Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
senantiasa memberikan kekuatan, berkah, rahmat, dan karunia-Nya sehinggaa
penulis dapat menyelesaikan paper ini guna memenuhi persyaratan Kepanitraan
Klinik Senior di SMF Paru RSU dr. Pirngadi Medan dengan judul Obstructive
Sleep Apnea

Penyusun laporan kasus ini tidak lepas dari bimbingan, pengarahan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan rasa hormat penulis
menyampaikan terima kasih kepada Prof. dr. Tamsil Syafiuddin, Sp. P(K), dr.
Amiruddin, Sp.P, dr.Tunggul Hutapea, Sp.P dan dr. Syahlan, Sp.P yang telah
membantu dan membimbing kami selama proses pendidikan di SMF Paru.

Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan paper ini masih


terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
pengalaman peneliti. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang berguna untuk
memperbaiki kesalahan dan juga untuk menambah ilmu pengetahuan agar paper
yang dihasilkan berkualitas. Harapan penulis semoga kasus ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua

Medan, Mei 2015

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI.ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang...1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi..2

2.2 Etiologi..2

2.3 Epidemiologi....3

2.4 Klasifikasi Apnea.....3

2.5 Patofisiologi.....4

2.6 Gejala Klinis.5

2.7 Diagnostik.5

2.8 Penalatalaksaan7

2.9 Komplikasi...9

2.10 Prognosis10

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...11

DAFTAR PUSTAKA.12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidur dan bernafas adalah bagian dari proses fisiolgis yang mendasar pada
kehidupan sehari-hari manusia. Bila proses bernafas berhenti sementara dalam
beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti. Tidur merupakan bagian lain
dari proses fisiologi tersebut, bila terjadi gangguan pada proses tidur akan
berakibat gangguan pada kualitas hidup.1,2

Obstructive Sleep Apnea (OSA) Syndrome adalah gangguan tidur umum


dimana terjadi obstruksi jalan napas secara lengkap atau parsial, yang disebabkan
oleh pharyngeal collapse saat tidur, menyebabkan mendengkur keras atau
tersedak, sering terbangun, tidur terganggu dan kantuk di siang hari yang
berlebihan. Ketika obstruksi jalan napas terjadi, aliran udara inspirasi dapat
berkurang (hypopnea) atau sama sekali tidak ada (apnea).1,2,3

Commission on Sleep Disorder Research memperkirakan bahwa OSA


menyebabkan 38.000 kematian kardiovaskular setiap tahun. Mortalitas kumulatif
selama 8 tahun dari OSA yang tidak diobati telah diperkirakan setinggi 37% untuk
pasien dengan penyakit sedang-berat dibandingkan dengan 4% untuk pasien
dengan penyakit yang kurang berat. Masalah yang paling signifikan adalah
pengenalan dan diagnosis OSA.4,5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) dikenal juga sebagai obstructive sleep


apnea-hypopnea. Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi
nafas yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada keadaan
tidur, dapat berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi
(hypopnea).1,2,3,4

2.2 Etiologi

Obstructive Sleep Apnea OSA disebabkan oleh faktor struktural,


nonstruktural dan termasuk didalamnya adalah faktor genetik. Adapun
pembagiannya adalah sebagai berikut:

a. Faktor struktural
Berhubungan dengan anatomi tulang craniofacial yang mempengaruhi
pasien dengan OSA sehingga mengalami lumpuh pada faring selama tidur.
Yang termasuk faktor struktural, yaitu:
1. Anatomi bawaan (elongasi facial, kompresi facial posterior).
2. Mandibular hypoplasia.
3. Inferior displacement of hyoid.
4. Down syndrome.
5. Marfan syndrome.
6. Pierre robin syndrome.6
b. Faktor nonstruktural
1. Obesitas
2. Laki-laki
3. Usia lanjut
4. Alkohol
5. Perokok
6. Penggunaan sedatif
7. Kebiasaan tidur mendengkur/mengantuk pada siang hari.
8. Posisi tidur supinasi
9. Rapid eye movement (REM) sleep.6
c. Faktor genetik6

2.3 Epidemiologi

Diperkirakan 4% pria US dan 2% wanita US menderita OSA. Jumlahnya


hampir dipastikan akan berkembang dengan bertambahnya usia dan BMI rata-rata
meningkat.

Pasien dengan OSA lebih sering adalah laki-laki, gemuk dan berusia 65
tahun atau lebih. Obesitas tentu faktor risiko yang paling penting: berat badan
10% meningkatkan enam kali risiko berkembang menjadi OSA. Dengan pola
androgenik distribusi lemak tubuh, dalam deposisi khususnya pada tubuh,
termasuk daerah leher, dapat mempengaruhi seseorang untuk menjadi OSA.
Selanjutnya, hormon seks dapat mempengaruhi kontrol neurologis dari saluran
napas bagian atas melebarkan otot dan ventilasi. Wanita menopause berisiko lebih
tinggi terkena OSA daripada wanita premenopause.3

2.4 Klasifikasi

Ada tiga tipe apnea/hypopnea yaitu:

1. Tipe Obstruktif (Obstructive Sleep Apnea)/OSA. Tipe ini paling sering


terjadi. Keadaan ini terjadi bila ventilasi menurun atau tidak ada ventilasi
yang disebabkan oklusi parsial atau oklusi total pada saluran nafas atas
selama paling tidak 10 detik tiap episode yang terjadi. Episode henti nafas
(apnea) sering berlangsung antara 10 detik sampai 60 detik.
2. Tipe sentral (Central Sleep Apnea)/CSA. Tipe ini jarang terjadi. Ciri khas
dari tipe ini adalah menurunnya frekuensi nafas atau henti nafas akibat
menurunnya ventilasi atau tak ada ventilasi selama paling tidak 10 detik
atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5 kali perjam.
Penyebab utamanya adalah kelainan pada sistem syaraf pusat gagal
mengirim impuls syaraf pada syaraf otot diafragma dan otot-otot
pernafasan di dada.
3. Tipe campuran (Mixes Sleep Apnea)/MSA. Kejadian MSA ini dimulai
dengan CSA kemudian diikuti OSA.1

2.5 Patofisiologi

OSA merupakan hasil dari proses dinamik penyempitan atau lumpuhnya


(collaps) saluran nafas atas selama tidur. Tempat paling sering terjadi obstruksi
pada populasi dewasa adalah dibelakang ovula dan velopharynx (pallatum mole),
kemudian pada oropharynx, atau kombinasi keduanya. Patensi saluran nafas atas
sebagian besar diatur oleh otot-otot pharynx, yang diklasifikasikan menjadi 2
bagian:

1. Otot fase inspirasi, misalnya musculus genioglossus yang mengatur


kontraksi regular dengan menyesuaikan pada gerakan pernafasan.
Fungsinya seperti diafragma. Tonus otot pada kelompok ini diatur selama
periode tidur.
2. Otot yang tonus ritmiknya konstan, misalnya musculus palatinus tensi.
Tonus otot ini konstan, yang dapat hilang atau menurun tonusnya pada
keadaan tidur.1

Tahanan pada saluran nafas atas meningkat bermakna selama tidur, dan
dapat lebih meningkat bila ada faktor predisposisi yang mendukung terjadinya
penutupan saluran nafas, atau terjadi peningkatan beban pada otot-otot dilator
pharyngeal. Lumpuhnya (collaps) saluran nafas atas terjadi bila tekanan negatif
yang dibuat oleh otot-otot pernafasan lebih besar dari kemampuan otot-otot yang
berfungsi melebarkan saluran nafas atas.1

Periode apnea (tak bernafas), biasanya diakhiri dengan bentuk arousal dari
tidur, dimana otot-otot yang berperan pada dilatasi saluran nafas atas mulai
bekerja normal dan aliran udara pernafasan kembali normal.
Proses arousal selama periode tidue berakibat proses tidur mengalami
fragmentasi, kadang penderita bisa terbangun mendadak. Saturasi oksigen dapat
menurun lebih dari 3%, akibat obstruksi saluran lebih dari 80%. Pada hipopnea,
obstruksi jalan nafas berkisar antara 30% sampai 50% dengan penurunan saturasi
oksigen lebih dari 3%. Kebanyakan penderita mengalami keadaan henti nafas
(apnea) antara 20 sampai 30 kejadian perjam dan bisa lebih dari 200 kali
permalam. Keadaan ini menjadi penyebab utama hipersomnolen pada
penderitanya.1

Faktor resiko OSA, yaitu:

1. Obesitas
2. Pria
3. Usia lanjut
4. Pemakaian obat depresan syaraf pusat seperti alkohol dan sedativa
5. Saluran nafas atas yang sempit, seperti mikrognathia dan retrognathia
6. Hipotiroidisme atau mikromegali
7. Genetik dan familial.1,2

2.6 Gambaran klinis

Kebanyakan penderita dikirim ke klinik oleh karena mendengkur keras,


gangguan tidur (sleep chocking), dilaporkan keluarganya bahwa pasien
mengalami henti nafas (apnea) saat tidur, gerakan-gerakan abnormal saat tidur,
dan nokturia. Keluhan yang sering terjadi antara lain rasa kantuk terus menerus
pada siang hari (hipersomnolen), gangguan konsentrasi, sakit kepala pagi hari,
gangguan intelektual, gangguan personalitas dan pergaulan, depresi dan
penurunan libido.1,2

2.7 Diganostik

Skala tidur dari epworth sering digunakan untuk mengetahui kuantitas dari
derajat gangguan tidur pada seseorang penderita sleep apnea. Pemeriksaan fisik
yang penting adalah menentukan Indek Massa Tubuh (BMI). Obesitas merupakan
salah satu faktor terjadinya sleep apnea.
Obesitas sentral perlu diukur, karena dengan BMI normal, obesitas sentral juga
salah satu dari faktor risiko sleep apnea.1

Morfologi saluran nafas atas dan bentuk anatomis kraniofasial perlu


diperiksa untuk ditentukan kemungkinannya menjadi faktor risiko sleep apnea.
Leher yang pendek, mikrognatia, dan retronagtia. Nilai skor Mallampati sangat
berhubungan dengan OSA.1

Pengukuran saturasi oksigen selama tidur malam dengan oksimetri, dapat


digunakan untuk mengukur apakah terjadi sleep apnea pada seorang penderita
dengan gangguan tidur. Walaupun demikian, sepertiga penderita OSA tidak
terjadi penurunan saturasi oksigen.1,

Diagnostik baku untuk menentukan OSA adalah dengan Polisomnografi


noktural yang dilakukan di klinik sleep apnea. Alat ini menggunakan kombinasi
dari elektroensetafografi untuk mencatat gelombang listrik syaraf pusat,
elektrookulografi untuk mencatat gerakan mata, oksimetri untuk mencatat saturasi
oksigen, monitor holter untuk mencatat rekaman jantung, dan elektromiografi
untuk mencatat gerakan otot pernafasan selama keadaan tidur malam, dan monitor
posisi tidur. Parameter yang dihasilkan adalah hasil dari perhitungan terjadinya
periode apnea dan hipopnea disebut Indeks Apnea Hipopnea (AHI). Indeks
normalnya adalah kurang dari 5 kejadian perjam. Dinyatakan OSA bila AHI lebih
dari 5 kali perjam. Polisomnografi dengan peralatan monitor yang lebih sederhana
dapat dilakukan di rumah. Alat ini digunakan selama 4 jam tidur malam. Penilaian
polisomnogram meliputi berhentinya aliran udara minimal 10 detik dengan
gerakan nafas masih berjalan (OSA), berhentinya aliran udara dengan diikuti juga
berhentiknya gerakan nafas (CSA), dan campuran keduanya.
Sumber : Sumardi.tatalaksana Penyakit Respirasi Kritis Paru.

Tabel 2-1. Penilaian Polisomnogram.

Derajat OSA Indeks Gangguan Respirasi (IGR) Saturasi O2 (%)


Ringan 5-15 >85
Sedang 16-30 65-84
Berat >30 <65

Tabel 2-2. Klasifikasi tingkat keparahan OSA berdasarkan Apnea-Hypopnea


Index (AHI).

Mild Moderate Severe


AHI 514 AHI 1529 AHI30
Sumber: European Journal of Internal Medicine

2.8 Penatalaksanaan OSA

Manajemen ditujukan terutama pada risiko terjadinya gangguan


kardiovaskular dan kondisi hipersomnolen pada penderita OSA. Hipersomnolen
pada siang hari dapat menyebabkan penderita OSA kehilangan kewaspadaan,
yang dapat berakibat gangguan sosial, kecelakaan kerja dan kecelakaan lalu lintas.
Penyakit kardiovaskular yang berhubungan dengan kejadian OSA adalah
hipertensi, stroke, penyakit jantung iskemia, hipertensi pulmonal. Oleh karena itu,
beberapa alternatif penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Pengobatan konservatif
Manajemen konsevatif termasuk perubahan posisi tidur miring kesamping
kanan atau kiri, tergantung pada perbaikan IGR. Mengurangi berat badan,
menghindari minuman mengandung alkohol dan mengurangi konsumsi
obat-obat sedatif termasuk juga pada manajemen konservatif. Penurunan
berat badan sebesar 10% akan mengurangi IGR sebesar 26%.1,2,4
b. Tekanan jalan napas positif
1. Tekanan jalan napas positif kontinu (CPAP, continuous positive
airway pressure) digunakan untuk mengirimkan udara melalui hidung
atau masker mulut. Tekanan jalan napas positif kontinu melalui hidung
(nCPAP, nasal continous positive pressure) adalah pilihan pengobatan
mutakhir untuk sebagian besar pasien OSA.1,2,3,4
2. Usaha untuk memperbaiki kepatuhan terapi adalah kunci keberhasilan
pengobatan pasien. Pengobatan OSA berhubungan dengan masalah
kepatuhan pada 50% pasien.1,2,
3. Tekanan jalan napas positif dua tingkat ( BiPAP, bilevel positive
airway pressure) dapat digunakan untuk mengobati pasien OSA.
Prosedur ini lebih mahal dibandingkan CPAP dan tidak memperbaiki
kepatuhan pasien. BiPAP dicadangkan untuk pasien yang tidak toleran
terhadap tingkat CPAP yang sangat atau tidak memiliki respons yang
baik terhadap CPAP.1,2,3
c. Penggunaan alat untuk mulut (Oral appliance)
American Academy os Sleep Medicine (2005) merekomendasikan alat ini
untuk OSA derajat ringan sampai sedang, apabila penderita tidak dapat
menggunakan CPAP. Prinsip alat ini adalah untuk tetap menjaga patensi
saluran nafas atas.1,2
d. Terapi bedah
Tindakan bedah yang dilakukan untuk terapi OSA adalah
uvulopalatofaringoplasti, ovulopalatoplasti dengan sinar laser,
tonsilektomi, ablasi atau reseksi parsial lidah, rekonstruksi rahang atas
atau bawah, sampai dengan tindakan trakeostomi. Hasil maksimal dengan
tindakan bedah ini adalah 40% untuk mengatasi OSA.1,2

Gambar 2.1 Alur pengobatan OSA syndrome.6

Pada alur pengobatan sindrom OSA, penurunan berat badan dengan diet dan
peningkatan aktivitas fisik harus direkomendasikan untuk semua pasien kelebihan
berat badan. Pasien harus dianjurkan untuk menghindari alkohol dan obat
penenang sebelum tidur.
CPAP adalah pengobatan pilihan di OSA ringan, sedang dan berat dan
harus ditawarkan kepada setiap pasien. Jika CPAP ditolak atau kepatuhan buruk,
terapi alternatif termasuk alat mulut, operasi dan farmakoterapi dapat
dipertimbangkan. Bila hasil pengobatan yang memuaskan, pasien dimulai pada
jangka panjang tindak lanjut.3

2.9 Komplikasi

Konsekuensi neurobehavorial dari apnea meliputi kecelakaan kendaraan


bermotor, depresi, penampilan kerja yang buruk, dan gangguan hubungan
interpersonal. Beberapa pasien mengalami penurunan pada status sosioekonomi.
Konsekuensi kardiovaskular baru-baru ini lebih dikenal berupa hipoksia,
simpangan tekanan pleura, kelainan tonus simpatis, aktivasi kaskade peradangan,
dan kelainan beban jantung meningkatkan risiko hipertensi, stroke, payah jantung
kongestif, dan infark miokard. Pengendalian apnea tampak mengurangi risiko
kardiovaskular. Apnea saat tidur dikenal sebagai risiko anestesi bedah signifikan.
Disfungsi kardiovaskular praoperasi, jalan nafas yang sulit, desaturasi cepat saat
apnea berkaitan dengan intubasi, sensitivitas baik terhadap obat penenang,
narkotik, dan agen anestesi meningkatkan bahaya anastesi yang diberikan dan
analgesia, terhadap kelompok pasien-pasien.5
2.10 Prognosis

Prognosis jangka pendek, dalam kaitannya dengan gejala seperti kantuk di


siang hari dan mendengkur, berkisar dari baik untuk sangat baik dengan
penggunaan rutin CPAP. Beberapa penelitian, termasuk studi plasebo-terkontrol,
telah menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam ukuran fungsi kognitif dan
status kesehatan umum setelah 4-8 minggu pengobatan dengan CPAP. Namun,
penelitian belum dilakukan pada populasi besar atau lebih dari satu periode
pengobatan 4 sampai 8 minggu.6

Prognosis jangka panjang tidak diketahui karena tidak ada penelitian


pengobatan acak yang menyelidiki efek CPAP untuk mencegah perkembangan
gejala sisa kardiovaskular telah dilakukan.6
BAB III

KESIMPULAN

Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan gangguan bernapas saat tidur


yang simtomatik dan terbagi menjadi tiga tipe yaitu tipe Obstructive Sleep Apnea
(OSA), Central Sleep Apnea (CSA) dan Mixes Sleep Apnea (MSA). OSA
merupakan sebuah keadaan yang melibatkan faktor struktural, non struktural dan
genetik.
Diagnostik baku untuk menetukan OSA adalah dengan polisomnografi
noktural yang dilakukan di klinik sleep apnea. Dalam penatalaksanaan OSA
terdiri dari pengobatan konservatif, tekanan jalan napas positif (CPAP),
penggunaan alat untuk mulut (Oral appliance) dan terapi bedah.
Komplikasi dari OSA mempengaruhi beberapa aspek diantaranya
konsekuensi neurobehavorial dan konsekuensi kardiovaskular, oleh karena itu,
kejadian OSA pada pasien membutuhkan pemantauan kontinu.

Prognosis jangka pendek, dalam kaitannya dengan gejala seperti kantuk di


siang hari dan mendengkur, berkisar dari baik untuk sangat baik dengan
penggunaan rutin CPAP. Prognosis jangka panjang tidak diketahui karena tidak
ada penelitian pengobatan acak yang menyelidiki efek CPAP untuk mencegah
perkembangan gejala sisa kardiovaskular telah dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sumardi,. Sleep Apnea, Kompedium Tatalaksana Penyakit Respirasi Kritis


Paru. Jilid II. Bandung: Sarana Ilmu Bandung; 2012. Hal 645-651
2. Sumardi, Hijmam B, Ryatno BS, Budiono E. Sleep Apnea (Gangguan
Bernapas Saat Tidur), in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima.
Jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2009. Hal 2347-2350.
3. Mannaring MR, Filippo FD, Pirro M. Obstructive Sleep Apnea Syndrome.
European Journal of Internal Medicine, (online).
(http://www.ejinme.com/article/S0953-6205(12)00152-5/fulltext#s0005,
Diakses 09 Mei 2015), 2012.
4. Lin TL, Rypkema SW. Sindrom Hipopnea- Apnea Tidur Obstruksi, in
Manual Washington Terapi Rawat Jalan. Jakarta: EGC; 2010. Hal 240-
244.
5. Ringel E. Buku Saku Hitam Kedokteran Paru. Jakarta: Indeks; 2010. Hal
376-381.
6. Downey R. Obstructive Sleep Apnea. (online).
(http://emedicine.medscape.com/article/295807-
overview?src=medscapeapp-ipad&ref=email#aw2aab6b2b6aa,Diakses 10
Mei 2015), 2014.

Anda mungkin juga menyukai