Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH THT

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA

Disusun oleh : Kenny Widyasari Suriadi (07120110033)

Pembimbing : dr. Reno. H. Kelan, SpTHT

KEPANITERAAN KLINIK STASE TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN (THT)

RUMAH SAKIT UMUM SILOAM LIPPO VILLAGE

BAB I
PENDAHULUAN

Tidur adalah suatu proses fundamental yang dibutuhkan oleh setiap manusia. Manusia
dewasa memerlukan tidur rata-raa 6-8 jam setiap hari. Tidur terdiri dari stage nonrapid eye
movement sleep (NREM) dan stage rapid eye movement sleep (REM). Lebih dari separuh
tidur total adalah fase NREM sedangkan 20-35% adalah fase REM. Gangguan tidur sering
terjadi pada fase REM. Bentuk gangguan tidur yang paling sering ditemukan adalah sleep
apnea (henti napas pada waktu tidur) dan gejala yang paling sering timbul pada sleep apnea
adalah mendengkur.1

Menurut studi yang ada, mendengkur dan obstructive sleep apena (OSA) meningkatkan
risiko hipertensi 2-3 kali, serta meningkatkan risiko dua kali lipat penyakit koroner atau
serangan jantung. Pendengkur dan penderita OSA juga berisiko terserang stroke dua kali
lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak dengan OSA dan mendengkur.1

Mendengkur dan OSA umumnya terjadi pada orang dewasa, terutama pria, usia
pertengahan dan obesitas. Sekitar 50 juta orang Amerika tidur mendengkur dan 20 juta orang
Amerika menderita sleep apnea syndrom. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
keluhan dari pasangan dan yang lebih penting membawa peningkatan risiko penyakit
kardiovaskular serta kematian dini.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara
selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan
hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi
oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan
desaturasi oksihemoglobin>3%) akibat adanya sumbatan total (apnea) atau sebagian
(hipoapnea) jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama fase non-
REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.1

OSA merupakan bagian dari sindrom henti napas yang dialami oleh 10.9% pria dan
6.3% wanita. Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe
obstruksi, dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya
upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan
otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Pada tipe obstruksi terjadi hambatan
aliran udara ke paru-paru.1,3,4

2.2 Epidemiologi

OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell. Prevalensi
OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2-4% pada pria dan 1-2% pada wanita.
Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA
lebih jarang ditemukan pada wanita.1

Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat
juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down.
Secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan usia.1

2.3 Anatomi Saluran Napas


(dikutip dari www. Biology.slss.ie)

2.4 Patofisiologi Mendengkur dan OSA

Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang disebabkan oleh
dinding faring yang kolaps sewaktu tidur. Etiologi dan mekanisme kolaps multifaktorial.
Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan kraniofasial seperti retrognathia menambah
kecenderungan kolapsnya dinding faring saat tidur.1

Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada
kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya
pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang
mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu
tidur. Selain itu obstruksi nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan
perburukan OSA. Obstruksi nasal mengakibatkan usaha pernapasan melalui mulut semasa
tidur sehingga terjadi relaksasi otot genioglossus yang mengakibatkan lidah tergeser ke
balakang.1

Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliarn udara pada saluran napas atas akibat
sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan terjadi
akibat kegagalan otot-otot dilator saluran napas atas menstabilkan jalan napas pada waktu
tidur dimana otot-otot faring berelaksasi, lidah, dan palatum jatuh ke belakang sehingga
terjadi obstruksi.1

Trauma pada jaringan di saluran napas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan
kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot
untuk menstabilkan saluran napas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran napas
untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh karena edema akibat vibrasi yang
terjadi pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresifitas mendengkur menjadi sleep
apnea pada individu tertentu.1

Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga
menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur
berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas akibat pergerakan
mandibula, palatum mole, dan lidah ke arah belakang. Sistem saraf pusat berperan penting
dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran napas yang menurun pada saat tidur. Aktivitas
kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea mengakibatkan hiperventilasi
disertai proses terbangun mendadak yang tidak disadari.

Pada pasien obesitas terjadi peningkatan deposit lemak disekeliling leher dan ruang
parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi saluran napas atas dan mengganggu otot
dilator yang mempertahankan potensi saluran napas atas. Obesitas bisa mengurangi volume
paru yang menyebabkan pengurangan functional residual capacity. Perubahan dalam volume
paru secara signifikan menurunkan ukuran faring saluran napas atas melalui efek mekanikal
traksi trakea dan thoraks yang dikenal tracheal tug meningkatkan resiko kolaps.5
(gambaran yang terjadi pada penderita OSA)

2.5 Gambaran Klinis

Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk yang
berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala di
pagi hari, penurunan libido, sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi,
kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang
sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan,
pekerjaan, dan meningkatkan resiko terjadinya kecelakaan lalu lintas.1

Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya hubungan
antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan kemungkinan
adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50% penderita yang
didiagnosis OSA juga menderita obesitas.6

2.6 Diagnosis

Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang ke
dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase-
preobstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea
obstruktif).1,4

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher untuk
menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut : 5

- Hidung : deviasi septum, hipertrofi adenoid, tumor atau polip nasal, hipertrofi konka
- Orofaring : Palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatin, makroglosia,
penebalan (banding) dinding posterior faring
- Hipofaring : kolaps dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi tondil lingual,
retrognathia, dan micrognathia
- Laring : paralisis pita suara, tumor laring
- Leher : ukur lilit leher

Diagnosis pasti penderita OSA dengan pemeriksaan polisomnografi. Polisomnografi


adalah pemeriksaan gold standard untuk diagnosa OSA. Pada OSA untuk melihat episode
berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinyu sedangkan
pada CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi,
gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktivitas
elektromiografi diafragma. Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik mengevaluasi
gangguan tidur, dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri
dari elektroensefalogram (EEG), Elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG),
parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk merekam
dengkuran. Penderita dimonitors selama 6 jam 10 menit.3

(gambaran hasil polisomnografi pasien OSA)

2.7 Tatalaksana
Tatalaksana Non Bedah
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al.
Memperkenalkan nasal continuous positive airway pressure (NCPAP). Prinsip NCPAP sangat
sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung, maka setiap
kecenderungan jalan napas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan
napas dapat distabilkan, sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan
menghilangkan gejala pada siang hari. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja
pernapasan (work of breathing).4
CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan
merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan
memperbaiki gejala ketiduran pada siang hari. CPAP 90-95% efektif dalam eliminasi OSA
dan keefektifannya tergantung pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien.7
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan. Perlu
dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olahraga, dan medikamentosa. Berdasarkan
penelitian, penurunan berat badan 10%-15% dikaitkan dengan penurunan 50% kejadian
apnea dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala OSA dapat
diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu menghilangkan gejala
OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan posisi miring atau pronasi.3
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular advancement
dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan mandibula dan lidah ke
depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat memaksimalkan diameter faring
dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat ini hanya digunakan pada
penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita OSA yang ringan sampai
sedang khusunya yang tidak gemuk atau pada penderita yang intoleran terhadap CPAP. Tetapi
perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi temporomandibula sehingga
pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena pembuatannya tergantung individu. 1

Terapi Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan NCPAP karena beberapa
sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping
seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yng kering. Banyak pasien yang
tidak mau menggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika,
sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA.1,3
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan obstruksi
saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi
dapat dilakukan :
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP.4
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang
berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding
faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam
menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring
saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalam 3 bulan.1
3. Pembedahan pada derah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik
fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di
hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung
pada pengobatan dengan CPAP.2
4. Laser-assisted uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan oleh sebagian besar ahli
bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan setiap sisi akar dari
uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga memperpendek dan
meningkatkan ukuran dan posisi uvulopalatal kompleks.1,4
5. Maxillofacial (skeletal) surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara bagian
atas dengan menggerakan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior dan
dinding orofaringeal, penurunan kolaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih
berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan
kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi
terapi lain.1,4
6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda
ke berbagai bagian langit-langit lunak dan menerapkan energi panas, jaringan lunak
akan mengalami lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. Prosedur ini dapat diulang
beberapa kali dan dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas,
termasuk tonsil dan pangkal lidah.1,4
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. Implan pillar atau implan palatal merupakan
teknik yang relatif baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan
untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini
bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang kecil
diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang
menyebabkan snoring.4
8. Trakeostomi, tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode lain
tidak berhasil adalah trakeostomi. Trakeostomi dilakukan dengan bypass obstruksi
saluran napas atas. Indikasi trakeostomi adalah pasien dengan cor pulmonale, obesity
hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan intervensi
surgical lain gagal.7

2.8 Komplikasi
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, yaitu : 1,2,3
1. Neuropsikologis : kantuk berlebih pada siang hari , kurang konsentrasi dan daya ingat,
sakit kepala, dan depresi
2. Kardiovaskuler : takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit
jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi : hipertensi pulmonum, cor pulmonale
4. Metabolik : diabetes, obesitas
5. Genito-urinari : nokturia, enuresis, impotensi
6. Hematologi : polisitemia
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada
penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi
pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor
protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui 2
komponen :
1. Efek mekanis dari henti napas terhadpa tekanan intratorakal dan fungsi jantung
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis
yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel
Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal
sebagai faktor resiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan
peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan
hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme
lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah
hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi
sel-sel endotel dan gangguan fungsi barorefleks.
OSA diduga merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa
kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya :
1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stress
oksidatif
2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam
plasma, penurunan produksi nitrit-oksida dan peningkatan respons peradangan
terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin 6.
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan
infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi,
aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan
koagulopati dan respons inflamasi.
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke. Kemungkinan
peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui proses aterosklerosis, hipertensi,
berkurangnya perfusi serebral akibat penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang
rendah, peninggian tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan resiko
terbentuknya bekuan darah akibat aritmia.
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi, sinus
arrest, dan blokade jantung komplet. Resiko untuk terjadinya aritmia berhubungan dengan
beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada penderita OSA kemungkinan melalui
peningkatan tonus vagus yang dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.

BAB III
KESIMPULAN
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea dan hipoapnea akibat adanya
sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur
selama fase non-REM atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi
terhambat. Gejala utamanya adalah mendengkur. OSA terjadi karena lidah dan palatum jatuh
ke belakang (kolaps) sehingga terjadi obstruksi. Penyebab terjadinya kolaps ini
multifaktorial, sehingga tidak bisa dijelaskan berdasarkan satu etiologi saja.
OSA paling banyak dialami oleh wanita usia pertengahan dengan obesitas. Gejala dari
OSA antara lain, mendengkur, mengantuk yang berlebihan pada siang hari, tersedak, tidur
tidak nyenyak, letih dan lesu sepanjang hari, penurunan konsentrasi, serta riwayat OSA dalam
keluarga. Tanda dari OSA antara lain obesitas, hipoplasia mandibula atau maksila,
penyempitan orofaring, pembesaran tonsil atau lidah, serta obstruksi nasal atau faringeal.
Diagnosis OSA ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik untuk mengetahui
kelainan yang mungkin ada sebagai faktor penyebab dan pemeriksaan penunjang. Gold
standard untuk diagnosa OSA adalah dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa
polisomnografi. Terapi OSA dibagi menjadi 2, yaitu nonbedah dan bedah. Terapi nonbedah
dengan mengusahakan tekanan positif untuk mengurangi obstruktif dan meminimalisir faktor
penyebab melalui perubahan gaya hidup, olahraga, serta obat-obatan. Terapi bedah dilakukan
sesuai dengan indikasi, terutama jika terapi nonbedah belum berhasil. Komplikasi dari OSA
dapat terjadi pada seluruh sistem dalam tubuh, antara lain neuropsikologis, kardiovaskuler,
respirasi, metabolik, dan hematologi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rodriguez, Hector P, Bergreen, Diana AV. Biology and treatment of sleep apnea. In :
water BRVD, Stacker H. Otolaryngology Basic Science and Clinical Review. New
York : Thieme; 2006. P;71-82
2. Rohde K, Verse T. Sleep Disordered breathing. In : Hormann K, Verse T. Surgery for
Sleep disordered breathing. Germany : Springer Berlin Heidelberg; 2010;p.1-3
3. Antariksa B. Patogenesis, diagnostik, dan skrining OSA. Jakarta; FKUI; 2005.
Tersedia dalam : http//jurnalrespirologi.org/jurnal/jan10/OSA
%20Diagnosis,patogenesis,skrining.pdf.
Dikutip pada tanggal 11 Mei 2017
4. Prasenohadi. Penatalaksanaan Obstructive Sleep Apnea. Jakarta : FKUI; 2006.
Tersedia dalam : http//jurnalrespirologi.org/jurnal/jan10/OSA-prasenohadi.pdf.
Dikutip pada tanggal 11 Mei 2017
5. Wakefield TL, Lam DJ, Ishman SL. Sleep Apnea and Sleep Disorders. In : Flint PW,
Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR, Niparko JK, Lund VJ, et al. Cummings
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Philadelphia : Elsevier Sauders;2014 p.252-
70
6. Goldenberg D, Goldstein BJ. Obstructive Sleep Apnea. In : Handbook of
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Canada : Thieme; 2011.
7. Lalwani AK. Current Diagnosis and Treatment in Otolaryngology Head and Neck
Surgery 2nd edition. Philadelpia: McGraw-Hill Education ; 2012 p.536-42

Anda mungkin juga menyukai