Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN

SISTEM INTEGUMEN
KUSTA

Disusun oleh :
Erna Sari Kp.13.00941
I Dewa Gede Kariasa KP.13.00946
Isti Indrayanti KP.13.00948

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


STIKES WIRA HUSADA YOGYAKARTA
2015
KEYWORD: KUSTA

Kata-kata sulit
 MACULA
Makula adalah kelainan kulit yang mengalami perubahan warna yang tidak diserta
penojolan kulit dan tidak ada lekukan pada kulit .makula biasanya bergaris tengah
kurang dari 1 cm,contoh :freckle
 PAPULA
Papula adalah massa padat yang menonjol diatas kulit berukuran sampai 0,5 cm dan
berwarna merah dan tidak berisi sama sekali,contoh : tahi lalat atau tanda lahir.
 NODUL
Lesi lebih besar dari 0,5 cm baik lebar dan kedalamannya,seringkali dalam dan keras
daripada papula,contoh : lipoma, karsinoma sel skuamosa, suntikan yang tidak terserap
dengan baik, dermatofibroma
 ULKUS
Kehilangan epidermis,yang meluas kedalam dermis atau lebih dalam lagi atau destruksi
epidermis (dengan atau tanpa cedera dermal) yang menampakkan dermis.
 KARSINOMA SEL SKUAMOSA
Karsinoma sel skuamosa adalah kanker paling umum kedua kulit (setelah karsinoma sel
basal tetapi lebih umum daripada melanoma). Ini biasanya terjadi di daerah terkena sinar
matahari. Sinar matahari paparan dan imunosupresi merupakan faktor risiko untuk SCC
kulit dengan paparan sinar matahari kronis menjadi faktor risiko terkuat lingkungan.
Kanker sel skuamosa kulit pada individu pada imunoterapi atau memiliki gangguan
lymphoproliferative (leukemia) jauh lebih agresif, terlepas dari lokasi mereka.
 DERMATOFIBROMA
Dermatofibroma adalah tumor kulit jinak yang teridiri dari sel sel fibroblas (sel-sel yang
membentuk jaringan lunak di bawah kulit). Dermatofibroma tampak sebagi benjolan
kecil tunggal berwarna merah sampai coklat. Paling sering ditemukan di tungkai bagian
bawah, tetapi dapat juga ditemukan di bagian tubuh lain seperti lengan. Kadang
menimbulkan rasa gatal dan nyeri.
 Lipoma adalah benjolan lemak yang tumbuh secara lambat di antara kulit dan lapisan
otot. Lipoma bisa bergerak atau bergeser jika ditekan dengan jari secara perlahan-lahan
dan terasa lunak. Ketika ditekan, lipoma biasanya tidak menyebabkan rasa sakit.
A. Pengertian KUSTA
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-
gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai
dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874
sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Kusta merupakan penyakit menahun yang menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh
manusia yang dalam jangka panjang mengakibatkan sebagian anggota tubuh penderita tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Meskipun infeksius, tetapi derajat infektivitasnya
rendah. Waktu inkubasinya panjang, mungkin beberapa tahun, dan tampaknya kebanyakan
pasien mendapatkan infeksi sewaktu masa kanak-kanak.
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer,
kulit dan jaringan tubuh lainnya.Yang mana kerusakan saraf yang paling sering muncul dapat
berupa hilangnya sensasi dan paralisis.Pada perjalanan penyakit kusta terdapat episode akut
yang di kenal dengan istilah reaksi kusta.
Tipe reaksi terbagi dua yaitu, reaksi kusta tipe-1 (reaksi reversal) dan tipe-2 (Eritema
Nodusum Leprosum). Eritema Nodusum Leprosum (ENL) adalah reaksi kusta tipe 2 dengan
manifestasi lesi kulit berupa nodul merah yang nyeri kemudian mengalami nekrosis dan
ulserasi serta mengeluarkan pus kuning yang kental.Predileksi lesi ditemukan di wajah dan di
permukaan ekstendor ekstremitas, tetapi juga dapat muncul di area tubuh lainnya.
Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv disebabkan suatu
interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang telah
tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
Jenis klasifikasi yang umum
 Klasifikasi Internasional: Klasifikasi Madrid (1953)
- Indeterminate (I)
- Tuberkuloid (T)
- Boderline-Dimorphous (B)
- Lepromatosa (L)
 Klasifikasi untuk kepentingan riset: Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)
- Tuberkoloid (TT)
- Borderline tuberculoid (BT)
- Mid-Borderline (BB)
- Borderline Lepromatous (BL)
- Lepromatosa (LL)

Terdapat tiga tipe utama penyakit kusta yaitu lepromatous, boderline, dan tuberkuloid.
Namun di Indonesia klasifikasi di atas tidak digunakan dalam penanganan penyakit kusta di
lapangan.
1. Tipe lepromatous terdapat pada orang yang tidak mempunyai daya tahan tubuh dan
mycobacterium leprae berkembangbiak di tubuhnya dalam jumlah tidak terhitung.
2. Tipe borderline berkembang pada penderita dengan daya tahan tubuh sedang, daya tahan
yang sedang ini dapat mengurangi jumlah mycobacterium leprae tidak begitu banyak,
namun masih cukup banyak yang tinggal dan berkembangbiak dalam tubuh, juga berarti
bahwa suatu pertempuran sedang terjadi antara mycobacterium leprae dan daya tahan
tubuh. Tipe borderline dapat dibagi menjadi tiga yaitu borderline tuberkuloid, boderline
borderline dan borderline lepromatous.
3. Tipe tuberkuloid terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang tinggi dan sedikit
mycobacterium leprae untuk berkembangbiak menjadi banyak. Tipe indeterminate yang
berarti bahwa tipenya tidak dapat diketahui pada saat sekarang. Kusta indeterminate
terjadi pada seseorang dengan daya tahan tubuh sedemikian tinggi sehingga tubuh bisa
segera menyembuhkan penyakitnya tanpa suatu pengobatan. Atau pada orang dengan
daya tahan tubuh yang kurang maka tanda indeterminatenya menjadi lebih jelas.

Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling


1. Tipe Tuberkoloid ( TT )
1) Mengenai kulit dan saraf.
2) Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau,
kontrol healing ( + ).
3) Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan psoriasis
atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba, kelemahan otot,
sedikit rasa gatal.
4) Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya respon
imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
1) Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
2) Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
3) Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
4) Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Borderline ( BB )
1) Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
2) Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
3) Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT,
cenderung simetris.
4) Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
5) Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada bagian
tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
4. Tipe Borderline Lepromatosus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula
lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah,
beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada
tipe LL dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe Lepromatosa ( LL )
1. Lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas tidak
tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
2. Distribusi lesi khas:
1) Wajah: dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
2) Badan: bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
3. Stadium lanjutan:
1) Penebalan kulit progresif
2) Cuping telinga menebal
3) Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
4. Lebih lanjut
1) Deformitas hidung
2) Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
3) Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
4) Penyakit progresif, makula dan popul baru.
5) Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
5. Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan anestasi
dan pengecilan tangan dan kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley & Jopling)
1) Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
2) Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
3) Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
4) Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
1) Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
2) Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
3) Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
4) Lidah : ulkus, nodus
5) Larings : suara parau
6) Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
7) Kelenjar limfe : limfadenitis
8) Rambut : alopesia, madarosis
9) Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.

B. Etiologi
Penyebab kusta adalah kuman mycobacterium leprae. Dimana microbacterium ini
adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel
lilin yang merupakan ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micro, lebar
0,2 – 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan
tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan
organisme patogen (misalnya Mycrobacterium tuberculosis, Mycrobakterium leprae) yang
menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma infeksion.
Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium.
Kuman Mycobacterium Leprae menular kepada manusia melalui kontak langsung
dengan penderita dan melalui pernapasan, kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21
hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seseorang menderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit mengalami bercak putih,
merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

C. Tanda dan Gejala


Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP& PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign
penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf
ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer). Gangguan
fungsi saraf ini bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensori : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari
tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicurigai.

 Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)


1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d. Lepuh tidak nyeri.
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
Tanda dan gejala pada penyakit kusta, yaitu :
1. Reaksi tipe I (reaksi reversal, reaksi upgrading, reaksi boederline).
Terjadi pada pasien tipe borderline disebabkan meningkatnya kekebalan seluler secara
cepat. Pada reaksi ini terjadi pergeseran tipe kusta ke arah PB (paucibacillary).Faktor
pencetusnya tidak diketahui secara pasti tapi diperkirakan ada hubungannya dengan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat.Gejala klinis reaksi tipe I berupa perubahan lesi kulit,
neuritis (nyeri tekan pada saraf), dan/atau gangguan keadaan umum pasien (gejala
konstitusi).
2. Reaksi tipe II (reaksi eritema nodosum leprosum).
Reaksi ini terjadi pada pasien tipe MB (multibacillary) dan merupakan reaksi humoral,
dimana basil kusta yang utuh maupun tak utuh menjadi antigen. Tubuh akan membentuk
antibodi dan komplemen sebagai respon adanya antigen. Reaksi kompleks imun terjadi
antara antigen, antibodi, dan komplemen. Kompleks imun ini dapat mengendap antara
lain di kulit berbentuk nodul yang dikenal sebagai eritema nodosum leprosum (ENL),
mata (iridosiklitis), sendi (artritis), dan saraf (neuritis) dengan disertai gejala konstitusi
seperti demam dan malaise, serta komplikasi pada organ tubuh lainnya.Hal-hal yang
mempermudah terjadinya reaksi kusta adalah stres fisik (kondisi lemah, pembedahan,
sesudah mendapat imunisasi) dan stres mental. Perjalanan reaksi dapat berlangsung
sampai 3 minggu. Kadang-kadang timbul berulang-ulang dan berlangsung lama.

D. Patofisiologi
Meskipun cara masuk mycrobacterium leprae ke dalam tubuh belum diketahui secara
pasti. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa penularannya yang paling sering
melalui kulit yang lecet, pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Setelah mycrobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi, berarti penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila
rendah, berarti berkembang ke arah lepromatosa. Mycrobacterium leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasiyang sedikit.
Mycrobacterium leprae terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah
superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman masuk ke dalam tubuh,
maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagosit.
1. Tipe LL (Lepromatosa) : Terjadi kelumpuhan system imun seluler yang rendah dimana
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman, dan dapat membelah diri dan dengan
bebas merusak jaringan.
2. Tipe TT (Tuberkoloid) : Fase system imun seluler yang tinggi dimana makrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis, terjadi sel epitel yang tidak
bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel, bila tidak segera diatasi terjadi
reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Pada reaksi kusta, terjadi peningkatan hipersensitivitas seluler mendadak, sehingga
respon terhadap antigen basil mycrobacterium leprae yang mati dapat meningkat.Keadaan ini
ditunjukkan dengan peningkatan transformasi limfosit.Tetapi sampai sekarang belum
diketahui dengan pasti antigen M. leprae mana yang mendasari kejadian patologis tersebut
dapat terjadi.Determinan antigen tertentu yang mendasari reaksi penyakit kusta pada tiap
penderita mungkin berbeda. Sehingga gambaran klinisnya dapat berbeda pula sekalipun tipe
lepra sebelum reaksi sama. Determinan antigen banyak didapati pada kulit dan jaringan saraf.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respons imun pada tiap
pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas
infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

E. Pathway
F. Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta.Reaksi kusta atau
reaksi lepra adalah suatu episode akut dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang
merupakan reaksi kekebalan (respon seluler) atau reaksi antigen-antibodi (respon
humoral) dengan akibat merugikan pasien.Reaksi ini dapat terjadi pada pasien sebelum
mendapat pengobatan, selama pengobatan dan sesudah pengobatan. Namun sering
terjadi pada 6 bulan sampai setahun sesudah mulai pengobatan.

G. Penatalaksanaan
Reaksi lepra harus diobati dan dikontrol untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Penatalaksanaan dilakukan dengan melanjutkan penggunaan obat anti mikroba, terapi anti
inflamasi yang efektif dan jangka panjang, analgetik yang adekuat, dan dukungan kesehatan
fisik selama fase aktif neuritis.Imobilisasi dan tindakan bedah dapat mencegah dan
memulihkan gangguan saraf. Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah
menyembuhkan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai
penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Prinsip pengobatan yaitu, pemberian obat anti reaksi.Obat yang dapat digunakan adalah
aspirin, klorokuin, prednison, dan prednisolon sebagai anti implamasi. Dosis obat yang
digunakan sebagai berikut: Aspirin 600-1200 mg yang diberikan tiap 4 jam, 4-6 kali sehari.
Klorokuin 3x150 mg/hari, Prednison 30-80 mg/hari, dosis tunggal pada pagi hari sesudah
makan atau dapat juga diberikan secara dosis tertinggi misalnya : 4x2 tablet/hari, berangsur-
angsur diturunkan 5-10 mg/2 minggu setelah terjadi respon maksimal.Untuk melepas
ketergantungan pada kortikosteroid pada reaksi tipe II (ENL) digunanakan talidomid.Dosis
talidomid 400 mg/hari yang berangsur-angsur diturunkan sampai 50 mg/hari. Tidak
dianjurkan untuk wanita usia subur karena talidomid bersifat teratogenik.Setiap 2 minggu
pasien harus diperiksa ulang untuk melihat keadaan klinis.Bila tidak ada perbaikan maka
dosis prednison yang diberikan dapat dilanjutkan 3-4 minggu atau dapat ditingkatkan
(misalnya dari 15 mg menjadi 20 mg sehari).Setelah ada perbaikan dosis diturunkan.
Untuk mencegah ketergantungan terhadap steroid, dapat diberikan
klofazimin.Klofazimin hanya diberikan pada reaksi tipe II (ENL kronis).Dosis klofazimin
ditinggikan dari dosis pengobatan kusta.Untuk orang dewasa 3x100 mg/hari selama 1 bulan.
Bila reaksi sudah berkurang maka dosis klofazimin itu diturunkan menjadi 2x100 mg/hari,
selama 1 bulan diturunkan lagi menjadi 1x100 mg/ hari selama 1 bulan. Setelah reaksi hilang
pengobatan kembali ke dosis semula, yaitu 50 mg/hari.

H. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang
Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk menekan tingkat
kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala sisa.Tingkat keberhasilan
terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini dideteksi dan ditangani secara dini.
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan :
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah
sebagai berikut:
1. Laboratorium:
a. Darah rutin: tidak ada kelainan
b. Bakteriologi:
2. Pemeriksaan histopatologi
Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa :Infiltrate limfosit yang
meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi makrofag kearah
peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi gambaran sel langerhans.Kadang-
kadang terdapat gambaran nekrosis (kematian jaringan) didalam
granulosum.Dimana penyembuhannya ditandai dengan fibrosis.
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Pada pengkajian klien penderita kusta dapat ditemukan gejala-gejala sebagai berikut:
1. Aktivitas/ istirahat.
Tanda: penurunan kekuatan otot, gangguan massa otot, perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi.
Tanda: Penurunan nadi perifer, vasokontriksi perifer.
3. Integritas ego.
Gejala: Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan, kecacatan,
Tanda: Ansietas, menyangkal, menarik diri.
4. Makanan/cairan.
- Anoreksia.
5. Neurosensori.
Gejala: kerusakan saraf terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi.
Tanda: peruubahan perilaku, penurunan refleks tendon.
6. Nyeri kenyamanan.
Gejala: Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri.
7. Pernapasan.
Gejala: Pentilasi tidak adekuat, takipnea.
8. Keamanan.
Tanda: lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang
lesi kemerahan atau berwarna tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya berupa
macula, papula dan nodul.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
4. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh
menurun
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya imformasi terhadap perawatan
kulit.
6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. Rencana/ Intervensi Keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
Tujuan: Untuk memelihara integritas kulit/ mencapai penyembuhan tepat waktu.
Intervensi:
a. Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan
amati perubahan. Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandikan dan lakukan intervensi yang tepat.
b. Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh kemudian
mengeringkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase dengan menggunakan
losion atau krim. Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan meningkatkan
kenyamanan.
c. Gunting kuku secara teratur Rasional: Kuku yang panjang/kasar, meningkatkan resiko
kerusakan dermal.
d. Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka. Rasional: Dapat mengidentifikasi bakteri
patogen dan pilihan perawatan yang sesuai.
e. Gunakan/berikan obat topical atau sistemik sesuai indikasi. Rasional: Digunakan pada
perawatan lesi kulit.
f. Lindungi lesi dengan salep antibiotic sesuai petunjuk. Rasional: Melindungi area lesi
dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan.

2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan reaksi ENL


Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
keperawatan
Intervensi:
a. Kaji skala nyeri. Rasional: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya
dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan
b. Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital. Rasional: Tanda-tanda vital berubah
sesuai tingkat perkembangan penyakit dan menjadi indikator untuk melakukan
intervensi selanjutnya
c. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam. Rasional: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi
otot-otot sehingga mengurangi nyeri
d. Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik. Rasional: Pemberian
antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri sedangkan obat
analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penampakan kulit yang tidak baik.
Tujuan : Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri.
Intervensi:
a. Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata, ucapan yang
merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak terhadap kondisi kulitnya.
Rasional: Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan yang
tampak nyata bagi pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh
pada konsep diri.
b. Identifikasi stadium psikososial tahap perkembangan. Rasional : Terdapat hubungan
antara stadium perkenmbangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman pasioen
terhadap kondisi kulitnya.
c. Berikan kesempatan untuk pengungkapan. Dengarkan (dengan cara yang terbuka,
tidak menghakimi) untuk mengespresikan berduka atau anseitas tentang perubahan
citra tubuh. Rasional : Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri.
d. Bersikap realistic selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan. Rasional :
Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dan perawat.
e. Berikan harapan dalam parameter situasi individu: jangan memberikan keyakinan
yang salah. Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan
untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita.
f. Dorong interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi. Rasional : Mempertahankan
pola komunikasi dan memberikan dukungan terus menerus pada pasien dan keluarga.

4. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh
menurun.
Tujuan: Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi.
Intervensi:
a. Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu. Rasional: Memberikan imformasi data dasar,
peningkatan suhu secara berulang-ulang dari demam yang terjadi untuk menujukkan
bahwa tubuh bereaksi pada proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi secara
efektive mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan.
b. Tekankan pentingnya tekhnik cuci tanganyang baik untuk semua individu yang
dating kontak dengan pasien. Rasional: Mengcegah kontaminasi silang;
menurungkan resiko infeksi.
c. Gunakan sapu tangan , masker dan tekniik aseptik selama perawatan dan berikan
pakaian yang steril atau baru. Rasional: Mengcegah terpajan pada organisme
infeksius.
d. Observasi lesi secara periodic. Rasional: Untuk mengetahui perubahan respon
terhadap terapi.
e. Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa pengunjung atau
staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai indikasi. Rasional:
Mengurangi patogen pada system integument dan mengrangi kemungkinan pasien
mengalami infeksi nosokomial.
f. Berikan preparat antibiotic yang diresepkan dokter. Rasional: Membunuh atau
mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi terhadap perawatan


kulit.
Tujuan : Klien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perawatan kulit.
Intervensi:
a. Tentukan apakah pasien mengetahui (memahami dan salah mengerti) tentang kindisi
dirinya.
Rasional : Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan.
b. Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki kesalahan
persepsi/informasi. Rasional : Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu
yang dapat mereka perbuat. Kebanyakan pasien merasakan mamfaat dan merasa
lebih.
c. Berikan imformasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya jadwal dalam minum
obat. Rasional : Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
d. Jelaskan penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi
dalam jangka waktu lama. Rasional: Meningkatkan partisipasi klien, mematuhi
aturan terapi dan mencegah putus obat.
e. Berikan nasehat pada pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel
dengan tindakan hidrasi serta lotion kulit. Rasional: Stratum korneum memerlukan
air agar fleksibilitas kulit btetap terjaga.. pemberian lotion untuk melembabkan kulit
akan mencegah agar kulit tidak menjadi kering, kasar, retak dan bersisik.
f. Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat. Rasional: Penampakan kulit
mencerminkan kesehatan umum seseorang.perubahan pada kulit dapat mendakan
status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal meningkatkan regenerasi jaringan
dan penyembuhan umum kesehatan.
g. Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau rehabilitasi.
Rasional: Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang kontinu dan perubahan
terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal.

6. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan: Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerimah
perubahan status kesehatannya dengan cara sehat.
Intervensi:
a. Berikan penjelasan yang sering dan imformasi tentang prosedur perawatan. Rasional:
Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ancietas, memperjelas kesalahan
konsep dan meningkatkan kerjasama.
b. Libatkan pasien atau orang terdekat dalam proses pengambilan keputusan. Rasional :
Meningkatkan rasa control dan kerjasama, menurunkan perasaan tak berdaya atau
putus asa.
c. Kaji status mental terhadap penyakit. Rasional: Pada awalnya pasien dapat
menggunakan penyangkalan untuk menurungkan dan menyaring imformasi secara
keseluruhan.
d. Berikan orientasi konstan dan konsisten. Rasional: Membantu pasien tetap
berhubungan dengan lingkungan dan realitas.
e. Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya. Rasional: Pasien perlu
membicarakan apa yang terjadi terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap
situasi apa yang menakutkan.
f. Jelaskan pada pasien apa yanga terjadi. Berikan kesempatan untuk bertanya dan
berikan jawaban terbuka atau jujur. Rasional: Pernyataan kompensasi menunjukkan
realitas situasi yang dapat membantu pasien atau orang terdekat menerima realitas dan
mulai menerima apa yang terjadi.
g. Identifikasi metode koping atau penanganan stuasi stress sebelumnya. Rasional:
Perilaku masalalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini.
h. Dorong keluarga atau orang terdekat mengunjungi dan mendiskusikan yang terjadi
pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian masa lalu dan akan datang. Rasional:
Mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan dan
kesinambungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A. 2005. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Doenges, Marlyn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius. Nanda.

Price, Sylvia. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Psoses Penyakit Edisi 6.


Jakarta : EGC

Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Refference, antara lain : WHO. 2005. Global Leprosy Situation, 2005; Depkes. 2005.
Buku Pedoman Program P2 Kusta Bagi Petugas Puskesmas. Roos,W. F. 1989. Penyakit
Kusta. PT Gramedia

http://imeyus.blogspot.co.id/2010/12/kelainan-pada-kulit.html

http://www.raport.ga/2014/04/makalah-pentakit-kusta.html

http://iranners.blogspot.co.id/2013/07/askep-kusta-morbus-hansen_7904.html

http://keperawatan-gun.blogspot.co.id/2008/06/asuhan-keperawatan-kusta.html

Anda mungkin juga menyukai