Anda di halaman 1dari 13

Polimorfisme Genetik pada Metabolisme Obat

Krissaesha Novera Suhin


10 2008 034
Mahasiswi semester VI Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta 11510
seshanovera@yahoo.com

PENDAHULUAN
Pengaruh obat yang terjadi dari pemberian obat pada manusia akan beraneka ragam
(bervariasi) dari orang ke orang. Keanekaragaman ini dipengaruhi oleh berbagai penyebab
baik yang berasal dari obat maupun dari individu yang bersangkutan. Penyebab yang berasal
dari individu pun dapat bermacam-macam, misalnya penyakit yang diderita, umur, status
gizi, diit, faktor genetika, dan lain-lain.

Kemampuan memetabolisme obat dipengaruhi oleh factor genetik dan lingkungan.


Metabolisme obat yang dikendalikan oleh banyak gen akan membentuk distribusi
kemampuan metabolism yang membentuk unimodal pada suatu populasi. Oleh karena itu
disini disebut terjadi polimorfisme obat. Beberapa dampak klinik dapat timbul akibat
terjadinya polimorfisme genetik dalam kemampuan memetabolisme obat. (buku farmako
hijau)

Efek farmakologis yang berbeda-beda, yang diakibatkan oleh adanya kaitan faktor
genetik dipelajari secara khusus melalui farmakogenetik. Farmakogenetik adalah studi
tentang variasi respons obat akibat factor genetik. Farmakogenetik perlu dibedakan dari
overdosis, reaksi alergi, dan inborn error of metabolism. Inborn error of metabolism adalah
kelainan genetik yang mengakibatnya kelainan pengolahan zat tertentu sehingga terjadi
akumulasi dalam sel. Sementara itu, farmakogenetik mempelajari tentang adanya perbedaan
respons individu terhadap suatu obat. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth
(editor). Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
PEMBAHASAN

Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan identitas dan keluhan pasien. Neuropati perifer
biasa timbul dengan keluhan baal, lemah, dan kaki diseret. Beberapa hal yang ditanyakan
berkaitan dengan keluhan pasien tersebut antara lain:

Kapan gejala dimulai?

Apakah progresif?

Apakah ada gangguan fungsional, misalnya sulit berjalan atau kesulitan memegang suatu
benda?

Adakah gejala kondisi terkait, misalnya diabetes melitus?

Riwayat penyakit terdahulu?

Apakah pasien sedang mengkonsumsi obat-obatan? (at glance)

Pemeriksaan
Pemeriksaan Fisik

Melakukan pemeriksaan fisik umum dan neurologis, antara lain cara berjalan,
melangkah, menjejak. Periksa juga area simtomatik dengan inspeksi untuk melihat apakah
ada pengecilan otot, postur abnormal, perubahan kulit, atau jaringan parut. Periksa tonus otot,
sensasi dan refleks. (at glance)

Pemeriksaan Penunjang

Dalam praktek kedokteran umum terdapat gangguan yang harus dipertimbangkan


sebagai sebagai penyebab neuropati perifer yaitu diabetes melitus, neuropati karsinomatosa,
defisiensi vitamin B, dan obat-obatan atau bahan kimia. Yang paling sering dijumpai adalah
adalah disebabkan diabetes melitus. Pemeriksaan penunjang pada pasien neuropati perifer
bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab atau memastikan gangguan yang
lebih sering sebagai penyebab dan bisa diobati. Pada sekitar 50% kasus etiologinya tetap tak
diketahui. (Ked. KLinis ED 6)
Riwayat penyakit yang lengkap dapat mempermudah untuk mendeteksi neuropati.
Pemeriksaan neurologis dapat menilai abnormalitas pada sistem gerak, sensasi,
maupun kerusakan fungsi organ. Perubahan pada refleks dan kuantitas otot dapat
juga dinilai dari awal diagnostik. Sangat penting untuk mencari penyebab neuropati
secara dini, karena hal tersebut dapat menurunkan resiko kerusakan saraf menjadi
kerusakan yang bersifat permanen.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain:
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan neurologis
- Pemeriksaan kecepatan sistem hantaran saraf
- Elektromiografi (EMG)
- EEG
- Pungsi Lumbal
- Biopsi saraf
- Pemeriksaan darah untuk mendeteksi keadaan medik tertentu, seperti pada
penderita diabetes, defesiensi vitamin, dan keadaan lainnya.
- Pemeriksaan radiologis dan imaging (bila diperlukan)
Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita neuropati berdasarkan pada penyakit
yang mendasarinya, riwayat penyakit, gejala yang muncul, dan progresifitas dari
gejala yang muncul.
Mahar Marjono, dkk, Neurologi Klinis Dasar, edisi I, Dian Rakyat, Jakarta, 2000

Diagnosis
Diagnosis Kerja

Polimorfisme genetic pada metabolism obat Isoniazid

Neuropati perifer bisa disebabkan oleh pengobatan tuberculosis dengan isoniazid,


yang tergantung piridoksin dan terjadi pada asetiator lambat. (Ked Klinis ED.6)

Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap


kecepatan asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan
asetilasi dari masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe,
yaitu tipe asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi
pada jalur metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik
primer dan amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah
untuk proses detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa
metabolitnya yang bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk
dieksresikan. Aktivitas dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada
tingkat kecepatan reaksi asetilasinya.
Untuk pengobatan dengan INH, asetilator lambat akan mudah menderita efek samping INH
berupa neuropati perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian
vitamin B6 dan akan memperbesar ekskresi vitamin B6. (FK UNSRI)

Diagnosis Banding

Neuropati Diabetikum

Selain menyebabkan lesi saraf cranial dan perifer soliter (termasuk mononeuritis
multipleks), diabetes menyebabkan neuropati distal yang terutama sensoris yang biasanya
mengenai ekstremitas bawah bagian distal dengan distribusi berbentuk stoking. Gejala baal,
parestesia, dan kadang-kadang nyeri pada kaki berhubungan dengan hilangnya sensasi getar
dan posisi, Yang khas adalah hilangnya refleks pergelangan kaki.( ked klinis ed 6)

Saraf Terjepit

Epidemiologi

Studi farmakogenetik juga berguna untuk mempelajari adanya perbedaan

antar kelompok etnik dalam hal pengaruh atau respons terhadap obat,
yang

kemungkinan karena adanya perbedaan dalam frekuensi gena yang ada


dalam

populasi dari masing-masing kelompok etnik tersebut. Sebagai contoh


yang menarik

adalah perbedaan antar kelompok etnik dalam metabolisme (asetilasi)


obat-obat

tertentu seperti isoniazid, dapson, sulfadimidin, prokainamid, dan


hidralazin. Dalam

hal kemampuan asetilasi obat-obat ini maka individu-individu dalam


populasi akan

terbagi secara tegas menjadi fenotipe asetilator cepat dan asetilator


lambat, dan sifat
ini ditentukan oleh suatu gen otosom, yakni sifat asetilator cepat
ditentukan oleh gen

dominan otosom sedangkan sifat asetilator lambat oleh gen resesif otosom.
Yang

menarik ternyata frekuensi asetilator ini berbeda antar masing-masing


kelompok

etnik oleh karena adanya perbedaan dalam frekuensi gena asetilasi dalam
populasi.

Proporsi asetilator lambat pada berbagai kelompok etnik bervariasi


sebagai berikut:

skimo : 5%

epang : 10%

ina : 20%

elayu : 35%

ndian-Amerika : 40%

as Kaukasoid : 50%

as Negroid : 50-100%

Etiologi
Sifat asetilator cepat ditentukan oleh gen dominan, sedangkan asetilator lambat oleh
gen resesif, sehingga genotype untuk seorang asetilator cepat adalah RR homozigot atau
heterozigot Rr, sedangkan asetilator lambat adalah rr. Makna klinik dari status asetilator
tergantung pada obat yang dipakai yang mengalami asetilasi polimorfik tadi. Untuk
pengobatan dengan INH, asetilator lambat lebih mudah menderita efek samping INH berupa
neuropati perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian vitamin
B6 jaringan dan akan memperbesar ekskresi B6.
Patofisiologi
Farmakoterapi

1. Isoniazid (INH)

INH menghambat biosintesis asam mikolat yang merupakan unsur penting dinding sel
mikobakterium. Di hati, INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan
metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik. INH dapat menimbulkan ikterus dan
kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Penderita yang mendapat
INH hendaknya selalu diamati dan dinilai kemungkinan adanya gejala hepatitis, kalau
perlu dilakukan pemeriksaan SGOT. Efek nonterapi INH dapat dicegah dengan pemberian
piridoksin dan pengawasan yang cermat. Untuk tujuan terapi, INH harus diberikan dengan
obat lain. Untuk pencegahan, dapat diberikan tunggal.

2. Rifampicin

Rifampicin aktif terhadap sel yang bertumbuh. Kerjanya menghambat DNA-dependent


RNA polymerase dari mikobakteria dan mikroorganisme lain. Rifampicin jarang
menimbulkan efek nonterapi, namun pada penderita penyakit hati kronik, alkoholisme,
dan usia lanjut insidensi ikterus bertambah. Rifampicin tampaknya meningkatkan
hepatotoksisitas INH terutama pada asetilator lambat. (Ganiswara, et.al, 2001).

Efek sampingnya yang terpenting tetapi tidak sering terjadi adalah penyakit kuning
(icterus), terutama bila dikombinasikan dengan INH yang juga agak toksis bagi hati. Pada
penggunaan lama, dianjurkan untuk memantau fungsi hati secara periodik. Obat ini agak
sering juga menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, sakit ulu hati,
kejang perut dan diare, begitu pula gejala gangguan SSP dan reaksi hipersensitasi (Tjay,
2003) Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2003. Obat-obat Penting Edisi V.
Jakarta: Gramedia.
3. Etambutol

Etambutol jarang menimbulkan efek samping. Jika ada efek nonterapi, biasanya berupa
gangguan penglihatan, dan peningkatan kadar asam urat darah. Efek nonterapi ini
mungkin diperkuat oleh INH dan piridoksin.

4. Pirazinamid

Efek samping yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Gejala pertama adalah
peningkatan SGOT dan SGPT. Jika jelas timbul kerusakan hati, terapi dengan pirazinamid
harus dihentikan. (Ganiswara et.al., 2001).

(Ganiswara, Sulistia G. Setiabudi, Rianto. Suyatna, Frans D. Purwantyastuti.


Nafrialdi. 2001. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: FKUI.)

Dari aspek farmakokinetik, farmakogenetik banyak memengaruhi sisi biotransformasi


(metabolisme) obat. Selain biotransformasi (metabolisme), farmakokinetik juga melibatkan
proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi. Metabolisme obat terutama terjadi di sel-sel hati
(mikrosom = retikulum endoplasma hati), serta di sitosol. Selain hati, dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit juga menjadi tempat biotransformasi obat. Metabolisme memiliki
tujuan untuk mengubah obat yang nonpolar (larut dalam lemak) menjadi polar (larut dalam
air) agar dapat dieksresi melalui ginja.. Pada umumnya perubaha ini menyebabkan obat
menjadi inaktif, namun ada juga yang justru menjadi lebih aktif, atau bahkan toksik.

Metabolisme obat dibagi menjadi 2 fase, yakni fase I yang merupakan fase reduksi,
oksidasi, dan hidrolisis; dan fase II yang merupakan reaksi konjugasi dengan substrat lain,
misalnya asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, dan asam-asam amino. Reaksi fase I
dilakukan oleh enzim sitorkrom P450 (CYP) sebagai enzim pengoksidasi, dan merupakan
enzim yang terpenting dalam reaksi ini. Enzim ini memiliki isoenzim sekitar 50 macam.
Reaki fase II, terutama reaksi glukuronidasi (oleh enzim UDP-glukuroniltransferase / UGT),
dan reaksi asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase 2(NAT2).
Polimorfisme genetik dapat ditemukanj pada enzim CYP2D6, CYP2D9, CYP2C19,
serta NAT2. Oleh karena itu, populasi terbagi menjadi 2 golongan. Untuk enzim-enzim CYP
(sebagai enzim dalam reaksi oksidasi fase I), populasi terbagi menjadi golongan extensive
metabolizer (EM) dan poor metabolizer (PM). Sementara untuk enzim NAT2 yang berperan
dan asetilasi fase II, terbagi menjadi rapid acetylator (RA) dan slow acetlyator (SA).Bagi
orang-orang dalam golongan slow acetylator , penggunaan obat INH (isoniazid) misalnya
dalam terapi tuberkolosis dapat menyebabkan toksisitas, dan memicu penyakit-penyakit lain.
Ini diakibatkan kadar obat yang tinggi akibat mengalami metabolisme secara lambat.
Demikian juga untuk metabolisme menggunakan CYP. Orang dengan keadaan poor
metabolizer akan mengalami peningkatan kadar obat akibat obat dimetabolisme secara
kurang baik.

Adanya polimorfisme genetik dalam konteks farmakologi ini menyebabkan


diperlukan dosis-dosis tertentu untuk orang-orang dengan golongan tertentu. Misalkan
pengobatan dengan INH bagi penderita tuberkolosis harus dengan penurunan dosis INH
untuk menghindari terjadinya akumulasi INH yang lambat dimetabolisme oleh enzim NAT2.
Faktor genetik dapat juga dikatakan sebagai faktor lingkungan, mengingat kecenderungan
untuk ditemukannya satu golongan tertentu (misalnya, golongan RA / rapid acetylator) di
masyarakat yang tinggal daerah tertentu.

Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan Terapi. 5 th


ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007.

Asetilator cepat umumnya lebih resisten terhadap pengobatan. Efek samping obat
lebih sering ditemukan pada asetilator lambat.

1. Asetilator lambat

Asetilator (inaktivator) lambat dapat menyebabkan obat lebih banyak terakumulasi


dan lebih jelas memperlihatkan efek toksisitas disbanding dengan asetilator cepat
dalam regimen dosis yang sama. Dibanding dengan asetilator lambat, asetilator cepat
akan memerlukan dosis obat yang lebih tinggi dan pemberian yang lebih sering untuk
mempertahankan suatu level terapi yang efektif dan adekuat. Untuk pengobatan
dengan INH, asetilator lambat akan mudah menderita efek samping INH berupa
neuropati perifer karena defisiensi vitamin B6. INH akan menghambat pemakaian
vitamin B6 dan akan memperbesar ekskresi vitamin B6. Distribusi INH pada
asetilator lambat dan cepat (kira-kira 50% tiap kelompok etnik) nilainya sama pada
kebanyakan kelompok (etnik) manusia, namun pada orang-orang Jepang, lebih dari
90% populasi Jepang adalah inaktivator cepat.

2. Asetilator cepat

Asetilator cepat, bila metabolit asetilasinya merupakan zat toksik, misalnya hepatitis
yang dapat diinduksi oleh asetilhidrazin yang terbentuk dari isoniazid.

Jika obat induk dapat menghambat enzim untuk metabolism obat lain, asetilator
lambat akan lebih cenderung menunjukkan efek toksik pada mereka dengan konsentrasi obat
yang lebih tinggi. Misalnya, INH lebih cenderung menimbulkan neurotoksisitas fenitoin dan
rifampisin, serta toksisitas hepar pada asetilator lambat.

(FK UNSRI)

Penatalaksanaan

Pada pemberian isoniazid

sebaiknya diberikan piridoksin 50 mg/hari untuk

mencegah terjadinya neuropati perifer.

Pemeriksaan fungsi hati sebaiknya dilakukan

s a a t p e m b e r i a n i s o n i z i d d a n r i f a m p i s i n . 12

Di hati, INH terutama

mengalami asetilasi, dan pada manusia

ke c epa t an me t abol i sme ini dipenga ruhi ol eh


faktor genetik (asetilator cepat/lambat) yang

s e c a r a b e rma k n a memp e n g a r u h i k a d a r o b a t

dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh

berkisar 1-3 jam. Mudah berdifusi ke dalam sel

da n sem ua ca iran tubuh. Antara 75-95%

diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam

dan seluruhnya dalam bentuk metabolit.

(16)

Efek samping berat berupa hepatitis dapat

timbul pada kurang lebih 0,5 % penderita. Bila

t e r j adi ikt e rus , hent ikan pengoba t an s ampa i

ikterus hilang. Efek samping yang ringan dapat

berupa: tanda keracunan pada saraf tepi,

kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran.

E f e k i n i d a p a t d i k u r a n g i d e n g a n p emb e r i a n

piridoksin (dengan dosis 5-10 mg per hari atau

dengan vitamin B kompleks).

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi apabila neuropati tidak ditangani dengan baik maka
dapat mengakibatkan antara lain infeksi atau kerusakan struktur organ, ketidakmampuan
untuk bergerak baik secara parsial maupun komplit, kehilangan sensasi parsial maupun
komplit, atau atrofi otot. Bila komplikasi ini tidak diatasi akan menyebabkan komplikasi
yang lebih serius dan menyebabkan kerusakan yang irreversible yang akhirnya juga dapat
menyebabkan gejala depresi pada penderitanya antara lain frustasi dan mengisolasi diri.

Mahar Marjono, dkk, Neurologi Klinis Dasar, edisi I, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
Preventif
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, mengetahui sebab-
sebabnya pada tingkat molekuler, dan mengembangkan cara-cara sederhana untuk mengenali
orang-orangnya, sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat
dengan menyesuaikan dosis yang diberikan kepada mereka atau menghindari pemakaian obat
tertentu pada orang-orang dengan ciri-ciri genetik tertentu. (farmako hijau)

Pada pasien

Prognosis
Prognosis baik.

PENUTUP

Kesimpulan
Pengetahuan mengenai farmakogenetika diperlukan untuk mengetahui adanya
keanekaragaman pengaruh obat yang ditentukan oleh faktor genetik, sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya pengaruh buruk obat dengan menghindari pemakaian obat tertentu
pada orang-orang dengan ciri-ciri genetic tertentu. Sayangnya, tidak semua bentuk
keanekaragaman genetik yang sudah umum diketahui dan relatif mudah didiagnosis tidak
selalu mempunyai makna klinik secara langsung dalam praktek. Di luar ini semua masih
banyak bentuk keanekaragaman yang belum diketahui secara jelas, baik mekanisme
terjadinya,cara pewarisannya serta makna kliniknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. (buku farmako hijau)

2. Gunawan, SG. Setiabudy R. Nafrialdi, Elysabeth (editor). Farmakologi dan


Terapi. 5th ed. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
3. (at glance)

4. (Ganiswara, Sulistia G. Setiabudi, Rianto. Suyatna, Frans D.


Purwantyastuti. Nafrialdi. 2001. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta:
FKUI.)

5.

Anda mungkin juga menyukai