Anda di halaman 1dari 14

Makalah PBL Blok XXVII

Neuropati Perifer Akibat Pemakaian Isoniazid dalam Waktu


yang Lama

Pendahuluan
Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia digolongkan
dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan parameter
morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut, tinggi badan,
bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku tertentu
dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan morfologis
tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap
perbedaan fenotip dari masing-masing etnik. Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat
pada manusia akan keranekaragam (bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini
dipengaruhi oleh berbagai penyebab, baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang
bersangkutan.
Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang pengaruh faktor
genetik terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai ilmu yang
mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual. Hal ini didasarkan atas terjadinya
perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut dapat kita
tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek atau menurunkan efek atau
justru cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang farmakogenetik
dapat digunakan untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib obat dalam tubuh.

Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan kesemutan. Kesemutan atau parestesia adalah sensasi
sentuh abnormal seperti rasa terbakar, tertusuk, atau kesemutan, seringkali tanpa adanya
rangsangan luar. Kesemutan atau parestesia merupakan salah satu gejala neuropati. Neuropati
dapat disebabkan banyak penyebab. Pertanyaan yang juga harus diajukan pada pasien untuk
1

mengetahui penyebab dari neuropati adalah sejak kapan terasa gatal-gatal dan apakah ada
faktor yang memperberat. Letak dari gatal-gatal itu apakah terlokalisir di satu ekstremitas
atau seluruh tubuh. Tanyakan juga apakah ada perubahan warna kulit. Tanyakan apakah
keluhan ini terjadi berulang. Salah satu yang paling penting adalah CIDP (chronic
inflammatory demyelinating polyneuropathy) dengan jenis polyneuritis yang memberi respon
baik dengan pemberian steroid, neuropati berulangkali mungkin disebabkan alkohol, porfiria,
atau keracunan timah. Apakah pernah menderita penyakit sistemik yang berkaitan dengan
neuropati seperti hipotiroidisme, myeloma, lepra (bercak anestesi pada kulit), lupus
eritematosus, AIDS, sarkoidosis, poliarteritis, anemia pernisiosa, diabetes mellitus.
Tanyakan apakah di keluarga memiliki keluhan yang sama bahkan riwayat penyakit
dengan keluhan yang sama. Apakah ada riwayat alergi pada diri sendiri atau keluarga.
Apakah ada konsumsi obat tertentu yang memungkinkan menyebabkan neuropati seperti
nitrofurantoin dan isoniasid. Apakah menggunakan barang terlarang atau mengonsumsi
alkohol, alkohol diketahui dapat menyebabkan neuropati. Tanyakan juga apakah gejala
disertai kesemutan seperti mual, muntah, mudah lelah, pusing.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neuropati perifer dimulai dengan pemeriksaan sistem sensorik yaitu
sentuhan ringan, sensasi getaran, dan tes sensasi nyeri, suhu, dan raba.
Sentuhan ringan dilakukan dengan kapas yang dipilin sehingga terbentuk ujung yang
lancip, sentuhlah kulit pasien secara ringan dengan menghindari penekanan. Minta pasien
menjawab saat ia merasakan sentuhan dan kemudian membandingkan satu daerah dengan
daerah lain.2
Sensasi getaran dan posisi. Ketika melakukan tes sensasi getaran dan posisi, pertama
lakukan tes tersebut pada jari tangan dan kaki. Jika hasilnya normal, dapat diasumsikan
bahwa daerah yang lebih proksimal juga memberikan hasil yang normal. Tes sensasi getaran
ini menggunakan garpu tala bernada rendah 128 Hz. Dengan cara ketukkan garpu tala pada
telapak tangan pemeriksa dan letakkan dengan erat pada artikulasio interfalangeal distal jari
tangan pasien kemudian di artikulasio interphalangeal ibu jari kakinya. Tanyakan apa yang
dirasakan pasien.

Untuk tes posisi caranya dilakukan dengan cara pegang ibu jari kaki pasien pada
kedua sisinya dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk pemeriksa. Gerakkan ibu jari kaki
nya menjauhi jari kaki yang lain untuk menghindari gesekan. Demonstrasikan gerakan naik
turun setelah pasien menutup mata nya dan minta kepadanya untuk menyebutkan apakah
gerakan tersebut naik atau turun.
Tes sensasi nyeri, suhu, dan raba. Tes rasa nyeri menggunakan jarum atau peniti,
minta pada pasien menyebutkan apakah benda yang disentuhkan ke bagian tubuhnya itu
tajam atau tumpul. Tes suhu dilakukan dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi air
panas dan dingin. Pada neuropati diabetik akan terlihat penurunan atau hilang nya sensasi
getaran dan nyeri. Pada perjalanan klinik secara progresif dapat terjadi paresis simetris yang
mulai pada otot kedua kaki yang kemudian secara progresif menuju ke atas yaitu paresis otot
tungkai, badan, tangan, lengan.2
Refleks tendon dalam. Untuk menimbulkan reflex tendon dalam, minta pasien untuk
rileks, kemudian tempatkan ekstremitasnya dalam posisi yang benar serta simetris, dan ketuk
tendonnya dengan pergerakan pergelangan tangan yang cepat. Ketukan pemeriksa harus cepat
dan langsung, bukan hanya mengambang. Dapat menggunakan ujung palu reflex yang lancip
atau datar. Respon reflex sebagian bergantung pada kekuatan rangsangan yang pemeriksa
berikan. Refleks dapat berkurang atau hilang sama sekali jika sensasi nya terganggu, atau
segmen spinal yang terkait mengalami lesi atau jika saraf tepinya rusak. Untuk kasus ini
berhubung pasien mengalami kesemutan di tangan maka pemeriksa perlu memeriksa reflex
biseps, triseps, dan brakioradialis. Jika pasien mengalami keluhan di bagian kaki maka
perludi periksa juga reflex pergelangan kaki (Achilles) dan refleks Patella.3
Pada neuropati, akan terlihat hypoactive atau bahkan tidak ada. Lakukan pengujian
kekuatandan memeriksa apakah ada atrofi otot ekstremitas. Karena penyakit kesemutan
(neuropati) berhubungan dengan pemakaian obat anti-TBC perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan yang berhubungan dengan defisiensi vitamin B. Inspeksi oral diperlukan untuk
mengetahui apakah terdapat glositis atau cheilosis.
Pemeriksaan Penunjang
Riwayat klinis yang merupakan kunci untuk mendiagnosis neuropati, tapi harus
ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium lainnya. Pemeriksaan laboratorium bertujuan
membedakan neuropati et causa defisiensi vitamin B6 dan neuropati jenis lain.
3

Pemeriksaan darah lengkap dan serum piridoksin. Defisiensi piridoksin (vitamin B6)
dan CBC (complete blood count) akan menunjukkan anemia, hipokromik mikrositik dengan
tingkat zat besi yang normal. Kadar piridoksin serum adalah <25 mg/mL. Bagi penderita
alkoholik neuropati akan menunjukan low platelet count dan anemia megaloblastik.4
Pemeriksaan hemoglobin A1C (Hb A1C).Hemoglobin A1C dan glukosa plasma puasa
adalah tes skrining penting laboratorium pada neuropati diabetik. Hemoglobin A1C
pengukuran yang berguna untuk menilai kecukupan kontrol diabetes terakhir, tingkat
kemungkinan akan meningkat pada pasien dengan neuropati diabetes.
Hemoglobin A terdiri dari 91-95 % dari jumlah hemoglobin total. Molekul glukosa
berikatan dengan Hb A1 yang merupakan bagian dari hemoglobin A. HbA1C merupakan
indikator yang baik untuk pengendalian diabetes mellitus. Peningkatan kadar HbA1C >8 %
mengindikasikan diabetes mellitus yang tidak terkendali dan pasien berisiko tinggi
mengalami komplikasi jangka panjang, seperti nefropati, neuropati, retinopati, dan / atau
kardiomiopati. Nilai normal HbA1C bagi non diabetikadalah 2-5 %.4
Studi konduksi saraf (NCS) atau lebih dikenal dengan pemeriksaan kecepatan hantar
saraf dan elektromiografi (EMG) dapat menampilkan karakteristik neuropati (misalnya,
aksonal, demielinasi) dan lokalisasi (misalnya, mononeuropati dibandingkan radiculopathy
atau neuropati distal) dan, mungkin, tingkat keparahandan bahkan prognosis studi konduksi
saraf tergantung pada pola kerusakan serabut saraf. Pada neuropati perifer terjadi penurunan
NCS.

Diagnosis Kerja
Individu tertentu dalam populasi, yang dikarenakan adanya ciri-ciri genetiktertentu,
akan bereaksi atau mendapatkan pengaruh obat yang tidak sewajarnya dibandingkan anggota
populasi lain pada umumnya. Sehingga dengan demikian dapat dilakukan upaya-upaya
pencegahan agar pengaruh buruk yang tidak dikehendaki tidak sampai terjadi, misalnya
dengan menyesuaikan besar dosis atau dengan menghindari pemakaian obat tertentu pada
individu tertentu.
Polimorfisme genetik adalah ilmu tentang bagaimana faktor penentu genetik
mempengaruhikerja obat. Respons berbagai obat bervariasi antara satu individu dengan
individu lainnya karena variasi ini biasanya mempunyai distribusi Gaussian. Dalam distribusi
tersebut diasumsikan bahwa faktor penentu respons adalah multi faktorial. Hasil observasi
4

menunjukkan bahwa dalam satu populasi, respon terhadap obat-obat tersebut memperlihatkan
distribusi kontinu, dan populasi tersebut terbagi 2 atau lebih kelompok yang menunjukkan
adanya suatu gen tunggal yang sangat menentukan.5,6
Adanya perbedaan antar kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap
obat, yang kemungkinan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gen yang ada dalam
populasi dari masing-masing kelompok etnik tersebut akan dipelajari dalam studi
farmakogenetika. Sebagai contoh yang menarik adalah perbedaan antar kelompok etnik
dalam metabolisme (asetilasi) obat-obat tertentu seperti isoniazid, dapson, sulfadimidin,
prokainamid, dan hidralazin. Dalam hal kemampuan asetilasi obat-obat ini maka individuindividu dalam populasi akan terbagi secara tegas menjadi fenotipe asetilator cepat dan
asetilator lambat, dan sifat ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat asetilator cepat
ditentukan oleh gen dominan autosom sedangkan sifat asetilator lambat oleh gen resesif
autosom. Frekuensi asetilator ini berbeda antar masing-masing kelompok etnik oleh karena
adanya perbedaan dalam frekuensi gen asetilasi dalam populasi.6
Keanekaragaman respons atau pengaruh obat jika dapat diukur secara kuantitatif,
yakni dari parameter efek obat atau parameter kinetik obat (misalnya T obat), maka secara
umum akan dijumpai dua macam keanekaragaman. Keanekaragaman dimana parameter
pengaruh atau respons dari individu-individu dalam populasi tersebut terdistribusi secara
kontinu atau unimodal. Keanekaragaman di mana parameter pengaruh obat dari individu
dalam populasi terdistribusi secara diskontinu atau polimodal.
Sebagian besar distribusi frekuensi pengaruh obat dalam populasi akan bersifat
unimodal, berapapun besarnya keanekaragaman tersebut. Respons obat yang terdistribusi
secara unimodal dalam populasi ini, pada masing-masing individu tersebut dipengaruhi oleh
banyak gen dalam satu lokasi kromosom (poligenik). Misalnya, kecepatan metabolisme
sebagian besar obat.6
Sebaliknya beberapa bentuk respons atau pengaruh obat dalam populasi yang
terdistribusi secara polimodal, sifat tersebut dipengaruhi oleh suatu gen tunggal dalam satu
lokus kromosom (monogenik). Bentuk keanekaragaman pengaruh obat yang terdistribusi
secara polimodal sering disebut sebagai polimorfisme genetik yang menunjukkan adanya
polimorfisme gen tunggal. Sifat tersebut dipengaruhi oleh satu gen tunggal (monogenik)
dalam satu lokus kromosom. Dalam hal ini, individu dalam suatu populasi terbagi menjadi 2

atau lebih golongan fenotip yang berlainan, seperti yang ditunjukkan oleh respon obat
Isoniazid dengan terdapatnya fenotip asetilator cepat dan fenotip asetilator lambat.6
Dalam ilmu genetika, polimorfisme genetik didefinisikan sebagai adanya individuindividu dengan sifat genetik yang berlainan tetapi hidup secara bersamaan dalam populasi,
di mana frekuensi masing-masing selalu tetap dan tidak berubah oleh karena adanya mutasi
genetik.5

Bentuk-bentuk polimorfisme farmakogenetika


Secara umum bentuk keanekaragaman genetik, khususnya polimorfisme genetik
dalam pengaruh obat dapat terjadi dalam berbagai tingkat proses biologik obat dalam tubuh,
yakni proses farmakokinetik (proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat)
serta proses farmakodinamik yaitu dalam proses interaksi antara molekul obat dengan
reseptornya, di mana terdapat kepekaan reseptor yang abnormal terhadap molekul obat
(kepekaan reseptor obat).
Polimorfisme proses farmakogenetik dalam kinetik yaitu polimorfisme genetik dalam
proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat, tidak banyak dijumpai dan diketahui. Yang
paling banyak dijumpai adalah adanya polimorfisme dalam metabolisme obat.
Kemungkinan polimorfisme genetik dalam proses absorpsi dapat diperkirakan kalau
individu dengan ciri-ciri genetik tertentu, tidak dapat mengabsorpsi obat, nutriensia atau
vitamin-vitamin karena tidak mempunyai faktor pembawa (carrier) spesifik untuk obat atau
nutriensia atau vitamin yang bersangkutan. Jadi ada kekurangan atau defect dalam absorpsi
pada mekanisme transport aktifnya. Namun ini secara teoritik, dalam kenyataannya tidak
banyak yang dijumpai atau diketahui. Tidak jelas apakah malabsorpsi vitamin B-12 karena
tidak adanya faktor intrinsik untuk absorpsi pada individu-individu tertentu juga masuk
dalam polimorfisme genetik dalam proses absorpsi ini.
Polimorfisme genetik dalam proses distribusi secara teoritik kemungkinan dapat
terjadi apabila ada abnormalitas ikatan protein terhadap obat tertentu oleh suatu fraksi protein
tertentu. Atau distribusi obat ke organ atau jaringan tertentu (misalnya uptake iodium oleh
kelenjar tiroid) dengan suatu pembawa spesifik, mengalami gangguan dan gangguan ini
disebabkan oleh karena faktor genetik.
6

Bentuk-bentuk polimorfisme genetik yang banyak dikenal adalah dalam proses


metabolisme oleh karena adanya keanekaragaman enzim yang berperan dalam metabolisme
obat, baik secara kuntitatif atau secara kualitatif. Umumnya karena adanya perbedaan secara
kuantitatif enzim oleh karena sintesis enzim yang dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya
perbedaan antara asetilator cepat dan asetilator lambat lebih banyak dikarenakan perbedaan
aktifitas enzim asetil-transferase karena jumlahnya yang berbeda.5,6
Poses ekskresi. Kemungkinan adanya gangguan sekresi aktif di tubuli renalis karena
tidak adanya pembawa spesifik secara teoritik dapat terjadi. Tetapi polimorfisme genetik
dalam bentuk terganggunya proses sekresi obat ini belum dikenali dan dilaporkan dalam
pustaka. Bentuk-bentuk polimorfisme dalam metabolisme ini beberapa diuraikan secara
singkat berikut ini.
Keanekaragaman genetik dalam proses farmakodinamika. Keanekaragaman genetik
dapat terjadi di luar proses kinetik. Dengan kata lain fenomena ini terjadi pada tingkat
interaksi antara molekul obat dengan reseptor spesifiknya, atau secara mudah terjadi pada
kepekaan reseptornya. Mengapa hal ini bisa terjadi, artinya mengapa ada orang-orang yang
secara genetik mempunyai kepekaan yang abnormal terhadap molekul obat, tidak dapat
diterangkan

secara

jelas.Apapun

mekanisme

yang

mendasari

terjadinya

bentuk

keanekaragaman genetik dalam tingkat farmakodinamika ini, dalam praktek sebenarnya yang
pentingadalah bagaimana mengetahui (mendiagnosis) apakah pasien menderita bentuk atau
kelainan genetik tertentu sehingga dapat dihindari obat-obat yang merugikan.
Sayangnya, tidak semua bentuk kelainan genetik inipun dapat secara mudah diketahui
atau didiagnosis dalam praktek klinik oleh karena memerlukan teknik diagnosis yang
rumit.Beberapa bentuk keanekaragaman genetik dalam tingkat farmakodinamika yang sudah
diketahui secara luas seperti kenaikan tekanan bola mata karena steroid. Pada beberapa
individu pemakaian steroid topikal (misalnya deksametason 0,1%) secara berulang, dapat
menyebabkan kenaikan bola mata. Bentuk keanekaragaman genetik ini ditentukan oleh suatu
gen otosom resesif. Terjadinya hipertermi maligna pada orang dengan konsumsi
suksametonium atau halotan. Ketidakmampuan mengecap feniltiokarbamid (PTC),
propiltiourasil (PTU) atau tiopenton serta anak-anak dengan sindrom ini ternyata mempunyai
kepekaan yangberlebihan terhadap obat-obat antikolinergik, sehingga pemakainya harus hatihati.6
Diagnosis Banding
7

Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering ditemukan
pada diabetesmelitus. Risiko yang dihadapi pasien diabetes dengan neuropati diabetik
antaralain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari atau
kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan kematian dan kesakitan.
Proses kejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang
berakibat terjadi aktivitas enzim aldose-reduktase. Yang mengubah glukosa menjadi sorbitol,
yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi fruktosa. Akumulasi
sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf melalui mekanisme yang belum jelas.
Salah satu kemungkinannya ialah akibat akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan
keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan sintesis
sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol
dan akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotic yang akan merusak
mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC ini akan menekan
fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler menjadi berlebihan, yang berakibat
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga terjadi gangguan transduksi
sinyal pada saraf.
Reaksi jalur polinol juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH saraf yang
merupakan kofaktor penting dalam metabolism oksidatif. Karena NADPH merupakan
kofaktor penting untuk glutathione dan nitric oxide synthase (NOS), pengurangan kofaktor
tersebut membatasi kemampuan saraf untuk mengurangi radikal bebas dan penurunan nitric
oxide (NO). Disamping meningkatkan aktivitas jalur polinol, hiperglikemia berkepanjangan
akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end products (AGEs). AGEs ini
sangat toksik dan merusak semua protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya
AGEs dan sorbtitol, maka sintesis dan fungsi nitric oxide akan menurun, yang berakibat
vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama rendahnya mioinositol ke
sel saraf terjadilah neuropati diabetik. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat
kembali pulih dengan kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini
berlanjut menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi.7
Etiologi
Isoniasid. Telah banyak kasus dilaporkan mengenai perbedaan respon obat yang
diberikan antar individu untuk penyakit yang sama. Salah satu contoh adalah dalam
pengobatan isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan
8

dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut. Perbedaan tersebut ternyata
disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menyandi ekspresi dari enzim Nacetyltransferase.
Proses metabolisme INH ialah dengan reaksi asetilasi yang dikatalisis oleh enzim Nasetil transferase hepar yang memperlihatkan polimorfisme genetik (enzim ini tidak dapat
diinduksi sehingga perbedaan dalam aktivitas enzim diantara individu bukan disebabkan oleh
perbedaan dalam pengobatan/pengaruh obat lain). Enzim ini berfungsi memindahkan gugus
asetil dari donor asetil (asetil koenzim A) ke obat akseptor sehingga terbentuk metabolit Nasetilisoniazid lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Adanya
perbedaan asetilasi ternyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menyandi
ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang
disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim
N-asetilastransferase menjadi lambat.
Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim Nasetilastransferase yang jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator
lambat.Dengan demikian, maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk
asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja
(t ) yang pendek, yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat,
memerlukan dosis pengobatan yang lebih besar.
Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh
gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau
heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr.6

Gambar 1. Gambaran histogram frekuensi dari waktu paruh INH pada populasi Kaukasoid
(atas) dan pada populasi Indonesia Java (bawah).6
Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan
tuberkolosis, pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan
demikian, untuk individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan
berulangkali karena metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat
menimbulkan efek setelah diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t yang pendek). Hal
ini harus diperhatikan, karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi
pemberian yang lebih banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan
terjadi resistensi akan cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu
diperhatikan untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.
Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim Nasetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan
oleh individu yang memiliki tipe asetilator cepat.Dengan demikian, maka kemampuan untuk
isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif
berlangsung lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140-

10

200 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis
pengobatan yang rendah agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan
oleh INH. Untuk individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan
berulangkali/frekuensi yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat,
sehingga INH dapat menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah
diminum.
Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme
dalam bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu,
menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi
daripada individu bertipe asetilator cepat.6

Patofisiologi
Perbedaan yang terjadi pada ras kaukasian ditentukan secara genetik pada aktivitas
enzim tertentu dapat mengakibatkan perbedaan untuk memetabolisme obat. Hal ini juga
terjadi perbedaan dalam asetilasi obat isoniazid dalam pengobatan tuberkulosis.8
Individu dapat mudah digolongkan ke dalam 2 macam kelompok yaitu fenotip cepat,
yang menunjukkan kadarnya dalam darah relative rendah beberapa jam setelah minum obat,
dan fenotip lambat yang menunjukkan kadarnya dalam darah relatif tinggi. Pada fenotip
cepat, obat dengan proporsi yang jauh lebih besar dikeluarkan dalam bentuk terasetilasi lewat
air seni dibandingkan pada fenotip lambat yang terutama mengeluarkan obat tak terasetilasi.
Asetilasi isoniazid dihasilkan dengan enzim asetil transferase yang terdapat dalam hati
yang terlibat dalam suatu reaksi pemindahan gugus asetil dari asetil-koenzim A ke isoniazid.
Pengujian aktivitas asetil transferase dalam sampel hati yang diperoleh dengan biopsi
menunjukkan perbedaan yang nyata antara tingkat aktivitasnya pada fenotip cepat dan
lambat. Rata-rata, aktivitasnya jauh lebih tinggi pada kelompok cepat daripada kelompok
lambat.
Dalam membandingkan kelompok besar penderita pada pengobatan isoniazid bagi
penderita tuberkulosis, biasanya tidak dijumpai perbedaan yang mencolok antara hasil
pengobatan pada fenotip cepat dan lambat. Tetapi, sementara mungkin ada perbedaan sedikit
atau tidak ada perbedaan bila dosis obatnya optimal, rupanya dosis ini suboptimal.
11

Fenotip isoniazid lambat akan lebih mudah untuk mengalami neuropati perifer yang
mungkin terjadi pada pengobatan isoniazid jangka panjang, dan yang jelas disebabkan karena
pengaruh efek samping toksik obat tersebut. Tetapi, timbulnya neuritis perifer sebagai
penyulit pengobatan isoniazid sekarang jarang, karena dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin bersama-sama.8
Epidemiologi
Respon manusia terhadap obat akan bervariasi dari satu individu ke individu yang lain
yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Perbedaan distribusi obat serta kecepatan metabolism
obatdan eliminasi obat dipengaruhi oleh faktor genetik dan variabel non-genetik seperti
umur,jenis kelamin, ukuran hati, fungsi hati, ritme carcadian, suhu tubuh, faktor-faktor
lingkungandan nutrisi Fenotip asetilator lambat terjadi kira-kira 50% dari penduduk kulit
hitam dankulit putih di Amerika Serikat, 40-70% pada orang Kaukasian, lebih sering pada
orang Eropaserta jauh lebih sedikit orang Asia seperti Jepang dan Cina (10-20%) dan Eskimo.
Aktivitas enzim N-asetilastransferase pada distribusi INH sangat bervariasi untuk setiap suku
atau ras.Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong
asetilator lambat, sedangkan untuk orang Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong
asetilator cepat.6
Manifestasi Klinik
Efek samping akibat isoniazid menonjol adalah ruam (2%), demam (1,2%), ikterus
(0,6%), dan neuritis perifer (0,2%). Diperkirakan 180 pada lebih dari 2000 pasien yang
mendapatkan reaksi efek samping dari obat ini. Hipersensitivitas terhadap isoniazid dapat
berakibat demam, erupsi kulit, hepatitis, serta ruam morbiliform, makulopapular, purpuria, dan
urtikaria. Reaksi-reaksi hematologis juga mungkin terjadi (agranulositosis, eosinofilia,
trombositopenia, anemia). Vaskulitis yang terkait dengan antibodi antinukleus dapat muncul
selama pengobatan tetapi akan hilang jika obat ini dihentikan. Gejala-gejala artritis (nyeri
punggung; dipengaruhinya sendi interfalangeal proksimal bilateral, artralgia pada lutut, siku,
dan pergelangan tangan telah dihubungkan dengan obat ini. 9
Penatalaksanaan
Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi
dan lebih jelas memperlihatkan efek toksisitas dibanding dengan asetilator cepat dalam
regimen dosis yang sama. Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan lebih mudah
12

menderita efek samping INH berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B-6. INH
akanmenghambat pemakaian vitamin B-6 oleh jaringan dan akan memperbesar ekskresi
vitamin B-6.Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Asetilator cepat
akan memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk
mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat.9
Neuritis perifer paling banyak terjadi dengan dosis isoniazid 5mg/kgBB/hari. Bila
pasien tidak diberi piridoksin frekuensinya mendekati 2%. Bila diberikan dosis lebih tinggi,
pada sekitar 10 sampai 20% pasien dapat terjadi neuritis perifer.6 Pemberian vitamin B-6 pada
pasien dengan pengobatan INH. Vitamin B-6 disarankan lebih baik diberikan juga sebagai
profilaksis. Atau saat ini juga telah tersedia sediaan obat INH yang telah disertai dengan
Vitamin B6.10
Prognosis
Pada nuropati perifer akibat penggunaan obat isoniazid memiliki prognosis baik
apabila mendapat penanganan yang segera sebelum terjadi komplikasi kronik dari
penggunaan INH jangka panjang sesuai dengan lamanya terapi tuberkulosa.

Kesimpulan
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu
pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu. Sayangnya, tidak semua bentuk
keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui dan relatif mudah didiagnosis tidak
selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam praktek. Di luar ini semua masih
banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui secara jelas, baik mekanisme
terjadinya, cara pewarisannya serta makna kliniknya.
Daftar pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007. H
18-9.
2. Bickley, Lynn. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. 8th ed. Jakarta:
EGC; 2009. H 593-5.

13

3. Bickley, Lynn. Pemeriksaan refleks tendon dalam Bates buku ajar pemeriksaan fisik
& riwayat kesehatan. 8th ed. Jakarta: EGC; 2009. H 595-600.
4. Joyce L K. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostik. 6th ed. Jakarta: EGC;
2008. H 237.
5. Neal M J. At a glance farmakologi medis. 5th ed. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006. H
15.
6. Rahardjo R. Kumpulan kuliah farmakologi. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2009. H 310-15.
7. Subekti I. Neuropati diabetik. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009. H 1947-51.
8. Katzung, Bertram G. Farmokologi dasar dan klinik. 4th ed. Jakarta: EGC; 2000. H 5961.
9. Syamsuir M. Prinsip farmakogenetik. 1st ed. Jakarta: EGC; 2009. H 305-11.
10. Istiantoro Y H, Gunawan S G, Setiabudy. Farmaklogi dan terapi. 5th ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008. H 613-5.

14

Anda mungkin juga menyukai