Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH INSOMNIA

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK I

FITRIA RESKI RAHMADINA

GREGORIUS KEVIN RANTE MARIO T.

INDRI WIDYA HAPSARI

NUR RHIKA HARIANA

NURHIKMAH
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT. Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang,kami panjatkan puja dan pujisyukur atas Kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kami,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ilmiah mengenai Insomnia beserta cara pengobatannya
untuk para pembaca.

Makalah ilmiah ini sudah selesai kami susun dengan maksimal dengan
bantuan pertolongan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan
makalah ini. Untuk itu,kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua
pihak yang sudah ikut berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu,kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari
kata sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu,kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah
ilmiah sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.

Akhir kata kami meminta semoga makalah ilmiah tentang Insomnia dan cara
pengobatannya ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi pada para pembaca.
BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Dari semua gangguan tidur, insomnia mungkin satu-satunya di mana telah ada
sejumlah besar teori top-down. Ini mungkin terjadi karena kerangka kerja
diperlukan untuk memahami kelainan yang memiliki banyak penyebab dan jalan
yang tidak berbahaya dan progresif. Dalam bab ini, empat model umum
etiologi dan patofisiologi insomnia dirangkum dan dievaluasi secara kritis.
Secara khusus, kami meninjau bagaimana masing-masing model mencirikan
hyperarousal yang dianggap bertanggung jawab untuk mengganggu kontinuitas
tidur. Informasi tambahan diberikan tentang bagaimana homeostasis tidur dan
pertimbangan sirkadian dapat menengahi, sedang, atau berinteraksi dengan
hiperperousal.

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah nya yaitu ;

1. Definisi Insomnia
2. Klasifikasi Insomnia
3. Etiologi Insomnia
4. Patofisiologi Insomnia
5. Tanda dan Gejala Insomnia
6. Pencegahan Insomnia
7. Pengobatan Insomnia

Tujuan

Adapun tujuan nya yaitu ;

1. Untuk mengetahui Definisi Insomnia


2. Untuk mengetahui Klasifikasi Insomnia
3. Untuk mengetahui Etiologi Insomnia
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Insomnia
5. Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Insomnia
6. Untuk mengetahui Pencegahan Insomnia
7. Untuk mengetahui Pengobatan Insomnia

Manfaat

Agar siswa mampu mengetahui dan menganalisis tentang insomnia dan mampu
mengaplikasikannya kepada pasien.
BAB II

PEMBAHASAN
1. Definisi Insomnia

Insomnia adalah keluhan yang sering muncul berupa kendala-kendala seperti


kesulitan tidur, tidur tidak tenang, kesulitan menahan tidur atau untuk tetap tidur,
seringnya terbangun di pertengahan malam dan seringnya terbangun lebih awal
pada diri seseorang (Rafknowledge, 2004:57).

Istilah insomnia berasal dari bahasa Latin, yaitu "in-" = tidak atau tanpa dan
"somnus" = tidur. Maksudnya adalah tidak dapat tidur atau sulit untuk memulai tidur,
sulit untuk tetap tidur, dan kesulitan untuk memperoleh kualitas tidur yang cukup
(Nevid, 2005:70).

Berikut beberapa definisi Insomnia dari beberapa sumber referensi:

 Insomnia didefinisikan sebagai keluhan kesulitan untuk memulai tidur.


kesulitan mempertahankan tidur, atau mengalami nonrestorative sleep, dan
biasanya dihubungkan dengan masalah pada aktivitas siang hari (Stepanski,
2009).
 Menurut Clinical Practice Guideline Adult Insomnia: Assesement to
Diagnosis(Panduan Praktis Klinis Insomnia untuk Orang Dewasa: Assesment
untuk Diagnosis) (2007:3) mendefinisikan insomnia sebagai kesulitan
memasuki tidur, kesulitan untuk tetap tidur, atau tidur yang tidak dapat
menyegarkan pada seseorang yang padahal ia mempunyai kesempatan
untuk tidur malam yang normal, yaitu 7-8 jam.
 Menurut Hoeve (1992) insomnia merupakan keadaan tidak dapat tidur atau
terganggunya pola tidur. Orang yang bersangkutan mungkin tidak dapat tidur,
sukar untuk jatuh tidur, atau mudah terbangun dan kemudian tidak dapat tidur
lagi.

2. Klasifikasi Insomnia

Insomnia dalam National Institutes of Health (1995) dapat dibagi menjadi transient
(sementara), intermittent (kadang-kadang) dan kronis (konstan). Menurut klasifikasi
diagnostik WHO pada tahun 1990, insomnia dimasukkan dalam golongan DIMS
(Disorder of Initiating and Maintaining Sleep).
Secara umum imsomnia dibagi menjadi dua jenis, yaitu (Lanywati, 2001:14):

 Insomnia Primer
Merupakan gangguan sulit tidur yang penyebabnya belum diketahui secara pasti
dan biasanya berlangsung lama atau kronis (long term insomnia). Insomnia primer
sering menyebabkan terjadinya komplikasi kecemasan dan depresi, yang justru
dapat menyebabkan insomnia semakin parah.

 Insomnia Sekunder
Merupakan gangguan sulit tidur yang penyebabnya dapat diketahui secara pasti.
Penyebabnya dapat berupa faktor gangguan sakit fisik dan gangguan kejiwaan
(psikis). Insomnia sekunder dibedakan menjadi dua, yaitu insomnia sementara
(transient insomnia) dan insomnia jangka pendek (short term insomnia). Insomnia
sementara (transient insomnia) terjadi pada seseorang yang dapat tidur normal,
namun karena adanya stres atau ketegangan sementara menjadi sulit tidur.
Sedangkan insomnia jangka pendek (short term insomnia) merupakan gangguan
sulit tidur yang terjadi pada para penderita sakit fisik atau mendapat stres
situasional.

Sedangkan menurut Fisher, insomnia dibedakan menjadi tiga bentuk dan


ditambahkan satu bentuk lagi oleh Maxmen, sehingga ada empat bentuk insomnia,
yaitu (Hardjanta, 2003:2):

 Sleep-onset (Initial) Insomnia, yang meliputi kesulitan untuk jatuh atau masuk
tidur.
 Sleep-maintenance (Middle) insomnia, yang ditandai dengan sering terbangun di
malam hari.
 Terminal insomnia, yang berbentuk bangun awal pada pagi hari dan dan tidak
dapat kembali tidur.
 Pan-insomnia, yaitu kesulitan tidur sepanjang malam.

3. Etiologi Insomnia

 Faktor Biologis

Pola tidur, yang mencakup durasi dan waktu tidur, diatur oleh banyak gen dan
bersifat diwariskan. Sehingga terdapat individu-individu yang secara genetik rentan
mengalami gangguan tidur.

Perubahan jam biologis, misalnya karena perubahan shift kerja atau bepergian ke
zona waktu yang berbeda, juga bisa memicu timbulnya gangguan tidur.Irama
sirkadian fisiologis juga bisa berubah seiring bertambahnya usia sebagaimana yang
terjadi pada lansia.
 Faktor Psikologis

Gangguan tidur merupakan gejala yang umum ditemukan pada berbagai gangguan
psikiatri, misalnya gangguan afektif, gangguan cemas, gangguan makan,
penyalahgunaan zat, dan schizophrenia.
Insomnia juga sering berhubungan dengan gangguan fisik yang menimbulkan nyeri
dan ketidaknyamanan. Stressor psikologis juga bisa menjadi pemicu timbulnya
gangguan tidur.

 Faktor Sosiodemografik

Biasanya gangguan tidur timbul ketika seseorang sedang mengalami stressor,


misalnya masalah pekerjaan atau perkawinan. Selain itu, insomnia lebih sering
ditemukan pada jenis kelamin perempuan, pasien usia lanjut, dan status sosial
ekonomi yang rendah.

Menurut Rafknowldege (2004:58), jika diambil garis besarnya, faktor-faktor


penyebab insomnia yaitu :

 Stres atau Kecemasan. seseorang yang didera kegelisahan yang dalam,


biasanya karena memikirkan permasalahan yang sedang dihadapi.
 Depresi. Selain menyebabkan insomnia, depresi juga bisa menimbulkan
keinginan untuk tidur terus sepanjang waktu, karena ingin melepaskan diri
dari masalah yang dihadapi. Depresi bisa menyebabkan insomnia dan
sebaliknya insomnia dapat menyebabkan depresi.
 Kelainan-kelainan kronis. Kelainan tidur (seperti tidur apnea), diabetes, sakit
ginjal, arthritis, atau penyakit yang mendadak seringkali menyebabkan
kesulitan tidur.
 Efek samping pengobatan. Pengobatan untuk suatu penyakit juga dapat
menjadi penyebab insomnia.
 Pola makan yang buruk. Mengkonsumsi makanan berat sesaat sebelum pergi
tidur bisa menyulitkan seseorang jatuh tidur.
 Kafein, nikotin, dan alkohol. Kafein dan nikotin adalah zat stimulan (penekan
saraf). Alkohol dapat mengacaukan pola tidur seseorang.
 Kurang berolahraga. Hal ini juga bisa menjadi faktor sulit tidur yang
signifikan.
Penyebab lainnya bisa berkaitan dengan kondisi-kondisi spesifik, seperti usia lanjut
(insomnia lebih sering terjadi pada orang yang berusia di atas 60 tahun), wanita
hamil dan riwayat depresi atau penurunan.

4. Patofisiologi Insomnia

Patofisiologi gangguan tidur masih belum diketahui secara pasti, namun beberapa
mekanisme neurobologis dan psikologis telah diajukan. Salah satu model yang
digunakan untuk menjelaskan patofisiologi gangguan tidur adalah model
neurokognitif. Model ini menerangkan bahwa faktor predisposisi, presipitasi,
perpetuasi, dan neurokognitif adalah faktor-faktor yang mendasari berkembangnya
insomnia dan menjadikannya gangguan kronik.

Model lain yang bisa digunakan untuk adalah model psychobiologic inhibition, yang
menunjukkan bahwa tidur yang baik membutuhkan otomatisasi dan plastisitas.
Otomatisasi artinya bahwa inisiasi tidur dan maintenance tidur bersifat involunter,
yang dikendalikan oleh homeostatis dan regulasi sirkadian. Plastisitas adalah
kemampuan sistem tubuh untuk mengakomodasi berbagai kondisi lingkungan. Pada
kondisi normal, tidur terjadi secara pasif (tanpa atensi, niat, atau usaha). Situasi
hidup yang penuh dengan stres bisa memicu berbagai respon arousal fisiologis dan
psikologis, yang menimbulkan inhibisi terhadap de-arousal yang berhubungan
dengan tidur dan menimbulkan gejala gangguan tidur.

5. Tanda dan Gejala Insomnia

Insomnia adalah gejala atau penyakit akibat dari kekurangan tidur, atau yang
terganggu oleh jam-jam dari bagian waktu yang tak sadar yang merupakan bagian
terpenting untuk menuju tidur nyenyak. Penderita insomnia sesungguhnya juga
bukan semata-mata karena akibat seringnya kurang tidur atau berada dalam
pendeknya masa tidur, tetapi sangat mungkin disebabkan oleh adanya beberapa
faktor lain (Vrisaba, 2002).

Insomnia atau gangguan sulit tidur merupakan suatu keadaan seseorang dengan
kuantitas dan kualitas tidur yang kurang. Gejala insomnia sering dibedakan sebagai
berikut (Laniwaty, 2001:13):

 Kesulitan memulai tidur (initial insomnia), biasanya disebabkan oleh adanya


gangguan emosi, ketegangan atau gangguan fisik, (misal: keletihan yang
berlebihan atau adanya penyakit yang mengganggu fungsi organ tubuh).
 Bangun terlalu awal (early awakening), yaitu dapat memulai tidur dengan
normal, namun tidur mudah terputus dan atau bangun lebih awal dari waktu
tidur biasanya, serta kemudian tidak bisa kembali tidur lagi. Gejala ini sering
muncul seiring dengan bertambahnya usia seseorang atau karena depresi
dan sebagainya.
Gejala-gejala yang umumnya muncul pada seseorang yang mengalami insomnia
berpengaruh dengan ciri-ciri sebagai berikut (Rafknowledge, 2004:60):

 Kesulitan jatuh tertidur atau tidak tercapainya tidur nyenyak. Keadaan ini bisa
berlangsung sepanjang malam dan dalam tempo berhari-hari, berminggu-
minggu atau lebih.
 Merasa lelah saat bangun tidur dan tidak merasakan kesegaran. Mereka yang
mengalami insomnia seringkali merasa tidak pernah tertidur sama sekali.
 Sakit kepala di pagi hari. Ini sering disebut efek mabuk, padahal nyatanya
orang tersebut tidak minum-minum di malam itu.
 Kesulitan berkonsentrasi.
 Mudah marah.
 Mata memerah.
 Mengantuk di siang hari.
6. Pencegahan Insomnia

Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah insomnia, di


antaranya adalah dengan menjaga konsistensi waktu tidur dan bangun tidur setiap
hari, termasuk di hari libur. Langkah pencegahan lainnya adalah:

 Hindari banyak makan dan minum sebelum tidur.


 Hindari atau batasi konsumsi minuman beralkohol dan berkafein.
 Usahakan aktif di siang hari agar terhindar dari tidur siang.
 Jangan merokok.
 Jaga kenyamanan kamar tidur, dan usahakan hanya masuk ke dalamnya bila
ingin tidur.
 Periksa obat-obatan yang dikonsumsi, apakah kandungannya menyebabkan
sulit tidur.

7. Pengobatan Insomnia

Langkah pertama untuk mengobati insomnia adalah mencari tahu dan mengatasi
akar penyebabnya. Bila pasien tetap mengalami insomnia meski penyebabnya telah
diatasi, dokter akan menyarankan pasien menjalani terapi perilaku kognitif untuk
insomnia (CBT-I). Pasien juga bisa diterapi dengan obat-obatan, atau kombinasi
antara obat dan CBT-I.
CBT-I bertujuan membantu pasien insomnia mengubah pikiran dan perilaku negatif
yang membuat pasien susah tidur. Terapi ini adalah pilihan utama untuk mengobati
pasien insomnia, karena lebih efektif dibanding obat-obatan. Sejumlah metode
dalam CBT-I antara lain:

 Pembatasan waktu tidur. Pasien akan diminta menghindari tidur siang, agar
waktu tidur di malam hari dapat meningkat secara bertahap.
 Teknik relaksasi. Pasien akan diajari cara mengontrol napas, guna
mengurangi kecemasan tidak bisa tidur.
 Terapi kontrol stimulus. Pasien akan dilatih untuk hanya menggunakan
kamar tidur untuk tidur atau berhubungan seks. Pasien juga dianjurkan
meninggalkan kamar tidur bila tidak bisa tidur dalam 20 menit, dan hanya
kembali bila sudah mengantuk.
 Paradoxical intention. Terapi ini bertujuan mengurangi rasa cemas dan
khawatir tidak bisa tidur, justru dengan cara tetap terbangun di tempat tidur
dan tidak berharap untuk tertidur.
 Fototerapi. Fototerapi bertujuan menormalkan jam tidur, pada pasien yang
tidur terlalu cepat di malam hari, dan bangun terlalu dini di pagi hari. Dalam
fototerapi, pasien akan disinari dengan sinar UV selama 30-40 menit setelah
bangun tidur.

Metode lain untuk mengatasi insomnia adalah dengan obat tidur. Umumnya dokter
tidak menyarankan penggunaan obat tidur lebih dari beberapa minggu.
Beberapa jenis obat yang umumnya diresepkan dokter untuk menangani insomnia,
antara lain zolpidem.
Perlu diketahui, obat tidur dapat menimbulkan efek samping pusing, serta bisa
meningkatkan risiko pingsan. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi terlebih
dahulu dengan dokter sebelum menggunakan obat tidur untuk insomnia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Insomnia adalah keluhan yang sering muncul berupa kendala-kendala seperti
kesulitan tidur, tidur tidak tenang, kesulitan menahan tidur atau untuk tetap tidur,
seringnya terbangun di pertengahan malam dan seringnya terbangun lebih awal
pada diri seseorang. Insomnia dalam National Institutes of Health (1995) dapat
dibagi menjadi transient (sementara), intermittent (kadang-kadang) dan kronis
(konstan). Menurut klasifikasi diagnostik WHO pada tahun 1990, insomnia
dimasukkan dalam golongan DIMS (Disorder of Initiating and Maintaining Sleep).
Langkah pertama untuk mengobati insomnia adalah mencari tahu dan mengatasi
akar penyebabnya. Bila pasien tetap mengalami insomnia meski penyebabnya telah
diatasi, dokter akan menyarankan pasien menjalani terapi perilaku kognitif untuk
insomnia (CBT-I). Pasien juga bisa diterapi dengan obat-obatan, atau kombinasi
antara obat dan CBT-I.
DAFTAR PUSTAKA
 Rafknowledge. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta : PT Elex
Media Komputindo.
 Nevid, J. F., dkk. 2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.
 Stepanski, E.J. 2009. Causes of Insomnia. In : Lee-Chiong, T.L., 2009. Sleep
Medicine Esentials. Division of Sleep Medicine, Department of Medicine,
National Jewish Health, University of Colorado Denver School of Medicine.
Denver, Colorado.
 Hoeve, V. 1992. Ensiklopedi (Terjemahan Oleh Irsad, M). Jakarta: Ichtar Baru.
 Vrisaba, Rahadian. 2002. Mengapa anda sulit tidur. Bandung: Pionir Jaya.
 Lanywati, Endang. 2001. Insomnia: Gangguan Sulit Tidur. Yogyakarta:
Kanisius.
 Hardjanta, G. 2003. Efektivitas Perlakuan Intensi Paradoksal pada Penderita
Insomnia. Psikodimensia: Kajian Ilmiah Psikologi. Semarang: Universitas
Katolik Soegijapranata. Vol.1. No. 1 (21-26).
 Kryger MH, Roth T, Dement WC, editors. Principles and practice of sleep
medicine. Sixth edition. Philadelphia, PA: Elsevier; 2017.
 Levenson JC, Kay DB, Buysse DJ. The Pathophysiology of Insomnia. Chest
2015;147:1179–92. [https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25846534]
 APA. Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Arlington
VA: American Psychiatric Publishing; 2013.
 9. Praharaj SK, Gupta R, Gaur N. Clinical Practice Guideline on Management
of Sleep Disorders in the Elderly. Indian J Psychiatry 2018;60:S383–96.
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5840912/]
 10. WHO. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders.
Geneva: World Health Organization; 2007.
 Levenson, et al. (2015). The Pathophysiology of Insomnia. Chest, 147(4), pp.
1179-1192.
 Saddichha, S. (2010). Diagnosis and Treatment of Chronic Insomnia. Annals
of Indian Academy of Neurology, 13(2), pp. 94-102.
 Psychology Today (2018). Insomnia.
 Health Service Executive. Conditions and Treatments. Insomnia.
 NHS Choices UK (2018). Health A-Z. Insomnia.
 Mayo Clinic (2016). Diseases and Conditions. Insomnia.
 Chawia, J. Medscape (2017). Insomnia.
 Gabbey, AE. Healthline (2016). Sleep and Wakefulness.
 Giorgi, A. Healthline (2016). Polysomnography.
 Lamoreux, et al. Healthline (2018). Everything You Need to Know about
Insomnia.
 O’Connell, K. Healthline (2017). Effects of Insomnia on the Body.
 Peters, B. Verywell Health (2018). Insomnia Treatment Option: Phototherapy.
 WebMD (2017). An Overview of Insomnia.

Anda mungkin juga menyukai