Anda di halaman 1dari 45

Referat

GANGGUAN TIDUR

INSOMNIA DAN HIPERSOMNIA

Oleh:

Muflikha Sofiana Putri 1118011079

M. Mahardhika Malik 1118011081

Perceptor:

dr. Cahyaningsih Fibri Rokhmani, Sp.KJ, M.Kes

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan referat berjudul “Insomnia dan
Hipersomnia”. Adapun penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk
memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu
Penyakit Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada


dokter pembimbing yang telah bersedia memberikan bimbingan
dalam penyusunan referat ini, juga kepada semua pihak yang
telah turut serta dalam membantu penyusunan referat ini
sehingga dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunannya referat ini


masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik
dan saran demi penyempurnaan referat ini. Akhirnya semoga
laporan kasus ini dapat menambah wawasan dan bermanfaat
bagi kita semua

Bandar Lampung, Maret 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat
orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian
rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya. Masalah tidur
yang menyebabkan stres pribadi yang signifikan atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau peran lain
diklasifikasikan dalam sistem DSM sebagai gangguan tidur
(sleep disorder).

Gangguan tidur adalah salah satu gejala depresi yang termuat dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV).
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia dan
15% adalah hipersomnia. Gangguan tidur dapat disebabkan oleh banyak hal
atau bersifat holistik. Hal yang mempengaruhi adalah biopsikososial yaitu
dari faktor genetik, psikologis, dan lingkungan. Sehingga bisa dikatakan
penyebabnya sangat kompleks dan memerlukan investigasi yang cermat.

Gangguan tidur primer terdiri atas dissomnia dan parasomnia. Dissomnia


adalah suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen termasuk insomnia
primer, hipersomnia primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan
dengan pernafasan, dan gangguan tidur irama sirkadian. Parasomnia adalah
suatu kelompok gangguan tidur termasuk gangguan mimpi menakutkan
(nightmare disorder), gangguan teror tidur, dan gangguan tidur berjalan. Dari
gangguan tidur primer tersebut, yang berkaitan dengan usia lanjut adalah
insomnia dan hipersomnia primer.
Ganguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling
sering ditemukan pada penderita yang berkunjung ke
praktek. Gangguan tidur dapat dialami oleh semua lapisan
masyarakat baik kaya, miskin, berpendidikan tinggi dan
rendah maupun orang muda, serta yang paling sering
ditemukan pada usia lanjut. Pada orang normal, gangguan
tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan-
perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurun daya tahan
tubuh serta menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung,
depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang pada akhirnya
dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang
lain.

Diperkirakan jumlah penderita akibat gangguan tidur setiap


tahun semakin lama semakin meningkat sehingga
menimbulkan maslah kesehatan. Di dalam praktek sehari-
hari, kecendrungan untuk mempergunakan obat hipnotik,
tanpa menentukan lebih dahulu penyebab yang mendasari
penyakitnya, sehingga sering menimbulkan masalah yang
baru akibat penggunaan obat yang tidak adekuat. Melihat hal
diatas, jelas bahwa gangguan tidur merupakan masalah
kesehatan yang akan dihadapkan pada tahun-tahun yang
akan datang.

Gangguan tidur insomnia terjadi pada hampir 30-50% dari


seluruh populasi didunia. Dari kesemuanya itu sekitar 10%
mengalami insomnia kronis, yaitu gangguan tidur yang
terjadi sudah lama pada seseorang selama kurang lebih 3
minggu lebih, namun tidak terlalu mempengaruhi keadaan
seseorang tersebut. Sekitar sepertiga orang dewasa
mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di
antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.
Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah
episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup
mereka. Di Jepang dilaporkan 29% responden tidur kurang dari 6 jam, 23%
merasa kekurangan dalam jam tidur, 6% menggunakan obat tidur, 21%
memiliki prevalensi insomnia dan 15% yang mengalami kondisi mengantuk
yang parah pada siang harinya. Menurut studi epidemiologi dari insomnia,
chornic insomnia mengenai sekitar 9-12% populasi di dunia.Di Indonesia,
pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.

Insomnia kebanyakkan terjadi pada usia dewasa dan semakin


meningkat frekuensinya seiring bertambahnya usia dan
terjadi kebanyakkan pada wanita dibanding pria. Anak-
anakpun dapat terjadi insomnia namun kebanyakkan
insomnia yang terjadi pada anak-anak banyak disebabkan
oleh faktor organik ketimbang orang dewasa yang lebih
banyak disebabkan oleh faktor anorganik.
Selain insomnia, gangguan tidur yang juga banyak diderita
masyarakat adalah hypersomnia atau yang lebih dikenal dengan
EDS (Excessive Daytime Sleepines) yaitu suatu keadaan tidur dan serangan
tidur disiang hari yang berlebih yang terjadi secara teratur atau rekuren untuk
waktu singkat dan menyebabkan gangguan fungsi sosial dan pekerjaan.
Menurut National Sleep Foundation, sampai dengan 40% orang di Dunia
memiliki beberapa gejala hipersomnia dari waktu ke waktu. Penelitian
menunjukkan EDS berpengaruh besar pada kesehatan individu baik secara
fisik maupun metal dan juga berpengaruh luas pada keluarga , lingkungan
kerja dan bidang ekonomi. EDS berpengaruh pada hubungan antar individu
bahkan studi lain menyebutkan bahwa EDS menyebabkan masalah memori
konsentrasi, & perubahan mood. Gangguan tidur dapat menurunkan respon
imun, perubahan nafsu makan dan fungsi metabolic, berpegaruh pada fungsi
jantung dan berpotensi meningkatkan mortalitas. EDS disebutkan juga
berhubungan dengan depresi dan gangguan kecemasan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tidur
1. Definisi
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar di
mana seseorang dapat dibangunkan dengan pemberian
rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Tidur
tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses
deaktivasi Sistem Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf
pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di substansia
retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.

Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan


sinkronisasi terletak pada substansia ventrikulo retikularis
batang otak yang disebut sebagai pusat tidur (sleep
center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral
batang otak disebut sebagai pusat penggugah (arousal
center).
Fisiologi tidur dapat diterangkan melalui gambaran
aktivitas sel-sel otak selama tidur. Aktivitas tersebut dapat
direkam dalam alat EEG. Untuk merekam tidur, cara yang
dipakai adalah dengan EEG Polygraphy. Dengan cara ini
kita tidak saja merekam gambaran aktivitas sel otak
(EEG), tetapi juga merekam gerak bola mata (EOG) dan
tonus otot (EMG).5 Untuk EEG, elektroda hanya
ditempatkan pada dua daerah saja, yakni daerah
frontosentral dan oksipital. Gelombang Alfa paling jelas
terlihat di daerah frontal. dapatkan 4 jenis gelombang,
yaitu:
1. Gelombang Alfa, dengan frekuensi 8 - 12 Hz, dan
amplitude gelombang antara 10 - 15 mV. Gambaran
gelombang alfa yang terjelas didapat pada daerah
oksipital atau parietal. Pada keadaan mata tertutup dan
relaks, gelombang Alfa akan muncul, dan akan
menghilang sesaat kita membuka mata. Pada keadaan
mengantuk (drowsy) didapatkan gambaran yang jelas
yaitu kumparan tidur yang berupa gambaran waxing
dan gelombang Alfa.
2. Gelombang Beta, dengan frekuensi 14 Hz atau lebih,
dan amplitude gelombang kecil, rata-rata 25 mV.
Gambaran gelombang Beta yang terjelas didapat pada
daerah frontal. Gelombang ini merupakan gelombang
dominan pada keadaan jaga terutama bila mata
terbuka. Pada keadaan tidur REM juga muncul
gelombang Beta.
3. Gelombang Teta, dengan frekuensi antara 4 - 7 Hz,
dengan amplitudo gelombang bervariasi dan lokalisasi
juga bervariasi. Gelombang Teta dengan amplitudo
rendah tampak pada keadaan jaga pada anak-anak
sampai usia 25 tahun dan usia lanjut diatas 60 tahun.
Pada keadaan normal orang dewasa, gelombang teta
muncul pada keadaan tidur (stadium 1, 2, 3, 4).
4. Gelombang Delta, dengan frekuensi antara 0 - 3 Hz,
dengan amplitudo serta lokalisasi bervariasi. Pada
keadaan normal, gelombang Delta muncul pada
keadaan tidur (stadium 2, 3, 4). Dengan demikian
stadium-stadium tidur ditentukan oleh persentase dan
keempat gelombang ini dalam proporsi tertentu. Selain
itu juga ditunjang oleh gambaran dari EOG dan EMG
nya.

Tabel 1. Hipnogram orang normal.

Keterangan:
Dari gambaran EEG, EOG dan EMG sepanjang malam seorang dewasa
normal, dapat dibuat sebuah hipnogram yang melukiskan kualitas dan
kuantitas tidur orang tersebut. Pada kondisi normal, seorang dewasa
memasuki stadium 1 dan 2 dengan cepat dan mempunyai stadium tidur
dalam (stadium 3 dan 4) yang berkisar antara 70 - 100 menit. Setelah itu
timbullah stadium REM yang gambaran EEG nya mirip dengan stadium
tidur yang dangkal. Kejadian atau siklus ini berulang dengan interval
waktu 90 menit. Semakin mendekat ke pagi hari, tidur yang dalam
semakin berkurang dan tidur REM semakin bertambah. Dalam kondsi
normal, terjadi 4 – 6 kali periode tidur REM. Secara keseluruhan periode
tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan tidur. Pola hipnogram ini
dipengaruhi oleh usia. Pada anak-anak, stadium 3 dan 4 meliputi jumlah
yang lebih besar dari pada dewasa normal, dan makin berkurang lagi
pada usia lanjut.

2. Klasifikasi Tidur
Tidur dibagi menjadi dua tipe yaitu:
1. Tipe non rapid eye movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri
dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur
normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-6 kali siklus semalam. Fase tidur
NREM biasanya berlangsung antara 70 menit sampai
100 menit. Tidur NREM yang meliputi 75% dari
keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium,
antara lain:
a. Stadium Satu.
Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan
tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya
berlangsung 3-5 menit atau 5% dari keseluruhan
waktu tidur dan mudah sekali dibangunkan. Stadium
ini dianggap stadium tidur paling ringan. EEG
menggambarkan gambaran kumparan tidur yang
khas, bervoltase rendah, dengan frekuensi 3 sampai
7 siklus perdetik, yang disebut gelombang teta.
b. Stadium dua
Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti
bergerak, tonus otot masih berkurang. Stadium ini
berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan
waktu tidur. EEG menggambarkan gelombang yang
berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan
trifasik yang dikenal sebagai kompleks K. Pada
stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan
mudah.
c. Stadium tiga
Berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. EEG
menggambarkan gelombang bervoltase tinggi
dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik,
yaitu gelombang delta. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
d. Stadium empat
Berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur.
Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3
dengan perbedaan kuantitatif pada jumlah
gelombang delta. Stadium 3 dan 4 juga dikenal
dengan nama tidur dalam, atau delta sleep, atau
Slow Wave Sleep (SWS)
2. Tipe rapid eye movement (REM)
Selama tidur, episode tidur REM timbul secara periodik, meliputi
sekitar 25% dari seluruh masa tidur. Pada orang dewasa normal terjadi
setiap 90 menit. Tipe tidur ini tidak begitu tenang. Pola tidur REM
ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat
menceritakan mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki
terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang dalam.

B. Gangguan tidur
1. Definisi
Gangguan tidur adalah perubahan siklus tidur seseorang menjadi lebih
pendek atau bahkan lebih panjang yang mengakibatkan terganggunya
intensitas dan kualitas tidur seseorang. Hampir semua orang pernah
mengalami gangguan tidur selama masa hidupnya.
Menurut dr. Iskandar Japardi diperkirakan tiap tahun 20 %- 40 % orang
dewasa mengalami kesukaran tidur dan 17 % diantaranya mengalami
masalah serius. Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung
meningkat, hal ini juga sesuai dengan peningkatan usia dan berbagai
penyebabnya. Menurut data internasional dari gangguan tidur, prevalensi
penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma
(61-74%), gangguan pusat pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari
(16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki gelisah (5-15%),
ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-10%), depresi
(65%). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-5%),
gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus
(<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%).

2. Patofisiologi
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya
berhubungan dengan interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh
adalah bila dilakukan perangsangan daerah formasio retikularis akan
menyebabkan kondisi jaga/waspada pada hewan di laboratorium.
Sedangkan perusakan pada daerah itu menyebabkan hewan mengalami
kondisi koma menetap. Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas
retikular bekerjanya diatur oleh kontrol dan nukleus raphe dan locus
coeruleus. Di mana sel-sel dan nucleus raphe mensekresi serotonin dan
locus coeruleus mensekresi epinephrine. Jika nukleus raphe dirusak atau
sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak
tidur/berkurangnya jam tidur pada hewan percobaan yang mirip dengan
kejadian insomnia. Sedangkan bila locus coeruleus yang dirusak, akan
terjadi penurunan atau hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM
tak berubah. Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, agaknya
juga berhubungan dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang
menyebabkan mengapa kondisi ansietas dan gangguan emosi lainnnya
dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan insomnia.
Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya
perbedaan antara sukarelawan yang normal dengan penderita depresi dan
ansietas. Pada penderita depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang
bertambah atau dapat juga normal. Sedangkan REM Latency jelas
menjadi lebih pendek. Tidur Delta yang pada orang normal ditemukan
sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang. Hal
ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh tidurnya kurang pulas.
Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada sukarelawan normal yang
diberi rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak terbangun oleh hal
itu. Tetapi pada penderita depresi sangat mudah terbangun. Karena itu
penderita depresi mudah sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu di
dini hari, perubahan sinar dan suara-suara hewan di pagi hari. Pada fase
awal penyakit, penderita. depresi akan mengalami penurunan dari Tidur
REM nya sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu sedang
bermimpi.

Di laboratorium tidur, 85% dan mereka yang dibangunkan pada waktu


tidur REM, mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya
mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan sehingga mereka
terbangun karenanya. Dengan demikian tidur REM pun berkurang karena
seringnya terbangun di malam hari. Di samping itu, telah diterangkan
bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur REM lebih cepat
datangnya. Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus dibayar
kembali. Dengan begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan
mengalami tidur REM yang berlebihan, dan penderita akan lebih sering
terbangun dan bermimpi buruk. Jadi jelaslah mengapa di laboratorium
tidur, ditemukan gambaran hipnogram yang “acak-acakan” atau iregular
dari perpindahan satu stadium ke stadium yang lain pada penderita
depresi; dan sering terbangun di malam hari. Pada penderita ansietas, dan
hipnogram ditemukan Sleep Latency yang memanjang. Sedangkan REM
Latency dapat normal atau lebih panjang dari pada sukarelawan normal.
Berbeda dengan penderita depresi, pada penderita ansietas, tidur delta
biasanya normal (20-30%), sedangkan tidur REM menjadi bertambah,
terutama pada fase akhir dari tidur (di dini hari). Pada hipnogram juga
ditemukan adanya gambaran yang ireguler dari perpindahan satu stadium
tidur ke stadium tidur yang lain. Di bawah ini, digambarkan suatu skema
perbedaan dari insomnia karena kondisi depresi dan ansietas, dilihat dari
keluhan subyektif dan gambaran obyektif menurut hipnogramnya.

3. Klasifikasi
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III WHO (PPDGJ III), gangguan tidur secara garis besar dibagi
dua, yaitu dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu
kondisi psikogenik primer dengan ciri gangguan utama pada jumlah,
kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor emosional. Termasuk dalam
golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan gangguan
jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
masa tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror
tidur, dan mimpi buruk. Penggolongan gangguan tidur lain berdasarkan
PPDGJ III adalah gangguan tidur organik, gangguan nonpsikogenik
termasuk narkolepsi dan katapleksi, apne waktu tidur, gangguan
pergerakan episodik termasuk mioklonus nokturnal, dan enuresis.
a. Dissomnia
1. Gangguan tidur intrinsik
Narkolepsi, gerakan anggota gerak periodik, sindroma kaki
gelisah, obstruksi saluran nafas, hipoventilasi, post traumatik
kepala, tidur berlebihan (hipersomnia), idiopatik.
2. Gangguan tidur ekstrinsik
Tidur yang tidak sehat, lingkungan, perubahan posisi tidur, toksik,
ketergantungan alkohol, obat hipnotik atau stimulant.
3. Gangguan tidur irama sirkadian
Sindroma Jet- Lag, perubahan jadwal kerja, sindrom fase
terlambat tidur, sindrom fase tidur belum waktunya, bangun tidur
tidak teratur, tidak tidur selama 24 jam.
b. Parasomnia
1. Gangguan aurosal
Gangguan tidur berjalan, gangguan tidur teror, aurosal
konfusional.
2. Gangguan antara bangun-tidur
Gerak tiba-tiba, tidur berbicara, kramkaki, gangguan gerak
berirama.
3. Berhubungan dengan fase REM
Gangguan mimpi buruk, gangguan tingkah laku, gangguan sinus
arest.
4. Parasomnia lain-lainnya
Bruxism (otot rahang mengeram), mengompol, sukar menelan,
distonia parosismal.

c. Gangguan tidur berhubungan dengan gangguan kesehatan/psikiatri


1. Gangguan mental
Psikosis, anxietas, gangguan afektif, panik (nyeri hebat), alkohol.

2. Berhubungan dengan kondisi kesehatan


Penyakit degeneratif (demensia, parkinson, multiple sklerosis),
epilepsi, status epilepsi, nyeri kepala, post traumatik kepala,
stroke. Penyakit asma, penyakit jantung, ulkus peptikum, sindrom
fibrositis, refluks gastrointestinal, penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK).
d. Gangguan tidur yang tidak terklasifikasi
1. Dissomnia
Adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesukaran
untuk jatuh tidur (falling as sleep), mengalami gangguan selama
tidur (difficulty in staying as sleep), bangun terlalu dini atau
kombinasi diantaranya.

C. Insomnia
1. Definisi
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa
kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk itu. Gejala tersebut
biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun.
Insomnia sering disebabkan oleh adanya suatu penyakit
atau akibat adanya permasalahan psikologis. Dalam hal ini,
bantuan medis atau psikologis akan diperlukan. Dalam
beberapa literature lain insomnia memiliki gejala-gejala
yang meliputi:
1. Mempunyai masalah dalam tidur
2. Sering bangun pada malam hari dan kesulitan untuk
tidur kembali.
3. Bangun terlalu pagi hari.
4. Merasakan seperti tidak puas dalam tidur

Insomnia bisa menjadi suatu masalah yang berat bila


dapat menimbulkan gangguan dalam kehidupan
seseorang. Akut insomnia adalah salah satu yang dapat
menimbulkan gangguan dalam kwalitas hidup seseorang.
Akut insomnia dapat terjadi biasanya bila seseorang
mengalami stress berat atau setelah mengalami trauma
tertentu baik itu trauma yang bersifat fisik maupun trauma
batin dan biasanya berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Akut insomnia ini dapat terjadi sewaktu-
waktu dan dapat hilang sendiri. Sedangkan kronik
insomnia adalah bila gangguan tidur terjadi selama kurang
lebih 3 malam berturut-turut selama seminggu dalam
kurun waktu 1 bulan. Kronik insomnia biasanya diawali
dari akut insomnia dan biasanya sulit disembuhkan.

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan


dalam hal kesulitan untuk memulai atau mempertahankan
tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan
signifikan atau gangguan dalam fungsi individu. The
International Classification of Diseases mendefinisikan
Insomnia sebagai kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia
adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut.
Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa
kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia
bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang
memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,
kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat
mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana
hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
Ada 3 tipe insomnia, yaitu sulitnya memulai tidur, sulitnya tidur setelah
terbangun, dan tidur saat menjelang dini hari. Insomnia dapat terjadi 3
bulan atau lebih dari 3 bulan. Kekambuhan untuk insomnia adalah 2 atau
lebih septiap tahunnya. Insomnia merupkaan 3 kelompok besar pada
gangguan tidur dalam DSM bersamaan dengan hypersomnia dan arousal
disorder.

2. Klasifikasi
Insomnia dibagi menjadi 2 bagian yaitu primary insomnia dan
secondary insomnia.
1. Primary insomnia merupakan gangguan kekurangan tidur yang tidak ada
hubungannya dengan medis, psikis, dan lingkungan. insomnia atau susah
tidur ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita
insomnia. Pola tidur dan kebiasaan sebelum tidur seringkali menjadi
penyebab dari jenis insomnia primer ini.
2. Secondary insomnia biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya
kondisi medis. Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan
dementia dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari
10 orang. Selain itu masalah fisik seperti penyakit arthritis, diabetes dan
rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia sekunder ini dan
biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping
dari obat-obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan
obat-obatan yang terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini
dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita insomnia.

Peningkatan penyakit kronik pada pasien meningkatkan insiden dari


insomnia. Insomnia pada pasien berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas yang signifikan. Insomnia dapat menyebabkan atau
berkontribusi dalam gangguan neurokognitif dan gangguan prilaku.
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu
International code of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification
of Sleep Disorders (ISD). Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2
yaitu:
 Organik
 Non organik
o Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
o Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama
tidur seperti mimpu buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder.


Insomnia disini adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling
sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1 Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2 Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3 Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4 Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali
dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini
menetap dan diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang


direvisi,insomnia diklasifikasikan menjadi :
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia o childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

3. Etiologi
Menurut dr. Tom Roth, insomnia merupakan suatu kelainan
hyperarousal yang timbul 24 jam setiap harinya yang dapat disebabkan
oleh 3 hal, yaitu hiperaktivasi dari neurophysiologi dari nervus
simpatis, perubahan regulasi dari neuroendokrin yang mempengaruhi
arousal, kognitif atau kebiasaan seseorang yang berhubungan langsung
dengan tidur.
1. Stres
Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit
untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian
atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan
pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
2. Kecemasan dan depresi
Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam otak
atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
3. Obat-obatan
Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
4. Kafein, nikotin dan alkohol.
Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein adalah
stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat
membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih
dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
5. Kondisi Medis
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala
tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis,
kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux
disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit
Alzheimer.
6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja
Kelelahan akibat perjalanan jauh atau pergeseran waktu kerja dapat
menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh, sehingga sulit
untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal,
mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
7. 'Belajar' insomnia
Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak
bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik
ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau
ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka
menonton TV atau membaca.

Sebagian besar insomnia merupakan insomnia sekunder. Nyeri yang


berhubungan dengan gangguan musculoskeletal, termasuk arthritis,
merupakan gangguan tersering penyebab insomnia pada pasien.
Beberapa penyebab secondary insomnia yaitu:
1. Gangguan mental dan psikiatri
2. Keadaan medis umum, seperti arthritis, gagal jantung,
hipertiroidisme, atau gastroesophageal reflux.
3. Zat atau obat-obatan seperti alkohol, beta blocker,
bronchodilator, corticosteroid, decongestan, diuretic, SSRI,
levodopa, caffeine.
4. Gangguan irama sirkadian, seperti jet lag.
5. Disomnia, seperti sleep hygiene yang buruk, restless leg
syndrome (RLS) periodic limb movement disorder (PLMS), sleep
apnea

Penyebab lain insomnia sekunder adalah proses penuaan itu sendiri


(penurunan cadangan fisiologis, perubahan irama sirkadian), faktor
lingkungan (sering tinggal dirumah, sedikit terpapar sinar matahari),
faktor prilaku (sleep hygiene yang buruk, menurunnya aktivitas fisik),
faktor psikologis (pension, perubahan kehidupan sehari-hari dan
lingkungan sosial), faktor nutrisi (perubahan komposisi tubuh, seperti
peningkatan massa lemak, asupan alkohol dan caffeine) dan faktor
medis (penyakit yang mendasari, termasuk kondisi psikiatri dan
pengobatan).

4. Faktor Resiko Insomnia


Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada
malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi
pada:
a. Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia.
Perubahan hormon selama siklus menstruasi dan
menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan
hot flashes sering mengganggu tidur.
b. Usia lebih dari 60 tahun
Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
c. Memiliki gangguan kesehatan mental
Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan,
gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
d. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress
jangka panjang seperti kematian orang yang dikasihi
atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.
Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
e. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko
insomnia.

5. Diagnosis Insomnia
Diagnosis insomnia mencakup perjalanan tidur, histori medis dan
psikiatri. Anamnesis pada pasien harus mencangkup psikososial dan

psikiatri disamping keadaan medis. Pertanyaan dapat dimulai dari


gejala utama. Histori tidur dapat dimulai dari tinjauan kronologis dari
memulai untuk tidur, waktu dan onset, pengaruh pada kehidupan sehari-
hari, stressor yang dialami saat ini, aktivitas rutin pasien sehari-hari
serperti waktu bangun tidur, aktivitas setelah bangun, aktivitas sehari-
hari waktu tidur, aktivitas sebelum tidur. Histori dari keluarga,
penggunaan alkohol dan obat-obatan juga perlu ditanyakan. Untuk
membedakan primary insomnia dan comorbid insomnia, perlu
ditanyakan histori penyakit, dan penyakit yang sedang dialami saat ini.
Pertanyaan yang lain ditujukan kepada patner tidur pasien seperti
lingkungan tidur pasien, apakah pasien berhenti bernapas saat tidur,
apakah pasien mendengkur, apakah ada gerakan atau ditendang oleh
pasien.

Untuk mencapai kriteria diagnosis untuk insomnia secara umum, pasien


harus memiliki satu dari tiga kriteria dibawah:
1. Keluhan mengandung paling sedikit satu dari keluhan tidur dibawah
ini
 Kesulitan untuk memulai tidur
 Kesulitan untuk mempertahankan tidur
 Terbangun terlalu awal, atau
 Tidur tidak mengembalikan energi atau kualitas tidur buruk
2. Kesulitan tidur terjadi walaupun adanya kesempatan tidur dan keadaan
untuk tidur cukup memadai
3. Mengalami setidaknya satu dari beberapa bentuk gangguan di siang
hari yang berhubungan dengan kesulitan tidur: 13
 Kelelahan/ malaise
 Gangguan konsentrasi, perhatian, dan memori
 Disfungsi sosial
 Mengantuk di siang hari
 Berkurangnya energy / motivasi
 Kecenderungan untuk terjadi kesalahan/ kecelakaan pada saat kerja
atau mengemudi
 Tension headaches, dan gejala GI tract yang berhubungan dengan
kesulitan tidur, atau
 Keprihatinan atau kecemasan tentang tidur

Gejala dari insomnia (DSM – 5) (APA, 2013)


1. Ketidakpuasan dengan kualitas dan kuantitas dari tidur, dengan 1
atau lebih gejala yang mengikuti seperti sulit tidur, sulit
mempertahankan tidur atau sering terbangun, dan terbangun
menjelang dini hari.
2. Gangguan saat tidur yang disebabkan oleh stress atau gangguan di
sosial, tempat kerja, pendidikan, akademic, kebiasaan, atau yang
lainnya yang merupakan area yang memiliki fungsi yang penting.
3. Sulit tidur setidakny 3 malam setiap minggunya, selam 3 bulan
terakhir, dan disertai dengan tidur yang tidak adekuat
4. Insomnia tidak berhubungan dengan gangguan tidur yang lainnya
5. Insomnia tidak dijelaskan sebagia gangguan mental atau kondisi
medic

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

 Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan
tidur, atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal
1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang
berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang
siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi dalam sosial dan pekerjaan

 Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak


menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
 Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama
gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient
insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi
stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

6. Tatalaksana
Secara umum, langkah awal untuk mengatasi gangguan tidur akibat
kondisi medik atau psikiatrik adalah dengan mengoptimalkan terapi
terhadap penyakit yang mendasarinya. Cara farmakologik dan
nonfarmakologik diperlukan untuk terapi gangguan tidur, namun
penatalaksanaan utama umumnya mencakup aspek nonfarmakologik.
Pada beberapa gangguan tidur tertentu, dibutuhkan penanganan khusus.
Terapi insomnia terdiri dari:
a.
Terapi dari penyakit yang mendasari insomnia, jika ada
b.
Terapi Non-farmakologi seperti psikoterapi dan cognitive behavior
therapy (CBT)
c.
Terapi farmakologi, sedative-hypnotic agent

a Terapi penyakit dasar


Insomnia yang terjadi sering disebabkan oleh penyakit lainnya. Jika
ditemukan penyakit yang mendasari penyebab insomnia secara
jelas, lakukan terapi sesuai manajemen penyakit tersebut. Perhatikan
jika insomnia hilang setelah terapi. Jika tidak ada penyakit yang
mendasari, atau tidak ada perubahan setelah terapi, maka terapi
non-farmakologi dan terapi farmakologi diperlukan.
b Tatalaksana non farmakologik
 Terapi Tingkah Laku (Cognitive - behavioral theraphy).
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang
baru dan mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur.
Terapi tingkah laku ini umumnya direkomendasikan sebagai
terapi tahap pertama untuk penderita insomnia. Terapi tingkah
laku meliputi:
1. Terapi Sleep hygiene
2. Teknik Relaksasi, Meliputi merelaksasikan otot secara
progresif, membuat biofeedback, dan latihan pernapasan.
Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat
tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood. Terapi relaksasi
dan biofeedback merupakan terapi hipnosis diri,
relaksasi progresif, dan latihan nafas dalam sehingga
terjadi keadaan relaks cukup efektif untuk memperbaiki
tidur. Pasien membutuhkan latihan yang cukup dan
serius.
3. Terapi Kognitif, Meliputi merubah pola pikir dari
kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif.
Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap
muka atau dalam grup.
4. Restriksi Tidur, Terapi ini dimaksudkan untuk
mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang
dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
5. Kontrol Stimulus, Terapi ini dimaksudkan untuk
membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering
dikaitkan dengan kesulitan memulai atau jatuh tidur.
Sleep Restriction Therapy merupakan pembatasan waktu
di tempat tidur yang dapat membantu
mengkonsolidasikan tidur. Terapi ini bermanfaat untuk
pasien yang berbaring di tempat tidur tanpa bisa
tertidur.

Instruksi dalam terapi Stimulus - Kontrol:


1. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk
membaca, menonton televisi, makan atau bekerja.
2. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk.
Bila dalam waktu 20 menit di tempat tidur seseorang
tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan
pergi ke ruangan lain dan melakukan hal-hal yang
membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila
sudah merasa mengantuk kembali ke tempat tidur,
namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga
dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat
santai, dapat berulang dilakukan sampat seseorang
dapat tidur.
3. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa
mengindahkan berapa lama tidur pada malam
sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-
bangun (kontrol waktu).
4. Tidur siang harus dihindari. Higiene tidur bertujuan
untuk memberikan lingkungan dan kondisi yang
kondusif untuk tidur, dan merupakan aspek yang
mutlak dimanipulasi pada tatalaksana gangguan
tidur.

 Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
1. Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada
hari libur
2. Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
3. Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
4. Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
5. Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat,
membaca, latihan pernapasan atau beribadah
6. Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan
menyulitkan tidur pada malam hari.
7. Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur,
seperti menghindari kebisingan
8. Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20
hingga 30 menit setiap hari sekitar lima hingga enam
jam sebelum tidur.
9. Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
10. Menghindari makan besar sebelum tidur
11. Cek kesehatan secara rutin
12. Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik

c Terapi farmakologi
Jika tidak ada perkembangan insomnia setelah terapi non
farmakologi yang tepat, terapi sedatif-hypnotik harus diberikan.
Tetapi, pada pasien, pemberian obat- obatan menjadi perhatian
khusus karena fungsi tubuh yang sudah berkurang. Secara umum,
dalam memberikan obat kepada pasien, mengikuti aturan, “start
low, go slow”. Mulai pengobatan dengan tidak lebih dari setengah
dari dosis maksimum dewasa muda, tetapkan kadar dengan pelan,
dan resepkan obat hanya untuk jangka pendek. Karena jika
pemakaian lebih lanjut akan menyebabkan toleransi obat,
ketergantungan dan potensi dari gejala lepas obat. Pengobatan
insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Benzodiazepine merupakan obat hypnotik yang sering dipakai untuk


pasien. Benzodiazepine dapat dibagi menjadi 3 grup: long-acting,
intermediate-acting dan short-acting (table I). benzodiazepine
menekan stage 3,4 dan fase REM. Dan meningkatkan stage II. Secara
klinis, benzodiazepine mengurangi sleep latency dan tebangun di
malam hari. Tetapi harus diperhatikan dalam pemberian
benzodiazepine kepada pasien. Seiring bertambahnya usia, seseorang
semakin sensitif dari efek benzodiazepine pada central nervous
system (CNS) dan mudah terjadi efek samping.

P
ada pasien, pemberian obat long-acting benzodiazepine tidak
dianjurkan. Hal ini dikarenakan efek long-acting benzodiazepine
menyebabkan ngantuk di siang hari. Ini bisa meningkatkan resiko
jatuh dan kecelakaan menjadi lebih besar. Selain mengantuk, pasien
yang menggunakan long-action benzodiazepine bisa menyebabkan
postoperative confusion.

Agen terbaru non-benzodiazepine sekarang menjadi lebih popular


dan telah terlihat bahwa agen ini efektif dalam pengobatan insomnia
jangka pendek. Agen ini memiliki half-life relatif singkat, dan juga
memiliki potensi yang lebih rendah untuk memberi efek ngantuk di
siang hari. Beberapa contoh agen non-benzodiazepine antara lain
eszopiclone, zopiclone, zolpidem, ramelteon.

Eszopiclone merupakan salah satu agen non-benzodiazepine


sebagai pengobatan insomnia. Farmakodinamik dan mekanisme kerja
dari eszopiclone masih blum jelas. Efek eszopiclone dipercayai
hasil dari interaksi obat dengan reseptor GABA kompleks yang
dekat dengan, atau berpasangan dengan reseptor benzodiazepine.
Setelah eszopiclone terikat dengan reseptor GABA, terdapat
peningkatan transmisi chloride yang menekan central nervous system
(CNS), memperlambat aktivitas otak, dan menghasilkan efek sedasi.
Dan farmakokinetik dari obat ini, diserap secara cepat, dengan
konsentrasi puncak sekitar 1 jam. Metabolismenya melalui hati. Half
life dari eszopiclone ini kira-kira 6 jam.

Dosis
yang direkomendasikan untuk pasien yang memiliki keluhan
sulit tidur adalah 1 mg segera sebelum tidur. karena efek samping
obat dipengaruhi dari dosis yang diberikan, penting untuk melakukan
monitoring dosis pada pasien yang mungkin lebih sensitif dengan
obat sedative/hypnotic. Efek samping yang paling sering dari
eszopiclone ini adalah gangguan pengecap, sakit kepala, pusing dan
mulut kering. Untuk interaksi obat ini, belum ditemukan
contraindikasi pengunaan obat ini secara spesifik.

Salah satu agen sedatif lainnya adalah ramelteon. Ramelteon ini


bekerja melalui jalur non-GABA, yaitu melatonin reseptor
antagonist. Obat ini mungkin pilihan yang ideal untuk terapi
insomnia pada pasien. Khususnya insomnia dengan sleep apnea.
Ramelteon tidak meningkatkan keparahan dari sleep apnea pada kasus
sleep apnea ringan dan sedang. Ramelteon juga memiliki toleransi
yang bagus pada pasien dengan memiliki risiko yang relatif kecil
mengalami ganguan psikomotor yang dapat menyebabkan jatuh,
yang mana ini merupakan perhatian utama dalam pengobatan
dengan menggunakan benzodiazepine.
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
 Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
 Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-
insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting), Misalnya
pada gangguan anxietas
 Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit
masuk kembali ke proses tidur selanjutnya), Obat yang dibutuhkan
adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik),
Misalnya pada gangguan depresi
 Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting), Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

Pengaturan Dosis
 Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
 Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering
off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
 Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
 Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-
3 kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada
usia lanjut

Lama Pemberian
 Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja,
tidak lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil.
Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan
“Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
 Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping
Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur, Efek samping dapat
terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu
paruh) :
 Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala
rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi
panik
 Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih
ringan
 Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over” pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”

Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat


terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat
 Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan
potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
 Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic
microsomal enzyme atau “produce protein binding displacement”
sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi
medik tertentu.
 Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai
alkohol atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan
meningkat.

Perhatian Khusus
 Kontraindikasi :
- Sleep apneu syndrome
- Congestive Heart Failure
- Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko
menimbulkan “teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Juga benzodiazepine
dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi
SSP)

7. Komplikasi
Adapun komplikasi yang dapat ditimbulkan, sebagai berikut:
 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga
meningkatkan reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang,
contohnya tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

8. Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi
pada gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai
skizophrenia.

D. Hipersomnia
1. Definisi
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang adalah insomnia
dan 15% adalah hipersomnia. Hipersomnia adalah kebalikan dari
insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan terutama pada siang hari.
Gangguan ini dapat disebabkan oleh kondisi tertentu, seperti kerusakan
sistem saraf, gangguan pada hati atau ginjal, atau karena gangguan
metabolisme (misalnya: hipertiroidisme). Hipersomnia pada kondisi
tertentu dapat digunakan sebagai mekanisme koping untuk menghindari
tanggung jawab pada siang hari.

2. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya hypersomnia sendiri masih belum bisa dipastikan
namun beberapa teori dapat menjelaskan terjadi adanya hypersomnia
atau excessive Daytime Sleepiness :
1. EDS ditemukan pada pasien yang terinfeksi virus seperti Guillan
Barre Syndrome, hepatitis, mononucleosis, atypical viral
pneumonia,selain itu beberapa kasus yang bersifat genetic, EDS
berhubungan dengan genotype HLA-cw-2 da HLA-DR11. Namun
pada mayoritas pasien ditemukan dengan riwayat infeksi virus pada
keluaga atau riwayat penyakit dahulu pasien sendiri.
2. Pada penelitian yang dilakukan pada hewan, kerusakan neuron
nonadrenergik pada rostral ketiga dari locus cerleus complex
menyebabkan EDS. Trauma disebutkan memiliki hubungan pada
EDS, metabolit neurotransmitter pada pasen post traumatic EDS tidak
berbeda dengan pasien yang mengidap EDS dengan narkolepsi atau
pasien EDS lainnya. Kerusakan pada neuron adrenergic pada bundel
istmus berhubungan dengan peningkatan yang berarti pada tidur
NREM maupun REM
3. Penelitan menunjukkan pahwa disfungsi system dopamine dapat
terjadi pada pasien narcolepsy yang menyebabkan EDS, selain itu
malfungsi dari system norepeinefrin dapat menyebabkan primary
hypersomnia (EDS). Selain itu penurunan histamin pada CSF telah
dilaporkan pada hypersomnia primer dan narcolepsy namun tidak
pada non CNS hypersomnia, hal ini mengindikasikan histamine dapat
dijadikan indicator pembeda hypersomnia yang berasal dari CNS atau
perifer
4. Pada penelitian pada hewa coba, ditemukan gen yang berperan pada
patologi dari hypocretin/ ligand orexin dan reseptorya. Konsentrasi
hypocretin1 dan hypocretin-2 pada HLA DQB*0602 pada CSF juga
ditemukan pada hypersomnia primer dan akan mengganggu pada
transmisi hcrt-2 dan hal ini akan menimbulkan gangguan, karena
hypocretin peptide mengeksitasi system histaminergic melalui
receptor hypocretin 2, deficiency hypocretin dapat menyebabkan EDS
via penurunan fungsi histaminergic
5. Kekurangan vitamin D yang dapat menyebabkan buruknya kualitas
tidur dan menyebabkan EDS

3. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk hipersomnia primer adalah mengantuk
berlebihan di siang hari selama sekurangnya satu bulan seperti yang
ditunjukkan oleh episode tidur yang memanjang atau episode tidur siang
hari yang terjadi hampir setiap hari. Mengantuk berlebihan di siang hari
menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. Kriteria
diagnostik untuk insomnia dan hipersomnia yang berhubungan dengan
gangguan Aksis I, Aksis II atau Aksis III pada dasarnya sama dengan
gangguan tidur primer.

Gambaran Klinis :
a. Hipersomnia Non-organik
1. Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk diagnosis
pasti :
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya
serangan tidur/sleep attacks (tidak disebabkan oleh jumlah
tidur yang kurang), dan atau transisi yang memanjang dari
saat mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep
drunkenness).
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan
mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
c. Tidak ada gejala tambahan “narcolepsy” (catapelxy, sleep
paralysis, hypnagonic hallucination) atau bukti klinis untuk
“sleep apnoe” (nocturnal breath cessatin, typical
intermittent snoring sounds,etc)
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukkan gejala rasa kantuk pada sang hari.
2. Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari
gangguan jiwa lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosis
harus sesuai dengan gangguan yang mendasarinya. Diagnosis
hiersomnia psikogenik harus ditambahkan bila hipersomnia
merupakan keluhan yang dominan dari penderitaan dengan
gangguan jiwa lainnya.
b. Hipersomnia Primer
Hipersomnia primer terdapat pada 5% populasi dewasa, pria dan
wanita mempunyai kemungkinan sakit yang sama. Yang dimaksud
dengan hipersomnia primer adalah tidur yang berlebihan atau terjadi
serangan tidur ataupun perlambatan waktu bangun. Hipersomnia
mungkin merupakan akibat dari penyakit mental, penyakit organik
(termasuk obat-obatan) atau idiopatik. Gangguan ini merupakan
kebalikan dari insomnia. Seringkali penderita dianggap memiliki
gangguan jiwa atau malas. Penderita hipersomnia membutuhkan
waktu tidur lebih dari ukuran normal. Pasien biasanya akan tidur
siang sebanyak 1-2 kali per hari, dimana setiap waktu tidurnya
melebihi 1 jam. Meski banyak tidur, mereka selalu merasa letih dan
lesu sepanjang hari. Gangguan ini tidak terlalu serius dan dapat
diatasi sendiri oleh penderita dengan menerapkan prinsip-prinsip
manajemen diri. Polysomnography memperlihatkan penurunan
gelombang delta peningka-tan kesadaran, dan pengurangan masa
laten REM pada pasien dengan hipersomnia primer.

Kriteria Diagnostik untuk Hipersomnia Primer menurur DSM-


IV-TR:
a) Keluhan yang menonjol adalah mengantuk berlebihan di siang
hari selama sekurangnya satu bulan (atau lebih singkat jika
rekuren) seperti yang ditunjukkan oleh episode tidur yang
memanjang atau episode tidur siang hari yang terjadi hampir
setiap hari.
b) Mengantuk berlebihan di siang hari menyebabkan penderitaan
yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain.
c) Mengantuk berlebihan di siang hari tidak dapat diterangkan oleh
Insomnia dan tidak terjadi semata-mata selam perjalan gangguan
tidur lain (misalnya, narkolepsi, gangguan tidur berhubungan
pernafasan, gangguan tidur irama sirkadian, atau parasomnia)
dan tidak dapat diterangkan oleh jumlah tidur yang tidak
adekuat.
d) Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan
gangguan lain.
e) Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu
kondisi medis umum.
Dapat dikatakan bahwa penderita menarik diri kedalam tidur agar
tidak menghadapi secara sadar pengalaman-pengalaman yang
menyakitkan. Sering kebiasaan tidur menjadi terbalik, penderita tidur
nyenyak sepanjang pagi, perlahan-lahan terbangun pada sore hari
dan tidak mengantuk sewaktu orang pergi tidur. Jika sudah
hipersomnia menahun maka gejala klinis yang ditunjukkan adalah
tidur berlebihan waktu malam atau siang hari. Tidak terdapat gejala-
gejala narkolepsi, kebingungan sesudah tidur, kecepatan jantung dan
pernapasan bertambah dan kemungkinan terdapat depresi ataupun
terdapat kerusakan pada saraf pusat. Saat dilakukan pemeriksaan
EEG saat tidur hasilnya normal.

Kriteria klinis yang bisa menunjukkan diagnosis pasti dari


hipersomnia berdasarkan PPDGJ-III adalah:
1. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya
serangan tidur “sleep attack” (tidak disebabkan oleh jumlah
tidur yang kurang) dan atau transisi yang memanjang dari saat
mulai bangun tidur sampai sadar sepenuhnya (sleep
drunkenness).
2. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek,menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan.
3. Tidak ada gejala tambahan narkolepsi (cataplexy, sleep
paralysis, hypnagogic hallucination) atau bukti klinis untuk
“sleep apnoe” (nocturnal breath cessation, typical intermittent
snoring sound, dll)
4. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan
gejala rasa kantuk pada siang hari.

Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa
lain, misalnya gangguan afektif, maka diagnosis harus sesuai dengan
gangguan yang mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang dominan dari
penderita dengan gangguan jiwa lainnya.

4. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pasien harus kembali normal untuk tingkat
kewaspadaan. Hal ini berarti pasien harus merasa lebih baik dan tidak
memerlukan tidur siang. Pengobatan harus mencakup penggunaan obat
(diluar hipnosis) dengan penekanan pada pengelolaan non farmakologi.
obat stimulan, termasuk methylphenidate dan garam amfetamin,
umumnya sangat efektif. Efek samping yang timbul bervariasi yaitu
sakit kepala, sakit perut, penekanan nafsu makan dan lain-lain oleh
karena itu pilihan obat kedua yaitu modafinil dapat menjadi pilihan yang
efektif. Pasien yang mengalami kejang perlu evaluasi dan perawatan dari
tim neurologi. Pasien yang memiliki apnea saat tidur karena ada
obstruksi harus segera menjalani operasi atau menggunakan perangkat
untuk memberikan tekanan jalan nafas positif yang continuous. Pasien
dengan hipersomnia primer memerlukan obat perangsang atau modafinil.

Modafinil diberikan di pagi hari dan di siang hari. Dosis oral bervariasi
mulai dari 200-500 mg / hari sesuai dengan berat badan pasien dan
tingkat keparahan gejala. Kantuk di siang hari dan serangan tidur
dievaluasi dengan membandingkan data kebiasaan tidur sebelum dan
setelah pengobatan. Untuk evaluasi per hari perlu dilakukan analisis data
statistic yang benar untuk mengetahui keefektifan dari pengobatan.

Berdasarkan data statistic penelitian, 15 pasien dengan hipersomnia


idiopatik jumlah mengantuk dan episode tidur pada siang hari berkurang
secara signifikan oleh modafinil. Selama bulan kedua kantuk pengobatan
berkurang dari 3,33 ± 0,66 (mean ± SEM) untuk 1,33 ±0.34 episode per
hari (Student t test, p < 0,05) sedangkan episode tidur yang berkurang
dari 1.28±0,33 sampai 0,25±0,06 episode per hari (p<0,01). Ini
merupakan penurunan rata-rata dari 60% dan 80% masing-masing.

Peningkatan itu terlihat dari awal pengobatan tetapi tingkat tertinggi


signifikansi diperoleh pada bulan ke-2. Modafinil dihentikan setelah 6-
12 bulan pengobatan dan sudah tidak adanya gejala selama kurun waktu
tersebut, setidaknya satu tahun setelah penghentian pengobatan.

Untuk evaluasi bisa digunakan diary tidur seperti pada gambar dibawah
ini. Data tidur selama beberapa minggu dapat menyediakan informasi
tentang kebiasaan tidur pasien.
Gambar 1. Diary Tidur

5. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan hipersomnia adalah baik. Hal ini
karena diagnosis umumnya ditegakkan dengan tepat dan
pengobatan efektif yang tersedia (Pengecualian adalah sindrom
Kleine-Levin, yang tidak ada yang diketahui pengobatan yang
efektif.) Pengobatan hampir selalu dapat meningkatkan kualitas
hidup pasien secara dramatis.
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Gangguan tidur yang dialami pada sebagian besar orang
adalah insomnia dan 15% adalah hipersomnia. Insomnia
merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam
mempertahankan tidur, atau tidak cukup tidur. Hipersomnia
adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berkelebihan
terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan,
dan kondisi medis. Gangguan ini merupakan gangguan
fisiologis yang cukup serius, dimana apabila tidak ditangani
dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan kehidupan
sehari-hari. Insomnia dan hipersomnia dapat ditatalaksana
dengan cara farmakologi dan non farmakologi, bergantung
pada jenis dan penyebab insomnia. Tatalaksana insomnia
secara non farmakologis dapat berupa terapi tingkah laku dan
pengaturan gaya hidup dan pengobatan di rumah seperti
mengatur jadwal tidur.

Edukasi penting diberikan kepada pasien tentang sleep


hygiene yang baik dalam mengatasi berbagai gangguan tidur.
Penggunaan obat harus dibatasi dan diawasi dengan cermat,
mengingat efek samping yang dapat ditimbulkannya, oleh
karenanya penggunaan obat tersebut harus benar-benar
disesuaikan dengan kebutuhan individual dari pasien.

B. Saran
Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia dan hipersomnia di
Indonesia, maka diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran
insomnia dan hipersomnia di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Sleep Medicine (2005a). The International


Classification of Sleep Disorders: Diagnostic and Coding
Manual, 2nd edn Westchester, Ill. Amerika: American
Academy of Sleep Medicine; 2005.
American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International
Classification of Sleep Disorders. American Academy of
Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual . Diagnostik
dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American
Academy of Sleep Medicine; 2005:1-32.
American Academy of Sleep Medicine. The international
classification of sleep disorders: diagnostic - coding
manual. 2nd ed. Westchester, IL: American Academy of
Sleep Medicine; 2005.
American Psychiatric Association. Primary hypersomnia. In:
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Text
Revision (DSM-IV-TR). 4th Edition. Washington, DC:
American Psychiatric Association; 2000:604-9.Available
from : http://www.medicinenet.com/depression/article.htm
Avidan , AY. Narcolepsy and idiopathic hypersomnia. ACCP sleep
medicine board review course 2008
Carskadon M, Dement W, Mitler M, Roth T, Westbrook P, Keenan
S. Guidelines for the Multiple Sleep Latency Test (MSLT): a
standard measure of sleepiness. Sleep. 1986; 9: 519–524.
Christina S McCrae, Amanda Ross, Ashley Stripling, Natalie
D Dautovich. Eszopiclone for Late-life Insomnia. Clinical
Interventions in Aging. 2007;2(3):313-326
Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders And Sleep
Deprivation: An Unmet Public Health Problem. National
Academy Of Sciences : Washington, Dc
Corson, Richard. Excessive Daytime Sleepiness: overview of
diagnosis and Treatment. Perspectives. 2009: volume
8( 1);10-13
Daniel J. Taylor, Kenneth L. Lichstein, H. Heith Durrence, Brant W.
Reidel, Andrew J. Bush. Epidemiology of Insomnia,
Depression, and Anxiety. Sleep. 2005;28:1457-1464
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fouth
Edition (DSM-IV). Washington DC. American Psychiatric
Association, 1994.
Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.
London: Oxford University Press
Guillemiault C, Brooks SN. Invited review: Excessibe daytime
sleepiness a challenge for practising neurologist. Brian
(2001), 124, 1482-1491
Guillemiault C, Brooks SN. Invited review: Excessibe daytime
sleepiness a challenge for practising neurologist. Brian
(2001), 124, 1482-1491
Haponik EF. Disorder Sleep in the Elderly dalam Principles of
Geriatric Medicine and Gerontology. Mc Graw-Hill Inc. 1990.
p. 1109-22.
Hazzard. 2009. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology 6th
ed. New York: McGraw-Hill.
Iskandar Y. Insomnia dan Depresi Dalam: Psikiatri Biologik Vol. II,
ed. Yul Iskandar dan R. Kusumanto Setyonegoro, Yayasan
Dharma Graha, Jakarta, 1985.
John Garcia, M.D. Volume 19, Number 3 2010. Diagnosing and
Treating Hypersomnia in Youth Sleep Disorders Are
Common in People Who Have Disabilities. Gillette
Children’s Specialty Healthcare
John Garcia, M.D. Volume 19, Number 3 2010. Diagnosing and
Treating Hypersomnia in Youth Sleep Disorders Are
Common in People Who Have Disabilities. Gillette
Children’s Specialty Healthcare
Johns M. A new method for measuring daytime sleepiness: the
Epworth sleepiness scale. Sleep. 1991; 14: 540–545.
Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis
Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara
Publisher
Liu. X. Sleep Loss and Day Time Sleepiness in the General Adult
Population of Japan. Psychiatric Research. 2000; 93: 1-11
Maramis, WF, Maramis, AA, 2009. Ilmu kedokteran Jiwa Edisi
2.Surabaya: Airlangga University Press. Hlm 399-406.
Marjdono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Edisi ke-11. Dian
Rakyat:Jakarta ; 1988 ; P. 183-92
Maslim R, 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ-III. Jakarta: Nuh
Jaya
Maslim R. Diagnosa Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK UNIKA Atma Jaya;
2001.
Mc Carty et al, Vitamin D, race, and Excessive Daytime Sleeping.
Journal of clinical Sleep Medicine, vol 8, No.6, 2012
Moynihan SH, Marks J. Insomnia, Management in Good Medical
Practice,
Editiones, Roche, Basle, 1988.
Norman Wolkove, Osama Elkholy, Marc Baltzan, Mark
Palayew. Sleep and aging: 2. Management of sleep
disorder. CMAJ. 2007;176:1449-1454
Pagel JS. Excessive Daytime Sleepiness. Issues of American
Family Physician 2009: volume 79 (5).
Parmet, Sharon. L, Casio G, R. 2003. Insomnia. J American Med
Association. 2003; 289 (19)
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan;
Konsep, Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Prasadja A. Ayo Bangun. Jakarta selatan: PT. Mizan Publika; 2009.
Preda A. Primary Hypersomnia. May 14, 2012 [cited Sept 12,
2014]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/291699-overview
Preda, Adrian. Primary hypersomnia. http://emedicine.
medscape.com/ article/ 291699. Press; 2003. p.128
Purwanto S. Mengatasi Insomnia Dengan Terapi Relaksasi. Jurnal
Kesehatan. 2008 Dec; I (2): 141-148
Robert L. Rider. Sleep Physiology and Executive Function during
Chronic Partial Sleep restriction. Thesis Drexel University.
2008 :1-73
Roth T, Schwartz J, Hirshkowitz M, Erman M, Dayno J, Arora S.
Evaluation of the safety of modafinil for treatment of
excessive sleepiness. J Clin Sleep Med. 2007; 3: 595–602.
Suroto. Cara Mengendalikan Stres. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press. 2001

Schenck,Carlos H. Mahowald,Mark.Sack,Robert.2003.Assesment
and Management of Insomnia. JAMA Vol 289.

Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi. Insomnia in cs. Acta Med


Indones- Indones I Intern Med.2005;37:224-229
Sleep disorders. Available from URL :
http://www.hsta.nlm.nih.gov/hq /Hqueats/screen/
TextBrowse/55779.
Sleep Disorders: Sleep and Depression. California. Michael J.
Breus, PhD, 2004.
Stores G. Introduction to sleep-wake disorders. In: Gelder MG,
Lopez-Ibor JJ, Andreasen N. New Oxford Textbook of
Psychiatry. Oxford: Oxford University
Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Tom, R. 2013. New Direction in the Management of Insomnia,
Balancing Pathophysiology and Therapeutics. Medical
Econimics.
Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
Wilfred R. Pigeon. Diagnosis, Prevalence, Pathways
Consequences and Treatment of Insomnia. Indian J Med
Res. 2010;131:321-332

Anda mungkin juga menyukai