Dosen Pengampu
KELOMPOK 5
Disusun Oleh :
UNIVERSITAS PAKUAN
BOGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan saat ini ada lebih dari satu milyar penduduk
dunia memiliki berat badan lebih (kelebihan berat badan) dan sekitar 300 juta dari mereka
memiliki berat badan dalam kategori obesitas. Diperkirakan 10% dari seluruh total biaya
kesehatan disuatu negara terserap pada penyakit-penyakit yang terkait dengan obesitas yang
akan menyebabkan kualitas hidup yang rendah, angka kesakitan dan angka mortalitas yang
tinggi pada usia muda.
Beberapa kondisi medik yang serius sering dialami oleh penderita obesitas yaitu
menurunnya status gizi, khususnya tergambar pada turunnya kadar protein plasma dapat
mempengaruhi farmakokinetik obat. Farmakokinetik obat meliputi proses absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi. Pasien obesitas memiliki proporsi air tubuh/ total berat badan
yang lebih kecil dibandingkan pasien yang berat badannya ideal, yang dapat
berpengaruh pada Volume Distribusi obat (Vd). Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya
merupakan interaksi obat dengan reseptornya, efek ini tergantung pada jumlah obat yang
terangkut oleh protein plasma (albumin) dan jumlah ambilan oleh reseptor pada target
organ. Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara efek farmakologik obat
dengan kadarnya yang terikat dalam plasma atau serum (Titus et al.,2012). Pengukuran
status gizi salah satunya ditentukan oleh IMT (Indeks Massa Tubuh) menyatakan bahwa
batasan berat badan normal orang dewasa. Orang yang berada dibawah ukuran berat
badan normal mempunyai resiko terhadap infeksi, sementara orang yang diatas ukuran
normal mempunyai resiko tinggi terhadap penyakit degeneratif (Supariasa et al., 2002).
Parameter farmakokinetik lainnya dapat berubah pada pasien obesitas sebagai akibat dari
perubahan fisiologis, seperti infiltrasi lemak hati yang mempengaruhi biotransformasi dan
perubahan kardiovaskular yang dapat mempengaruhi aliran darah ginjal dan eksresi ginjal.
Hubungan waktu paruh dengan obesitas yaitu ada tiga kemungkinan, pertama jika perubahan
Vd sebanding dengan perubahan Cl maka waktu paruh akan tetap (tidak berubah), kedua jika
Vd naik tetapi Cl tetap , maka waktu paruh akan meningkat , dan ketiga jika Cl berubah,
namun Vd tetap maka waktu paruh akan berubah.
Kehamilan, persalinan dan menyusui merupakan proses fisiologi yang perlu
dipersiapkan oleh wanita dari pasangan subur agar dapat dilalui dengan aman.
Selama masa kehamilan, ibu dan janin adalah unit fungsi yang tak terpisahkan.
Kesehatan ibu hamil adalah persyaratan penting untuk fungsi optimal dan
perkembangan kedua bagian unit tersebut. Obat dapat menyebabkan efek yang tidak
dikehendaki pada janin selama masa kehamilan. Selama kehamilan dan menyusui, seorang
ibu dapat mengalami berbagai keluhan atau gangguan kesehatan yang membutuhkan obat.
Banyak ibu hamil menggunakan obat dan suplemen pada periode organogenesis
sedang berlangsung sehingga risiko terjadi cacat janin lebih besar.
Di sisi lain, banyak ibu yang sedang menyusui menggunakan obat-obatan yang dapat
memberikan efek yang tidak dikehendaki pada bayi yang disusui.
Karena banyak obat yang dapat melintasi plasenta, maka penggunaan obat
pada wanita hamil perlu berhati-hati. Dalam plasenta obat mengalami proses
biotransformasi, mungkin sebagai upaya perlindungan dan dapat terbentuk
senyawa antara yang reaktif, yang bersifat teratogenik/dismorfogenik. Obatobat teratogenik
atau obat-obat yang dapat menyebabkan terbentuknya senyawa teratogenik dapat merusak
janin dalam pertumbuhan. Beberapa obat dapat memberi risiko bagi kesehatan ibu, dan dapat
memberi efek pada janin juga. Selama trimester pertama, obat dapat menyebabkan cacat
lahir (teratogenesis), dan risiko terbesar adalah kehamilan 3-8 minggu. Selama
trimester kedua dan ketiga, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan secara fungsional pada janin atau dapat meracuni plasenta. Pada masa
kehamilan, perubahan fisiologis akan terjadi secara dinamis, hal ini dikarenakan terbentuknya
unit fetal-plasental-maternal. Karena perubahan fisiologis inilah maka farmakokinetika obat
baik absorpsi, distribusi, metabolisme, maupun eksresi pun ikut berubah. Perubahan-perubahan
yang terjadi tersebut antara lain perubahan fungsi saluran cerna, fungsi saluran nafas dan
peningkatan laju filtrasi glomerulus pada ginjal. Suatu penelitian menunjukan bahwa
kebanyakan obat dapat melewati sawar plasenta dengan mudah, sehingga janin yang dikandung
pun ikut menerima obat.
Penulisan resep untuk masa kehamilanJika memungkinkan konseling seharusnya dilakukan untuk
seseorang waktu sebelum merencanakan kehamilan termasuk diskusi tentang risiko-risiko yang
berhubungan dengan obat-obat spesifik, obat tradisional, dan pengaruh buruk
bahan kimia seperti rokok dan alkohol. Suplemen seperti asam folat sebaiknya diberikan selama
penatalaksanaan kehamilan karena penggunaan asam folat mengurangi cacat selubung saraf. Obat
sebaiknya diresepkan pada kehamilan hanya jika keuntungan yang diharapkan bagi ibu hamil
/dipikirkan lebih besar daripada risiko bagi janin. Semua obat jika mungkin sebaiknya dihindari selama
trimester pertama. Pada proses menyusui, pemberian beberapa obat (misalnya ergotamin) untuk
perawatan si ibu dapat membahayakan bayi yang baru lahir, sedangkan pemberian digoxin sedikit
pengaruhnya. Beberapa obat yang dapat menghalangi proses pengeluaran ASI antara lain misalnya
estrogen. Keracunan pada bayi yang baru lahir dapat terjadi jika obat bercampur dengan
ASI secara farmakologi dalam jumlah yang signifikan. Konsentransi obat pada ASI (misalnya odida)
dapat melebihi yang ada di plasenta sehingga dosis terapeutik pada ibu dapat menyebabkan bayi
keracunan. Beberapa jenis obat menghambat proses menyusui bayi (misalnya phenobarbital). Obat
pada ASI secara teoritis dapat menyebabkan hipersensitifitas pada bayi walaupun dalam
konsentrasi yang sangat kecil pada efek farmakologi. Perubahan fisiologi selama kehamilan dan
menyusui dapat berpengaruh terhadap kinetika obat dalam ibu hamil dan menyusui yang kemungkinan
berdampak terhadap perubahan respon ibu hamil terhadap obat yang diminum.
Dengan demikian, perlu pemahaman yang baik mengenai obat apa saja yang relatif tidak aman hingga
harus dihindari selama kehamilan ataupun menyusui agar tidak merugikan ibu dan janin yang
dikandung ataupun bayinya Pemakaian obat- obatan bebas dan obat yang memerlukan resep harus
diperhatikan sepanjang kehamilan sampai masa nifas. Pemakaian fisiologik pada ibu yang
terjadi selama masa kehamilan mempengaruhi kerja obat dan pemakaiannya. Termasuk
pengaruh dari hormon-hormon steroid yang beredar dalam sirkulasi pada metabolisme obat
dalam hati, eksresi obat melalui ginjal yang lebih cepat karena peningkatan filtrasi glomerulus
dan peningkatan perfusi ginjal, pengenceran obat karena jumlah darah dalam sirkulasi ibu yang
meningkat, dan perubahan-perubahan dalam klirens obat pada akhir kehamilan menyebabkan
penurunan kadar serum dan konsentrsasi obat dalam jaringan dengan demikian pada kehamilan
dapat menyebabkan perubahan pada proses farmakokinetiknya
1.2 Tujuan
1. Penggunaan obat yang rasional pada pasien obesitas dan ibu hamil untuk
mengontrol system ADME
2. Mengetahui bagaimana proses perubahan farmakokinetik yang terjadi pada
pasien obesitas dan ibu hamil
1.3 Sasaran
Untuk mengetahui respon obat terhadap system ADME di dalam tubuh pasien
penderita obesitas dan ibu hamil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obesitas
2.1.1 Definisi Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal yang dapat
mengganggu kesehatan (WHO, 2017). Penyebab utama terjadinya obesitas yaitu
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan pengeluaran energi (Betty, 2004).
Obesitas adalah kondisi yang ditandai dengan gangguan keseimbangan energi tubuh
yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya disimpan dalam bentuk lemak
di jaringan tubuh (Nelm, et, al, 2011). Sehingga obesitas adalah terjadinya penumpukan
lemak dalam tubuh yang abnormal dalam kurun waktu yang lama dan dikatakan
obesitas bila nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun (Kemenkes,
2010).
Kehamilan adalah suatu keadaan dimana dalam Rahim seorang wanita terdapat hasil
konsepsi (pertemuan ovum dan spermatozoa). Kehamilan merupakan suatu proses yang
alamiah dan fisiologis. Setiap wanita yang meiliki organ reproduksi sehat yang telah
mengalami menstruasi dan melakukan hubungan seksual dengan seorang laki – laki yang organ
reproduksinya sehat , sangat besar kemungkinan akan mengalami kehamilan.
Seorang ibu hamil suatu saat dalam masa kehamilannya memerlukan terapi obat karena
gangguan kesehatan yang diderita, baik yang berkaitan maupun yang tidak berkaitan dengan
proses kehamilannya. Obat yang diminum oleh ibu hamil patut mendapatkan perhatian, karena
obat yang diminum dapat mempengaruhi janin yang dikandungnya. Hal itu disebabkan karena
hampir sebagian besar obat dapat melintasi plasenta (Munir, 2005).
Dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, dimana obat tersebut dapat
bersifat menguntungkan dan dapat juga terbentuk senyawa yang reaktif bersifat teratogenik
(Anonim, 2006).
b) Pemilihan obat
c) Faktor fisik
Seorang ibu hamil dipengaruhi oleh kesehatan dan status gizi. Status kesehatan
dapat diketahui dengan memeriksakan diri dan kehamilannya ke pelayanan kesehatan
.
Status gizi bagi ibu hamil juga berpengaruh selama masa kehamilan. Kekurangan gizi
tentu saja akan menyebabkan akibat buruk bagi ibu dan janinnya. Ibu dapat menderita
anemia, sehingga suplai darah yang menghantarkan oksigen dan makanan pada janinya
akan terhambat, sehingga janin akan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan. Namun kelebihan gizi juga dapat berdampak yang tidak baik terhadap
ibu dan janin. Janin akan tumbuh besar melebihi berat normal, sehingga ibu akan
kesulitan pada proses persalinan.
d) Faktor Psikologis
Stress yang terjadi pada ibu hamil dapat mempengaruhi kesehatan ibu dan janin,
janin dapat mengalami kererlambatan perkembangan atau gangguan emosi saat lahir
nanti jika stress pada ibu tidak tertangani dengan baik.
II (4 – 8 minggu)
VI (20 – 24 minggu)
IX (36 minggu)
• Pada bulan ini normalnya bayi berada di posisi siap
untuk lahir.
• Vernix yang melindungi kulitnya dari cairan amnion
mulai larut.
• Janin di usia 39 minggu sudah dapat menjalankan
fungsi tubuhnya sendiri.
• Bobotnya sekitar 3 kg dan panjangnya sekitar 50 cm.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.1 ADSORBSI
Informasi tentang pengaruh obesitas terhadap ketersediaan hayati obat masih belum
banyak, sehingga sementara ini belum dapat dibuat generalisasi mengenai disposisi obat.
Ketersediaan hayati midazolam dan propranolol, dua obat dengan rasio ekstraksi hepatik (Eh)
tinggi, dan juga dexfenfluramin, tidak berbeda antara subyek kegemukan dengan berat badan
normal. Begitu pula ketersediaan hayati siklosporin pada penerima cangkok ginjal, tidak
berbeda antara pasien obesitas dan normal. Bahkan absorpsi dan enzim metabolisme intestinal
tidak terpengaruh oleh pasien obesitas yang mengalami hypass lambung atau jejunoileum,
ketika antipirin digunakan sebagai probe (Blouin & Ensom, 2007).
3.1.2 DISTRIBUSI OBAT
Kecepatan dan luas distribusi obat tergantung dari berbagai faktor obat dan fisiologik,
sedangkan pada obesitas , terjadi kenaikan curah jantung, volume darah, berat organ, berat
tubuh langsing (lean body mass; LBM) dan kenaikan jaringan adipose. Seperti yang diketahui,
LBM terdiri dari massa sel tubuh termasuk lemak membran sel (merupakan komponen utama
tubuh), air ekstraseluler, dan jaringan konektif tanpa lemak; dan di dalam massa sel tubuh inilah
lebih dari 99% metabolisme terjadi. Jadi distribusi obat yang larut lemak (lipofilik) umumnya
meningkat karena kenaikan berat badan total, sehingga mempengaruhi besar loading dose,
interval pemberian obat, waktu-paro eliminasi dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
kadar tunak di dalam darah.
Tabel 3.1.2 Pengaruh obesitas dan berat badan normal (LBM) terhadap volume
distribusi (liter) beberapa obat (Blouin & Ensom, 2007)
Tabel 3.1.3. Pengaruh obesitas terhadap eliminasi hepatik dan renal (Blouin & Ensom, 2007)
Enzim Hepatik
CYP2E1 Meningkat
CYP3A4 dan CYP2B6 Berkurang
Glukuronidase dan Sulfatase Meningkat
Asetilase Tidak berubah
Ekskresi Ginjal
GFR dan sekresi tubular Meningkat
Reabsorpsi tubular Berkurang
Tabel 3.1.4. Klirens obat pada obesitas (Blouin & Ensom, 2007; Anonim, 2008)
Tidak Berubah Meningkat Berkurang
Alprazolam Bisoprolol Doxorubisin
Antipirin Busulfan Metilprednisolon
Diazepam Chlorzoxazone Karbamazepin
Desmetildiazepam Diazepam Propranolol
Digoksin Enfluran Triazolam
Dexfenfluramin Gentamisin
Enoxaparin Halotan
Fenitoin* Ibuprofen
Gliburid Kafein
Glipizid Litium*
Ifosfamid Lorazepam
Karbamazepin Nebivolol
Labetalol Nitrazepam
Lidokain Oksazepam
Midazolam Parasetamol
Prokainamid Prednisolon
Propofol Sefatoksim
Siklofosfamid Simetidin
Siklosporin Siprofloksasin
Sotalol Tiopental
Sufentanil Tobramisin
Teofilin Vankomisin
Trazodon
3.2 FARMAKOKINETIK OBAT-OBAT OBESITAS
Mekanisme aksi Xenical adalah suatu penghambat enzim lipase saluran cerna yang
poten dan spesifik dengan lama kerja yang panjang. Bekerja pada lumen lambung dan usus
halus dengan membentuk suatu ikatan kovalen pada bagian serine yang aktif dari lipase
pankreas dan lambung. Enzim yang di non-aktifkan tersebut dengan demikian tidak dapat
menghidrolisis trigliserida makanan menjadi asam lemak bebas dan monogliserida yang dapat
diabsorpsi. Karena trigliserida yang utuh tidak diserap, maka deficit kalori akan berdampak
positif pada pengaturan berat badan. Dengan demikian tidak diperlukan absorpsi sistemik dari
obat untuk dapat melakukan aktivitas kerjanya.
Farmakokinetik Obat Xenical :
• Absorpsi :
Studi pada relawan sehat dengan berat badan normal dan relawan dengan obesitas
memperlihatkan jumlah orlistat yang diserap adalah minimal. Konsentrasi plasma orlistat yang
tidak terurai tidak terukur ( < 5 ng/ml) setelah 8 jam pemberian orlistat per oral . Umumnya
pada dosis terapi, kadar plasma orlistat yang tidak terurai hanya terdeteksi secara sporadis dan
dalam konsentrasi yang sangat rendah (<10 ng/ml atau 0,02mm), tanpa bukti-bukti akumulasi,
yaitu konsisten dengan tingkat absorpsi yang dapat diabaikan. Distribusi Volume distribusi
tidak dapat ditentukan karena tingkat absorpsi obat sangat minimal dan tidak memiliki
farmakokinetik sistemik yang jelas. Orlistat in vitro memperlihatkan > 99 % ikatan protein
plasma (terutama lipoprotein dan albumin). Distribusi orlistat ke dalam eritrosit sangat sedikit.
• Metabolisme
Berdasarkan data yang diperoleh dari hewan, sangat mungkin metabolisme orlistat
terutama berlangsung pada dinding usus. Berdasarkan studi pada pasien obesitas, dua metabolit
utama yaitu M1 (cincin lakton 4 anggota dihidrolisis) dan M3 (M1 dengan Nformil leucine
moiety dibelah) meliputi hampir 42 % dari total konsentrasi plasma yang dihasilkan oleh fraksi
yang sangat kecil dari obat yang diabsorpsi secara sistemik. M1 dan M3 mempunyai cincin B-
lakton terbuka dan aktivitas hambat lipase yang sangat lemah (1000 dan 2500 kali lebih lemah
dari orlistat). Memperhatikan aktivitas hambat dan kadar plasma yang rendah pada dosis
terapetik (rata-rata 26 ng/ml dan 108ng/ml), maka metabolit ini dianggap tidak bermakna
secara farmakologi.
• Eliminasi
Studi pada orang yang beratnya normal dan pasien obesitas menunjukkan bahwa ekskresi
melalui feses dari obat yang tidak diserap adalah merupakan cara eliminasi utama. Hampir 97
% dari dosis obat yang diberikan akan diekskresi melalui feses dan 83%nya dalam bentuk
orlistat yang tidak terurai. Ekskresi ginjal kumulatif dari total orlistat adalah < 2% dari dosis.
Waktu untuk mencapai ekskresi lengkap (feses dan kemih) adalah 3 - 5 hari. Ekskresi orlistat
tampaknya serupa antara orang yang mempunyai berat normal dan obesitas. Orlistat, M1 dan
M3 juga diekskresi melalui empedu. Indikasi dan penggunaan Xenical bersama-sama dengan
diet rendah kalori diindikasikan untuk pengobatan pasien-pasien obesitas dengan indeks massa
tubuh
(BMI) lebih besar atau sama dengan 30 kg/m2, atau pasien dengan berat badan berlebih (BMI
>28 kg/m2 dengan faktor risiko penyerta). Pengobatan dengan orlistat sebaiknya hanya dimulai
jika sebelumnya usaha penurunan berat badan dengan melakukan diet berhasil mengurangi
berat badan sedikitnya 2,5 kg dalam 4 minggu berturut-turut. Pengobatan dengan orlistat
sebaiknya dihentikan setelah 12 minggu jika pasien tidak dapat mencapai penurunan berat
sedikitnya 5% dari berat badan saat memulai pengobatan.
3.3 FARMAKOKINETIKA DAN FARMAKODINAMI PADA KEHAMILAN
A. Farmakokinetika
Selama kehamilan terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi
farmakokinetika obat. Perubahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya
penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir
semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke
rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut
terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar puncak
obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan obat
dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan
pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-
albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lain yang ikatan protein
plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak
bermakna secara klinik karena bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan
menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut. Gerakan saluran cerna
menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat.
Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan
progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain, misalnya
fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin. Peningkatan aliran darah
ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama
lewat ginjal, contohnya penicilin. Perpindahan obat lewat plasenta. Perpindahan obat lewat
plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu
serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti
juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal
dibawah ini.
• Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta
masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada
dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
• Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang
terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan
tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang
derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di
janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak
dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan
melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh
tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion.
Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut.
Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati
plasenta dalam jumlah besar.
• Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori
membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat
dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-
obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta.
Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar
ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga
merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
• Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati
membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan
mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut
dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi,misalnya beberapa
anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati
plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di
lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat
oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin
juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih
tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang
merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305
Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat
terdistribusi dari darah ibu ke janin. Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah.
1. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat
metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada
di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya
oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya , kapasitas metabolisme plasenta ini akan
menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya
etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang
struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme
yang bermakna di plasenta.
2. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal.
Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung
masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan
dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan
metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.
Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam alproat,
isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio.
Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih
tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel
embrio.
B. Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat ibu hamil. Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar
susu, pada kehamilan kadang dipengaruhi oleh hormon-hormon sesuai dengan fase kehamilan.
Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau terjadi
perubahan misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang
menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil.
Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena
meningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol
glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan. Mekanisme kerja obat pada janin.
Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat,
yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan
janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid
diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur.
Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme
bilirubin sehingga insidens jaundice ( bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga
dapat menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga diberikan
pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang menderita aritmia jantung.
Kerja obat teratogenik. Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi
struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada
perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini
akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama minggu ke empat
sampai minggu ke tujuh kehamilan.
• Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung
mempengaruhi jaringan janin.
• Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga
mempengaruhi jaringan janin.
• Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin,
misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan pada jaringan normal.
Dervat vitamin A (isotretinoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
3.4 TATALAKSANA
3.4.1 PENGKAJIAN / PENILAIAN PERESEPAN (PEDOMAN TELAAH ULANG
REGIMEN OBAT (DRUG REGIMEN REVIEW) )
Tujuan :
Memastikan bahwa rejimen obat diberikan sesuai dengan indikasi kliniknya,
mencegah atau meminimalkan efek yang merugikan akibat penggunaan
obat dan mengevaluasi kepatuhan pasien dalam mengikuti rejimen pengobatan.
Almatsier, Sunita. 2005. “Prinsip Dasar Ilmu Gizi”. Jakarta : Gramedia.Anonim, 2005,
Interaksi Obat. Ditjen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, departemen
Kesehatan RI, Jakarta
Adam, J.M.F. 2009. Dislipidemia. Dalam: Sudoyono, W.A., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., & Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 1926 - 1932.
Anonim, 1999, Laporan Penelitian Praktek Kerja Profesi di RSAB Harapan Kita
Anonim, 2005, Indek Keamanan Obat Pada Kehamilan dan Petunjuk Penggunaan Obat
dengan atau tanpa Makanan, Tugas Khusus Pelatihan Praktek Kerja Profesi
Apoteker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta
Anonim, 2004, Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-
KIA). Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat, Direktorat kesehatan Keluarga,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta
Anonim, 2004, Pedoman Pelayanan Farmasi (Tata Laksana Terapi Obat) Untuk Pasien
Geriatri. Ditjen Pelayanan Kesehatan dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta
Betty L. Lucas. 2004. Nutrition in Childhood. In: Manhan LK, Stump SE. Krause’s Food,
Nutrition,& Diet therapy 11th Ed. United States of America: Elsevier
Bhattacharya, J., Ji S.W., Lee, H.S., Cheong, Y.W., Yim, G.J., Min, J.S., Choi, Y.S. 2008.
Treatment of acidic coal mine drainage : design and operational challenges of
successive alkalinity producing system. Mine Water Environ .
Blouin, R.. dan Ensom, M.H.., 2006. Special Pharmacokinetic Consideration in the Obese,
dalam: Burton, M., E., Shaw, L., M., Schentag, J., J., Evans, W., E. (Eds.), Applied
Pharmacokinetics and Pharmacodynamics: Principles of Therapeutic Drug
Monitoring. Lippincott Williams&Wilkins, Philadelphia.
DepKes RI. 2001. Materi Konseling dan Kesehatan Gizi Bagi Usia Lanjut. Jakarta:
Direktorat bina gizi masyarakat
Depkes RI. 2006. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan.
Cetakan Ke-2. Jakarta: Dirjen Bina Gizi Masyarakat
Katzung B.G., Basic & Clinical Pharmacology, 6th ed. 1995, Prentice-Hall International Ltd.
Khan, I. A., M. U.Dahot, N. Seema, S. Bibi, andA. Khatri, 2008. Genetic Variability in
Plantlets Derived from Callus Culture in Sugarcane. Pak. J. Bot.
Kee J., dan Hayes E.R., 1993, Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan, Diterjemahkan
oleh Anugrah, penerbit buku kedokteran, EGC, Jakarta.
Milsap RL., W J. Jusko Pharmacokinetics in the infants, Environ Health Perspect 102(Suppl
11):000-000 (1994)
Notoatmodjo, S. 1993. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Riordan, Jan, EdD, RN, IBCLC, FAAN, 1996, Buku Saku Menyusui &
Laktasi, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta.
Ritschel, A. W. dan Kearns, L. G., 2004, Handbook of Basic Pharmacokinetics, Sixth
Edition, Washington, American Pharmacist Association.
Rubin, Peter, 1999, Peresepan Untuk Ibu Hamil, Penerbit Hipokrates, Jakarta
Supariasa, dkk. 2002. “Penilaian Status Gizi”. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sugianti, E., et al. 2009. Faktor Risiko terhadap Obesitas Sentral pada Orang Dewasa Di DKI
Jakarta. Indonesian Journal of Clinical Nutrition.
Sugondo, S., 2007. Obesitas. Dalam Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FKUI, 1919-1923.
6. Apa saja obat-obat yang termasuk kedalam indeks terapi sempit dan > 50%
tereliminasi melalui ginjal?
Obat dengan indeksi terapi sempit merupakan obat-obat dengan batas keamanan yang
sempit. Pada obat dengan indeks terapi sempit, perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan atau bahkan efek toksik. Oleh karena itu,
obat-obat ini memerlukan pengawasan pada level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis
untuk mencegah timbulnya efek toksik (Kang dan Lee, 2009).
Adapun contoh dari obat indeks terapi sempit diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Asam valproat
Selain memiliki banyak efek samping juga termasuk dalam golongan obat-obat dengan
indeks terapi sempit dengan kisar terapi 50-100 mg/L (Winter, 1994).
3. Warfarin
Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih dari 90% dari warfarin terikat pada albumin
plasma, yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume distribusinya kecil (ruang
albumin), jika albumin plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan meningkat,
oleh karenanya ia disebut obat dengan indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg,
2003).
4. Gentamisin
Gentamisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosida yang digunakan pada infeksi
berat yang disebabkan oleh bakteri negatif aerob terutama aktivitas bakterisidal terhadap
Pseudomonas aeroginosa dan spesies Enterobacter. Gentamisin memiliki kisaran terapi
sempit dengan rentang konsentrasi puncak 8-10 mg/L dan konsentrasi lembah 0,5- 2 mg/L
dimana perubahan sejumlah kecil dosis obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak
diinginkan atau bahkan menimbulkan efek toksik sehingga penggunaan gentamisin
memerlukan pengawasan level obat dalam plasma dan penyesuaian dosis untuk mencegah
timbulnya efek toksik (Kang dan Lee, 2009)
5. Digoxin
Digoxin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-2 ng/mL
darah. Digoksin diberikan pada penderita gangguan jantung, aritmia, dan gagal jantung.
Mekanisme dari obat ini adalah dengan membuat irama denyut jantung normal kembali,
serta meningkatkan dan menguatkan kerja jantung agar dapat kembali memompa dan
mengedarkan darah ke seluruh tubuh.
6. Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 10-20 μg/mL
darah. Fenitoin merupakan obat yang berkhasiat sebagai anti epilepsy atau anti kejang
yang biasa digunakan. Obat ini biasanya diberikan oleh petugas medis dengan cara
menusukan pada pembuluh darah jika sediannya injeksi.
7. Carbamazepin
Carbamazepin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 4-12
μg/mL darah. Obat ini juga memiliki khasiat untuk mengatasi epilepsy atau kejang dengan
cara menstabilkan aliran impuls saraf.
8. Amikasin
Amikasin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 20-30
μg/mL darah. Amikasin merupakan salah satu obat antibiotic yang biasa digunkan untuk
membunuh bakteri penyebab infeksi paru paru, dan saluran kemih.
9. Lidokain
Lidokain merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-5 μg/mL
darah. Lidokain merupakan salah satu obat golongan anatesi yang akan menghilang atau
memberhentikan sementara sensor nyeri atau rasa sakit pada tubuh dengan cara
menghambat sinyal tanda nyeri itu sendiri untuk masuk dan ditangkap oleh syaraf.
10. Litium
Litium merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 0.6-1.2 μg/mL
darah. Litium merupakan salah satu terapi untuk pasien pasien yang mengalami gangguan
mood (suasana hati), terutama pada pasien dengan gangguan bipolar dengan cara
meningkatkan aktivitas kimiawi pada saraf otak yang akan mengurangi frekuensi
perubahan suasana hati penderita.
11. Procainamid
Procainamid merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 4-10
μg/mL darah. Obat ini merupakan salah satu obat untuk mengatasi aritmia. Prociainamid
biasanya diberikan ketika pasien mengalami aritmia hebat atau dalam keadaan darurat dan
harus ditangani secepatnya, oleh karena itu penggunaan procainamide dibatasi.
12. Quinidin
Quinidin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 1-4 μg/mL
darah. Quinidine adalah juga salah satu obat untuk mengatasi aritmia. Mekanisme kerja
dari quinidine sendiri adalah memblokir aliran sinyal denyut jantung yang tidak beraturan
dan meningkatkan kerja jantung agar dapat kembali normal.
13. Tobramisin
Tobramisin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 5-10
μg/mL darah. Tobramisin adalah salah satu golongan obat antibiotic aminoglikosida yang
biasanya digunakan untuk mengobati infkesi bakteri pada mata. Tobramisin dapat
membunuh dan mencegah pertumbuhan bakteri pada tubuh.
14. Vankomisin
Vankomisin merupakan salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 20-40
μg/mL darah. Vankomisin adalah salah satu obat yang diindikasikan untuk mengobati
infeksi berat yang tidak dapat di atasi oleh obat antibiotic lain. Vankomisin juga dapat
membunuh dan mencegah pertumbuhan bakteri penyebab bakteri.
Terapi obat di pediatri
➢ Berfokus merancang dan meresepkan rejimen dosis optimal untuk mengobati atau
menyembuhkan penyakit bayi yang lahir setelah usia kehamilan 22 minggu (normal 38
hingga 40 minggu) untuk dewasa muda yang berusia 18 tahun.
➢ Insomnia, terutama pasien yang menderita penyakit kronis yang berasal dari masa
kanak-kanak atau secara genetik, misalnya, jantung bawaan penyakit atau fibrosis
kistik, pasien dapat dirawat oleh pemberi perawatan anak mereka sampai mereka
mencapai usia 21 hingga 25 tahun.
➢ Pematangan fisiologis ini memberikan tantangan unik bagi penyedia perawatan anak
sehubungan dengan penggunaan obat yang optimal dalam penambahan faktor bersama
oleh penyedia layanan kesehatan yang juga harus dipertimbangkan, seperti keadaan
penyakit, fungsi organ, pengaruh genetik, penggunaan intervensi seperti dialisis, dan
banyak lainnya.
➢ Usia adalah pengaruh utama pada disposisi obat. Perubahan substansial dalam fungsi
organ dan proses enzim yang terjadi sebelum dan sesudah kelahiran sampai selesai
pubertas memiliki pengaruh besar pada disposisi obat.
➢ Karena usia dan ukuran tubuh biasanya sangat berkorelasi, termasuk ukuran organ dan
kapasitas fungsional, usia merupakan indikator yang kuat disposisi obat. Waktu dan
besarnya pertumbuhan dan perkembangan fungsi fisiologis mendorong desain
farmakoterapi yang optimal dan respons pasien.
➢ Perhitungan dosis pada anak
N/20