Anda di halaman 1dari 32

KEPERAWATAN FISIK PADA LANSIA

Dosen Pembimbing :

Nur Hasanah, SKM.M.Kes

Disusun Oleh :

1. Ika Aprilia Damayati P27820117044 6. Rusydianti M. P27820117060


2. Erwina Nur Arifa P27820117049 7. Makkatul Hikmah P27820117062
3. Sukma Amalia K. P27820117050 8. Reva Mawanda P. P27820117065
4. Fatkhiyatur Rahma P27820117053 9. Intan Trianggriawarni P27820117077
5. Niswa Aulia Nurbaiti P27820117058

2 REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA

JURUSAN KEPERAWATAN

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan karuniaNya, sehingga mendapat petunjuk dan kesabaran dalam menyelesaikan
tugas makalah ini. Tidak lupa shalawat dan salam semoga Allah SWT curahkan selalu kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju
alam yang diridhoiNya.

Makalah ini berisi sedikit pengetahuan tentang Keperawatan Fisik Pada Lansia yang
nantinya diharap dapat menambah pengetahuan pembaca. Selama pembuatan makalah ini,
telah banyak arahan dan petunjuk yang didapat dari dosen pengajar mata Kuliah Keperawatan
Gerontik. Namun dalam makalah ini, mungkin jauh dari apa yang dinamakan sempurna
karena masih dalam tahap belajar. Oleh sebab itu, dengan senang hati atas saran dan kritiknya
untuk disusun selanjutnya. Demikianlah makalah sederhana ini disusun, mudah-mudahan
bermanfaat bagi kita semua.

Surabaya, 21 Juli 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap manusia pasti mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan dari bayi
sampai menjadi tua. Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimana pada
manusia seseorang mengalami kemunduruan fisik, mental dan social sedikit demi sedikit
sehingga tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari lagi. Lansia banyak menghadapi
berbagai masalah kesehatan yang perlu penangan segera dan terintegrasi.

Lansia atau lanjut usia adalah periode dimana manusia telah mencapai kemasakan
dalam ukuran dan fungsi. Selain itu, lansia juga masa dimana seseorang akan mengalami
kemunduran dengan sejalannya waktu. Ada beberapa pendapat mengenai usia seorang
dianggap memasuki masa lansia, yaitu ada yang menetapkan pada umur 60 tahun, 65 tahun,
dan ada juga yang 70 tahun. Tetapi Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan bahwa umur
65 tahun, sebagai usia yang menunjukkan seseorang telah mengalami proses menua yang
berlangsung secara nyata dan seseorang itu telah disebut lansia.

Secara umum orang lanjut usia dalam meniti kehidupannya dapat dikategorikan dalam
dua macam sikap. Pertama, masa tua akan diterima dengan wajar melalui kesadaran yang
mendalam, sedangkan yang kedua, manusia usia lanjut dalam menyikapi hidupnya cenderung
menolak datangnya masa tua, kelompok ini tidak mau menerima realitas yang ada (Hurlock,
1996 : 439)

Usia lanjut atau lansia kadang memiliki masalah dalam kebutuhannya. Kebutuhan
lansia juga termasuk istirahat atau tidur, mobilisasi dan juga seksual. Pada usia lansia
memiliki berapa perubahan pada masalah tersebut. Oleh sebab itu dalam makalah ini
nantinya kami akan membahas tentang kebutuhan tidur atau istirahat, mobilisasi dan seksual
pada lansia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakan kebutuhan tidur dan istirahat pada lansia?
2. Bagaimanakan kebutuhan aktifitas dan latian pada lansia dengan masalah perubahan
mobilisasi fisik?
3. Bagaimanakah proses keperawatan kebutuhan seksual pada lansia?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah kebutuhan tidur dan
istirahat?
5. Bagaiamana asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah mobilisasi fisik?
6. Bagaiamna asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah kebutuhan seksual?

1.3 Tujuan
1. Memahami kebutuhan tidur dan istirahat lansia
2. Memahami kebutuhan aktifitas dan latihan pada lansia
3. Mengetahui proses keperawatan kebutuhan seksual lansia
4. Mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah kebutuhan tidur dan
istirahat
5. Mengetahui asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah mobilisasi fisik
6. Menegtahui asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah kebutuhan seksual
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KEBUTUHAN TIDUR DAN ISTIRAHAT PADA LANSIA

A. Pola Tidur Pada Lansia


Tidur yang normal terdiri atas komponen gerakan bola mata cepat(rapid eye
movement, REM) dan non REM. Tidur non REM dibagi menjadi empat tahap: pada
tahap 1, jatuh tertidur, orang tersebut mudah dibangunkan dan tidak menyadari ia
telah tertidur. Kedutan atau sentakan otot menandakan relaksasi selama tahap ini.
Pada tahap 2 dan 3, meliputi tidur dalam yang progresif. Pada tahap 4, tingkat
terdalam, sulit untuk dibangunkan.
Tidur tahap 4 sangat penting untuk menjaga kesehatan fisik. Tahap ini sangat
jelas terlihat menurun pada lansia, tetapi mereka belum mengetahui akibat dari
penurunan ini. Pola tidur pada lansia ditandai dengan sering terbangun, penurunan
tahap 3 dan 4 waktu non-REM, lebih banyak terbangun pada malam hari disbanding
tidur, dan lebih banyak tidur selama siang hari. Tidur siang hari dapat mengurangi
waktu dan kualitas tidur di malam hari pada beberapa lansia.
Dari tahap 4, orang tersebut berlanjut ke tidur REM. Tidur REM terjadi
beberapa kali dalam siklus tidur dimalam hari tetapi lebih sering terjadi pagi hari
sekali. Pada tidur REM, aktifitas dan tanda-tanda vital mengalami akselerasi, yang
menyebabkan peningkatan kesenangan dan pelepasan ketegangan yang
dimanifestasikan dengan tersentak dan berbalik, kedutan otot, dan peningkatan
frekuensi pernafasan, frekuensi jantung, dan tekanan darah. Tidur REM membantu
melepaskan ketegangan dan membantu metabolisme system saraf pusat. Kekurangan
tidur REM telah terbukti menyebabkan iritasi dan kecemasan.

B. Gangguan Pola Tidur Pada Lansia


Manfaat istirahat dan tidur dalam menjaga kesehatan fisik pada lansia sering
kali disepelekan dan diabaikan, terutama di lingkungan lembaga tempat rutinitas
sangat penting. Istirahat dan tidur menjalankan sebuah fungsi pemulihan baik secara
fisiolofis maupun psikologis. Secara fisiologis, tidur mengistirahatkan organ tubuh,
menyimpan energi, menjaga irama bilogis, dan memperbaiki kesadaran mental dan
efisiensi neurologis. Secara psikologis, tidur mengurangi ketegangan dan
meningkatkan perasaan sejahtera.
Fungsi pemeliharaan ini sangat penting untuk lansia, yang memerlukan lebih
banyak waktu untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan Lansia yang waktu
tidurnya terganggu menjadi lebih lupa, disorientasi, atau konfusi; orang yang
mengalami kerusakan kognitif menujukkan peningkatan kegelisahan, perilaku
keluyuran, dan “sindrom” dan “sundowning” (konfusi, agiatasi dan perilaku
terganggu selama sore menjelang senja dan jam awal malam).
Kualitas tidur dapat dipengaruhi oleh perubahan terkait usia, konsumsi banyak
obat dan gangguan organik dan mental.

C. Mengatasi Gangguan Tidur


Kesulitan untuk tidur dan tetap tertidur adalah masalah yang sering terjadi pada
lansia, baik lansia yang tinggal di rumah atau di panti jompo. Jika pasien anda
memiliki masalah tidur, anjurkan untuk:
1. Mempertahankan jadwal harian yang sama untuk berjalan-jalan, istirahat dan
tidur.
2. Bangun di waktu biasanya ia bangun bahkan jika tidurnya terganggu atau waktu
tidurnya berubah sementara.
3. Melakukan ritual waktu tidur dan mengikuti dengan patuh.
4. Melakukan olah raga setiap hari tetapi hindari olah raga yang terlalu berat pada
malam hari.
5. Membatasi tidur siang 1 dan 2 jam perhari, pada waktu yang sama setiap harinya.
6. Mandi air hangat di waktu akhir sore atau menjelang malam.
7. Makan kudapan ringan karbohidrat dan lemak sebelum tidur.
8. Menghindari minuman dan produk yang mengandung kafein, khususnya
menjelang waktu tidur.
9. Mempraktikkan metode relaksasi seperti nafas dalam, masase, mendengarkan
musik atau membaca bacaan yang merilekskan.
10. Menghindari minuman beralkohol atau batasi asupan alkohol pasien hingga
sesedikit mungkin setiap harinya.
11. Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
12. Jika ia terbangun tengah malam selama lebih dari 30 menit, bangkit dari tempat
tidur dan lakukan aktivitas yang tidak menstimulasi seperti membaca.
13. Imobilitas dan Intoleransi Aktivitas pada Lansia
Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian bagi
seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang
kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan sindromdissue
sering terjadi pada lansia. Diagnosis keperawatan hambatan mobilitas fisik,
potensial sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilitas
yang lebih luas. Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang
digunakan untuk lansia yang berada di Institusi perawatan mengungkapkan
bahwa hambatan mobilitas fisik adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling
sering muncul. Prevalensi dari masalah ini meluas di luar institusi sampai
melibatkan seluruh lansia Awitan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk
sebagian besar orang tidak terjadi secara tiba-tiba, bergerak dari mobilitas penuh
sampai ketergantungan fisik total atau ketidak aktifan, tetapi lebih berkembang
secara perlahan dan tanpa disadari. Intervensi diarahkan pada pencegahan kea rah
konsekuensi-konsekuensi imobilitas dan ketidak aktifan dapat menurunkan
kecepatan penurunannya.

2.2 AKTIVITAS DAN LATIHAN PADA LANSIA DENGAN MASALAH


PERUBAHAN MOBILISASI FISIK

A. Imobilitas Dan Intoleransi Aktivitas Pada Lansia


Mobilitas adalah pergerakan yang memberikan kebebasan dan kemandirian
bagi seseorang. Imobilitas didefinisikan secara luas sebagai tingkat aktivitas yang
kurang dari mobilitas optimal. Imobilitas, intoleransi aktivitas, dan sindromdissue
sering terjadi pada lansia. Diagnosis keperawatan hambatan mobilitas fisik, potensial
sindrom disuse, dan intoleransi aktivitas memberikan definisi imobilitas yang lebih
luas.
Studi-studi tentang insidensi diagnosis keperawatan yang digunakan untuk
lansia yang berada di Institusi perawatan mengungkapkan bahwa hambatan mobilitas
fisik adalah diagnosis pertama atau kedua yang paling sering muncul. Prevalensi dari
masalah ini meluas di luar institusi sampai melibatkan seluruh lansia
Awitan imobilitas atau intoleransi aktivitas untuk sebagian besar orang tidak
terjadi secara tiba-tiba, bergerak dari mobilitas penuh sampai ketergantungan fisik
total atau ketidak aktifan, tetapi lebih berkembang secara perlahan dan tanpa disadari.
Intervensi diarahkan pada pencegahan kea rah konsekuensi-konsekuensi imobilitas
dan ketidak aktifan dapat menurunkan kecepatan penurunannya.
B. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
1. Intoleransi aktivitas

2. Penurunan kekuatan dan ketahanan

3. Nyeri dan rasa tidak nyaman

4. Gangguan persepsi atau kognitif

5. Gangguan neuromuskuler

6. Depresi

7. Ansietas berat

C. Dampak masalah pada lansia


Lansia sangat rentan terhadap konsekuensi fisiologis dan psikologis dari
imobilitas. Perubahan yang berhubungan dengan usia disertai dengan penyakit kronis
menjadi predisposisi bagi lansia untuk mengalami komplikasi-komplikasi ini. Secara
fisiologis, tubuh bereaksi terhadap imobilitas dengan perubahan-perubahan yang
hampir sama dengan proses penuaan, oleh karena itu memperberat efek ini. Suatu
pemahaman tentang dampak imobilitas dapat diperoleh dari interaksi kompetensi
fisik, ancaman terhadap imobilitas, dan interpretasi pada kejadian.

2.3 PROSES KEPERAWATAN KEBUTUHAN SEKSUAL LANSIA

A. Kebutuhan seksual lansia di masyarakat


Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya seorang istri yang lansia setelah
menopause cenderung menjauh dari suami dan lebih dekat dengan cucunya. Secara
tradisi dan alami secara fisik masing-masing (suami atau istri) seolah-olah tidak mau
diganggu dan tidak mau mengganggu. Kalau sebelumnya pasangan lansia ini hidup
sekamar, ternyata kemudian kamarnya di tinggalkan. Sang istri tidur bersama cucu-
cucunya, sang suami umumnya tidur di kamar yang terbuka, seolah-olah siapa saja
boleh menemani. Keadaan itu umumnya berjalan secara evolusif dan seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Namun dalam kehidupan sehari-hari, ternyata banyak ditemui
bahwa sang suami menjadi sering uring-uringan, banyak keluhan, sering masuk angin,
dsb. Hal inilah yang sebenarnya menunjukkan adanya ketidakpuasan (masalah) dalam
kehidupan suami istri lansia. Akhirnya banyak waktu yang tersita bagi sang istri untuk
memijit, kerokan, membuat jamu, dsb, bagi sang suami. Jika ditelusuri lebih lanjut
sumber masalah yang sebenarnya seringkali berawal dari ketidakpuasan karena
kebutuhan biologis dan psikis suami tidak terpenuhi akobat kondisi di atas. Disisi lain
mungkin terjadi konflik tradisi dan budaya dalam diri sang suami, ia merasa sudah tua
dan tak pantas berduaan seperti dulu, namun ketahanan mentalnya ternyata rapuh
sehingga jatuh dalam kondisi yang makin menderita.
Dalam teori seksologi (Tobing, NL, 1990), sebenarnya hubungan suami istri
pada lansia, termasuk hubungan seksual, seharusnya tidak perlu berubah, asal
dilakukan dengan wajar dan teratur, karena hal tersebut merupakan kebutuhan hidup.
Menyikapi masalah tersebut diatas, usaha positif yang perlu diusahakan agar
kehidupan sehari-hari pasangan suami istri lansia tetap sehat dan produktif, adalah
dengan tetap menjalankan kebiasaan-kebiasaan hidup secara teratur, seperti pada usia-
usia sebelumnya. Hanya perlu diingat bahwa lansia perlu menyesuaikan kebiasaan
tersebut dengan kondisinya. Hal terpenting adalah kebutuhan fisik, psikis, sosial dan
religius dapat dipenuhi secara wajar. Disamping itu lansia tidak perlu memaksakan
diri untuk melakukan sesuatu secara berlebihan dalam berbagai hal untuk memenuhi
kebutuhannya. Pada prinsipnya kebutuhan-kebutuhan hidup harus tetap terjaga dan
terpenuhi sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing individu.
Memperhatikan tradisi dan budaya itu penting namun perlu diingat bahwa hal tersebut
jangan sampai mengorbankan diri. Kiranya usaha-usaha kesehatan jiwa masyarakat
perlu mensosialisasikan tentang menjaga kesehatan lansia agar tetap sehat dalam
kehidupan suami istri sehingga mereka dapat menikmati hari tua dengan bahagia.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN ISTIRAHAT DAN TIDUR PADA LANSIA

A. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa,
agama, pekerjaan, pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan
utama, kapan keluhan dimulai, dan lokasi keluhan.
b. Riwayat Perawatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat
kesehatan keluarga, keadaan lingkungan, dan riwayat kesehatan lainnya.
c. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Meliputi keadaan umum, Pengukuran Tanda-Tanda Vital (TTV),
Pemeriksaan fisik tentang system kardiovaskuler, system pernafasan, sistem
pencernaan, system perkemihan, sistem endokrin, sistem musculoskeletal,
dan sistem reproduksi.
- Integumen
Lemak subkutan menyusut, Kulit kering dan tipis, rentang terhadap
trauma dan iritasi, serta lambat sembuh
- Mata
Areus senilis, penurunan visus
- Telinga
Pendengaran berkurang yang selanjutnya dapat berakibat gangguan
bicara.
- Kardiopulmonar
Curah jantung berkurang serta elastisitas jantung dan pembuluh darah
berkurang, terdengar bunyi jantung IV (S4) dan bising sistolik, kapasitas
vital paru, volume ekspirasi, serta elastisitas paru-paru berkurang.
- Muskuloskeletal
Massa tulang berkurang, lebih jelas pada wanita, jumlah dan ukuran
otot berkurang. Massa tubuh banyak yang tergantikan oleh jaringan
lemak yang disertai pula oleh kehilangan cairan.
- Gastrointestinal
Mobilitas dan absorpsi saluran cerna berkurang, daya pengecap, serta
produksi saliva menurun.
- Neurologikal
Rasa raba juga berkurang, langkah menyempit dan pada pria agak
melebar. Selain itu, terdapat potensi perubahan pada status mental.
d. Pola Fungsi Kesehatan
1. Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit, kebiasaan sehari-hari, nutrisi
metabolism, pola tidur dan istirahat, kognitif-perseptual, persepsi-konsep
diri, aktivitas dan kebersihan diri, koping-toleransi stress, nilai-pola
keyakinan. Pengkajian sistem perkemihan : Inkontinensia
2. Pengkajian sistem pernapasan : Perubahan pada saluran pernapasan atas,
diameter dinding dan dinding dada kaku.
3. Pengkajian sistem kulit/integumen : Pertumbuhan epidermis melambat
(kulit kering, epidermis menipis), berkurangnya vaskularisasi, juga
melanosit dan kelenjar-kelenjar pada kulit.
4. Pengkajian pola tidur : susah tidur pulas, sering terbangun, serta kualitas
tidur yang rendah, lama ditempat tidur serta jumlah total waktu tidur per
hari yang berkurang.
5. Pengkajian status fungsional :
a) Mandi
Dikatakan mandiri (independen) bila dalam melakukan
aktivitas klien hanya memerlukan bantuan untuk menggosok atau
membersihkan sebagian tertentu dari anggota badannya, Dikatakan
dependen bila klien memerlukan bantuan untuk lebih dari satu
bagian badannya.
b) Berpakaian
Independen bila tak mampu mengambil sendiri pakaian dalam
lemari atau laci.
c) Eliminasi
Independen bila lansia tak mampu ke toilet sendiri, beranjak
dari kloset, merapikan pakaian sendiri. Dependen bila memang
memerlukan bed pan atau pispot.
d) Transferring
Independen bila mampu naik turun sendiri dari tempat tidur
atau kursi roda. Dependen bila selalu memerlukan bantuan untuk
kegiatan tersebut diatas atau tak mampu melakukan satu atau lebih
aktivitas transferring.
e) Kontinensia
Independen bila mampu buang hajat sendiri (urinari dan
defekasi). Dependen bila pada salah satu atau keduanya miksi atau
sefekasi memerlukan enema atau kateter.
f) Makan
Independen bila mampu menyuap makanan sendiri, mengambil
dari piring.
6. Pengkajian aspek spiritual
Perasaan individu tentang kehidupan keagamaannya, Melakukan
kewajiban-kewajiban agar berkontemplasi tentang kehidupan menurut
agama dan kepercayaannya
7. Data penujang
Hasil pemeriksaan laboraturium, dan pemeriksaan lainnya

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri
2. Gangguan pola tidur erhubungan dengan psikologis

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Gangguan pola tidur berhubungan dengan rasa nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, tidur menjadi efektif
Kriteria hasil :
1) Dapat meningkatkan rasa sehat dan merasa dapat tidur
2) Merasa tidur tidak terganggu dan nyeri hilang
Intervensi :
1) Biasakan dan Patuhi jam tidur setiap malam
2) Upaya memodifikasi faktor lingkungan, khususnya bagi lansia yang tinggal di
institusi.
3) Pertahankan kondisi yang kondusif untuk tidur, yang mencakup perhatian
pada faktor-faktor lingkungan dan kegiatan ritual menjelang tidur.
4) Bantu orang tersebut untuk rileks pada saat menjelang tidur dengan
memberikan usapan punggung, masase kaki atau kudapan tidur bila
diinginkan. Latihan pasif dan gerakan mengusap memberikan efek yang
menidurkan.
5) Memberikan posisi yang tepat, menghilangkan nyeri, dan memberika
kehangatan dengan selimut-selimut konvensional atau selimut listrik listrik
juga dapat membantu.
6) Jangan membiarkan pasien meminum kafein (kopi, teh, cokelat) di sore hari
dan malam hari.
7) Lakukan tindakan-tindakan yang masuk akal seperti memutar musik lembut di
radio dan menawarkan susu hangat dan minuman hangat lainnya atau kudapan
yang lebih berat untuk meningkatkan tidur pada lansia tanpa menggunakan
hipnotik. Pada waktu malam, secangkir anggur, sherry, brandi atau bir
memberikan kehangatan internal dan relaksasi pada lansia yang perlu tidur.
Namun, efek dari satu minuman hanya berlangsung selama dua pertiga siklus
tidur. Sedasi juga bersifat sama, yang menyebabkan tidur terputus-putus.
8) Tidur siang merupakan hal yang tepat; namun jumlah tidur siang tidak boleh
lebih dari 2 jam.
9) Latihan setiap hari juga harus dianjurkan. Hal ini merupakan cara yang terbaik
untuk meningkatkan tidur. Latihan harus dilakukan di pagi hari daripada
menjelang tidur karena pada jam-jam tersebut latihan hanya akan
menimbulkan efek menyegarkan daripada menidurkan.
10) Mandi air hangat terkadang dapat merilekskan lansia tetapi beberapa di
antaranya tidak menyukai intervensi ini, mengeluh pusing pada saat mereka
bangun dari tempat tidur.

2. Gangguan pola tidur b.d psikologis


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, tidur menjadi efektif
Kriteria hasil :
1) Dapat meningkatkan rasa sehat dan merasa dapat tidur
2) Merasa tidur tidak terganggu
Intervensi :
1) Berikan kesempatan pasien untuk mendiskusikan keluhan yang mungkin
menghalangi tidur. Mendengar aktif dapat membantu menentukan penyebab
kesulitan tidur.
2) Rencanakan asuhan keperawatan rutin yang memungkinkan pasien tidur tanpa
terganggu selama beberapa jam. Tindakan ini memungkinkan asuhan
keperawatan yang konsisten dan memberikan waktu untuk tidur tanpa
terganggu.
3) Berikan bantuan tidur kepada pasien, seperti bantal, mandi sebelum tidur,
makanan atau minuman dan bahan bacaan. Tindakan ini dapar mendorong
istirahat dan tidur.
4) Ciptakan lingkungan yang kondusif untuk tidur.
5) Berikan pengobatan yang diprogramkan untuk meningkatkan pola tidur
normal pasien. Agens hipnotik memicu tidur, obat penenang menurunkan
ansietas.
6) Minta pasien setiap pagi menjelaskan kualitas tidur malam sebelumnya.
Tindakan ini membantu mendeteksi adanya gejala perilaku yang berhubungan
dengan tidur.
7) Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien tentang tehnik relaksasi seperti
imjinasi terbimbing, relaksasi otot progresif, dan meditasi. Upaya relaksasi
yang bertujuan biasanya dapat membantu meningkatkan tidur.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Melaksanakan tindakan yang diidentifikasi sesuai dengan intervensi dan tindakan
keperawatan dilakukan sesuai standar prosedur secara aman dan tepat.

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Mengevaluasi kemajuan klien terhadap pencapaian tujuan dengan melihat acuan
tujuan dan kriteria hasil pada perencanaan dan respon klien terhadap tindakan
kemudian didokumentasikan.
ASUHAN KEPERAWATAN SEKSUALITAS LANSIA

A. PENGKAJIAN
a. Identitas
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa,
agama, pekerjaan, pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan utama,
kapan keluhan dimulai, dan lokasi keluhan.
b. Riwayat Perawatan
Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat kesehatan
keluarga, keadaan lingkungan, dan riwayat kesehatan lainnya.
c. Pemeriksaan Fisik
1. Secara fisiologis dan psikologis mampu melakukan aktivitas seksual tanpa
memandang perubahan anatomi dan fisiologis karena proses penuaan.
2. Aktivitas seksual sering bermanfaat pada lansia karena dapat menurunkan
anxietas dan mempertinggi kualitas hidup.
3. Pada lansia wanita terjadi penurunan tanus payudara, vagina kurang elastis,
penurunan lubrikasi vagina, dan ukuran vagina memendek, hal ini
disebabkan karena penururnan hormon esterogen, keadaan ini menyebabkan
lansia wanita kurang suka (merasa sakit) untuk melakukan hubungan seksual.
4. Pada lansia pria, terjadi penurunan produksi sperma, penurunan kekuatan
ereksi dan ejakulasi, testis menjadi kecil, stimulasi langsung mungkin
diperlukan mungkin diperlukan untuk ereksi.
5. Kebutuhan untuk hubungan intim dan rabaan sangat penting bagi lansia
untuk mencapai hubungan yang berarti.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi yang
ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.
b. Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah satu
anggota tubuh.
c. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan efek penyakit akut dan kronis
C. INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI
1. Diagnosa : Disfungsi seksual berhubungan dengan perubahan struktur tubuh/fungsi
yang ditandai dengan perubahan dalam mencapai kepuasan seksual.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan struktur tubuh terutama pada fungsi
seksual yang dialaminya
Kriteria hasil:
1) Mengekspresikan kenyamanan
2) Mengekspresikan kepercayaan diri

Intervensi:

1) Bantu pasien untuk mengekspresikan perubahan fungsi tubuh termasuk organ


seksual seiring dengan bertambahnya usia.
2) Diskusikan beberapa pilihan agar dicapai kenyamanan.
3) Berikan pendidikan kesehatan tentang penurunan fungsi seksual.
4) Motivasi klien untuk mengkonsumsi makanan yang rendah lemak, rendah
kolestrol, dan berupa diet vegetarian
5) Anjurkan klien untuk menggunakan krim vagina dan gel untuk mengurangi
kekeringan dan rasa gatal pada vagina, serta untuk megurangi rasa sakit pada
saat berhubungan seksual
2. Diagnosa : Gangguan gambaran diri berhubungan dengan perubahan bentuk salah
satu anggota tubuh.
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan bentuk salah satu angota tubuhnya
secara positif
Kriteria hasil:
1) Pasien mau berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan tanpa rasa malu
dan rendah diri
2) Pasien yakin akan kemampuan yang dimiliki
Intervensi:
1) Kaji perasaan/persepsi pasien tentang perubahan gambaran diri berhubungan
dengan keadaan anggota tubuhnya yang kurang berfungsi secara normal
2) Lakukan pendekatan dan bina hubungan saling percaya dengan pasien
3) Tunjukkan rasa empati, perhatian dan penerimaan pada pasien
4) Bantu pasien untuk mengadakan hubungan dengan orang lain
5) Beri kesempatan pada pasien untuk mengekspresikan perasaan kehilangan
6) Beri dorongan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri dan hargai
pemecahan masalah yang konstruktif dari pasien.
3. Perubahan pola seksualitas berhubungan dengan efek penyakit akut dan kronis
Tujuan : Pasien dapat menerima perubahan pola seksualitas yang disebabkan
masalah kesehatannya.
Kriteria Hasil :
1) Mengidentifikasi keterbatasannya pada aktivitas seksual yang disebabkan
masalah kesehatan
2) Mengidentifikasi modifikasi kegiatan seksual yang pantas dalam respon
terhadap keterbatasannya
Interversi :
1) Kaji faktor-faktor penyebab dan penunjang, yang meliputi kelelahan, nyeri,
nafas pendek, keterbatasan suplai oksigen, imobilisasi, kerusakan inervasi saraf,
perubahan hormon, depresi, kurangnya informasi yang tepat
2) Hilangkan atau kurangi factor-faktor penyebab bila mungkin. Ajarkan
pentingnya mentaati aturan medis yang dibuat untuk mengontrol gejala penyakit

F. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Melaksanakan tindakan yang diidentifikasi sesuai dengan intervensi dan tindakan
keperawatan dilakukan sesuai standar prosedur secara aman dan tepat.

G. EVALUASI KEPERAWATAN
Mengevaluasi kemajuan klien terhadap pencapaian tujuan dengan melihat acuan
tujuan dan kriteria hasil pada perencanaan dan respon klien terhadap tindakan
kemudian didokumentasikan.
ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN MOBILISASI
A. PENGKAJIAN
a. Identifikasi
Identitas pada klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama,
pekerjaan, pendidikan, diagnose medis, alasan dirawat, keluhan utama, kapan keluhan
dimulai, dan lokasi keluhan.
b. Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama : yang biasa muncul pada pasien dengan gangguan aktivitas dan
latihan adalah rasa nyeri, lemas, pusing, mengeluh sakit kepala berat, badan
terasa lelah, muntah tidak ada, mual ada, bab belum lancar terdapat warna
kehitaman dan merah segar hari belum bab, urine keruh kemerahan, parese pada
ekstermitas kanan ataupun fraktur.
b) Riwayat penyakit sekarang : Pengumpulan data yang dilakukan untuk
menentukan sebab dari nyeri/fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya nyeri/fraktur
tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
nyeri bisa diketahui nyeri yang lain.
c) Riwayat penyakit dahulu : Ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang
mengalami hipertensi apakah sebelumnya pasien pernah mengalami penyakit
seperti saat ini.
d) Riwayat kesehatan keluarga : Perlu dikaji penyakit riwayat keluarga yang
berhubungan dengan penyakit tulang atau tidak. Penyakit tulang merupakan salah
satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung
diturunkan secara genetik
c. Pola Fungsi Kesehatan (GORDON)
1) Persepsi terhadap kesehatan
1. Tingkat pengetahuan kesehatan / penyakit meliputi sebelum sakit dan selam
sakit
2. Perilaku untuk mengatasi masalah kesehatan meliputi sebelum sakit dan selam
sakit
3. Faktor-faktor resiko sehubungan dengan kesehatan
2) Pola Aktivitas Dan Latihan

Menggunakan tabel aktifitas meliputi makan, mandi berpakaian,


eliminasi, mobilisaasi di tempat tidur, berpindah, ambulansi, naik tangga, serta
berikan keterangan skala dari 0 – 4 yaitu :
0 : Mandiri
1 : Di bantu sebagian
2 : Di bantu orang lain
3 : Di bantu orang dan peralatan
4 : Ketergantungan / tidak mampu
3) Pola Istirahat Tidur
Ditanyakan :
1. Jam berapa biasa mulai tidur dan bangun tidur
2. Sonambolisme
3. Kualitas dan kuantitas jam tidur
4) Pola Nutrisi - Metabolic
Ditanyakan :
1. Berapa kali makan sehari
2. Makanan kesukaan
3. Berat badan sebelum dan sesudah sakit
4. Frekuensi dan kuantitas minum sehari
5) Pola Eliminasi
1. Frekuensi dan kuantitas BAK dan BAB sehari
2. Nyeri
3. Kuantitas
6) Pola Kognitif Perceptual
Adakah gangguan penglihatan, pendengaran (Panca Indra)
7) Pola Konsep Diri
1. Gambaran diri
2. Identitas diri
3. Peran diri
4. Ideal diri
5. Harga diri
8) Pola Koping
Cara pemecahan dan penyelesaian masalah
9) Pola Seksual – Reproduksi
Ditanyakan : adakah gangguan pada alat kelaminya.
10) Pola Peran Hubungan
1. Hubungan dengan anggota keluarga
2. Dukungan keluarga
3. Hubungan dengan tetangga dan masyarakat.
11) Pola Nilai Dan Kepercayaan
1. Persepsi keyakinan
2. Tindakan berdasarkan keyakinan
d. Pemeriksaan Fisik
1. Kemunduran musculoskeletal
Indikator primer dari keparahan imobilitas pada system musculoskeletal
adalah penurunan tonus, kekuatan, ukuran, dan ketahanan otot; rentang gerak
sendi; dan kekuatan skeletal. Pengkajian fungsi secara periodik dapat digunakan
untuk memantau perubahan dan keefektifan intervensi.
2. Kemunduran kardiovaskuler
Tanda dan gejala kardiovaskuler tidak memberikan bukti langsung atau
meyaknkan tentang perkembangan komplikasi imobilitas. Hanya sedikit petunjuk
diagnostik yang dapat diandalkan pada pembentukan trombosis. Tanda-tanda
tromboflebitis meliputi eritema, edema, nyeri tekan dan tanda homans positif.
Intoleransi ortostatik dapat menunjukkan suatu gerakan untuk berdiri tegak
seperti gejala peningkatan denyut jantung, penurunan tekanan darah, pucat,
tremor tangan, berkeringat, kesulitandalam mengikuti perintah dan sinkop.
3. Kemunduran Respirasi
Indikasi kemunduran respirasi dibuktikan dari tanda dan gejala atelektasis dan
pneumonia. Tanda-tanda awal meliputi peningkatan temperature dan denyut
jantung. Perubahan-perubahan dalam pergerakan dada, perkusi, bunyi napas, dan
gas arteri mengindikasikan adanaya perluasan dan beratnya kondisi yang terjadi.
4. Perubahan-perubahan integument
Indikator cedera iskemia terhadap jaringan yang pertama adalah reaksi
inflamasi. Perubahan awal terlihat pada permukaan kulit sebagai daerah eritema
yang tidak teratur dan didefinisikan sangat buruk di atas tonjolan tulang yang
tidak hilang dalam waktu 3 menit setelah tekanan dihilangkan.
5. Perubahan-perubahan fungsi urinaria
Bukti dari perubahan-perubahan fungsi urinaria termasuk tanda-tanda fisik
berupa berkemih sedikit dan sering, distensi abdomen bagian bawah, dan batas
kandung kemih yang dapat diraba. Gejala-gejala kesulitan miksi termasuk
pernyataan ketidakmampuan untuk berkemih dan tekanan atau nyeri pada
abdomen bagian bawah.
6. Perubahan-perubahan Gastrointestinal
Sensasi subjektif dari konstipasi termasuk rasa tidak nyaman pada abdomen
bagian bawah, rasa penuh, tekanan. Pengosonganh rectum yang tidak sempurna,
anoreksia, mual gelisah, depresi mental, iritabilitas, kelemahan, dan sakit kepala.

e. Faktor-faktor lingkungan
Lingkungan tempat tinggal klien memberikan bukti untuk intervensi. Di dalam
rumah, kamar mandi tanpa pegangan, karpet yang lepas, penerangan yang tidak
adekuat, tangga yang tinggi, lantai licin, dan tempat duduk toilet yang rendah dapat
menurunkan mobilitas klien. Hambatan-hambatan institusional terhadap mobilitas
termasuk jalan koridor yang terhalang, tempat tidudan posisi yang tinggi, dan cairan
pada lantai. Identifikasi dan penghilangan hambatan-hambatan yang potensial dapat
meningkatakan mobilitas
f. Faktor Psikososial
1. Perubahan status psikososial klien biasa terjadi lambat dan sering diabaikan
tenaga kesehatan.
2. Observasi perubahan tingkah laku
3. Menentukan penyebab perubahan tingkah laku / psikososial untuk
mengidentifikasi terapi keperawatan
4. Observasi pola tidur klien
5. Observasi perubahan mekanisme koping klien
6. Observasi dasar perilaku klien sehari-hari

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada lansia dengan gangguan
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan latihan antara lain:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest atau imobilitas, mobilitas yang
kurang, pembatasan pergerakan, nyeri.
2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas, gangguan
persepsi kognitif, imobilisasi, gangguan neuromuskular, kelemahan/paralisis,
pemasangan traksi.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest atau imobilitas,
mobilitas yang kurang, pembatasan pergerakan, nyeri.
Tujuan : Untuk mengatasi atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan proses
pemulihan
Kriteria hasil:
1) Klien tidak megeluh lelah
2) Kekuatan otot klien meningkat

Intervensi:
1) Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
2) Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus
3) Anjurkan tirah baring
4) Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
2. Diagnosa : Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
gangguan persepsi kognitif, imobilisasi, gangguan neuromuskular,
kelemahan/paralisis, pemasangan traksi.
Tujuan : identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
Kriteria hasil:
1) Pergerakan ekstermitas meningkat
2) Pasien tidak merasa lemah
Intervensi:
1) Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai mobilisasi
2) Fasilitasi melakukan pergerakan
3) Ajarkan mobilisasi sederhan yang harus dilakukan (mis: duduk ditempat tidur,
pindah dari tempat tidur ke kursi)
BAB IV

TINJAUAN KASUS

KASUS
Pasien Ny. N berusia 66 tahun. Pasien ditabrak motorbpada tanggal 25 Desember
2019 yang lalu. Akibatnya pasien mengalami patah dibagian betis kiri. Pasien merasakan
nyeri dengan skala 4. Pasien tidak dapat tidur seperti biasa dan mobilitas dibantu oleh saudara
perempuannya. Karena suaminya sudah meninggal setahun yang lalu dan anaknya tinggal di
luar kota, pasien mengaku kesepian sejak ditinggal suami.

Tangggal masuk : 28 Maret 2015


Tanggal pengkajian : 29 Maret 2015
No. MR : 497541
Ruang : Ruang Penyakit Bedah
Diagnoda medik : CLOSE FRAKTUR TIBIA FIBULA SINISTRA
A. PENGKAJIAN
1. Identitas klien
Nama : Ny. N
Umur : 66 Tahun
Agama : Kristen Protestan
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Desa Iraonogeba Kecamatan Gunungsitoli Kota Gunungsitoli.
Penanggung Jawab :
Nama : Ny.S
Umur : 50 Tahun
Jenis kelamin : perempuan
Hub.dgn klien : keponakan
2. Keluhan Utama
Klien mengeluh nyeri.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Klien dibawa ke IGD pada tanggal 28 Desember 2015 diantar oleh keluarga
dengan keluhan nyeri pada betis sebelah kiri dan tidak bisa digerakkan karena
patah setelah ditabrak sepeda motor.
Pada saat dilakukan pengkajian pada tanggal 29 Desember 2015 klien
tampak lemah,kesadaran composmentis,tampak bengkak pada bagian kaki yang
patah,klien mengeluh nyeri pada kaki (betis) sebelah kiri karena patah dengan
skala nyeri 4, dan nyeri bertambah jika kaki tersebut digerakan. Keluarga klien
selalu membantu dalam memenuhi kebutuhannya.

b. Riwayat kesehatan dahulu


Klien belum pernah mengalami patah tulang sebelumnya,klien juga tidak
mempunyai riwayat penyakit keturunan dan menular lainnya.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Keluarga klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit
keturunan ataupun menular lainnya.
4. Data psikologis
Klien tampak menerima keadaan sakit sekarang dan berharap bisa cepat sembuh.
5. Data sosial
Hubungan klien dengan keluarga baik,terlihat dari anak yang terkadang menelpon
pasien dan keluarganya yang lain selalu menunggu nya. Namun suami pasien
meninggal sejak 1 tahun yang lalu dan pasien mengatakan sesekali rindu dengan
suaminya.
6. Data spiritual
Klien beragama kristen protestan, klien dan keluarga selalu berdo'a supaya cepat
senbuh.
7. Pola-Pola Kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya
merasa takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan
tulangnya. Selain itu, juga dilaksanakan pengkajian yang meliputi kebiasaan
hidup klien, seperti penggunaan obat steroid yang dapat menganggu
metabolisme kalsium, pengonsumsian alcohol yang dapat menganggu
keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olahgara atau tidak.
b) Pola hubungan dan peran. Klien akan kehilangan peran sementara dalam
keluarga dan masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
c) Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah
timbulnya ketakutan akan kecacatan akibat fraktur, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan gangguan citra
diri.
d) Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan
lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien dapat membantu menentukan penyebab masalah musculoskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium
dan protein. kurangnya paparan sinar matahari merupakan faktor predisposisi
masalah musculoskeletal terutama pada lansia. Selain itu, obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
e) Pola eliminasi. Klien fraktur humerus tidak mengalami gangguan pola
eliminasi, tetapi perlu juga dikaji frekuensi, kosistensi, warna, dan bau feses
pada pola eliminasi alvi. Pada pola eliminasi urine dikaji frekuensi, kepekatan,
warna, bau, dan jumlahnya. Pada kedua pola tersebut juga dikaji adanya
kesulitan atau tidak.
f) Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedangkan pada indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu, juga timbul nyeri akibat fraktur.
g) Pola penanggulangan stres. Pada klien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan
dirinya, yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditembuh klien dapat tidak efektif.
h) Pola tata nilai dan keyakinan. klien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah
dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini dapat
disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak klien
i) Pola aktivitas. Karena timbul nyeri, gerak menjadi terbatas. semua bentuk
aktivitas klien menjadi berkurang dan klien memerlukan banyak bantuanorang
lain. hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien, terutama pekerjaan
klien karena beberapa pekerjaan berisiko terjadinya fraktur.
j) Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur merasakan nyeri dan geraknya
terbatas sehingga menganggu pola dan kebutuhan tidur klien. selain itu,
dilakukan pengkajian lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur,
kesulitan tidur, dan penggunaan obat tidur.
k) Pola seksual. Pasien sudah mengalami menopause sejak usia 52 tahun. Pasien
memiliki satu orang anak. Pasien menikah diusia 18 tahun. Suami pasien
meninggal satu tahun yang lalu.

8. Pemeriksaan fisik
a. keadaan umum : lemah
b. kesadaran : compos mentis
c. Tanda-tanda vital :
TD : 150/90 mmHg P : 18 x/Menit
N : 90 x/Menit S : 36,5 oC
1) Kepala
- Inspeksi : Simetris,distribusi rambut merata
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
2) Mata
- Inspeksi : Simetris,tidak ada katarak,konjungtiva anemis,sclera an ikterik
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
3) Hidung
- Inspeksi : Simetris,tidak ada pengeluaran,tidak ada pernafasan cuping hidung
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
4) Telinga
- Inspeksi : Simetris,tidak ada pengeluaran
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan,tidak ada benjolan
5) Mulut
- Inspeksi : Simetris,mukosa bibir lembab,tidak ada sianosis
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
6) Leher
- Inspeksi : Simetris,tidak ada pembesaran vena jugularis
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan,tidak ada pembengkakan
7) Dada
- Inspeksi : Simetris,pergerakan dinding dada baik
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
- Auskultasi : Bunyi nafas vesikuler
- Perkusi : Bunyi rensonan
8) Abdomen
- Inspeksi : Simetris,tidak ada bekas operasi
- Auskultasi : Bunyi bising usus (+)
- Perkusi : Bunyi timpani
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
9) Ekstremitas
- Atas : Pada ekstremitas atas,tangan bisa digerakkan dengan baik
- Bawah : Pada ekstremeritas bawah,kaki sebelah kiri(tibia-fibula) tidak
bisa digerakkan/fraktur, kondisi sekitar fraktur oedema, adanya luka
10) Genetalia
- Inspeksi : Simetris,terpasang kateter
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan

9. Terapi Obat
a. cairan RL 20 tts/menit
b. citicholine 3x1 (IV)
c. keterolac 3x1 (IV)
d. taxef 2x1 gr (14/st)
e. pronalges supp
f. dexamethason 2x1 amp (IV)
g. rannitidin 2x1 amp (IV)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan Pola tidur
2. Gangguan mobilitas fisik
3. Pola seksual tidak Efektif

C. INTERVENSI
1. Gangguan pola tidur berhubung dengan kurang kontrol tidur ditandai dengan
mengeluh pola tidur berubah sekunder terhadap nyeri
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, kualitas tidur
membaik, dengan kriteria hasil :
1. klien mengatakan keluhan sulit tidur menurun
2. keluhan sering terjaga di malam hari menurun
Intervensi :
1) Identifikasi pola aktivitas dan tidur
2) Identifikasi faktor pengganggu tidur
3) Modifikasi lingkungan
4) Fasilitasi menghilangkan setres sebelum tidur
5) Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (misal: pijat, pengaturan
posisi dan lain-lain)
6) Sesuaikan jadwal pemberian obat atau tindakan untuk menunjang siklus tidur-
terjaga
7) Ajarkan relaksasi ototautogerak atau cara nonfarmakologi lainnya

2. Gangguan mobilitas fisik berhubung dengan nyeri ditandai dengan mengeluh


ekstremitas sulit digerakkan dan nyeri saat bergerak
Tujuan : Setelah dilakukan perawatan selama 3x24 jam diharapkan kemampuan
dalam mobilisasi secaa mandiri meningkat, dengan kriteria hasil :
1. Nyeri menurun, skala nyeri 0 (nyeri hilang)
2. Pergerakan ekstremitas meningkat
Intervensi :
1) Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
2) Identifikasi toleransi fisik melalui pergerakan
3) Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
4) Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (misal: pagar tempat
tidur)
5) Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
6) Anjurkan melakukan mobilisasi dini
7) Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan

3. Pola seksual tidak efektif berhubung dengan ketiadaan pasangan


Tujuan: setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam diharapkan penerimaan
diri terhadap aspek seksual membaik, dengan kriteria hasil:
1. Menunjukkan pendirian seksual yang jelas dapat meningkat
2. Pencarian dukungan sosial meningkat
Intervensi :
1) Identifikasi disfungsi seksual dan kemungkinan penyebab
2) Monitor setres dan tingkat kecemasan
3) Berikan pujian terhadap perilaku yang benar
BAB V

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
a. Pada usia 65 tahun seseorang dianggap telah memasuki masa lansia
b. Pada lansia biasanya mengalami kemundaran fisik, mental dan sosia sedikit demi
sedikit sehingga tidak dapat melakukakan tugasnya sehari hari lagi.
c. Masalah-masalah pada lansia yang timbul karena perubahan yang terjadi pada lansia
dapat diatasi sehingga tidak perlu dikhawatirkan, apalagi kita semua juga akan
mengalami masa-masa ini
d. Pada lansia terjadi perubahan fisik fisiologis, yang dapat menyebabkan kemunduran
fungsi tubuh akibat proses menua.
e. Beberapa faktor yang harus di perhatikan pada lansia antara lain: lingkungan social,
gizi (suplemen), tidur atau istirahat, aktivitas fisik, seksual

3.2 Saran

Setelah membuat makalah ini, agar pembaca menjadi tahu tentang perkembangan
yang terjadi pada lansia. Lansia adalah masa dimana seseorang mengalami kemunduran,
dimana fungsi tubuh kita sudah tidak optimal lagi. Oleh karena itu sebaiknya sejak muda kita
persiapkan dengan sebaik – sebaiknya masa tua kita. Gunakan masa muda dengan kegiatan
yang bermanfaat agar tidak menyesal di masa tua.
DAFTAR PUSTAKA

Basic Geriatric Nursing 2008 Mosby Elsevier.

Tesis “Evaluasi proses pelaksanaan program Elderly Day Care Service 2012 di PSTW
Budhi Dharma Bekasi Timur” oleh Ayu Diah Amalia FISIPUI 2012

http://budhidharma.kemsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=17

Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta : EGC.

Cynthia M, Taylor . 2011 . Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan . Jakarta :


EGC.

Anda mungkin juga menyukai