Disusun oleh:
Nadya Izzaty Away
Nur Sulmi
Putri Chairunnisa
Putri Maulida Sari
Quratul Aini
Syahputri
Tari Meutia Ulba
Pembimbing:
dr. Zulfa Zahara, Sp.KJ
Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan berkah dan
anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“INSOMNIA”. Shalawat berangkaikan salam kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membawa perubahan besar dalam kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan
kebodohan menuju zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini ditulis untuk melengkapi tugas-tugas penulis dalam menjalankan
klinik kepaniteraan senior di bagian Family Medicine Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala.
Dalam penulisan dan penyusunan laporan kasus ini penulis telah banyak mendapatkan
bantuan dan bimbingan dari dr. Zulfa Zahra, Sp.KJ selaku pembimbing laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya laporan kasus ini masih sangat banyak kekurangan maka
untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran agar
laporan kasus ini dapat menjadi lebih baik di kemudian hari.
Penulis juga berharap penyusunan laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis
sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya laporan kasus ini diharapkan dapat
menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu, serta menjadi inspirasi untuk menciptakan
karya yang lebih baik lagi kedepannya.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberkati dan melimpahkan
rahmat serta karunianya kepada kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur
atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut biasanya
diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga
orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam
setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95%
orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama
hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan
penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti
pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau
individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang
ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan
dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian atau penyakit)
atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang
berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan
psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari untuk insomnia.
Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh mengantuk di
siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan konsentrasi yang buruk.
Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak
mendapatkan tidur cukup, pasien dengan insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur
bahkan untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya
kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes,
arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih
tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis
dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan
obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau
kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan
penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu
kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah
morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fisiologi Tidur
Tidur merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia yang memiliki fungsi perbaikan
dan homeostatik (mengembalikan keseimbangan fungsi-fungsi normal tubuh) serta penting
pula dalam pengaturan suhu dan cadangan energi normal. Rasa kantuk berkaitan erat dengan
hipotalamus dalam otak. Dalam keadaan badan segar dan normal, hipotalamus ini bekerja
baik sehingga mampu memberi respon normal terhadap perubahan tubuh maupun
lingkungannya. Namun, setelah badan lelah usai bekerja keras seharian, ditambah jam rutin
tidur serta sesuatu yang bersifat menenangkan di sekelilingnya, seperti suara burung
berkicau, angin semilir, kasur dan bantal empuk, udara nyaman, dll., kemampuan merespon
tadi berkurang sehingga menyebabkan seseorang mengantuk. Disini yang berperan adalah
suatu zat yang disebut GABA (Gamma Aminobutyric Acid), merupakan asam amino yang
berfungsi sebagai neurotransmiter (penghantar sinyal saraf).
Sebenarnya tidur tidak sekedar mengistirahatkan tubuh, tapi juga mengistirahatkan otak,
khususnya serebral korteks, yakni bagian otak terpenting atau fungsi mental tertinggi, yang
digunakan untuk mengingat, memvisualkan, serta membayangkan, menilai dan memberikan
alasan sesuatu.
Dikatakan sehat dan normal bila begitu naik ke atas tempat tidur dengan tatanan rapi,
bantal enak dan empuk, kurang lebih selang 30 menit sudah tertidur, bahkan ada orang begitu
mencium bantal dalam 3-5 menit langsung tertidur. Salah satu kriteria yang digunakan adalah
“Siklus Kleitman”, yang terdiri dari aktivitas bangun / aktivitas harian dan siklus tidur yang
juga dikenal sebagai activity / rest cycle. Siklus ini terdiri dari Rapid Eye Movement (REM)
dan Non-Rapid Eye Movement (NREM). Sebenarnya bentuk pola tidur dapat dibedakan
dengan memperhatikan pergerakan bola mata yang dimonitor selama fase tidur. Secara
obyektif, EEG dapat digunakan untuk mencatat fase REM maupun NREM selama tidur.
Tidur yang dipengaruhi oleh NREM ditandai dengan gelombang EEG yang bervoltase tinggi
tetapi berfrekuensi rendah, sedangkan tidur yang dipengaruhi oleh REM ditandai oleh
gambaran EEG yang berfrekuensi tinggi tetapi bervoltase rendah.
Siklus dari Kleitman akan berulang selama periode tidur setiap pengulangan diserati
dengan pemendekan fase 3-4 dari NREM yang disebut SWS (Slow Wave Sleep) sedangkan
lama REM lebih panjang. Kenyenyakan tidur sebenarnya tergantung pada lamanya fase-fase
yang dilalui dari fase pertama sampai fase empat dari NREM. Sedangkan fase ini berjalan
cepat, maka orang itu belum tidur nyenyak.
Pada usia lanjut, jumlah tidur yang dibutuhkan setiapa hari akan makin berkurang dan
disertai fragmen-fragmen tidur yang banyak sehingga jumlah SWS makin berkurang dan ini
menunjukkan bahwa mereka mengalami masa tidur yang tidak terlalu nyenyak.
Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:
1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase
REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7
kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 16 20jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari,
kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari
pada orang dewasa.
Tahap tidur normal orang dewasa adalah sebagai berikut :
Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata menutup. Fase ini
ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot
meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada fase
mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.
Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM. Stadium 1 NREM
adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur.
Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang
dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah,
frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,
berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah dibangunkan dan bila
terbangun merasa seperti setengah tidur.
Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta,
voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah
gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu
gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-
3 siklus per menit, aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan
tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal.
Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik,
amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot meningkat tetapi tidak ada
gerakan bola mata.
Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4 sulit dibedakan.
Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4
disebut juga tidur gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar
10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah
malam.
Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur.
REM ditandai dengan rekaman EEG yang menyerupai tahap pertama, yang terjadi
bersamaan dengan gerak bola mata yang cepat dan penurunan level muscle tone. Periode
REM akan disertai dengan frekuensi pernafasan dan frekuensi jantung yang berfluktuasi.
Periode ini dikenal sebagai desynchronized sleep.
Pada orang dewasa muda normal periode tidur NREM berakhir kira-kira 90 menit
sebelum periode pertama REM, periode ini dikenal sebagai periode REM laten. Rangkaian
dari tahap tidur selama tahap awal siklus adalah sebagai berikut : NREM tahap 1,2,3,4,3, dan
2; kemudian terjadi periode REM. Jumlah siklus REM bervariasi dari 4 sampai 6 tiap
malamnya, tergantung pada lamanya tidur.
Siklus tidur lebih pendek pada bayi dibandingkan pada orang dewasa. Periode REM
pada bayi berkisar antara 50-60 menit pada awalnya, yang lama-kelamaan akan meningkat.
Siklus tidur dewasa berlangsung 70-100 menit selama masa remaja.
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk / tidur. Bila serotonin dari trypthopan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur / jaga. Menurut beberapa
peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis
di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis
dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
• Sistem Kholinergik
• Sistem histaminergik
• Sistem hormone
Beberapa orang secara normal adalah petidur yang normal yang memerlukan tidur
kurang dari enam jam setiap malam dan yang berfungsi secara adekuat. Petidur lama
adalah mereka yang tidur lebih dari sembilan jam setiap malamnya untuk dapat berfungsi
secara adekuat.
Tidur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud
disini adalah irama biologis tubuh, dimana dalam periode 24 jam, orang dewasa tidur
sekali, kadang 2 kali. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh siklus terang gelap,
rutinitas harian, periode makan, dan penyelaras eksternal lainnya. Faktor-faktor inilah
yang membentuk siklus 24 jam.
Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya
satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi individu.
The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan
memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama
minimal satu bulan. Menurut The International Classification of Sleep Disorders,
insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak
nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur
berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada
kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu
gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan
suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.
Gangguan insomnia biasa terjadi sebelum seseorang berusia 40 tahun tetapi prevalensi
tertinggi dijumpai pada usia di atas 65 tahun. Insomnia dapat disebabkan oleh gangguan
mental lainnya, penyakit organik atau akibat penggunaan obat tertentu (insomnia
sekunder) atau mungkin idiopatik (insomnia primer).
Insomnia primer, yaitu insomnia menahun dengan sedikit atau sama sekali
tidak berhubungan dengan berbagai stres maupun kejadian.
Insomnia sekunder, yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh nyeri,
kecemasan obat, depresi, atau stres yang hebat.
Insomnia primer cirinya ditandai dengan adanya kesulitan dalam memulai atau
mempertahankan tidur atau non restoratif atau tidur tidak nyenyak selama 1 bulan dan
tidak disebabkan oleh gangguan mental, keadaan medikal umum, dan penggunaan zat.
Insomnia sering terjadi di masyarakat umum dan lebih sering terjadi pada pasien yang
mengalami gangguan kejiwaan; meskipun hanya sedikit jumlah orang-orang dengan
insomnia yang berkonsultasi ke dokter. Kesulitan tidur lebih sering terjadi pada orang tua,
wanita, individu dengan pendidikan rendah dan status ekonomi rendah, dan orang-orang
dengan masalah medis kronis.
Transient insomnia sering terjadi pada orang yang biasanya tidur normal. Bentuk
insomnia ini terjadi bersamaan dengan adanya stres piskologis akut, seperti saat
kehilangan. Keadaan ini cenderung untuk sembuh sendiri.
Insomnia kronis adalah kesulitan tidur yang dialami hampir setiap malam selama
sebulan atau lebih. Salah satu penyebab kronik insomnia yang paling umum adalah
depresi. Penyebab lainnya adalah arthritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea,
sindrom restless legs, parkinson, dan hypertyroidism. Namun demikian, insomnia kronis
bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku, termasuk penyalahgunaan kafein, alkohol, dan
substansi lain, siklus tidur/bangun yang disebabkan oleh kerja lembur dan kegiatan malam
hari lainnya, dan stres kronik.
Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang
direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
k. Physiologic Insomnia
2.4 Tanda dan Gejala Insomnia
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:
2.7 Diagnosis
Pada pasien dengan insomnia primer harus diperiksa riwayat medis dan psikiatrinya.
Riwayat medis harus dinilai secara seksama, mengenai riwayat penggunaan obat dan
pengobatan.
Banyak aspek dari program yang mungkin akan menyulitkan pasien. Meskipun
demikian, cukup banyak pasien yang termotivasi untuk meningkatkan fungsinya dengan
cara melakukan pengukuran ini.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan,
oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria
di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan
dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)
Kriteria Diagnostik untuk Insomnia Primer menurut DSM-IV-TR
A. Keluhan yang menonjol adalah kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur,
atau tidur yang tidak menyegarkan, selama sekurangnya satu bulan.
B. Gangguan tidur (atau kelelahan siang hari yang menyertai) menyebabkan penderitaan
yang bermakana secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
C. Gangguan tidur tidak terjadi semata-mata selama perjalanan narkolepsi, gangguan
tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur irama sirkadian, atau parasomnia.
1. Non Farmakoterapi
a.Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan
cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya
direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi
- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang
positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang
dapat membuat lelah pada malam berikutnya.
b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau
beribadah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam
hari.
Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar
lima hingga enam jam sebelum tidur.
Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
Menghindari makan besar sebelum tidur
Cek kesehatan secara rutin
Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik Menyiapkan suasana nyaman pada kamar
untuk tidur, seperti menghindari kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar
lima hingga enam jam sebelum tidur.
Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
Menghindari makan besar sebelum tidur
Cek kesehatan secara rutin
Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesic
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan yaitu
benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :
- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan
benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietaS
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-Insomnia”, yaitu
golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu
golongan phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.
Pengaturan Dosis
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur.
Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
3.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan
lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia
19
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Data Administrasi
19
d. Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal yang sama dengan
pasien.
20
2. Pemeriksaan Fisik
b. Status Generalis
Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
THT : dalam batas normal
Paru : simetris, vesikuler (normal/normal), rhonki
(-/-),wheezing (-/-)
Jantung : BJ I> BJ II, bising jantung (-)
Ekstremitas : sianosis perifer (-/-), CRT < 2 detik
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), striae (-)
Auskultasi : peristaltik dbn
Palpasi : pembesaran organ (-), undulasi (-), nyeri
tekan (-)
Perkusi : dalam batas normal
1. Aspek Personal
Pasien keluhkan sulit untuk tidur terutama saat malam hari
2. Aspek Klinik
Diagnosa klinis (biologis) : Insomnia
21
5. Derajat Fungsional
Derajat (1) dimana pasien tidak mengalami kesulitan saat bekerja dan
duduk dan berjalan.
1. Health promotion
Pasien dihimbau untuk menerapkan sleep hygiene seperti jangan
menggunakan tempat tidur selain untuk tidur seperti makan minum
dan nonton TV di atas tempat tidur, sebelum tidur makan 4 jam
sebelum masuk waktu untuk tidur, usahakan pasien untuk tidak
tidur pada siang hari, cari kegiatan yang membuat pasien
merasakan relaksasi, buat suasana kamar senyaman mungkin.
Anjurkan untuk melakukan aktifitas fisik seperti olahraga minimal
3x seminggu.
2. Spesific Protection
Pasien saat ini tidak perlu dilakukan spesific protection pada pasien
3. Promt treatment
4. Disability limitation
Pasien tidak mengalami disability limitation
5. Rehabilitation
Pada pasien ini belum perlu dilakukan rehabilitasi.
22
GENOGRAM Tn.MD
AYAH IBU A
Tn. MI Ny.E
Tn. MDS, 13 th
Keterangan:
:Laki-laki hidup
23
24
BAB IV
PEMBAHASAN
24
25
BAB IV
KESIMPULAN
obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis,
aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
DAFTAR PUSTAKA