Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh Faktor Genetik terhadap

Metabolisme Obat
Adanya variasi genetik menyebabkan perbedaan aktivitas dan kapasitas suatu enzim dalam
menjalankan fungsinya

Berdasarkan perbedaan sifat-sifat fisiknya, secara antropologis manusia


digolongkan dalam berbagai suku dan ras. Penggolongan ini didasarkan atas perbedaan
parameter morfologis yang antara lain terdiri dari warna kulit, warna dan tekstur rambut,
tinggi badan, bentuk raut muka, bentuk hidung, dan sebagainya yang membedakan suku-suku
tertentu dengan suku lainnya. Dalam pendekatan secara genomik, perbedaan-perbedaan
morfologis tersebut ternyata disebabkan oleh adanya beberapa gen yang bertanggung jawab
terhadap perbedaan fenotip dari masing-masing etnik.
Keterlibatan gen dan protein di dalam perjalanan penyakit dan respon tubuh terhadap obat
telah lama menjadi perhatian para praktisi baik dalam bidang kedokteran maupun dalam
bidang farmasi. Farmakogenomik merupakan salah satu bidang ilmu yang diyakini dapat
menjelaskan bahwa adanya perbedaan respon dari setiap individu terhadap obat yang
diberikan sangat erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-masing individu
tersebut. Semakin banyak informasi yang diketahui tentang peranan genetik dalam respon obat
khususnya pada tingkat molekuler akan membantu para peneliti dalam pengembangan obat.
Untuk itu dibutuhkan suatu perangkat yang mampu mengidentifikasi suatu markertertentu
yang dapat memperkirakan terjadinya respon negatif atau respon positif dalam pengembangan
obat yang didasarkan pada pendekatan teknologi genom tersebut.

Dalam ulasan berikut ini akan diuraikan tentang hubungan antara respon obat dengan
heterogenisitas genom manusia agar dapat digunakan dalam mengidentifikasi target kerja obat
secara molekuler sehingga dapat meningkatkan penemuan dan pengembangan obat serta
terapi berdasarkan pendekatan genetik.

Farmakogenetik merupakan sutau ilmu yang mempelajari tentang pengaruh faktor genetik
terhadap respon suatu obat dalam tubuh dapat diartikan pula sebagai ilmu yang
mengidentifikasi interaksi antara obat dan gen individual. Hal ini didasarkan atas terjadinya
perbedaan respon tiap individu bila mengkonsumsi suatu obat. Perbedaan tersebut dapat kita
tinjau dari efek yang ditimbulkannya apakah meningkatkan efek, menurun. Efek atau justru
cenderung meningkatkan toksisitas obat. Dasar pengetahuan tentang farmakogenetik dapat
digunkana untuk memodifikasi dalam penemuan obat maupun nasib obat dalam tubuh.
Farmakogenomik berakar dari farmakogenetik, suatu bidang ilmu yang telah dikenal lebih dari
50 tahun yang lalu. Farmakogenomik mencakup studi mengenai keseluruhan genom manusia,
sementara genetik merupakan studi mengenai gen individual. Farmakogenomik mengamati
respon obat terhadap keseluruhan genom, sedangkan farmakogenetik mengidentifikasi
interaksi antara obat dan gen individual. Farmakogenomik mencari korelasi yang belum
terungkap antara pola-pola genom dengan manifestasi klinis. Sebuah korelasi yang jika
terungkap akan dapat memberikan kemudahan bagi para dokter dan ahli farmasi untuk
membuat keputusan yang tepat dan rasional serta menurunkan angka probabilitas kesalahan
pemberian obat, kesalahan dosis maupun ADR (adverse drug reaction) karena penggunaan
metode trial-and-error.Metode trial-and-error dengan pendekatan one-drug-fits-all yang
dilakukan dalam penatalaksanaan pasien seringkali memberikan hasil yang tidak efektif dan
efisien, membuang waktu, tingginya biaya yang dikeluarkan, dan yang terpenting, gagalnya
terapi. Analisis farmakogenomik membantu mengidentifikasi pasien yang memetabolisme obat
tertentu secara abnormal. Penderita seperti ini umumnya memetabolisme suatu obat tertentu
dengan cepat sehingga tidak berefek terapi (terhadap sistem yang dituju). Respons yang
berbeda-beda inilah yang dipelajari dalam ilmu farmakogenomik dan farmakogenetik sebagai
bagian dari perkembangan ilmu biologi molekuler. Saat ini telah ditemukan dalam sejumlah
populasi di Indonesia yang tidak memiliki enzim tertentu di hatinya. Enzim ini berfungsi untuk
mengkonjugasikan obat tertentu. Berdasarkan hal itu, dianggap perlu adanya pemilihan
pengobatan secara khusus (fungsi farmakogenomik) dengan variasi 15-50% populasi. Meski
demikian, sistem pengobatan individual tidak hanya untuk kuratif, tetapi juga preventif.
Dengan data gen yang sudah dikumpulkan, bisa diketahui seseorang atau suatu populasi
berisiko atau tidak terhadap penyakit tertentu. Kalau ternyata dari data genetik tersebut
misalnya seseorang rentan terhadap penyakit jantung atau kanker usus besar, maka sejak dini
individu bersangkutan sudah bisa diingatkan agar mengatur pola makan maupun aktivitas
fisiknya. Di Amerika Serikat, menurut Penelope Manasco, wakil president First Genetik Trust,
Illinois yang menangani data genetik dan bioinformatik, saat ini efektifitas obat dalam
penatalaksanaan pasien berada dalam range 30-50%. Hal ini suatu hal yang mengkhawatirkan
untuk obat tertentu seperti berbagai macam antidepresi dimana pemilihan obat yang tepat
memakan waktu 6 -12 bulan. Dengan harapan ilmu farmakogenomik, probabilitas
keefektifitasan obat akan dapat meningkat menjadi 70-80%. Variasi genetik dapat timbul
karena adanya mutasi, delesi, inversi.
POLIMORFISME GENETIK

Polimorfisme genetik adalah adanya variasi genetik yang menyebabkan perbedaan aktivitas dan
kapasitas suatu enzim dalam menjalankan fungsinya. Adanya perbedaan ekspresi genetik
antara tiap individu akan dapat memberikan respon yang berbeda terhadap nasib obat dalam
tubuh. Hal ini dapat kita tinjau terutama dari aspek metabolisme tubuh. Proses metabolisme
terjadi oleh adanya bantuan enzim. Enzim merupakan suatu protein yang keberadaanya
merupakan hasil dari ekspresi genetik (sintesis protein). Kapasitas enzim yang dihasilkan tiap
individu berbeda-beda. Hal inilah yang salah satunya yang memacu terhadap perbedaan respon
yang tubuh terhadap pemakaian obat yang sama.

Pengaruh terjadinya perbedaan variasi genetik dapat dilihat secara rinci dalam gambaran
berikut.
Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa terjadinya perbedaan ekspresi genetik, maupun
keberadaan varian genetik secara langsung dapat mempengaruhi respon yang berbeda-beda
terhadap pemakaian obat.

Berikut ini beberapa contoh obat dan respon pemakiannya dalam populasi dengan gentika yang
berbeda:

Isoniazid

Isoniazid merupakan obat yang digunakan sebagai antituberkolosis. Studi terhadap kecepatan
asetilasi isoniazid (N-asetilasi) menunjukkan bahwa ada perbedaan kemampuan asetilasi dari
masing-masing individu yang berdasarkan faktor genetiknya, memiliki 2 tipe, yaitu tipe
asetilator cepat dan asetilator lambat. Reaksi asetilasi itu sendiri merupakan reaksi pada jalur
metabolisme obat yang mengandung gugus amina primer, seperti amina aromatik primer dan
amina alifatik skunder. Sedangkan fungsi dari reaksi asetilasi itu sendiri adalah untuk proses
detoksifikasi, serta mengubah obat/senyawa induk, menjadi senyawa metabolitnya yang
bersifat tidak aktif, lebih bersifat polar, agar selanjutnya mudah untuk dieksresikan. Aktivitas
dari obat INH sebagai antituberkolosis ini, sangat tergantung pada tingkat kecepatan reaksi
asetilasinya.

Pada isoniazid, terdapat perbedaan respon dari beberapa individu berupa perbedaan dalam
kecepatan proses asetilasinya terhadap obat tersebut (Weber, 1997). Profil asetilasi terhadap
isoniazid yang merupakan obat anti tuberkulosis ini digolongkan dalam asetilator cepat dan
lambat. Individu yang tergolong dalam asetilator lambat ternyata aktivitas enzim N-
asetilastransferase-nya sangat lambat. Perbedaan tersebut ternyata disebabkan oleh adanya
variasi genetik dari gen yang menyandi ekspresi dari enzim N-asetilastransferase. Bagi individu
yang mempunyai kelainan yang disebabkan oleh autosomal recessive allele, berupa variasi
polimorfik maka aktivitas enzim N-asetilastransferase menjadi lambat. Aktivitas enzim N-
asetilastransferase ini sangat bervariasi untuk setiap suku atau ras. Bagi orang barat (Amerika
dan Eropa) 50% dari penduduknya ternyata tergolong asetilator lambat, sedangkan untuk orang
Jepang dan Eskimo sebagian besar tergolong asetilator cepat.

Untuk individu yang memiliki tipe asetilator cepat, memiliki enzim N-asetilastransferase yang
jauh lebih besar daripada individu yang memiliki tipe asetilator lambat. Dengan demikian,
maka kemampuan untuk isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetilisoniazid yang
bersifat tidak aktif sangat cepat. Sehingga obat akan memiliki masa kerja (t ) yang pendek,
yaitu 45-80 menit. Dengan demikian, maka individu tipe asetilator cepat, memerlukan dosis
pengobatan yang lebih besar.

Hal ini akan berdampak kurang menguntungkan, karena untuk pengobatan tuberkolosis,
pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Dengan demikian, untuk
individu tipe asetilator cepat ini, pemberian INH harus dilakukan berulangkali karena
metabolisme INH-pun sangat cepat, sehingga INH cepat dapat menimbulkan efek setelah
diminum, namun cepat hilang pula efeknya (t yang pendek). Hal ini harus diperhatikan,
karena jika obat harus diberikan secara berulangkali, dengan frekuensi pemberian yang lebih
banyak daripada individu tipe asetilator lambat, maka kemungkinan terjadi resistensi akan
cukup tinggi. Sehingga dalam pengobatannya, pemberian dosis perlu diperhatikan untuk
individu yang memiliki tipe asetilator cepat agar tidak terjadi resistensi.

Jika isoniazid diberikan pada individu bertipe asetilator lambat, maka enzim N-
asetiltransferase yang dimiliki tidak sebanyak enzim N-asetilastransferase yang dihasilkan oleh
individu yang memiliki tipe asetilator cepat. Dengan demikian, maka kemampuan untuk
isoniazid dapat dieksresikan dalam bentuk asetil-isoniazid yang bersifat tidak aktif berlangsung
lambat. Sehingga INH akan memiliki masa kerja (t ) yang panjang yaitu 140-200 menit.
Dengan demikian, maka individu tipe asetilator lambat, memerlukan dosis pengobatan yang
rendah, agar tidak menimbulkan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH. Untuk
individu tipe asetilator lambat ini, pemberian INH tidak harus dilakukan berulangkali/frekuensi
yang tinggi, hal ini karena metabolisme INH berlangsung lambat, sehingga INH dapat
menimbulkan efek yang konstan dengan durasi yang lama setelah diminum.

Namun hal lain yang harus diperhatikan adalah bahwa karena obat dimetabolisme dalam
bentuk asetilisoniazid yang bersifat tidak aktif dengan kecepatan yang lambat, maka
kemungkinan peningkatan efek toksis yang ditimbulkan oleh INH lebih tinggi. Selain itu,
menurut studi yang telah dilakukan, individu bertipe aetilator lambat ini, memiliki
kemungkinan untuk menimbulkan efek samping, yaitu neuritis perifer yang lebih tinggi
daripada individu bertipe asetilator cepat.

Gambar

Gambar ? menunjukkan adanya polimorfisme genetik dalam metabolisme obat. Grafik


menunjukkan distribusi konsentrasi isoniazid dalam plasma pada 267 individu dalam 6 jam
setelah suatu dosis oral 9,8 mg/kg. Distribusi ini jelas bersifat bimodal. Individu dengan kadar
plasma lebih besar dari 2,5 mg/ml pada 6 jam tersebut dipandang sebagai asetilator lambat.

5-fluorouracil (5-FU)
Respon penggunaan 5-fluorouracil (5-FU) sebagai kemoterapi untuk kanker kolon ternyata
sangat bervariasi. Target enzim untuk 5-FU ini adalah timidilat sintetase. Perbedaan respon ini
berkaitan erat dengan adanya polimorfisme gen yang bertanggungjawab terhadap ekspresi
enzim timidilat sintetase (TS). Enzim ini sangat penting dalam sintesis DNA yaitu merubah
deoksiuridilat menjadi deoksitimidilat. Diketahui bahwa sekuen promoter dari gen timidilat
sintetase bervariasi pada setiap individu. Ekspresi yang rendah dari mRNA TS berhubungan
dengan meningkatnya kemungkinan sembuh dari penderita kanker yang diobati dengan 5-FU.
Sedangkan penderita yang ekspresi mRNA TS tinggi ternyata tidak memperlihatkan respon
pengobatan dengan kemoterapi ini (Leichman et al., 1997,). Hasil penelitian serupa
ditunjukkan pula pada uji klinik penggunaan 5-FU ini terhadap penderita kanker lambung
(Lenzet al., 1996). Genotipe dari gen TYMS, yang menyandi ekspresi enzim timidilat
sintetase,ditentukan dengan mengamplifikasi gen/DNA dengan teknik PCR yang diisolasi dari 90
penderita kanker kolon yang mendapatkan pengobatan 5-FU. Hasilnya menunjukkan bahwa gen
TYMS ternyata bersifat polimorfisme, mempunyai double (2R) atau triple(3R) tandem
repeatspada 28-bp promoter gen, dan terdapat variasi 6-bp pada 3-untranslated region (3-
UTR). Hasil ini menunjukkan betapa pentingnya melakukan pemetaan genotipe dari gen TYMS
dari penderita kanker yang akan diobati dengan 5-fluorouracil. Hal ini diperlukan untuk
memprediksi respon obat dan efek toksik yang tidak diinginkan akibat penggunaan 5-FU
(Lecomte et al., 2004, Pullarkat et al., 2001).
Warfarin
Pemetaan genotipe sangat membantu dalam penentuan dosis obat yang diberikan,
memprediksi kemungkinan munculnya efek toksik suatu pengobatan, dan memungkinkan untuk
melakukan pengobatan secara individual berdasarkan sifat genotipe seseorang. Contoh
penelitian lainnya adalah perbedaan respon penggunaan warfarin sebagai antikoagulan.
Respon terhadap warfarin ternyata sangat bervariasi antar individu. Penggunaan warfarin yang
tidak tepat dosis seringkali menyebabkan perdarahan serius. Perbedaan respon terhadap
warfarin yang dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP2C9, CYP3A5, sangat
tergantung pada peran P-glikoprotein yang ekspresinya disandi oleh gen adenosine
triphosphate-binding cassette, ABCB1 atau juga disebut dengan multi dug resistance gene 1,
MDR1. Variasi genetik dari gen ABCB1 yang dianalisis dengan teknik minisequencing terhadap
210 penderita, menunjukkan bahwa pemilihan dosis yang tepat untuk masingmasing varian
genetik sangat penting untuk mendapatkan respon obat yang diinginkan (Wadelius et al.,
2004).

Tabel. Contoh nasib obat dalam tubuh kaitannya dengan faktor genetik

Mekanisme
Obat Respon Kerja

Asetilator cepat:Respon
, toksisitas
oleh
derivate N-
Isoniazid, AsetilAsetilator lambat; Perbedaan
hidralazin,prokaina aktivitas enzim
mid, sulfametazin, Toksisitas meningkat N-asetil
dapson transferase

Perbedaan
Hidroksilator salah satu
ekstensif;ResponHIdroksil sitokrom P450
ator lambat hati yang
Debrisokuin, mengoksidasi
metaprolol, Respon naik debrisokuin /
lidokain, perheksilin spartein

Hidroksilator Perbedaan
ekstensif;ResponHIdroksil salah satu
ator lambat sitokrom P450
S-mefenitoin, hati yang
diazepam, Respon naik mengoksidasi
omeprazol S-mefenitoin

Aktivitas
psedukolineste
Suksinilkolin Apnea meningkat rse meningkat
Primakuin,
klorokuin, kuinin,
kuinidin, sulfa,
sulfon, Hemolisis pada Defisiensi
nitrofurantion, pemberian bersama obat- glukosa-6-
koramfenikol, obat yang bersifat fosfat
aspirin, PAS oksidator dehidrogenase

Referensi

Wadelius M, Srlin K, Wallerman O, Karlsson J, Yue QY, Magnusson PK, Wadelius C, Melhus H.
Warfarin sensitivity related to CYP2C9, CYP3A5, ABCB1 (MDR1) and other
factors.Pharmacogenomics J. 2004;4(1):40-8.
Wadelius M, Chen LY, Eriksson N, Bumpstead S, Ghori J, Wadelius C, Bentley D, McGinnis R,
Deloukas P. Association of warfarin dose with genes involved in its action and metabolism.Hum
Genet. 2007 Mar;121(1):23-34. Epub 2006 Oct 18.
Lecomte T, Ferraz JM, Zinzindohou F, Loriot MA, Tregouet DA, Landi B, Berger A, Cugnenc PH,
Jian R, Beaune P, Laurent-Puig P. Thymidylate synthase gene polymorphism predicts toxicity in
colorectal cancer patients receiving 5-fluorouracil-based chemotherapy. Clin Cancer Res. 2004
Sep 1;10(17):5880-8.

Anda mungkin juga menyukai