Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH KEPERAWATAN JIWA

“INSOMNIA & PARASOMNIA”


Dosen Pembimbing : Ns. Iin Aini Isnawati , S.kep, M.kep

Kelompok 3
Anggota Kelompok :
1. Handoko M.P
2. Maulindawati
3. Faroid A.G
4. Lulu Wati
5. Choiriyah Fitriani
6. M. Fahrur Rozi
7. Heru Prasetyo
8. Septian Adi

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HAFSHAWATY
ZAINUL HASAN GENGGONG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur
baik kualitas maupun kuantitas. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu insom-
nia inisial atau tidak dapat memulai tidur, insomnia intermitten atau tidak
bisa mempertahankan tidur atau sering terjaga dan insomnia terminal atau
bangun secara dini dan tidak dapat tidur kembali (Potter, 2005).
Kebanyakan gangguan tidur tak bisa dihindari, tetapi bisa dihu-
bungkan dengan kondisi kesehatan, yang bisa lebih bisa dihindari. Misal-
nya, banyak penderita OSA yang ternyata memiliki berat badan berlebih
(overweight). Jika berat badan bisa dikurangi, gangguan tidur yang diderita
pun bisa diatasi. Yang jelas, pola tidur yang baik merupakan pen-cegahan
terbaik. Olahraga dan diet sehat juga membantu tidur Anda men-jadi
berkualitas.
Jika gangguan tidur sudah tergolong parah, pengobatan bisa dila-
kukan dengan obat, alat, operasi, atau life therapy (perilaku). Pada gang-
guan tertentu, dilakukan terapi sinar. Tetapi tentu saja, cara yang paling
mudah adalah dengan mengubah gaya hidup serta menambah pengetahuan
tentang tidur.

1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, bagaimana konsep teori dari in-
somnia dan parasomnia, beserta bagaimana asuhan keperawatan dari in-
somnia dan parasomnia??

1.3.Tujuan
1. Tujuan umum
Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep insomnia
dan parasomnia.
2. Tujuan khusus
Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :
1. Menjelaskan definisi dari insomnia dan parasomnia
2. Menjelaskan pengelompokan insomnia dan parasomnia
3. Menjelaskan penatalaksanaan insomnia dan parasomnia
4. Menjelaskan karakteristik insomnia dan parasomnia
5. Menjelaskan etiologi insomnia dan parasomnia
6. Menjelaskan askep insomnia dan parasomnia
BAB II
KONSEP TEORI
A. INSOMNIA
2.1. Definisi
Insomnia adalah keadaan tidak dapat tidur karena gangguan jiwa.
(KBBI edisi 4 , 2008)
Insomnia adalah tidak dapat tidur ; keadaan terjaga yang
abnormal (Dorland, 1998)
Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan
tidur baik kualitas maupun kuantitas. (Potter, 2005).
Dari ketiga definisi diatas, kelompok menyimpulkan bahwa
insomnia adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi
kebutuhan istirahat tidurnya baik dari segi kualitas tidur maupun
intensitas atau waktu tidur yang normal.
Table 2.1. Kebutuhan tidur dalam siklus kehidupan
TAHAP SIKLUS KEHIDUPAN PERKIRAAN JAM TIDUR
Bayi 18-20
Anak-anak 10-12
Remaja 8-10
Dewasa muda – setengah baya 6-8
Dewasa tua 5-7

Kebutuhan tidur normal pada anak menurut The International


Classification of Sleep Disorders (ICSD, 2010)
 Usia 1-4 bulan : 14 ½ – 15 ½ jam per hari
 Usia 4-12 bulan : 14 – 15 jam per hari
 Usia 1-3 tahun : 12 – 14 jam per hari
 Usia 3-6 tahun : 10 ¾ – 12 jam per hari
 Usia 7-12 tahun : 10 – 11 jam per hari
 Usia 12-18 tahun : 8 ¼ – 9 ½ jam per hari
2.2. Epidemiologi
Penyakit insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering
dikeluhkan masyarakat. Prevalensinya bervariasi berdasarkan definisi
kasus dan kriteria diagnostik yang spesifik, sehingga estimasi preva-lensi
insomnia memiliki rentang sekitar 10% hingga 40%. Penelitian di Korea
Selatan menunjukkan bagaimana variasi angka prevalensi insom-nia
berdasarkan definisinya. Ketika insomnia didefinisikan berdasarkan
frekuensi tidur(gejala muncul selama 3 malam dalam 1 minggu) maka
angkanya menjadi 17%. Bila definisinya mengarah pada kesulitan da-
lam mempertahankan tidur, nilainya menjadi 11,5%. Dengan menggu-
nakan DSM-IV nilainya menjadi 5%. Suatu survey di Singapura me-
nunjukkan 8% sampai 10% pasien yang datang ke dokter umum
mengeluhkan gejala insomnia. Penelitian ini menunjukkan kuantitas pa-
sien insomnia yang datang kepada dokter umum tidaklah sedikit. Se-buah
artikel menyatakan Riset internasional yang telah dilakukan US Census
Bureau, International Data Base tahun 2004 terhadap pendu-duk
Indonesia menyatakan bahwa dari 238,452 juta jiwa penduduk Indonesia,
sebanyak 28,035 juta jiwa(11,7%) terjangkit insomnia. Ang-ka ini
membuat insomnia sebagai salah satu gangguan paling banyak yang
dikeluhkan masyarakat Indonesia.
Dari segi jenis insomnianya, hasil penelitian di Amerika Serikat
yang menggunakan DSM-IV menunjukkan 20% sampai 49% penduduk
dewasa mengidap insomnia intermiten dan 10 sampai 20% mengidap
insomnia kronis, di mana 25% dari pengidap insomnia kronis ter-
diagnosis sebagai insomnia primer. Prevalensi insomnia lebih tinggi pada
wanita dan lansia( 65 tahun ke atas). Wanita lebih sering 1,5 kali
mengidap insomnia dibandingkan pria, dan 20-40% lansia mengeluhkan
gejala-gejala padainsomnia tiap beberapa hari dalam 1 bulan.

2.3. Etiologi
Sebab-sebab terjadinya insomnia antara lain :
a. Suara atau bunyi : Biasanya orang dapat menyesuaikan dengan suara
atau bunyi sehingga tidak mengganggu tidurnya. Misalnya
seseorang yang takut diserang atau dirampok, pada malam hari
terbangun berkali-kali hanya suara yang halus sekalipun.
b. Suhu udara : Kebanyakan orang akan berusaha tidur pada suhu udara
yang menyenangkan bagi dirinya. Bila suhu udara rendah memakai
selimut dan bila suhu tinggi memakai pakaian tipis, insomnia ini
sering dijumpai didaerah tropic.
c. Tinggi suatu daerah ; Insomnia merupakan gejala yang sering
dijumpai pada mountain sickness (mabuk udara tipis), terjadi pada
pendaki gunung yang lebih dari 3500 meter diatas permukaan air
laut.
d. Penggunaan bahan yang mengganggu susunan saraf pusat : insomnia
dapat terjadi karena penggunaan bahan-bahan seperti kopi yang
mengandung kafein, tembakau yang mengandung nikotin dan obat-
obat pengurus badan yang mengandung anfetamin atau yang sejenis.
e. Penyakit psikologi : Beberapa penyakit psikologi ditandai antara lain
dengan adanya insomnia seperti pada gangguan afektif, gangguan
neurotic, beberapa gangguan kepribadian, gangguan stress pasca-
trauma dan lain-lain (Joewana, 2006).

2.4. Tipe-tipe (Klasifikasi Insomnia)


2.4.1. Jenis insomnia ada 3 macam yaitu menurut Potter (2005), yaitu :
1. Insomnia inisial atau tidak dapat memulai tidur,
2. Insomnia intermitten atau tidak bisa mempertahankan tidur atau
sering terjaga, dan
3. Insomnia terminal atau bangun secara dini dan tidak dapat tidur
kembali.

2.4.2. Jenis insomnia menurut Erry (2000), terdiri atas tiga tipe :
a) Tidak bisa masuk atau sulit masuk tidur yang disebut juga insomnia
inisial dimana keadaan ini sering dijumpai pada orang-orang muda.
Berlangsung selama 1-3 jam dan kemudian karena kelelahan ia bisa
tertidur juga. Tipe insomnia ini bisa diartikan ketidakmampuan
seseorang untuk tidur.
b) Terbangun tengah malam beberapa kali, tipe insomnia ini dapat
masuk tidur dengan mudah, tetapi setelah 2-3 jam akan terbangun
dan tertidur kembali, kejadian ini dapat terjadi berulang kali. Tipe
insomnia ini disebut jaga intermitent insomnia.
c) Terbangun pada waktu pagi yang sangat dini disebut juga insomnia
terminal, dimana pada tipe ini dapat tidur dengan mudah dan cukup
nyenyak, tetapi pada saat dini hari sudah terbangun dan tidak dapat
tidur lagi.

2.5. Dampak Insomnia


Insomnia dapat memberi efek pada kehidupan seseorang, antara lain
:
a) Efek fisiologis : Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh
stress.
b) Efek psikologis : Dapat berupa gangguan memori, gangguan
berkonsentrasi, kehilangan motivasi, depresi dan lain-lain.
c) Efek fisik/somatic : Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi
dan sebagainya.
d) Efek sosial : Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti
susah mendapat promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa
menikmati hubungan sosial dan keluarga.
e) Kematian orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki
angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam
semalam. Hal ini mungkin disebabkan karena penyakit yang
mengindiksi insomnia yang memperpendek angka harapan hidup
atau karena high arousal stateyang terdapat pada insomnia. Selain
itu, orang yang menderita insomnia memiliki kemungkinan 2 kali
lebih besar untuk mengalami kecelakaan lalu lintas jika
dibandingkan dengan orang yang normal (Turana, 2007).
2.6. Penatalaksanaan
2.6.1. Penatalaksanaan Umum pada Insomnia
Untuk menyembuhkan insomnia, maka terlebih dahulu harus di-
kenali penyebabnya. Artinya, kalau disebabkan penyakit tertentu, maka
untuk mengobatinya maka penyakitnya yang harus disembuhkan ter-
lebih dahulu (Aman, 2005).
Point-point umum penatalaksanaan insomnia adalah sebagai berikut
:
a. Singkirkan atau terapi sindrom-sindrom yang spesifik
b. Latih kebiasaan tidur yang baik. Pertahankan waktu tidur yang
teratur, gunakan kamar tidur hanya untuk tidur. Jaga agar ruangan
gelap, tenang, dan dingin. Kembangkan suatu ritual tidur sekitar satu
jam sebelum tidur. Bangun pada waktu yang sama setiap pagi.
Olahraga yang teratur pada siang hari, tetapi tidak dilakukan setelah
makan malam. Hindari aktivitas mental yang terlampau
bersemangat pada saat menjelang malam.
c. Berikan dukungan dan penghiburan. Lakukan psikoterapi, jika
diperlukan. Cobalah teknik relaksasi: relaksasi progresif, biofeed-
back, self-hypnosis, meditasi dan lain-lain. Tekankan kepekaan akan
kontrol diri.
d. Gunakan sedatif-hipnotik hanya untuk waktu yang terbatas.
Sebagian besar obat hipnotik menjadi tidak efektif lagi setelah 2
minggu jika digunakan pada malam hari.

Tindakan atau upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi


insomnia bisa juga dilakukan dengan cara berikut :
a) Memakan makanan berprotein tinggi sebelum tidur, seperti keju atau
susu. Tripofan yang merupakan suatu asam amino dari protein yang
dicerna, dapat membantu agar mudah tidur.
b) Usahakan agar selalu beranjak tidur pada waktu yang sama.
c) Hindari tidur diwaktu siang atau sore hari.
d) Berusaha untuk tidur hanya apabila merasa benar-benar kantuk dan
tidak pada waktu kesadaran penuh.
e) Hindari kegiatan-kegiatan yang membangkitkan minat sebelum
tidur.
f) Lakukan latihan-latihan gerak badan setiap hari, tetapi tidak
menjelang tidur.
g) Gunakan teknik-teknik pelepasan otot-otot serta meditasi sebelum
berusaha untuk tidur.

2.6.2. Penanganan Insomnia Pada Usia Lanjut


Setelah diagnosis ditegakkan, dilanjutkan dengan rencana pena-
nganan. Penanganan insomnia pada usia lanjut terdiri dari terapi nonfar-
makologi dan farmakologi. Tujuan terapi adalah menghilangkan gejala,
meningkatkan produktivitas dan fungsi kognitif sehingga dapat mening-
katkan kualitas hidup pada pasien usia lanjut.
1. Terapi Nonfarmakologi
Terapi nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif
sebagai farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk
insomnia kronis pada pasien usia lanjut. Behavioral therapies terdiri dari
beberapa metode yang dapat diterapakan baik secara tunggal maupun
kombinasi yaitu :
a. Stimulus control
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk mengunakan tempat tidur
hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain seperti membaca
dan menonton tv di tempat tidur. Ketika mengantuk pasien datang
ke tempat tidur, akan tetapi jika selama 15- 20 menit berada disana
pasien tidak bisa tidur maka pasien harus bangun dan melakukan
aktivitas lain sampai merasa mengantuk baru kembali ke tempat
tidur. Metode ini juga harus didukung oleh suasana kamar yang
tenang sehingga mempercepat pasien untuk tertidur. Dengan
metode terapi ini, pasien mengalami peningkatan durasi tidur sekitar
30-40 menit. Terapi ini tidak hanya bermanfaat untuk insomnia
primer tapi juga untuk insomnia sekunder jika dikombinasi dengan
sleep hygiene dan terapi relaksasi.
b. Sleep restriction
Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur dan
meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak tidur
terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat tidur.
Terlalu lama di tempat tidur akan menyebabkan pola tidur jadi
terpecah- pecah. Pada usia lanjut yang sudah tidak beraktivitas
lebih senang menghabiskan waktunya di tempat tidur namun,
berdampak buruk karena pola tidur menjadi tidak teratur. Melalui
Sleep Restriction ini diharapkan dapat menentukan waktu dan
lamanya tidur yang disesuaikan dengan kebutuhan.
c. Sleep hygiene
Sleep Higiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan
lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur. Hal-hal
yang dapat dilakukan pasien untuk meningkatkan Sleep Higiene
yaitu: olahraga secara teratur pada pagi hari, tidur secara teratur,
melakukan aktivitas yang merupakan hobi dari usia lanjut,
mengurangi konsumsi kafein, mengatur waktu bangun pagi,
menghindari merokok dan minum alkohol 2 jam sebelum tidur dan
tidak makan daging terlalu banyak sekitar 2 jam sebelum tidur.
d. Terapi relaksasi
Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan usia lanjut yang
mudah terjaga di malam hari saat tidur. Pada beberapa usia lanjut
mengalami kesulitan untuk tertidur kembali setelah terjaga. Metode
terapi relaksasi meliputi: melakukan relaksasi otot, guided imagery,
latihan pernapasan dengan diafragma, yoga atau meditasi. Pada
pasien usia lanjut sangat sulit melakukan metode ini karena tingkat
kepatuhannya sangat rendah.
e. Cognitive behavioral therapy
Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan psikoterapi
kombinasi yang terdiri dari: stimulus control, sleep retriction,
terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi. Terapi ini
bertujuan untuk mengubah maladaftive sleep belief menjadi
adaftive sleep belief. Sebagai contoh: pasien memiliki kepercayaan
harus tidur selama 8 jam setiap malam, jika pasien tidur kurang dari
8 jam maka pasien merasa kualitas tidurnya menurun. Hal ini harus
dirubah mengingat yang menentukan kualitas tidur tidak hanya
durasi tetapi kedalaman tidur.
Dari penelitian yang dilakukan dengan metode randomized
controlled studies oleh NIH state-of-the-science Conference on
Chronic Insomnia menyimpulkan CBT efektif pada insomnia
kronis. Chesson et al mengindikasikan CBT sebagai terapi tunggal
sedangkan Morin et al mengemukakan bahwa CBT harus
dikombinasikan dengan terapi lain untuk mendapatkan hasil yang
optimal. Randomized placebo-controlled trial oleh Morin et al
pada 78 sampel (CBT=18 sampel, Temazepam=20 sampel,
kombinasi CBT dengan Temazepam= 20 sampel, placebo= 20
sampel) berumur rata-rata 65 tahun yang membandingkan antara
CBT, temazepam dan plasebo disimpulkan bahwa CBT lebih
efektif dari temazepam. CBT dapat menurunkan wake after sleep
onset sebesar 55% sedangkan temazepam hanya 46,5%.

2. Terapi Farmakologi
Seperti pada terapi nonfarmakologi, tujuan terapi farmakologi
adalah untuk menghilangkan keluhan pasien sehingga dapat meningkat-
kan kualitas hidup pada usia lanjut.
Ada lima prinsip dalam terapi farmakologi yaitu: menggunakan
dosis yang rendah tetapi efektif, dosis yang diberikan bersifat inter-
miten (3-4 kali dalam seminggu), pengobatan jangka pendek (3-4
mimggu), penghentian terapi tidak menimbulkan kekambuhan pada
gejala insomnia, memiliki efek sedasi yang rendah sehingga tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
Selain kelima prinsip diatas, dalam memberikan obat harus
mem-perhatikan perubahan farmakokinetik dan farmokodinamik pada
usia lanjut. Dengan pertambahan umur akan terjadi perubahan dalam
distribusi, metabolisme dan eliminasi obat yang berkaitan erat dengan
timbulnya efek samping obat. Terapi farmakologi yang paling efektif
untuk insomnia adalah golongan Benzodiazepine (BZDs) atau non-
Benzodiazepine. Obat golongan lain yang digunakan dalam terapi
insomnia adalah golongan sedating antidepressant, antihistamin,
antipsikotik. Menurut The NIH state-of-the-Science Conference obat
hipnotik baru seperti eszopiclone, ramelteon, zaleplon, zolpidem dan
zolpidem MR lebih efektif dan aman untuk usia lanjut. Beberapa obat
hipnotik yang aman untuk usia lanjut yaitu:
a. Benzodiazepine
Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering
digunakan untuk mengobati insomnia pada usia lanjut. BZDs
menimbulkan efek sedasi karena bekerja secara langsung pada
reseptor benzodiazepine. Efek yang ditimbulkan oleh BZDs adalah
menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan sleep
latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam pemberian BZDs pada usia lanjut
mengingat terjadinya perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik terkait pertambahan umur. Absorpsi dari BZDs
tidak dipengaruhi oleh penuaan akan tetapi peningkatan masa lemak
pada lanjut usia akan meningkatkan drug-elimination half life,
disamping itu pada usia lanjut lebih sensitif terhadap BZDs
meskipun memiliki konsentrasi yang sama jika dibandingkan
dengan pasien usia muda. Pilihan pertama adalah short-acting
BZDs serta dihindari pemakaian long acting BZDs.
BZDs digunakan untuk transient insomnia karena tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih
dari 4 minggu akan menyebabkan tolerance dan ketergantungan.
Golongan BZDs yang paling sering dipakai adalah temazepam,
termasuk intermediate acting BZDs karena memiliki waktu paruh
8-20 jam. Dosis temazepam adalah 15-30 mg setiap malam. Efek
samping BZDs meliputi:
gangguan psikomotor dan memori pada pasien yang diterapi short-
acting BZDs sedangkan residual sedation muncul pada pasien yang
mendapat terapi long acting BZDs. Pada pasien yang menggunakan
BZDs jangka panjang akan menimbulkan resiko ketergantungan,
daytime sedation, jatuh, kecelakaan dan fraktur.
b. Non-Benzodiazepine
Memiliki efek pada reseptor GABA dan berikatan secara
selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak. Obat ini
efektif pada usia lanjut karena dapat diberikan dalam dosis yang
rendah. Obat golongan ini juga mengurangi efek hipotoni otot,
gangguan prilaku, kekambuhan insomnia jika dibandingkan dengan
obat golongan BZDs. Zaleplon, zolpidem dan Eszopiclone berfungsi
untuk mengurangi sleep latency sedangkan ramelteon (melatonin
receptor agonist) digunakan pada pasien yang mengalami kesulitan
untuk mengawali tidur. Obat golongan non-benzodiazepine yang
aman pada usia lanjut yaitu:
 Zaleplon
Ancoli- Israel menemukan keefektifan dan keamanan dari
zaleplon pada usia lanjut. Zaleplon dapat digunakan jangka
pendek maupun jangka panjang, tidak ditemukan terjadinya
kekambuhan atau withdrawal symptom setelah obat
dihentikan. Dosis dari zaleplon 5-10 mg, akan tetapi waktu
paruhnya hanya 1 jam.
 Zolpidem
Zolpidem merupakan obat hipnotik yang berikatan secara
selektif pada reseptor benzodiazepine subtife 1 di otak. Efektif
pada usia lanjut karena tidak mempengaruhi sleep
architecture. Zolpidem memiliki waktu paruh 2,5-2,9 jam
dengan dosis 5-10 mg. Zolpidem merupakan kontraindikasi
pada sleep related breathing disorder dan gangguan hati. Efek
samping dari zolpidem adalah mual, dizziness, dan efek
ketergantungan jika digunakan lebih dari 4 minggu.
 Eszopiclone
Golongan non-benzodiazepine yang mempunyai waktu paruh
paling lama adalah eszopiclone yaitu selama 5 jam pada
pasien usia lanjut. Scharf et al dalam penelitiannya
menyimpulkan eszopiclone 2 mg dapat menurunkan sleep
latency, meningkatkan kualitas dan kedalaman tidur,
meningkatkan TST pada pasien usia lanjut dengan insomnia
primer. Krystal AD et al dalam penelitiannya menyimpul-
kan bahwa eszopiclone 3 mg setiap malam dapat membantu
mempertahankan tidur dan meningkatkan kualitas tidur pada
pasien usia lanjut dengan insomnia kronik.
 Melatonin reseptor agonist
Melatonin Reseptor Agonist (Ramelteon) obat baru yang
direkomendasikan oleh Food and Drug Administration (FDA)
untuk terapi insomnia kronis pada usia lanjut. Ramelteon
bekerja secara selektif pada reseptor melatonin MT1 dan MT2.
Dalam penelitian yang dilakukan dengan metode A
randomized, double blind study selama 5 minggu pada 829
sampel berumur rata-rata 72,4 tahun dengan chronic primary
insomnia disimpulkan terjadi penurunan sleep latency dan
peningkatan TST pada minggu pertama. Ramelteon tidak
menimbulkan withdrawal effect.
 Sedating Antidepressant
Sedating antidepressant hanya diberikan pada pasien
insomnia yang diakibatkan oleh depresi. Amitriptiline adalah
salah satu sedating antidepressant yang digunakan sebagai
obat insomnia, akan tetapi pada usia lanjut menimbulkan
beberapa efek samping yaitu takikardi, retensi urin, konstipasi,
gangguan fungsi kognitif dan delirium. Pada pasien usia lanjut
juga dihindari penggunaan trisiklik antidepresan. Obat yang
paling sering digunakan adalah trazodone. Walsh dan
Schweitzer menemukan bahwa trazodone dosis rendah efektif
pada pasien yang mengalami insomnia oleh karena obat
psikotik atau monoamnie oxidase inhibitor dan pada pasien
yang memiliki kontraindikasi terhadap BZDs. Dosis
trazodone adalah 25-50 mg perhari, efek samping dari
trazodone adalah: kelelahan, gangguan sistem pencernaan,
dizziness, mulut kering, sakit kepala dan hipotensi.

B. PARASOMNIA
2.1 Pengertian
Parasomnia adalah keadaan tidak terdapat respon terhadap
rangsangan verbal ataupun mental, kecuali yang respon yang bersifat
reflek; gangguan tidur yang berupa kejadian- kejadian yang tidak
normal seperti berjalan saat tidur, mimpi buruk. (KBBI Edisi 4, 2008)
Parasomnia adalah suatu kelompok gangguan sekitar tidur yang
luas; mencakup perilaku seperti berjalan waktu tidur, mimpi buruk.
(Hinchliff, 1999)
Parasomnia adalah gangguan yang melibatkan kegiatan fisik yang
tidak diinginkan, atau pengalaman yang terjadi selama tidur. Kendati
gangguan tidur jenis ini lebih umum ditemukan pada anak-anak, sekitar
5-15 persen, dan orang dewasa 1 persen, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan berhubungan dengan adanya luka trau-ma. Parasomnia
dicirikan oleh beberapa peristiwa tidak wajar yang terjadi selama tidur,
selama tahap tidur tertentu atau selama siklus tidur-bangun. (Copel,
2007)
Dari ketiga definisi di atas, kelompok menyimpulkan bahwa
parasomnia adalah sekumpulan gangguan tidur yang berupa gerakan
yang tidak diinginkan dan tidak sadar dilakukan saat tidur.

2.2 Jenis-Jenis Parasomnia


a) Night terror
Night terror biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur,
dengan gejala tiba-tiba terbangun tengah malam disertai teria-
kan, kepanikan atau menangis disertai ketakutan dan kecemasan
dengan menangis histeris dan pandangan yang mengarah ke satu
titik seolah-olah takut akan sesuatu yang tak terlihat, pada
kejadian seperti ini banyak sekali yang menghubungkan dengan
hal-hal mistis. Penderita kadang terjaga tetapi mengalami ke-
bingungan dan disorientasi. Pada saat serangan sulit dibangun-
kan atau ditenangkan.
Seseorang mengalami teror malam atau teror tidur yakni
tiba-tiba terbangun dari tidur dalam keadaan ketakutan. Orang
mungkin tampak terjaga, tetapi tampak bingung dan tidak mam-
pu berkomunikasi. Orang yang memiliki teror tidur biasanya
tidak ingat peristiwa keesokan harinya. Teror malam mirip
dengan mimpi buruk, namun teror malam biasanya terjadi se-
lama tahap 3 tidur (deep sleep).
"Orang yang mengalami teror tidur dapat menimbulkan
bahaya untuk diri sendiri atau orang lain karena melompat di
tempat tidur atau berjalan di sekitar," jelasnya.
Ketegangan emosional yang kuat dan atau penggunaan
alkohol dapat meningkatkan kejadian teror malam di kalangan
orang dewasa.
b) Nightmare
adalah tidur dengan mimpi yang menakutkan. Akibat mim-
pinya yang menakutkan itu penderita akan terba-ngun dalam ke-
adaan ketakutan. Mereka yang sering menga-lami episode
nightmare dalam hidupnya mempunyai risiko yang lebih besar
untuk mengalami gangguan skizofrenia, namun juga mereka ini
adalah orang yang kreatif dan artistik.
Mimpi buruk adalah peristiwa nokturnal hidup yang dapat
menyebabkan perasaan takut, teror, dan atau kecemasan. Biasa-
nya, orang yang mengalami mimpi buruk, yang tiba-tiba ter-
bangun dari tidur.
c) Somnambulisme
adalah suatu keadaan perubahan kesadaran, fenomena tidur-
bangun terjadi pada saat bersamaan. Sewaktu tidur penderita
kadang melakukan aktivitas motorik yang biasa dilakukan seperti
berjalan, berpakaian atau pergi ke kamar mandi, berbicara,
menjerit, bahkan mengendarai mobil. Akhir kegiatan tersebut
kadang penderita terjaga, kemudian sejenak kebingung-an dan
tertidur kembali. Ia tidak ingat kejadian tersebut.
d) Sleepwalking
Sleepwalking terjadi ketika seseorang tampaknya terjaga dan
bergerak di sekitar dengan mata terbuka lebar, tetapi sebe-narnya
tertidur. Berjalan dalam tidur tidak memiliki memori dari
tindakan mereka. Sleepwalking paling sering terjadi selama da-
lam tidur non-REM (tahap 3), di awal malam.
Episode ini sangat bervariasi dalam kompleksitas dan dura-
si. Sleepwalking kadang-kadang bisa berbahaya karena berjalan
sambil tidur tidak menyadari keadaan sekitarnya dan dapat
bertemu benda atau dapat jatuh.
e) Confusional Arousals
Arousals confusional biasanya terjadi ketika seseorang ter-
bangun dari tidur nyenyak selama bagian pertama dari malam. Ini
gangguan yang juga dikenal sebagai inersia tidur berlebihan atau
mabuk tidur, melibatkan kelambatan berlebihan ketika bangun
tidur.
f) Sleep Paralysis
Orang dengan kelumpuhan tidur tidak dapat memindahkan
tubuh atau anggota badan saat jatuh tertidur atau bangun. Epi-
sode singkat dari kelumpuhan otot parsial atau tulang lengkap
dapat terjadi selama kelumpuhan tidur. Kadang-kadang tidur
berjalan terjadi dalam keluarga, namun penyebabnya tidak dike-
tahui.
g) Tidur REM dengan Atonia
Tidur REM biasanya melibatkan keadaan kelumpuhan
(atonia), tetapi orang-orang dengan kondisi ini mampu memin-
dahkan tubuh atau anggota tubuh saat bermimpi. Biasanya ter-
jadi pada pria berusia 50 ke atas, tetapi gangguan juga bisa ter-
jadi pada wanita dan pada orang yang lebih muda. Dalam diag-
nosis dan pengobatan, gangguan neurologis berpotensi serius
harus dikesampingkan.
h) Tidur Enuresis
Dalam kondisi ini, juga disebut mengompol, orang yang
terkena tidak mampu mempertahankan kontrol kemih saat ter-
tidur. Ada dua jenis enuresis yakni primer dan sekunder. Pada
enuresis primer, seseorang belum mampu memiliki kontrol
kemih semenjak masa kanak-kanak.
Pada enuresis sekunder, seseorang memiliki kekambuhan
setelah sebelumnya mampu memiliki kontrol kemih. Enuresis
dapat disebabkan oleh kondisi medis (termasuk diabetes, infeksi
saluran kemih, atau sleep apnea), atau gangguan kejiwaan. Be-
berapa pengobatan untuk mengompol termasuk modifikasi peri-
laku, perangkat alarm, dan obat-obatan.
i) Halusinasi Hipnogogik
Halusinasi hipnogogik adalah mimpi dalam waktu singkat
antara terjaga dan tidur. Mimpi ini bisa menakutkan dan sering
dapat menyebabkan hentakan tiba-tiba dan terbangun sebelum
permulaan tidur. Untuk beberapa detik, lingkungan sekitar
menjadi begitu intens dan jelas, suara mungkin menjadi sangat
jelas dan keras. Kadang-kadang Anda mungkin melihat diri Anda
sendiri terjatuh dan terbangun dengan hentakan tiba-tiba.
j) Menggeretukkan Gigi (Bruksisme)
Pengeretukan gigi sewaktu tidur atau bruksisme adalah
kejadian yang sangat umum. Banyak orang percaya bahwa ada
sedikit bukti bahwa ini terkait dengan masalah medis atau
psikologis lain. Namun, banyak ahli percaya bahwa ini terkait
dengan stres dalam hidup ini. Dalam beberapa kasus dimana gigi
menjadi aus karenanya, digunakanlah peralatan mulut untuk
mengurangi luka karena gigi. Bruksisme mungkin juga menye-
babkan terputusnya atau gangguan tidur, sehingga menyebabkan
kantuk dan buruknya konsentrasi di siang hari.

2.3 Penyebab Parasomnia


Bisa Jadi Karena Gangguan Otak, Parasomnia merujuk pada
semua hal abnormal yang dapat terjadi pada orang, sementara mereka
tidur, terpisah dari sleep apnea. Beberapa contoh adalah tidur yang
berhubungan dengan gangguan makan, tidur sambil berjalan, teror
malam, kelumpuhan tidur, gangguan tidur REM perilaku, dan agresi
tidur.
Parasomnia sering terjadi dalam keluarga, mungkin faktor ge-
netik. Gangguan otak, mungkin bertanggung jawab untuk beberapa
parasomnia, seperti banyak kasus gangguan perilaku tidur REM. Para-
somnia juga dapat dipicu oleh gangguan tidur lainnya seperti apnea
tidur obstruktif, dan dengan berbagai obat.Parasomnia mempengaruhi
sekitar 10 persen orang AS. Mereka terjadi pada orang dari segala usia,
tetapi lebih sering terjadi pada anak-anak. Anak-anak sangat ren-tan
karena ketidakdewasaan otak. Kabar baiknya adalah bahwa me-reka
biasanya tidak terkait dengan konsekuensi kesehatan negatif dan
menghilang sebagai seorang anak matang. Mencoba untuk membang-
kitkan parasomniac, terutama ketika gemetar atau berteriak , kadang-
kadang dapat memicu respons, iritasi agresif atau kekerasan. Oleh
karena itu, secara perlahan kembalikan orang tersebut ke tempat tidur
dengan membimbing dia atau berbicara lembut.
2.4 Penatalaksanaan Parasomnia
1. Obat-obatan simtomatis anti histamin dapat digunakan dalam keadaan
yang tidak ringan dan sulit untuk diatasi dengan pendekatan biasa.
Penggunaan obat sebaiknya digunakan hanya sementara dan bila sangat
perlu bukan untuk digunakan jangka panjang
2. Konsumsi obat-obatan, konsumsi susu formula yang mengklaim bisa
membuat nyenyak tidur, terapi tradisional ataupun beberapa cara dan
strategi untuk membuat tidur nyenyak pada anak tidak akan berhasil
selama penyebab utama gangguan tidur pada anak karena alergi
makanan tidak diperbaiki.
3. Orang tua secara psikologis harus memberi perhatian dan dorongan
baik langsung maupun dari sikap kita seperti menciptakan
keharmonisan, menjaga hubungan antara anggota keluarga yang baik.
4. Bagi orangtua hal penting lainnya adalah memperhatikan jadwal
tidurnya.
5. Untuk mencegah dari bahaya yang dapat terjadi sebaiknya di kamar
penderita sleepwalking dihindarkan dari barang-barang yang mudah
pecah dan tajam. Usahakan untuk mengunci rapat semua pintu dan
jendela saat hendak tidur, dan sebaiknya menaruh kunci-kunci yang
sedikit susah untuk dijangkau. Karena biasanya penderita dapat
mengenali pintu dan jalan-jalan dalam rumah.
6. Secara medis, parasomnia tidak memiliki standar cara pengobatan yang
baku. Namun ada beberapa hal yang sebaiknya dihindari oleh penderita,
seperti porsi tidur yang kurang. Seorang anak karena asyik bermain
akan melupakan tidurnya.
7. Berbagai terapi non medis dan alternative yang biasa dilakukan adalah
terapi yang dapat dilakukan seperti psikoterapi, relaksasi, hipnotis dan
meditasi.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

3.1 PENGKAJIAN TIDUR


Kebanyakan individu dapat memberi perkiraan yang akurat dan beralasan
tentang pola tidur mereka, terutama jika terjadi suatu perubahan. Salah satu metode
yng singkat dan efektif untuk mengkaji kualitas tidur adala dengan menggunakan
skala analog visul ( closs, 1988).
Perawat membuat sebuah garis horizontal sepanjang kira-kira 10 cm. Tulis
pernyataan-pernyataan yang berlawanan seperti ”tidur malam yang terbaik” dan
”tidur malam yang terburuk” pad setiap ujung garis. Klien diminta untuk memberi
tnda titik pada garis yang menandakan persepsi mereka terhadap tidur
malam.pengkajian juga dilakukan untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan yng
dilakukan sebalum tidur, apakah klien harus membaca dulu sebelum tidur, maka
perawat menawarkan buku bcaan kepada klien. Ataupun kebiasaan-kebiasaan yang
lainnya.
Sumber untuk pengkajian tidur. Biasanya klien merupakan sumber yang
terbaik untuk menggambarkan masalah tidur dan sampai sejauh mana masalah
tersebut mengubah pola tidur dan bangun mereka yang biasa. Seringkali klien
mengetahui penyebab masalah tidur tersebut, seperti kebisingan lingkungan atau
kekhawatiran akan suatu hubungan.
Pada saat merawat anak-anak, perawat perlu mencari informasi tentang pola
tidur dari orang tua karena biasanya mereka dlah sumber informasi yang baik
tentang mengapa anak mereka mengalami msalah tidur.
3.1.1 Riwayat tidur
Untuk memulai perawat perlu terlebih dahulu memahami sifat dari
masalah tidur, tnd dan gejalanya, awitan dan durasinya, keparahannya, dan
adanya faktor pencetus atau penyebab-penyebabnya, serta efeknya secara
umum pada klien. Pertanyaan-pertanyaan pengkajian antara lain
mencakup:
1. Sifat dari masalah : beritahu saya jenis masalah tidur apa yng anda
alami. Beritahu saya mengapa anda beranggapan bahwa tidur anda
tidak adekuat. Jelaskan pada saya tentang karakteristik tidur malam
anda. Seberapa jauh perbedaan tidur anda sat ini dari tidur anda yng
dulu ?
2. Tanda dan gejala : apakah anda mengalami kesulitan untuk tidur,
tetap tidur atau untuk bangun ?
3. Awitan dan durasi : kapan pertama kali anda menyadari masalah
ini ?
4. Keparahan : berapa lama waktu yng anda butuhkan untuk tertidur?
5. Faktor pencetus : beritahu saya apa yang and lakukan sesaat
sebelum tidur?
6. Efek pada klien : bagaimana pengaruh tidur ini bagi anda ?
Pola tidur biasa. Mengetahui pola tidur klien yang biasa dan disukai
memungkinkan perawat untuk mencoba menyesuaikan kondisi tidur
dilingkungan layanan kesehatan dengan kondisi tidur dirumah. Untuk
menentukan pola tidur klien perawat mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut :
1. Pukul berapa biasanya anda naik ketempat tidur setiap malam ?
2. Pukul berapa biasanya anda tertidur ? apakah abda melakukan
sesuatu yang khusus untuk membantu anda tertidur ?
3. Berapa kali anda terbangun dimalam hari ? mengapa anda
beranggapan bhwa nd terbangun ? apa yang anda lakukan terhdp
hal yang membuat anda bangun tersebut ?
4. Pukul berapa biasanya anda terbangun di pagi hari ?
5. Pukul berapa anda turun dari tempat tidur setelah anda terbangun ?
6. Berapa jam rata-rata anda tidur disetiap malam ?
3.1.2 Pengelompokan Data
A. Data subjektif
a. klien mengatakan mengalami gangguan tidur insomnia
b. klien mengatakan tidurnya sering terbangun dan susah untuk tidur
kembali
c. klien mengatakan saat terbangun kepalanya pusing dan sat pertama
kali tidur kepala seperti berputar-putar
d. klien mengatakan mengalami masalah tidur sejak 2 bulan yang lalu
e. klien mengatakan kesulitan tertidur setiap hri
f. klien mengatakan butuh waktu 2-4 jam untuk tertidur namun 1-3
kemudian terbangun dn susah untuk tidur kembali
g. klien mengatakan sebelum tidur biasanya melihat tv sebentar
h. klien mengatakan saat beraktivitas merasa kelelahan dan keletihan

B. Data objektif
a. Klien terlihat kelelahan
b. Terlihat lingkar hitam disekitar mata
c. Wajah terlihat kusam
d. Terlihat gelisah
e. Tidur selalu terbangun
f. Tidur tidak pernah tenang
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Tingkat energy
a. terlihat kelelahan
b. kelemahan fisik
c. terlihat lesu
2. Ciri-ciri diwajah
a. mata sipit
b. kelopak mata sembab, mata merah
c. semangat
3. Ciri-ciri tingkah laku
a. oleng/ sempoyongan
b. menggosok-gosok mata
c. bicara lambat
d. sikap loyo
4. Data penunjang yang menyebabkan adanya masalah potensial
a. obesitas
b. deviasi septum
c. TD rendah
d. RR dangkal dan dalam

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan pola tidur : insomnia (kesulitan masuk tahap tidur)
berhubungan dengan khawatir tentang keluarga
b. Gangguan pola tidur : insomnia ( kesulitan mempertahankan tidur)
berhubungan dengan lingkungan rumah sakit yang gaduh
c. Gangguan pola tidur : insomnia ( bangun terlalu awal) berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang bantuan-bantuan sebelum tidur
(selain obat) dan ketagihan barbiturate
d. Gangguan pola tidur (kehilangan tidur REM ) berhubungan dengan
rasa tidak nyaman oleh karena nyeri
e. Kecemasan berhubungan dengan :
 ketidakmampuan masuk dalam tahap tidur
 ketidakmampuan mengontrol perilaku saat tidur
 henti napas saaat tidur
f. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan kehilangan
/kekurangan waktu tidur
g. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan insomnia
h. Harga diri rendah berhubungan dengan noctural eneurisme
INTERVENSI
1. Kurangi kebisingan
2. Atur prosedur untuk memberi jumlah terkecil gangguan selama periode
tidur (mis. Sewaktu individu bangun untuk pemberian obat juga lakukan
tindakan dan ukur tanda vital)
3. Jika berkemih malam mengganggu, batasi asupan cairan waktu malam dan
berkemih sebelum tidur.
4. Tetapkan bersama individu suatu jadwal untuk program ktivitas sepanjang
waktu (jalan, terapi fisik)
5. Batasi jumlah dan panjang waktu tidur jika berlebihan
6. Kaji waktu rutin bersama individu, keluarga, atau oarang tua-waktu, praktik
kebersihan, ritual
7. Batasi asupan minuman yang mengandung kafein sore hari
- Hindari alcohol
8. Pertahankan waktu tidur teratur dan waktu bangun
9. Menyusun rutinitas untuk persiapan tidur
10. Perthankan ruang tidur agak dingin
11. Gunakan penutup telingan bila kebisingan menjadi masalah
12. Jangan latihan dalan 3 jam

DAFTAR PUSTAKA
Copel, Linda Carman. (2007). Kesehatan Jiwa Dan Psikiatri. Jakarta : ECG
Dorland. (1998). Kamus Saku Kedokteran. Jakarta : ECG
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta : Gramedia Pustama Utama
Fitri, Lailatul. (2011). Konsep Istirahat Tidur. http://catatanlangkah.com/
2011/04/konsep-istirahat-tidur.html Diakses tanggal 20 September 2013
pukul 20.21 WIB.
Hincliff, Sue. (1999). Kamus Keperawatan Edisi 17. Jakarta : ECG
Khoirunnisa, Nur. (2010). Modul Pembelajaran Keperawatan Jiwa Mahasiswa
(MPM). Pontianak: STIK Muhammadiyah available at
http://id.scribd.com/doc/324567/MPM-STIKMUH diakses pada tanggal 20
September 2013 pukul 20.00 WIB
Mubarak, Wahit Iqbal dan Nurul Chayatin. (2007). Buku Ajar Kebutuhan Dasar
Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Subekti, Latif. (2011). Gangguan Pola Tidur. Available at
http://www.Kompas.com Diakses 20 September 2013 pukul 20.34 WIB

Anda mungkin juga menyukai