Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Seorang dokter harus menguasai dan memahami sepenuhnya Metabolisme
obat dalam tubuh. Dengan pengetahuan itu seorang dokter dapat memberikan dan
menggunakan obat dengan tepat yang pada hakikatnya obat merupakan zat toksik
bagi tubuh. Obat dapat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk
mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan terhadap tubuh.
Metabolisme obat bermacam-macam tergantung pada jenis obatnya. Untuk
mengetahui Metabolisme setiap obat tidak terlepas dari ilmu farmakologi.
Farmakologi terutama terfokus kepada dua subdisiplin, yaitu farmakokinetik dan
farmakodimanik. Dalam kedua subdisiplin ilmu tersebut akan dipelajari tentang
metabolisme obat dalam tubuh dan efek obat terhadap tubuh (Farmakologi dan Terapi
UI). Dengan mengetahui metabolisme obat dalam tubuh, dokter juga dapat
menentukan dosis yang tepat yang seharusnya diberikan, memperkirakan sekaligus
mencegah efek samping, dan mempertimbangkan hubungan genetika dalam bidang
pengobatan.
B. MASALAH
1. Umur 30 tahun, obese
2. Minum obat sebelum makan
3. Tidak bisa tidur, muntah-muntah, diare, kulit merah, gatal
4. Anak yang disusui menderita muntah, gatal, gelisah
5. SGOT 125 IU, SPGT 200 IU
6. Temannya minum, tetapi tidak bermasalah
C. PERUMUSAN MASALAH
1. Kenapa ibu itu minum teh pelangsing?
2. Apa zat yang trkandung dalam teh pelangsing?
3. Mengapa obat tersebut dapat melangsingkan?
4. Bagaimana cara kerja obat pelangsing?
5. Mengapa diminum sebelum makan?
6. Mengapa ibu mengalami gejala seperti itu?
7. Mengapa anak yang disususi mengalami gejala seperti itu/
8. Apakah ada hubungan antara gejala yang diderita oleh ibu dan anak?
9. Mengapa SGOT, SPGT meningkat dari normal?
10. Mengapa teman ibu tidak menderita sakit padahal meminum obat yang sama?
D. TUJUAN
1. Mengetahui zat-zat apa saja yang terkandung dalam teh pelangsing.
1

2. Mengetahui mengapa obat tersebut dapat melangsingkan.


3. Mengetahui cara kerja obat pelangsing.
4. Mengetahui alasan teh pelangsing diminum sebelum makan.
5. Mengetahui apa yang menjadi penyebab ibu tersebut mengalami gejala seperti
itu.
6. Mengetahui mengapa anak yang disusui mengalami muntah, gatal, menderita
(rewel)
7. Mengetahui apakah ada hubungan antara gejala yang diderita oleh ibu dan anak.
8. Mengetahui mengapa nilai SGPT dan SGOT ibu tersebut meningkat dari normal.
9. Mengetahui alasan mengapa teman ibu tersebut tidak mengalami gejala penyakit
seperti yang diderita olehnya.
E. MANFAAT
1. Mahasiswa mampu memahami metabolisme obat dalam tubuh yang meliputi
farmakodinamik, farmakokinetik, farmakogenetik, dan interaksi dari obat yang
akan diberikan pada pasien.
2. Mahasiswa mampu menentukan

pemberian

obat

yang

tepat

dengan

memperhatikan efek yang ditimbulkan dan interaksi antara obat satu dengan yang
lain.
3. Mahasiswa mampu memahami pengaruh zata yang tergandung dalam suatu obat
yang dapat menyebabkan efek samping tertentu
F. KASUS
Untuk menunjang blok metabolisme nutrisi dan obat dihadapkan sebuah
kasus: Ny. S, 30 tahun, obese, dirawat di RS. Penderita tidak bias tidur, muntahmuntah, diare, serta kulit terlihat merah dan gatal-gayal. Sebelumnya selama satu
minggu Ny. S mengonsumsi obat teh pelangsing yang diminum sebelum makan. Ny.
S masih menyusui. Anak yang disusui juga menderita muntah, gatal, dan gelisah
(rewel).
Pemeriksaan klinis pada Ny. S didapatkan: kulit kemerahan, berat badan 80
kg, tinggi 150 cm, tensi 110/70 mmHg. Pemeriksaan laboratorium: SGOT 125 IU
(Normal: 40 IU); SPGT 200 IU (Normal: 40 IU).
Teman Ny. S juga minum obat serupa dan dapat menurunkan berat badan
tetapi tidak ada keluhan berarti.
G. HIPOTESIS
Tubuh ibu sangat responsif terhadap obat yang diminum.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Farmakokinetik
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara pemberian pada umumnya
mengalami absorpsi, distribusi, dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan
menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresi dari dalam
tubuh. Seluruh proses ini disebut dengan farmakokinetik. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan
F.D Suyatna, 2003).

Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi pasif, karena
itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non ion dan mudah larut dalam lemak.
Peningkatan kecepatan pengosongan lambung biasanya akan meningkatkan kecepatan
absorpsi obat, dan sebaliknya. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).
Setelah di absorpsi, obat akan didistribusi ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah.
Distribusi obat tergantung dari aliran darah dan sifat fisikokimianya. Obat yang mudah larut
dalam lemak akan melintasi membran sel dan terdistribusi ke dalam sel, sedangkan obat yang
tidak larut dalam lemak akan sulit menembus membran sel sehingga distribusinya terbatas
terutama di cairan ekstrasel. Obat dapat terakumulasi dalam sel jaringan karena ditransport
secara aktif, atau lebih sering karena ikatannya dengan komponen intrasel yaitu protein,
fosfolipid, atau nukleoprotein. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).
Terikatnya obat pada protein plasma membatasi konsentrasinya dalam jaringan dan di tempat
kerja obat karena hanya obat tak terikat saja yang terdapat dalam kesetimbangan
antarmembran. Dengan demikian, setelah kesetimbangan distribusi tercapai, konsentrasi obat
yang aktif dan tidak terikat di dalam air intrasel sama besarnya dengan obat di plasma kecuali
jika melibatkan transpor yang diperantarai pembawa. (Grant R. Wilkinson,2008).
Setelah melalaui tahap distribusi, kemudian obat mengalami tahap metabolisme atau
biotransformasi. Biotransformasi atau metabolisme obat merupakan proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini,
molekul obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam
lemak) sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Reaksi biokimia yang terjadi dapat
dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I mengubah obat menjadi metabolit yang
lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif, atau lebih aktif daripada bentuk aslinya.
Yang termasuk fase I adalah oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Sedangkan fase II merupakan
konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan sbustrat endogen. Hasil konyugasi
ini bersifat polar dan lebih mudah terionisasi, sehingga lebih mudah diekskresi. (Arini
Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).
Sifat khas metabolisme obat adalah variabilitas antarindividu yang besar yang
seringkali memberikan perbedaan tingkat metabolisme yang menonjol yang menghasilkan
laju eliminasi obat dan profil khas konsentrasi obat dalam plasma darah sebagai fungsi waktu.
Variabilitas tersebut memberikan penjelasan penting mengapa pasien memberikan respons
yang berbeda terhadap suatu dosis obat yang sama dan dalam hal tersebut harus menjadi
pertimbangan dalam menentukan dosis optimal bagi pasien tertentu. Kombinasi dari faktor

genetik, lingkungan, dan kondisi penyakit akan mempengaruhi proses metabolisme obat.
(Grant R.Wilkinson,2008).
Metabolisme obat akan terganggu bila terjadi kerusakan parenkim hati misalnya oleh
adanya zat hepatotoksik atau pada sirosis hepatis. Dalam hal ini, dosis obat yang eliminasinya
terutama melalui metabolisme di hati harus disesuaikan atau dikurangi. Selain itu, penurunan
alir darah hepar oleh obat, gangguan kardiovaskular, atau latihan fisik berat akan mengurangi
metabolisme obat tertentu di dalam hati. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna,
2003).
Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit
hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresi lebih
cepat daripada obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Ekskresi obat melalui
ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval
pemberian perlu diperpanjang. Bersihan kreatin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan
dosis atau interval pemberian obat. Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, air liur, air
mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti
dalam pengakhiran obat(Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003). Obat yang
diekskresi melalui air susu dipengaruhi oleh konsentrasi obat di dalam plasma darah. Karena
air susu lebih asam dari pH plasma, senyawa basa dapat terkonsentrasi lebih besar di dalam
air susu dan konsentrasi senyawa asam di dalam air susu akan lebih rendah dari plasma.
Senyawa non elektrolit seperti etanol dan urea, mudah masuk ke dalam air susu dan akan
mencapai konsentrasi yang sama seperti di dalam plasma, tidak tergantung pada pH air susu.
(Grant R.Wilkinson,2008).

Farmakodinamik
Farmakodinamik mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya. Tujuannya untuk meneliti efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel
dan mengetahui urutan peristiwa serta spektrum efek dan respons yang terjadi. (Arini
Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).
Efek obat umumnya dihasilkan dari interaksinya dengan komponen makromolekul
organisme. Interaksi ini mengubah fungsi komponen yang bersangkutan dan mencetuskan
perubahan biokimiawi dan fisiologis yang merupakan respons khasnya terhadap obat.
(Goodman&Gilman,2008). Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungisional
5

yang mencakup dua konsep penting yaitu obat dapat mengubah kecepatan kegaiatan faal
tubuh, dan obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D
Suyatna, 2003).
Obat yang mempunyai efek serupa dengan senyawa endogen disebut agonis.
Sebaliknya, yang menghambat disebut antagonis. Antagonisme dalam farmakodinamik dibagi
2, yaitu reseptor fisiologis(reseptor beda, fisiologis sama) dan antagonisme pada
reseptor(reseptor sama)

. Reseptor obat yang paling penting adalah protein. Dapat juga

berupa asam nukleat. Ikatan obat-reseptor tersebut biasanya adalah ikatan kovalen, ion,
hydrogen,dan van der walls. Namun pada umumnya merupakan campuran berbagai ikatan
tersebut. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D Suyatna, 2003).
Farmakogenetik
Farmakogenetika merupakan salah satu bidang dalam farmakologi klinik yang
mempelajari keanekaragaman respons obat yang dipengaruhi atau disebabkan oleh karena
faktor genetik. Secara umum bentuk keanekaragaman genetik, khususnya polimorfisme
genetik dalam pengaruh obat dapat terjadi dalam berbagai tingkat proses biologik obat dalam
tubuh, yakni proses farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat) dan
proses farmakodinamik (dalam proses interaksi antara molekul obat dengan reseptornya, di
mana terdapat kepekaan reseptor yang abnormal terhadap molekul obat (kepekaan reseptor
obat)). (Bagian Farmakologi Klinik FK UGM,2007).
Tiap organisme akan memberikan pengaruh yang tidak sama terhadap suatu obat. Di
samping perbedaan genetik, juga harus disadari bahwa individu yang sakit tidak sama
reaksinya terhadap obat dibandingkan individu yang sehat dan normal. Belum lagi pengaruh
lain, misalnya interaksi dengan obat lain, makanan, lingkungan hidup sehari-hari yang
kesemuanya ini dapat mempengaruhi absorpsi, distribusi, biotransformasi maupun ekskresi
obat. (Widianto, 1985)
Polimorfisme genetik dalam proses absorpsi, distribusi, dan ekskresi obat, tidak
banyak dijumpai dan diketahui.
a. Proses Absorpsi
Kemungkinan polimorfisme genetik dalam proses absorpsi dapat diperkirakan kalau
individu individu dengan ciri-ciri genetik tertentu, tidak dapat mengabsorpsi obat,
nutriensia atau vitamin-vitamin karena tidak mempunyai faktor pembawa (carrier)
spesifik untuk obat atau nutriensia atau vitamin yang bersangkutan. Jadi,

ada

kekurangan atau defect dalam absorpsi pada mekanisme transport aktifnya. Namun,
6

ini secara teoritik, dalam kenyataannya tidak banyak yang dijumpai atau diketahui.
Tidak jelas apakah malabsorpsi vitamin B-12 karena tidak adanya faktor intrinsik
untuk absorpsi pada individu-individu tertentu juga masuk dalam polimorfisme
genetik dalam proses absorpsi ini.
b. Proses Distribusi
Polimorfisme genetik dalam proses distribusi secara teoritik kemungkinan dapat
terjadi apabila ada abnormalitas ikatan protein terhadap obat tertentu oleh suatu fraksi
protein tertentu. Atau distribusi obat ke organ/jaringan tertentu (misalnya uptake
iodium oleh kelenjar tiroid) dengan suatu pembawa spesifik, mengalami gangguan
dan gangguan ini disebabkan oleh karena faktor genetik. Dalam kenyataannya hal ini
belum dilaporkan dalam pustaka-pustaka standard.
c. Proses Metabolisme
Bentuk-bentuk plimorfisme genetik yang banyak dikenal adalah dalam proses
metabolisme oleh karena adanya keanekaragaman enzim yang berperan dalam
metabolisme obat, baik secara kuntitatif atau secara kualitatif. Umumnya karena
adanya perbedaan secara kuantitatif enzim oleh karena sintesis enzim yang
dipengaruhi oleh faktor genetik, misalnya perbedaan antara asetilator cepat dan
asetilator lambat lebih banyak dikarenakan perbedaan aktifitas enzim asetiltransferase karena jumlahnya yang berbeda.
d. Proses Ekskresi
Kemungkinan adanya gangguan sekresi aktif di tubuli renalis karena tidak adanya
pembawa spesifik secara teoritik dapat terjadi. Tetapi polimorfisme genetik dalam
bentuk terganggunya proses sekresi obat ini belum dikenali dan dilaporkan dalam
pustaka.
(Bagian Farmakologi Klinik FK UGM,2007).
Teh Pelangsing
Dewasa ini, banyak teh yang digunakan sebagai metode penurunan berat badan, salah
satunya adalah teh hijau. Berdasarkan berita yang dirangkum dari Care Fair, Kamis
(22/10/2009), ada dua jenis teh pelangsing. Yaitu, teh yang menjadi perangsang, dan teh yang
"mencuci perut".(Adhini Amaliafitri,2009).
Kinerja dari teh perangsang terjadi pada saat menyantap makanan. Kandungan yang
ada di dalam teh jenis ini dapat menyerap kalori makanan lebih banyak sehingga, tubuh
memiliki kalori yang tak terlalu banyak. Biasanya, teh jenis ini diminum sebelum waktu
makan tiba. Efek yang diterima oleh tubuh pun berbeda-beda. Ada yang mengalami
penurunan bobot dengan mudah, ada yang kehilangan nafsu makan, bahkan ada yang
7

metabolisme tubuhnya naik saat rutin mengonsumsi teh jenis ini. Sering pusing, merasa
nervous tanpa sebab, dan susah tidur juga termasuk dampak lain saat seseorang terlalu sering
mengonsumsi teh pelangsing jenis perangsang. (Adhini Amaliafitri,2009).
Sedangkan teh yang bekerja untuk menguras isi usus, sudah bisa ditebak kinerjanya
pada tubuh. Banyak penelitian mengungkapkan, bahwa minuman pencuci perut dapat
menyebabkan tubuh dehidrasi. Bukan hanya membuat tubuh lemas, tapi bisa membahayakan
kesehatan. Teh ini menurunkan bobot tubuh sangat cepat di awal-awal Anda
mengonsumsinya. Bobot tubuh dengan cepat berangsur-angsur turun. Namun sifatnya
sementara, bila tidak diimbangi dengan olahraga rutin. Biasanya, teh jenis ini dapat membuat
tubuh kecanduan. Dampak lainnya, Anda dapat kesulitan bernapas, kekurangan cairan,
pingsan, sampai berujung pada kematian.(Adhini Amaliafitri,2009).
Baik teh biasa maupun teh pelangsing yang menonjol adalah sifat diuretiknya.
Orang yang mengkonsumsi produk tersebut, menurut dr. Leane, MSc., seorang ahli gizi, akan
sering buang air kecil sehingga sel ikut mengecil karena cairan sel berkurang. Berkurangnya
air dari dalam tubuh memang dapat menyusutkan bobot badan. Badan pun jadi langsing.
(Anonim, 2008).
Minum teh atau teh hijau memang bermanfaat untuk tubuh, namun ada masa dimana
minum teh perlu dikurangi. Mirip dengan anjuran orang-orang tua untuk mengurangi atau
meniadakan minum kopi, Ibu-ibu yang sedang hamil harus berhati-hati dalam mengkonsumsi
teh hijau karena kandungan kafeinnya sangat besar. Sementara ibu-ibu yang sedang
menyusui, juga disarankan agar tidak mengkonsumsi kopi dan teh hijau karena dapat
menimbulkan restlessness (sukar diam), sukar tidur, anemia dan effect negatif lainnya pada
anak-anak yang sedang disusuinya. (Anonim, 2009)
Kelainan Fungsi Hepar
Hepar adalah organ utama dalam metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada
dasarnya enzim hepar merubah obat menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam
air sehingga, mudah diekskresi melalui ginjal dan empedu. Hepar adalah organ utama dalam
metabolisme obat, terutama obat-obat per oral. Pada dasarnya enzim hepar merubah obat
menjadi bahan yang lebih polar dan mudah larut dalam air sehingga, mudah diekskresi
melalui ginjal dan empedu.(dr. Bambang Suasono, 1985).
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dan SGPT (Serum Glutamic
Pyruvic Transaminase) adalah enzim intrasel yang terutama berada di jantung, hati, dan
jaringan skeleton. (Dorland, 2002). Peningkatan enzim aminotransferase (juga dikenal
8

sebagai transaminase), SGPT dan SGOT, biasanya mengarah pada perlukaan hepatoselular
atau inflamasi. Pada hepatitis kronik aktif kerusakan hepatoselularnya lebih berat. SGOT dan
SGPT dapat meningkat sampai 5-10 kali normal di atas angka normal. Pada perlemakan hati
dapat ditemukan peninggian transaminase 2-3 kali normal. (Sudoyo, dkk, 2006).
Penyakit hati mengurangi metabolisme obat di hati dan sintesis protein plasma
sehingga meningkatkan kadar obat, terutama kadar bebasnya, dalam darah dan jaringan.
Akibatnya terjadi respons yang berlebihan atau efek toksik. Tetapi perubahan respons ini baru
terjadi pada penyakit hati yang parah, dan tidak terlihat pada penyakit hati yang ringan karena
hati mempunyai kapasitas cadangan yang besar. (Arini Setiwati,Zunilda SB dan F.D
Suyatna, 2003).

BAB III
PEMBAHASAN
Obat yang masuk dalam tubuh mengalami suatu proses kinetika yang disebut
farmakokinetik. Farmakokinetik ini mencakup 4 proses yakni proses absorpsi, distribusi,
metabolisme ( biotransformasi ) dan ekskresi. Absorpsi sendiri merupakan proses masuknya
obat dari tempat pemberian ke dalam darah. Dalam darah obat akan diikat oleh protein
plasma dengan berbagai ikatan lemah yang disebut proses distribusi. Metabolisme obat
terjadi di hati, proses ini bertujuan untuk mengubah obat yang non polar menjadi polar agar
dapat diekskresi melalui ginjal atau empedu. Proses metabolisme terdiri dari fase I dan fase
II. Selanjutnya adalah proses ekskresi, obat diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh
maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara

eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses yakni filtrasi
glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal dan reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus.
Diketahui dalam skenario bahwa nyonya S telah mengunakan produk obat berupa teh
pelangsing. Dimana obat tersebut mengandung caffeine (menyebabkan kecemasan,
disorientasi dan mual), amphetamine (menyebabkan kesusahan tidur), diuretic (menyebabkan
hiperglukemia, hiperalkaloidemia serta kulit kemerahan), teofilin (menyebabkan mual,
muntah, tachycardia dan aritmia). Kandungan-kandungan tersebut itulah yang dapat
menurunkan berat badan si ibu (mengurangi intake, memperbanyak atau mempercepat
ekskresi, menaikkan metabolisme tubuh, cairan dalam tubuh berkurang sehingga sel-sel
mengecil) . Teh pelangsing ini diminum sebelum makan yang bertujuan untuk menekan nafsu
makan si ibu.
SGOT dan SGPT naik disebabkan adanya gangguan pada hati. SGOT dan SGPT
adalah enzim yang dipakai oleh hati dalam pekerjaannya, biasanya enzim ini ditahan dalam
hati. Akan tetapi bila terjadi kelainan pada hati semakin banyak enzim ini masuk ke aliran
darah. Tingkat enzim ini dalam darah dapat diukur dan tingkatannya menunjukkan tingkat
kerusakan pada hati. Biasanya kadar SGPT dan SGOT dianggap masalah apabila sudah
mencapai 3 kali lipat kadar normal.
Sedangkan bayi si ibu mengalami hal yang sama karena mendapatkan asupan ASI dari
ibu. Padahal, kandungan ASI adalah kandungan nutrisi dalam darah ibu. Sehingga zat-zat
yang dapat menimbulkan gejala pada ibu masuk ke dalam tubuh anak dan menimbulkan efek
yang sama. Ekskresi dalam ASI meskipun sedikit, penting artinya karena dapat menimbulkan
efek samping pada bayi yang menyusu pada ibunya. ASI lebih asam dari pada plasma, maka
lebih banyak obat-obat basa dan lebih sedikit obat-obat asam terdapat dalam ASI daripada
dalam plasma.
Dalam kasus ini, teman Ny. S yang meminum obat serupa dapat menurunkan berat
badan tetapi tidak mengalami keluhan yang berarti. Hal ini mungkin disebabkan fisiologis
manusia berbeda-beda, setiap orang mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap obat
yang diminum.

10

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Kerusakan hati yang diderita Ny. S menyebabkan gangguan metabolisme obat,
diperparah dengan konsumsi obat pelangsing.
2. Anaknya mengaami gejala yang sama karena mengonsumsi ASI yang merupakan
ekskresi ibu.
3. Kandungan obat memiliki efek samping bagi Ny. S.
B. SARAN

11

1. Seorang dokter harus memiliki pengetahuan tentang efek samping obat sehingga
dokter bisa mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat.
2. Seorang dokter juga dituntut menguasai dan memahami sepenuhnya Metabolisme
obat dalam tubuh serta farmakokinetik dan farmakodinamik setiap jenis obat.
3. Sebelum memberikan obat, perhatikan aspek lain yang mungkin berpengaruh
terhadap metabolisme obat seperti alergi, genetik, dan sebagainya.
4. Bila muncul efek samping dari suatu obat turunkan dosisnya jika masih
dimungkinkan, namun bila efek samping tetap muncul maka yangg harus
dilakukan adalah segera hentikan dan ganti dengan obat lainnya yang memiliki
kesamaan fungsi namun tidak mengandung bahan yang mengakibatkan efek
samping yang sama dengan obat sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Suasono. 1985. Obat Hepatotoksik pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran: Jakarta.
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Setiawati , Arini, Zunilda SB dan F.D Suyatna. 2003. Pengantar Farmakologi. Farmakologi
dan Terapi edisi 4. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia
Sudoyo, dkk. 2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV . FKUI: Jakarta.

12

Wilkinson, Grant R. 2008. Goodman & Gilman, Dasar Farmakologi Terapi Volume 1 Edisi
10 (Farmakokinetika, Dinamika Absorpsi Obat, Distribusi, dan Eliminasi). Jakarta :
EGC
Widianto, Mathilda B. 1985. Bagaimana Pengaruh Tubuh Terhadap Obat. Bandung: Cermin
Dunia Kedokteran.
Amaliafitri, Adhini. 2009. Teh Pelangsing, Berbahayakah?.
http://lifestyle.okezone.com/read/2009/10/22/27/268248/27/teh-pelangsingberbahayakah.
Anonim. 2008. Untung Rugi Minum Teh Pelangsing.
http://sehatmania.blogspot.com/2008/04/untung-rugi-minum-teh-pelangsing.html
Anonim. 2009. Bahaya teh hijau untuk ibu hamil dan menyusui.
http://scrapman.wordpress.com/2009/11/08/bahaya-teh-hijau-untuk-ibu-hamildan-menyusui/
Bagian Farmakologi Klinik FK UGM. 2007.
www.farklin.com/images/multirow3f1e1d0fb4b43.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai