Anda di halaman 1dari 20

Gangguan Tidur pada Lansia

Mutiara Sri Widyastuti


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Alamat: Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11610
Mutiara.2013fk043@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan

Usia lanjut pada umumnya mengalami berbagai gejala akibat terjadinya penurunan
fungsi biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Perubahan ini akan memberikan pengaruh
pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Perkembangan kehidupan lansia yang
diharapkan mencakup penyesuaian terhadap penurunan kekuatan dan kesehatan fisik,
penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan penghasilan, penyesuaian terhadap kematian
pasangan atau kerabat, membangun suatu perkumpulan dengan sekelompok seusia,
mengambil dan beradaptasi terhadap peran sosial dengan cara yang fleksibel, serta membuat
pengaturan hidup atau kegiatan fisik yang menyenangkan.

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau
mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu. Gelaja tersebut biasanya diikuti
gangguan fungsional saat bangun.

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya terutama teman tidurnya;

meliputi kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok pada waktu tidur, penyaksian henti napas saat

tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi,

perubahan sikap saat berhubungan dengan orang lain, kemampuan seksual (impotensi),

penyakit-penyakit lain yang diderita terutama penyakit kardiovaskuler, kebiasaan kencing di

malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum baik dengan resep

dokter atau beli sendiri, pemakaian alcohol dan rokok.

1
Juga ditanyakan apakah penderita juga mempunyai gangguan psikologis dari segi

sosial, apakah dia merupakan seorang pensiunan, dan juga bagaimana hubungannya penderita

dengan keluarga yang lain.

2. Pemeriksaan

A. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi1 :

 Karateristik umum : identifikasi adanya obesitas dan dismorfologi kepala, wajah

dan gigi. (micrognathia, retrognathia, hypoplasia maksilaris, sumbing pada bibir/ palatum.

Lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibular). Obesitas diidentifikasi dengan mengukur

antropometri seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks

masa tubuh (body mass index/BMi) BMI<28 sangat berisiko mengalam OSA.

 Status mental : dilakukan untuk mencari dpresi (dengan skor depresi), kecemasan

(ansietas) dna penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa).

 Tekanan darah : hipertensi muncul pada >60% kasus GTGP. Dianjurkan pada

pasien hipertensi agar diperiksa adanya kejadian GTGP.

 Ukuran leher : lingkar leher dapat untuk memprediksi ukuran membran krikotiroid.

Pada laki-laki dengan lingkar leher >17 inci, prevalensi OSA 30%. Pada perempuan

dengan lingkar leher > 16 inci risiko OSA juga meningkat.

 Pemeriksaan hidung : penting untuk mengidentifikaasi adanya kelainan penyebab

obstruksi jalan napasa, anatara lain deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau massa

tumor di hidung maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring.

Pemeriksaan ini biasanya menggunakan nasofaringoskop.

 Orofaring : periksa adanya kelainan anatomi yang menyebabkan penurunan luas

orofaring seperti hipertrofi tonsil, palatum lunak terlalu panjang, uvula yang besar, flap

2
faringeal, stenosis, tumor dan jaringan parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat

kesulitan intubasi dan luasnyaorofaring perlu dikatakan pemeriksaan dengan skor Mallampati

yang menjadi 6 kelas.

 Leher : deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus

otot pernapasan terutama selama tidur fase REM.tumor, termasuk limfadenopati yang nyata

harus dievaluasi.

 Pemeriksaan fisi lain (system organ) : untuk mengidentifikasi adanya penyakit

kardiovaskular dan penyakit paru obstruktif.

 Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori : terutama penurunan konsentrasi,

intelektual, dan daya ingat.

B. Pemeriksaan penunjang

 Laboratorium klinik : pemeriksaan yang dibutuhkan berdasarkan indikasi individual

untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas analyzes (BGA) dibutuhkan

apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama pada pasien dengan

penyakit paru obstruksi kronik.1

 Pemeriksaan di laboratorium tidur : Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur

dengan alat polisomnogram dapat memberiksan informasi yang akurat mengenai pola

tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA.

Pemeriksaan di laboratorium tidur ini juga diperlukan untuk menghitung

apneuhipopneu index (AHI), yaitu menghitung jumlah total episode apnea dan

hypopnea dibagi lama tidur. Jika AHI >6 kali episode per jam maka diagnosis OSA

bisa ditegakkan. Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiple step latency test

(MSLT). MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh mengantuk terus sepanjang

hari dengan riwayat GTGP tidak jelas. Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukur

3
periode laten (waktu/kecepatan) dari saat masih bagun sampai tidur. Uji ini dilakukan

berulang kali pada mencatat unculnya REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat

uji ini dilakukan, menunjukkan pasien dalam kondisi narcolepsy. Narcolepsy adalah

gangguan tidur yang ditandai dengan 6 gejala, yaitu serangan mendadak tidur,

kataplesi, paralisis sementara dan halusinasi. MSLT dapat membnatu hypersomnia

primer. Pemeriksaann mirip MSLT yang disebut repeated test of sustained

wakefulness (RTRSW) juga mengukur periode laten tetapi dengan perintah agar

pasien memertahankan agar tetap bangun selama uji dilakukan dan pasien

ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.1

 Pemeriksaan pencitraan : pemeriksaan ini hanya dilakukan dalam penelitian atau

untuk persiapan terapi pembedahan. Permeriksaan ini meliputi : refelsk akustik yang

digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas, somnofluoroskopi digunakan

untuk melihat kolapsnya faring dan penyempitan maksimal jalan napas saat tidur,

pemeriksaan radiologis sefalomeri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT-

scan jalan napas atas diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasofaring/ orofaring

posterior, magnetic resonance imaging pemeriksaan yang menghasilkan resolusi

bagua dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak di leher.1

3. Diagnosis

A. Diagnosis Kerja (Working Diagnosis)

Gangguan tidur pada malam hari (insomnia)

Secara luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi : kesulitan masuk

tidur, kesulitan mempertahankan tidur nyenyak, dan bangun terlalu pagi. Gejala dan tanda

yang muncul sering kombinasi ketiganya, munculnya ada yang sementara atau kronik.

4
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostic, yaitu : International Code of

Diagnostic (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan

International Classification of Sleep Disorders (ICSD).1

Epidemiologi

Insomnia lebih sering diderita wanita daripada pria. Prevalensi insomnia pada

populasi umum telah diperkirakan hingga 35%, dengan 10% sampai 15% dianggap dedang

sampai parah. Perbedaan dalam prevalensi bervariasi , tergantung pada bagaimana insomnia

didefinisikan, tingkat keparahan dan frekuensi keluhan serta usia dan jenis kelamin pasien.

Sebuah studi epidemiologi baru-baru ini oleh Roth dan rekan menyoroti perbedaan ini. Bila

menggunakkan DSM-4kriteria, prevalensi diperkirakan 22%, dibandingkan dengan perkiraan

prevalensi sebesar 3,9% bila menggunakan ICSD-2kriteria. Untuk insomnia kronis, rata-rata

tinggi dialami wanita dan meningkat sesuai usia. Spekulasi tentang factor yang berkontribusi

terhadap relasi gender mulai muncul (miller 2004). Menariknya studi epidemiologi

menunjukkan bahwa, bahkan diantara pasien dengan keluhan kantuk di siang hari , 9%-15%

mungkin menderita insomnia(young 2004). Penelitian mulai mengumpulkan beberapa data

pada biaya social, dengan perkiran biaya langsung 1390000000 $ per tahun(walsh 2004).2

Etiologi

Model pilaku insomnia diusulkan oleh spielman dan rekannya dengan memberikan

kerangka teoritis untuk penyebab insomnia. Model diathesis-stress ini mengusulkan bahwa 3

faktor yang berkontribusi untuk pengembangan dan pemeliharaan insomnia. Pertama, factor

predisposisi adalah karakteristik yang meningkatkan resiko untuk mengembangkan insomnia

dan mencakup sifat-sifat seperti hyperarousal kronis dan wilayah rawan bencana. Kedua,

factor pemicu kejadian atau stress akut yang berinteraksi dengan factor predisposisi

menyebabkan gejala insomnia akut. Ketiga, factor yang menjalankan adalah perilaku

5
penyesuaian yang salah yang di adopsi dalam upaya untuk meredakan gejala insomnia

sementara tapi akhirnya berfungsi untuk mempertahankan insomnia. Sebagai contoh, banyak

orang yang akan mencoba untuk menebus kehilangan tidur dengan menghabiskan lebih

banyak waktu di tempat tidur. Perilaku ini meningkatkan kesempatan tidur tapi dapat

menyebabkan orang menghabiskan sejumlah waktu yang berkepanjangan terjaga selama

periode tidur diperpanjang.2

Klasifikasi

Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organic dan non-organik. Untuk non-

organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan

waktu tidur) dan parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpi

buruk, berjalan sambil tidur, dll). Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau

sekunder akibat penyakit/kondisi abnormal lain. Insomnia disini adalah insomnia kronik yang

sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan gangguan fungsi dan social.1

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 6 tipe, yaitu : 1. Gangguan

tidur yang berkolerasi dengan gangguan mental lain; 2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh

kondisi medis umum; 3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan/ keadaan tertentu;

6. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi

mental, penyakit, ataupun obat-obatan.1

Gangguan tidur primer pengertiannya mirip dengan insomnia non organic pada ICD

10 yaitu gangguan tidur menetap dan diderita minimal 1 bulan.1

Dalam ICSD klasifikasi ganguan tidur lebih lengkap dan rinci, dibagi dalam 12

subtipe dan lebih dari 60 tipe sindrom insomnia. Untuk mendiagnosisnya sering memerlukan

6
berbagai pemeriksaan penunjang laboratorium tidur, klinik, dan radiologi seperti CT scan,

PET, serta EEG.1

Gangguan tidur karena gangguan irama sirkadian

Irama sirkadian diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperature badan dan

pengeluaran hormone-hormon kortisol, hormone pertumbuan, dan melatonin yang dipicu

oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat

gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak

jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderia naumn merasa tidak

membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa.1

Kriteria Diagnostik

Insomnia Primer

A. Dominan keluhan adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, atau tidur-
menyegarkan, setidaknya 1 bulan.
B. Gangguan tidur (atau terkait kelelahan siang hari) menyebabkan distress klinis
signifikan atau penurunan bidang sosial, pekerjaan, atau fungsi penting.
C. Gangguan tidur tidak terjadi secara eksklusif selama Narkolepsi,-Breathing Terkait
Sleep Disorder, Circadian Rhythm Sleep Disorder, atau Parasomnia.
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama gangguan mental lain (misalnya,
Mayor Depressive Disorder, Generalized Anxiety Disorder, delirium a).
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
penyalahgunaan obat, obat) atau kondisi medis umum.

Insomnia merupakan keluhan kesulitan memulai atau mempertahankan tidur atau tidur-
menyegarkan (tidak merasa cukup istirahat setelah tidur yang cukup dalam jumlah). Insomnia
lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria; lebih umum dengan usia; dan sering
dikaitkan dengan gangguan medis dan psikiatris atau penggunaan alkohol, obat-obatan, dan
obat-obatan.3

7
Insomnia sementara jauh lebih umum daripada yang kronis (> 1 bulan) insomnia. Hal ini
biasanya hasil dari stres akut. Banyak kasus seperti menyelesaikan tanpa intervensi. Kelainan
PSG telah didokumentasikan dalam berkabung akut. Namun, insomnia persisten harus
menaikkan pertimbangan depresi, gangguan penyesuaian, atau gangguan kejiwaan lainnya.
Insomnia psychophysiologic adalah "gangguan ketegangan somatized dan belajar asosiasi
tidur-mencegah yang mengakibatkan keluhan insomnia" (ICSD-2 1997). Semua pasien
dengan insomnia kronis mungkin berkembang tidur-mencegah asosiasi belajar, seperti
ditandai overconcern dengan ketidakmampuan untuk tidur. Frustrasi, kemarahan, dan
kecemasan yang berhubungan dengan mencoba untuk tidur atau mempertahankan tidur hanya
berfungsi untuk membangkitkan mereka lebih lanjut karena mereka berjuang untuk tidur.
Pasien-pasien ini dapat memperoleh asosiasi permusuhan dengan kamar tidur mereka, sering
tidur lebih baik di tempat lain seperti di depan televisi, di sebuah hotel, atau di laboratorium
tidur. Insomnia psychophysiologic dapat menjadi kronis.3

B. Diagnosis Banding (Different Diagnosis)

1. Depresi pada lansia

Kecenderungan mengalami depresi meningkat sejalan bertambahnya usia. Kaum


lansia merupakan salah satu kelompok orang yang rentan mengalami depresi sepanjang
hidupnya. Sekitar 1-5% populasi lansia yang mengalami gangguan medis dan harus
mendapatkan perawatan di rawat inap. Kondisi depresi pada pasien lansia banyak
dihubungkan dengan kebugaran fisiknya. Orang lansia mengalami kondisi medis umum
terkait dengan penyakit degenerative (hipertensi, kencing manis, rematik) lebih rentan
mengalami depresi dibandingkan yang tidak. Selain itu sindrom kesepian atau Emptiness
Syndrom akibat kehilangan anak atau keluarga yang biasanya mendampingi. Ini biasanya
terjadi pada lansia yang ditinggalkan anaknya menikah atau pisah dari rumahnya selama ini.

Gangguan depresi pada lansia bisa terjadi dengan berbagai gejala, paling banyak dilaporkan
adalah adanya gejala-gejalafisik. Insomnia atau sulit tidur, nyeri otot dan sendi, gangguan
cemas dan kurang nafsu makan adalah gejala-gejala depresi yang sering timbul pada lansia.
Gejala-gejala fisik ini akan menjadi sulit dibedakan dengan gejala fisik kondisi medis umum
karena seringkali mirip dan merupakan bagian yang saling mempengaruhi. Untuk itulah,
dokter yang merawat pasien harus memahami betul konsep biopsikososial dan psikosomatik

8
medis ketika menangani pasien lansia karena gejala-gejala gangguan kejiwaan tersering pada
lansia seperti depresi bisa bermanifestasi dalam bentuk keluhan fisik.4

Terdapat beberapa faktro biologis, fisi, psikologis dan social yang membuat seorang berusia

lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada system saraf pusat seperti meningkatnya

aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmitter dapat berperan

dalam terjadinya depresi pada usia lanjut gejala- gejala depresi terdiri dari : 1

Gejala utama, yakni:

 Perasaan depresif

 Hilangnya minat dan semangat

 Mudah lelah dan tenaga hilang

Gejala lain adalah :

 Konsentrasi menurun

 Harga diri menurun

 Perasaan bersalah

 Pesimis terhadap masa depan

 Gangguan tidur

 Gangguan nafsu makan

 Menurunnya libido

2. Demensia

Demensia merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling umum pada orang
tua, dan penyakit Alzheimer (AD) adalah jenis yang paling umum dari demensia. Mengingat
patofisiologi saraf gangguan demensia (misalnya, degenerasi kolinergik dan disfungsi dalam
AD), tidaklah mengherankan bahwa gangguan tidur adalah fitur umum. Masalah terkait
seperti perilaku nokturnal mengganggu adalah endapan umum pelembagaan.

9
Menyadari kehadiran demensia umumnya tidak sulit; Namun, semua pasien gila harus
secara teratur diperiksa untuk gejala sleep / wake. Fragmentasi tidur yang mendalam dan
gangguan siklus tidur-bangun telah didokumentasikan oleh aktivitas. PSG dapat
menunjukkan latensi tidur berkepanjangan; menurunkan SE; dan penurunan TST, SWS, dan
tidur non-REM. Dalam demensia berat (misalnya, AD), EEG mungkin begitu abnormal
(misalnya, gelombang lambat saat bangun tidur) bahwa sulit untuk mencetak gol PSG.3

3. Post-Power Syndrom

Post power syndrome ialah reaksi somatic dalam bentuk sekumpulan symptom
penyakit, luka-luka, serta kerusakan fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang bersifat
progresif; dan penyebabnya ialah pensiun atau karena sudah tidak mempunyai jabatan dan
kekuasaan lagi.

Individu yang mengalami post-power syndrome berpandangan bahwa pekerjaan dan bekerja
itu merupakan suatu kebutuhan dasa, dan merupakan bagian yang sangat penting dari
kehidupan manusia. Pekerjaan dan bekerja itu memberikan kesenangan dan arti tersendiri
bagi kehidupan manusia. Lingkungan kerja itu sebagai sentrum sosial, sedangkan bekerja
merupakan aktivitas sosial yang memberikan kepada individu penghargaan atau respek,
status sosial, dan prestise sosial. Bekerja itu selain memberikan ganjaran material dalam
bentuk gaji, kekayaan dan bermacam-macam fasilitas material, juga memberikan ganjaran
sosial yang nonmaterial, yaitu berupa status sosial dan prestise sosial. Dengan demikian,
kebanggaan dan minat besar terhadap pekerjaan dengan segala pangkat, jabatan, dan symbol
kebesaran merupakan insentif yang kuat untuk mencintai suatu pekerjaan.

Sebaliknya, tidak bekerja-menganggur, pensiun, tidak menjabat lagi-dialami sebgai suatu

shock dan dianggap sebagai kerugian, dan aib yang memberikan rasa malu. “Pengangguran”

tadi menimbulkan perasaan-perasaan minder, perasaan tidak berguna, tidak dikehendaki,

dilupakan, tersisishkan, tanpa tempat berpijak dan seperti “tanpa rumah”. Pada waktu masih

bekerj, dirinya merasa dihormati, disegani, dielu-elukan, disanjung, dibelai-belai dengan

segala kemanisan. Pada masa itu ia merasa “agung”, merasa berharga dan berguna, merasa

dikehendaki dan dibutuhkan; disamping itu, ia masih mendapatkan bermacam-macam

fasilitas material. Sekarang ia mengalami kekosongan tanpa arti dan merasa tidak berguna di

mana ia sendiri belum siap untuk menghadapi kenyataan seperti itu. Sebenarnya yang

menjadi kriterium utama bukanlah kondisi atau situasi pensiun dan menganggur tersebut,

melainkan bagaimana caranya seseorang menghayati dan merasakan keadaan yang baru itu.

10
Konsisi mental dan tipe kepribadian individu sangat menentukan mekanisme-reaktif untuk

menanggapi masa pensiun dan masa menganggurnya itu. Jika ia merasa tidak mampu atau

belum sanggup untuk menerima kondisi baru tersebut, dan merasa sangat kecewa dan pedih,

maka hal itu bisa menimbulkan banyak konflik batin, ketakutan, kecemasan, dan rasa rendah

diri. Jika semuanya itu berlangsung berlarut-larut, maka akan mengakibatkan proses dementia

yang berlangsung cepat, merusak fungsi-fungsi organik, dan mengakibatkan macm-macan

gangguan mental lain yang bisa mempercepat kematiannya.5

4. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap psikologi lansia

Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat

menikmati hari tua mereka dengan bahagia. Adapun beberapa faktor yang dihadapi para

lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut6:

1. Penurunan Kondisi Fisik

Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik

yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji

menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dsb. Secara umum

kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan secara

berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,

psikologik maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan

ketergantungan kepada orang lain.6

Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu

menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,

sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir

fisiknya.6

11
Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan, tidur,

istirahat dan bekerja secara seimbang.6

2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan

dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal

diabetes millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi,

karena pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat

tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer.6

Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :

 Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia

 Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi

dan budaya.

 Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.

 Pasangan hidup telah meninggal.

 Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya

misalnya cemas, depresi, pikun dsb.

3. Perubahan Aspek Psikososial

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi

kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,

pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi

makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan

12
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa

lansia menjadi kurang cekatan.6

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan

aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia. Beberapa perubahan

tersebut dapat dibedakan berdasarkan 6 tipe kepribadian lansia sebagai berikut6:

I. Tipe Kepribadian Konstruktif (Construction personalitiy), biasanya tipe ini tidak

banyak mengalami gejolak, tenang dan mantap sampai sangat tua.

II. Tipe Kepribadian Mandiri (Independent personality), pada tipe ini ada kecenderungan

mengalami post power sindrome, apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan

kegiatan yang dapat memberikan otonomi pada dirinya.

III. Tipe Kepribadian Tergantung (Dependent personalitiy), pada tipe ini biasanya sangat

dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila kehidupan keluarga selalu harmonis maka

pada masa lansia tidak bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka

pasangan yang ditinggalkan akan menjadi merana, apalagi jika tidak segera bangkit

dari kedukaannya.

IV. Tipe Kepribadian Bermusuhan (Hostility personality), pada tipe ini setelah memasuki

lansia tetap merasa tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang kadang-

kadang tidak diperhitungkan secara seksama sehingga menyebabkan kondisi

ekonominya menjadi morat-marit.

V. Tipe Kepribadian Kritik Diri (Self Hate personalitiy), pada lansia tipe ini umumnya

terlihat sengsara, karena perilakunya sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung

membuat susah dirinya.

4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan

13
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal

pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam

kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan

penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang

memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah

diuraikan pada point tiga di atas.6

Bagaimana menyiasati pensiun agar tidak merupakan beban mental setelah lansia?

Jawabannya sangat tergantung pada sikap mental individu dalam menghadapi masa pensiun.

Dalam kenyataan ada menerima, ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang

memiliki jaminan hari tua dan ada juga yang seolah-olah acuh terhadap pensiun (pasrah).

Masing-masing sikap tersebut sebenarnya punya dampak bagi masing-masing individu, baik

positif maupun negatif. Dampak positif lebih menenteramkan diri lansia dan dampak negatif

akan mengganggu kesejahteraan hidup lansia. Agar pensiun lebih berdampak positif

sebaiknya ada masa persiapan pensiun yang benar-benar diisi dengan kegiatan-kegiatan untuk

mempersiapkan diri, bukan hanya diberi waktu untuk masuk kerja atau tidak dengan

memperoleh gaji penuh.6

Persiapan tersebut dilakukan secara berencana, terorganisasi dan terarah bagi masing-

masing orang yang akan pensiun. Jika perlu dilakukan assessment untuk menentukan arah

minatnya agar tetap memiliki kegiatan yang jelas dan positif. Untuk merencanakan kegiatan

setelah pensiun dan memasuki masa lansia dapat dilakukan pelatihan yang sifatnya

memantapkan arah minatnya masing-masing. Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka

usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan macamnya.6

Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya sehingga

menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang selama ini

14
ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam menghadapi masa tua,

sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun mereka menjadi tidak berguna,

menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.6

5. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan

sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya

badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan

sebagainya sehingga sering menimbulkan keterasingan. Hal itu sebaiknya dicegah dengan

selalu mengajak mereka melakukan aktivitas, selama yang bersangkutan masih sanggup, agar

tidak merasa terasing atau diasingkan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin

menolak untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku

regresi seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna

serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya seperti

anak kecil.6

Dalam menghadapi berbagai permasalahan di atas pada umumnya lansia yang memiliki

keluarga bagi orang-orang kita (budaya ketimuran) masih sangat beruntung karena anggota

keluarga seperti anak, cucu, cicit, sanak saudara bahkan kerabat umumnya ikut membantu

memelihara (care) dengan penuh kesabaran dan pengorbanan. Namun bagi mereka yang tidak

punya keluarga atau sanak saudara karena hidup membujang, atau punya pasangan hidup

namun tidak punya anak dan pasangannya sudah meninggal, apalagi hidup dalam perantauan

sendiri, seringkali menjadi terlantar.6

6. Beberapa masalah di bidang psikogeriatris

1. Kesepian

15
Kesepian atau loneliness, biasanya dialami oleh seorang lanjut usia pada saat

meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya sendiri saat itu juga

mengalami penurunan status kesehatan,misalnya menderita berbagai penyakit fisik

berat,gangguan mobilitas atau gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran.

Harus dibedakan antara kesepian dengan hidup sendiri.Banyak diantara lansia yang hidup

sendiri tidak mengalami kesepian,karena aktivitas sosial yang masih tinggi, tetapi dilain

pihak terhadap lansia yang walaupun hidup dilingkungan yang beranggotakan cukup banyak ,

mengalami kesepian. Pada penderita kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti,

karena bisa bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan peran

enderita, disamping memberikan bantuan pengerjaan pekerjaan dirumah bila bila memang

terdapat disabilitas penderita dalam hal-hal tersebut.

2. Gangguan cemas

Gangguan cemas dibagi dalam beberapa golongan, yaitu fobia, gangguan panik,

gangguan cemas umum, gangguan stres pasca trauma dan gangguan obsesif-kompulsif.

Puncak Insidensi antara usi 20-60 tahun dan prevalensi pada lansia lebih kecil dibandingkan

pada dewasa muda. Pada usia lanjut seringkali gangguan cemas ini merupakan kelanjutan

dari dewasa muda. Awitan yang terjadi pada usia lanjut biasanya berhubungan/sekunder

akibat depresi, penyakit medis, efek samping obat atau gejala penghentian mendadak dari

suatu obat. Gejala dan pengobatan pada usia lanjut hampir serupa dengan pada usia dewasa

muda, oleh karenanya tidak akan disinggung lebih mendalam.7

3. Pengobatan

Pengobatan nonfarmakologis termasuk pendidikan tentang kesehatan tidur (lihat


Tabel 27-5, Stimulus-Control Treatment) serta mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan
yang salah, misalnya, takut tidak bisa berfungsi sama sekali tanpa 8 jam tidur terganggu.3

16
Tabel 27-5. Stimulus Control Treatment

Jauhkan waktu tidur dan bangun konstan, bahkan pada akhir pekan.

Jangan gunakan tempat tidur untuk menonton televisi, membaca buku, atau bekerja. Jika
tidur tidak dimulai dalam jangka waktu tertentu, mengatakan, 30 menit, meninggalkan
tempat tidur dan tidak kembali sampai mengantuk.

Hindari tidur siang.

Berolahraga secara teratur (3-4 kali per minggu), tetapi cobalah untuk menghindari
berolahraga di sore hari jika ini cenderung mengganggu tidur.

Menghentikan atau mengurangi alkohol, kafein, rokok, dan zat-zat lain yang dapat
mengganggu tidur.

"Angin down" sebelum tidur dengan kegiatan yang tenang atau santai.

Menjaga lingkungan tidur yang sejuk, nyaman, dan tenang.

Terapi pembatasan tidur melibatkan secara bertahap meningkatkan konsolidasi tidur


(meminimalkan gangguan dari periode tidur malam hari) dengan membatasi waktu pasien
menghabiskan waktu di tempat tidur. Banyak pasien insomnia meremehkan waktu tidur yang
sebenarnya ("tidur persepsi negara") dan memiliki efisiensi tidur yang buruk (SE). Jika
laporan pasien tidur 6 jam per malam, ia diperlukan untuk membatasi waktu di tempat tidur 6
jam atau sedikit lebih. Manuver sederhana ini biasanya menghasilkan kurang tidur ringan,
lebih pendek latensi tidur, dan meningkatkan SE. Sebagai tidur menjadi lebih konsolidasi,
pasien diperbolehkan secara bertahap untuk meningkatkan waktu di tempat tidur. Mungkin
akan membantu untuk pengacara stres akut dan mematahkan "lingkaran setan" insomnia
psikofisiologis.3

Intervensi Psychopharmacologic

17
Benzodiazepin (BZDs) telah menjadi yang paling banyak diresepkan obat penenang
benar-hipnotik, menjadi lebih aman daripada barbiturat. Mereka umumnya mengurangi
latensi tidur, terjaga menit setelah onset tidur, SWS, dan REM sambil meningkatkan Tahap 2.
Pemilihan BZD tergantung pada onset dan durasi kerja (dalam kaitannya dengan waktu
keluhan tidur) dan sifat anxiolytic jika diperlukan. Dengan tidak adanya penyalahgunaan zat
sejarah atau penyalahgunaan seiring zat lain, penggunaan jangka pendek BZDs untuk
mengobati insomnia biasanya aman dan efektif. Khasiat jangka panjang tidak jelas; toleransi
fisiologis dapat terjadi.3

Non-BZD hipnotik termasuk zolpidem, zaleplon, eszopiclone (S-isomer dari


zopiclone), dan Ramelteon (lihat Tabel 27-6.) Dibandingkan dengan BZDs, obat ini
cenderung memiliki lebih sedikit risiko penyalahgunaan, insomnia, dan gejala penarikan dan
umumnya dapat diberikan untuk memulihkan pecandu. Zolpidem dapat diambil dalam dosis
yang lebih besar dari yang dijelaskan. Selain Ramelteon, ini adalah agonis reseptor GABA,
yang mungkin menjelaskan motorik mereka kurang ditandai dan efek samping kognitif.
Onset dan durasi kerja harus dipertimbangkan. Beberapa nonBZDs dapat menyebabkan pagi
"mabuk" jika dikonsumsi terlambat di malam hari. Controlled-release zolpidem, kini The US
Food and Drug Administration (FDA) disetujui dan telah menunjukkan keberhasilan dalam
penggunaan jangka panjang juga.3

Tabel 27-6. Non-BZD Hipnotik

Generic Trade Half-life (h) Onset Dosis, Adult (mg) Mechanism

Zolpidem Ambien 1.5–2.4 Fast 5–10 GABAA Agonist

Zaleplon Sonata 1 Fast 5–10 GABAA Agonist

Eszopiclone Lunesta 5–7 Medium 2–3 GABAA Agonist

Ramelteon Rozerem 1–2.6 Fast 8 Melatonin Agonist

18
Ramelteon, sebuah melatonin selektif (MEL) agonis (aktif pada MT1 dan MT2 situs),
tidak mengikat reseptor GABA, juga tidak memiliki aktivitas dalam sistem reward otak. Hal
ini sedang dipasarkan sebagai "kecanduan bukti"; jika klaim ini berdiri ujian waktu, itu akan
memberikan pilihan penting bagi banyak pasien dalam pemulihan. Onset yang cepat
mekanisme aksi dan melatonergic tampil menjanjikan untuk insomnia awal, terutama dalam
konteks fase sirkadian tertunda.

Obat-obat lain yang diresepkan untuk insomnia tanpa adanya komorbiditas psikiatri termasuk
trazodone, antidepresan penenang lainnya, dan antipsikotik atipikal yang lebih menenangkan.

Over-the-counter pil (OTC) tidur biasanya terdiri dari atau mengandung histamin 1 antagonis
(misalnya, diphenhydramine). Keberhasilan mereka meragukan. "Natural" obat termasuk
valerian dan MEL, yang terakhir yang telah digunakan selama bertahun-tahun dan mungkin
memiliki beberapa khasiat.3

Komplikasi / Efek Samping dari Pengobatan

Kewajiban untuk toleransi, penarikan, dan penyalahgunaan harus dipertimbangkan


dalam kaitannya dengan semua BZDs, meskipun banyak pasien dengan gangguan kecemasan
dan insomnia membawa mereka jangka panjang tanpa penyalahgunaan, terutama setelah
pendidikan pasien yang tepat dan pengawasan. Namun, penarikan dari BZDs dosis tinggi
berkepanjangan dapat menyebabkan kejang, psikosis, delirium atau bahkan kematian.
Insomnia juga dapat terjadi bahkan dengan terencana meruncing.3

"Perang melawan narkoba" yang semakin menyebabkan banyak dokter untuk meresepkan
obat dengan profil keamanan kurang menguntungkan dari BZDs, (misalnya, risiko priapisme
dengan trazodone dan komplikasi metabolik dengan antipsikotik atipikal). Pasien usia lanjut
sangat rentan terhadap efek samping antikolinergik antihistamin.3

Banyak orang berpikir "alami" produk yang lebih aman, tidak tahu bahwa FDA
mengklasifikasikan mereka sebagai suplemen diet dan tidak mengatur mereka sedekat
"diproduksi" farmasi. Masalah serius telah dihasilkan dari pengolahan yang tidak aman
(misalnya, L-tryptophan sampingan menyebabkan sindrom eosinofilia-mialgia). Baru-baru
ini, analisis tablet MEL dibeli di "reputasi" apotek, supermarket, dan toko makanan kesehatan
ditemukan sangat beragam dosis sebenarnya MEL serta pencampuran seperti BZDs. Potensi

19
interaksi obat yang kurang dikenal untuk produk-produk pengobatan komplementer,
khususnya dalam hal tumbuhan yang mengandung beberapa senyawa kimia.

4. Prognosis

Tergantung pada penyebab yang mendasari insomnia serta pencegahan komplikasi sekunder
seperti penyalahgunaan zat dalam konteks pengobatan sendiri.3

Kesimpulan

Hipotesis diterima. Pasien berusia 64 tahun tersebut mengalami insomnia atau


gangguan tidur yang bisa disebebkan oleh berbagai faktor. Jadi anamnesis yang tepat akan
mempengaruhi ketepatan kita sebagai dokter nantinya dalam memberikan pengobatan yang
tepat pada pasien baik secara farmakoterapi maupun nonfarmakoterapi.

Daftar Pustaka

1. Sudoyo A W. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid ke-1. Jakarta: Interna

Publishing; 2009.h.3828.

2. Dewanto G. Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta:

EGC;2009.h.189-190.

3. H. Michael, Ebert, T. Peter, Loosen, Nurcombe Barry, Leckman F. James. Current

diagnosis & treatment:Psychiatry. Edisi ke-2. United States:The McGraw-Hill

Companies.

4. Dr. Andry Sp.Kj . Kompas health [article online] 9 April 2012 07.01. Diunduh dari :

www.kompasHealth.com Sabtu 27 Desember 2014. 10.51.

5. Seminius Yustinus, OFM. Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius; 2006.h.501-2.

6. Shary. Pedoman Kesehatan jiwa [article online] Agustus 2009. Diunduh dari :

www.pedomankesehatanjiwalansia.com 27 Desember 2014. 10.51.

7. Gunadi H. Problematik usia lanjut ditinjau dari sudut kesehatan jiwa . Jakarta:

EGC;2006.h.89-97.

20

Anda mungkin juga menyukai