PENDAHULUAN
Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan beraneka ragam
(bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab
baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Penyebab yang berasal
dari individu pun dapat bermacam-macam, misalnya penyakit yang diderita, umur, status
gizi, diit, faktor genetika, dan lain-lain.
Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor
genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi
tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari
overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah
kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi
akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan
respons individu terhadap suatu obat. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth
(editor). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
PEMBAHASAN
Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan identitas dan keluhan pasien. Neuropati perifer
biasa timbul dengan keluhan baal, lemah, dan kaki diseret. Beberapa hal yang ditanyakan
berkaitan dengan keluhan pasien tersebut antara lain:
Apakah progresif?
Apakah ada gangguan fungsional, misalnya sulit berjalan atau kesulitan memegang suatu
benda?
Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik
Melakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis, antara lain cara berjalan,
melangkah, menjejak. Periksa juga area simtomatik dengan inspeksi untuk melihat apakah
ada pengecilan otot, postur abnormal, perubahan kulit, atau jaringan parut. Periksa tonus otot,
sensasi dan refleks. (at glance)
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Diagnosis Kerja
Diagnosis Banding
Neuropati Diabetikum
Selain menyebabkan lesi saraf cranial dan perifer soliter (termasuk mononeuritis
multipleks), diabetes menyebabkan neuropati distal yang terutama sensoris yang biasanya
mengenai ekstremitas bawah bagian distal dengan distribusi berbentuk stoking. Gejala baal,
parestesia, dan kadang-kadang nyeri pada kaki berhubungan dengan hilangnya sensasi getar
dan posisi, Yang khas adalah hilangnya refleks pergelangan kaki.( ked klinis ed 6)
Saraf Terjepit
Epidemiologi
antar kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap obat,
yang
dominan otosom sedangkan sifat asetilator lambat oleh gen resesif otosom.
Yang
etnik oleh karena adanya perbedaan dalam frekuensi gena asetilasi dalam
populasi.
skimo : 5%
epang : 10%
ina : 20%
elayu : 35%
ndian-Amerika : 40%
as Kaukasoid : 50%
as Negroid : 50-100%
Etiologi
Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh
gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau
heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr. Makna klinik dari status asetilator
tergantung pada obat yang dipakai yang mengalami asetilasi polimorfik tadi. Untuk
pengobatan dengan INH, asetilator lambat lebih mudah menderita efek samping INH berupa
neuropati perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian vitamin
B6 jaringan dan akan memperbesar ekskresi B6.
Patofisiologi
Farmakoterapi
1. Isoniazid (INH)
INH menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan
metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. INH dapat menimbulkan ikterus dan
kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penderita yang mendapat
INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau
perlu dilakukan pemeriksaan SGOT. Efek nonterapi INH dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasan yang cermat. Untuk tujuan terapi, INH harus diberikan dengan
obat lain. Untuk pencegahan, dapat diberikan tunggal.
2. Rifampicin
Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning
(icterus), terutama bila dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksis bagi hati. Pada
penggunaan lama, dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini agak
sering juga menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati,
kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitasi (Tjay,
2003) Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat Penting Edisi V.
Jakarta: Gramedia.
3. Etambutol
Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek nonterapi, biasanya berupa
gangguan penglihatan, dan peningkatan kadar asam urat darah. Efek nonterapi ini
mungkin diperkuat oleh INH dan piridoksin.
4. Pirazinamid
Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama adalah
peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan pirazinamid
harus dihentikan. (Ganiswara et.al., 2001).
Metabolisme obat dibagi menjadi 2 fase, yakni fase I yang merupakan fase reduksi,
oksidasi, dan hidrolisis; dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dengan substrat lain,
misalnya asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, dan asam-asam amino. Reaksi fase I
dilakukan oleh enzim sitorkrom P450 (CYP) sebagai enzim pengoksidasi, dan merupakan
enzim yang terpenting dalam reaksi ini. Enzim ini memiliki isoenzim sekitar 50 macam.
Reaki fase II, terutama reaksi glukuronidasi (oleh enzim UDP-glukuroniltransferase / UGT),
dan reaksi asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase 2(NAT2).
Polimorfisme genetik dapat ditemukanj pada enzim CYP2D6, CYP2D9, CYP2C19,
serta NAT2. Oleh karena itu, populasi terbagi menjadi 2 golongan. Untuk enzim-enzim CYP
(sebagai enzim dalam reaksi oksidasi fase I), populasi terbagi menjadi golongan extensive
metabolizer (EM) dan poor metabolizer (PM). Sementara untuk enzim NAT2 yang berperan
dan asetilasi fase II, terbagi menjadi rapid acetylator (RA) dan slow acetlyator (SA).Bagi
orang-orang dalam golongan slow acetylator , penggunaan obat INH (isoniazid) misalnya
dalam terapi tuberkolosis dapat menyebabkan toksisitas, dan memicu penyakit-penyakit lain.
Ini diakibatkan kadar obat yang tinggi akibat mengalami metabolisme secara lambat.
Demikian juga untuk metabolisme menggunakan CYP. Orang dengan keadaan poor
metabolizer akan mengalami peningkatan kadar obat akibat obat dimetabolisme secara
kurang baik.
Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Efek samping obat
lebih sering ditemukan pada asetilator lambat.
1. Asetilator lambat
2. Asetilator cepat
Asetilator cepat, bila metabolit asetilasinya merupakan zat toksik, misalnya hepatitis
yang dapat diinduksi oleh asetilhidrazin yang terbentuk dari isoniazid.
Jika obat induk dapat menghambat enzim untuk metabolism obat lain, asetilator
lambat akan lebih cenderung menunjukkan efek toksik pada mereka dengan konsentrasi obat
yang lebih tinggi. Misalnya, INH lebih cenderung menimbulkan neurotoksisitas fenitoin dan
rifampisin, serta toksisitas hepar pada asetilator lambat.
(FK UNSRI)
Penatalaksanaan
s a a t p e m b e r i a n i s o n i z i d d a n r i f a m p i s i n . 12
s e c a r a b e rma k n a memp e n g a r u h i k a d a r o b a t
(16)
E f e k i n i d a p a t d i k u r a n g i d e n g a n p emb e r i a n
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi apabila neuropati tidak ditangani dengan baik maka
dapat mengakibatkan antara lain infeksi atau kerusakan struktur organ, ketidakmampuan
untuk bergerak baik secara parsial maupun komplit, kehilangan sensasi parsial maupun
komplit, atau atrofi otot. Bila komplikasi ini tidak diatasi akan menyebabkan komplikasi
yang lebih serius dan menyebabkan kerusakan yang irreversible yang akhirnya juga dapat
menyebabkan gejala depresi pada penderitanya antara lain frustasi dan mengisolasi diri.
Mahar Marjono, dkk, Neurologi Klinis Dasar, edisi I, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
Preventif
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, mengetahui sebab-
sebabnya pada tingkat molekuler, dan mengembangkan cara-cara sederhana untuk mengenali
orang-orangnya, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat
dengan menyesuaikan dosis yang diberikan kepada mereka atau menghindari pemakaian obat
tertentu pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu. (farmako hijau)
Pada pasien
Prognosis
Prognosis baik.
PENUTUP
Kesimpulan
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu
pada orang-orang dengan ciri-ciri genetic tertentu. Sayangnya, tidak semua bentuk
keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui dan relatif mudah didiagnosis tidak
selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam praktek. Di luar ini semua masih
banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui secara jelas, baik mekanisme
terjadinya,cara pewarisannya serta makna kliniknya.
DAFTAR PUSTAKA
5.