainan yang merupakan bagian dari sleep-
disorder breathing syndrome yang kompleks.13 Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah
gangguan umum yang mempengaruhi setidaknya 2% hingga 4% dari populasi orang dewasa
dan semakin dikenal oleh publik.14 Sebenarnya gejala OSA sering terjadi, namun sulit untuk
dideteksi. OSA adalah salah satu bentuk gangguan napas saat tidur yang ditandai oleh
episode henti napas (apnea) minimal 10 detik/ episode. Apnea dapat didefinisikan sebagai
hilangnya aliran udara sedikitnya 10 detik. OSA dijumpai dengan tanda dan gejala seperti
terbangun dengan rasa tercekik, hipertensi dan atau fibrilasi atrial, mendengkur, lingkar leher
yang besar, laki-laki atau perempuan pasca menstruasi, obesitas, dilaporkan oleh pasangan
tidur dengan apnea atau tercekik, tertidur saat mengemudi.13,14

OSA dimulai saat pasien tertidur, dimana terjadi sumbatan jalan napas dan menyebabkan
gangguan ventilasi alveolar sehingga terjadi desaturasi oksigen, peningkatan kadar
karbondioksida, aktivasi kemoreseptor dan peningkatan tekanan negative intratorakal. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya reaksi arousal yang akan mengaktifkan tonus otot-otot leher
sehingga pasien mulai bernapas kembali. Rangsangan ini akan menyebabkan pasien menjadi
tersadar dari tidurnya, namun jikan tidak maka pasien akan tertidur kembali dan akan
mengulang siklus yang sama.13,14

Pemeriksaan standard untuk mendiagnosis OSA adalah polisomnografi yang dilakukan


pada semua pasien dengan dugaan kelainan ini. Semua pasien yang didiagnosis dengan OSA
harus mendapatkan edukasi tentang pentingnya mengubah gaya hidup, terutama untuk
menurunkan berat badan dengan program Alert Well and Keeping Energrtic (A.W.A.K.E).
Semua pasien dengan penurunan berat badan 10-15% harus dinilai gejala-gejala OSA dan
membutuhkan penanganan dengan PAP. Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa
modalitas seperti oral appliances,positive airway pressure devices, pembedahan. Sedangkan
penanganan pasien dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan positive airway pressure
devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau tidak
adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk tindakan
bedah.13,14

2.1.1 Klasifikasi OSA


Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index (AHI)
menggunakan polisomnografi. Derajat beratnya OSA dibagi menjadi: 1) ringan AHI 5-14; 2)
sedang AHI 15-29; 3) berat AHI >30.11

2.1.2 Patogenesis dan Patofisiologi OSA


Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA

 Faktor pertama, obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan
palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang
menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada
saat tidur. Hal ini menyebabkan apnea, asfiksia sampai periode arousal.
 Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m.
pterigoid medial, m. tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan 4 m.
sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat terjadinya
tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Fungsi kontrol neuromuskular
pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol
ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,
saat pasien mengalami periode apneahipopnea.11,14
Gambar 1. Saluran napas atas normal dibandigkan dengan penderita OSA1

 Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang
dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah ini dapat
menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan predisposisi kolapsnya
saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81% dari 64 pasien OSA dan
75% di antaranya memiliki lebih dari satu penyempitan saluran napas atas.

Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih. Periode
hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-kurang 30% selama
10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea
terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya
sebagian, namun jika terjadi secara terusmenerus dapat menyebabkan apnea.11,14

2.1.3 Gejala Klinis OSA


OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala OSA
dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala utama OSA adalah
daytimehypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai secara kuantitatif karena pasien sering
sulit membedakan rasa mengantuk dengan kelelahan. Hampir 30% pria dan 40% wanita
dewasa dengan nilai AHI >5x/jam mengeluh tidak segar saat bangun. Dilaporkan 25% pria
dan 30% wanita dewasa mengeluh mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari.
Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah kuisioner
yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala ini tidak berhubungan
secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea. Penyebab daytime hypersomnolence adalah
karena adanya tidur yang terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang
berulang karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.11
2.1.4 Faktor Resiko OSA
Obesitas dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya OSA dan perkembangan
progresivitas OSA. Prevalensi OSA pada responden obesitas hampir dua kali lipat daripada
responden dengan berat badan normal atau tidak obese. Selanjutnya, pasien dengan OSA
ringan yang mengalami peningkatan berat badan 10% dari berat badan awal memiliki risiko
enam kali lipat mengalami peningkatan progresivitas OSA. Sejalan halnya dengan penurunan
berat badan yang setara peningkatan baseline tersebut bisa menghasilkan penurunan
keparahan progresivitas OSA lebih dari 20%.14
Prevalensi OSA pada individu dengan obesitas juga tidak hanya terbatas pada orang
dewasa. sedangkan pada anak meskipun merupakan faktor risiko tetapi bukan merupakan
yang utama. Kecurigaan adanya OSAS ditandai dengan ditemukannya mendengkur (snoring)
pada anak. Prevalensi mendengkur pada anak sekitar 3,2 – 12,1%, sedangkan prevalensi
OSAS 0,7 - 10,3%. 14
Hipertensi dianggap juga sebagai faktor resiko OSA. Obstructive sleep apnea dengan
berbagai mekanisme neurohumoral memiliki patofisiologi yang sama dengan hipertensi,
sehingga bila OSA ditemukan bersamaan dengan hipertensi akan memperberat risiko
kejadian penyakit kardiovaskuler. Mekanisme hubungan antara OSA dan hipertensi bisa
akut ataupun kronik Episode apnea berulang akan menyebabkan respons kardiovaskuler
akibat integrasi empat stimulus, yaitu hipoksemia, hiperkapnia, perubahan volume paru
atau tekanan intra- torakal, dan micro-arousals.15,16

OSA berulang akan menyebabkan tingginya aktivitas kemoreseptor, sehingga


menyebabkan hipertensi sistemik diurnal, namun mekanisme perubahan tekanan darah
nokturnal rekuren menjadi hipertensi sistemik diurnal masih kontroversial. Obstructive sleep
apnea secara langsung mempengaruhi endotel vaskuler, menyebabkan inflamasi dan stres
oksidatif. Hipoksia intermiten akan menyebabkan inflamasi vaskuler dan berperan dalam
progresi aterosklerosis. Aktivasi inflamasi sistemik yang berhubungan dengan OSA.
ditandai dengan peningkatan kadar C-reactive protein (CRP). Peningkatan kadar CRP
berkontribusi terhadap risiko aterosklerosis dan juga disfungsi endotel. Peningkatan kadar
CRP berhubungan dengan peningkatan risiko hipertensi melalui induksi kerusakan endotel.
Stres oksidatif meningkat pada pasien. OSA akibat fenomena hipoksemia dan
reoksigenasi. Fenomena ini menyebabkan pembentukan radikal bebas yang sangat reaktif;
OSA yang tidak tertangani juga akan meningkatkan risiko pembentukan radikal
bebas.Stres oksidatif dapat menyebabkan vasokonstriksi melalui banyak mekanisme
termasuk aktivasi reseptor angiotensin II dan tromboksan, blokade sintesis nitric oxide
(NO) dan peningkatan pembentukan ET-1. Mekanisme hipoksia intermiten menyebabkan
disfungsi endotel, inflamasi, dan aterosklerosis.15,16

Mendengkur merupakan bunyi yang keluar akibat adanya gangguan pada saluran udara
yang melewati hidung dan faring. Mendengkur dapat terjadi karena masuknya aliran udara
pernapasan ke paru-paru terhalang. Halangan bisa berada di rongga hidung, mulut dan
tenggorok. Halangan tersebut menyebabkan terjadinya penyempitan aliran udara pernapasan
yang menetap atau hanya sementara. Penyempitan oleh adanya poliphidung, tonsil, atau
melemahnya otot pangkal lidah dapat berlangsung terus-menerus selama penyebabnya belum
diperbaiki. Berbeda dengan dinding rongga hidung yang bengkak karena alergi, halangan
tersebut hanya berlangsung sementara. Uvula yang lemah atau otot palatum molle yang
mengendur sering dialami pada orang yang berusia lanjut.17 Melemahnya uvula atau otot
yang terjadi pada palatum molle menyebabkan terjadinya penyempitan aliran udara, sehingga
udara yang masuk mengalami turbulensi dan menyebabkan terjadinya bising, karena
perubahan volume udara yang besar melalui ruangan yang sempit maka mengakibatkan
jaringan di hidung dan tenggorok mengalami vibrasi dan bila sampai terjadi obstruksi total
maka akan mengakibatkan henti napas sejenak yang disebut sleep apnea, hal ini tidak boleh
disepelekan, karena akan mengurangi asupan oksigen ke jantung dan otak. Berdasarkan
jurnal dari penelitian obstuctive sleep apnea double insultto brain function menyatakan
bahwa faktor usia memiliki peranan penting dalam terjadinya sleep apnea. Semakin tinggi
usia seseorang maka semakin besar resiko terhadap terjadinya Obstructive Sleep Apnea.18

Diabetes dianggap juga sebagai faktor resiko OSA. Prevalensi OSA sedang dan berat
berkisar 13% pada laki-laki dan 6% pada perempuan berusia 30-70 tahun. Faktor risiko
mayor OSA adalah obesitas, jenis kelamin, usia; OSA berhubungan dengan manifestasi klinis
kardiometabolik termasuk hipertensi dan DM tipe 2. Diperkirakan sekitar 40% pasien OSA
akan mengalami DM tipe 2, dan pasien DM tipe 2 memiliki prevalensi OSA hingga 23%.
Perkiraan prevalensi OSA pada obesitas berat telah dilaporkan berkisar 40-90%. Tidak ada
uji klinis acak yang mendukung penurunan risiko kardio vaskuler dengan pengobatan CPAP,
namun dijumpai peningkatan risiko kardiovaskuler pada OSA, bahkan berhubungan dengan
komplikasi mikrovaskuler seperti retinopati, nefropati, dan neuropati diabetik.19
Beberapa mekanisme pada OSA yang dihubungkan dengan gangguan metabolisme
glukosa atau Diabetes Melitus, yaitu:
1. Aktivasi Sistem Saraf Simpatis
Sistem saraf simpatis memegang peran utama dalam regulasi metabolisme glukosa dan
lemak. OSA menyebabkan peningkatan aktivitas simpatis tidak hanya selama tidur,
namun juga pada saat subjek sadar. Aktivasi simpatis diperkirakan predominan karena
hipoksia nokturnal. Kejadian terbangun berulang saat tidur yang diikuti kejadian napas
obstruktif juga cenderung mengeksaserbasi efek ini.19
2. Efek Langsung Hipoksia
Beberapa studi pada subjek normal menunjukkan gangguan tidur dan hipoksia
intermiten dapat mengurangi sensitivitas insulin dan memperburuk toleransi glukosa.
Studi pada hewan percobaan menunjukkan hipoksia intermiten selama jam sadar
mereduksi sensitivitas insulin.19
3. Disfungsi Hipotalamik-Pituitari-Adrenal (HPA)
Hipoksia dan gangguan tidur menyebabkan aktivasi aksis HPA dan peningkatan kadar
kortisol dengan pola abnormal dan berlebihan, dengan potensi konsekuensi negatif
terhadap sensitivitas dan sekresi insulin.19,20
4. Inflamasi Sistemik
Pasien OSA memiliki kadar penanda infl amasi lebih tinggi yang ditunjukkan dengan
peningkatan aktivasi monosit dan limfosit yang independen dari adipositas. Efek ini
diperkirakan karena efek hipoksia intermiten, namun aktivasi simpatis mungkin juga
dapat berperan.19,20
5. Adipokin
Adipokin merupakan faktor biologik aktif yang disekresi oleh adiposit dan
mempengaruhi homeostasis energi dan glukosa. Faktor turunan adiposit seperti leptin,
adiponektin, dan resistin di perkirakan berperan secara integral dalam terjadinya
abnormalitas-terkait obesitas pada metabolisme glukosa. Leptin memiliki peran di
sentral untuk regulasi rasa lapar dan peningkatan berat badan dengan meningkatkan
anoreksigenik dan menurunkan oreksigenik ekspresi neuropeptida pada hipotalamus
dan peran di perifer melibatkan homeostasis glukosa. Adiponektin disintesis oleh
adiposit diperkirakan memiliki properti sensitisasi insulin. Rendahnya konsentrasi
adiponektin merupakan faktor risiko kejadian diabetes, aterosklerosis, dan dislipidemia.
Studi pada hewan percobaan menunjukkan kurangnya adiponektin berhubungan dengan
resistensi insulin dan kadar adiponektin yang tinggi pada studi manusia memiliki efek
protektif terhadap diabetes. Pada OSA dijumpai peningkatan kadar leptin dan
penurunan kadar adiponektin bila dibandingkan dengan individu sehat. Namun, apakah
peran peningkatan konsentrasi leptin dan penurunan konsentrasi adiponektin
memperantarai resistensi insulin dan disfungsi metabolik pada OSA masih perlu diteliti
lebih lanjut.19,20
6. Arsitektur Tidur
Pada individu OSA terjadi perubahan gelombang tidur. Studi menunjukkan penekanan
selektif gelombang tidur lambat (tingkat tidur paling restoratif) pada dewasa muda
sehat tanpa mempengaruhi total durasi tidur atau terjadinya hipoksia menyebabkan
penurunan sensitivitas insulin tanpa kompensasi peningkatan pelepasan insulin,
sehingga menyebabkan gangguan toleransi glukosa dan peningkatan risiko diabetes tipe
2.19,20

Studi Tamura, et al. menunjukkan OSA dan hipoksia saat tidur berhubungan dengan
konsentrasi hemoglobin terglikasi lebih tinggi, tidak tergantung status glikemik. Oleh karena
itu, OSA pada diabetes dapat memperburuk prognosis dan memerlukan skrining yang lebih
agresif. Pengobatan OSA dapat mengurangi dosis obat hipoglikemik oral, juga dilaporkan
efek serupa dengan obat antihipertensi pada pasien hipertensi resisten. Hiperglikemia kronis
dikenal menginduksi stres oksidatif, menyebabkan kerusakan dan disfungsi saraf. Stres
oksidatif akibat hipoksia pada OSA dapat memperparah kerusakan saraf dan disfungsi
otonom, yang memperburuk gangguan napas saat tidur.19,20
Beberapa studi memperlihatkan aktivitas keseharian yang intensif berhubungan dengan
kualitas hidup dari pasien yang mengidap Obstructive Sleep Apnea maupun yang sehat.21
Orang-orang yang menunjukan berlangsungnya kegiatan fisik lebih dari 2 jam perminggu
atau bahkan lebih menunjukkan hasil kualitas hidup dan tidur yang lebih baik. Maka dari itu
orang-orang yang dalam kesehariannya kurang beraktivitas, cenderung akan meningkatkan
resiko peningkatan berat badan dan menjadi obesitas yang mana nantinya akan berpengaruh
terhadap terjadinya Obstructive Sleep Apnea.21
Obesitas sangat berkontribusi untuk terjadinya OSA dan mempengaruhi tingkat
keparahannya.22 Obesitas akan mempengaruhi kerja saluran pernapasan bagian atas, baik
persarafannya dan juga otot - otot pernapasan, dan juga terhadap produksi adipokin.
Penumpukan lemak yang ada biasanya akan sangat mengganggu, terutama penumpukan
lemak yang berada di sekitar bagian leher dan bagian viscera yang mana akan dapat
menyebabkan terjadinya OSA akibat tekanan di bagian leher hingga memicu terjadinya
penyempitan saluran pernapasan.
Prevalensi dan keparahan OSA yang berkurang pada wanita cenderung menjadi
konsekuensi dari pola distribusi kelebihan lemak yang lebih baik. Secara khusus, wanita
cenderung mendistribusikan lemak di sekitar pinggul, pantat, dan paha, sedangkan pria
cenderung mendistribusikan kelebihan lemak lebih banyak di bagian perut dan leher. 23
Akibatnya, meskipun wanita memiliki massa lemak yang lebih besar dibandingkan pria,
mereka memiliki lebih sedikit pemuatan mekanik di saluran napas bagian atas.
Pria mempunyai massa tubuh lebih berat, lebih tinggi, dan memiliki leher lebih tebal
daripada wanita. Pria dan wanita juga berbeda secara signifikan dalam ukuran keparahan
penyakit. Pria dan wanita memiliki persentase lemak yang sama di daerah leher. Di semua
wilayah lain, pria memiliki persentase lemak yang jauh lebih rendah. Laki-laki memiliki
proporsi lemak yang lebih besar secara rata-rata, saturasi oksigen rata-rata lebih rendah,
saturasi oksigen terendah yang lebih parah, dan frekuensi pernapasan yang lebih tinggi pada
malam hari dengan saturasi oksigen kurang dari 90%, sehingga gangguan gangguan OSA
cenderung lebih sering terjadi pada pria jika dibandingkan wanita.23

2.1.5 Diagnosis OSA


Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola tidur,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus. Gabungan data
yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat mengarahkan kepada
indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA.11
Kuisioner EES dan SSS dapat digunakan untuk menanyakan keluhan yang berhubungan
dengan gejala OSA. ESS digunakan untuk menilai bagaimana kebiasan tidur dan rasa
mengantuk pasien dalam kegiatan sehari-hari, sedangkan SSS untuk mengetahui seberapa
mengantuknya pasien pada kegiatan tersebut Multiple sleep latency testing (MSLT) adalah
pemeriksaan yang bersifat objektif untuk mengevaluasi derajat beratnya rasa mengantuk yang
berlebihan di siang hari. Pemeriksa juga harus menanyakan kepada pasien tentang
pengalaman terbangun dari tidur karena tersedak, mendengkur (dapat ditanyakan pada teman
tidur) dan bangun dari tidur dengan badan terasa tidak segar.13

Polisomnografi (PSG) adalah pemeriksaan baku emas untuk menegakkan diagnosis


OSA. PSG merupakan uji diagnostik untuk mengevaluasi gangguan tidur yang dilakukan
pada malam hari di laboratorium tidur, digunakan untuk membantu pemilihan terapi dan
evaluasi hasil terapi. Ada tiga sinyal utama yang dimonitor yaitu pertama, sinyal untuk
mengkonfirmasi keadaan stadium tidur seperti elektroensefalogram (EEG), elektrookulogram
(EOG) dan submental elektromiogram (EMG). Sinyal kedua adalah sinyal yang berhubungan
dengan irama jantung, yaitu elektrokardiogram (ECG) dan sinyal ketiga yang berhubungan
dengan respirasi seperti airflow (nasal thermistor technique), oksimetri, mendengkur,
kapnografi, EMG interkostal, balon manometri esofageal, thoraco-abdominal effort, nasal
pressure transducer, pneumotachography face mask dan kadar PCO2.13,24
Untuk memudahkan penilaian saluran napas atas, Friedman membuat standar pemeriksaan
daerah naso-velo-orofaring. Ada empat derajat Friedman tounge position. Pasien membuka
mulut tanpa mengeluarkan lidah, dilakukan observasi:
 Derajat I, seluruh uvula tervisualisasi
 Derajat II, uvula tervisualisasi tetapi tonsil tidak terlihat
 Derajat III, palatum mole tervisualisasi, tetapi uvula tidak terlihat
 Derajat IV, hanya palatum durum yang tervisualisasi.
Pemeriksaan ini dapat memprediksi ada tidaknya OSA.
Pemeriksaan perasat Mueller yang dilakukan saat terjaga, dapat mencerminkan keadaan
mendengkur pasien OSA saat tidur dan dapat digunakan untuk memprediksi keberhasilan
dari operasi uvulopalatopharyngealplasty (UPPP). Pemeriksaan perasat Mueller.

 Pasien dalam posisi duduk, dilakukan nasoendoskopi dan pasien diinstruksikan untuk
melakukan inspirasi kuat sambil menutup hidung dan mulut. Pada pemeriksaan ini
dilakukan penilaian luas saluran napas atas pada ruang retropalatal dan retroglosal.
Penyempitan pada ruang ini dapat terjadi anteroposterior, laterolateral atau konsentrik.

2.1.6 Penatalaksaan

Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi non-bedah dan terapi bedah. Penggunaan
continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi non-bedah OSA yang dianggap paling
efektif untuk menurunkan gejala mendengkur, apnea-hipopnea dan daytime
hypersomnolence. The American College of Chest Physicians merekomendasikan CPAP pada
pasien dengan AHI >30 dan juga pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala. Kelemahan
CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa
claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta aerofagia Dengan
menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat meningkatkan volume dan
fungsi saluran napas atas. Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang,
nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan
mekanisme pernapasan sentral. Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek jangka
panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas atas Tujuan
terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan bentuk saluran napas atas.
Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI
>20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan
kardiovaskuler (seperti aritmia dan hipertensi), gejala neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-
bedah dan adanya kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu
teknik yang benar-benar baik untuk OSA.13,14

Terapi CPAP menjadi pilihan pertama pasien hipertensi dengan OSA derajat
sedang ke berat (AHI ≥20 kali/jam). Beberapa penelitian telah memperlihatkan penurunan
tekanan darah sekitar dua mmHg pada pasien OSA yang mendapat CPAP. Penurunan
tersebut secara signifikan menurunkan risiko dan mortalitas akibat penyakit kardiovaskuler
dan serebrovaskuler 11
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP)
Merupakan salah satu teknik operasi dengan melakukan eksisi pada margo inferior
palatum mole termasuk uvula dan tonsil. Menurut penelitian meta-analisis yang pernah
dilakukan, dinyatakan UPPP secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan
saturasi oksigen.11,12

Laser-assisted uvuloplasty (LAUP)


Teknik yang mirip seperti UPPP, namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini
dapat dilakukan dengan anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak
direkomendasikan pada pasien yang memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan
mukosa faring, hipertrofi tonsil dan AHI >30. Teknik operasi lain adalah radiofrequency
ablation (RA) palatum. Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI
<15. Angka keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan
memperbaiki nilai ESS mencapai 75%.11

2.1.7 Faktor Risiko Hipertensi


Hipertensi merupakan penyakit tidak menular yang masih menjadi masalah di Indonesia.
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, sebanyak 25,8 % penduduk Indonesia
menderita hipertensi dan sebagian besar (63,2 %) masih belum terdiagnosis oleh petugas
kesehatan. Jika tidak diterapi dengan baik, penderita hipertensi akan berisiko terkena
berbagai macam komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal.
Puskesmas sebagai layanan kesehatan primer memiliki peran penting dalam mendeteksi,
mendiagnosis, serta melakukan tatalaksana pada pasien dengan hipertensi. Pada umumnya
hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon
peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer. Namun ada beberapa faktor
yang mempengaruhi terjadinya hipertensi antara lain:

1. Genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu
mempunyai risiko menderita hipertensi. Gen-gen yang berperan dalam mekanisme
hipertensi yaitu gen yang mempengaruhi homeostasis natrium di ginjal, termasuk
polimorfisme I/D (insersi/delesi) gen ACE (angiotensin converting enzyme), dan gen yang
mempengaruhi metabolisme steroid. Studi menyatakan polimorfisme I/D gen ACE dapat
menghasilkan 3 genotip : II homozigot, ID heterozigot dan DD Homozigot. Individu
dengan DD homozigot mempunyai konsentrasi ACE yang lebih tinggi dibandingkan
dengan yang lain. Dengan konsentrasi ACE yang lebih tinggi maka konsentrasi
angiotensin II juga meningkat. Angiotensin II yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah secara progresif melalui 2 mekanisme: vasokonstriksi di arteri perifer dan
penurunan ekskresi garam dan air oleh ginjal.26

2. Umur
Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tekanan darah. Umur berkaitan
dengan tekanan darah tinggi (hipertensi). Semakin tua seseorang maka semakin besar
resiko terserang hipertensi. Penelitian menemukan bahwa pada lansia dibanding umur 55-
59 tahun dengan umur 60-64 tahun terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali,
umur 65-69 tahun 2,45 kali dan umur >70 tahun 2,97 kali.

Hal ini terjadi karena pada usia tersebut arteri besar kehilangan kelenturannya dan
menjadi kaku karena itu darah pada setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh
darah yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah.

3. Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada kebanyakan
kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for Health USA prevalensi
tekanan darah tinggi pada orang dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas)
adalah 38% untuk pria dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18%
untuk pria dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal
menurut standar internasional). Perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara
kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan
hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan perubahan
fisik pada ginjal.24

4. Jenis Kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun wanita
terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause salah satunya adalah
penyakit jantung koroner.24 Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh
hormon estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein
(HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam mencegah
terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan
adanya imunitas wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh
darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut berubah
kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada
wanita umur 45-55 tahun.27

5. Kurang Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular, karena
olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan
tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung sehingga menjadi terbiasa
apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang lebih berat karena adanya kondisi
tertentu. Kurangnya aktivitas fisik menaikan risiko tekanan darah tinggi karena
bertambahnya risiko untuk menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung
mempunyai detak jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras
pada setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin besar
pula kekuaan yang mendesak arteri.24

6. Kebiasaan Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat dihubungkan
dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko terjadinya stenosis arteri renal
yang mengalami ateriosklerosis.28 Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr.Thomas S
Bowman dari Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek
yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak merokok, 36% merupakan
perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang
merokok lebih dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8
tahun. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada kelompok
subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang perhari.28

2.1.8 Diagnosa dan Klasifikasi Hipertensi


Pemahaman mengenai diagnosis dan terapi hipertensi sesuai dengan guideline terbaru
diperlukan oleh petugas kesehatan, terutama pada layanan kesehatan primer.
American College of Cardiology (ACC) dan American Heart Association (AHA)
bekerjasama dengan beberapa perhimpunan kardiologi telah merilis panduan terbaru
hipertensi pada tahun 2017. Berdasarkan panduan tersebut, tekanan darah pada dewasa
diklasifikasikan sebagai berikut:
Tekanan darah didapatkan dari rata-rata ≥ 2 kali pengukuran pada ≥ 2 kesempatan yang
berbeda. Kesalahan yang sering terjadi pada praktiknya seperti posisi cuff yang tidak sejajar
dengan jantung, penurunan dari cuff yang terlalu cepat pada pengukuran dengan auskultasi,
dan mengandalkan hasil dari satu kali pengukuran saja dapat menimbulkan ketidak akuratan
dalam penentuan tekanan darah. Selain itu tensimeter yang digunakan harus dikalibrasi secara
berkala. Apabila pengukuran sistolik dan diastolik termasuk pada dua kategori, maka kategori
yang lebih tinggi yang digunakan.29,30

2.1.9 Penatalaksanaan
Dalam menangani hipertensi pada dewasa, seorang dokter harus fokus pada kesehatan
pasien secara menyeluruh, sehingga seluruh faktor risiko penyakit kardiovaskular harus
diterapi secara terintegrasi baik dengan modifikasi gaya hidup seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya dan pengobatan farmakologis. Penyakit kardiovaskular yang dimaksud adalah
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, dan stroke.

Pencegahan hipertensi merupakan salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan
dengan intervensi non farmakologis yaitu perubahan gaya hidup, seperti:

1. Menurunkan berat badan dengan mengurangi asupan kalori dan meningkatkan


aktivitas fisik. Penurunan 1 kg berat badan dapat menurunkan 1 mmHg tekanan darah
pada pasien dengan tekanan darah yang meningkat atau dengan hipertensi. Apabila
terjadi obesitas yang berat dan menimbulkan banyak komplikasi, pembedahan dapat
dipertimbangkan untuk dilakukan.

2. Perencanaan makanan dengan Dietary Approaches to Stop Hypertension


(DASH) yang direkomendasikan oleh National Heart, Lung, and Blood Institute. Diet
ini tinggi akan buah-buahan, sayuran, gandum utuh, dan produk olahan sapi yang
rendah lemak sehingga meningkatkan asupan potasium, magnesium, dan serat serta
menurunkan kandungan lemak jenuh dan lemak total. Diet ini dapat menurunkan
tekanan darah sistolik sebanyak 11 mmHg pada orang dengan hipertensi dan 3 mmHg
pada normotensi. Diet lain seperti diet rendah kalori dari karbohidrat, diet tinggi
protein, diet vegetarian, dan pola diet Mediterania juga menunjukkan efek penurunan
pada tekanan darah.

3. Meningkatkan aktivitas fisik dengan latihan aerobik, resistensi dinamis maupun


latihan statis isometrik. Latihan dapat dilakukan 90-150 menit dalam seminggu dan
disertai untuk mengurangi konsumsi alkohol.

Intervensi non farmakologis di atas dapat mencegah hipertensi dan juga dapat memenuhi
target tekanan darah pada hipertensi stage 1. Perubahan gaya hidup ini juga merupakan
bagian penting dari penatalaksanaan hipertensi stage 2.

Pada tekanan darah normal (<120/80 mmHg) promosi gaya hidup sehat perlu
dioptimalkan. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kembali setelah satu tahun. Pada
tekanan darah meningkat (120-129/<80 mmHg) terapi nonfarmakologis diberikan terlebih
dulu dan evaluasi setelah 3-6 bulan. Pasien dengan hipertensi stage 1 (130-139/80-89 mmHg)
dibedakan dengan risiko penyakit kardiovaskularnya, termasuk pasien dengan diabetes
mellitus dan gagal ginjal kronis.29,30

Apabila terdapat penyakit aterosklerosis atau estimasi risiko kardiovaskular 10 tahun ≥


10% maka diberikan terapi non-farmakologis dan obat-obatan untuk mengurangi tekanan
darah. Selanjutnya dilakukan evaluasi pada tekanan darah setelah 1 bulan, apabila telah
mencapai target (<130/80 mmHg) maka evaluasi dilakukan setelah 3-6 bulan. Namun apabila
target belum tercapai, lakukan optimalisasi dan intensifikasi pada terapi yang dievaluasi 1
bulan setelahnya. Jika tidak terdapat penyakit aterosklerosis dan estimasi risiko
kardiovaskular 10 tahun < 10% maka terapi non-farmakologis diberikan dan di evaluasi 3-6
bulan.

Pada pasien hipertensi stage 2 (≥140/90 mmHg) diberikan terapi nonfarmakologis dan
obat-obatan, pertimbangkan penggunaan dua obat antihipertensi dengan kelas yang berbeda.
Pasien dengan hipertensi stage 2 dengan tekanan darah ≥160/100 mmHg harus di terapi
dengan benar dan dimonitor dengan hati-hati.

Pengobatan farmakologis inisial dapat menggunakan terapi lini pertama yaitu diuretik
tiazid, calcium channel blocker (CCB), penghambat ACE, atau angiotensin receptor blocker
(ARB). Kombinasi obat dengan mekanisme yang serupa harus dihindari misalnya dua jenis
penyekat beta yang berbeda, penghambat ACE, atau nondihydropyridine CCB. Begitu juga
dengan dua obat dengan target kerja yang sama seperti penghambat ACE dan ARB.
Pengecualian pada penggunaan diuretik thiazide, diuretik hemat kalium dan diuretik loop
secara konkomitan. CCB jenis dihydropiridine dan nondihydropiridine dapat dikombinasikan.
Rujuk pasien ke layanan kesehatan yang lebih tinggi apabila tekanan darah tetap tidak
terkontrol setelah evaluasi 6 bulan, dan dicurigai terdapat penyebab sekunder dari
hipertensi.29,30
saturasi oksigen rata-rata lebih rendah, saturasi
oksigen terendah yang lebih parah, dan frekuensi
Kerangka Teori
pernapasan yang lebih tinggi pada malam hari
dengan saturasi oksigen kurang dari 90%

Laki laki memiliki massa tubuh lebih


berat, lebih tinggi, dan memiliki leher
lebih tebal daripada wanita
mekanisme menyebabkan tingginya Laki-laki Perempuan
neurohumoral aktivitas kemoreseptor

Tekanan Jenis Kelamin


Darah

OSA ( Obstructive
Obesitas
Sleep Usia
Apnea) Aktivitas Fisik

Mempengaruhi kerja Usia Lanjut


Produksi Kurang Aktfitas
saluran pernapasan
bagian atas (persarafan Adipokin Uvula/palatum
terganggu molle lemah
dan otot-otot
pernapasan) Meningkatkan
Berat Badan
penyempitan aliran udara

Penumpukan lemak
perubahan volume udara yang
yang sangat mengganggu
besar melalui ruangan yang sempit
disekitar bagian leher

hidung dan tenggorok


mengalami vibrasi dan bila
sampai terjadi obstruksi total
Kerangka Konsep

OSA (Obstructive
Tekanan Darah
Sleep Apnea)
Obesitas
Jenis Kelamin
Usia
Aktivitas Fisik

Bab III

Metodelogi Penelitian

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan studi analitik dengan pendekatan cross sectional. Semua
pasien yang berobat di puskesmas kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan
Jelambar Baru pada Bulan Mei 2018.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas
Kelurahan Jelambar Baru pada Bulan Mei 2018.

3.3 Sumber Data


Sumber data terdiri dari data primer. Data primer yang diambil dari subjek penelitian
dengan menggunakan pengukuran tekanan darah yang datang ke Puskesmas Kelurahan
Jelambar 2 dan Puskesmas Jelambar Baru, Jakarta Baratdan diambil dari kuesioner yang
dijawab oleh seluruh pasien dewasa pada bulan Mei 2018.

3.4 Populasi
3.4.1 Populasi Target
Seluruh pasien dewasa yaang datang ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan
Puskesmas Jelambar Baru di Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat.

3.4.2 Populasi Terjangkau


Seluruh pasien dewasa yaang datang ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan
Puskesmas Jelambar Baru di Kelurahan Jelambar, Jakarta Barat pada bulan Mei 2018.

3.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.5.1 Kriteria Inklusi

 Pasien dewasa yang datang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan


Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru
 Pasien dewasa yang bersedia menjadi responden

3.5.2 Kriteria Eksklusi

 Pasien yang tidak mendengkur


 Pasien dewasa yang tidak bisa membaca dan menulis
 Pasien dewasa yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap
3.6 Kriteria Responden

 Pasien dewasa yang datang berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan


Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru
 Pasien dewasa yang bersedia menjadi responden
 Pasien dewasa yang tidak bisa membaca dan menulis
 Pasien dewasa yang tidak mengisi kuesioner dengan lengkap

3.7 Sampel

3.7.1 Besar Sampel


Untuk menentukan besarnya sampel dalam penelitian ini digunakan rumus besar
sampel deskriptif sebagai berikut:

2
N1 = (Zα) x P x q
2
d

Keterangan:

N1 = Jumlah sampel
Z(α) = Derivat baku alfa = 1,96
P = Proporsi kategori variabel yang diteliti
Q = 1-P

d2 = Presisi ( kesalahan yang dapat ditolerir) 10%


Perhitungan sampel untuk variable bebas

Penelitian Variabel p q(%) N1


(%)
Liat. A dkk Umur 33. 67.0 84.9
0
Lopez. C dkk Jenis 80. 19.4 60.0
kelamin 6
Oke. K dkk Tekanan 79. 21.0 63.7
darah 0
Laila. S dkk Obesitas 68. 32.0 83.5
0
Lopez. C dkk Aktifitas 68. 31.1 82.3
fisik 9

Maka berdasarkan jumlah sampel yang didapatkan paling besar dari hasil perhitungan,
berdasarkan rumus diatas didapatkan angka sebagai berikut:

N1 = (1.96)2.33.67 = 84.9

(0.1)2

Untuk menjaga kemungkinan adanya subjek penelitian yang drop out, maka dihitung:

N2 = N1 + (10% x N1)

= 84.9 + (0.1 x 84.9)

= 84.9+ 8.49

= 93.39 subjek penelitian

3.7.2 Teknik Pengambilan Sampel


Pengambilan sampel dalam penelitian menggunakan metode sampling dengan cara
Consecutive Sampling.

3.8 Identifikasi Variabel

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, objek atau
kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari
dan kemudian ditarik kesimpulannya. Variabel dalam penelitian ini yaitu:

3.8.1 Variabel Dependen


Variabel dependen pada penelitian ini berupa OSA di Puskesmas Kelurahan
Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru, Jakarta Barat.

3.8.2 Variabel Independen


Variabel independen pada penelitian ini berupa tekanan darah, jenis kelamin, usia,
aktifitas fisik, obesitas, genetik, dan merokok di Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan
Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru , Jakarta Barat.
3.9 Cara Kerja

1. Mengumpulkan bahan ilmiah dari jurnal, consensus, dan text book serta
merencanakan desain penelitian.

2. Menentukan besar sampel minimal yaitu semua pasien dewasa yang berkunjung
ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru
pada bulan Mei 2018.

3. Membuat kuesioner sebagai instrument pengumpulan data.

4. Menentukan Pengambilan sampel dengan teknik Consecutive Sampling.

5. Melakukan uji coba kuesioner pada pasien dewasa yang datang ke Puskesmas
Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar baru, Jakarta Barat
bulan Mei 2018.

6. Melakukan koreksi kuesioner.

7. Peneliti memohon izin kepada Kepala Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan


Puskesmas Kelurahan Jelambar baru, Jakarta Barat untuk diperbolehkan
melakukan penelitian terhadap pasien dewasa yang mempunyai riwayat
mendengkur dan dapat diperiksa tekanan darah yang berkunjung ke Puskesmas
Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Kelurahan Jelambar Baru.
8. Melakukan pengumpulan data primer yang didapat melalui pengukuran tekanan
darah, IMT, usia, jenis kelamin, aktifitas fisik pada pasien dewasa yang
berkunjung ke Puskesmas Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Jelambar Baru
pada bulan Mei 2018
9. Melakukan editing, verifikasi, coding, dan tabulasi terhadap data primer milik
subjek yang sudah dikumpulkan.
10. Melakukan pengolahan analisis dan interpretasi data dengan program statistical
package for social science (SPSS).
11. Penulisan laporan penelitian.

12. Pelaporan penelitian.


3.10 Definisi Operasional

3.10.1 Subjek penelitian


Subjek penelitian adalah seluruh pasien dewasa yang datang ke Puskesmas
Kelurahan Jelambar 2 dan Puskesmas Jelambar Baru, Jakarta Barat pada bulan Mei
2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

3.10.2 Variabel

 OSA (Obstructive Sleep Apnea)


OSA adalah penyakit yang di tandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas atas
secara periodik pada sat tidur yang mengakibatkan apnea, hypopnea atau keduanya.

Alat ukur : Kuesioner

Hasil ukur : Berisiko tinggi: Jika ada 2 atau lebih kategori di mana skornya positif.

Resiko rendah: jika hanya ada 1 atau tidak ada kategori di mana skornya
positif.

Skala ukur : Kategorik

Koding : 1 Resiko tinggi

2. Resiko rendah

 Tekanan Darah
Tekanan darah merujuk kepada tekanan yang dialami darah pada pembuluh arteri darah
ketika darah di pompa oleh jantung ke seluruh anggota tubuh manusia. Hipertensi adalah
peningkatan tekanann darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik leih
dari 90 mmHg pada dua kali pengukun dengan selang waktu lima menit dalam keadaan
cukup istirahat/tenang

Alat Ukur : Spfingnomanometer

Cara Ukur : Melalukan pengecekan tensi

Hasil ukur : Hipotensi ≤ 90/60


Normotensi ≤120/80

Hipertensi ≥ 130/90

Skala ukur : Kategorik

Koding : 1. Hipetensi

2Normotensi

3.Hiportensi

 Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki- laki dan
perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya
meneruskan garis keturunan.

Alat ukur : KTP ( Kartu Tanda Penduduk)

Cara ukur : Dengan melihat jenis kelamin pada KTP

Hasil ukur : Laki – laki dan Perempuan

Skala ukur : Kategorik

Koding : Laki – laki = 1

Perempuan = 2

 Usia
Usia merupakan lamanya hidup pasien yang memiliki riwayat mendengkur dimulai sejak
dilahirkan sampai saat penelitian dilakukan. Usia pasien dihitung dari tanggal, bulan, tahun
penelitian dikurangi dari tanggal, bulan, tahun penelian dikurangi tanggal, bulan, tahun lahir
yang terterah di kartu tanda penduduk (KTP) yang masih berlaku, bila terdapat kelebihan
umur kurang dari enam bulan di bulatkan kebawah.

Alat Ukur : Kartu Tanda Penduduk (KTP).


Cara Ukur : Dengan usia pada KTP subjek

Hasil Ukur : 21 tahun – 40 tahun, 41 tahun – 50 tahun, > 55 tahun


Skala ukur : Nominal
Koding : > 55 tahun =1
41 tahun – 55 tahun =2
21 tahun – 40 tahun =1

 Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah kegiatan dalam durasi waktu tertentu yang membutuhkan energi
dan pergerakan otot-otot kerangka.

Alat ukur : Kuesioner


Cara ukur : Mengisi kuesioner bagian checklist aktivitas fisik
Hasil ukur :
 Ringan : segala sesuatu yang menggerakkan tubuh, sama dengan aktivitas sehari-
hari meliputi berjalan kaki dan pekerjaan rumah tangga.

 Berat : merupakan pergerakan tubuh yang memerlukan banyak gerakan otot dan
pembakaran kalori yang besar meliputi kegiatan seperti berenang, naik gunung,
dan angkat beban.
 Skala ukur : Kategorikal
 Koding : 1. berat
o 2: ringan

 Obesitas
 Definisi
Kondisi berlebihnya lemak dalam tubuh yang sering dinyatakan dengan istilah gemuk
atau berat badan berlebih yang ditandai dengan peningkatan nilai Indek Massa Tubuh
(IMT) di atas normal
 Alat ukur : Kuesioner, tinggi badan (cm), dan berat badan (kg), indeks massa
tubuh (IMT)
 Cara ukur :Pasien mengukur berat badan dan tinggi badan pada alat ukur yang
sudah disiapkan kemudian peneliti mencatat hasil tersebut pada data peneliti
 Hasil ukur :Berat badan kurang = IMT (<18.5kg/m2)

Normal = IMT (18.5 – 24.9 kg/m2)

Berat badan lebih = IMT (>25 kg/m2)

 Skala ukur : Nominal


 Koding : Berat badan berlebih = 1
Normal =2
Berat badan kurang = 3

3.11 Manajemen Data

3.11.1 Pengolahan Data


Terhadap data-data yang telah dikumpulkan, akan dilakukan pengolahan berupa
proses editing, verifikasi, dan coding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah
dengan menggunakan program komputer, yaitu program SPSS 16.

3.11.2 Penyajian Data


Data yang didapat, disajikan secara tekstular dan tabular.
3.11.3 Analisis Data
Terhadap data yang telah diolah dilakukan analisis data sesuai dengan cara uji
statistik menggunakan uji Chi-square :

3.11.3.1 Analisis Univariat


Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-masing variabel
dengan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan.

3.11.3.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
dependent dan independent. Karena rancangan penelitian ini adalah Cross
Sectional Study, hubungan antara variabel independent dengan variabel
dependen. Teknis analisis data yang menggunakan uji Chi Square dengan
tingkat kemaknaan (α) = 0,05 yang digunakan untuk menguji 2 variabel yang
disusun dalam table b x k (b = baris, k = kolom). Rumus: table 2x2. Sedangkan
yang menggunakan uji likelihood dengan tingkat kemaknaan (α)= 0,05 yang
digunakan untuk menguji lebih dari 2 variabel yang disusun dalam tabel b x k (b

= baris, k = kolom) apabila tidak memenuhi syarat untuk uji chi square. Untuk
membuktikan bahwa variabel-variabel bebas memiliki hubungan maka akan di
lakukan uji dengan uji chi square. Hasil uji chi square dapat mengetahui ada
tidaknya hubungan antara dua variabel X dan Y yang bermakna secara statistik
atau jika χ2 hitung >χ2 tabel, maka H0 ditolak, yang berarti ada hubungan dan
jika χ2 hitung < χ2 tabel, maka H0 gagal ditolak, yang berarti tidak ada
hubungan.

3.11.4 Interpretasi Data


Data diinterpretasi secara analitik-korelatif antar variabel-variabel yang
telah ditentukan.

3.11.5 Pelaporan Data


Data disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan
dipresentasikan di hadapan staf pengajar Program Pendidikan Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
dalam forum pendidikan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana.

3.12 Etika Penelitian


Subjek yang diwawancarai untuk pengisian kuesioner pada penelitian ini dijamin
kerahasiannya terhadap data-data yang diberikan.
Daftar Pustaka

1. De Backer W. Obstructive sleep apnea-hypopnea syndrome. Definitions and


pathopysiology. In : Randerath WJ, Sanner BM, Somers VK editors. Sleep
apnea. Current diagnosis and treatment. Prog Respir Res Karger. Basel.
2006;35:90-6.

2. Quan SF, Wright R, Baldwin CM, Kaemingk KL, Goodwin JL, Kuo TF, et al.
Obstructive sleep apnea–hypopnea and neurocognitive functioning in the sleep
heart health study. Sleep Medicine.2006;7:498-507.

3. Patil SP, Schneider H, Schwartz AR, Smith PL. Adult obstructive sleep apnea.
Pathophysiology and diagnosis. Chest. 2007:132:325-37.

4. Young T, Peppard P.E, Gottlieb D.J. Epidemiology of obstructive sleep apnea. A


population health perspective. Am J Respir Crit Care Med. 2002;165:1217-39.

5. McNicholas W.T. Diagnosis of obstructive sleep apnea in adult. Proc Am Thorac


Soc. 2008:5:154-60.

6. Hiestand D, Britz P, Goldman M, Philips B. Prevalence of symptoms and risk of


sleep apnea in the US population. Chest. 2006;130:780-6.
7. Ip MSM, Lam B, Tang LCH, Lauder IJ, Ip YT, Lam WK. A Community study
of sleep disordered breathing in middle-aged Chinese women in Hongkong.
Prevalence and gender difference. Chest . 2004;125:127-34.

8. Wiadnyana IPG, Susanto AD, Amri Z, Antariksa B. Prevalensi Kemungkinan


Obstructive Sleep Apnea dan faktor-faktor yang Berhubungan pada Pengemudi
Taksi X di Jakarta. J Respir Indo. 2010;30:32-8.

9. Lee W, Nagubadi S, Kryger MH, Mokhlesi B. Epidemiology of Obstructive


Sleep Apnea: a Population-based Perspective. Expert Rev Respir Med.
2008;2(3):349- 64.2006. p.645-64. 5.

10. Madani M. Snoring and obstructive sleep spnea. Arch of Iranian Med 2007;
10(2):215- 26.

11. Ross C. Brwonson, Patrick L. Remington, James R davis. 2007. High blood pressure
in chronic disease epidemiology and control. Second edition, American public health
assisation: 262-264.San diego. Hal 26-28.
12. Erlyna Nur syahrini, Hendry setyawan susanto, Ari udiyono. Faktor-faktor resko
hipertensi primer di puskesmas tlogosari kulon kota semarang: semarang: Jurnal
kesehatan masyarakat; 2012 vol 1 Hal 315-325.
13. Mariani Rasjid HS, Mohammad Yogiarto. Obstructive Sleep Apnea (OSA).
Surabaya: Jurnal Kesehatan Masyarakat Medika Tadulako; 2015.Vol.2. No.2.

14. Lawrence J. Epstein, M.D, David Kristo, M.D, Patrick J. Strollo, Jr., M.D.
Clinical Guideline for the Evaluation, Management and Long-term Care of
Obstructive Sleep Apnea in Adults. Journal of Clinical Sleep Medicine; 2009.
Vol.5, No. 3.

15. Usep Basuki Rahman, Handoyo, Pujo Rohadi. Hubungan Obesitas Dengan
Risiko Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Remaja. Semarang: Jurnal Ilmiah
Kesehatan Keperawatan; 2012. Vol.8, No. 1.

16. Putu Suryawan, Ketut Tirtayasa. Hubungan Antara Obesitas Dengan Risiko
Menderita Gangguan Tidur Obstructive Sleep Apnea (OSA) Pada Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Bali:
Jurnal Ilmiah Kedokteran; 2012.
17. Marbun erna. Mendengkur . Jurnal kedokteran Fakultas kedokteran universitas kristen
krida wacana. Jakarta. 2016.vol 22 no 58. Hal 2.
18. Ayaton liat, Ancoli sonia, Sean P. Obstuctive sleep apnea a double insultto brain
function. 1Department of Psychiatry, University of California San
Diego.2010.vol 182.hal 414.

19. Rosenthal, T. and Alter, A. 2011. Occupational Stress, and Hypertension. Journal of
The American Society of Hypertension, 6(1): 2–22.
20. Nurcahyani, Fajar H, Bustamam N, Diandini R. Hubungan antara kebiasaan merokok
dengan kejadian hipertensi di layanan kesehatan. Bina Widya. 2011;22(4):185-90.
21. Lopes C, Esteves AM, Bittencourt LRA, Tufi S, Mello MT. Relationship between the
quality of life and the severity of obstructive sleep apnea syndrome. In : Bazillian
journal of medical and biological research. 2008. 41: 908 - 9013
22. Hargens TA, Kaleth AS, Edward ES, Butner KL. Association between sleep
disorders, obesity, and exercise: a review. In :nature and science of sleep. Dovepress
journal. Feb 28th 2013 27-35;5
23. Simpson L; Mukherjee S; Cooper MN; Ward KL; Lee JD; Fedson AC; Potter J;
Hillman DR; Eastwood P; Palmer LJ; Kirkness J. Sex differences in the association of
regional fat distribution with the severity of obstructive sleep apnea. SLEEP
2010;33(4):467-474.

24. Zarouk WA, Hussein IR, Esmaeil NN, Raslan HM, Reheim HAA, Moguib O, Emara
NA, Aly AA, Hamed M. Association of angiotensin converting enzyme gene (I/D)
polymorphism with hypertension and type 2 diabetes. Bratisl Lek Listy.
2012;113(1):14–8.
25. Oke Kadarullah, Yunua Annisa. Pengaruh Obstructive Sleep Apnea (OSA) Terhadap
Terjadinya Hipertensi Di Poli Saraf RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo. Semarang:
Jurnal Ilmiah Kedokteran Universitas Muhammadiyah Purwokerto; 2016.
26. Andy Luman. Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada DM Tipe 2. Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara. Medan: Medical Education; 2016. vol. 43 no. 2.
27. GARY D. FOSTER, PHD, MARK H. SANDERS, MD, RICHARD MILLMAN, MD,
GARY ZAMMIT, PHD. Obstructive Sleep Apnea Among Obese Patients With Type
2 Diabetes. USA: Brief Report Diabetes Care; 2009. P. 32:1017–1019.
28. Madrigal, L., Brady, J., Raxter, M., Ruiz, E., Otarola, F. and Blell, M. 2011. Obesity,
Hypertension, and Migration: A Meta-Analysis of Populations of The South Asian
Diaspora. Human Biology, 83(1): 71-86.
29. Hypertension Guidelines Programming. American Heart Association’s annual
scientific sessions, Anaheim, California. November 13, 2017..
30. P.K. Whelton et al. 2017 ACC/AHA/AAPA/ABC/ACPM/AGS/APhA/
ASH/ASPC/NMA/PCNA Guideline for the prevention, detection, evaluation and
management of high blood pressure in adults. Hypertension. Published November 13,
2017. doi: 10.1161/HYP.0000000000000065.

Anda mungkin juga menyukai