DOSEN PENGAMPU : Dr. Aminah Dalimunthe, M.Si., Apt.,
PROGRAM STUDI MAGISTER FARMASI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UATARA 2020
Judul : Farmakogenetik, Paradigma Baru Dalam Terapi
Pendahuluan Farmakogenetik adalah salah satu cabang ilmu farmakologi yang mempelajari tentang adanya perbedaan respon obat yang diberikan kepada individu yang berbeda untukpenyakit yang sama. Perbedaan respon tersebut, kemudian dikaitkan dengan perbedaan susunan genetik antar individu. Sebagian besar perbedaan manusia dipengaruhi olehadanya perbedaan single nucleotide polymorphisms (SNPS) yang terjadi pada genomnya. Istilah farmakogenetik sebenarnya sudah mulai didengar sejak sekitar tahun 1997. Namun demikian,istilah ini seolah masih menjadi sesuatu yang eksklusif di kalangan para peneliti dan ahli farmasi. Penerapannya di dunia kedokteran dan farmasi masih sangat jarang kita temukan, terutama di Indonesia, karena memang hal ini masih dalam alur dan proses penelitian yang berkelanjutan sejak bertahun-tahun yang lalu. Secara umum, farmakogenetik adalah salah satu cabang farmakologi yang mempelajari tentang adanya perbedaan respon obat yang diberikan kepada individu yang berbeda untuk penyakit yang sama (Elie,2011) Perbedaan respon tersebut, kemudian dikaitkan dengan perbedaan susunan genetik antar individu. Pada dasarnya, hampir semua, yaitu mencapai 99,9% basa nukleotida (genom) manusia mempunyai kesamaan.Hanya sekitar 0,1 % nukleotida yang membedakan antar satu individu dengan individu lainnya. Namun dari yang sedikit itu, ternyata mempunyai dampak yang begitu besar, baik dari segi morfologi maupun fisiologi individu tersebut, termasuk responnya terhadap obat. Tujuan Memberikan pemahaman dasar tentang adanya suatu ilmu yang mengidentifikasi target kerja obat secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta terapi berdasarkan pendekatan genetik. Dengan berkembangnya ilmu dan pengetahuan masyarakat tentang farmakogenetik, diharapkan kedepannya ilmu pengobatan dapat lebih tepat sasaran dan mengurangi efek samping yang tidakdiinginkan. PERBEDAAN GEN MANUSIA Proyek pemetaan genom manusia telah berhasil dilakukan. Pada awalnya proyek ini dilakukan oleh kelompok rasisme yang bertujuan untuk membuktikan bahwa terdapat perbedaan gen tertentu dari ras yang satu dengan ras yang lain (Gray, 2009). Dalam laporan The International Human Genome Sequencing Consortium memperkirakan bahwa dari 3 milyar pasang basa genom manusia, terdapat sekitar 30.000-35.000 gen fungsional yang mengkode/menandai sintesis berbagai jenis protein(Lander et al, 2001 dan Venter et al, 2001). Tingginya frekuensi mutasi dan seleksi dari genom tersebut menyebabkan meningkatnya variasi genetik pada populasi manusia. Varians DNA pertama yang diidentifikasi adalah berdasarkan perbedaan panjang fragmen DNA yang terpotong oleh enzimendonuklease restriksi disebut dengan restrictionfragment length polymorphisms (RFLPS), yang kemudian disusul dengan ditemukannya variable number of tandem repeats (VNTRS). Perbedaan dalam varians DNA inilah yang kemudian banyak digunakan dalam penentuan sidik jari DNA dalam bidang forensik(Radji, 2005). Varlans DNA baru yang saat ini lebih banyak dipakai sebagai penanda (marker) adalah single nucleotide polymorphisms(SNP8). SNP terjadi bila satu jenis nukleotida dalam posisi tertentu tersubstitusi dengan jenis nukleotida lainnya pada individu lain. SNPS merupakan penanda utama dalam variasi genom antar individu manusia (Campbell et al, 2000). Di dalam 3 milyar pasang basa DNA dari genom manusia diperkirakan terdapat sekitar 1.6 juta-3,2 juta SNPS. Sebagian besar perbedaan manusia dipengaruhi oleh adanya perbedaan SNPS yang terjadi pada genomnya, dan hal ini seringkali dihubungkan dengan adanya perbedaan dalam Beberapa gen yang bertanggung jawab terhadap metabolisme obat adalah gen P450, yang menjandi ekspresi dari enzim-enzim metabolisme obat yaitu CYP2C19, CYPIA1, CYP206, CYP2C9,CYP2E1. Variasi struktur dan fungsi dari enzim-enzim tersebut dapat menyebabkan meningkatnya efek samping dari berbagai jenis obat termasuk antidepresan, amfetamin, dan beberapa obat golongan agonis reseptor beta adrenergik. Variasi allele pada enzim metabolisme obat lainnya yaitu thiopurinemethyl transferase (TPMT), dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Polimorfisme pada enzim sering kali juga dapat meningkatkan efek toksik dari obat dibandingkan dengan PERBEDAAN GENETIK TERHADAP RESPON OBAT Telah banyak kasus dilaporkan mengenai perbedaan respon obat yang diberikan antar individu untuk penyakit yang sama. Salah satu contoh adalah dalam pengobatan dengan isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (VWeber, 1997). Profil asetilasi terhadap isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis digolongkan dalam asetilator cepat dan lambat. Individu yang tergolong dalam inaktivator lambat ternyata aktivitas enzim N-acetyitransferase- nya sangat lambat. Perbedaan tersebut temyata disebabkan oleh adanya variasi genetik dari gen yang menjadi ekspresi dari enzim N- acetyitransferase. Bagi individu yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi polimorfik maka aktivitas enzim N-acetyltransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-acetyltransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika dan Eropa) 50%dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat,sedangkan untuk orang Jepang sebagian besar tergolong asetilator cepat (Mueller dan Young, 2001). Respon penggunaan 5-fluorouracil (5-FU)sebagai kemoterapi untuk kanker kolon ternyata sangat bervariasi. Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilatsintase. Perbedaan respon ini berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggung jawab terhadap ekspresi enzim timidilat sintase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat sintase bervariasi padaE setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU. Sedangkan penderita yang ekspresi MRNA TS tinggi ternyata tidak memperlihatkan respon pengobatan dengan kemoterapi ini (Leichman et al, 1997). Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan pemetaan genotipe dari gen TYMS daripenderita kanker yang akan diobati dengan 5- fluorouracil. Hal ini diperlukan untuk memprediksi respon obat danefek toksik yang tidak diinginkan akibat penggunaan 5-FU (Lecomte et al, 2004). Contoh penelitian lainnya adalah perbedaan respon penggunaan warfarin sebagai antikoagulan. Respon terhadap warfarin ternyata sangat bervariasi antarindividu. Penggunaan warfarin yang tidak tepat dosis seringkali menyebabkan perdarahan serius, Perbedaan respon terhadap warfarin yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP2C9, dan CYP3A5 sangat tergantung pada peran P-glikoprotein yang ekspresinya disandi oleh gen adenosine triphosphete-bindingcassette (ABCB1) atau juga disebut dengan multi dugresistance gene 1 (MDR1). Variasi genetik dari genABCB1 yang dianalisis dengan teknik minisequencingterhadap 210 penderita, menunjukkan balhwa pernilihandosis yang tepat untuk masing- masing varians genetiksangat penting untuk mendapatkan respon obat yang diinginkan (Wadelius et al, 2004). FARMAKOGENETIK SEBAGAI "INDIVIDUALIZEDTHERAPY Farmakogenetik diharapkan dapat yang berhubungan dengan reaksi samping suatu obat, karena famakogenetik mampu memberikan penanganan yang cepat secara spesifik berdasarkan susunan molekul individu. Dengankemampuannya memberikan penanganan yang tepat secara spesifik berdasarkan susunan molekul antar individu, farmakogenetik dikatakan sebagai individualized therapy karena memberikan solusi dan pendekatan yang berbeda bagi masing-masing individu(Elie et al, 2011), Mekanisme farmakogenetik dalam merespon suatu obat dapat diketahui dari serangkaian testterhadap enzim yang berperan dalam metabolisme obatatau dikenal sebagai 'drug metabolizing enzymes'(DMES). Walaupun farmakogenetik telah secara luasdikenal dan dipercaya sebagai solusi untukmenciptakan 'obat pribadi' yang efektif, namun padakenyataannya, aplikasi farmakogenetik masih sangat jarang diaplikasikan dalam dunia nyata. Gardinner danBegg pada tahun 2005 mengadakan suatu penelitianuntuk mengetahui apakah praktek farmakogenetik telahdilakukan secara klinis di Australia dan New Zealand.Penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan angket individu dan mengevaluasi apakah sebelumpemberian obat dilakukan test DMES terlebih dahulu.Hasil penelitian menunjukkan bahwa test DMES masih sangat jarang dilakukan secara klinis walaupun padadasarnya semua yang terlibat dalam hal ini (dokter,pasien maupun ahli farmasi) berpendapat bahwa farmakogenetik dapat memberikan keuntungan dalamkeamanan pasien (Gardinner dan Begg, 2005) Penelitian dalam bidang farmakogenetik hingga saat ini terus berkembang. Berbagai macam mekanisme farmakogenetik dan terapi individual diteliti dan dipelajarilebih detail, diantaranya meliputi obat-obat immunosuppressant, anti depresi, anti kanker dan antiinflamasi (Elie et al, 2011). Penelitian di bidang farmakogenetik maupun farmakogenomik diharapkan dapat menjadi salah satu solusi yang efektif untuk memberikan pengobatan yang efektif dan tepat sasaran serta menguraangi efek samping yng tidak diinginkan kepada setiap individu. TERIMAKASIH