Anda di halaman 1dari 43

TUGAS FARMASI KLINIS

PENGARUH FARMAKOKINETIK PADA PASIEN OBESITAS DAN KEHAMILAN

Dosen Pengampu

Emy Oktaviani, M.Clin.Pharm, Apt

KELOMPOK 5

Disusun Oleh :

1. Anisa Ramadhayanti (0661 16 237) 8. Melyartati Panjaitan (0661 16 256)


2. Yulia Indriani (0661 16 239) 9. Hermina Silitonga (0661 16 257)
3. Riris (0661 16 242) 10. Ivan Pangestu (0661 16 264)
4. Indah Meranti (0661 16 240) 11. Fitri Maesa (0661 16 267)
5. Andhika Edvis S (0661 16 248) 12. Aulia Rahmi (0661 16 285)
6. Dhea Dwi Putri (0661 16 253) 13. Agnes Amelia R. (0661 16 302)
7. Yohana Yulistianita S.(0661 16 254) 14. Nia Alpiani (0661 16 312)

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan saat ini ada lebih dari satu milyar penduduk
dunia memiliki berat badan lebih (kelebihan berat badan) dan sekitar 300 juta dari mereka
memiliki berat badan dalam kategori obesitas. Diperkirakan 10% dari seluruh total biaya
kesehatan disuatu negara terserap pada penyakit-penyakit yang terkait dengan obesitas yang
akan menyebabkan kualitas hidup yang rendah, angka kesakitan dan angka mortalitas yang
tinggi pada usia muda.
Beberapa kondisi medik yang serius sering dialami oleh penderita obesitas yaitu
menurunnya status gizi, khususnya tergambar pada turunnya kadar protein plasma dapat
mempengaruhi farmakokinetik obat. Farmakokinetik obat meliputi proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Pasien obesitas memiliki proporsi air tubuh/ total berat badan
yang lebih kecil dibandingkan pasien yang berat badannya ideal, yang dapat
berpengaruh pada Volume Distribusi obat (Vd). Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya
merupakan interaksi obat dengan reseptornya, efek ini tergantung pada jumlah obat yang
terangkut oleh protein plasma (albumin) dan jumlah ambilan oleh reseptor pada target
organ. Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara efek farmakologik obat
dengan kadarnya yang terikat dalam plasma atau serum (Titus et al.,2012). Pengukuran
status gizi salah satunya ditentukan oleh IMT (Indeks Massa Tubuh) menyatakan bahwa
batasan berat badan normal orang dewasa. Orang yang berada dibawah ukuran berat
badan normal mempunyai resiko terhadap infeksi, sementara orang yang diatas ukuran
normal mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit degeneratif (Supariasa et al., 2002).
Parameter farmakokinetik lainnya dapat berubah pada pasien obesitas sebagai akibat dari
perubahan fisiologis, seperti infiltrasi lemak hati yang mempengaruhi biotransformasi dan
perubahan kardiovaskular yang dapat mempengaruhi aliran darah ginjal dan eksresi ginjal.
Hubungan waktu paruh dengan obesitas yaitu ada tiga kemungkinan, pertama jika perubahan
Vd sebanding dengan perubahan Cl maka waktu paruh akan tetap (tidak berubah), kedua jika
Vd naik tetapi Cl tetap , maka waktu paruh akan meningkat , dan ketiga jika Cl berubah,
namun Vd tetap maka waktu paruh akan berubah.
Kehamilan, persalinan dan menyusui merupakan proses fisiologi yang perlu
dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman.
Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan.
Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan
perkembangan kedua bagian unit tersebut. Obat dapat menyebabkan efek yang tidak
dikehendaki pada janin selama masa kehamilan. Selama kehamilan dan menyusui, seorang
ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat.
Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis
sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar.
Di sisi lain, banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-obatan yang dapat
memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui.
Karena banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat
pada wanita hamil perlu berhati-hati. Dalam plasenta obat mengalami proses
biotransformasi, mungkin sebagai upaya perlindungan dan dapat terbentuk
senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obatobat teratogenik
atau obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak
janin dalam pertumbuhan. Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat
memberi efek pada janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat
lahir (teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama
trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta. Pada masa
kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya
unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat
baik absorpsi, distribusi, metabolisme, maupun eksresi pun ikut berubah. Perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas dan
peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal. Suatu penelitian menunjukan bahwa
kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung
pun ikut menerima obat.
Penulisan resep untuk masa kehamilanJika memungkinkan konseling seharusnya dilakukan untuk
seseorang waktu sebelum merencanakan kehamilan termasuk diskusi tentang risiko-risiko yang
berhubungan dengan obat-obat spesifik, obat tradisional, dan pengaruh buruk
bahan kimia seperti rokok dan alkohol. Suplemen seperti asam folat sebaiknya diberikan selama
penatalaksanaan kehamilan karena penggunaan asam folat mengurangi cacat selubung saraf. Obat
sebaiknya diresepkan pada kehamilan hanya jika keuntungan yang diharapkan bagi ibu hamil
/dipikirkan lebih besar daripada risiko bagi janin. Semua obat jika mungkin sebaiknya dihindari selama
trimester pertama. Pada proses menyusui, pemberian beberapa obat (misalnya ergotamin) untuk
perawatan si ibu dapat membahayakan bayi yang baru lahir, sedangkan pemberian digoxin sedikit
pengaruhnya. Beberapa obat yang dapat menghalangi proses pengeluaran ASI antara lain misalnya
estrogen. Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat bercampur dengan
ASI secara farmakologi dalam jumlah yang signifikan. Konsentransi obat pada ASI (misalnya odida)
dapat melebihi yang ada di plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat menyebabkan bayi
keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi (misalnya phenobarbital). Obat
pada ASI secara teoritis dapat menyebabkan hipersensitifitas pada bayi walaupun dalam
konsentrasi yang sangat kecil pada efek farmakologi. Perubahan fisiologi selama kehamilan dan
menyusui dapat berpengaruh terhadap kinetika obat dalam ibu hamil dan menyusui yang kemungkinan
berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap obat yang diminum.
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga
harus dihindari selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin yang
dikandung ataupun bayinya Pemakaian obat- obatan bebas dan obat yang memerlukan resep harus
diperhatikan sepanjang kehamilan sampai masa nifas. Pemakaian fisiologik pada ibu yang
terjadi selama masa kehamilan mempengaruhi kerja obat dan pemakaiannya. Termasuk
pengaruh dari hormon-hormon steroid yang beredar dalam sirkulasi pada metabolisme obat
dalam hati, eksresi obat melalui ginjal yang lebih cepat karena peningkatan filtrasi glomerulus
dan peningkatan perfusi ginjal, pengenceran obat karena jumlah darah dalam sirkulasi ibu yang
meningkat, dan perubahan-perubahan dalam klirens obat pada akhir kehamilan menyebabkan
penurunan kadar serum dan konsentrsasi obat dalam jaringan dengan demikian pada kehamilan
dapat menyebabkan perubahan pada proses farmakokinetiknya
1.2 Tujuan
1. Penggunaan obat yang rasional pada pasien obesitas dan ibu hamil untuk
mengontrol system ADME
2. Mengetahui bagaimana proses perubahan farmakokinetik yang terjadi pada
pasien obesitas dan ibu hamil
1.3 Sasaran
Untuk mengetahui respon obat terhadap system ADME di dalam tubuh pasien
penderita obesitas dan ibu hamil
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal yang dapat
mengganggu kesehatan (WHO, 2017). Penyebab utama terjadinya obesitas yaitu
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan pengeluaran energi (Betty, 2004).
Obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan gangguan keseimbangan energi tubuh
yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya disimpan dalam bentuk lemak
di jaringan tubuh (Nelm, et, al, 2011). Sehingga obesitas adalah terjadinya penumpukan
lemak dalam tubuh yang abnormal dalam kurun waktu yang lama dan dikatakan
obesitas bila nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun (Kemenkes,
2010).

2.1.2 Tipe-tipe obesitas


Berdasarkan kondisi selnya, kegemukan dapat digolongkan Dalam beberapa tipe
(Purwati, 2001) yaitu :
1. Tipe Hiperplastik, adalah kegemukan yang terjadi karena jumlah sel yang
lebih banyak dibandingkan kondisi normal, tetapi ukuran sel-selnya sesuai
dengan ukuran sel normal terjadi pada masa anak-anak.Upaya menurunkan
berat badan ke kondisi normal pada masa anak-anak akan lebih sulit.
2. Tipe Hipertropik, kegemukan ini terjadi karena ukuran sel yang lebih besar
dibandingkan ukuran sel normal. Kegemukan tipe ini terjadi pada usia dewasa
dan upaya untuk menurunkan berat akan lebih mudah bila dibandingkan
dengan tipe hiperplastik.
3. Tipe Hiperplastik dan Hipertropik kegemukan tipe ini terjadi karena jumlah
dan ukuran sel melebihi normal. Kegemukan tipe ini dimulai pada masa anak
- anak dan terus berlangsung sampai setelah dewasa. Upaya untuk menurunkan
berat badan pada tipe ini merupakan yang paling sulit, karena dapat beresiko
terjadinya komplikasi penyakit, seperti penyakit degeneratif.
2.1.3. Klasifikasi Obesitas
Menurut Sugondo (2009), klasifikasi obesitas dapat dibedakan berdasarkan
distribusi jaringan lemak, yaitu:
1. Apple-shapedd body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian dada dan
pinggang).
2. Pear-shapedd body (distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian panggul dan
paha).
Terdapat klasifikasi obesitas berdasarkan kriteria obesitas untuk kawasan Asia
Pasifik. Kriteria ini berdasarkan meta-analisis beberapa kelompok etnik yang berbeda,
dengan konsentrasi lemak tubuh, usia, dan gender yang sama, menunjukan etnis
Amerika berkulit hitam memiliki IMT lebih tinggi 4,5 kg/m2 dibandingkan dengan
etnis Kaukasia. Sebaliknya, nilai IMT bangsa Cina, Ethiopia, Indonesia, dan Thailand
masing-masing adalah 1.9, 4.6, dan 2.9 kg/m2 lebih rendah daripada etnis Kaukasia.
Hal ini memperlihatkan adanya nilai ambang batas IMT untuk obesitas yang spesifik
untuk populasi tertentu (Sugondo, 2009).

a. Obesitas tipe apple shaped


Obesitas tipe apple shaped atau yang lebih dikenal sebagai ”android obesity”
merupakan obesitas dengan distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian atas
(upper body obesity) yaitu pinggang dan rongga perut, sehingga tubuh cenderung
menyerupai buah apel. Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominasi
penimbunan lemak tubuh di trunkal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan
lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen
paling umum, intraperitonial (abdomial), dan retroperitoneal.
Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu
tipe obesitas ini disebut sebagai android obesity. Tipe obesitas ini berhubungan
lebih kuat dengan diabetes, hipertens, dan penyakit kardiovaskular daripada
obesitas tubuh bagian bawah (Sugianti, 2009).
b. Obesitas tipe pear shaped
Pada obesitas tipe ini, distribusi jaringan lemak lebih banyak dibagian panggul
dan paha, sehingga tubuh menyerupai buah pir (Boivin, 2007). Obesitas tubuh
bagian bawah merupakan suatu keadaan tingginya akumulasi lemak tubuh pada
regio gluteofemoral. Tipe obesitas ini lebih banyak terjadi pada wanita sehingga
sering disebut ”gynoid obesity” (David, 2004). Resiko terhadap penyakit pada tipe
ini umumnya kecil dibandingkan dengan obesitas tipe apple shaped (Adam,
2009).
2.1.4. Komplikasi Obesitas
Mortalitas yang berkaitan dengan obesitas, terutama obesitas apple shaped,
sangat erat hubungannya dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik
merupakan satu kelompok kelainan metabolik selain obesitas, meliputi resistensi
insulin, gangguan toleransi glukosa, abnormalitas lipid dan hemostasis, disfungsi
endotel dan hipertensi yang kesemuanya secara sendiri-sendiri atau bersama-sama
merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis dengan manifestasi penyakit
jantung koroner dan/atau stroke. Mekanisme dasar bagaimana komponen-
komponen sindrom metabolik ini dapat terjadi pada seseorang dengan obesitas
apple shaped dan bagaimana komponen-komponen ini dapat menyebabkan
terjadinya 22 gangguan vaskular, hingga saat ini masih dalam penelitian
(Soegondo, 2007).
2.1.5. Dampak Obesitas
Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan perhatian, sebab
obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja bila kemudian berlanjut hingga
dewasa akan sulit diatasi. Beberapa dampak yang terjadi dalam jangka panjang
menurut Damayanti (2008), diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Sindrom Resistensi Insulin
Bagi anak yang mengalami obesitas sekitar perut, terutama yang bertipe
buah apel, umumnya mengalami penurunan jumlah insulin dalam darah.
Akibatnya hal tersebut memicu anak terserang Diabetes Melitus tipe 2.
Penderita DM tipe 2 selain memiliki kadar glukosa yang tinggi, juga memiliki
kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan inilah yang disebut sindrom
resistensi insulin atau sindrom X.
2. Tekanan Darah Tinggi
Obesitas adalah salah satu penyebab utama yang mempengaruhi tekanan
darah. Sekitar 20-30% anak yang obesitas mengalami hipertensi. Dikatakan
hipertensi jika mengalami tekanan darah tinggi yaitu systole > 140 mmHg dan
diastole > 90 mmHg.
3. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh darah koroner.
Resiko terkena penyakit jantung koroner semakin meningkat seiring dengan
perubahan terjadinya penambahan berat badan yang berlebihan. Penyakit
jantung koroner tidak selalu diakibatkan oleh obesitas, tetapi diperburuk oleh
faktor resiko lain yang terjadi pada masa kanak-kanak seperti hipertensi,
kolesterol tinggi dan diabetes.
4. Gangguan Pernafasan
Gangguan pernafasan seperti asma, nafas pendek, mengorok saat tidur
dan tidur apneu (terhentinya pernafasan untuk sementara waktu ketika sedang
tidur). Hal ini disebabkan karena penimbunan lemak yang berlebihan di bawah
diafragma dalam dinding dada yang menekan paru-paru.
5. Gangguan tulang persendian
Beban tubuh anak yang terlalu berat mengakibatkan gangguan ortopedi
dan gangguan lain yang sering dirasakan adalah nyeri punggung bawah dan
nyeri akibat radang sendi.

2.1.6. Faktor yang menyebabkan obesitas dibagi menjadi 2 yaitu:


1. Faktor yang menyebabkan obesitas secara langsung.
• Genetik Yang dimaksud factor genetik adalah faktor keturunan yang
berasal dari orang tuanya. Pengaruh faktor tersebut sebenarnya belum
terlalu jelas sebagai penyebab kegemukan . Namun demikian, ada
beberapa bukti yang menunjukkan bahwa factor genetic merupakan factor
penguat terjadinya kegemukan (Purwati, 2001). Menurut penelitian ,
anakanak dari orang tua yang mempunyai berat badan normal ternyata
mempunyai 10 % resiko kegemukan. Bila salah satu orang tuanya
menderita kegemukan , maka peluang itu meningkat menjadi 40 – 50 %.
Dan bila kedua orang tuanya menderita kegemukan maka peluang factor
keturunan menjadi 70–80% (Purwati, 2001).
• Hormonal Pada wanita yang telah mengalami menopause, fungsi hormone
tiroid didalam tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk
menggunakan energi akan berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga
terjadi penurunan metabolisme basal tubuh, sehingga mempunyai
kecenderungan untuk meningkat berat badannya (Wirakusumah, 1997).
Selain hormon tiroid hormone insulin juga dapat menyebabkan
kegemukan. Hal ini dikarenakan hormone insulin mempunyai peranan
dalam menyalurkan energi kedalam sel-sel tubuh. Orang yang mengalami
peningkatan hormone insulin, maka timbunan lemak didalam tubuhnyapun
akan meningkat. Hormon lainnya yang berpengaruh adalah hormone leptin
yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary, sebab hormone ini berfungsi
sebagai pengatur metabolisme dan nafsu makan serta fungsi hipotalmus
yang abnormal, yang menyebabkan hiperfagia (Purwati, 2001).
• Obat-obatan Saat ini sudah terdapat beberapa obat yang dapat merangsang
pusat lapar didalam tubuh. Dengan demikian orang yang mengkonsumsi
obatobatan tersebut, nafsu makannya akan meningkat, apalagi jika
dikonsumsi dalam waktu yang relative lama, seperti dalam keadaan
penyembuhan suatu penyakit, maka hal ini akan memicu terjadinya
kegemukan (Purwati, 2001).
• Asupan makan Asupan makanan adalah banyaknya makanan yang
dikonsumsi seseorang. Asupan Energi yang berlebih secara kronis akan
menimbulkan kenaikan berat badan, berat badan lebih (over weight), dan
obesitas. Makanan dengan kepadatan Energi yang tinggi (banyak
mengandung lemak dan gula yang ditambahkan dan kurang mengandung
serat) turut menyebabkan sebagian besar keseimbangan energi yang
positip ini (Gibney, 2009) Perlu diyakini bahwa obesitas hanya mungkin
terjadi jika terdapat kelebihan makanan dalam tubuh, terutama bahan
makanan sumber energi. Dan kelebihan makanan itu sering tidak disadari
oleh penderita obesitas (Moehyi, 1997). Ada tiga hal yang mempengaruhi
asupan makan, yaitu kebiasaan makan, pengetahuan, dan ketersediaan
makanan dalam keluarga. Kebiasaan makan berkaitan dengan makanan
menurut tradisi setempat, meliputi hal-hal bagaimana makanan diperoleh,
apa yang dipilih, bagaimana menyiapkan, siapa yang memakan, dan
seberapa banyak yang dimakan. Ketersediaan pangan juga mempengaruhi
asupan makan, semakin baik ketersediaan pangan suatu keluarga,
memungkinkan terpenuhinya seluruh kebutuhan zat gizi (Soekirman,
2000). Ketersediaan pangan sangat dipengaruhi oleh pemberdayaan
keluarga dan pemanfaatan sumberdaya masyarakat. Sedangkan kedua hal
tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan kemiskinan.
Kecukupan gizi menurut Recommended dietary Allowanie (RDA) tahun
1989 adalah banyaknya zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan
mencakup hampir semua orang sehat. Kecukupan gizi dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, aktifitas, berat badan, tinggi badan, genetic, dan
keadaan hamil dan menyusui. Kecukupan gizi yang dianjurkan berbeda
dengan kebutuhan gizi (Karyadi, 1996). Kebutuhan energi total untuk
orang dewasa diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik, dan efek
makanan atau pengaruh dinamik khusus (SDA). Kebutuhan energi terbesar
diperlukan untuk metabolisme basal (Almatsier, 2005). Angka kecukupan
protein (AKP) orang dewasa menurut hasil penelitian keseimbangan
nitrogen yaitu 0,75 gr/kg berat badan, berupa protein patokan tinggi yaitu
protein telur. Angka ini dinamakan safe level of intake atau taraf asupan
terjamin (Almatsier, 2005).
• Aktivitas Fisik Obesitas juga dapat terjadi bukan hanya karena makan yang
berlebihan, tetapi juga dikarenakan aktivitas fisik yang berkurang sehingga
terjadi kelebihan energi. Beberapa hal yang mempengaruhi berkurangnya
aktivitas fisik antara lain adanya berbagai fasilitas yang memberikan
berbagai kemudahan yang menyebabkan aktivitas fisik menurun. Faktor
lainnya adalah adanya kemajuan teknologi diberbagai bidang kehidupan
yang mendorong masyarakat untuk menempuh kehidupan yang tidak
memerlukan kerja fisik yang berat. Hal ini menjadikan jumlah penduduk
yang melakukan pekerjaan fisik sangat terbatas menjadi semakin banyak,
sehingga obesitas menjadi lebih merupakan masalah kesehatan (Moehyi,
1997).
2. Faktor yang menyebabkan obesitas secara tidak langsung
• Pengetahuan gizi. Pengetahuan gizi memegang peranan penting dalam
menggunakan pangan dengan baik sehingga dapat mencapai keadaan
gizi yang cukup. Pengetahuan ibu dipengaruhi oleh
pendidikannya.Tingkat pendidikan , pengetahuan dan ketrampilan
yang dimiliki sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang. Dengan
berbekal pendidikan yang cukup, seseorang akan lebih banyak
memperoleh informasi dalam menentukan pola makan bagi dirinya
maupun keluarganya . Menurut Notoatmojo (1993)
• Pengaturan Makan Hidangan gizi seimbang adalah makanan yang
mengandung zat gizi tenaga, zat pembangun , dan zat pengatur yang
dikonsumsi seseorang dalam waktu satu hari sesuai dengan kecukupan
tubuhnya (Departemen Kesehatan RI, 1996) Konsumsi zat tenaga yang
melebihi kecukupan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan, bila
keadaan ini berlanjut akan menyebabkan obesitas yang biasanya
disertai dengan gangguan kesehatan lainnya. Berat badan merupakan
petunjuk utama apakah seseorang kekurangan atau kelebihan energi
dari makanan (Karyadi, 1996). Obesitas dapat terjadi jika konsumsi
makanan dalam tubuh melebihi kebutuhan, dan penggunaan energi
yang rendah (Wirakusumah, 1997).
2.1.7. Patofisiologi Obesitas
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori
dari tubuh serta penurunan aktifitas fisik (sedentary life style) yang
menyebabkan penumpukan lemak di sejumlah bagian tubuh (Rosen, 2008).
Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa pengontrolan nafsu makan dan
tingkat kekenyangan seseorang diatur oleh mekanisme neural dan humoral
(neurohumoral) yang dipengaruhi oleh genetik, nutrisi,lingkungan, dan sinyal
psikologis. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus
melalui 3 proses fisiologis, yaitu pengendalian rasa lapar dan kenyang,
mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses
dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen
(yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer
(jaringan adiposa, usus dan jaringan otot).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik 13
(anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi
makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung
dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK)
sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan
oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan
keseimbangan energi (Sherwood, 2012).
Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan
adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran
darah. Kemudian, leptin merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar
menurunkan produksi Neuro Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan
nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari
asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada
orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu
makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin,
sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan
(Jeffrey, 2009).
2.1.8. Penatalaksanaan obesitas
1. Merubah gaya hidup Diawali dengan merubah kebiasaan makan.
Mengendalikan kebiasaan ngemil dan makan bukan karena lapar tetapi
karena ingin menikmati makanan dan meningkatkan aktifitas fisik pada
kegiatan sehari-hari. Meluangkan waktu berolahraga secara teratur sehingga
pengeluaran kalori akan meningkat dan jaringan lemak akan dioksidasi
(Sugondo, 2008).
2. Terapi Diet Mengatur asupan makanan agar tidak mengkonsumsi makanan
dengan jumlah kalori yang berlebih, dapat dilakukan dengan diet yang
terprogram secara benar. Diet rendah kalori dapat dilakukan dengan
mengurangi nasi dan makanan berlemak, serta mengkonsumsi makanan yang
cukup memberikan rasa kenyang tetapi tidak menggemukkan karena jumlah
kalori sedikit, misalnya dengan menu yang mengandung serat tinggi seperti
sayur dan buah yang tidak terlalu manis (Sugondo, 2008).
3. Aktifitas Fisik Peningkatan aktifitas fisik merupakan komponen penting dari
program penurunan berat badan, walaupun aktifitas fisik tidak 23
menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam
bulan. Untuk penderita obesitas, terapi harus dimulai secara perlahan, dan
intensitas sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Penderita obesitas dapat
memulai aktifitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka
waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit
dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya
selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu (Sugondo, 2008).
4. Terapi perilaku Untuk mencapai penurunan berat badan dan
mempertahankannya, diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan
yang muncul pada saat terapi diet dan aktifitas fisik. Strategi yang spesifik
meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktifitas fisik,
manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah, contigency
management, cognitive restructuring dan dukungan sosial (Sugondo, 2008).
5. Farmakoterapi Farmakoterapi merupakan salah satu komponen penting
dalam program manajemen berat badan. Sirbutramine dan orlistat merupakan
obat-obatan penurun berat badan yang telah disetujui untuk penggunaan
jangka panjang. Sirbutramine ditambah diet rendah kalori dan aktifitas fisik
efektif menurunkan berat badan dan mempertahankannya. Orlistat
menghambat absorpsi lemak sebanyak 24 30 persen. Dengan pemberian
orlistat, dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi
malabsorpsi parsial (Sugondo, 2008).
6. Pembedahan Tindakan pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk
mengatasi obesitas. Pembedahan dilakukan hanya kepada penderita obesitas
dengan IMT ≥40 atau ≥35 kg/m2 dengan kondisi komorbid. Bedah
gastrointestinal (restriksi gastrik/ banding vertical gastric) atau bypass gastric
(Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan dengan resiko
operasi yang rendah (Sugondo, 2008).
2.2. Kehamilan

Kehamilan adalah suatu keadaan dimana dalam Rahim seorang wanita terdapat hasil
konsepsi (pertemuan ovum dan spermatozoa). Kehamilan merupakan suatu proses yang
alamiah dan fisiologis. Setiap wanita yang meiliki organ reproduksi sehat yang telah
mengalami menstruasi dan melakukan hubungan seksual dengan seorang laki – laki yang organ
reproduksinya sehat , sangat besar kemungkinan akan mengalami kehamilan.

Seorang ibu hamil suatu saat dalam masa kehamilannya memerlukan terapi obat karena
gangguan kesehatan yang diderita, baik yang berkaitan maupun yang tidak berkaitan dengan
proses kehamilannya. Obat yang diminum oleh ibu hamil patut mendapatkan perhatian, karena
obat yang diminum dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya. Hal itu disebabkan karena
hampir sebagian besar obat dapat melintasi plasenta (Munir, 2005).
Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, dimana obat tersebut dapat
bersifat menguntungkan dan dapat juga terbentuk senyawa yang reaktif bersifat teratogenik
(Anonim, 2006).

2.2.1 Masalah yang sering terjadi pada kehamilan


1. Toksoplasmosis Penyakit ini merupakan penyakit protozoa sistemik yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii. Pola transmisinya ialah transplasenta pada wanita hamil.
Bila infeksi ini mengenai ibu hamil trimester pertama akan menyebabkan 20 %
janin terinfeksi toksoplasma atau kematian janin, sedangkan bila ibu terinfeksi
pada trimester ke tiga 65 % janin akan terinfeksi. Infeksi ini dapat berlangsung
selama kahamilan. Pencegahan dapat dilakukan antara lain dengan cara : memasak
daging sampai matang , menggunakan sarung tangan baik saat
memberi makan maupun membersihkan kotoran hewan ternak, dan menjaga agar
tempat bermain anak tidak tercemar kotoran hewan ternak.
2. Sifilis Penyakit ini disebabkan infeksi Treponema pallidum. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui plasenta sepanjang masa kehamilan. Biasanya
respon janin yang hebat akan terjadi setelah pertengahan kedua
kehamilan dengan manifestasi klinik hepatosplenomegali, ikterus,
petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis, dan lesi tulang. Infeksi
penyakit ini juga dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan yang rendah,
atau bahkan kematian janin. Pencegahan antara lain dengan cara : promosi
kesehatan tentang penyakit menular seksual, mengontrol prostitusi bekerjasama
dengan lembaga sosial, memperbanyak pelayanan diagnosis dini dan
pengobatannya, untuk penderita yang dirawat dilakukan isolasi terutama terhadap
sekresi dan ekresi penderita.
3. HIV/AIDS Penyakit ini terjadi karena infeksi retrovirus. Pada janin penularan
terjadi secara transplasenta, tetapi dapat juga akibat pemaparan darah
dan sekret serviks selama persalinan. Kebanyakan bayi terinfeksi HIV belum
menunjukan gejala pada saat lahir. Pencegahan antara lain dengan cara :
menghindari kontak seksual dengan banyak pasangan terutama hubungan seks
anal, skrining donor darah lebih ketat dan pengolahan darah dan produknya dengan
lebih hati – hati.
4. Rubella (German measles) Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk
famili Tgaviridae dan genus Rubivirus. Pada wanita hamil penularan ke janin
secara intrauterin. Masa inkubasinya rata – rata 16 – 18 hari. Penyakit ini agak
berbeda dari toksoplasmosis karena rubella hanya mengancam janin bila didapat
saat kehamilan pertengahan pertama, makin awal (trimester pertama) Ibu hamil
terinfeksi rubella makin serius akibatnya pada bayi yaitu kematian janin intrauterin,
abortus spontan, atau malformasi kongenital pada sebagian besar organ tubuh (
kelainan bawaan )
5. Herpes simpleks ( Herpervirus hominis) Penyakit ini disebabkan infeksi herpes
simplex virus (HSV). Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat
persalinan lama sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui mukosa
yang robek
untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai timbul pada minggu
pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu ke dua atau ketiga.
Pencegahan antara lain dengan cara: menjaga kebersihan perseorangan dan
pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius, menggunakan
kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung tangan dalam menangani
lesi infeksius.
2.2.2 Adapun beberapa masalah yang perlu diperhatikan terkait farmakokinetika dalam
kehamilan :
a) Pemakaian obat – obat bebas
Pemakaian obat-obat bebas dan obat resep perlu diperhatikan sepanjang
kehamilan sampai masa nifas. Perubahan fisiologik pada ibu hamil yang terjadi pada
masa kehamilan mempengaruhi kerja obat dan pemakainya, termasuk pengaruh dari
hormon steroid yang beredar dalam sirkulasi pada metabolisme obat dalam hati,
ekskresi obat melalui ginjal yang lebih cepat karena peningkatan filtrasi glomerulus dan
peningkatan perfusi ginjal, pengenceran obat karena jumlah darah dalam sirkulasi ibu
yang meningkat dan perubahan-perubahan dalam kliren obat pada akhir kehamilan,
menyebabkan penurunan kadar serum dan konsentrasi obat dalam jaringan. Dengan
demikian obat-obat yang diresepkan secara terapetik tidak dapat diberikan dengan dosis
yang lebih rendah (Hayes dan Kee, 1993).
Plasenta memegang peranan yang penting dalam penggunaan dan metabolisme
obat. Plasenta memiliki sifat selektif untuk mentransfer obat secara perlahan atau secara
cepat dari ibu ke janin tergantung pada variabel, seperti kualitas aliran darah
uteroplasenta, berat molekul dari substansi dalam obat (bahan yang berat molekulnya
lebih kecil dapat melintasi plasenta lebih mudah), kadar ionisasi dari molekul-molekul
obat (bahan yang lebih mudah terionisasi akan lebih mudah menembus plasenta), dan
derajat kemampuan ikatan obat dengan protein plasma plasenta (obat-obat yang mudah
berikatan tidak mudah menembus plasenta) melawan kemampuannya untuk berikatan
dengan plasma protein janin. Selain itu, plasenta juga memiliki aktivitas enzimatik
tersendiri dalam biotransformasi suatu obat yang dapat mempengaruhi janin

b) Pemilihan obat

pemilihan obat secara berhati-hati dan pemantauan untuk mendapatkan dosis


efektif terendah untuk interval yang pendek dengan memperhitungkan perubahan-
perubahan yang berkaitan dengan fisiologi kehamilan (Hayes dan Kee, 1993).
Efek obat mungkin lebih jelas terlihat dan berlangsung lebih lama pada janin
daripada pada ibu, karena ekskresi obat pada janin lebih lambat. Hal ini dikarenakan
belum matangnya hati janin (Hayes dan Kee, 1993).

c) Faktor fisik
Seorang ibu hamil dipengaruhi oleh kesehatan dan status gizi. Status kesehatan
dapat diketahui dengan memeriksakan diri dan kehamilannya ke pelayanan kesehatan
.
Status gizi bagi ibu hamil juga berpengaruh selama masa kehamilan. Kekurangan gizi
tentu saja akan menyebabkan akibat buruk bagi ibu dan janinnya. Ibu dapat menderita
anemia, sehingga suplai darah yang menghantarkan oksigen dan makanan pada janinya
akan terhambat, sehingga janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Namun kelebihan gizi juga dapat berdampak yang tidak baik terhadap
ibu dan janin. Janin akan tumbuh besar melebihi berat normal, sehingga ibu akan
kesulitan pada proses persalinan.

d) Faktor Psikologis
Stress yang terjadi pada ibu hamil dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin,
janin dapat mengalami kererlambatan perkembangan atau gangguan emosi saat lahir
nanti jika stress pada ibu tidak tertangani dengan baik.

Difusi Melalui Membran Plasenta


Fungsi utama plasenta memungkinkan difusi bahan makanan dari darah ibu ke dalam
darah janin dan difusi hasil-hasil eksresi dari janin kembali masuk ke dalam ibu. Pada bulan-
bulan pertama perkembangan, permiabilitasnya meningkat secara progresif sampai bulan
terakhir kehamilan atau sesudahnya waktu permeabilitasnya mulai berkurang kembali karena
gangguan plasenta yang disebabkan oleh penuaannya (Guyton, 1990).

1) Difusi bahan makanan melalui membran plasenta.


Zat-zat metabolik lain yang dibutuhkan oleh janin berdifusi ke dalam darah janin.
Misalnya, kadar glukosa dalam darah janin biasanya sekitar 20% sampai 30% lebih
rendah dari pada kadar glukosa dalam darah ibu, karena glukosa dimetabolisme cepat
oleh janin. Hal ini selanjutnya menyebabkan difusi glukosa lebih banyak dari darah ibu
ke darah janin (Guyton, 1990).
2) Absorbsi aktif oleh membran plasenta.
Sel-sel yang melapisi permukaan vili mungkin juga secara aktif mengabsorbsi zat-zat
gizi tertentu dari darah ibu dalam plasenta paling tidak selama separuh pertama
kehamilan dan mungkin selama kehamilan. Misalnya, kandungan asam amino yang
diukur dari darah janin lebih besar daripada dalam darah ibu, serta kalsium dan fosfat
terdapat dalam konsentrasi lebih besar dalam darah janin dibandingkan dalam darah
ibu. Efek ini menunjukan bahwa membran plasenta mempunyai kemampuan untuk
mengabsorbsi secara aktif, minimal dalam jumlah kecil zat-zat tertentu bahkan selama
trimester ke tiga kehamilan (Guyton, 1990).
3) Ekskresi melalui membran plasenta.
Hasil-hasil ekskresi yang dibentuk dalam janin berdifusi ke dalam darah ibu dan
kemudian diekskresi bersama dengan produk sekresi dari ibu. Khususnya meliputi
produk sampah, seperti urea, asam urat, dan kreatinin. Misalnya kadar urea.
2.2.3 PROSES PERKEMBANGAN JANIN
2.2.4 Tabel.1 Proses Perkembangan Janin
BLN KE - KETERANGAN
I (0 – 4 minggu)
• bakal janin mengalami bentuk fisik diantaranya zygot
yang kemudian membelah diri jadi puluhan sel dan
pada akhirnya bakal janin tersebut berbentuk seperti
“koma”
• tonjolan jantung yang telah terbentuk dalam rongga
dada dan mulai berdetak dan sudah mampu memompa
darah ke seluruh tubuh embrio

II (4 – 8 minggu)

• Menuju usia ke 5 minggu, tulang punggung, sistem


dan otak mulai berkembang
• minggu ke sembilan mulut dan hidung janin saat ini
sudah terbentuk dan terlihat jelas

• merupakan awal dari trimester kedua sebagai tahap


utama perkembangan janin
• Janin sudah bisa membuka dan menutup mulutnya
III (8 – 12 minggu) serta mulai berlatih melakukan gerakan manghisap
dan
menelan
• Berat janin bertambah sampai 65 g dan panjangnya
10
cm
• Tungkai dan lengan terus tumbuh dan panjang janin
39 mm.
• minggu ke sepuluh, bagian luar telinga janin sudah
tampak.
• Pada Kuku jari tangan sudah terbentuk dan sudah
mampu menekuk tangannya menjadi setengah kepalan
• Bagian luar alat kelaminnya sudah terbentuk
IV (12 – 16 minggu)

• Lengan, pergelangan dan jari-jarinya sudah dapat


ditekuk dan mengepal.
• minggu ke 17 bisa menghisap jempol, bobotnya
sekitar 285 g.
• Gigi susu dan tunas gigi sudah berkembang di dalam
gusinya.
V (16 – 20 minggu)

• tumbuh rambut di kelopak mata, alis dan kulit kepala.


• Hampir seluruh sistem di dalam tubuh sudah mulai
menjalankan tugasnya termasuk sistem saraf
• Alat kelaminnya sudah terbentuk dan berkembang

VI (20 – 24 minggu)

• Detak jantung bayi dapat didengar dengan


menggunakan stetoskop di perut ibu.
• Kelopak mata janin dapat membuka dan menutup,
jantungnya berdetak 150 kali per menit.
• Otot-otot tubuhnya kian kuat, bobot janin sekitar 150
g.

VII (24 – 28 minggu)

• Kulit dan tubuh janin yang kurus akan tampak berisi


• Paru-paru dan otaknya belum berkembang sempurna
namun saraf dan jaringannya sudah berfungsi
• Pada usia 33 minggu, kuku jari tangannya tumbuh
sempurna.
• Panjang sekitar 43 cm dengan bobot 2 kg.

VIII (28 – 32 minggu)


• Bakal bayi mulai memproduksi hormon kortison
yang
membantu menyempurnakan pembentukan paru-paru
agar siap bernafas saat dilahirkan.
• Di akhir bulan, kepalanya umumnya sudah benar
benar masuk ke rongga panggul dan siap untuk
dilahirkan.
• Beratnya 2,75 kg dengan panjang sekitar 45-50 cm

IX (36 minggu)
• Pada bulan ini normalnya bayi berada di posisi siap
untuk lahir.
• Vernix yang melindungi kulitnya dari cairan amnion
mulai larut.
• Janin di usia 39 minggu sudah dapat menjalankan
fungsi tubuhnya sendiri.
• Bobotnya sekitar 3 kg dan panjangnya sekitar 50 cm.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 FARMAKOKINETIKA PADA OBESITAS


Farmakokinetika adalah ilmu yang mempelajari tentang nasib obat dalam tubuh yang
meliputi absorbsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi (ekskresi). Pada bab ini kita akan
membahas, apakah ada perubahan farmakokinetik yang terjadi pada pasien obesitas, dan
bagaimanakah hal tersebut dapat terjadi? Mari kita lihat tabel 1 dibawah ini.

Tabel 3.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ADME obat pada obesitas


(Ritschel & Kearns, 2004; Lee dkk, 2006; Blouin & Ensom, 2007)

Parameter Faktor Fisiologik Akibat


Absorbsi Perubahan minor Data terbatas; untuk
propanolol tidak
berpengaruh
Distribusi Kenaikan berat tubuh Volume distribusi obat larut
langsing lemak (lipofilik) lebih besar,
(lean body mass), jaringan tetapi volume distribusi obat
adipose, ukuran organ, hidrofilik relatif tetap.
volume darah, dan curah
jantung.

Kenaikan ikatan obat dengan Penurunan fraksi bebas obat


α-acid glycoprotein (AAG), basa lemah. Kemungkinan
lipoprotein, asam lemak pendesakan obat asam
bebas lemah.
Metabolisme Kenaikan aliran darah Biasanya mengurangi klirens
splanchnic dan hati, jumlah obat dengan rasio ekstraksi
sel hati, degenerasi sel hepatic (Eh) tinggi. Aktivitas
parensim, infiltrasi lemak, enzim tertentu (metabolisme
kolestasis, fibrosis dan fase-1) berkurang.
infiltrasi periportal. Glukuronidasi dan sulfasi
meningkat.
Ekskresi Kenaikan ukuran ginjal, Kenaikan klirens renal.
kecepatan aliaran darah
ginjal,
filtrasi glomeruli, dan sekresi
tubular.

3.1.1 ADSORBSI
Informasi tentang pengaruh obesitas terhadap ketersediaan hayati obat masih belum
banyak, sehingga sementara ini belum dapat dibuat generalisasi mengenai disposisi obat.
Ketersediaan hayati midazolam dan propranolol, dua obat dengan rasio ekstraksi hepatik (Eh)
tinggi, dan juga dexfenfluramin, tidak berbeda antara subyek kegemukan dengan berat badan
normal. Begitu pula ketersediaan hayati siklosporin pada penerima cangkok ginjal, tidak
berbeda antara pasien obesitas dan normal. Bahkan absorpsi dan enzim metabolisme intestinal
tidak terpengaruh oleh pasien obesitas yang mengalami hypass lambung atau jejunoileum,
ketika antipirin digunakan sebagai probe (Blouin & Ensom, 2007).
3.1.2 DISTRIBUSI OBAT
Kecepatan dan luas distribusi obat tergantung dari berbagai faktor obat dan fisiologik,
sedangkan pada obesitas , terjadi kenaikan curah jantung, volume darah, berat organ, berat
tubuh langsing (lean body mass; LBM) dan kenaikan jaringan adipose. Seperti yang diketahui,
LBM terdiri dari massa sel tubuh termasuk lemak membran sel (merupakan komponen utama
tubuh), air ekstraseluler, dan jaringan konektif tanpa lemak; dan di dalam massa sel tubuh inilah
lebih dari 99% metabolisme terjadi. Jadi distribusi obat yang larut lemak (lipofilik) umumnya
meningkat karena kenaikan berat badan total, sehingga mempengaruhi besar loading dose,
interval pemberian obat, waktu-paro eliminasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kadar tunak di dalam darah.

Tabel 3.1.2 Pengaruh obesitas dan berat badan normal (LBM) terhadap volume
distribusi (liter) beberapa obat (Blouin & Ensom, 2007)

Obat Obesitas LBM Rasio Obesitas /


LBM
Amikasin 26,8 18,6 1
Diazepam 291,9 90,7 3
Digoksin 981 937 1
Kafein 69,9 43,6 1
Siklosporin 229 295 0
Verapamil 71,3 301 2

3.1.3 METABOLISME OBAT


Studi tentang aktivitas metabolisme pada obesitas masih belum banyak. Namun tabel
berikut (Tabel 3.13) untuk sementara dapat dijadikan acuan dalam memperkirakan disposisi
obat.

Tabel 3.1.3. Pengaruh obesitas terhadap eliminasi hepatik dan renal (Blouin & Ensom, 2007)

Enzim Hepatik
CYP2E1 Meningkat
CYP3A4 dan CYP2B6 Berkurang
Glukuronidase dan Sulfatase Meningkat
Asetilase Tidak berubah
Ekskresi Ginjal
GFR dan sekresi tubular Meningkat
Reabsorpsi tubular Berkurang

CYP2E1. Kenaikan aktivitas enzim ini dibuktikan menggunakan chlorzoxazone, suatu


marker yang selektif untuk enzim CYP2E1, ketika klirens oral obat tersebut lebih cepat pada
obesitas dibandingkan subyek dengan berat badan normal. Contoh obat lain yang
dimetabolisme oleh enzim ini ialah parasetamol, halotan, enfluran, isofluran, dan
metoksifluran. Kenaikan aktivitas enzim ini yang diduga sebagai penyebab kanker pada
obesitas, sebab ia juga memetabolisme pro-karsinogen (Nnitrosamin), dan penyebab penyakit
hati karena alcohol (Bibi, 2008).
3.1.4 EKSKRESI OBAT
Kegemukan juga mempercepat filtrasi glomeruli (GFR) dan sekresi obat melalui tubuli
ginjal, namun mengurangi reabsorpsi tubuli ginjal. Hasil akhir dari fenomena ini ialah
terjadinya kenaiakan klirens ginjal. Jika eliminasi obat dari tubuh sebagian besar melalui ginjal,
dan sedikit dimetabolisme, maka kenaikan klirens ginjal dapat diartikan sebagai kenaikan
klirens total obat dari tubuh. Akibatnya dosis perlu dinaikan untuk mengimbangi kenaikan
klirens tersebut. Selain itu, pada obesitas juga terjadi kenaikan ukuran ginjal, dimana kenaikan
ini sebanding dengan kenaikan berat tubuh total dan luas permukaan tubuh. Kenaikan GFR
pada obesitas dibuktikan melalui klirens Cr-EDTA dan klirens kreatinin, sedangkan kenaikan
klirens ginjal prokainamid, simetidin dan sefotaksim (Blouin & Ensom, 2007).

Tabel 3.1.4. Klirens obat pada obesitas (Blouin & Ensom, 2007; Anonim, 2008)
Tidak Berubah Meningkat Berkurang
Alprazolam Bisoprolol Doxorubisin
Antipirin Busulfan Metilprednisolon
Diazepam Chlorzoxazone Karbamazepin
Desmetildiazepam Diazepam Propranolol
Digoksin Enfluran Triazolam
Dexfenfluramin Gentamisin
Enoxaparin Halotan
Fenitoin* Ibuprofen
Gliburid Kafein
Glipizid Litium*
Ifosfamid Lorazepam
Karbamazepin Nebivolol
Labetalol Nitrazepam
Lidokain Oksazepam
Midazolam Parasetamol
Prokainamid Prednisolon
Propofol Sefatoksim
Siklofosfamid Simetidin
Siklosporin Siprofloksasin
Sotalol Tiopental
Sufentanil Tobramisin
Teofilin Vankomisin
Trazodon
3.2 FARMAKOKINETIK OBAT-OBAT OBESITAS

3.2.1 Sibutramine Hydrochloride


Sibutramine hydrochloride merupakan golongan
OBAT KERAS yang digunakan dalam
pengobatan obesitas, dimana obat ini hanya dapat
diperoleh dan digunakan berdasarkan resep
dokter. Sibutramine direkomendasikan untuk
pasien obesitas dengan index massa tubuh ≥ 30 kg/m2, atau ≥ 27 kg/m2 untuk pasien dengan
resiko diabetes, dislipidemia, dan hipertensi.
3.2.1 Struktur Sibutramine Hydrochloride

Mekanisme aksi Sibutramin hydrochloride menghambat reuptake noradrenaline dan


serotonin oleh sel saraf setelah kedua neurotransmiter ini menyampaikan pesan diantara sel
saraf yang ada di otak. dihambatnya reuptake membuat keduaneurotransmitter ini bebas
menjelajah di otak. saat itulah keduanya menghasilkan perasaan penuh (kenyang) pada pasien
sehingga mengurangi keinginan untuk makan. Obat ini terbukti menurunkan asupan makanan
dan meningkatkan thermogenesis. Secara invivo, sibutramine bekerja melalui 2 metabolit aktif
yaitu M1 dan M2. Efikasinya untuk menurunkan dan mempertahankan berat badan telah
ditunjukkan pada beberapa penelitian klinis.

Farmakokinetik obat Sibutramine diabsorpsi cepat di saluran gastroinestinal (77%).


Sibutramin terdistribusi luas ke jaringan terutama di hati dan ginjal. Metabolit M1 dan M2
terikat sebanyak 94% pada protein plasma sedangkan sibutramine terikat 97% pada protein
plasma. Hal ini menunjukkan bahwa volume distribusi (Vd) sibutramin, metabolit M1 dan M2
kecil didalam tubuh. Sibutramin mengalami first pass metabolisme di hati oleh sitokrom P450
isoenzim CYP3A4 mengahasilkan dua metabolit aktif, M1 dan M2. Kedua metabolit ini
selanjutnya mengalami konjugasi dan hidroksilasi menjadi metabolit inaktif, yaitu M5 dan M6.
T1/2 eliminasi sibutramin adalah 1 jam , Metabolite: M1 : 14 jam, M2 : 16 jam. Tmaks
sibutramin 1,2 jam, Metabolit : M1dan M2 : 3-4 jam. Sibutramin dan metabolitnya dieksresikan
terutama lewat urine (77%) dan feses.
3.2.2 Xenical
Xenical yang mengandung Orlistat 120 mg ,rumus kimianya (S)-2-formylamino-4-
methyl-pentanoic acid (S)-1-[[(2S, 3S)-3-hexyl-4-oxo-2-oxetanyl] methyl]-dodecyl ester.
Rumus Empirisnya C29H53NO5.

Mekanisme aksi Xenical adalah suatu penghambat enzim lipase saluran cerna yang
poten dan spesifik dengan lama kerja yang panjang. Bekerja pada lumen lambung dan usus
halus dengan membentuk suatu ikatan kovalen pada bagian serine yang aktif dari lipase
pankreas dan lambung. Enzim yang di non-aktifkan tersebut dengan demikian tidak dapat
menghidrolisis trigliserida makanan menjadi asam lemak bebas dan monogliserida yang dapat
diabsorpsi. Karena trigliserida yang utuh tidak diserap, maka deficit kalori akan berdampak
positif pada pengaturan berat badan. Dengan demikian tidak diperlukan absorpsi sistemik dari
obat untuk dapat melakukan aktivitas kerjanya.
Farmakokinetik Obat Xenical :
• Absorpsi :
Studi pada relawan sehat dengan berat badan normal dan relawan dengan obesitas
memperlihatkan jumlah orlistat yang diserap adalah minimal. Konsentrasi plasma orlistat yang
tidak terurai tidak terukur ( < 5 ng/ml) setelah 8 jam pemberian orlistat per oral . Umumnya
pada dosis terapi, kadar plasma orlistat yang tidak terurai hanya terdeteksi secara sporadis dan
dalam konsentrasi yang sangat rendah (<10 ng/ml atau 0,02mm), tanpa bukti-bukti akumulasi,
yaitu konsisten dengan tingkat absorpsi yang dapat diabaikan. Distribusi Volume distribusi
tidak dapat ditentukan karena tingkat absorpsi obat sangat minimal dan tidak memiliki
farmakokinetik sistemik yang jelas. Orlistat in vitro memperlihatkan > 99 % ikatan protein
plasma (terutama lipoprotein dan albumin). Distribusi orlistat ke dalam eritrosit sangat sedikit.
• Metabolisme
Berdasarkan data yang diperoleh dari hewan, sangat mungkin metabolisme orlistat
terutama berlangsung pada dinding usus. Berdasarkan studi pada pasien obesitas, dua metabolit
utama yaitu M1 (cincin lakton 4 anggota dihidrolisis) dan M3 (M1 dengan Nformil leucine
moiety dibelah) meliputi hampir 42 % dari total konsentrasi plasma yang dihasilkan oleh fraksi
yang sangat kecil dari obat yang diabsorpsi secara sistemik. M1 dan M3 mempunyai cincin B-
lakton terbuka dan aktivitas hambat lipase yang sangat lemah (1000 dan 2500 kali lebih lemah
dari orlistat). Memperhatikan aktivitas hambat dan kadar plasma yang rendah pada dosis
terapetik (rata-rata 26 ng/ml dan 108ng/ml), maka metabolit ini dianggap tidak bermakna
secara farmakologi.
• Eliminasi
Studi pada orang yang beratnya normal dan pasien obesitas menunjukkan bahwa ekskresi
melalui feses dari obat yang tidak diserap adalah merupakan cara eliminasi utama. Hampir 97
% dari dosis obat yang diberikan akan diekskresi melalui feses dan 83%nya dalam bentuk
orlistat yang tidak terurai. Ekskresi ginjal kumulatif dari total orlistat adalah < 2% dari dosis.
Waktu untuk mencapai ekskresi lengkap (feses dan kemih) adalah 3 - 5 hari. Ekskresi orlistat
tampaknya serupa antara orang yang mempunyai berat normal dan obesitas. Orlistat, M1 dan
M3 juga diekskresi melalui empedu. Indikasi dan penggunaan Xenical bersama-sama dengan
diet rendah kalori diindikasikan untuk pengobatan pasien-pasien obesitas dengan indeks massa
tubuh
(BMI) lebih besar atau sama dengan 30 kg/m2, atau pasien dengan berat badan berlebih (BMI
>28 kg/m2 dengan faktor risiko penyerta). Pengobatan dengan orlistat sebaiknya hanya dimulai
jika sebelumnya usaha penurunan berat badan dengan melakukan diet berhasil mengurangi
berat badan sedikitnya 2,5 kg dalam 4 minggu berturut-turut. Pengobatan dengan orlistat
sebaiknya dihentikan setelah 12 minggu jika pasien tidak dapat mencapai penurunan berat
sedikitnya 5% dari berat badan saat memulai pengobatan.
3.3 FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMI PADA KEHAMILAN

A. Farmakokinetika
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi
farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya
penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir
semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke
rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut
terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar puncak
obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan obat
dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan
pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-
albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain yang ikatan protein
plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak
bermakna secara klinik karena bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan
menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut. Gerakan saluran cerna
menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat.
Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan
progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain, misalnya
fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin. Peningkatan aliran darah
ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama
lewat ginjal, contohnya penicilin. Perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat
plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu
serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti
juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal
dibawah ini.
• Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta
masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
• Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang
terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang
derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di
janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak
dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan
melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh
tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion.
Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut.
Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati
plasenta dalam jumlah besar.
• Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori
membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat
dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-
obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.
Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar
ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
• Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati
membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan
mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut
dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi,misalnya beberapa
anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati
plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di
lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat
oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin
juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih
tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang
merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305
Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat
terdistribusi dari darah ibu ke janin. Metabolisme obat di plasenta dan di janin.

Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat
metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada
di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya
oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme plasenta ini akan
menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya
etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang
struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme
yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal.
Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung
masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan
dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan
metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam alproat,
isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio.
Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih
tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel
embrio.

B. Farmakodinamika

Mekanisme kerja obat ibu hamil. Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar
susu, pada kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan.
Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau terjadi
perubahan misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang
menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil.
Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena
meningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol
glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan. Mekanisme kerja obat pada janin.

Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat,
yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan
janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid
diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur.
Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme
bilirubin sehingga insidens jaundice ( bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga
dapat menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan
pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung.
Kerja obat teratogenik. Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi
struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada
perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini
akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat
sampai minggu ke tujuh kehamilan.

Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan


efek teratogenik belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor.

• Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.

• Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.

• Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin,
misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.

• Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada


abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat
menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf , yang menyebabkan
timbulnya spina bifida. Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek
kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan
terutama pada kehamilan trimester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal
alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat,pertumbuhan dan
perkembangan muka.

3.4 TATALAKSANA
3.4.1 PENGKAJIAN / PENILAIAN PERESEPAN (PEDOMAN TELAAH ULANG
REGIMEN OBAT (DRUG REGIMEN REVIEW) )
Tujuan :
Memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya,
mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan akibat penggunaan
obat dan mengevaluasi kepatuhan pasien dalam mengikuti rejimen pengobatan.

Kriteria ibu hamil/menyusui yang mendapat prioritas untuk dilakukan telaah


ulang rejimen obat :
- Mendapat 5 macam obat atau lebih, atau 12 dosis atau lebih dalam sehari
- Mendapat obat dengan rejimen yang kompleks, dan atau obat yang berisiko tinggi
untuk mengalami efek samping yang serius
- Menderita tiga penyakit atau lebih
- Mengalami gangguan kognitif, atau tinggal sendiri
- Tidak patuh dalam mengikuti rejimen pengobatan
- Akan pulang dari perawatan di rumah sakit
- Berobat pada banyak dokter
- Mengalami efek samping yang serius, alergi

Tatalaksana telaah ulang rejimen obat :


a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang
prinsip-prinsip farmakoterapi ibu hamil dan menyusui dan ketrampilan yang
memadai
b. Melakukan pengambilan riwayat penggunaan obat ibu hamil / menyusui:
- Meminta ibu hamil/menyusui untuk memperlihatkan semua obat yang sedang
digunakannya
- Menanyakan mengenai semua obat yang sedang digunakan ibu hamil/menyusui,
meliputi: obat resep, obat bebas, obat tradisional/jamu, obat suplemen
- Aspek-aspek yang ditanyakan meliputi: nama obat, frekuensi, cara penggunaan
dan alasan penggunaan
- Melakukan cek silang antara informasi yang diberikan ibu hamil/menyusui dengan
data yang ada di catatan medis, catatan pemberian obat dan hasil pemeriksaan
terhadap obat yang diperlihatkan
- Memisahkan obat-obat yang seharusnya tidak digunakan lagi oleh ibu
hamil / menyusui
- Menanyakan mengenai efek yang dirasakan oleh ibu hamil / menyusui,
baik efek terapi maupun efek samping
- Mencatat semua informasi di atas pada formulir pengambilan riwayat
penggunaan obat ibu hamil/ menyusui
c.Meneliti obat-obat yang baru diresepkan dokter
d. Mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
e. Melakukan tindakan yang sesuai untuk masalah yang teridentifikasi

3.4.2 PEDOMAN PEMANTAUAN PENGGUNAAN OBAT


Tujuan :
Mengoptimalkan efek terapi obat dan mencegah atau meminimalkan efek merugikan
akibat penggunaan obat.
Tatalaksana pemantauan penggunaan obat :
a. Apoteker yang melakukan kegiatan ini harus memiliki pengetahuan tentang
patofisiologi, terutama pada ibu hamil dan menyusui, prinsipprinsip farmakoterapi,
cara menafsirkan hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik yang
berkaitan dengan penggunaan obat, dan ketrampilan berkomunikasi yang
memadai.
b. Mengumpulkan data ibu hamil/menyusui, yang meliputi :
• Deskripsi (nama, umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan,
nama ruang rawat/poliklinik, nomor registrasi)
• Riwayat penyakit terdahulu
• Riwayat penggunaan obat (termasuk riwayat alergi, penggunaan obat
non resep)
• Data hasil pemeriksaan fisik, uji laboratorium dan diagnostik
• Masalah medis yang diderita
• Data obat-obat yang sedang digunakan
• Data /informasi dapat diperoleh melalui :
wawancara dengan ibu hamil / menyusui atau
• catatan medis
• kartu indeks (kardeks)
• komunikasi dengan tenaga kesehatan lain (dokter, perawat)
c. Berdasarkan data/informasi pada (b), selanjutnya mengidentifikasi adanya masalah-
masalah yang berkaitan dengan penggunaan obat
d. Memberikan masukan/saran kepada tenaga kesehatan lain mengenai penyelesaian
masalah yang teridentifikasi.
e. Mendokumentasikan kegiatan pemantauan penggunaan obat pada formulir yang
dibuat khusus.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita. 2005. “Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Jakarta : Gramedia.Anonim, 2005,
Interaksi Obat. Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, departemen
Kesehatan RI, Jakarta

Adam, J.M.F. 2009. Dislipidemia. Dalam: Sudoyono, W.A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1926 - 1932.

Anonim, 2000, Daftar Obat Indonesia, Jakarta

Anonim, 1999, Laporan Penelitian Praktek Kerja Profesi di RSAB Harapan Kita

Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk Penggunaan Obat
dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta

Anonim, 2004, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-
KIA). Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat kesehatan Keluarga,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta

Anonim, 2004, Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien
Geriatri. Ditjen Pelayanan Kesehatan dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta

Anonim, 1995, Modul Manajemen Laktasi, Ditjen Pelayanan Medik,Departemen Kesehatan


RI, Jakarta

Anonim,2001, Mastitis Penyebab & Penatalaksanaan, World Health


Organization, Penerbit Widya Medika, Jakarta Munir, M .2005. Gambaran dan
faktor – faktor yang berhubungan dengan status gizi ibu hamil di kecamatan
sumbang kabupaten Banyumas Jawa Tengah Tahun 2005.FKM UI Depok.

Betty L. Lucas. 2004. Nutrition in Childhood. In: Manhan LK, Stump SE. Krause’s Food,
Nutrition,& Diet therapy 11th Ed. United States of America: Elsevier
Bhattacharya, J., Ji S.W., Lee, H.S., Cheong, Y.W., Yim, G.J., Min, J.S., Choi, Y.S. 2008.
Treatment of acidic coal mine drainage : design and operational challenges of
successive alkalinity producing system. Mine Water Environ .

Blouin, R.. dan Ensom, M.H.., 2006. Special Pharmacokinetic Consideration in the Obese,
dalam: Burton, M., E., Shaw, L., M., Schentag, J., J., Evans, W., E. (Eds.), Applied
Pharmacokinetics and Pharmacodynamics: Principles of Therapeutic Drug
Monitoring. Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia.

D.C.Knoppert, Safety of drug in pregnancy and lactation in Pharmacotherapy Self-


assessment Programm, 3rd ed, module Women’s health, American College of
Clinical Pharmacy: Kansas 1999:1-24.

DepKes RI. 2001. Materi Konseling dan Kesehatan Gizi Bagi Usia Lanjut. Jakarta:
Direktorat bina gizi masyarakat

Depkes RI. 2006. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan.
Cetakan Ke-2. Jakarta: Dirjen Bina Gizi Masyarakat

Guyton A.1990.Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit.Jakarta: EKG.

Harkness, Richard, 1984, Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung

Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall International Ltd.

Khan, I. A., M. U.Dahot, N. Seema, S. Bibi, andA. Khatri, 2008. Genetic Variability in
Plantlets Derived from Callus Culture in Sugarcane. Pak. J. Bot.

Kee J., dan Hayes E.R., 1993, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Diterjemahkan
oleh Anugrah, penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta.

Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect 102(Suppl
11):000-000 (1994)

MIMS, 102nd ed 2005, Indonesia.

Notoatmodjo, S. 1993. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Riordan, Jan, EdD, RN, IBCLC, FAAN, 1996, Buku Saku Menyusui &
Laktasi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Ritschel, A. W. dan Kearns, L. G., 2004, Handbook of Basic Pharmacokinetics, Sixth
Edition, Washington, American Pharmacist Association.

Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta

Supariasa, dkk. 2002. “Penilaian Status Gizi”. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sugianti, E., et al. 2009. Faktor Risiko terhadap Obesitas Sentral pada Orang Dewasa Di DKI
Jakarta. Indonesian Journal of Clinical Nutrition.

Sugondo, S., 2007. Obesitas. Dalam Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI, 1919-1923.
6. Apa saja obat-obat yang termasuk kedalam indeks terapi sempit dan > 50%
tereliminasi melalui ginjal?

Obat dengan indeksi terapi sempit merupakan obat-obat dengan batas keamanan yang
sempit. Pada obat dengan indeks terapi sempit, perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik. Oleh karena itu,
obat-obat ini memerlukan pengawasan pada level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis
untuk mencegah timbulnya efek toksik (Kang dan Lee, 2009).

Adapun contoh dari obat indeks terapi sempit diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Asam valproat
Selain memiliki banyak efek samping juga termasuk dalam golongan obat-obat dengan
indeks terapi sempit dengan kisar terapi 50-100 mg/L (Winter, 1994).

2. Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-dimetilxantin.


Merupakan bronkodilator yang digunakan untuk pasien asma dan penyakit paru obstruktif
yang kronik, namun tidak efektif untuk reaksi akut pada penyakit paru obstruktif kronik.
Teofilin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15 mg/L
darah. Potensi toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan kadar teofilin utuh dalam
darah yaitu >20 mg/L. Penggunaan teofilin dosis tinggi dapat menyebabkan takikardi,
muntah, dan transplacental toxicity.

3. Warfarin
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat pada albumin
plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume distribusinya kecil (ruang
albumin), jika albumin plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan meningkat,
oleh karenanya ia disebut obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg,
2003).

4. Gentamisin
Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan pada infeksi
berat yang disebabkan oleh bakteri negatif aerob terutama aktivitas bakterisidal terhadap
Pseudomonas aeroginosa dan spesies Enterobacter. Gentamisin memiliki kisaran terapi
sempit dengan rentang konsentrasi puncak 8-10 mg/L dan konsentrasi lembah 0,5- 2 mg/L
dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan atau bahkan menimbulkan efek toksik sehingga penggunaan gentamisin
memerlukan pengawasan level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah
timbulnya efek toksik (Kang dan Lee, 2009)

5. Digoxin
Digoxin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-2 ng/mL
darah. Digoksin diberikan pada penderita gangguan jantung, aritmia, dan gagal jantung.
Mekanisme dari obat ini adalah dengan membuat irama denyut jantung normal kembali,
serta meningkatkan dan menguatkan kerja jantung agar dapat kembali memompa dan
mengedarkan darah ke seluruh tubuh.

6. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 10-20 μg/mL
darah. Fenitoin merupakan obat yang berkhasiat sebagai anti epilepsy atau anti kejang
yang biasa digunakan. Obat ini biasanya diberikan oleh petugas medis dengan cara
menusukan pada pembuluh darah jika sediannya injeksi.

7. Carbamazepin
Carbamazepin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 4-12
μg/mL darah. Obat ini juga memiliki khasiat untuk mengatasi epilepsy atau kejang dengan
cara menstabilkan aliran impuls saraf.

8. Amikasin
Amikasin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 20-30
μg/mL darah. Amikasin merupakan salah satu obat antibiotic yang biasa digunkan untuk
membunuh bakteri penyebab infeksi paru paru, dan saluran kemih.

9. Lidokain
Lidokain merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-5 μg/mL
darah. Lidokain merupakan salah satu obat golongan anatesi yang akan menghilang atau
memberhentikan sementara sensor nyeri atau rasa sakit pada tubuh dengan cara
menghambat sinyal tanda nyeri itu sendiri untuk masuk dan ditangkap oleh syaraf.
10. Litium
Litium merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 0.6-1.2 μg/mL
darah. Litium merupakan salah satu terapi untuk pasien pasien yang mengalami gangguan
mood (suasana hati), terutama pada pasien dengan gangguan bipolar dengan cara
meningkatkan aktivitas kimiawi pada saraf otak yang akan mengurangi frekuensi
perubahan suasana hati penderita.

11. Procainamid
Procainamid merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 4-10
μg/mL darah. Obat ini merupakan salah satu obat untuk mengatasi aritmia. Prociainamid
biasanya diberikan ketika pasien mengalami aritmia hebat atau dalam keadaan darurat dan
harus ditangani secepatnya, oleh karena itu penggunaan procainamide dibatasi.

12. Quinidin
Quinidin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-4 μg/mL
darah. Quinidine adalah juga salah satu obat untuk mengatasi aritmia. Mekanisme kerja
dari quinidine sendiri adalah memblokir aliran sinyal denyut jantung yang tidak beraturan
dan meningkatkan kerja jantung agar dapat kembali normal.

13. Tobramisin
Tobramisin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 5-10
μg/mL darah. Tobramisin adalah salah satu golongan obat antibiotic aminoglikosida yang
biasanya digunakan untuk mengobati infkesi bakteri pada mata. Tobramisin dapat
membunuh dan mencegah pertumbuhan bakteri pada tubuh.

14. Vankomisin
Vankomisin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 20-40
μg/mL darah. Vankomisin adalah salah satu obat yang diindikasikan untuk mengobati
infeksi berat yang tidak dapat di atasi oleh obat antibiotic lain. Vankomisin juga dapat
membunuh dan mencegah pertumbuhan bakteri penyebab bakteri.
Terapi obat di pediatri

➢ Berfokus merancang dan meresepkan rejimen dosis optimal untuk mengobati atau
menyembuhkan penyakit bayi yang lahir setelah usia kehamilan 22 minggu (normal 38
hingga 40 minggu) untuk dewasa muda yang berusia 18 tahun.
➢ Insomnia, terutama pasien yang menderita penyakit kronis yang berasal dari masa
kanak-kanak atau secara genetik, misalnya, jantung bawaan penyakit atau fibrosis
kistik, pasien dapat dirawat oleh pemberi perawatan anak mereka sampai mereka
mencapai usia 21 hingga 25 tahun.
➢ Pematangan fisiologis ini memberikan tantangan unik bagi penyedia perawatan anak
sehubungan dengan penggunaan obat yang optimal dalam penambahan faktor bersama
oleh penyedia layanan kesehatan yang juga harus dipertimbangkan, seperti keadaan
penyakit, fungsi organ, pengaruh genetik, penggunaan intervensi seperti dialisis, dan
banyak lainnya.
➢ Usia adalah pengaruh utama pada disposisi obat. Perubahan substansial dalam fungsi
organ dan proses enzim yang terjadi sebelum dan sesudah kelahiran sampai selesai
pubertas memiliki pengaruh besar pada disposisi obat.
➢ Karena usia dan ukuran tubuh biasanya sangat berkorelasi, termasuk ukuran organ dan
kapasitas fungsional, usia merupakan indikator yang kuat disposisi obat. Waktu dan
besarnya pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisiologis mendorong desain
farmakoterapi yang optimal dan respons pasien.
➢ Perhitungan dosis pada anak

Terapi obat di pediatri

➢ Mengelola pasien dengan berbagai kondisi kronis memerlukan kehati-hatian, dan


penyeimbangan risiko, manfaat, dan biaya terapi yang tersedia secara bijaksana.
Seringkali diperlukan untuk mengabaikan pengobatan yang optimal untuk 1 kondisi
untuk menghindari memburuknya keadaan lain atau mendorong interaksi obat yang
serius dan efek samping.
➢ Mengidentifikasi dan mendukung preferensi pasien, menjaga kualitas hidup, dan
mengetahui prognosis individu adalah penting pada semua pasien, tetapi terutama pada
orang tua dan kelompok lain dengan usia harapan hidup yang terbatas. Dokter tidak
boleh menahan perawatan yang efektif karena seorang pasien sudah tua, tetapi sangat
penting untuk mengetahui beban pengobatan pada lansia dan memodulasi
farmakoterapi yang sesuai.
➢ Perhitungan dosis pada geriatrik

N/20

Anda mungkin juga menyukai