GANGGUAN TIDUR
Oleh:
Perceptor:
Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Insomnia dan
Hipersomnia”. Adapun penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Penyakit Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat
orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian
rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya. Masalah tidur
yang menyebabkan stres pribadi yang signifikan atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau peran lain
diklasifikasikan dalam sistem DSM sebagai gangguan tidur
(sleep disorder).
Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV).
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia dan
15% adalah hipersomnia. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh banyak hal
atau bersifat holistik. Hal yang mempengaruhi adalah biopsikososial yaitu
dari faktor genetik, psikologis, dan lingkungan. Sehingga bisa dikatakan
penyebabnya sangat kompleks dan memerlukan investigasi yang cermat.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tidur
1. Definisi
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di
mana seseorang dapat dibangunkan dengan pemberian
rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur
tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses
deaktivasi Sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf
pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia
retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Keterangan:
Dari gambaran EEG, EOG dan EMG sepanjang malam seorang dewasa
normal, dapat dibuat sebuah hipnogram yang melukiskan kualitas dan
kuantitas tidur orang tersebut. Pada kondisi normal, seorang dewasa
memasuki stadium 1 dan 2 dengan cepat dan mempunyai stadium tidur
dalam (stadium 3 dan 4) yang berkisar antara 70 - 100 menit. Setelah itu
timbullah stadium REM yang gambaran EEG nya mirip dengan stadium
tidur yang dangkal. Kejadian atau siklus ini berulang dengan interval
waktu 90 menit. Semakin mendekat ke pagi hari, tidur yang dalam
semakin berkurang dan tidur REM semakin bertambah. Dalam kondsi
normal, terjadi 4 – 6 kali periode tidur REM. Secara keseluruhan periode
tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan tidur. Pola hipnogram ini
dipengaruhi oleh usia. Pada anak-anak, stadium 3 dan 4 meliputi jumlah
yang lebih besar dari pada dewasa normal, dan makin berkurang lagi
pada usia lanjut.
2. Klasifikasi Tidur
Tidur dibagi menjadi dua tipe yaitu:
1. Tipe non rapid eye movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri
dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur
normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Fase tidur
NREM biasanya berlangsung antara 70 menit sampai
100 menit. Tidur NREM yang meliputi 75% dari
keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium,
antara lain:
a. Stadium Satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan
tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya
berlangsung 3-5 menit atau 5% dari keseluruhan
waktu tidur dan mudah sekali dibangunkan. Stadium
ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG
menggambarkan gambaran kumparan tidur yang
khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai
7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
b. Stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti
bergerak, tonus otot masih berkurang. Stadium ini
berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan
waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang
berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan
trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada
stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan
mudah.
c. Stadium tiga
Berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi
dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik,
yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
d. Stadium empat
Berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur.
Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3
dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal
dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau
Slow Wave Sleep (SWS)
2. Tipe rapid eye movement (REM)
Selama tidur, episode tidur REM timbul secara periodik, meliputi
sekitar 25% dari seluruh masa tidur. Pada orang dewasa normal terjadi
setiap 90 menit. Tipe tidur ini tidak begitu tenang. Pola tidur REM
ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat
menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki
terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam.
B. Gangguan tidur
1. Definisi
Gangguan tidur adalah perubahan siklus tidur seseorang menjadi lebih
pendek atau bahkan lebih panjang yang mengakibatkan terganggunya
intensitas dan kualitas tidur seseorang. Hampir semua orang pernah
mengalami gangguan tidur selama masa hidupnya.
Menurut dr. Iskandar Japardi diperkirakan tiap tahun 20 %- 40 % orang
dewasa mengalami kesukaran tidur dan 17 % diantaranya mengalami
masalah serius. Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung
meningkat, hal ini juga sesuai dengan peningkatan usia dan berbagai
penyebabnya. Menurut data internasional dari gangguan tidur, prevalensi
penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma
(61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari
(16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%),
ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi
(65%). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%),
gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus
(<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%).
2. Patofisiologi
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya
berhubungan dengan interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh
adalah bila dilakukan perangsangan daerah formasio retikularis akan
menyebabkan kondisi jaga/waspada pada hewan di laboratorium.
Sedangkan perusakan pada daerah itu menyebabkan hewan mengalami
kondisi koma menetap. Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas
retikular bekerjanya diatur oleh kontrol dan nukleus raphe dan locus
coeruleus. Di mana sel-sel dan nucleus raphe mensekresi serotonin dan
locus coeruleus mensekresi epinephrine. Jika nukleus raphe dirusak atau
sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak
tidur/berkurangnya jam tidur pada hewan percobaan yang mirip dengan
kejadian insomnia. Sedangkan bila locus coeruleus yang dirusak, akan
terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM
tak berubah. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, agaknya
juga berhubungan dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang
menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya
dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia.
Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya
perbedaan antara sukarelawan yang normal dengan penderita depresi dan
ansietas. Pada penderita depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang
bertambah atau dapat juga normal. Sedangkan REM Latency jelas
menjadi lebih pendek. Tidur Delta yang pada orang normal ditemukan
sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang. Hal
ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh tidurnya kurang pulas.
Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada sukarelawan normal yang
diberi rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak terbangun oleh hal
itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah terbangun. Karena itu
penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu di
dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase
awal penyakit, penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur
REM nya sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu sedang
bermimpi.
3. Klasifikasi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III WHO (PPDGJ III), gangguan tidur secara garis besar dibagi
dua, yaitu dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu
kondisi psikogenik primer dengan ciri gangguan utama pada jumlah,
kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor emosional. Termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan gangguan
jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
masa tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror
tidur, dan mimpi buruk. Penggolongan gangguan tidur lain berdasarkan
PPDGJ III adalah gangguan tidur organik, gangguan nonpsikogenik
termasuk narkolepsi dan katapleksi, apne waktu tidur, gangguan
pergerakan episodik termasuk mioklonus nokturnal, dan enuresis.
a. Dissomnia
1. Gangguan tidur intrinsik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki
gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik
kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
2. Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik,
ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
3. Gangguan tidur irama sirkadian
Sindroma Jet- Lag, perubahan jadwal kerja, sindrom fase
terlambat tidur, sindrom fase tidur belum waktunya, bangun tidur
tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
b. Parasomnia
1. Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal
konfusional.
2. Gangguan antara bangun-tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kramkaki, gangguan gerak
berirama.
3. Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus
arest.
4. Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan,
distonia parosismal.
C. Insomnia
1. Definisi
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa
kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut
biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun.
Insomnia sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit
atau akibat adanya permasalahan psikologis. Dalam hal ini,
bantuan medis atau psikologis akan diperlukan. Dalam
beberapa literature lain insomnia memiliki gejala-gejala
yang meliputi:
1. Mempunyai masalah dalam tidur
2. Sering bangun pada malam hari dan kesulitan untuk
tidur kembali.
3. Bangun terlalu pagi hari.
4. Merasakan seperti tidak puas dalam tidur
2. Klasifikasi
Insomnia dibagi menjadi 2 bagian yaitu primary insomnia dan
secondary insomnia.
1. Primary insomnia merupakan gangguan kekurangan tidur yang tidak ada
hubungannya dengan medis, psikis, dan lingkungan. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur dan kebiasaan sebelum tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.
2. Secondary insomnia biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya
kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan
dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari
10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan
rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan
biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan
obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini
dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.
Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1 Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2 Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3 Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4 Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.
3. Etiologi
Menurut dr. Tom Roth, insomnia merupakan suatu kelainan
hyperarousal yang timbul 24 jam setiap harinya yang dapat disebabkan
oleh 3 hal, yaitu hiperaktivasi dari neurophysiologi dari nervus
simpatis, perubahan regulasi dari neuroendokrin yang mempengaruhi
arousal, kognitif atau kebiasaan seseorang yang berhubungan langsung
dengan tidur.
1. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit
untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian
atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan
pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
2. Kecemasan dan depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak
atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
3. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
4. Kafein, nikotin dan alkohol.
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah
stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat
membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
5. Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala
tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis,
kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux
disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit
Alzheimer.
6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit
untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal,
mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
7. 'Belajar' insomnia
Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak
bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik
ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau
ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.
5. Diagnosis Insomnia
Diagnosis insomnia mencakup perjalanan tidur, histori medis dan
psikiatri. Anamnesis pada pasien harus mencangkup psikososial dan
6. Tatalaksana
Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat
kondisi medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi
terhadap penyakit yang mendasarinya. Cara farmakologik dan
nonfarmakologik diperlukan untuk terapi gangguan tidur, namun
penatalaksanaan utama umumnya mencakup aspek nonfarmakologik.
Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan penanganan khusus.
Terapi insomnia terdiri dari:
a.
Terapi dari penyakit yang mendasari insomnia, jika ada
b.
Terapi Non-farmakologi seperti psikoterapi dan cognitive behavior
therapy (CBT)
c.
Terapi farmakologi, sedative-hypnotic agent
c Terapi farmakologi
Jika tidak ada perkembangan insomnia setelah terapi non
farmakologi yang tepat, terapi sedatif-hypnotik harus diberikan.
Tetapi, pada pasien, pemberian obat- obatan menjadi perhatian
khusus karena fungsi tubuh yang sudah berkurang. Secara umum,
dalam memberikan obat kepada pasien, mengikuti aturan, “start
low, go slow”. Mulai pengobatan dengan tidak lebih dari setengah
dari dosis maksimum dewasa muda, tetapkan kadar dengan pelan,
dan resepkan obat hanya untuk jangka pendek. Karena jika
pemakaian lebih lanjut akan menyebabkan toleransi obat,
ketergantungan dan potensi dari gejala lepas obat. Pengobatan
insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
P
ada pasien, pemberian obat long-acting benzodiazepine tidak
dianjurkan. Hal ini dikarenakan efek long-acting benzodiazepine
menyebabkan ngantuk di siang hari. Ini bisa meningkatkan resiko
jatuh dan kecelakaan menjadi lebih besar. Selain mengantuk, pasien
yang menggunakan long-action benzodiazepine bisa menyebabkan
postoperative confusion.
Dosis
yang direkomendasikan untuk pasien yang memiliki keluhan
sulit tidur adalah 1 mg segera sebelum tidur. karena efek samping
obat dipengaruhi dari dosis yang diberikan, penting untuk melakukan
monitoring dosis pada pasien yang mungkin lebih sensitif dengan
obat sedative/hypnotic. Efek samping yang paling sering dari
eszopiclone ini adalah gangguan pengecap, sakit kepala, pusing dan
mulut kering. Untuk interaksi obat ini, belum ditemukan
contraindikasi pengunaan obat ini secara spesifik.
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering
off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-
3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada
usia lanjut
Lama Pemberian
Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja,
tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil.
Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan
“Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur, Efek samping dapat
terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu
paruh) :
Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam) gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi
panik
Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih
ringan
Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”
Interaksi obat
Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic
microsomal enzyme atau “produce protein binding displacement”
sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi
medik tertentu.
Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai
alkohol atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan
meningkat.
Perhatian Khusus
Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine
dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi
SSP)
7. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan, sebagai berikut:
Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga
meningkatkan reaksi kecelakaan.
Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
Kelebihan berat badan atau kegemukan
Daya tahan tubuh yang rendah
Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang,
contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.
8. Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi
pada gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizophrenia.
D. Hipersomnia
1. Definisi
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia
dan 15% adalah hipersomnia. Hipersomnia adalah kebalikan dari
insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang hari.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan
sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan
metabolisme (misalnya: hipertiroidisme). Hipersomnia pada kondisi
tertentu dapat digunakan sebagai mekanisme koping untuk menghindari
tanggung jawab pada siang hari.
2. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan
namun beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia
atau excessive Daytime Sleepiness :
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus seperti Guillan
Barre Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral
pneumonia,selain itu beberapa kasus yang bersifat genetic, EDS
berhubungan dengan genotype HLA-cw-2 da HLA-DR11. Namun
pada mayoritas pasien ditemukan dengan riwayat infeksi virus pada
keluaga atau riwayat penyakit dahulu pasien sendiri.
2. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron
nonadrenergik pada rostral ketiga dari locus cerleus complex
menyebabkan EDS. Trauma disebutkan memiliki hubungan pada
EDS, metabolit neurotransmitter pada pasen post traumatic EDS tidak
berbeda dengan pasien yang mengidap EDS dengan narkolepsi atau
pasien EDS lainnya. Kerusakan pada neuron adrenergic pada bundel
istmus berhubungan dengan peningkatan yang berarti pada tidur
NREM maupun REM
3. Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi system dopamine dapat
terjadi pada pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu
malfungsi dari system norepeinefrin dapat menyebabkan primary
hypersomnia (EDS). Selain itu penurunan histamin pada CSF telah
dilaporkan pada hypersomnia primer dan narcolepsy namun tidak
pada non CNS hypersomnia, hal ini mengindikasikan histamine dapat
dijadikan indicator pembeda hypersomnia yang berasal dari CNS atau
perifer
4. Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan pada
patologi dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi
hypocretin1 dan hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga
ditemukan pada hypersomnia primer dan akan mengganggu pada
transmisi hcrt-2 dan hal ini akan menimbulkan gangguan, karena
hypocretin peptide mengeksitasi system histaminergic melalui
receptor hypocretin 2, deficiency hypocretin dapat menyebabkan EDS
via penurunan fungsi histaminergic
5. Kekurangan vitamin D yang dapat menyebabkan buruknya kualitas
tidur dan menyebabkan EDS
3. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk hipersomnia primer adalah mengantuk
berlebihan di siang hari selama sekurangnya satu bulan seperti yang
ditunjukkan oleh episode tidur yang memanjang atau episode tidur siang
hari yang terjadi hampir setiap hari. Mengantuk berlebihan di siang hari
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Kriteria
diagnostik untuk insomnia dan hipersomnia yang berhubungan dengan
gangguan Aksis I, Aksis II atau Aksis III pada dasarnya sama dengan
gangguan tidur primer.
Gambaran Klinis :
a. Hipersomnia Non-organik
1. Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis
pasti :
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya
serangan tidur/sleep attacks (tidak disebabkan oleh jumlah
tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari
saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep
drunkenness).
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy” (catapelxy, sleep
paralysis, hypnagonic hallucination) atau bukti klinis untuk
“sleep apnoe” (nocturnal breath cessatin, typical
intermittent snoring sounds,etc)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukkan gejala rasa kantuk pada sang hari.
2. Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari
gangguan jiwa lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosis
harus sesuai dengan gangguan yang mendasarinya. Diagnosis
hiersomnia psikogenik harus ditambahkan bila hipersomnia
merupakan keluhan yang dominan dari penderitaan dengan
gangguan jiwa lainnya.
b. Hipersomnia Primer
Hipersomnia primer terdapat pada 5% populasi dewasa, pria dan
wanita mempunyai kemungkinan sakit yang sama. Yang dimaksud
dengan hipersomnia primer adalah tidur yang berlebihan atau terjadi
serangan tidur ataupun perlambatan waktu bangun. Hipersomnia
mungkin merupakan akibat dari penyakit mental, penyakit organik
(termasuk obat-obatan) atau idiopatik. Gangguan ini merupakan
kebalikan dari insomnia. Seringkali penderita dianggap memiliki
gangguan jiwa atau malas. Penderita hipersomnia membutuhkan
waktu tidur lebih dari ukuran normal. Pasien biasanya akan tidur
siang sebanyak 1-2 kali per hari, dimana setiap waktu tidurnya
melebihi 1 jam. Meski banyak tidur, mereka selalu merasa letih dan
lesu sepanjang hari. Gangguan ini tidak terlalu serius dan dapat
diatasi sendiri oleh penderita dengan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen diri. Polysomnography memperlihatkan penurunan
gelombang delta peningka-tan kesadaran, dan pengurangan masa
laten REM pada pasien dengan hipersomnia primer.
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa
lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan
gangguan yang mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari
penderita dengan gangguan jiwa lainnya.
4. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien harus kembali normal untuk tingkat
kewaspadaan. Hal ini berarti pasien harus merasa lebih baik dan tidak
memerlukan tidur siang. Pengobatan harus mencakup penggunaan obat
(diluar hipnosis) dengan penekanan pada pengelolaan non farmakologi.
obat stimulan, termasuk methylphenidate dan garam amfetamin,
umumnya sangat efektif. Efek samping yang timbul bervariasi yaitu
sakit kepala, sakit perut, penekanan nafsu makan dan lain-lain oleh
karena itu pilihan obat kedua yaitu modafinil dapat menjadi pilihan yang
efektif. Pasien yang mengalami kejang perlu evaluasi dan perawatan dari
tim neurologi. Pasien yang memiliki apnea saat tidur karena ada
obstruksi harus segera menjalani operasi atau menggunakan perangkat
untuk memberikan tekanan jalan nafas positif yang continuous. Pasien
dengan hipersomnia primer memerlukan obat perangsang atau modafinil.
Modafinil diberikan di pagi hari dan di siang hari. Dosis oral bervariasi
mulai dari 200-500 mg / hari sesuai dengan berat badan pasien dan
tingkat keparahan gejala. Kantuk di siang hari dan serangan tidur
dievaluasi dengan membandingkan data kebiasaan tidur sebelum dan
setelah pengobatan. Untuk evaluasi per hari perlu dilakukan analisis data
statistic yang benar untuk mengetahui keefektifan dari pengobatan.
Untuk evaluasi bisa digunakan diary tidur seperti pada gambar dibawah
ini. Data tidur selama beberapa minggu dapat menyediakan informasi
tentang kebiasaan tidur pasien.
Gambar 1. Diary Tidur
5. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan hipersomnia adalah baik. Hal ini
karena diagnosis umumnya ditegakkan dengan tepat dan
pengobatan efektif yang tersedia (Pengecualian adalah sindrom
Kleine-Levin, yang tidak ada yang diketahui pengobatan yang
efektif.) Pengobatan hampir selalu dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien secara dramatis.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang
adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Insomnia
merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Hipersomnia
adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan
terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan,
dan kondisi medis. Gangguan ini merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani
dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan
sehari-hari. Insomnia dan hipersomnia dapat ditatalaksana
dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung
pada jenis dan penyebab insomnia. Tatalaksana insomnia
secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti
mengatur jadwal tidur.
B. Saran
Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia dan hipersomnia di
Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran
insomnia dan hipersomnia di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Schenck,Carlos H. Mahowald,Mark.Sack,Robert.2003.Assesment
and Management of Insomnia. JAMA Vol 289.