Anda di halaman 1dari 123

MAKALAH PSIKOLOGI ABNORMAL

SLEEP-WAKE DISORDERS

Dosen Pengampu: Rodiatul Hasanah Siregar, M.Si, Psikolog

Pertemuan ke-10 (Rabu, 25 November 2020)

Disusun Oleh:

Kelompok 7

Kelas A

Rahmatsyah Zaini Harahap 181301061

Syafani Dian Antika Tarigan 181301069

Veronica Sudiono 181301073

Chintia Valencia 181301082

Sheila Regina Tiza 181301089

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SEMESTER GANJIL 2020

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

SLEEP WAKE DISORDER ............................................................................. iii

BAB I DEFINISI ................................................................................................ 1

BAB II ETIOLOGI ............................................................................................ 8

BAB III KRITERIA DIAGNOSTIK............................................................... 20

BAB IV DIAGNOSA BANDING .................................................................... 85

BAB V TREATMENT ................................................................................... 102

BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 116

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 117

ii
Sleep Wake Disorder

Klasifikasi DSM-5 untuk sleep-wake disorder dimaksudkan untuk


kesehatan mental umum dan dokter medis. Gangguan ini terdiri dari 10 kelompok
yang terdiri dari insomnia disorder, hypersomjiolence disorder, narcolepsy,
gangguan tidur terkait pernapasan, circadian rhythm sleep-wake disorders, non-
rapid eye movement (NREM) sleep arousal disorders, gangguan mimpi buruk,
rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder, sindrom kaki gelisah, dan
gangguan tidur akibat zat / obat. Individu dengan gangguan ini biasanya datang
dengan keluhan ketidakpuasan tidur-bangun tentang kualitas, waktu, dan jumlah
tidur (Association, 2013).
Gangguan tidur sering kali disertai dengan depresi, kecemasan, dan
perubahan kognitif yang harus ditangani dalam perencanaan dan manajemen
perawatan yang akan dilakukan. Selain itu, gangguan tidur yang terus-menerus
(baik insomnia dan perasaan mengantuk yang berlebihan) merupakan faktor risiko
yang dapat menyebabkan perkembangan selanjutnya dari penyakit mental dan
gangguan penggunaan zat tertentu. Hal itu juga mungkin mewakili sekumpulan
gejala dari suatu episode penyakit mental sehingga diperlukan intervensi dini untuk
memperkecil kemungkinan munculnya suatu penyakit mental (Association, 2013).
Diagnosis banding untuk sleep-wake disorder memerlukan pendekatan
multidimensional dengan mempertimbangkan kondisi medis dan neurologis yang
mungkin terjadi bersamaan dengan masalah ini. Gangguan tidur memberikan
indikator yang berguna secara klinis dari kondisi medis dan neurologis yang sering
kali muncul bersamaan dengan depresi dan gangguan mental umum lainnya. Yang
cukup terlihat di antara komorbiditas ini adalah gangguan tidur terkait pernapasan,
gangguan jantung dan paru-paru (misalnya, gagal jantung kongestif, penyakit paru
obstruktif kronik), gangguan neurodegeneratif (misalnya, penyakit Alzheimer), dan
gangguan sistem muskuloskeletal (misalnya osteoartritis) . Gangguan ini tidak
hanya mengganggu tidur tetapi juga dapat memburuk selama tidur (misalnya, apnea
berkepanjangan atau aritmia elektrokardiografik selama tidur REM; gairah
membingungkan pada pasien dengan penyakit demensia; kejang pada orang dengan
kejang parsial kompleks). Gangguan perilaku tidur REM sering menjadi indikator

iii
awal gangguan neurodegeneratif (alpha synucleinopathies) seperti penyakit
Parkinson. Hal terkait diagnosis banding, komorbiditas klinis, dan perencanaan
perawatan sleep-wake disorder termasuk dalam DSM-V (Association, 2013).
Pendekatan yang diambil untuk klasifikasi sleep wake disorders di DSM-5
dapat dipahami dalam konteks "lumping versus splitting." DSM-IV berupaya untuk
menyederhanakan klasifikasi sleep wake disorders. Di sisi lain, International
Classification of Sleep Disorders, 2nd (ICSD-2) menguraikan berbagai subtipe
diagnostik. DSM-IV disiapkan untuk digunakan oleh kesehatan mental dan dokter
umum yang tidak ahli dalam pengobatan sleep-wake disorder. ICSD-2
mencerminkan ilmu dan pendapat komunitas spesialis sleep disorder dan disiapkan
untuk digunakan oleh para spesialis itu sendiri (Association, 2013).

iv
BAB I
DEFINISI
A. Insomnia Disorder
Insomnia adalah suatu kondisi dimana seseorang kesulitan untuk tidur.
Kondisi ini bisa meliputi kesulitan tidur, masalah tidur, sering terbangun di
malam hari, dan bangun terlalu pagi. Kondisi ini mengakibatkan perasaan tidak
segar pada siang hari, mengantuk, dan kesulitan dalam melakukan aktivitas
sehari – hari serta kebutuhan tidur yang tidak terpenuhi dengan baik (Respir,
2014). Seseorang dikatakan terlalu pagi bangun bila waktu tidurnya kurang dari
6,5 jam (Association, 2013).
Berdasarkan estimasi populasi 1 dari 3 orang dewasa melaporkan gejala
insomnia, 10%-15% merasakan gangguan pada siang hari, dan 6%-10%
merasakan gejala yang berhubungan dengan gangguan insomnia. Gangguan
insomnia sangat lazim pada semua gangguan tidur. Insomnia lebih lazim terjadi
pada wanita daripada laki-laki dengan perbandingan 1.44: 1. Walaupun
insomnia dapat terjadi sendiri, namun menurut observasi insomnia
berkomordibiti dengan kondisi medis dan gangguan mental yaitu 40%-50%
individu dengan insomnia juga mengalami gangguan mental (Association,
2013).

B. Hypersomnolence Disorder
Hypersomnolence didefinisikan oleh International Classification of
Sleep Disorders (ICSD)-3 sebagai ketidakmampuan untuk tetap terjaga dan
waspada selama major waking episodes, yang mengakibatkan periods of
irrepressible need untuk tidur atau unintended lapses ke dalam keadaan
mengantuk atau tidur (Attarian, 2014).
Sekitar 5% -10% orang yang berkonsultasi di sleep disorders clinic
dengan keluhan kantuk di siang hari didiagnosis memiliki gangguan
hypersomnolence. Hypersomnolence terjadi dengan frekuensi yang relatif
sama pada pria dan wanita (Association, 2013).

1
C. Narcolepsy
Narcolepsy adalah suatu kondisi yang dicirkan dengan 3 kelompok
gejala: excessive daytime sleepiness (EDS), episode tidur yang tidak
tertahankan, bertambah atau berkurangnya perilaku otomatis; cataplexy
(hilangnya tekanan otot secara tiba-tiba yang dipicu oleh emosi kuat seperti
tertawa, tidur REM yang tidak normal, kelumpuhan tidur, dan halusinasi
hipnagogis; tidur nokturnal yang terganggu dan parasomnia. Gejala utama
yaitu serangan kantuk/ tidur berlebihan pada siang hari dan cataplexy (Billiard,
2008)
Narcolepsy-cataplexy mempengaruhi 0.02%-0.04% dari seluruh
populasi. Narcolepsy mempengaruhi kedua gender, dengan perbedaan sedikit
lebih besar pada pria (Association, 2013).

D. Breathing-Related Sleep Disorder


1. Obstructive Sleep Apnea Hypopnea
Obstructive sleep apnea hypopnea adalah gangguan pernapasan terkait
tidur yang dicirikan dengan pengempisan saluran pernapasan atas secara
berulang selama tidur, yang menyebabkan fragmentasi tidur, desaturasi
oksigen, dan kantuk di siang hari yang berlebihan (Chang, Chen, & Du, 2019).
Obstructive sleep apnea hypopnea mempengaruhi 1%-2% anak-anak,
2%-15% dewasa menengah, dan lebih dari 20% individu yang lebih tua. Dalam
masyarakat umum, tingkat prevalensi sleep apnea hypopnea yang tidak
terdiagnosis mungkin sangat tinggi pada orang tua. Karena gangguan ini
berhubungan dengan obesitas, peningkatan tingkat obesitas cenderung disertai
dengan peningkatan prevalensi gangguan ini. Prevalensi mungkin sangat tinggi
di antara laki-laki, orang dewasa yang lebih tua, dan kelompok ras / etnis
tertentu, namun tidak ada perbedaan gender diantara anak-anak pra-pubertas
(Association, 2013).

2
2. Central Sleep Apnea
Peningkatan indeks central apnea (yaitu, jumlah apnea sentral per jam
tidur) mencerminkan peningkatan keparahan central sleep apnea. Kontinuitas
dan kualitas tidur mungkin sangat terganggu dengan penurunan tahap restoratif
dari tidur non-rapid eye movement (REM) (yaitu, penurunan slow-wave
sleep[tahap N3]). Pada individu dengan pernapasan CheyneStokes yang parah,
polanya juga dapat diamati selama terjaga istirahat, sebuah temuan yang
dianggap sebagai penanda prognostik yang buruk untuk kematian (Association,
2013).
Prevalensi dari idiopathic central sleep apnea tidak diketahui tetapi
dianggap jarang. Prevalensi pernapasan Cheyne-Stokes tinggi pada individu
dengan fraksi ejeksi ventrikel jantung yang tertekan. Pada individu dengan
fraksi ejeksi kurang dari 45%, prevalensinya telah dilaporkan menjadi 20%
atau lebih tinggi. Rasio prevalensi laki-laki-perempuan bahkan lebih condong
ke laki-laki daripada untuk hipopnea apnea tidur obstruktif. Prevalensi
meningkat seiring bertambahnya usia, dan kebanyakan pasien berusia lebih
dari 60 tahun. Pernapasan Cheyne-Stokes terjadi pada sekitar 20% orang
dengan stroke akut. Central sleep apnea komorbid dengan penggunaan opioid
terjadi pada sekitar 30% orang yang menggunakan opioid kronis untuk nyeri
nonmalignant dan juga pada individu yang menerima terapi rumatan metadon
(Association, 2013).

3. Sleep-Related Hypoventilation
Individu dengan sleep-related hypoventilation dapat datang dengan
keluhan insomnia atau kantuk terkait tidur. Idiopathic sleep-related
hypoventilation pada orang dewasa sangat jarang terjadi. Prevalensi
hipoventilasi alveolar sentral kongenital tidak diketahui, tetapi kelainan ini
jarang terjadi. sleep-related hypoventilation komorbid (yaitu, komorbid
hipoventilasi dengan kondisi lain, seperti penyakit paru obstruktif kronik
[COPD], gangguan neuromuskuler, atau obesitas) lebih sering terjadi.

3
E. Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders
1. Delayed sleep phase type
Delayed sleep phase type: Pola awal tidur dan waktu terbangun yang
tertunda, dengan ketidakmampuan untuk tertidur dan terbangun pada waktu
sebelumnya yang diinginkan atau dapat diterima secara konvensional.
Prevalensi tipe fase delayed sleep pada populasi umum sekitar 0,17%
tetapi tampaknya lebih besar dari 7% pada remaja. Meskipun prevalensi tipe
fase delayed sleep keluarga belum ditetapkan, riwayat keluarga fase delayed
sleep ditemukan pada individu dengan tipe fase delayed sleep (Association,
2013).

2. Advanced sleep phase type


Advanced sleep phase type: Pola waktu awal dan waktu bangun
advance sleep, dengan ketidakmampuan untuk tetap terjaga atau tertidur
hingga waktu tidur atau bangun yang diinginkan atau dapat diterima secara
konvensional.
Estimasi prevalensi tipe fase advanced sleep adalah sekitar 1% pada
orang dewasa paruh baya. Waktu tidur-bangun dan fase sirkadian meningkat
pada individu yang lebih tua, mungkin menyebabkan peningkatan prevalensi
pada populasi ini (Association, 2013).
Jenis fase advanced sleep dapat didokumentasikan dengan "famihal"
yang ditentukan. Meskipun prevalensi tipe fase advance sleep familial belum
ditetapkan, riwayat keluarga fase advance sleep terdapat pada individu dengan
tipe fase advanced sleep. Dalam jenis ini, mutasi spesifik menunjukkan mode
pewarisan autosom dominan. Dalam bentuk familial, onset gejala dapat terjadi
lebih awal (selama masa kanak-kanak dan awal masa dewasa), perjalanannya
menetap, dan keparahan gejala dapat meningkat seiring bertambahnya usia.

3. Irregular sleep-wake type


Irregular sleep-wake type: Pola tidur-bangun yang tidak teratur untuk
sementara waktu, sehingga waktu tidur dan bangun bervariasi selama periode

4
24 jam. Prevalensi tipe irregular sleep-wake pada populasi umum tidak
diketahui (Association, 2013).

4. Non-24-Hour Sleep-Wake Type


Individu dengan Non–24-Hour Sleep-Wake Disorder (N24SWD),
mengalami kesulitan untuk mengikuti 24-hour light-dark cycle, mereka tidak
dapat memasukkan endogenous circadian rhythm mereka ke dalam 24-hour
environment. Akibatnya, circadian rhythm of sleep and wake biasanya
tertunda setiap hari, mengakibatkan gejala sulit tidur, kantuk berlebihan, atau
bahkan keduanya (Roneil G. Malkani, 2018).
Selama periode gejala, waktu kecenderungan tidur tinggi secara
bertahap bergeser, sehingga pasien mengalami hipersomnolence pada siang
hari dan insomnia pada malam hari. Kebanyakan individu dengan N24SWD
buta total, tetapi gangguan ini juga bisa terjadi pada individu dengan
penglihatan (R. Robert Auger, 2015).

5. Shift Work Type


Shift Work Sleep Disorder (SWSD) adalah suatu kondisi yang
diakibatkan oleh shift kerja yang tidak normal. Individu yang mengalami
SWSD biasanya mengeluh sulit tidur, kantuk berlebih dan kelelahan yang
mengganggu fungsi secara keseluruhan (Jehan, 2017).

F. Parasomnias
Parasomia adalah gangguan yang ditandai oleh perilaku abnormal,
pengalaman, atau peristiwa fisiologis yang terjadi sehubungan dengan tidur,
tahap tidur tertentu, atau transisi tidur-bangun (sleep-wake transitions).
Parasomnia yang paling umum adalah non-rapid eye movement (NREM) sleep
arousal disorders, dan rapid eye movement (REM) sleep behavior disorder —
mewakili campuran terjaga (wakefulness) dan NREM dan terjaga
(wakefulness) dan tidur REM, secara berurutan. Kondisi ini berfungsi sebagai

5
pengingat bahwa tidur dan terjaga tidaklah eksklusif dan bahwa tidur belum
tentu merupakan fenomena seluruh otak secara global (Association, 2013)

1. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders


Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders adalah peristiwa
bangun dari tidur yang tidak sempurna dan terjadi secara berulang, biasanya
terjadi selama sepertiga pertama dari peristiwa tidur utama (Association, 2013).

2. Nightmare Disorder
Gangguan mimpi buruk ditentukan oleh kejadian mimpi buruk yang
berulang kali dan menyebabkan kesulitan atau gangguan yang signifikan
secara klinis di bidang fungsi sosial, pekerjaan atau hal penting lainnya, yang
tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya penyalahgunaan obat
atau pengobatan) (Gieselmann, 2019).

3. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder (RBD)


Gangguan perilaku tidur Rapid Eye Movement (REM) adalah
gangguan tidur di mana individu secara fisik menunjukkan mimpi yang jelas
dan tidak menyenangkan dengan suara vokal yang sering kali disertai dengan
kekerasan selama tidur REM, sehingga individu sering merefleksikan respon
motorik terhadap isi mimpi yang penuh dengan kekerasan atau mencoba
melarikan diri dari situasi yang mengancam tersebut dengan membuat gerakan
lengan dan kaki yang tiba-tiba (Association, 2013).
Prevalensi gangguan perilaku tidur REM memiliki populasi umum
sekitar 0,38% - 0,5%. Prevalensi pada pasien dengan gangguan kejiwaan dapat
lebih besar, kemungkinan terkait dengan obat yang diresepkan untuk gangguan
kejiwaan tersebut (Association, 2013).

G. Restless Legs Syndrome (RLS)


Restless Legs Syndrome (RLS) adalah gangguan tidur sensorimotor
neurologis yang ditandai oleh dorongan tak terkendali untuk menggerakkan

6
kaki, biasanya karena sensasi yang tidak nyaman. Ini biasanya terjadi pada sore
atau malam hari saat individu sedang dalam posisi istarahat seperti duduk atau
berbaring. Menggerakkan kaki dirasa dapat meredakan perasaan tidak
menyenangkan tersebut meskipun hanya untuk sementara (Association, 2013).
Tingkat prevalensi RLS sangat bervariasi, tetapi berkisar 2% hingga
7,2% jika menggunakan kriteria yang lebih spesifik. Ketika frekuensi gejala
terjadi setidaknya tiga kali seminggu dengan distres sedang atau berat, angka
prevalensinya adalah 1.6%; ketika frekuensi gejala minimal satu kali per
minggu, tingkat prevalensinya 4,5%. Wanita 1,5-2 kali lebih mungkin
mengalami RLS dibandingkan pria. RLS juga meningkat seiring bertambahnya
usia. Prevalensi RLS mungkin lebih rendah pada populasi Asia (Association,
2013).

H. Substance/Medication-Induced Sleep Disorder


Substance/Medication-Induced Sleep Disorder merupakan gangguan
tidur yang ditandai dengan perubahan pola tidur yang parah sehingga
memerlukan perhatian klinis independen, yang disebabkan oleh penggunaan
alkohol, obat-obatan seperti narkoba, atau konsumsi obat tertentu. Kasarnya,
salah satu efek dari meminum alkohol, penggunaan narkoba, atau konsumsi
obat-obatan lainnya adalah mengalami masalah tidur entah itu pada saat ingin
tidur, sedang tertidur, kantuk berlebihan di siang hari, atau perilaku yang tidak
biasa saat tidur (Association, 2013).

7
BAB II

ETIOLOGI

A. Insomnia Disorder
1. Risk and Prognostic Factors
Biasanya awal mulai insomnia disebabkan oleh peristiwa tertentu atau stres
harian yang tidak terlalu parah tetapi lebih kronis. Kebanyakan orang kembali
ke pola tidur normal setelah peristiwa pemicu awal menghilang, tetapi pada
orang yang rentan terhadap insomnia, gangguan tidus ini akan berlanjut.
Faktor-faktor yang memperpanjang permasalahan ini seperti kebiasaan tidur
yang buruk dan jadwal tidur yang tidak teratur menjadi salah satu penyebab
masalah insomnia (Association, 2013).
 Temperamental. Kepribadian atau gaya kognitif cemas, peningkatan
kecenderungan gairah, dan kecenderungan untuk menekan emosi
meningkatkan kerentanan terhadap insomnia.
 Lingkungan. Kebisingan, cahaya, suhu tinggi atau rendah yang tidak
nyaman, dan ketinggian juga dapat meningkatkan kerentanan terhadap
insomnia
 Genetik dan Fisiologis. Wanita dan orang lanjut usia dikaitkan dengan
peningkatan kerentanan terhadap insomnia. Prevalensi insomnia lebih
tinggi di antara kembar monozigot dibandingkan dengan kembar
dizygotic.
 Course Modifiers. Praktik tidur yang buruk (e.g. kelebihana
mengonsumsi kafein, pola tidur yang tidak tetap) merupakan salah satu
faktor penyebab insomnia.

2. Gender-Reiated Diagnostic issues


Insomnia lebih rentan terjadi pada wanita dibandingkan pada
pria. Dengan penyebab pertama yang sering dikaitkan dengan kelahiran
anak baru atau pun karena menopause (Association, 2013).

8
B. Hypersomnolence Disorder
1. Risk and Prognostic Factors
 Lingkungan. Hypersomnolence dapat meningkat sementara oleh stres
psikologis dan penggunaan alkohol, tetapi mereka belum termasuk
sebagai environmental precipitating factors. Infeksi virus, seperti
pneumonia HIV, infeksi mononukleosis, dan sindrom Guillain-Barré,
juga dapat berevolusi menjadi hypersomnolence dalam beberapa bulan
setelah infeksi. Hypersomnolence juga dapat muncul dalam 6-18 bulan
setelah head trauma.
 Genetik dan Fisiologis. Hypersomnolence mungkin familiar dengan
autosomal dominant mode of inheritance (Association, 2013).

C. Narcolepsy
1. Risk and Prognostic Factors
 Temperamental. Parasomnia, seperti tidur berjalan, bruxism,
gangguan perilaku tidur REM, dan enuresis umum terjadi pada individu
yang mengembangkan narcolepsy. Mereka juga membutuhkan tidur
yang lebih banyak daripada anggota keluarga lain.
 Lingkungan. Infeksi tenggorokan streptokokus grup A, influenza, atau
infeksi musim dingin lainnya dapat memicu proses autoimun,
memunculkan narcolepsy beberapa bulan berikutnya. Cedera kepala,
ddan perubahan pola tidur mendadak juga dapat menjadi pemicu
tambahan.
 Genetik dan Fisiologis. Prevalensi narkolepsi adalah l%-2% pada
kerabat tingkat pertama. Narkolepsi sangat terkait dengan DQB1
*06:02. Polimorfisme dalam gen alfa reseptor sel T dan gen modulasi
kekebalan tubuh lainnya juga memodulasi sedikit resiko (Association,
2013).

D. Breathing-Related Sleep Disorder


1. Obstructive Sleep Apnea Hypopnea

9
a. Risk and Prognostic Factors
 Genetik dan Fisiologis. Faktor resiko utama obstructive sleep apnea
hypopnea adalah obesitas dan gender laki-laki. Yang lainnya termasuk
riwayat keluarga yang positif sleep apnea, sindrom genetik yang
mengurangi jalur saluran pernapasan (misalnya Down’s syndrome),
menopause, dan berbagai sindrom endrokin. Dibandingkan dengan
wanita pramenopausal, laki-laki lebih beresiko, mungkin karena
pengaruh hormon seks pada kontrol ventilator dan distribusi lemak
tubuh, serta karena perbedaan gender dalam struktur saluran
pernapasan. Obat-obatan untuk gangguan mental dan kondisi medis
yang cenderung menginduksi somnolence dapat memperburuk gejala
apnea jika tidak dikelola dengan hati-hati (Association, 2013).

2. Central Sleep Apnea


a. Risk and Prognostic Factors
 Genetik dan fisiologis. Pernapasan Cheyne-Stokes sering terjadi pada
individu dengan gagal jantung. Adanya fibrilasi atrium semakin
meningkatkan risiko, seperti halnya usia yang lebih tua dan jenis
kelamin laki-laki. Pernapasan Cheyne-Stokes juga terlihat berhubungan
dengan stroke akut dan kemungkinan gagal ginjal. Ketidakstabilan
ventilasi yang mendasari pengaturan gagal jantung telah dikaitkan
dengan peningkatan kemosensitivitas ventilasi dan hiperventilasi
karena kemacetan pembuluh darah paru dan keterlambatan sirkulasi.
Central sleep apnea terlihat pada individu yang menggunakan opioid
kerja panjang (Association, 2013).

3. Sleep-Related Hypoventilation
a. Risk and Prognostic Factors
 Lingkungan. Penggerak ventilasi dapat dikurangi pada individu yang
menggunakan depresan sistem saraf pusat, termasuk benzodiazepin,
opiat, dan alkohol.

10
 Genetik dan fisiologis. Idiopatik sleep-related hypoventilation
dikaitkan dengan berkurangnya dorongan ventilasi karena reaksi
kemoresponsif yang tumpul terhadap CO2 (penurunan dorongan
pernapasan; yaitu, "tidak bernapas"), yang mencerminkan defisit
neurologis yang mendasari di pusat yang mengatur kontrol ventilasi.
Lebih umum, sleep-related hypoventilation merupakan komorbiditas
dengan kondisi medis lain, seperti gangguan paru, gangguan
neuromuskuler atau dinding dada, atau hipotiroidisme, atau dengan
penggunaan obat-obatan (misalnya, benzodiazepin, opiat). Dalam
kondisi ini, hipoventilasi mungkin merupakan konsekuensi dari
peningkatan kerja pernapasan dan / atau gangguan fungsi otot
pernapasan (yaitu, "tidak dapat bernapas") atau penurunan dorongan
pernapasan (yaitu, "tidak dapat bernapas"). Gangguan neuromuskuler
mempengaruhi pernapasan melalui gangguan persarafan motorik
pernapasan atau fungsi otot pernapasan. Mereka termasuk kondisi
seperti sklerosis lateral amiotrofik, cedera tulang belakang,
kelumpuhan diafragma, miastenia gravis, sindrom Lambert-Eaton,
miopati toksik atau metabolik, sindrom postpolio, dan sindrom
Charcot-Marie-Tooth. Hipoventilasi alveolus sentral kongenital adalah
kelainan genetik yang disebabkan mutasi PH0X2B, gen yang penting
untuk perkembangan sistem saraf otonom embrionik dan turunan krista
saraf. Anak-anak dengan hipoventilasi alveolus sentral kongenital
menunjukkan respons ventilasi yang tumpul terhadap hiperkapnia,
terutama pada tidur dengan gerakan mata yang tidak cepat (Association,
2013).

b. Gender-Related Diagnostic Issues (Etiologi)


Distribusi gender untuk sleep-related hypoventilation yang terjadi
sehubungan dengan kondisi komorbiditas mencerminkan distribusi gender
dari kondisi komorbiditas. Misalnya, COPD lebih sering terjadi pada pria
dan dengan bertambahnya usia (Association, 2013).

11
E. Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders
1. Delayed Sleep Phase Type
a. Risk and Prognostic Factors
 Genetik dan fisiologis. Faktor predisposisi mungkin termasuk periode
sirkadian yang lebih lama dari rata-rata, perubahan sensitivitas cahaya,
dan gangguan tidur homeostatis. Beberapa individu dengan tipe fase
delayed sleep mungkin hipersensitif terhadap cahaya malam, yang
dapat berfungsi sebagai sinyal penundaan ke jam sirkadian, atau mereka
mungkin hiposensitif terhadap cahaya pagi sehingga efek pemajuan
fase berkurang. Faktor genetik dapat berperan dalam patogenesis
bentuk familial dan sporadis dari tipe fase delayed sleep, termasuk
mutasi pada gen sirkadian (misalnya PER3, CKle) (Association, 2013).

2. Advanced Sleep Phase Type


a. Risk and Prognostic Factors
 Lingkungan. Penurunan paparan cahaya sore / sore hari dan / atau
paparan cahaya pagi karena bangun pagi dapat meningkatkan risiko tipe
fase advance sleep dengan meningkatkan ritme sirkadian. Dengan pergi
tidur lebih awal, individu-individu ini tidak terpapar cahaya di wilayah
fase penundaan kurva, yang mengakibatkan fase lanjutan berlanjut.
Pada tipe fase advance sleep familial, pemendekan periode sirkadian
endogen dapat menyebabkan fase advance sleep, meskipun periode
sirkadian tampaknya tidak menurun secara sistematis seiring
bertambahnya usia (Association, 2013).
 Genetik dan fisiologis. Jenis fase advance sleep telah menunjukkan
mode pewarisan autosom dominan, termasuk mutasi gen PER2 yang
menyebabkan hipofosforilasi protein PER2 dan mutasi missense pada
CK (Association, 2013)L

12
b. Culture-Reiated Diagnostic issues (Etiologi)
Orang Afrika-Amerika mungkin memiliki periode sirkadian yang
lebih pendek dan fase yang besarnya lebih besar ke cahaya daripada orang
Kaukasia, mungkin meningkatkan risiko pengembangan tipe fase advance
sleep pada populasi ini (Association, 2013).

3. Irregular Sleep-Wake Type


a. Risk and Prognostic Factors
 Temperamental. Gangguan neurodegeneratif, seperti penyakit
Alzheimer, penyakit Parkinson, dan penyakit Huntington, serta
gangguan perkembangan saraf pada anak-anak meningkatkan risiko
jenis irregular sleep-wake.
 Lingkungan. Penurunan paparan cahaya lingkungan dan aktivitas
siang hari terstruktur dapat dikaitkan dengan ritme sirkadian amplitudo
rendah. Individu yang dirawat di rumah sakit sangat rentan terhadap
rangsangan eksternal yang lemah, dan bahkan di luar pengaturan rumah
sakit, individu dengan gangguan neurokognitif mayor (yaitu, demensia)
terpapar cahaya yang secara signifikan kurang terang (Association,
2013).

4. Non-24-Hour Sleep-Wake Type


a. Risk and Prognostic Factors
 Lingkungan. Pada individu dengan penglihatan, penurunan eksposur
atau kepekaan terhadap cahaya dan aktivitas sosial dan fisik dapat
berkontribusi pada ritme sirkadian yang berjalan bebas (free-running
circadian rhythm). Dengan frekuensi tinggi gangguan mental yang
melibatkan isolasi sosial dan kasus non-24 hour sleep-wake type yang
berkembang setelah perubahan dalam kebiasaan tidur (misalnya, kerja
shift malam, kehilangan pekerjaan), faktor perilaku yang
dikombinasikan dengan kecenderungan fisiologis dapat memicu dan
melanggengkan gangguan ini pada individudengan penglihatan.

13
Individu yang dirawat di rumah sakit dengan gangguan neurologis dan
psikiatris dapat menjadi tidak peka terhadap isyarat sosial, membuat
mereka cenderung mengembangkan non-24 hour sleep-wake type.
 Genetik dan fisiologis. Kebutaan merupakan faktor risiko untuk non-
24 hour sleep-wake type. Non-24 hour sleep-wake type telah dikaitkan
dengan cedera otak traumatis (Association, 2013).

5. Shift Work Type


a. Risk and Prognostic Factors
 Temperamental. Faktor predisposisi termasuk disposisi tipe pagi
(morning-type disposition), kebutuhan untuk waktu tidur yang lama
(yaitu, lebih dari 8 jam) agar merasa cukup istirahat, dan persaingan
sosial yang kuat dan kebutuhan domestik yang bersaing kuat (misalnya,
orang tua dari anak kecil). Individu yang mampu berkomitmen pada
gaya hidup nokturnal, dengan sedikit tuntutan persaingan dengan
orientasi siang hari (competing day-oriented), tampak berisiko lebih
rendah untuk jenis kerja shift.
 Genetik dan fisiologis. Karena pekerja shift lebih mungkin mengalami
obesitas daripada pekerja harian, apnea tidur obstruktif dapat muncul
dan dapat memperburuk gejala (Association, 2013).

F. Parasomnias
1. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders
a. Risk and Prognostic Factors
 Environmental. Penggunaan obat penenang, kurang tidur, gangguan
jadwal tidur-bangun, kelelahan, dan stres fisik atau emosional
meningkatkan kemungkinan peristiwa. Demam dan kurang tidur dapat
meningkatkan frekuensi NREM sleep arousal disorders.
 Genetik dan fisiologis. Riwayat keluarga untuk sleepwalking atau
sleep terrors dapat terjadi pada hingga 80% orang yang sleepwalking.
Risiko sleepwalking semakin meningkat (hingga 60% dari keturunan)

14
bila kedua orang tua memiliki riwayat gangguan tersebut. Individu
dengan sleep terrors seringkali memiliki riwayat keluarga yang positif
baik sleepwalking dan sleep terrors, dengan peningkatan 10 kali lipat
dalam prevalensi gangguan di antara kerabat biologis tingkat pertama.
Sleep terrors lebih sering terjadi pada kembar monozigot dibandingkan
dengan kembar dizygotic. Mode pewarisan yang tepat tidak diketahui
(Association, 2013).

b. Gender-Reiated Diagnostic issues


Kekerasan atau aktivitas seksual selama peristiwa sleepwalking
lebih mungkin terjadi pada orang dewasa. Makan selama peristiwa
sleepwalking lebih sering terlihat pada wanita. Sleepwalking terjadi lebih
sering pada wanita selama masa kanak-kanak tetapi lebih sering terjadi pada
pria selama masa dewasa. Anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa
memberikan ingatan yang lebih rinci tentang gambar-gambar menakutkan
yang terkait dengan sleep terrors daripada anak-anak yang lebih kecil, yang
lebih mungkin mengalami amnesia total atau hanya melaporkan rasa takut
yang samar-samar. Di antara anak-anak, sleep terrors lebih sering terjadi
pada pria dibandingkan wanita. Di antara orang dewasa, rasio jenis
kelaminnya seimbang (Association, 2013).

2. Nightmare Disorder
a. Risk and Prognostic Factors
 Temperamental. Individu yang mengalami mimpi buruk melaporkan
lebih sering kejadian buruk masa lalu, tetapi tidak selalu trauma, dan
sering menunjukkan gangguan kepribadian atau diagnosis psikiatri.
 Environmental. Kekurangan atau fragmentasi tidur, dan jadwal tidur-
bangun yang tidak teratur yang mengubah waktu, intensitas, atau
kuantitas tidur REM, dapat membuat individu berisiko mengalami
mimpi buruk.

15
 Genetic and physiological. Studi kembar telah mengidentifikasi efek
genetik pada disposisi mimpi buruk dan kejadian bersamaan dengan
parasit lain (misalnya, sleeptalking).
 Course modifiers. Perilaku adaptif orang tua di samping tempat tidur,
seperti menenangkan anak setelah mimpi buruk, dapat melindungi dari
berkembangnya mimpi buruk kronis (Association, 2013).

b. Culture-Reiated Diagnostic issues


Signifikansi yang dikaitkan dengan mimpi buruk dapat bervariasi
menurut budaya, dan kepekaan terhadap keyakinan semacam itu dapat
memfasilitasi pengungkapan (Association, 2013)

c. Gender-Reiated Diagnostic issues


Wanita dewasa melaporkan mengalami mimpi buruk lebih sering
daripada pria dewasa. Konten mimpi buruk berbeda menurut jenis kelamin,
dengan wanita dewasa cenderung melaporkan tema pelecehan seksual atau
orang yang dicintai menghilang / sekarat, dan pria dewasa cenderung
melaporkan tema agresi fisik atau perang / teror (Association, 2013).

3. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder


a. Risk and Prognostic Factors
 Genetik dan Fisiologis. Banyak pengobatan yang diresepkan secara
luas, termasuk tricyclic anti-depressants, inhibitor reuptake serotonin
selektif, inhibitor reuptake serotonin-norepinefrin, dan beta-blocker,
dapat menyebabkan bukti polisomnografi dari tidur REM tanpa atonia
dan gangguan perilaku tidur REM yang sebenarnya. Tidak diketahui
apakah obat-obatan itu sendiri yang menyebabkan gangguan perilaku
tidur REM, atau hanya menjadi pemicu dari kecenderungan yang sudah
mendasarinya (Association, 2013).

16
G. Restless Legs Syndrome (RLS)
1. Risk and Prognostic Factors
 Genetik dan fisiologis. Faktor predisposisi termasuk jenis kelamin
perempuan, usia lanjut, varian risiko genetik, dan riwayat keluarga
RLS. Faktor pemicu juga sering terjadi pada waktu yang singkat,
misalnya saat kekurangan zat besi, sebagian besar individu dapat
melanjutkan pola tidur normal setelah peristiwa pemicu menghilang.
Varian risiko genetik juga berperan dalam RLS sekunder untuk
gangguan seperti uremia, menunjukkan bahwa individu dengan
kerentanan genetik memiliki risiko lebih untuk mengembangkan RLS.
RLS memiliki komponen kekeluargaan yang kuat (Association, 2013).
Ada jalur patofisiologis tertentu yang memicu RLS. Studi
asosiasi seluruh genom telah menemukan bahwa RLS secara signifikan
terkait dengan varian genetik umum di daerah intronik atau intergenik
di MEISl, BTBD9, dan ΜΛΡ2Κ5 pada kromosom 2p, 6p, dan 15q.
Hubungan ketiga varian ini dengan RLS telah direplikasi secara
independen. BTBD9 memberikan risiko yang sangat besar dan
berlebihan (80%) bahkan jika hanya dari satu pihak. Karena tingginya
frekuensi varian ini pada individu keturunan Eropa, populasi yang
dikaitkan dengan risiko (PAR) mendekati 50%. Risiko dari MEISl dan
BTBD9 lebih jarang terjadi pada individu keturunan Afrika atau Asia,
sehingga mungkin risiko terjadinya RLS pada populasi ini akan lebih
rendah (Association, 2013).
Mekanisme patofisiologis pada RLS juga termasuk gangguan
pada sistem dopaminergik sentral dan gangguan metabolisme zat besi.
Sistem opiat endogen juga mungkin terlibat. Efek treatmen dari obat
dopaminergik (terutama D2 dan D3) memberikan dukungan lebih lanjut
bahwa RLS didasarkan pada disfungsional jalur dopaminergik pusat.
Pengobatan yang efektif dari RLS juga telah terbukti secara signifikan
mengurangi gejala depresi, namun antidepresan serotonergik dapat

17
menginduksi atau meningkatkan RLS pada beberapa individu
(Association, 2013).

2. Gender Related Diagnostic Issues


Meskipun prevalensi RLS lebih umum terjadi pada wanita
dibandingkan pada pria, sesungguhnya tidak ada perbedaan diagnostik
menurut jenis kelamin. Namun, prevalensi RLS selama kehamilan dua
sampai tiga kali lebih besar dari pada populasi umum. RLS terkait dengan
puncak kehamilan selama trimester ketiga dalam banyak kasus dapat
membaik atau hilang segera setelah melahirkan. Walaupun terdapat
perbedaan gender pada prevalensi, namun wanita nulipara dan laki-laki
dengan usia yang sama memiliki risiko yang sama untuk terkena RLS
(Association, 2013).

H. Substance/Medication-Induced Sleep Disorder


1. Risk and Prognostic Factors
Faktor risiko dan prognostik yang terlibat dalam penyalahgunaan,
ketergantungan zat atau penggunaan obat itu normatif bagi kelompok usia
tertentu. Mereka relevan dan kemungkinan besar dapat mengalami
gangguan tidur (Association, 2013).
 Tempramental. Pada individu yang rentan, penggunaan zat umumnya
memicu atau disertai dengan insomnia. Dengan demikian, adanya
insomnia sebagai respons terhadap stres, perubahan lingkungan atau
waktu tidur dapat mewakili risiko berkembangnya
substance/medication induced sleep disorder. Risiko serupa mungkin
juga muncul pada individu dengan gangguan tidur lainnya (misalnya,
individu yang terkena hipersomnia yang menggunakan stimulan)
(Association, 2013).

18
2. Culture-Related Diagnostic Issues
Konsumsi zat, termasuk obat yang diresepkan, sebagian mungkin
bergantung pada latar belakang budaya serta regulasi dari obat-obatan lokal
tertentu (Association, 2013).

3. Gender-Related Diagnostic Issues


Prevalensi khusus gender (wanita lebih banyak terkena dibanding
pria dengan rasio sekitar 2:1) muncul untuk pola konsumsi beberapa zat
(misalnya alkohol). Jumlah dan durasi yang sama dalam mengonsumsi zat
tertentu dapat menghasilkan gangguan tidur yang sangat berbeda pada pria
dan wanita, misalnya berdasarkan perbedaan gender dalam fungsi hati
(hepatitis) (Association, 2013).

19
BAB III
KRITERIA DIAGNOSTIK

A. Insomnia Disorder
1. Kriteria Diagnostik
A. Keluhan utama yaitu mengenai ketidakpuasan akan kuantitas atau
kualitas tidur yang diasosiasikan dengan satu atau lebih gejala berikut
(Association, 2013) :
1. Kesulitan memulai tidur. (Pada anak-anak, mungkin berbentuk
sebagai kesulitan memulai tidur tanpa intervensi/campur tangan
pengasuh.)
2. Kesulitan mengatur tidur, ditandai dengan sering terbangun atau
masalah kesulitan untuk kembali tidur setelah terbangun. (Pada
anak-anak, mungkin dimanifestasikan sebagai kesulitan untuk
kembali tidur tanpa intervensi pengasuh).
3. Terbangun terlalu pagi dan tidak mampu untuk kembali tidur.
B. Gangguan tidur menyebabkan distress secara klinis atau penurunan
dalam sosial, pekerjaan, pendidikan, perilaku, atau fungsi lain yang
termasuk penting.
C. Kesulitan tidur terjadi paling sedikit 3 malam/minggu.
D. Kesulitan tidur sudah berlangsung paling sedikit 3 bulan.
E. Kesulitan tidur terjadi meskipun ada kesempatan untuk tidur yang
cukup.
F. Insomnia tidak dijelaskan dengan lebih baik dan tidak terjadi secara
eksklusif selama sleep-wake disorder lain (mis., narkolepsi, breathing-
related sleep disorder, circadian rhythm sleep-wake disorder,
parasomnia).
G. Insomnia tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (mis.,
penyalahgunaan obat obatan, penggunaan obat tertentu).
H. Gangguan jiwa dan kondisi medis yang muncul secara bersamaan tidak
cukup menjelaskan penyebab utama keluhan insomnia.

20
Spesifikasi (Association, 2013) :
1. Episodic: bertahan setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari 3 bulan.
2. Persistent: Gejala bertahan 3 bulan atau lebih.
3. Recurrent: Dua (atau lebih) episode dalam kurun waktu 1 tahun.
Insomnia akut dan jangka pendek (misalnya gejala berlangsung
kurang dari 3 bulan tetapi jika tidak memenuhi semua kriteria berkenaan
dengan frekuensi, intensitas, tekanan, dan / atau penurunan nilai) harus
diberi kode sebagai gangguan insomnia tertentu lainnya (Association,
2013).
Diagnosis gangguan insomnia diberikan baik apakah hal itu terjadi
sebagai suatu kondisi yang independen maupun komorbid dengan gangguan
mental lain (misalnya major depressive disorder). Kondisi medis (misalnya,
nyeri), atau gangguan tidur lainnya (misalnya, gangguan tidur terkait
pernapasan). Insomnia juga dapat bermanifestasi sebagai gambaran klinis
dari gangguan mental yang lebih dominan. Insomnia bahkan dapat menjadi
faktor resiko untuk depresi (Association, 2013).

2. Diagnostic Features
Fitur penting dalam gangguan insomnia adalah ketidakpuasan
terhadap kuantitas dan kualitas tidur dengan keluhan kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur. Keluhan disertai dengan distress atau penurunan
pada sosial, pekerjaan, pendidikan, perilaku dan fungsi penting lainnya.
Gangguan tidur dapat terjadi secara independen atau menyertai gangguan
mental atau kondisi medis lainnya (Association, 2013).
Manifestasi yang berbeda dari insomnia dapat terjadi pada waktu
yang berbeda dari periode tidur. Jenis keluhan tidur sering bervariasi dari
waktu ke waktu. Sleep maintenance insomnia melibatkan kondisi
terbangun yang sering atau berkepanjangan sepanjang malam. Late
insomnia melibatkan kondisi terbangun lebih awal dan kesulitan untuk
kembali tertidur. Nonrestorative sleep, sebuah keluhan mengenai
rendahnya kualitas tidur, individu tidak dapat beristirahat walaupun

21
memiliki waktu yang cukup. Jika keluhan mengenai nonrestorative sleep
muncul secara terpisah namun semua karakteristik diagnostik berhubungan
dengan frekuensi, durasi, distress siang hari, dan penurunan nilai bergabung,
sebuah diagnosa mengenai gangguan insomnia yang lain atau gangguan
insomnia yang tidak spesifik harus dibuat (Association, 2013).
Selain dari frekuensi dan kriteria durasi yang diperlukan untuk
membuat diagnosis, kriteria tambahan berguna untuk mengukur tingkat
keparahan insomnia. Kriteria kuantitatif ini, disediakan sebagai ilustrasi
saja. Misalnya, kesulitan memulai tidur didefinisikan oleh latensi tidur
subjektif lebih dari 20-30 menit, dan kesulitan mempertahankan tidur
didefinisikan oleh waktu subjektif bangun setelah tertidur lebih dari 20-30
menit. Meskipun tidak ada definisi standar dari bangun pagi, gejala ini
melibatkan kesadaran setidaknya 30 menit sebelum waktu yang dijadwalkan
dan sebelum total waktu tidur mencapai 6,5 jam (Association, 2013).
Gangguan Insomnia juga melibatkan gangguan di siang hari juga
kesulitan tidur di malam hari. Hal ini termasuk kelelahan dan perasaan
mengantuk di siang hari. Hal yang lebih umum terjadi pada individu yang
lebih tua dan ketika insomnia komorbid dengan kondisi medis lain
(misalnya, nyeri kronis) atau gangguan tidur (misalnya, sleep apnea).
Penurunan dalam kinerja kognitif mungkin termasuk kesulitan dengan
perhatian, konsentrasi dan memori, dan bahkan dengan melakukan
keterampilan manual sederhana. Gangguan mood biasanya digambarkan
sebagai iritabilitas atau mood lability dan kurang umum muncul sebagai
gejala kecemasan atau depresi (Association, 2013).

3. Associated Features Supporting Diagnosis


Insomnia sering kali diasosiasikan dengan gairah fisiologis dan
kognitif serta faktor kondisi yang menyebabkan terganggunya tidur.
Kesulitan untuk tidur dapat menyebabkan lingkaran setan: semakin individu
berusaha untuk tidur, semakin menyebabkan frustrasi dan semakin
mengganggu tidur. Oleh karena itu perhatian dan upaya berlebihan untuk

22
tidur yang mengesampingkan mekanisme awal tidur yang normal dapat
berkontribusi pada perkembangan insomnia. Individu dengan insomnia
persisten akhirnya juga bisa menyebabkan kebiasaan tidur yang maladaptif
seperti menghabiskan waktu berlebihan di tempat tidur; mengikuti jadwal
tidur yang tidak menentu; tidur siang dan juga masalah kognisi misalnya
takut sulit tidur; kekhawatiran gangguan siang hari dan pemantauan jam
terus menerus. Berada dalam kegiatan tertentu di lingkungan di mana
individu sering menghabiskan malam tanpa tidur dapat semakin
memperparah kondisi dan memperpanjang masalah kesulitan tidur
(Association, 2013).
Insomnia dapat disertai dengan berbagai keluhan dan gejala di
siang hari, termasuk kelelahan, penurunan energi, dan gangguan suasana
hati. Selain itu gejala kecemasan atau depresi yang tidak memenuhi kriteria
untuk gangguan mental tertentu juga mungkin muncul (Association, 2013).

4. Development and Course


Gejala awal dari insomnia dapat terjadi kapan saja sepanjang hidup
akan tetapi episode pertamanya biasa terjadi pada awal masa dewasa. Gejala
awal sangat jarang terjadi pada masa anak-anak atau remaja. Pada wanita
awal insomnia mungkin dapat terjadi pada saat memasuki masa menopause
disertai gejala lain (misalnya hotflashes). Gejala insomnia juga dapat terjadi
di usia lanjut dan berkaitan dengan kondisi kesehatan lainnya (Association,
2013).
Insomnia dapat bersifat situasional, tetap, atau berulang. Insomnia
situasional biasanya berlangsung beberapa hari atau beberapa minggu dan
biasanya diasosiasikan dengan peristiwa dalam hidup atau perubahan yang
cepat pada jadwal tidur. Dalam beberapa kasus, insomnia mungkin juga
memiliki gejala tanpa faktor penyebab yang dapat diidentifikasi. Kasus
insomnia bisa juga bersifat episodik, episodik yang berulang dari kesulitan
tidur dapat diasosiasikan dengan kejadian yang penuh tekanan. Tingkat
kronik antara 45%-75% berlangsung selama lebih dari 1-7 tahun.

23
Walaupaun kronik, pola tidur dan karakteristik insomnia dapat berubah-
ubah (Association, 2013).
Jenis gejala insomnia dapat berubah sesuai dengan usia. Kesulitan
memulai tidur lebih umum terjadi pada orang dewasa awal dan masalah
mempertahankan tidur terjadi lebih sering di antara orang-orang usia
menengah dan usia lanjut. Bukan tidak mungkin hal ini terjadi pada anak
dan remaja. Jika seorang anak tidak belajar untuk mulai tidur atau kembali
tertidur setelah bangun tanpa orang tua atau pengasuhnya, masalah ini juga
dapat terjadi (Association, 2013).

5. Comorbidity
Insomnia biasanya disertai oleh banyak kondisi medis seperti
diabetes, serangan jantung, penyakit gangguan pencernaan kronis, radang
sendi, nyeri tulang/otot, dan kondisi sakit kronis lainnya. Hubungan yang
muncul adalah: insomnia meningkatkan risiko kondisi medis dan kondisi
medis meningkatkan risiko insomnia (Association, 2013).
Individu dengan gangguan insomnia biasanya memiliki gangguan
lain sebagai penyebab atau pun akibat dari insomnia itu seperti gangguan
mental, bipolar khusus, depresi, dan gangguan kecemasan. Individu yang
insomnia bisa salah menggunakan obat atau alkohol untuk membantu
mereka tidur pada malam hari, anxiolytics untuk melawan tekanan dan
kecemasan, serta kafein atau stimulan lainnya untuk melawan kelelahan
yang terjadi karena kurangnya waktu tidur (Association, 2013).

B. Hypersomnolence Disorder
1. Kriteria Diagnostik
A. Self-reported excessive sleepiness (hypersomnolence) meskipun
periode main sleep berlangsung setidaknya 7 jam, dengan setidaknya
satu dari symptoms berikut:
1. Periode tidur berulang atau kembali tidur pada hari yang sama.

24
2. Episode prolonged main sleep lebih dari 9 jam per hari yang tidak
restoratif (unrefreshing).
3. Kesulitan sepenuhnya bangun setelah terbangun secara tiba-tiba.
B. Hypersomnolence terjadi setidaknya tiga kali per minggu dalam waktu
paling sedikit 3 bulan.
C. Hypersomnolence disertai dengan tekanan signifikan atau penurunan
pada kognitif, sosial, pekerjaan, dan fungsi penting lainnya.
D. Hypersomnolence tidak dijelaskan dengan lebih baik dan tidak terjadi
exclusively selama munculnya sleep disorder lainnya seperti
narcolepsy, breathing-related sleep disorder, circadian rhythm sleep-
wake disorder, or a parasomnia.
E. Hypersomnolence tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari suatu zat.
F. Gangguan mental dan medis yang berdampingan tidak cukup
menjelaskan keluhan yang dominan dari hypersomnolence
(Association, 2013).
Spesifikasi Tingkat Keparahan :
 Mild: Kesulitan mempertahankan daytime alertness 1-2 hari/minggu.
 Moderate: Kesulitan mempertahankan daytime alertness 3-4
hari/minggu.
 Severe: Kesulitan mempertahankan daytime alertness 5-7
hari/minggu.
Daytime alertness ditunjukkan dengan terjadinya beberapa serangan
kantuk yang tak tertahankan pada saat tertentu, misalnya, saat tidak aktif,
mengemudi, mengunjungi teman, atau bekerja. Daytime alertness ini
menunjukkan seberapa parah tingkat hypersomnolence disorder yang
dialami orang tersebut (Association, 2013).

2. Diagnostic Features
Hypersomnolence adalah istilah diagnostik yang luas dan
mencakup gejala jumlah tidur yang berlebihan, penurunan kualitas
wakefulness (yaitu, kesulitan bangun atau ketidakmampuan untuk tetap

25
terjaga ketika diperlukan), dan sleep inertia (yaitu, periode kinerja yang
terganggu dan penurunan kewaspadaan setelah bangun dari episode tidur
reguler atau dari tidur siang). Orang dengan gangguan ini tertidur dengan
cepat dan memiliki efisiensi tidur yang baik. Mereka mungkin mengalami
kesulitan bangun di pagi hari, terkadang muncul bingung, agresif, atau
ataxic. Masalah kewaspadaan yang berkepanjangan pada masa transisi dari
tidur ke bangun biasa disebut dengan sleep inertia. Hal ini juga bisa terjadi
saat bangun dari tidur siang hari. Selama periode tersebut, individu kelihatan
sudah bangun akan tetapi ada penurunan motoric dexterity, perilaku yang
mungkin sangat tidak pantas, dan defisit memori, disorientasi waktu dan
ruang, serta perasaan grogi. Periode ini dapat berlangsung beberapa menit
hingga berjam-jam (Association, 2013).
Kebutuhan yang terus-menerus untuk tidur dapat mengarah pada
automatic behavior (biasanya sangat rutin, dengan kompleksitas rendah)
yang dilakukan individu dengan sedikit atau tanpa subsequent recall. Pada
beberapa individu dengan gangguan hypersomnolence, major sleep episode
(untuk sebagian besar individu, nocturnal sleep) memiliki durasi 9 jam atau
lebih. Namun, tidurnya sering tidak restoratif dan diikuti oleh kesulitan
bangun di pagi hari. Sedangkan dalam kasus lain, rasa kantuk yang
berlebihan dapat menyebabkan seseorang tidur siang tanpa disengaja
(Association, 2013).

3. Associated Features Supporting Diagnosis


Nonrestorative sleep, automatic behavior, kesulitan bangun di pagi
hari, dan sleep inertia walaupun sering terjadi pada gangguan
hypersomnolence tetapi juga dapat dilihat dalam berbagai kondisi lainnya,
termasuk narcolepsy. Sekitar 80% individu dengan hypersomnolence
menyatakan bahwa tidur mereka tidak restoratif, dan banyak yang kesulitan
bangun di pagi hari. Individu dengan hypersomnolence sering tampak
mengantuk dan bahkan tertidur di ruang tunggu dokter (Association, 2013).

26
Sekelompok individu dengan gangguan hypersomnolence
memiliki riwayat hypersomnolence pada keluarganya dan juga memiliki
gejala disfungsi sistem saraf otonom, termasuk recurrent vascular-type
headaches, reaktivitas sistem vaskular perifer (fenomena Raynaud), dan
pingsan (Association, 2013).

4. Diagnostic Markers
Beberapa orang dengan kelainan hypersomnolence mengalami
peningkatan jumlah slow-wave sleep. Multiple sleep latency test
mendokumentasikan kecenderungan tidur, biasanya ditunjukkan dengan
nilai latensi tidur rata-rata kurang dari 8 menit. Pada orang dengan gangguan
hypersomnolence, latensi tidur rata-rata biasanya kurang dari 10 menit dan
sering 8 menit atau kurang. Sleep-onset REM periods dapat terjadi tetapi
terjadi kurang dari dua kali dalam empat hingga lima peluang tidur siang
(Association, 2013).

5. Development and Course


Gangguan hypersomnolence memiliki bersifat persisten dan
perkembangannya bertahap dalam keparahan gejala. Pada kebanyakan
kasus ekstrim sleep episodes dapat bertahan hingga 20 jam. Namun, rata-
rata durasi tidur malam hari adalah sekitar 9,5 jam. Awakenings sangat sulit
dan disertai dengan sleep inertia episodes di hampir 40% kasus.
Hypersomnolence banyak terjadi pada kasus di akhir masa remaja atau awal
masa dewasa, dengan usia rata-rata pada saat gejala muncul saat 17-24
tahun. Individu dengan gangguan hypersomnolence didiagnosis rata-rata,
10-15 tahun setelah munculnya gejala pertama (Association, 2013).

6. Comorbidity
Hypersomnolence dapat dikaitkan dengan depressive disorders,
bipolar disorders (selama depressive episode), dan major depressive
disorder, dengan seasonal pattern. Banyak orang dengan gangguan

27
hypersomnolence memiliki gejala depresi yang dapat memenuhi kriteria
untuk depressive disorder. Orang-orang dengan kelainan hypersomnolence
juga berisiko mengalami substance-related disorders, khususnya yang
berkaitan dengan self-medication dengan stimulan.. Kondisi
neurodegeneratif, seperti penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, dan
multiple system atrophy, juga dapat dikaitkan dengan hypersomnolence
(Association, 2013).

C. Narcolepsy
1. Kriteria Diagnostik
A. Periode berulang dari kebutuhan yang tidak tertahankan untuk tidur,
jatuh tertidur, atau tidur siang yang terjadi dalam hari yang sama. Ini
terjadi setidaknya 3 kali per minggu selama 3 bulan terakhir.
B. Adanya salah satu dari hal berikut:
1. Episode katapleks, didefinisikan sebagai (a) atau (b), terjadi
setidaknya beberapa kali dalam sebulan.
a. Pada individu dengan penyakit lama, episode singkat (detik
hingga menit) kehilangan tekanan otot tiba-tiba dengan
kesadaran terjaga yang ditimbulkan oleh tawa atau lelucon.
b. Pada anak-anak atau individu dengan waktu 6 bulan setelah
onset, meringis secara spontan atau episode rahang terbuka
dengan lidah menjulur atau hipotonia global tanpa pemicu
emosional yang jelas.
2. Kekurangan hipokretin, sebagaimana diukur menggunakan cairan
cerebrospinal (CSF) nilai imunoreaktivitas hypocretin-1 (kurang
dari atau sama dengan ⅓ nilai yang diperoleh pada subjek yang
sehat yang diuji menggunakan alat tes yang sama, atau kurang dari
atau sama dengan 110 pg/mL. Tingkat rendah CSF hypocretin -1
tidak boleh diamati dalam konteks cedera otak akut, peradangan,
atau infeksi.

28
3. Polisomnografi tidur nokturnal menunjukkan tidur Rapid Eye
Movement (REM) kurang dari atau sama dengan 15 menit, atau tes
latensi tidur menunjukkan latensi tidur kurang dari atau sama
dengan 8 menit dan 2 atau lebih periode tidur REM.

Tentukan apakah:
 Narcolepsy tanpa cataplexy tapi dengan hypocretin deficiency:
Kriteria B yaitu tingkat CSF hypocretin-1 rendah dan
polisomnografi positif/ tes latensi tidur terpenuhi, tapi tidak ada
cataplexy. (kriteria B1 tidak terpenuhi)
 Narcolepsy dengan cataplexy tapi tanpa hypocretin deficiency:
Kriteria B yaitu cataplexy dan polisomnografi positif/ tes latensi
tidur terpenuhi, tapi tingkat CSF hypocretin-1 normal (kriteria B2
tidak terpenuhi)
 Autosomal dominant cerebellar ataxia, deafness, dan narcolepsy:
Subtipe ini disebabkan oleh mutasi exon 21 DNA (cytosine-5)-
methyltransferase-1 dan dikarakteristik oleh narcolepsy late-onset
(usia 30-40 tahun dengan tingkat CSF hypocretin-1 rendah atau
menengah), deafness, cerebellar ataxia, dan dementia.
 Autosomal dominant narcolepsy, obesitas, dan diabetes tipe-2:
Narcolepsy, obesitas, diabetes tipe-2:, dan tingkat CSF hypocretin-1
rendah adalah kasus yang jarang dan diasosiasikan dengan mutasi
pada gen myelin oligodendrocyte glycoprotein.
 Narcolepsy secondary dengan kondisi medis lain: Subtipe ini
adalah narcolepsy yang berkembang sekunder akibat kondisi medis
yang menyebabkan infeksi, trauma, atau gangguan tumor pada saraf
hipokretin.
Tentukan keparahan saat ini:
 Mild: Cataplexy yang jarang (kurang dari sekali per-minggu),
kebutuhan untuk tidur sejenak hanya sekali atau 2 kali per-hari, dan
tidur nokturnal yang jarang terganggu.

29
 Moderate: Cataplexy terjadi setiap hari atau setiap beberapa hari,
tidur nokturnal yang terganggu, dan kebutuhan untuk tidur sejenak
beberapa kali setiap hari.
 Severe: Cataplexy yang tahan terhadap obat dengan serangan
beberapa kali setiap hari, kantuk yang hampir terus menerus, dan
tidur nokturnal yang terganggu (contoh: gerakan, insomnia, dan
mimpi yang jelas) (Association, 2013).

2. Subtipe
Pada narcolepsy tanpa cataplexy tapi dengan hypocretin
deficiency, gejala cataplexy cataplexy yang tidak jelas mungkin dilaporkan
(contoh: gejala tidak dipicu oleh emosi dan dalam jangka panjang). Pada
kasus yang sangat jarang, tingkat CSF hypocretin-1 rendah dan hasil tes
polisomnografi / tes latensi negatif: mengulangi tes disarankan sebelum
menetapkan diagnosis subtipe. Pada narcolepsy dengan cataplexy tapi tanpa
hypocretin deficiency, hasil tes human leukocyte antigen (HLA)
DQBl’^06:02 mungkin negatif. Kejang, terjatuh, dan gangguan konversi
(gangguan gejala fungsional neurologis)haru dikecualikan. Dalam
narcolepsy sekunder akibat infeksi, trauma, atau gangguan tumor pada saraf
hypocretin, hasil tes HLA DQBl’^06:02 mungkin positif dan berasal dari
memicu proses autoimun. Pada kasus lain, gangguan saraf hypocretin
mungkin akibat trauma atau operasi hypothalamic. Cedera kepala atau
infeksi pada sistem saraf pusat dapat menghasilkan penurunan sementara
pada tingkat CSF hypocretin-1 tanpa kehilangan sel hypocretin, yang dapat
mempersulit diagnosis (Association, 2013).

3. Diagnosis Features
Ciri-ciri kantuk pada narcolepsy adalah tidur siang hari atau jatuh
tertidur. Kantuk biasanya terjadi setiap hari dengan minimal 3 kali per-
minggu selama 3 bulan (Kriteria A). Narcolepsy biasanya menghasilkan
cataplexy yaitu hilangnya tekanan otot secara tiba-tiba dalam waktu singkat

30
(detik hingga menit) dan dihasilkan oleh emosi, biasanya tawa. Otot yang
dipengaruhi seperti leher, rahang, lengan, kaki, atau seluruh tubuh, yang
mengakitbakan kepala terayun, rahang terbuka, atau sepenuhnya jatuh.
Individu sadar selama cataplexy. Cataplexy tidak boleh dibingungkan
dengan kelemahan yang terjadi dalam konteks aktivitas fisiologis atau
pemicu emosional yang tidak biasa seperti stres atau kecemasan. Episode
yang berlangsung selama beberapa jam atau hari atau tidak dipicu oleh
emosi tidak bisa disebut cataplexy (Association, 2013)
Pada anak-anak, cataplexy dapat mempengaruhi wajah,
menyebabkan ringisan atau rahang terbuka dengan lidah menjulur, bisa juga
jalan terhuyung. Narcolepsy-cataplexy selalu berasal dari hilangnya
produksi sel dari hypothalamic hypocretin (orexin), menyebabkan
kekurangan hypocretin. Hilangnya sel kemungkinan autoimun, dan sekitar
99% individu yang terkena membawa HLA-DQBl*06:02 sehingga
mengecek adanya HLA-DQBl*06:02 berguna dalam evaluasi
imunoreaktivitas CSF hypocretin-1. Pengukuran CSF hypocretin-1
mewakili standar dengan baik, kecuali kondisi parah yang dapat
mengganggu alat tes (Association, 2013).

4. Associated Features Supporting Diagnosis


Ketika kantuk bersifat parah, perilaku yang otomatis dapat terjadi,
dengan individu melanjutkan kegiatannya secara semi-otomatis, tanpa
memori ataupun kesadaran. Sekitar 20-60% individu mengalami halusinasi
yang nyata sebelum atau sesudah jatuh tertidur, atau halusinasi setelah
bangun. Halusinasi ini berbeda dari mimpi non-halusinasi yang terjadi pada
tidur yang normal. Mimpi buruk dan mimpi yang jelas lebih sering pada
narcolepsy. Sekitar 20-60% individu mengalami kelumpuhan tidur selama
jatuh tertidur atau bangun. Gangguan tidur nokturnal dengan waktu
terbangun yang panjang atau singkat umum terjadi. Individu mungkin
menemukan dirinya tidur di tempat lain. Selama cataplexy, individu dapat
merosot ke kursi dan kelopak mata terkulai (Association, 2013).

31
5. Development and Course
Onset biasanya pada anak-anak, remaja, atau dewasa muda dan
jarang pada dewasa yang lebih tua. 2 puncak onset adalah pada usia 15-25
tahun dan usia 30-35 tahun. Onset bisa tiba-tiba atau progresif. Keparahan
tertinggi terjadi ketika onset tiba-tiba pada anak-anak, dan menurun seiring
usia atau pengobatan, sehingga gejala dapat hilang. Onset tiba-tiba pada pra-
remaja dapat diasosiasikan dengan obesitas dan pubertas prematur. Pada
remaja, onset lebih sulit untuk ditentukan. Onset pada orang dewasa
biasanya tidak jelas, dengan beberapa individu melaporkan telah memiliki
kantuk yang berlebihan sejak lahir. Gangguan biasanya menetap dan seumur
hidup (Association, 2013).
Dalam 90% kasus, gejala pertama yang ditemukan adalah kantuk
atau peningkatan tidur, diikuti oleh cataplexy. Kantuk, halunisasi
hypnagogic, mimpi yang jelas, dan gangguan perilaku tidur REM adalah
gejala awal. Tidur yang berlebihan dengan cepat berkembang menjadi
ketidakmampuan untuk tetap terjaga di siang hari, dan menjaga tidur yang
baik di malam hari, tanpa peningkatan yang jelas dalam total kebutuhan
tidur 24 jam. Kelumpuhan tidur biasanya berkembang saat pubertas pada
anak-anak dengan onset sebelum pubertas (Association, 2013).
Anak-anak dan remaja dengan narkolepsi sering mengembangkan
agresi atau masalah perilaku sekunder untuk kantuk dan gangguan tidur
malam hari. Beban kerja dan tekanan sosial meningkat saat sekolah
menengah dan perguruan tinggi, mengurangi waktu tidur pada malam hari.
Kehamilan juga tidak mengubah gejala secara konsisten. Mempertahankan
jadwal reguler bermanfaat bagi individu di segala usia (Association, 2013).

6. Diagnostic Markers
Gambaran fungsional menunjukkan respon hipotalamus terhadap
rangsangan humor. Polisomnografi nokturnal diikuti oleh MSLT (Multiple
Sleep Latency Test) digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis narcolepsy,

32
terutama ketika gangguan pertama kali didiagnosis dan sebelum pengobatan
dimulai, dan jika kekurangan hypocretin belum didokumentasikan.
Polisomnografi/MSLT harus dilakukan setelah individu tidak lagi
menggunakan obat psikotropika dan setelah pola tidur-bangun secara
umum, tanpa kerja shift atau kurang tidur (Association, 2013).
Periode onset tidur REM selama polisomnografi (latensi tidur REM
kurang dari atau sama dengan 15 menit) sangat spesifik (sekitar 1% positif
dalam subjek kontrol) tetapi cukup sensitif (sekitar 50%). Hasil MSLT
positif menampilkan latensi tidur rata-rata kurang dari atau sama dengan 8
menit, dan periode onset tidur REM dalam 2 atau lebih pada 4 atau 5 tes
tidur siang. Penemuan tambahan polisomnografi meliputi gairah yang
sering, penurunan efisiensi tidur, peningkatan tidur tahap 1, gerakan anggota
badan periodik (ditemukan di sekitar 40% individu dengan narkolepsi) dan
sleep apnea. (Association, 2013).
Kekurangan hypocretin ditunjukkan dengan mengukur
imunoreaktivitas CSF hypocretin-1. Tes ini sangat berguna pada individu
yang disangka memiliki gangguan konversi dan mereka yang tidak memiliki
cataplexy yang khas, atau dalam kasus pengobatan-refraktori. Nilai
diagnostik tes tidak dipengaruhi oleh obat-obatan, kurang tidur, atau waktu
sirkadian, tetapi temuan tidak dapat diinterpretasi ketika individu sakit parah
dengan infeksi atau trauma kepala atau koma, karena CSF hypocretin-1
dalam kasus ini sudah sangat berkurang (Association, 2013).

7. Comorbidity
Narcolepsy dapat terjadi bersama dengan bipolar, depresi, gangguan
kecemasan, dan dalam kasus yang jarang terjadi dengan skizofrenia.
Narcolepsy juga dikaitkan dengan obesitas, terutama ketika narkolepsi tidak
diobati. Kenaikan berat badan yang cepat umum terjadi pada anak-anak
dengan onset penyakit tiba-tiba. Komorbitas dengan sleep apnea harus
dipertimbangkan jika ada penambahan narcolepsy yang sudah ada
(Association, 2013).

33
D. Breathing-Related Sleep Disorder
1. Obstructive Sleep Apnea Hypopnea
a. Kriteria Diagnostik
A. Antara (1) atau (2)
1. Bukti polisomnografi setidaknya 5 obstructive apnea atau
hypopneas per-jam tidur dan salah satu gejala tidur berikut:
a. Gangguan pernapasan nokturnal: mendengkur, mendengus,
atau jeda pernapasan selama tidur.
b. Kantuk pada siang hari, kelelahan, atau tidur yang tidak segar
walaupun cukup tidur yang tidak lebih baik dijelaskan oleh
gangguan mental lain dan tidak disebabkan oleh kondisi medis
lain.
2. Bukti polisomnografi ada 15 atau lebih obstructive apnea dan atau
hypopneas per jam tidur terlepas dari gejala yang menyertai.
Tentukan tingkat keparahan:
 Mild: Indeks hypopnea apnea kurang dari 15.
 Moderate: Indeks hypopnea apnea 15-30.
 Severe: Indeks hypopnea apnea lebih besar dari 30.

b. Specifiers
Keparahan penyakit diukur dengan hitungan jumlah apnea ditambah
hypopnea per jam tidur (indeks hypopnea apnea) menggunakan
polisomnografi. Tingkat keparahan keseluruhan juga diinformasikan oleh
tingkat desaturasi nokturnal dan fragmentasi tidur (diukur dengan frekuensi
gairah kortikal otak dan tahap tidur) dan tingkat gejala terkait dan gangguan
siang hari. Gangguan dianggap lebih parah ketika apnea dan hypopnea
disertai dengan desaturasi hemoglobin oksigen yang signifikan (misalnya,
ketika lebih dari 10% waktu tidur dihabiskan pada tingkat desaturasi kurang
dari 90%) atau ketika tidur terfragmentasi parah seperti yang ditunjukkan
oleh indeks gairah (indeks gairah lebih besar dari 30) atau pengurangan
tahap dalam tidur nyenyak (Association, 2013).

34
c. Diagnostic Features
Obstructive sleep apnea hypopnea adalah gangguan tidur yang
paling umum terkait pernapasan, yang dicirikan dengan episode berulang
gangguan saluran napas atas (faring) selama tidur. Apnea mengacu pada
tidak adanya aliran udara dan hypopnea mengacu pada pengurangan aliran
udara. Setiap apnea atau hypopnea mewakili pengurangan pernapasan
setidaknya 10 detik dalam durasi pada orang dewasa atau dua napas
tertinggal pada anak-anak dan biasanya dikaitkan dengan penurunan
saturasi oksigen 3% atau lebih besar. Gejala terkait tidur (nokturnal) dan
waktu bangun adalah umum. Gejala kardinal apnea hypopnea adalah
mendengkur dan kantuk di siang hari (Association, 2013).
Obstructive apnea hypopnea pada orang dewasa didiagnosis
berdasarkan temuan dan gejala pada polisomnografi. Diagnosis didasarkan
pada gejala seperti yang tertera pada kriteria diagnostik. Perhatian khusus
terhadap gangguan tidur yang terjadi dengan mendengkur atau pernapasan
jeda dan temuan fisik yang meningkatkan risiko obstructive sleep apnea
hypopnea (misalnya, obesitas pusat, saluran udara faring terhambat, tekanan
darah tinggi) diperlukan untuk mengurangi kemungkinan salah
mendiagnosis kondisi ini (Association, 2013).

d. Associated Features Supporting Diagnosis


Karena frekuensi bangun saat tidur yang terjadi pada sleep apnea
hypopnea, individu mungkin mengalami gejala insomnia. Gejala lain yang
terjadi seperti mulas, nokturia, sakit kepala pagi hari, mulut kering, dan
penurunan libido. Pada kasus yang jarang, individu mungkin kesulitan
bernapas ketika tidur terlentang. Hipertensi dapat terjadi pada lebih dari
60% individu dengan obstructive sleep apnea hypopnea (Association, 2013)

e. Development and Course


Distribusi usia obstructive sleep apnea hypopnea mengikuti
distribusi berbentuk J. Ada puncak pada anak-anak usia 3-8 tahun ketika

35
nasofaring dapat dikompromikan oleh massa jaringan tonsiler yang relatif
besar dibandingkan dengan ukuran bagian atas jalur pernapasan. Dengan
pertumbuhan saluran napas dan regresi jaringan limfoid selama akhir masa
kanak-kanak, ada penurunan prevalensi. Kemudian, seiring prevalensi
obesitas meningkat pada paruh baya dan perempuan memasuki menopause,
obstructive sleep apnea hypopnea meningkat lagi. Gangguan di usia yang
lebih tua tidak jelas. Karena ada beberapa ketergantungan usia terjadinya
apnea dan hypopnea, hasil polisomnografi harus diinterpretasikan dalam
data klinis lainnya (Association, 2013).
Obstructive sleep apnea hypopnea biasanya memiliki onset yang
berbahaya, perkembangan bertahap, dan gangguan yang menetap. Biasanya
mendengkur keras telah terjadi selama bertahun-tahun sejak kecil. Berat
badan dapat memicu peningkatan gejala. Obstructive sleep apnea hypopnea
dapat terjadi pada usia berapa pun dan paling sering pada individu usia 40-
60 tahun. Selama 4-5 tahun, indeks apnea hypopnea meningkat pada orang
dewasa dan orang yang lebih tua sekitar 2 apnea / hypopnea per jam
(Association, 2013).
Pada anak-anak, tanda-tanda dan gejala obstructive sleep apnea
hypopnea lebih tidak terlihat daripada pada orang dewasa, membuat
diagnosis lebih sulit untuk ditetapkan. Gejala seperti mendengkur biasanya
dilaporkan orangtua. Gairah gelisah dan postur tidur yang tidak biasa,
seperti tidur di tangan dan lutut dapat terjadi. Anak-anak juga dapat
mengantuk berlebihan di siang hari meskipun tidak seumum orang dewasa.
Pernapasan mulut di siang hari, kesulitan menelan, dan artikulasi yang
buruk juga merupakan fitur umum pada anak-anak. Anak-anak yang lebih
muda dari 5 tahun lebih sering memiliki gejala malam hari, seperti apnea
yang dapat diamati atau pernapasan yang bekerja. Pada anak-anak yang
lebih dari 5 tahun, gejala siang hari seperti kantuk dan masalah perilaku
(misalnya, impulsif dan hiperaktif), gangguan ADHD, kesulitan belajar, dan
sakit kepala pagi lebih sering menjadi fokus perhatian. Anak-anak dengan
apnea hypopnea juga mungkin mengalami keterlambatan perkembangan.

36
Pada anak-anak, obesitas adalah faktor risiko yang kurang umum, sementara
pertumbuhan yang tertunda dan "kegagalan untuk berkembang" mungkin
ada (Association, 2013).

f. Diagnostic Markers
Polisomnografi memberikan data kuantitatif tentang frekuensi
gangguan pernapasan terkait tidur dan perubahan saturasi oksigen dan
kelangsungan tidur. Temuan polisomnografi pada anak-anak berbeda dari
pada orang dewasa di mana anak-anak menunjukkan pernapasan yang sulit,
hipoventilasi obstruktif parsial dengan desaturasi siklus, hiper-capnia dan
gerakan paradoks. Tingkat indeks hipopnea apnea serendah 2 digunakan
untuk menentukan ambang kelainan pada anak-anak. Pengukuran gas darah
arteri saat individu terjaga biasanya normal, tetapi beberapa individu dapat
memiliki hipokemia bangun atau hiperkapnia. Pola ini harus mengingatkan
dokter untuk kemungkinan penyakit paru-paru atau hipoventilasi. Prosedur
gambar dapat memperlihatkan penyempitan saluran pernapasan bagian atas.
Pengujian jantung dapat menunjukkan bukti gangguan fungsi ventrikular.
Individu dengan desaturasi oksigen nokturnal berat mungkin juga memiliki
nilai hemoglobin atau hematokrit yang tinggi (Association, 2013).

g. Comorbidity
Hipertensi sistemik, penyakit arteri koroner, gagal jantung, stroke,
diabetes, dan peningkatan kematian secara konsisten dikaitkan dengan
obstructive sleep apnea hypopnea. Bukti hipertensi paru dan gagal jantung
kanan jarang terjadi pada obstructive sleep apnea hypopnea dan ketika
terjadi menunjukkan penyakit yang sangat parah. Obstructive sleep apnea
hypopnea juga dapat terjadi dengan peningkatan frekuensi dalam
hubungannya dengan sejumlah kondisi medis atau neurologis (misalnya
penyakit cerebrovaskular dan Parkinson). Sebanyak sepertiga individu yang
dirujuk untuk evaluasi obstructive sleep apnea hypopnea melaporkan gejala

37
depresi, dengan sebanyak 10% memiliki skor depresi konsisten dengan
depresi sedang sampai berat (Association, 2013).

2. Central Sleep Apnea


a. Kriteria Diagnostik
A. Bukti dengan polisomnografi dari lima atau lebih apnea sentral per jam
tidur.
B. Gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan tidur lain saat
ini.
Specify whether:
 Idiopathic central sleep apnea: Ditandai dengan episode berulang
apnea dan hipopnea selama tidur yang disebabkan oleh variabilitas
dalam upaya pernapasan tetapi tanpa bukti adanya obstruksi jalan.
 Clieyne-Stokes breathing: Pola variasi crescendodecrescendo
periodik dalam volume tidal yang menghasilkan apnea sentral dan
hipopnea pada frekuensi setidaknya lima kejadian per jam, disertai
dengan gairah yang sering.
 Central sleep apnea comorbid with opioid use: Patogenesis subtipe
ini dikaitkan dengan efek opioid pada generator ritme pernapasan di
medula serta efek diferensial pada penggerak pernapasan hipoksia
versus hiperkapnik (Association, 2013).
Specify current severity:
Tingkat keparahan central sleep apnea dinilai menurut frekuensi
gangguan pernapasan serta tingkat desaturasi oksigen terkait dan
fragmentasi tidur yang terjadi sebagai akibat dari gangguan pernapasan
berulang (Association, 2013).

b. Subtipe
Idiopathic central sleep apnea dan pernapasan cheyne-stokes
ditandai dengan peningkatan penguatan sistem kontrol ventilasi, juga
disebut penguatan loop tinggi, yang menyebabkan ketidakstabilan dalam

38
ventilasi dan tingkat PaC02. Ketidakstabilan ini disebut pernapasan berkala
dan dapat dikenali dengan hiperventilasi bergantian dengan hipoventilasi.
Orang-orang dengan gangguan ini biasanya memiliki kadar pC02 saat
terjaga yang sedikit hipokapneik atau normokapneik. Central sleep apnea
juga dapat bermanifestasi selama permulaan pengobatan hipopnea apnea
tidur obstruktif atau dapat terjadi sehubungan dengan sindrom hipopnea
apnea tidur obstruktif (disebut apnea tidur kompleks). Terjadinya central
sleep apnea dalam hubungannya dengan apnea tidur obstruktif juga
dianggap karena gain loop yang tinggi. Sebaliknya, patogenesis komorbid
central sleep apnea dengan penggunaan opioid telah dikaitkan dengan efek
opioid pada generator ritme pernapasan di medula serta efek diferensial
pada penggerak pernapasan hipoksia versus hiperkapneik. Orang-orang ini
mungkin mengalami peningkatan kadar pC02 saat terjaga. Individu yang
menerima terapi rumatan metadon kronis diketahui mengalami peningkatan
somnolence dan depresi, meskipun peran gangguan pernapasan yang terkait
dengan pengobatan opioid dalam menyebabkan masalah ini belum
dipelajari (Association, 2013).

c. Diagnostic Features
Gangguan central sleep apnea ditandai dengan episode apnea dan
hipopnea berulang selama tidur yang disebabkan oleh variabilitas upaya
pernapasan. Ini adalah gangguan kontrol ventilasi di mana peristiwa
pernapasan terjadi dalam pola periodik atau intermiten. Idiopathic central
sleep apnea ditandai dengan kantuk, insomnia, dan bangun karena dispnea
yang berhubungan dengan lima atau lebih apnea sentral per jam tidur.
Central sleep apnea yang terjadi pada individu dengan gagal jantung,
stroke, atau gagal ginjal biasanya memiliki pola pernapasan yang disebut
pernapasan Cheyne-Stokes, yang ditandai dengan pola variasi kresendo-
dekresendo periodik dalam volume tidal yang mengakibatkan apnea sentral
dan hipopnea terjadi pada frekuensi setidaknya lima peristiwa per jam yang
disertai dengan gairah yang sering. Central sleep apnea dan obstruktif dapat

39
hidup berdampingan; rasio apnea / hipopnea sentral dan obstruktif dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kondisi mana yang dominan
(Association, 2013).
Perubahan dalam kontrol neuromuskuler pernapasan dapat terjadi
sehubungan dengan obat atau zat yang digunakan pada individu dengan
kondisi kesehatan mental, yang dapat menyebabkan atau memperburuk
gangguan ritme pernapasan dan ventilasi. Orang yang menggunakan obat
ini memiliki gangguan pernapasan terkait tidur yang dapat menyebabkan
gangguan tidur dan gejala seperti kantuk, kebingungan, dan depresi. Secara
khusus, penggunaan kronis obat opioid kerja lama sering dikaitkan dengan
gangguan kontrol pernapasan yang menyebabkan central sleep apnea
(Association, 2013).

d. Associated Features Supporting Diagnosis


Individu dengan hipopnea central sleep apnea dapat bermanifestasi
dengan kantuk atau insomnia. Ada keluhan fragmentasi tidur, termasuk
terbangun dengan dispnea. Beberapa individu tidak menunjukkan gejala
(Association, 2013).

e. Development and Course


Permulaan pernapasan Cheyne-Stokes tampaknya terkait dengan
perkembangan gagal jantung. Pola pernapasan Cheyne-Stokes dikaitkan
dengan osilasi denyut jantung, tekanan darah dan desaturasi oksigen, serta
peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis yang dapat meningkatkan
perkembangan gagal jantung. Signifikansi klinis pernapasan Cheyne-Stokes
dalam keadaan stroke tidak diketahui, tetapi pernapasan Cheyne-Stokes
mungkin merupakan temuan sementara yang hilang seiring waktu setelah
stroke akut (Association, 2013).

40
f. Diagnostic Markers
Temuan fisik yang terlihat pada individu dengan pola pernapasan
Cheyne-Stokes berkaitan dengan faktor risikonya. Temuan yang konsisten
dengan gagal jantung, seperti distensi vena jugularis, bunyi jantung S3,
ronki paru, dan edema ekstremitas bawah, dapat ditemukan. Polisonmografi
digunakan untuk mengkarakterisasi karakteristik pernapasan dari setiap
subtipe gangguan tidur terkait pernapasan. Central sleep apnea dicatat
ketika periode penghentian pernapasan selama lebih dari 10 detik terjadi.
Pernapasan Cheyne-Stokes ditandai dengan pola variasi kresendo-
dekresendo periodik dalam volume tidal yang menyebabkan apnea sentral
dan hipopnea terjadi pada frekuensi setidaknya lima kejadian per jam yang
disertai dengan gairah yang sering. Panjang siklus pernapasan Cheyne-
Stokes (atau waktu dari akhir satu apnea sentral hingga akhir apnea
berikutnya) adalah sekitar 60 detik (Association, 2013).

g. Functional Consequences of Central Sleep Apnea


Idiopathic central sleep apnea dilaporkan menyebabkan gejala
gangguan tidur, termasuk insomnia dan kantuk. Pernapasan Cheyne-Stokes
dengan gagal jantung komorbid telah dikaitkan dengan rasa kantuk yang
berlebihan, kelelahan, dan insomnia, meskipun banyak orang mungkin
asimtomatik. Gagal jantung berdampingan dan pernapasan Cheyne-Stokes
dapat dikaitkan dengan peningkatan aritmia jantung dan peningkatan
mortalitas atau transplantasi jantung. Orang dengan komorbid central sleep
apnea dengan penggunaan opioid mungkin datang dengan gejala kantuk
atau insomnia (Association, 2013).

h. Comorbidity
Gangguan central sleep apnea sering terjadi pada pengguna opioid
kerja panjang, seperti metadon. Orang yang menggunakan obat ini memiliki
gangguan pernapasan terkait tidur yang dapat menyebabkan gangguan tidur
dan gejala seperti kantuk, kebingungan, dan depresi. Saat individu tertidur,

41
pola pernapasan seperti apnea sentral, apnea periodik, dan pernapasan
ataksik dapat diamati. Hipopnea apnea tidur obstruktif dapat muncul
bersamaan dengan central sleep apnea dan fitur yang konsisten dengan
kondisi ini juga dapat muncul. Pernapasan Cheyne-Stokes lebih sering
diamati dalam kaitannya dengan kondisi yang mencakup jantung. gagal
ginjal, stroke, dan gagal ginjal dan terlihat lebih sering pada individu dengan
fibrilasi atrium. Individu dengan pernapasan Cheyne-Stokes lebih
cenderung berusia lebih tua, berjenis kelamin laki-laki, dan memiliki berat
badan lebih rendah daripada individu dengan hipopnea apnea tidur
obstruktif (Association, 2013).

3. Sleep-Related Hypoventilation
a. Diagnostic Criteria
A. Polisomnografi menunjukkan episode penurunan respirasi terkait
dengan peningkatan kadar CO2. (Catatan: Jika tidak ada pengukuran
CO2 yang obyektif, kadar saturasi oksigen hemoglobin yang rendah
dan tidak terkait dengan kejadian apnea / hipopnea dapat
mengindikasikan hipoventilasi.)
B. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan tidur lain
saat ini.
Specify whether:
 Idiopathic liypoventilation: Subtipe ini tidak disebabkan oleh kondisi
yang mudah diidentifikasi.
 Congenital central alveolar hypoventilation: Subtipe ini adalah
kelainan kongenital langka di mana individu biasanya muncul pada
periode perinatal dengan pernapasan dangkal, atau sianosis dan apnea
selama tidur.
 Comorbid sleep-related hypoventilation: Subtipe ini terjadi sebagai
akibat dari kondisi medis, seperti gangguan paru (misalnya, penyakit
paru-paru interstisial, penyakit paru obstruktif kronik) atau gangguan
neuromuskuler atau dinding dada (misalnya, distrofi otot, sindrom

42
postpolio, cedera saraf tulang belakang leher, kyphoscoliosis), atau
obat-obatan (misalnya, benzodiazepin, opiat). Hal ini juga terjadi pada
obesitas (gangguan hipoventilasi obesitas), yang mencerminkan
kombinasi peningkatan kerja pernapasan karena berkurangnya
kepatuhan dinding dada dan ketidakcocokan ventilasi-perfusi serta
penurunan dorongan ventilasi yang bervariasi. Individu tersebut
biasanya ditandai dengan indeks massa tubuh lebih dari 30 dan
hiperkapnia selama terjaga (dengan PCO2 lebih besar dari 45), tanpa
bukti hipoventilasi lain (Association, 2013).
Specify current severity:
Tingkat keparahan dinilai menurut derajat hipoksemia dan
hiperkarbia yang ada selama tidur dan bukti kerusakan organ akhir akibat
kelainan ini (misalnya gagal jantung sisi kanan). Adanya kelainan gas
darah selama terjaga merupakan indikator keparahan yang lebih parah
(Association, 2013).

b. Diagnostic Features
Sleep-related hypoventilation dapat terjadi secara independen atau,
lebih sering, merupakan komorbiditas dengan gangguan medis atau
neurologis, penggunaan obat, atau gangguan penggunaan zat. Meskipun
gejala tidak wajib untuk membuat diagnosis ini, individu sering melaporkan
rasa kantuk yang berlebihan di siang hari, sering terbangun dan terbangun
saat tidur, sakit kepala di pagi hari, dan keluhan insomnia (Association,
2013).

c. Associated Features Supporting Diagnosis


Individu dengan sleep-related hypoventilation dapat datang dengan
keluhan insomnia atau kantuk terkait tidur. Episode ortopnea dapat terjadi
pada individu dengan kelemahan diafragma. Sakit kepala saat bangun
mungkin ada. Selama tidur, episode pernapasan dangkal dapat diamati, dan
hipopnea apnea tidur obstruktif atau central sleep apnea dapat terjadi

43
bersamaan. Konsekuensi dari insufisiensi ventilasi, termasuk hipertensi
pulmonal, kor pulmonal (gagal jantung kanan), polisitemia, dan disfungsi
neurokognitif. bisa hadir. Dengan berkembangnya insufisiensi ventilasi,
kelainan gas darah meluas hingga terjaga. Gambaran kondisi medis yang
menyebabkan sleep-related hypoventilation juga dapat muncul. Episode
hipoventilasi dapat dikaitkan dengan seringnya gairah atau bradikardia.
Individu mungkin mengeluhkan rasa kantuk yang berlebihan dan insomnia
atau sakit kepala di pagi hari atau mungkin datang dengan temuan disfungsi
neurokognitif atau depresi. Hipoventilasi mungkin tidak ada selama terjaga
(Association, 2013).

d. Development and Course


Sleep-related hypoventilation idiopatik dianggap sebagai gangguan
gangguan pernapasan yang progresif perlahan. Ketika gangguan ini terjadi
secara komorbid dengan gangguan lain (misalnya, COPD, gangguan
neuromuskuler, obesitas), keparahan penyakit mencerminkan keparahan
kondisi yang mendasarinya, dan gangguan tersebut berkembang seiring
dengan memburuknya kondisi. Komplikasi seperti hipertensi pulmonal, kor
pulmonal, disritmia jantung, polisitemia, disfungsi neurokognitif, dan gagal
napas yang memburuk dapat berkembang dengan meningkatnya keparahan
kelainan gas darah (Association, 2013).
Kongenital hipoventilasi alveolar sentral biasanya bermanifestasi
saat lahir dengan pernapasan yang dangkal, tidak menentu, atau tidak ada.
Gangguan ini juga dapat bermanifestasi selama masa bayi, masa kanak-
kanak, dan dewasa karena penetrasi variabel mutasi PHOX2B. Anak-anak
dengan hipoventilasi alveolar sentral kongenital lebih cenderung mengalami
gangguan pada sistem saraf otonom, penyakit Hirschsprung, tumor krista
saraf, dan karakteristik wajah berbentuk kotak (yaitu, wajah relatif pendek
dibandingkan lebarnya) (Association, 2013).

44
e. Diagnostic Markers
Sleep-related hypoventilation didiagnosis menggunakan
polisomnografi yang menunjukkan hipoksemia dan hiperkapnia terkait tidur
yang tidak dapat dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan tidur terkait
pernapasan lainnya. Dokumentasi peningkatan kadar pC02 arteri menjadi
lebih dari 55 mmHg selama tidur atau peningkatan kadar pC02 10 mmHg
atau lebih (ke tingkat yang juga melebihi 50 mmHg) selama tidur
dibandingkan dengan nilai terlentang saat bangun, selama 10 menit atau
lebih, adalah standar emas untuk diagnosis. Namun, mendapatkan
penentuan gas darah arteri selama tidur tidak praktis, dan pengukuran pC02
non-invasif belum divalidasi secara memadai selama tidur dan tidak banyak
digunakan selama polisomnografi pada orang dewasa. Penurunan saturasi
oksigen yang berkepanjangan dan berkelanjutan (saturasi oksigen kurang
dari 90% selama lebih dari 5 menit dengan titik terendah setidaknya 85%,
atau saturasi oksigen kurang dari 90% selama setidaknya 30% waktu tidur)
tanpa adanya bukti obstruksi jalan napas atas sering digunakan sebagai
indikasi sleep-related hypoventilation; Namun, temuan ini tidak spesifik,
karena ada penyebab potensial hipoksemia lain, seperti penyakit paru-paru
(Association, 2013).

f. Functional Consequences of Sleep-Related Hypoventilation


Konsekuensi sleep-related hypoventilation terkait dengan efek
paparan kronis hiperkapnia dan hipoksemia. Gangguan gas darah ini
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru yang menyebabkan
hipertensi pulmonal, yang, jika parah, dapat menyebabkan gagal jantung sisi
kanan (kor pulmonal). Hipoksemia dapat menyebabkan disfungsi organ
seperti otak, darah, dan jantung, yang menyebabkan hasil seperti disfungsi
kognitif, polisitemia, dan aritmia jantung. Hiperkapnia dapat menekan
dorongan ventilasi, yang menyebabkan kegagalan pernapasan progresif
(Association, 2013).

45
g. Comorbidity
Sleep-related hypoventilation dan central sleep apnea juga
menunjukkan pola perlaku penurunan diskrit aliran udara berulang yang
tidak ada pada sleep-related hypoventilation sering terjadi terkait dengan
gangguan paru (misalnya, penyakit paru-paru interstisial, PPOK), dengan
gangguan neuromuskuler atau dinding dada (misalnya, distrofi otot,
sindrom pasca-polio, cedera saraf tulang belakang servikal, obesitas,
kifoskoliosis), atau. paling relevan dengan penyedia kesehatan mental,
dengan penggunaan obat-obatan (misalnya, benzodiazepin, opiat).
Hipoventilasi alveolus sentral kongenital sering terjadi sehubungan dengan
disfungsi otonom dan dapat terjadi sehubungan dengan penyakit
Hirschsprung. COPD, gangguan obstruksi jalan napas bagian bawah yang
biasanya berhubungan dengan merokok, dapat menyebabkan hipoventilasi
dan hipoksemia terkait tidur. Kehadiran hipopnea apnea tidur obstruktif
yang berdampingan dianggap memperburuk hipoksemia dan hiperkapnia
selama tidur dan terjaga. Hubungan antara hipoventilasi alveolus sentral
kongenital dan sleep-related hypoventilation idiopatik tidak jelas; pada
beberapa individu, sleep-related hypoventilation idiopatik dapat mewakili
kasus hipoventilasi alveolar sentral bawaan onset lambat (Association,
2013).

E. Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders


Diagnostic Criteria
A. Pola gangguan tidur yang terus-menerus atau berulang yang terutama
disebabkan oleh perubahan sistem sirkadian atau ketidaksesuaian
antara ritme sirkadian endogen dan jadwal tidur-bangun yang
diperlukan oleh lingkungan fisik atau jadwal sosial atau profesional
seseorang.
B. Gangguan tidur menyebabkan kantuk berlebihan atau insomnia, atau
keduanya.

46
C. Gangguan tidur menyebabkan gangguan atau gangguan yang signifikan
secara klinis dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya (Association, 2013).
Specify whether:
 Delayed sleep phase type: Pola awal tidur dan waktu terbangun yang
tertunda, dengan ketidakmampuan untuk tertidur dan terbangun pada
waktu sebelumnya yang diinginkan atau dapat diterima secara
konvensional (Association, 2013).
o Specify if: Keluarga: Ada riwayat keluarga dengan fase delayed
sleep.
o Specify if: Tumpang tindih dengan jenis tidur-bangun non-24
jam: Jenis fase delayed sleep dapat tumpang tindih dengan
gangguan tidur-bangun ritme sirkadian lainnya, jenis tidur-
bangun non-24 jam
 Advanced sleep phase type: Pola waktu awal dan waktu bangun
advance sleep, dengan ketidakmampuan untuk tetap terjaga atau
tertidur hingga waktu tidur atau bangun yang diinginkan atau dapat
diterima secara konvensional.
o Specify if: Keluarga: Ada riwayat keluarga dengan fase advance
sleep.
 Irregular sleep-walte type: Pola tidur-bangun yang tidak teratur untuk
sementara waktu, sehingga waktu tidur dan bangun bervariasi selama
periode 24 jam.
 Non-24-hour sleep-wake type: Pola siklus tidur-bangun yang tidak
disinkronkan dengan lingkungan 24 jam, dengan penyimpangan
harian yang konsisten (biasanya ke waktu nanti dan nanti) dari waktu
mulai tidur dan bangun.
 Shift work type: Insomnia selama periode tidur utama dan / atau rasa
kantuk berlebihan (termasuk tidur yang tidak disengaja) selama
periode terjaga utama yang terkait dengan jadwal kerja shift (yaitu,
membutuhkan jam kerja yang tidak konvensional). 307.45 (G47.20)

47
Jenis tidak ditentukan Sebutkan jika: Episodik: Gejala berlangsung
minimal 1 bulan tetapi kurang dari 3 bulan. Persisten: Gejala bertahan
3 bulan atau lebih. Berulang: Dua atau lebih episode terjadi dalam
waktu 1 tahun (Association, 2013).
Specify if:
 Episodic: Gejala berlangsung setidaknya 1 bulan tetapi kurang dari
3 bulan.
 Persistent: Gejala bertahan 3 bulan atau lebih.
 Recurrent: Dua atau lebih episode terjadi dalam waktu 1 tahun.

1. Delayed Sleep Phase Type


a. Diagnostic Features
Jenis fase delayed sleep terutama didasarkan pada riwayat
penundaan waktu periode tidur utama (biasanya lebih dari 2 jam) dalam
kaitannya dengan waktu tidur dan bangun yang diinginkan, yang
mengakibatkan gejala insomnia dan rasa kantuk yang berlebihan. Ketika
diizinkan untuk mengatur jadwal mereka sendiri, individu dengan tipe fase
delayed sleep menunjukkan kualitas dan durasi tidur yang normal sesuai
usia. Gejala insomnia saat mulai tidur, sulit bangun di pagi hari, dan rasa
kantuk yang berlebihan di pagi hari sangat menonjol (Association, 2013).

b. Associated Features Supporting Diagnosis


Gambaran umum yang terkait dari tipe fase delayed sleep termasuk
riwayat gangguan mental atau gangguan mental bersamaan. Kesulitan
bangun yang ekstrim dan berkepanjangan dengan kebingungan di pagi hari
juga sering terjadi. Insomnia psikofisiologis dapat berkembang sebagai
akibat dari perilaku maladaptif yang mengganggu tidur dan meningkatkan
gairah karena upaya berulang untuk tertidur pada waktu sebelumnya
(Association, 2013).

48
c. Development and Course
Perjalanan penyakitnya menetap, berlangsung lebih dari 3 bulan,
dengan eksaserbasi intermiten sepanjang masa dewasa. Meskipun onset usia
bervariasi, gejala mulai biasanya pada masa remaja dan awal masa dewasa
dan bertahan selama beberapa bulan hingga tahun sebelum diagnosis
ditegakkan. Keparahan bisa menurun seiring bertambahnya usia. Gejala
kambuh sering terjadi. Ekspresi klinis dapat bervariasi sepanjang umur
tergantung pada kewajiban sosial, sekolah, dan pekerjaan. Eksaserbasi
biasanya dipicu oleh perubahan jadwal kerja atau sekolah yang
membutuhkan waktu bangun pagi. Individu yang dapat mengubah jadwal
kerja mereka untuk mengakomodasi waktu tidur dan bangun sirkadian yang
tertunda dapat mengalami remisi gejala. Prevalensi yang meningkat pada
masa remaja mungkin merupakan konsekuensi dari faktor fisiologis dan
perilaku. Perubahan hormonal mungkin terlibat secara khusus, karena fase
delayed sleep dikaitkan dengan permulaan pubertas. Dengan demikian, tipe
fase delayed sleep pada remaja harus dibedakan dari penundaan umum
dalam waktu ritme sirkadian pada kelompok usia ini. Dalam bentuk
keluarga, perjalanannya terus-menerus dan mungkin tidak meningkat secara
signifikan seiring bertambahnya usia (Association, 2013).

d. Diagnostic Markers
Konfirmasi diagnosis termasuk riwayat lengkap dan penggunaan
buku harian tidur atau aktigrafi (yaitu, detektor gerakan pergelangan tangan
yang memantau aktivitas motorik untuk waktu yang lama dan dapat
digunakan sebagai proxy untuk pola tidur-bangun selama setidaknya 7 hari)
. Periode yang dicakup harus mencakup akhir pekan, ketika kewajiban
sosial dan pekerjaan tidak terlalu ketat, untuk memastikan bahwa individu
tersebut menunjukkan pola tidur-bangun yang tertunda secara konsisten.
Biomarker seperti onset melatonin cahaya redup saliva harus diperoleh
hanya jika diagnosisnya tidak jelas (Association, 2013).

49
e. Functional Consequences of Delayed Sleep Phase Type Excessive early
day sleepiness is prominent.
Kesulitan terbangun yang ekstrim dan berkepanjangan dengan
kebingungan di pagi hari (yaitu, inersia tidur) juga umum terjadi. Tingkat
keparahan insomnia dan gejala kantuk yang berlebihan sangat bervariasi
antar individu dan sangat tergantung pada tuntutan pekerjaan dan sosial
pada individu (Association, 2013).

f. Comorbidity
Jenis fase delayed sleep sangat terkait dengan depresi, gangguan
kepribadian, dan gangguan gejala somatik atau gangguan kecemasan
penyakit. Selain itu, gangguan tidur komorbid seperti gangguan insomnia,
sindrom kaki gelisah, dan apnea tidur, serta gangguan depresi dan bipolar
serta gangguan kecemasan, dapat memperburuk gejala insomnia dan rasa
kantuk yang berlebihan. Jenis fase delayed sleep dapat tumpang tindih
dengan gangguan tidur-bangun ritme sirkadian lainnya, jenis tidur-bangun
non-24 jam. Individu yang terlihat dengan sleep-wake non-24 jam juga
memiliki riwayat delayed circardian sleep phase (Association, 2013).

2. Advanced Sleep Phase Type


a. Diagnostic Features
Jenis fase advanced sleep ditandai dengan waktu tidur-bangun yang
beberapa jam lebih awal dari waktu yang diinginkan atau waktu
konvensional. Diagnosis terutama didasarkan pada riwayat kemajuan waktu
periode tidur utama (biasanya lebih dari 2 jam) dalam kaitannya dengan
waktu tidur dan bangun yang diinginkan, dengan gejala insomnia pagi hari
dan rasa kantuk yang berlebihan di siang hari. Jika diizinkan untuk
mengatur jadwal mereka, individu dengan tipe fase advanced sleep akan
menunjukkan kualitas dan durasi tidur normal sesuai usia (Association,
2013).

50
b. Associated Features Supporting Diagnosis
Individu dengan tipe fase advanced sleep adalah "tipe pagi,"
memiliki waktu bangun tidur lebih awal, dengan waktu penanda sirkadian
seperti melatonin dan ritme suhu tubuh inti terjadi 2-A jam lebih awal dari
biasanya. Ketika diharuskan untuk menjaga jadwal konvensional yang
membutuhkan penundaan waktu tidur, orang-orang ini akan terus memiliki
waktu bangun lebih awal, yang menyebabkan kurang tidur terus-menerus
dan mengantuk di siang hari. Penggunaan hipnotik atau alkohol untuk
memerangi insomnia pemeliharaan tidur dan stimulan untuk mengurangi
kantuk di siang hari dapat menyebabkan penyalahgunaan zat pada individu
ini (Association, 2013).

c. Deveiopment and Course


Onsetnya biasanya pada akhir masa dewasa. Dalam bentuk familial,
onset bisa lebih awal. Kursus ini biasanya berlangsung lama, berlangsung
lebih dari 3 bulan, tetapi tingkat keparahannya dapat meningkat tergantung
pada pekerjaan dan jadwal sosial. Jenis fase advanced sleep lebih sering
terjadi pada orang dewasa yang lebih tua (Association, 2013).
Ekspresi klinis dapat bervariasi sepanjang umur tergantung pada
kewajiban sosial, sekolah, dan pekerjaan. Individu yang dapat mengubah
jadwal kerja mereka untuk mengakomodasi waktu tidur dan bangun
sirkadian tingkat lanjut dapat mengalami remisi gejala. Bertambahnya usia
cenderung memajukan fase tidur, namun, tidak jelas apakah tipe fase
advance sleep terkait usia yang umum disebabkan semata-mata oleh
perubahan waktu sirkadian (seperti yang terlihat dalam bentuk familial) atau
juga karena perubahan terkait usia dalam keluarga. regulasi homeostatis
untuk tidur, mengakibatkan bangun lebih awal. Gejala yang parah, remisi,
dan kambuh menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap perilaku dan
perawatan lingkungan yang dirancang untuk mengontrol struktur tidur dan
bangun serta paparan cahaya (Association, 2013).

51
d. Diagnostic Markers
A sleep diary dan aktigrafi dapat digunakan sebagai penanda
diagnostik, seperti yang dijelaskan sebelumnya untuk tipe fase delayed
sleep.

e. Functionai Consequences of Advanced Sleep Phase Type


Rasa kantuk berlebihan yang terkait dengan fase advance sleep
dapat berdampak negatif pada kinerja kognitif, interaksi sosial, dan
keamanan. Penggunaan agen pemicu bangun untuk melawan rasa kantuk
atau obat penenang untuk bangun pagi dapat meningkatkan potensi
penyalahgunaan zat (Association, 2013).

f. Comorbidity
Kondisi medis dan gangguan mental dengan gejala bangun pagi,
seperti insomnia, dapat terjadi bersamaan dengan tipe fase advanced sleep
(Association, 2013).

3. Irregular Sleep-Wake Type


a. Diagnostic Features
Diagnosis jenis irregular sleep-wake didasarkan terutama pada
riwayat gejala insomnia di malam hari (selama periode tidur biasa) dan rasa
kantuk berlebihan (tidur siang) di siang hari. Jenis irregular sleep-wake
ditandai dengan kurangnya ritme sirkadian tidur-bangun yang terlihat.
Tidak ada periode tidur utama, dan tidur terbagi menjadi setidaknya tiga
periode setelah 24 jam sehari (Association, 2013).

b. Associated Features Supporting Diagnosis


Orang dengan tipe irregular sleep-wake biasanya datang dengan
insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan, tergantung pada waktu. Periode
tidur dan bangun dalam 24 jam terpecah-pecah, meskipun periode tidur
terlama cenderung terjadi antara pukul 2:00 A.M. dan 6:00 A.M. dan

52
biasanya kurang dari 4 jam. Riwayat isolasi atau pengucilan dapat terjadi
terkait dengan gangguan dan berkontribusi pada gejala melalui kurangnya
rangsangan eksternal untuk membantu membentuk pola normal. Individu
atau pengasuhnya melaporkan sering tidur siang sepanjang hari. Jenis
irregular sleep-wake paling sering dikaitkan dengan gangguan
neurodegeneratif, seperti gangguan neurokognitif mayor, dan banyak
gangguan perkembangan saraf pada anak-anak (Association, 2013).

c. Deveiopment and Course


Jenis tidur-bangun tidak teratur berlangsung terus-menerus. Usia
saat onset bervariasi, tetapi gangguan ini lebih sering terjadi pada orang
dewasa yang lebih tua (Association, 2013)

d. Diagnostic Markers
Riwayat tidur yang mendetail dan buku harian tidur (oleh pengasuh)
atau aktigrafi membantu memastikan pola tidur-bangun yang tidak teratur.

e. Functional Consequences of irregular Sleep-Wake Type


Kurangnya periode tidur dan bangun utama yang terlihat jelas dalam
tipe tidur-bangun yang tidak teratur menyebabkan insomnia atau rasa
kantuk yang berlebihan, tergantung pada waktu. Gangguan tidur pengasuh
juga sering terjadi dan menjadi pertimbangan penting (Association, 2013).

f. Comorbidity
Tipe irregular sleep-wake sering menjadi komorbiditas dengan
gangguan neurodegeneratif dan perkembangan saraf, seperti gangguan
neurokognitif mayor, disabilitas intelektual (gangguan perkembangan
intelektual), dan cedera otak traumatis. Ini juga komorbid dengan kondisi
medis lain dan gangguan mental di mana ada isolasi sosial dan / atau
kurangnya aktivitas ringan dan terstruktur (Association, 2013).

53
4. Non-24-Hour Sleep-Wake Type
a. Diagnostic Features
Diagnosis utama dari Non-24-Hour Sleep-Wake Type didasarkan
pada riwayat gejala insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan terkait
dengan sinkronisasi abnormal antara siklus 24-hour light-dark dan ritme
sirkadian endogen. Individu biasanya datang dengan periode insomnia,
kantuk berlebihan, atau keduanya, yang bergantian dengan periode
asimtomatik singkat. Dimulai dengan periode asimtomatik, ketika fase
tidur individu selaras dengan lingkungan eksternal, latensi tidur secara
bertahap akan meningkat dan individu akan mengeluh sleep-onset
insomnia. Saat fase tidur terus bergeser sehingga waktu tidur sekarang
menjadi siang hari, individu akan kesulitan untuk tetap terjaga di siang hari
dan akan mengeluh kantuk. Karena periode sirkadian tidak selaras dengan
lingkungan luar 24 jam, gejala akan bergantung pada saat seseorang
mencoba untuk tidur dalam kaitannya dengan ritme sirkadian dari
kecenderungan tidur (Association, 2013).

b. Associated Features Supporting Diagnosis


Non-24-hour sleep-wake type paling umum di antara orang buta atau
tunanetra yang mengalami penurunan persepsi cahaya. Pada individu
dengan penglihatan, sering ada riwayat fase tidur tertunda dan penurunan
paparan cahaya dan aktivitas sosial dan fisik yang terstruktur. Individu
dengan penglihatan yang memiliki Non-24-hour sleep-wake type juga
menunjukkan peningkatan durasi tidur (Association, 2013).

c. Development and Course


Non-24-hour sleep-wake type terjadi secara terus-menerus, dengan
remisi intermiten dan eksaserbasi karena perubahan dalam pekerjaan dan
jadwal sosial sepanjang umur. Usia saat onset bervariasi, tergantung pada
onset gangguan penglihatan. Pada individu dengan penglihatan, karena
tumpang tindih dengan tipe fase tidur tertunda (delayed sleep phase type),

54
non-24-hour sleep-wake type dapat berkembang pada masa remaja atau
awal masa dewasa. Remisi dan kekambuhan gejala pada individu buta dan
individu dengan penglihatan sangat bergantung dengan kepatuhan pada
perawatan yang dirancang untuk mengontrol struktur tidur dan bangun
serta paparan cahaya (Association, 2013).
Ekspresi klinis dapat bervariasi sepanjang umur tergantung pada
kewajiban sosial, sekolah, dan pekerjaan. Pada remaja dan orang dewasa,
jadwal tidur-bangun yang tidak teratur dan paparan cahaya atau kurangnya
cahaya pada waktu kritis dalam sehari dapat memperburuk efek kurang
tidur dan mengganggu proses sirkadian. Akibatnya, gejala insomnia,
kantuk di siang hari, dan fungsi sekolah, profesional, dan interpersonal
dapat memburuk (Association, 2013).

d. Diagnostic Markers
Diagnosis dipastikan dengan riwayat dan buku harian tidur atau
aktigrafi untuk waktu yang lama. Pengukuran sekuensial penanda fase
(mis., Melatonin) dapat membantu menentukan fase sirkadian pada
individu dengan penglihatan dan buta (Association, 2013).

e. Functional Consequences of Non-24-Hour Sleep-Wake Type


Keluhan insomnia (onset tidur dan pemeliharaan tidur), kantuk
berlebihan, atau keduanya menonjol. Waktu tidur dan bangun yang tidak
dapat diprediksi (biasanya penyimpangan penundaan harian) menyebabkan
ketidakmampuan untuk bersekolah atau mempertahankan pekerjaan tetap
dan dapat meningkatkan potensi isolasi sosial (Association, 2013).

f. Comorbidity
Kebutaan seringkali merupakan komorbiditas dengan non-24 hour
sleep-wake type, seperti gangguan depresi dan bipolar dengan isolasi sosial.

55
5. Shift Work Type
a. Diagnostic Features
Diagnosis terutama didasarkan pada riwayat individu yang bekerja
di luar jam normal 8:00 pagi sampai 6:00 malam (khususnya pada malam
hari) dengan jadwal yang teratur (yaitu, tidak lembur). Gejala kantuk
berlebihan di tempat kerja, dan gangguan tidur di rumah, secara terus-
menerus menonjol. Kehadiran kedua set gejala biasanya diperlukan untuk
diagnosis jenis kerja shift. Biasanya, ketika individu kembali ke rutinitas
kerja harian, gejala hilang. Meskipun etiologinya sedikit berbeda, individu
yang melakukan perjalanan melintasi banyak zona waktu pada basis yang
sangat sering mungkin mengalami efek yang serupa dengan yang dialami
oleh individu dengan jenis shift kerja yang bekerja dengan shift bergilir
(Association, 2013).

b. Development and Course


Jenis pekerjaan shift dapat muncul pada individu dari segala usia
tetapi lebih umum pada individu yang berusia lebih dari 50 tahun dan
biasanya memburuk seiring dengan berjalannya waktu jika jam kerja yang
mengganggu tetap ada. Meskipun orang dewasa yang lebih tua mungkin
menunjukkan tingkat penyesuaian fase sirkadian yang sama dengan
perubahan dalam rutinitas seperti halnya orang dewasa yang lebih muda,
mereka tampaknya mengalami lebih banyak gangguan tidur secara
signifikan sebagai konsekuensi dari pergeseran fase sirkadian (Association,
2013).

c. Diagnostic Markers
Riwayat dan buku harian tidur atau aktigrafi mungkin berguna
dalam diagnosis, seperti yang dibahas sebelumnya untuk tipe fase tidur
tertunda (delayed sleep phase).

56
d. Functional Consequences of Shift Work Type
Individu dengan jenis kerja shift tidak hanya mungkin berkinerja
buruk di tempat kerja tetapi juga tampaknya berisiko mengalami kecelakaan
baik di tempat kerja maupun dalam perjalanan pulang. Mereka mungkin
juga berisiko terhadap kesehatan mental yang buruk (misalnya, gangguan
penggunaan alkohol, gangguan penggunaan zat, depresi) dan kesehatan
fisik (misalnya, gangguan gastrointestinal, penyakit kardiovaskular,
diabetes, kanker). Individu dengan riwayat gangguan bipolar sangat rentan
terhadap episode mania terkait jenis pekerjaan shift yang disebabkan oleh
tidur malam yang terlewat. Jenis pekerjaan shift seringkali menimbulkan
masalah interpersonal (Association, 2013).

e. Comorbidity
Jenis pekerjaan shift telah dikaitkan dengan peningkatan gangguan
penggunaan alkohol, gangguan penggunaan zat lain, dan depresi. Berbagai
gangguan kesehatan fisik (misalnya, gangguan pencernaan, penyakit
kardiovaskular, diabetes, kanker) telah ditemukan terkait dengan paparan
kerja shift yang terlalu lama (Association, 2013).

F. Parasomnias
1. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders
a. Kriteria Diagnostik
A. Peristiwa berulang dari bangun tidur yang tidak sempurna, biasanya
terjadi selama sepertiga pertama dari peristiwa tidur utama, disertai
dengan salah satu dari berikut ini:
1. Berjalan dalam tidur (Sleepwalking): Peristiwa berulang bangun
dari tempat tidur saat tidur dan berjalan-jalan. Saat berjalan dalam
tidur, individu tersebut memiliki wajah yang menatap dengan
kosong; relatif tidak responsif terhadap upaya orang lain untuk
berkomunikasi dengannya; dan sangat susah dibangunkan

57
2. Teror tidur (Sleep Terrors): Peristiwa berulang dari rangsangan
teror mendadak saat tidur, biasanya dimulai dengan jeritan panik.
Ada ketakutan yang intens dan tanda-tanda gairah otonom, seperti
mydriasis, tachycardia, bernapas dengan cepat, dan berkeringat,
selama setiap peristiwa. Relatif tidak responsif terhadap upaya
orang lain untuk menenangkan individu selama peristiwa.
B. Tidak ada atau sedikit (misalnya, hanya satu adegan visual)
perumpamaan mimpi yang diingat.
C. Amnesia untuk setiap peristiwa.
D. Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan gangguan atau gangguan
yang signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
E. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan).
F. Hidup bersama gangguan mental dan medis tidak menjelaskan
peristiwa Sleepwalking dan Sleep Terrors.

b. Diagnostic Features
Ciri penting dari non-rapid eye movement (NREM) sleep arousal
disorders adalah berulangnya rangsangan yang tidak lengkap, biasanya
dimulai selama sepertiga pertama dari peristiwa tidur utama (Kriteria A),
biasanya berlangsung secara singkat, berlangsung 1-10 menit, tapi bisa
berlarut-larut, bertahan hingga 1 jam. Durasi maksimum sebuah kejadian
tidak diketahui. Mata biasanya terbuka selama kejadian ini. Banyak individu
menunjukkan kedua subtipe rangsangan pada kesempatan berbeda, yang
menggarisbawahi patofisiologi yang mendasari kesatuan. Subtipe
mencerminkan berbagai tingkat kemunculan simultan dari terjaga dan tidur
NREM, menghasilkan perilaku kompleks yang timbul dari tidur dengan
berbagai tingkat kesadaran, aktivitas motorik, dan aktivasi otonom
(Association, 2013).

58
Ciri penting dari sleepwalking adalah peristiwa berulang dari
perilaku motorik kompleks yang dimulai selama tidur, termasuk bangun dari
tempat tidur dan berjalan ke sekitar (Kriteria A1). Peristiwa sleepwalking
dimulai pada setiap tahap tidur NREM, paling sering selama tidur
gelombang lambat (slowwave sleep) dan karena itu paling sering terjadi
selama sepertiga pertama pada malam hari. Selama peristiwa, individu telah
mengurangi kewaspadaan dan daya tanggap, tatapan kosong, dan relatif
tidak responsif terhadap komunikasi dengan orang lain atau upaya orang
lain untuk membangunkan individu. Jika terbangun selama peristiwa (atau
saat terbangun keesokan paginya), individu tersebut memiliki ingatan
terbatas untuk peristiwa tersebut. Setelah peristiwa, awalnya mungkin ada
kebingungan yang singkat atau kesulitan orientasi, diikuti dengan
pemulihan penuh fungsi kognitif dan perilaku yang sesuai (Association,
2013).
Ciri penting dari sleep terrors adalah berulangnya terbangun dari
tidur secara tiba-tiba, biasanya dimulai dengan teriakan atau jeritan panik
(Kriteria A2). Sleep terrors biasanya dimulai selama sepertiga pertama
pada tidur utama dan berlangsung selama 1-10 menit, tetapi bisa
berlangsung lebih lama, terutama pada anak-anak. Peristiwa tersebut
disertai dengan rangsangan otonom yang mengesankan dan manifestasi
perilaku ketakutan yang intens. Selama suatu peristiwa, individu sulit untuk
dibangunkan atau dihibur. Jika individu terbangun setelah sleep terrors,
sedikit atau tidak ada mimpi, atau hanya sebagian, gambar tunggal, yang
teringat. Selama peristiwa sleep terrors yang khas, individu tersebut tiba-
tiba duduk di tempat tidur sambil berteriak atau menangis, dengan ekspresi
ketakutan dan tanda-tanda otonom dari kecemasan yang intens (misalnya
tachycardia, bernapas dengan cepat, berkeringat, pupil yang melebar).
Individu mungkin tidak dapat dihibur dan biasanya tidak responsif terhadap
upaya orang lain untuk membangunkan atau menghiburnya. Sleep terrors
juga disebut " night terrors " atau "pavor nocturnus" (Association, 2013).

59
c. Associated Features Supporting Diagnosis
Peristiwa sleepwalking dapat mencakup berbagai macam perilaku.
Peristiwa mungkin dimulai dengan kebingungan: individu mungkin hanya
duduk di tempat tidur, melihat-lihat, atau mengambil selimut atau seprai.
Perilaku ini kemudian menjadi semakin kompleks. Orang tersebut mungkin
benar-benar meninggalkan tempat tidur dan berjalan ke lemari, keluar
ruangan, dan bahkan keluar gedung. Individu mungkin menggunakan kamar
mandi, makan, berbicara, atau terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks.
Upaya berlari dan panik untuk melarikan diri dari beberapa ancaman yang
tampak juga dapat terjadi. Sebagian besar perilaku selama peristiwa
sleepwalking bersifat rutin dan memiliki kompleksitas rendah. Namun,
kasus membuka kunci pintu dan bahkan mengoperasikan mesin
(mengendarai mobil) pernah dilaporkan. Sleepwalking juga dapat mencakup
perilaku yang tidak pantas (misalnya, biasanya, buang air kecil di lemari
atau tempat sampah). Kebanyakan peristiwa berlangsung selama beberapa
menit hingga setengah jam, tetapi mungkin bisa lebih lama. Karena tidur
adalah keadaan analgesia relatif, cedera menyakitkan yang dialami selama
sleepwalking mungkin tidak disadari sampai individu tersebut bangun
setelah kejadian tersebut (Association, 2013).
Ada dua bentuk sleepwalking yang "terspesialisasi": perilaku makan
yang berhubungan dengan tidur (sleep-related eating behavior ) dan
perilaku seksual yang berhubungan dengan tidur (sleep-related sexual
behavior) (sexsomnia atau sleep sex). Individu dengan pengalaman sleep-
related eating behavior mengalami peristiwa makan berulang yang tidak
diinginkan dengan berbagai tingkat amnesia, mulai dari tidak sadar hingga
kesadaran penuh tanpa kemampuan untuk tidak makan. Selama peristiwa
ini, makanan yang tidak pantas dapat tertelan. Orang dengan gangguan
sleep-related eating behavior mungkin menemukan bukti bahwa mereka
makan hanya saat keesokan harinya. Dalam sexsomnia, berbagai tingkat
aktivitas seksual (misalnya, masturbasi, mencumbu, meraba-raba, hubungan
seksual) terjadi sebagai perilaku kompleks yang timbul dari tidur tanpa

60
kesadaran. Kondisi ini lebih sering terjadi pada pria dan dapat
mengakibatkan masalah hubungan interpersonal yang serius atau
konsekuensi medikolegal (Association, 2013).
Selama peristiwa sleep terrors yang khas, sering kali ada rasa takut
yang luar biasa, dengan dorongan untuk melarikan diri. Meskipun gambaran
mimpi yang jelas dan terfragmentasi dapat terjadi, urutan mimpi seperti
cerita (seperti dalam mimpi buruk) tidak dilaporkan. Paling umum, individu
tidak bangun sepenuhnya, tetapi kembali tidur dan mengalami amnesia
terhadap peristiwa tersebut saat bangun keesokan harinya. Biasanya hanya
satu peristiwa yang akan terjadi pada satu malam. Kadang-kadang beberapa
peristiwa dapat terjadi dengan interval sepanjang malam. Peristiwa ini
jarang muncul saat tidur siang (Association, 2013).

d. Development and Course


NREM sleep arousal disorders paling sering terjadi pada masa
kanak-kanak dan frekuensinya berkurang seiring bertambahnya usia. Onset
sleepwalking pada orang dewasa tanpa riwayat sleepwalking saat anak-anak
harus segera mencari etiologi spesifik, seperti obstructive sleep apnea,
kejang di malam hari, atau efek dari pengobatan (Association, 2013).

e. Diagnostic Markers
NREM sleep arousal disorders muncul dari setiap tahap tidur
NREM tetapi paling umum dari tidur NREM yang dalam (tidur gelombang
lambat). Mereka paling mungkin muncul pada sepertiga pertama malam dan
tidak sering terjadi selama tidur siang. Selama peristiwa, polisomnogram
mungkin dikaburkan dengan artefak gerakan. Dengan tidak adanya artefak
tersebut, electroencephalogram biasanya menunjukkan aktivitas frekuensi
theta atau alpha selama peristiwa, menunjukkan parsial atau rangsangan
yang tidak lengkap (Association, 2013).
Polisomnografi dalam hubungannya dengan pemantauan
audiovisual dapat digunakan untuk mendokumentasikan peristiwa

61
sleepwalking. Dengan tidak adanya perekaman peristiwa selama perekaman
polisomnografi, tidak ada fitur polisomnografi yang dapat berfungsi sebagai
penanda untuk sleepwalking. Kurang tidur dapat meningkatkan
kemungkinan menangkap suatu peristiwa. Sebagai sebuah kelompok,
individu yang berjalan dalam tidur menunjukkan ketidakstabilan tidur
NREM yang nyenyak, tetapi temuan yang tumpang tindih dengan individu
yang tidak sleepwalking cukup besar untuk menghalangi penggunaan
indikator ini dalam menegakkan diagnosis. Tidak seperti rangsangan dari
tidur REM yang terkait dengan mimpi buruk, di mana ada peningkatan detak
jantung dan pernapasan sebelum rangsangan, rangsangan tidur NREM dari
sleep terrors dimulai dengan cepat dari tidur, tanpa perubahan otonom
antisipatif. Rangsangan tersebut terkait dengan aktivitas otonom yang
mengesankan, dengan detak jantung dua kali atau tiga kali lipat.
Patofisiologi kurang dipahami, tetapi tampaknya ada ketidakstabilan pada
tahap tidur NREM yang lebih dalam. Jika tidak menangkap peristiwa selama
studi tidur formal, tidak ada indikator polisomnografi yang dapat diandalkan
tentang kecenderungan mengalami sleep terrors (Association, 2013).

f. Functional Consequences of Non-REM Sleep Arousal Disorders


Untuk diagnosis NREM Sleep Arousal Disorders yang akan dibuat,
individu atau anggota rumah tangga harus mengalami kesulitan atau
gangguan yang signifikan secara klinis, meskipun gejala parasomnia
kadang-kadang dapat terjadi pada populasi nonklinis dan akan menjadi
subthreshold untuk diagnosis. Rasa malu tentang peristiwa tersebut dapat
merusak hubungan sosial. Isolasi sosial atau kesulitan pekerjaan dapat
terjadi. Penentuan "gangguan" bergantung pada sejumlah faktor, yang dapat
bervariasi pada setiap individu dan akan tergantung pada frekuensi kejadian,
potensi kekerasan atau perilaku yang merugikan, rasa malu, atau gangguan
/ kesusahan anggota rumah tangga lainnya. Penentuan tingkat keparahan
paling baik dibuat berdasarkan sifat atau konsekuensi dari perilaku, bukan
hanya pada frekuensi. NREM Sleep Arousal Disorders jarang dapat

62
mengakibatkan cedera serius pada individu atau seseorang yang mencoba
menghibur individu. Cedera pada orang lain terbatas pada mereka yang
berada di dekat; individu tidak "dicari". Biasanya, sleepwalking pada anak-
anak dan orang dewasa tidak dikaitkan dengan gangguan mental yang
signifikan. Untuk individu dengan sleep-related eating behaviors, tanpa
disadari menyiapkan atau makan makanan selama periode tidur dapat
menimbulkan masalah seperti kontrol diabetes yang buruk, penambahan
berat badan, cedera (luka dan memar), atau konsekuensi dari makan
makanan yang tidak dapat dimakan atau beracun. NREM sleep arousal
disorders jarang menyebabkan perilaku kekerasan atau merugikan dengan
implikasi forensik (Association, 2013).

g. Comorbidity
Pada orang dewasa, ada hubungan antara sleepwalking dan peristiwa
depresi mayor dan gangguan obsesif-kompulsif. Anak-anak atau orang
dewasa dengan sleep terrors mungkin memiliki skor tinggi untuk depresi
dan kecemasan pada inventaris kepribadian (Association, 2013).

2. Nightmare Disorder
a. Kriteria Diagnostik
A. Kejadian berulang dari mimpi yang diperpanjang, sangat disforik, dan
diingat dengan baik yang biasanya melibatkan upaya untuk
menghindari ancaman terhadap kelangsungan hidup, keamanan, atau
integritas fisik dan yang umumnya terjadi selama paruh kedua episode
tidur utama.
B. Saat terbangun dari mimpi dysphoric, individu dengan cepat menjadi
berorientasi dan waspada.
C. Gangguan tidur menyebabkan tekanan atau gangguan yang signifikan
secara klinis dalam bidang fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting
lainnya.

63
D. Gejala mimpi buruk tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat
(mis., Penyalahgunaan obat, pengobatan).
E. Gangguan mental dan medis yang hidup berdampingan tidak cukup
menjelaskan keluhan utama mimpi disforik.

b. Diagnostic Features
Mimpi buruk biasanya berupa cerita yang panjang, rumit, seperti
rangkaian gambar mimpi yang tampak nyata dan memicu kecemasan,
ketakutan, atau emosi dysphoric lainnya. Konten mimpi buruk biasanya
berfokus pada upaya untuk menghindari atau mengatasi bahaya yang akan
segera terjadi, tetapi mungkin melibatkan tema yang membangkitkan emosi
negatif lainnya. Mimpi buruk yang terjadi setelah pengalaman traumatis
dapat mereplikasi situasi yang mengancam ("replicative nightmares "),
tetapi kebanyakan tidak. Saat bangun, mimpi buruk diingat dengan baik dan
dapat dijelaskan secara rinci. Mereka muncul hampir secara eksklusif
selama tidur rapid eye movement (REM) dan dengan demikian dapat terjadi
selama tidur; lebih mungkin terjadi di paruh kedua peristiwa tidur utama
saat mimpi lebih lama dan lebih intens. Faktor-faktor yang meningkatkan
intensitas REM dini hari, seperti fragmentasi atau kekurangan tidur, jet lag,
dan obat yang sensitif terhadap REM, dapat memfasilitasi mimpi buruk di
awal malam, termasuk saat onset tidur (Association, 2013).
Mimpi buruk biasanya berakhir dengan kebangkitan dan kesiagaan
penuh yang cepat kembali. Namun, emosi dysphoric dapat bertahan hingga
terjaga dan berkontribusi pada kesulitan untuk kemabli tidur dan tekanan
siang hari yang berkepanjangan. Beberapa mimpi buruk, yang dikenal
sebagai " bad dreams", mungkin tidak menyebabkan kebangkitan dan baru
teringat nanti. Jika mimpi buruk terjadi selama periode REM sleeponset
(hipnagogik), emosi dysphoric sering disertai dengan perasaan terjaga dan
tidak dapat bergerak secara sukarela (sleep paralysis) (Association, 2013).

64
c. Associated Features Supporting Diagnosis
Rangsangan otonom ringan, termasuk berkeringat, tachycardia, dan
tachypnea, dapat menjadi ciri mimpi buruk. Gerakan tubuh dan vokalisasi
tidak khas karena hilangnya tonus otot rangka terkait tidur REM, tetapi
perilaku tersebut dapat terjadi dalam situasi stres emosional atau
fragmentasi tidur dan gangguan stres pasca trauma (PTSD). Saat berbicara
atau mengeluarkan emosi, biasanya ini adalah peristiwa singkat yang
mengakhiri mimpi buruk. Individu dengan mimpi buruk yang sering,
memiliki risiko yang jauh lebih besar untuk ide bunuh diri dan upaya bunuh
diri, bahkan ketika jenis kelamin dan penyakit mental diperhitungkan
(Association, 2013).

d. Development and Course


Mimpi buruk sering kali dimulai antara usia 3 dan 6 tahun tetapi
mencapai prevalensi dan keparahan puncak pada masa remaja akhir atau
masa dewasa awal. Mimpi buruk kemungkinan besar muncul pada anak-
anak yang terpapar stres psikososial akut atau kronis dan dengan demikian
mungkin tidak hilang secara spontan. Di sebagian kecil, mimpi buruk yang
sering terjadi terus berlanjut hingga dewasa, menjadi gangguan seumur
hidup. Meskipun konten mimpi buruk tertentu mungkin mencerminkan usia
individu, fitur penting dari gangguan tersebut sama di semua kelompok usia
(Association, 2013).

e. Diagnostic Markers
Studi polisomnografi menunjukkan bangun tiba-tiba dari tidur REM,
biasanya selama paruh kedua malam, sebelum melaporkan mimpi buruk.
Laju pergerakan jantung, pernapasan, dan mata dapat mempercepat atau
meningkatkan variabilitas sebelum bangun. Mimpi buruk setelah peristiwa
traumatis juga dapat muncul selama non-REM (NREM), terutama tahap 2,
saat tidur. Tidur khas individu dengan mimpi buruk biasanya memiliki
gangguan yang ringan (misalnya, efisiensi berkurang, lebih sedikit tidur

65
gelombang lambat, lebih banyak terbangun), dengan gerakan kaki periodik
yang lebih sering saat tidur dan aktivasi sistem saraf simpatis relatif setelah
kekurangan tidur REM (Association, 2013).

f. Functional Consequences of Nightmare Disorder


Mimpi buruk menyebabkan tekanan subjektif yang lebih signifikan
daripada gangguan sosial atau pekerjaan yang dapat dibuktikan. Namun,
jika sering terbangun atau mengakibatkan penghindaran tidur, individu
mungkin mengalami kantuk di siang hari yang berlebihan, konsentrasi yang
buruk, depresi, kecemasan, atau mudah tersinggung. Mimpi buruk masa
kanak-kanak yang sering (misalnya, beberapa mimpi buruk per minggu),
dapat menyebabkan tekanan yang signifikan bagi orang tua dan anak
(Association, 2013).

g. Comorbidity
Mimpi buruk mungkin merupakan komorbiditas dengan beberapa
kondisi medis, termasuk penyakit jantung koroner, kanker, parkinsonisme,
dan nyeri, dan dapat menyertai perawatan medis, seperti hemodialisis, atau
penarikan obat atau zat yang disalahgunakan. Sering mimpi buruk
merupakan komorbiditas dengan gangguan mental lainnya, termasuk PTSD;
gangguan insomnia; skizofrenia; psikosis; mood, kecemasan, penyesuaian,
dan gangguan kepribadian; dan kesedihan saat berduka. Diagnosis
gangguan mimpi buruk yang terjadi secara bersamaan sebaiknya hanya
dipertimbangkan jika perhatian klinis independen diperlukan (mis. Kriteria
A-C terpenuhi). Jika tidak, tidak diperlukan diagnosis terpisah. Kondisi ini
harus terdaftar di bawah penentu kategori komorbiditas yang sesuai.
Namun, gangguan mimpi buruk dapat didiagnosis sebagai gangguan
terpisah pada individu dengan PTSD jika mimpi buruk untuk sementara
tidak terkait dengan PTSD (yaitu, mendahului gejala PTSD lainnya atau
bertahan setelah gejala PTSD lainnya telah teratasi) (Association, 2013).

66
Mimpi buruk biasanya merupakan karakteristik dari gangguan
perilaku tidur REM, PTSD, dan gangguan stres akut, tetapi gangguan mimpi
buruk dapat dikodekan secara independen jika mimpi buruk mendahului
kondisi tersebut dan frekuensi atau tingkat keparahannya memerlukan
perhatian klinis independen. Terakhir dapat ditentukan dengan menanyakan
apakah mimpi buruk adalah masalah sebelum timbulnya gangguan lain dan
apakah terus berlanjut setelah gejala lain hilang (Association, 2013).

3. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder


a. Kriteria Diagnostik
A. Gairah yang berulang saat tidur terkait dengan vokalisasi dan/atau
perilaku motorik yang kompleks.
B. Perilaku ini timbul selama tidur REM (Rapid Eye Movement) dan
biasanya terjadi lebih dari 90 menit setelah mulai tidur, lebih sering
terjadi pada akhir periode tidur, dan jarang terjadi saat tidur siang.
C. Setelah terbangun dari tahapan tersebut, individu benar-benar terjaga,
waspada, dan tidak kebingungan atau kehilangan arah.
D. Salah satu dari berikut ini:
a. Tidur REM tanpa atonia pada catatan polysomnographic.
b. Riwayat sugestif gangguan perilaku tidur REM dan diagnosis
synucleinopathy yang mapan (misalnya, penyakit Parkinson, multiple
system atrophy).
E. Perilaku ini menyebabkan distres klinis atau gangguan yang signifikan
pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lain (yang mungkin
termasuk melukai diri sendiri atau partner tidur).
F. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat tertentu
(misalnya obat terlarang, obat-obatan lain) atau kondisi medis lain.
G. Gangguan mental dan medis yang sudah ada tidak menjelaskan
episodenya (Association, 2013).

67
b. Diagnostic Features
Fitur penting dari gangguan perilaku tidur REM adalah episode
gairah berulang, sering dikaitkan dengan vokalisasi dan/atau perilaku
motorik kompleks yang ditimbulkan dari tidur REM (Kriteria A). Perilaku
ini sering merefleksikan respon motorik terhadap isi mimpi yang penuh
dengan kekerasan atau mencoba melarikan diri dari situasi yang
mengancam, yang dapat disebut sebagai dream-enacting behaviors.
Vokalisasi sering keras, penuh emosi, dan profane sehingga dapat
mengakibatkan cedera yang signifikan terhadap individu atau partner
ranjangnya (misalnya jatuh, lompat dari tempat tidur; berlari, meninju,
mendorong, memukul, atau menendang). Setelah bangun, individu langsung
sadar, waspada, dan berorientasi (Kriteria C) dan seringnya mampu
mengingat tentang mimpi yang terjadi. Mata biasanya tetap tertutup selama
kejadian ini. Diagnosis gangguan perilaku tidur REM membutuhkan distres
klinis atau gangguan yang signifikan (Kriteria E); Penentuan ini akan
bergantung pada sejumlah faktor, termasuk frekuensi kejadian, potensi
kekerasan atau perilaku yang merugikan, rasa malu, dan tekanan dari
anggota rumah yang lain (Association, 2013).

c. Associated Features Supporting Diagnosis


Penentuan tingkat keparahan dibuat berdasarkan sifat atau
konsekuensi dari perilaku daripada hanya berdasarkan frekuensi. Meskipun
perilaku biasanya menonjol dan kejam, perilaku yang lebih sedikit juga
dapat terjadi (Association, 2013).

d. Development and Course


Kemunculan gangguan perilaku tidur REM dapat berangsur-angsur
atau cepat, dan biasanya progresif. Gangguan perilaku tidur REM yang
terkait dengan gangguan neurodegeneratif dapat meningkat seiring dengan
berkembangnya gangguan neurodegeneratif. Dikarenakan hubungan yang
sangat tinggi dengan kemunculan gangguan neurodegeneratif yang

68
mendasari, terutama salah satu dari synucleinopathies (penyakit Parkinson,
multiple system atrophy, atau major or mild neurocognitive disorder With
Lewy bodies), status neurologis individu dengan perilaku tidur REM
seharusnya dimonitor secara ketat (Association, 2013).
Gangguan perilaku tidur REM sangat mempengaruhi pria yang
berusia lebih dari 50 tahun, tetapi gangguan ini semakin sering ditemukan
pada wanita dan individu yang lebih muda. Gejala pada individu yang lebih
muda, terutama pada wanita muda, seharusnya meningkatkan kemungkinan
narkolepsi atau gangguan perilaku tidur REM yang disebabkan oleh obat
(Association, 2013).

e. Diagnostic Markers
Temuan laboratorium terkait dari polisomnografi menunjukkan
peningkatan tonik dan/atau aktivitas fase elektromiografik selama tidur
REM yang biasanya berhubungan dengan atonia otot. Peningkatan aktivitas
otot secara bervariasi mempengaruhi kelompok otot yang berbeda,
menyebabkan pemantauan elektromiografi yang lebih luas daripada yang
digunakan dalam studi tidur konvensional. Karenanya, disarankan
pemantauan elektromiografik yang mencakup kelompok otot submentalis,
ekstensor digitorum bilateral, dan kelompok otot tibialis anterior bilateral.
Pemantauan video yang berkelanjutan juga wajib. Temuan polisomnografi
lainnya mungkin termasuk aktivitas elektromiografi ekstremitas periodik
dan aperiodik yang sangat sering selama tidur non-REM (NREM).
Observasi polisomnografi ini, yang disebut tidur REM tanpa atonia, hadir
pada hampir semua kasus gangguan perilaku tidur REM tetapi mungkin juga
temuan asimtomatik polisomnografi. Perilaku mimpi klinis yang
dipasangkan dengan temuan polysomnografi REM tanpa atonia penting
untuk diagnosis gangguan perilaku tidur REM. Tidur REM tanpa atonia dan
tanpa riwayat perilaku klinis sederhananya adalah pengamatan
polisomnografi asimtomatik (Association, 2013).

69
f. Functional Consequences of Rapid Eye Movement Sleep Behavior
Disorder
Gangguan perilaku tidur REM dapat terjadi pada waktu-waktu
tertentu. Rasa malu dari episode tersebut dapat merusak hubungan sosial.
Individu mungkin akan menghindari situasi dimana orang lain
berkemungkinan untuk menyadari gangguan tersebut, misalnya ketika
mengunjungi teman semalaman, atau saat tidur dengan orang lain. Isolasi
sosial atau kesulitan pekerjaan juga dapat terjadi. Gangguan perilaku tidur
REM jarang mengakibatkan cedera serius pada korban atau pasangan
ranjang (Association, 2013).

g. Comorbidity
Gangguan perilaku tidur REM hadir secara bersamaan pada sekitar
30% pasien narkolepsi. Ketika terjadi narkolepsi, demografi mencerminkan
rentang usia yang lebih muda dari narkolepsi, dengan frekuensi yang sama
pada pria dan wanita. Berdasarkan temuan dari individu yang datang ke
klinik, kebanyakan individu (> 50%) yang telah memiliki "idiopathic".
Gangguan perilaku tidur REM pada akhirnya akan mengembangkan
penyakit neurodegenerative—yang paling terkenal, satu dari
synucleinopathies (penyakit Parkinson, multiple system atrophy, or major
or mild neurocognitive disorder with Lewy bodies). Selama bertahun-tahun,
gangguan perilaku tidur REM sering mendahului tanda lain dari gangguan
ini (Association, 2013).

G. Restless Legs Syndrome


1. Kriteria Diagnostik
A. Dorongan untuk menggerakkan kaki, biasanya disertai atau sebagai
respons terhadap ketidaknyamanan dan sensasi tidak menyenangkan
pada kaki, ditandai dengan semua hal berikut:
1. Dorongan untuk menggerakkan kaki mulai terjadi atau lebih
memburuk selama periode istirahat atau tidak aktif.

70
2. Dorongan untuk menggerakkan kaki berkurang sebagian atau
seluruhnya setelah digerakkan.
3. Dorongan untuk menggerakkan kaki menjadi lebih buruk pada sore
atau malam hari dibandingkan saat siang hari, atau hanya terjadi
disaat sore atau malam hari.
B. Gejala dalam Kriteria A terjadi setidaknya tiga kali seminggu dan terus
berlanjut setidaknya selama 3 bulan.
C. Gejala dalam Kriteria A disertai dengan distress klinis atau gangguan
yang signifikan pada sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik, perilaku,
atau area fungsional penting lainnya.
D. Gejala dalam Kriteria A tidak disebabkan oleh gangguan mental atau
kondisi medis lain (misalnya, arthritis, edema tungkai, iskemia perifer,
kram kaki) dan tidak bisa dijelaskan oleh kondisi perilaku tertentu
(misalnya, posisi yang tidak nyaman, kebiasaan mengetuk kaki).
E. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari penyalahgunaan obat
atau obat-obatan lain (misalnya, akathisia) (Association, 2013).

2. Diagnostic Features
Restless Legs Syndrome (RLS) adalah gangguan tidur sensorimotor
neurologis yang ditandai oleh keinginan untuk menggerakkan kaki atau
lengan, biasanya berhubungan dengan sensasi tidak nyaman dan biasanya
dijelaskan sebagai merayap, merangkak, kesemutan, rasa terbakar, atau
gatal (Kriteria A). Diagnosis RLS utamanya didasarkan pada laporan diri
dan riwayat pasien. Gejalanya akan lebih buruk ketika individu sedang
istirahat, dan seringnya gerakan kaki terjadi sebagai upaya untuk meredakan
sensasi tidak nyaman. Gejalanya akan memburuk pada sore atau malam
hari, dan pada beberapa individu justru hanya terjadi pada sore atau malam
hari. Penting untuk membedakan RLS dari kondisi lain seperti
ketidaknyamanan posisi dan kram kaki (Kriteria D) (Association, 2013).
Gejala RLS dapat membuat tidur menjadi tertunda, membangunkan
individu dari tidurnya, serta dikaitkan dengan fragmentasi tidur yang

71
signifikan. Kelegaan yang didapat dari menggerakkan kaki mungkin tidak
lagi nampak pada kasus yang parah. RLS dikaitkan dengan kantuk di siang
hari dan sering disertai tekanan klinis atau gangguan fungsional yang
signifikan (Association, 2013).

3. Associated Features Supporting Diagnosis


Gerakan kaki berkala saat tidur (PLMS) dapat menjadi bukti yang
menguatkan RLS, 90% orang yang didiagnosis RLS menunjukkan PLMS
saat pencatatan yang diambil selama beberapa malam. Gerakan kaki secara
berkala saat bangun juga mendukung diagnosis RLS. Laporan kesulitan
untuk memulai dan mempertahankan tidur serta kantuk yang berlebihan di
siang hari juga dapat mendukung diagnosis RLS. Riwayat terkena RLS di
dalam keluarga juga termasuk fitur pendukung tambahan. Penurunan gejala
dapat dilakukan dengan treatmen dopaminergik (Association, 2013).

4. Development and Course


Permulaan RLS sepertinya terjadi pada dekade kedua atau ketiga.
Sekitar 40% dari individu yang didiagnosis RLS saat masa dewasa
melaporkan sudah mengalami gejala sebelum usia 20 tahun, dan 20%
melaporkan pernah mengalami gejala sebelum usia 10 tahun. Tingkat
prevalensi RLS terus meningkat seiring bertambahnya usia sampai sekitar
usia 60 tahun, dengan gejala yang tetap stabil atau sedikit menurun pada
kelompok usia yang lebih tua. Dibandingkan dengan kasus non-familial,
RLS familial biasanya muncul pada usia yang lebih muda dan perjalanan
progresif yang lebih lambat. Perjalanan klinis RLS berbeda berdasarkan usia
nunculnya. Ketika terjadi sebelum usia 45 tahun, sering terjadi
perkembangan gejala yang lambat. Pada kemunculan RLS di usia yang lebih
tua, sering terjadi perkembangan yang cepat, dan faktor yang memberatkan
juga sering muncul. Gejala RLS tampak serupa pada semua usia, tetap stabil
atau sedikit menurun pada kelompok usia yang lebih tua (Association,
2013).

72
Diagnosis RLS pada anak-anak bisa jadi sulit karena komponen self-
report. Kriteria A untuk orang dewasa mengasumsikan bahwa pasien akan
menuliskan deskripsi "urgensi / desakan untuk pindah", sedangkan
diagnosis pediatrik memerlukan deskripsi dari kata-kata anak itu sendiri
dibandingkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Biasanya anak-anak usia 6
tahun atau lebih dapat memberikan deskripsi RLS yang rinci dan memadai.
Namun, anak-anak yang jarang menggunakan atau kurang memahami kata
"mendesak / desakan", melaporkan bahwa kaki mereka "harus" bergerak.
Selain itu berpotensi terkait juga dengan duduk dalam waktu yang lama di
kelas, dua pertiga dari anak-anak dan remaja melaporkan sensasi kaki di
siang hari. Jadi, untuk Kriteria diagnostik A3, penting untuk
membandingkan persamaan durasi duduk atau tiduran di siang hari dengan
saat malam hari. Pemburukan di malam hari juga cenderung terjadi pada
anak. Seperti RLS pada orang dewasa, terdapat dampak negatif yang
signifikan pada tidur, suasana hati, kognisi, dan fungsi. Kerusakan pada
anak dan remaja lebih sering diwujudkan dalam ranah perilaku dan
pendidikan (Association, 2013).

5. Diagnostic Markers
Polisomnografi menunjukkan kelainan yang signifikan pada RLS,
biasanya meningkatkan latensi untuk tidur, dan indeks gairah yang lebih
tinggi. Polisomnografi yang didahului oleh tes imobilisasi dapat
memberikan indikator tanda motorik RLS, gerakan tungkai periodik dalam
kondisi tidur standar dan saat istirahat tenang, yang mana keduanya dapat
memicu gejala RLS (Association, 2013).

6. Functional Consequences of Restless Legs Syndrome


Bentuk RLS yang cukup parah sehingga mengganggu fungsi secara
signifikan atau terkait dengan gangguan mental, termasuk depresi dan
kecemasan, terjadi pada sekitar 2% - 3% populasi (Association, 2013).

73
Meskipun dampak dari gejala yang lebih ringan kurang
dikarakterisasi dengan baik, individu dengan RLS mengeluhkan gangguan
dalam setidaknya satu aktivitas kehidupan sehari-hari, dengan hingga 50%
melaporkan ada efek negatif pada mood, dan 47.6% melaporkan kekurangan
energi. Konsekuensi yang paling umum dari RLS adalah gangguan tidur,
termasuk berkurangnya waktu tidur, fragmentasi tidur, dan gangguan
keseluruhan; depresi, gangguan kecemasan umum, gangguan panik, PTSD,
dan kerusakan kualitas hidup. RLS dapat membuat kantuk pada siang hari
atau kelelahan dan juga sering disertai dengan distres atau kerusakan yang
signifikan pada fungsi afektif, sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik,
perilaku, atau kognitif (Association, 2013).

7. Comorbidity
Gangguan depresi, gangguan kecemasan, dan gangguan atensi
biasanya lazim terjadi bersamaan dengan RLS. Gangguan medis utama yang
menyertai RLS adalah penyakit kardiovaskular. Mungkin ada hubungan
dengan banyak gangguan medis lainnya, termasuk hipertensi, narkolepsi,
migrain, penyakit Parkinson, multiple sclerosis, neuropati perifer, sleep
apnea obstruktif, diabetes mellitus, fibromyalgia, osteoporosis, obesitas,
tiroid penyakit, dan kanker. Kekurangan zat besi, kehamilan, dan gagal
ginjal kronis juga umumnya menyertai RLS (Association, 2013).

H. Substance/Medication-Induced Sleep Disorder


1. Diagnostic Criteria
A. Gangguan yang menonjol dan parah dalam tidur.
B. Terdapat bukti dari riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan
laboratorium dari (1) dan (2):
1. Gejala pada Kriteria A berkembang selama atau segera setelah
keracunan zat atau setelah tidak lagi atau sedang terpapar obat-
obatan.

74
2. Zat atau obat yang terlibat mampu menghasilkan gejala pada
Kriteria A.
C. Gangguan tersebut tidak dapat dijelaskan sebagai gangguan tidur yang
tidak diberi zat / obat. Beberapa bukti gangguan tidur independen
seperti itu dapat mencakup:
Gejala-gejala yang mendahului timbulnya penggunaan zat atau
obat; gejalanya bertahan selama periode waktu yang substansial
(misalnya sekitar 1 bulan) setelah penghentian atau keracunan
parah; atau ada bukti lain yang menunjukkan adanya gangguan
tidur independen tanpa zat / obat (misalnya riwayat yang tidak
terkait dengan zat atau pengobatan).
D. Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama delirium.
E. Gangguan ini menyebabkan distres atau gangguan sosial yang
signifikan secara klinis, pekerjaan, atau bidang fungsional penting
lainnya (Association, 2013).

Spesifikasi:
 Insomnia types: Ditandai oleh kesulitan tidur atau sulit
mempertahankan tidur, sering terbangun di malam hari, atau tidur
non-restoratif.
 Daytime sleepiness type: Ditandai dengan keluhan dominan kantuk
berlebihan / kelelahan selama waktu bangun atau, yang lebih jarang,
periode tidur yang panjang.
 Parasomnia types: Ditandai dengan kejadian perilaku abnormal
selama tidur.
 Mixed type: Ditandai dengan Substance/Medication-Induced Sleep
Disorder yang dikarakteristikkan oleh beberapa jenis gejala tidur, tapi
tidak ada gejala yang mendominasi dengan jelas (Association, 2013).

75
Tetapkan apakah:
 With onset during intoxication: Penentu ini harus digunakan jika
kriteria keracunan dengan zat / obat-obatan terpenuhi dan gejalanya
timbul selama periode keracunan.
 With onset during discontinuation / Withdrawal: Penentu ini harus
digunakan jika kriteria penghentian / penarikan dari zat / obat-obatan
terpenuhi dan gejala berkembang selama atau segera setelah
penghentian zat / obat (Association, 2013).

2. Recording Procedure
ICD-9-CM. Nama substance/medication-induced sleep disorder
dimulai dengan zat spesifik (misalnya kokain, bupropion) yang diduga
menyebabkan gangguan tidur. Kode diagnostik dipilih dari tabel yang
masuk dalam set kriteria, yang didasarkan pada kelas obat. Untuk zat yang
tidak cocok dengan kelas manapun (misalnya bupropion), harus
menggunakan kode "other substance"; dan untuk kasus dimana suatu zat
dinilai sebagai faktor etiologis namun kelas zatnya tidak diketahui, maka
gunakanlah kategori "unknown substance" (Association, 2013).

76
Nama gangguan diikuti oleh spesifikasi onset (misalnya onset
during intoxication, onset during discontinuation / Withdrawal) diikuti oleh
desain subtype-nya (misalnya insomnia types, parasomnia types, dll). Tidak
seperti prosedur pencatatan untuk ICD-10-CM yang menggabungkan
substance-induced disorder dan substance use disorder ke dalam satu kode,
pada ICD-9-CM kode diagnostik diberikan terpisah untuk substance use
disorder. Misalnya, dalam kasus insomnia yang terjadi selama withdrawal
pada pria dengan gangguan penggunaan lorazepam yang berat,
diagnosisnya adalah 292.85 lorazepan-induced sleep disorder, dengan onset
during withdrawal, insomnia type. Diagnosis tambahan 304.10 untuk
gangguan penggunaan lorazepam berat juga diberikan. Ketika lebih dari
satu zat dinilai memainkan peran penting dalam kemunculan gangguan
tidur, maka masing-masing harus dilist secara terpisah (misalnya 292,85
alcohol-induced sleep disorder, with onset during intoxication, insomnia
types; 292,85 cocaine-induced sleep disorder, with onset during
intoxication, insomnia types) (Association, 2013).
ICD-10-CM. Nama substance/medication-induced sleep disorder
dimulai dengan zat spesifik (misalnya kokain, bupropion) yang diduga
menyebabkan gangguan tidur. Kode diagnostik dipilih dari tabel yang
masuk dalam set kriteria, yang didasarkan pada kelas obat dan ada atau
tidaknya gangguan penggunaan zat komorbid. Untuk zat yang tidak cocok
dengan kelas manapun (misalnya bupropion), harus menggunakan kode
"other substance"; dan untuk kasus dimana suatu zat dinilai sebagai faktor
etiologis namun kelas zatnya tidak diketahui, maka gunakanlah kategori
"unknown substance" (Association, 2013).
Saat mencatat nama gangguan tersebut, gangguan penggunaan zat
komorbid (jika ada) didaftarkan terlebih dahulu, diikuti oleh kata "with,"
diikuti dengan nama dari substance-induced sleep disorder, diikuti oleh
spesifikasi onset (misalnya onset during intoxication, onset during
discontinuation / withdrawal) diikuti oleh desain subtype-nya (misalnya
insomnia types, parasomnia types, dll). Misalnya, dalam kasus insomnia

77
yang terjadi selama withdrawal pada pria dengan gangguan penggunaan
lorazepam yang berat, diagnosisnya adalah F13.282 severe lorazepan use
disorder with lorazepan-induced sleep disorder, with onset during
withdrawal, insomnia type. Diagnosis terpisah dari komorbid severe
lorazepam use disorder tidak diberikan. Jika substance-induced sleep
terjadi tanpa substance use disorder komorbid (misalnya dengan
penggunaan obat), maka tidak ada yang menyertai pencatatan substance
used disorder (misalnya F19.982 bupropion-induced sleep disorder, with
onset during medication use, insomnia type). Ketika lebih dari satu zat
dinilai memainkan peran penting dalam perkembangan gangguan tidur,
masing-masing zat tersebut harus dilist secara terpisah (misalnya F10.282
severe alcohol use disorder with alcohol-induced sleep disorder, with onset
during intoxication, insomnia type; F14.282 severe cocaine use disorder
with cocaine-induced sleep disorder, with onset during intoxication,
insomnia type) (Association, 2013).

3. Diagnostic Features
Fitur penting dari substance/medication-induced sleep disorder
adalah menonjolnya gangguan tidur yang cukup parah untuk mendapat
perhatian independen klinis (Kriteria A) dan dinilai terkait dengan efek
farmakologis suatu zat (misnya penyalahgunaan obat, obat-obatan lain,
paparan racun) (Kriteria B). Berdasarkan zat yang terlibat, dilaporkan satu
dari empat jenis gangguan tidur. Yang paling umum adalah insomnia types
dan daytime sleepiness type, sementara parasomnia type adalah yang paling
jarang. Mixed type dicatatat ketika muncul beberapa tipe gangguan tidur dan
tidak ada yang mendominasi. Gangguan ini seharusnya tidak dapat
dijelaskan dengan gangguan tidur lain (Kriteria C). Gangguan tidur akibat
zat / obat berbeda dari insomnia atau gangguan gangguan yang terkait
dengan kantuk berlebihan di siang hari dengan mempertimbangkan
onsetnya. Untuk penyalahgunaan obat, harus ada bukti riwayat keracunan
atau pemberhentian obat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium.

78
Timbulnya substance/medication-induced sleep disorder hanya
berhubungan dengan fase intoksikasi atau saat berhenti, sedangkan
timbulnya gangguan tidur lain dapat mendahului penggunaan zat atau
terjadi secara berkelanjutan. Timbulnya gangguan tidur dapat terjadi 4
minggu setelah penghentian penggunaan zat, dan gangguan tersebut
mungkin memiliki ciri-ciri khas dari gangguan tidur lainnya (misalnya usia
atipikal saat onset atau course). Diagnosis ini tidak dapat dibuat jika
gangguan tidur terjadi hanya selama delirium (Kriteria D). Gejala-gejalanya
harus menyebabkan distres atau gangguan yang signifikan secara klinis
dalam bidang sosial, pekerjaan, atau area fungsional penting lainnya
(Kriteria E). Diagnosis ini seharusnya dibuat daripada diagnosa keracunan
zat atau pemberhentian zat hanya ketika gejala dalam Kriteria A
mendominasi gambaran klinis dan ketika gejala memerlukan perhatian
klinis independen (Association, 2013).

4. Associated Features Supporting Diagnosis


Selama periode penggunaan zat / obat, keracunan, atau penarikan,
individu sering mengeluhkan mood disforik, termasuk depresi dan
kecemasan, mudah tersinggung, gangguan kognitif, ketidakmampuan untuk
berkonsentrasi, dan kelelahan (Association, 2013).
Gangguan tidur yang menonjol dan parah dapat terjadi sehubungan
dengan intoxication pada kelas zat berikut: alkohol; kafein; ganja; opioid;
obat penenang, hipnotik, atau anxiolytics; stimulan (termasuk kokain); dan
substansi lainnya (atau yang tidak diketahui) (Association, 2013).
Gangguan tidur yang mencolok dan parah dapat terjadi sehubungan
dengan penarikan diri dari kelas zat berikut: alkohol; kafein; ganja; opioid;
obat penenang, hipnotik, atau anxiolytics; stimulan (termasuk kokain);
tembakau; dan zat lainnya (atau yang tidak diketahui). Beberapa obat yang
memicu gangguan tidur termasuk agonis adrenergik dan antagonis, agonis
dan antagonis dopamin, agonis kolinergik dan antagonis, agonis dan

79
antagonis serotonergik, antihistamin, dan kortikosteroid (Association,
2013).

5. Development and Course


Insomnia pada anak-anak dapat diidentifikasi oleh orang tua atau
anak. Seringkali anak memiliki gangguan tidur yang jelas terkait dengan
permulaan pengobatan tetapi mungkin tidak melaporkan gejalanya,
meskipun orang tua mengamati gangguan tidur tersebut. Penggunaan
beberapa zat terlarang (misalnya ganja, ekstasi) umum terjadi di masa
remaja dan awal masa dewasa. Insomnia atau gangguan tidur lain yang
ditemui pada kelompok usia ini harus segera mempertimbangkan apakah
gangguan tidur tersebut disebabkan dari mengonsumsi zat-zat ini
(Association, 2013).

6. Diagnostic Markers
Masing-masing gangguan tidur dari induksi zat / obat
menghasilkan pola tidur elektroensefalografik yang berhubungan, tetapi
tidak dapat dianggap sebagai diagnostik, gangguan lain. Profil tidur
electroencephalographic bagi setiap zat berkaitan dengan tahap
penggunaan, apakah intake atau intoxication, penggunaan kronis, atau
penarikan dan penghentian zat. Polisomnografi sepanjang malam dapat
membantu menentukan tingkat keparahan keluhan insomnia, sedangkan tes
latensi tidur ganda memberikan informasi tentang tingkat keparahan kantuk
di siang hari. Pemantauan respirasi nokturnal dan gerakan tungkai berkala
dengan polisomnografi dapat memverifikasi dampak zat pada pernapasan
nokturnal serta perilaku motoriknya. Sleep diaries selama 2 minggu dan
aktigrafi dianggap membantu dalam mengkonfirmasi adanya gangguan
tidur akibat zat / obat. Screening obat juga dapat bermanfaat ketika individu
tidak sadar atau tidak mau menceritakan informasi mengenai asupan zat
(Association, 2013).

80
7. Functional Consequences of Substance/Medication-Induced Sleep
Disorder
Meskipun banyak konsekuensi fungsional yang terkait dengan
gangguan tidur, satu-satunya konsekuensi unik dalam substance-induced
sleep disorder adalah peningkatan risiko untuk kambuh. Pemantauan
kualitas tidur dan kantuk saat siang hari setelah penarikan obat dapat
memberikan informasi yang bermakna secara klinis tentang apakah
seseorang berisiko lebih tinggi untuk kambuh (Association, 2013).

8. Comorbidity
Komorbid yang dapat terjadi termasuk insomnia, hipersomnolen,
sleep apnea, hipoventilasi terkait tidur, sleep-wake disorder ritme sirkadian,
serta shift work type (Association, 2013).

I. Lainnya
1. Other Specified Insomnia Disorder
Kategori ini berlaku untuk orang yang memiliki ciri khas gangguan
insomnia yang menyebabkan distres klinis atau gangguan yang signifikan
pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lain namun tidak memenuhi
seluruh kriteria dalam gangguan insomnia atau gangguan lain yang
termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake disorder (Association, 2013).
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk
gangguan insomnia atau sleep-wake disorder manapun. Ini dilakukan
dengan mencatat "gangguan insomnia tertentu lainnya" diikuti oleh alasan
spesifik (misalnya gangguan insomnia singkat) (Association, 2013).
Contoh orang yang dapat dispesifikasikan menggunakan "other
specified" antara lain:
 Gangguan insomnia singkat: Durasinya kurang dari 3 bulan.

81
 Tidur nonrestorative yang terbatas: Keluhan utamanya adalah tidur
nonrestorative tanpa disertai gejala tidur lainnya seperti kesulitan tidur
atau tetap tertidur.

2. Unspecified Insomnia Disorder


Kategori ini berlaku ketika karakteristik gejala dari gangguan
insomnia yang menyebabkan distres klinis atau gangguan yang signifikan
pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lainnya mendominasi namun
tidak memenuhi kriteria penuh untuk gangguan insomnia atau gangguan
lain yang termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake disorder.
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk
gangguan insomnia atau sleep-wake disorder tertentu, termasuk ketika tidak
ada cukup informasi untuk membuat diagnosa yang lebih spesifik
(Association, 2013).

3. Other Specified Hypersomnolence Disorder


Kategori ini berlaku untuk orang yang memiliki ciri khas gangguan
hypersomnolence yang menyebabkan distres klinis atau gangguan yang
signifikan pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lain namun tidak
memenuhi seluruh kriteria dalam gangguan hypersomnolence atau
gangguan lain yang termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake disorder
(Association, 2013).
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk
gangguan hypersomnolence atau sleep-wake disorder manapun. Ini
dilakukan dengan mencatat "gangguan hypersomnolence tertentu lainnya"
diikuti oleh alasan spesifik (misalnya gangguan hypersomnolence singkat,
seperti pada sindrom Kiene-Levin) (Association, 2013).

82
4. Unspecified Hypersomnolence Disorder
Kategori ini berlaku ketika karakteristik gejala dari gangguan
hypersomnolence yang menyebabkan distres klinis atau gangguan yang
signifikan pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lainnya mendominasi
namun tidak memenuhi kriteria penuh untuk gangguan hypersomnolence
atau gangguan lain yang termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake
disorder.
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk
gangguan hypersomnolence atau sleep-wake disorder tertentu, termasuk
ketika tidak ada cukup informasi untuk menbuat diagnosa yang lebih
spesifik (Association, 2013).

5. Other Specified Sleep-Wake disorder


Kategori ini berlaku untuk orang yang memiliki karakteristik
gangguan bangun-tidur yang menyebabkan distres klinis atau gangguan
yang signifikan pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lain yang
mendominasi namun tidak memenuhi kriteria penuh dalam satupun
gangguan lain yang termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake disorder,
serta tidak memenuhi syarat diagnosis untuk gangguan insomnia lain atau
gangguan hypersomnolence lainnya.
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk sleep-
wake disorder manapun. Ini dilakukan dengan mencatat "other specified
sleep-wake disorder" diikuti oleh alasan spesifik (misalnya gairah berulang
selama tidur REM tanpa polisomnografi atau riwayat penyakit Parkinson
maupun synucleinopathy lain (Association, 2013).

6. Unspecified Sleep-Wake disorder


Kategori ini berlaku untuk orang yang memiliki karakteristik
gangguan bangun-tidur yang menyebabkan distres klinis atau gangguan

83
yang signifikan pada sosial, pekerjaan atau area fungsional lain yang
mendominasi namun tidak memenuhi kriteria penuh dalam satupun
gangguan lain yang termasuk dalam kelas diagnostik sleep-wake disorder,
serta tidak memenuhi syarat diagnosis untuk gangguan insomnia lain atau
gangguan hypersomnolence lainnya.
Kategori ini digunakan ketika klinisi memilih untuk mengatakan
alasan spesifik bahwa orang tersebut tidak menenuhi kriteria untuk sleep-
wake disorder manapun, termasuk ketika tidak ada informasi yang cukup
untuk membuat diagnosa yang lebih spesifik (Association, 2013).

84
BAB IV
DIAGNOSA BANDING

A. Insomnia Disorder
 Normal sleep variations. Setiap orang memiliki variasi waktu tidur yang
berbeda-beda. Beberapa orang hanya memerlukan waktu yang singkat
untuk tidur (short sleeper). Short sleeper sendiri berbeda dengan orang yang
menderita insomnia, pada short sleeper mereka tidak mengalami kelelahan,
mengantuk, dan masalah konsentrasi (Association, 2013).
 Insomnia Akut / Situasional. Insomnia ini terjadi dalam waktu beberapa
hari sampai dengan beberapa minggu. Biasanya hal ini disebabkan oleh
masalah / peristiwa tertentu yang merubah jadwal tidur. Insomnia ini dapat
menyebabkan stress, gangguan fungsi personal, pekerjaan, dan sosial
seseorang. Apabila hal ini berkelanjutan dan sampai 3 bulan, maka
diagnosis insomnia yang diderita sudah berubah (Association, 2013).
 Delayed sleep phase and shift work types of circadian rhythm sleep-wake
disorder. Individu dengan masalah ini hanya mengalami kesulitan tidur
pada waktu jam normal tetapi tidak megalami kesulitan untuk tertidur pada
waktu tidur dan bangun mereka tertunda (Association, 2013).
 Restless legs syndrome. Restless legs syndrome biasanya menyebabkan
kesulitan memulai dan mempertahankan tidur. Dorongan untuk
menggerakkan kaki dan sensasi pada kaki tidak diinginkan menjadi fitur
yang membedakan gangguan ini dari gangguan insomnia (Association,
2013).
 Breath-related sleep disorders. Kebanyakan individu dengan gangguan ini
memiliki pengalaman mendengkur yang keras, terhentinya pernapasan
ketika tidur, dan mengantuk di siang hari dengan waktu yang lama.
Sebanyak 50% individu dengan sleep apnea menyatakan adanya gejala
insomnia, dan kebanyakan terjadi pada pria daripada wanita (Association,
2013).

85
 Narcolepsy. Narcolepsy dapat menyebabkan insomnia namun dibedakan
dari gangguan insomnia berdasarkan gejala mengantuk di siang hari dalam
waktu yang lama, cataplexy, sleep paralysis, dan sleep-related
hallucinations (Association, 2013).
 Parasomnias. Parasomnias ditandai dengan perilaku / kejadian yang tidak
biasa ketika tidur yaitu sering terbangun dan sulit untuk melanjutkan tidur.
Akan tetapi hal ini tidak termasuk insomnia karena peristiwa nya lebih
dominan terjdadi dibandingkan dengan keadaan yang menandakan
insomnia (Association, 2013).
 Substance/medication-induced sleep disorder, insomnia type.
Substance/medication-induced sleep disorder, insomnia type dibedakan
dari gangguan insomnia berdasarkan fakta mengenai obat-obatan yang
dianggap sebagai salah satu faktor penyebab dari insomnia (Association,
2013).

B. Hypersomnolence Disorder
 Normative Variation in Sleep. Waktu tidur setiap orang bervariasi. Pada
orang yang long sleeper, mereka tidak mengalami rasa kantuk yang
berlebihan, sleep inertia, atau automatic behvior ketika mereka memperoleh
jumlah tidur malam yang diperlukan. Tidur juga membuat diri mereka lebih
segar. Jika tuntutan sosial atau pekerjaan menyebabkan tidur malam yang
lebih pendek, gejala siang hari dapat muncul. Jumlah tidur malam yang tidak
memadai, atau behaviorally induced insufficient sleep syndrome, dapat
menghasilkan gejala kantuk di siang hari yang sangat mirip dengan gejala
hypersomnolence (Association, 2013).
 Poor Sleep Quality and Fatigue. Gangguan hypersomnolence harus
dibedakan dari kantuk yang berlebihan terkait dengan kuantitas atau kualitas
tidur yang tidak mencukupi dan kelelahan. Rasa kantuk dan kelelahan yang
berlebihan sulit dibedakan dan mungkin menjadi tumpang tindih
(Association, 2013).

86
 Breathing-related sleep disorders. Individu dengan hypersomnolence dan
breathing-related sleep disorders mungkin memiliki pola kantuk berlebihan
yang serupa. Breathing-related sleep disorder ditunjukkan dengan riwayat
dengkuran keras, pernapasan yang berhenti saat tidur, cedera otak, atau
penyakit kardiovaskular, obesitas, kelainan anatomi orofaring, hipertensi,
atau gagal jantung pada pemeriksaan fisik (Association, 2013).
 Circadian rhythm sleep-wake disorders. Circadian rhythm sleep-wake
disorders sering ditandai dengan kantuk di siang hari. Riwayat jadwal
abnormal sleep-wake ada pada individu dengan circadian rhythm sleep-
wake disorders (Association, 2013).
 Parasomnias. Parasomnia jarang menghasilkan undisturbed nocturnal
sleep yang berkepanjangan atau karakteristik daytime sleepiness dari
gangguan hypersomnolence (Association, 2013).
 Gangguan Mental lainnya. Secara khusus, keluhan kantuk di siang hari
dapat terjadi pada episode depresi mayor, dengan ciri atipikal, dan pada fase
depresi gangguan bipolar. Penilaian untuk gangguan mental lainnya sangat
penting sebelum diagnosis gangguan hypersomnolence (Association, 2013).

C. Narcolepsy
 Hypersomnia lain. Tingkat kantuk, usia onset, dan gangguan yang stabil
dari waktu ke waktu pada hypersomnolence dan narcolepsy mirip. Yang
membedakan adalah fitur klinis dan laboratorium yang berbeda. Individu
dengan hypersomnolence biasanya memiliki tidur nokturnal yang lebih
lama dan kurang terganggu, bangun yang lebih sulit, kantuk di siang hari
yang lebih persisten, episode tidur siang hari yang lebih lama dan kurang
menyegarkan, dan sedikit atau tidak ada mimpi selama tidur siang hari.
Sebaliknya, individu dengan narcolepsy memiliki cataplexy dan intrusi
berulang elemen tidur REM ke transisi antara tidur dan terjaga (misalnya,
halusinasi yang berhubungan dengan tidur dan kelumpuhan tidur). MSLT
biasanya menunjukkan latensi tidur yang lebih pendek (kantuk fisiologis

87
yang lebih besar) serta adanya beberapa periode onset tidur REM
(Association, 2013).
 Sleep deprivation and insufficient nocturnal sleep. Kurangnya tidur dan
tidur nokturnal yang tidak cukup biasanya terjadi pada remaja dan pekerja
shift. Remaja umumnya kesulitan tidur pada malam hari yang menyebabkan
kurangnya tidur. Hasil MSLT mungkin positif apabila dilakukan ketika
individu kekurangan tdiur atau ketika fase tidurnya terhambat (Association,
2013).
 Sleep apnea syndromes. Sleep apnea mungkin terjadi karena adanya
obesitas. Karena gangguan sleep apnea lebih sering daripada narcolepsy,
cataplexy mungkin diabaikan dan individu diasumsikan memiliki sleep
apnea (Association, 2013).
 Major depressive disorder. Narcolepsy atau hypersomnia mungkin
diasosiasikan dengan depresi. Pada depresi, cataplexy tidak muncul dan tes
MSLT biasanya normal dan adanya perbedaan antara kantuk subjektif dan
objektif saat diukur (Association, 2013).
 Conversion disorder (functional neurological symptom disorder). Fitur
yang tidak biasa, seperti cataplexy yang bertahan lama atau pemicu yang
tidak biasa mungkin ada dalam gangguan konversi (gangguan gejala fungsi
neurologis), namun MSLT tidak menunjukkan karakteristik periode onset
tidur REM (Association, 2013).
 Attention-deficit/hyperactivity disorder or other behavioral problems.
Pada anak-anak dan remaja, kantuk dapat menyebabkan masalah perilaku,
termasuk agresivitas dan kurangnya perhatian, menyebabkan kesalahan
diagnosis gangguan ADHD (Association, 2013).
 Seizures. Pada anak-anak, cataplexy dapat salah didiagnosis sebagai kejang.
Kejang tidak dipicu oleh emosi, dan ketika dipicu oleh emosi biasanya
bukan tertawa. Selama kejang, individu lebih mungkin untuk menyakiti diri
mereka sendiri ketika jatuh (Association, 2013).
 Chorea and movement disorders. Pada anak-anak, cataplexy dapat salah
didiagnosis sebagai chorea atau gangguan neuropsikiatri autoimun

88
pediatrik yang terkait dengan infeksi streptokokus, terutama dalam konteks
infeksi tenggorokan dan tingkat antibodi antistreptolysin O tinggi. Beberapa
anak mungkin memiliki gangguan gerakan tumpang tindih seperti cataplexy
(Association, 2013).
 Skizofrenia. Karena adanya halusinasi hypnagogic yang jelas, individu
mungkin berpikir pengalaman ini nyata-fitur yang menunjukkan
skizofrenia. Hampir mirip, dengan pengobatan stimulan, delusi dapat
berkembang. Jika cataplexy hadir, dokter harus terlebih dahulu
mengasumsikan bahwa gejala-gejala ini sekunder untuk narkolepsi sebelum
mempertimbangkan diagnosis skizofrenia yang terjadi bersama
(Association, 2013).

D. Breathing-Related Sleep Disorder


1. Obstructive Sleep Apnea Hypopnea
 Primary snoring and other sleep disorders. Individu dengan obstructive
sleep apnea hypopnea berbeda dengan individu primary snoring. Individu
dengan obstructive sleep apnea hypopnea mengalami terengah-engah dan
sesak napas. Adanya kantuk atau gejala siang hari lainnya harus didiagnosis
dengan polisomnografi. Diagnosis diferensial definitif antara hipersomnia,
central sleep apnea, hipoventilasi terkait tidur, dan obstructive sleep apnea
hypopnea juga memerlukan studi polisomnografi.
Obstructive sleep apnea hypopnea dapat dibedakan dengan
narcolepsy melalui tidak adanya cataplexy, halusinasi tidur, dan
kelumpuhan tidur, dan dengan adanya dengkuran keras, terengah-engah saat
tidur, atau apnea yang dapat diamati saat tidur. Episode tidur siang hari
dalam narcolepsy lebih pendek, lebih menyegarkan, dan lebih sering
dikaitkan dengan bermimpi. Narcolepsy sama seperti obstructive sleep
apnea hypopnea yang berhubungan dengan obesitas, dan beberapa individu
memiliki 2 gangguan ini bersamaan (Association, 2013).
 Insomnia disorder. Untuk individu yang mengeluh kesulitan memulai atau
mempertahankan tidur, gangguan insomnia dapat dibedakan dari

89
obstructive sleep apnea hypopnea dengan tidak adanya mendengkur dan
tidak adanya sejarah, tanda-tanda, dan gejala karakteristik gangguan
terakhir (Association, 2013).
 Panic attacks. Serangan panik nokturnal meliputi gejala terengah-engah
atau sesak napas selama tidur yang sulit dibedakan dengan obstructive sleep
apnea hypopnea, namun episodenya lebih rendah, dan kantuk berlebihan
lebih sedikit. Polisomnografi pada individu dengan serangan panik
nokturnal tidak mengungkapkan pola khas apnea atau karakteristik
desaturasi oksigen. Individu dengan obstructive sleep apnea hypopnea tidak
memiliki riwayat serangan panik siang hari (Association, 2013).
 Attention-deficit/hyperactivity disorder. Gangguan ADHD pada anak-anak
meliputi gejala kurangnya perhatian, gangguan akademik, hiperaktif, dan
perilaku internalisasi. Adanya gejala lain dan tanda obstructive sleep apnea
hypopnea menunjukkan adanya gangguan tersebut. Keduanya dapat terjadi
bersamaan dan mungkin ada hubungan sebab-akibat (Association, 2013).
 Substance/medication-induced insomnia or hypersomnia. Penggunaan zat
dapat menghasilkan insomnia atau hipersomnia. Riwayat yang cermat
biasanya cukup untuk mengidentifikasi zat / obat yang relevan, dan tindak
lanjut menunjukkan peningkatan setelah penghentian zat / obat. Dalam
kasus lain, penggunaan zat / obat (misalnya, alkohol, barbiturat,
benzodiazepin, tembakau) telah terbukti memperburuk obstructive sleep
apnea hypopnea (Association, 2013).

2. Central Sleep Apnea


Idiopathic central sleep apnea harus dibedakan dari gangguan tidur
terkait pernapasan lainnya, gangguan tidur lainnya, serta kondisi medis dan
gangguan mental yang menyebabkan gangguan tidur, kantuk, dan kelelahan.
Ini dicapai dengan menggunakan polisomnografi.
Gangguan tidur dan gangguan tidur terkait pernapasan lainnya. Central
sleep apnea dapat dibedakan dari hipopnea apnea tidur obstruktif dengan
adanya setidaknya lima apnea sentral per jam tidur. Kondisi ini dapat terjadi

90
bersamaan, tetapi central sleep apnea dianggap mendominasi ketika rasio
kejadian pernapasan sentral dan obstruktif melebihi 50%. Pernapasan Cheyne-
Stokes dapat dibedakan dari gangguan mental lainnya, termasuk gangguan
tidur lainnya, dan kondisi medis lain yang menyebabkan fragmentasi tidur,
kantuk, dan kelelahan berdasarkan adanya kondisi predisposisi (misalnya gagal
jantung atau stroke) serta tanda dan polisomnografi bukti pola pernapasan
karakteristik. Temuan pernapasan polisomnograf dapat membantu
membedakan pernapasan Cheyne-Stokes dari insomnia karena kondisi medis
lainnya. Pernapasan periodik di ketinggian memiliki pola yang menyerupai
pernapasan Cheyne-Stokes tetapi memiliki waktu siklus yang lebih pendek,
hanya terjadi di dataran tinggi, dan tidak terkait dengan gagal jantung.
Komorbid sleep apnea sentral dengan penggunaan opioid dapat dibedakan dari
jenis gangguan tidur terkait pernapasan lainnya berdasarkan penggunaan obat
opioid kerja panjang dalam hubungannya dengan bukti polisomnografi dari
apnea sentral dan pernapasan berkala atau ataksik. Ini dapat dibedakan dari
insomnia karena penggunaan obat atau zat berdasarkan bukti polisomnografi
dari central sleep apnea (Association, 2013).

3. Sleep-Related Hypoventilation
 Kondisi medis lain yang mempengaruhi ventilasi. Pada orang dewasa,
variasi idiopatik dari sleep-related hypoventilation sangat jarang dan
ditentukan dengan mengecualikan adanya penyakit paru-paru, malformasi
tulang, gangguan neuromuskuler, dan gangguan medis dan neurologis
lainnya atau obat-obatan yang memengaruhi ventilasi. Sleep-related
hypoventilation harus dibedakan dari penyebab lain hipoksemia terkait
tidur, seperti penyakit paru-paru (Association, 2013).
 Gangguan tidur terkait pernapasan lainnya. Sleep-related
hypoventilation dapat dibedakan dari hipopnea apnea tidur obstruktif dan
central sleep apnea berdasarkan gambaran klinis dan temuan pada
polisomnografi. Sleep-related hypoventilation biasanya menunjukkan
periode desaturasi oksigen yang lebih berkelanjutan daripada episode

91
periodik yang terlihat pada hipopnea apnea tidur obstruktif dan central sleep
apnea. Obstructive sleep apnea hypopnea dan central sleep apnea juga
menunjukkan pola perlaku penurunan diskrit aliran udara berulang yang
tidak ada pada sleep-related hypoventilation (Association, 2013).

E. Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders


1. Delayed Sleep Phase Type
 Normative variations in sleep. Jenis fase delayed sleep harus dibedakan dari
pola tidur "normal" di mana seseorang memiliki jadwal terlambat yang tidak
menyebabkan gangguan pribadi, sosial, atau pekerjaan (paling sering
terlihat pada remaja dan dewasa muda) (Association, 2013).
 Other sleep disorders. Gangguan insomnia dan gangguan tidur-bangun
ritme sirkadian lainnya harus dimasukkan dalam pembeda. Rasa kantuk
yang berlebihan juga dapat disebabkan oleh gangguan tidur lainnya, seperti
gangguan tidur terkait pernapasan, insomnia, gangguan gerakan terkait
tidur, dan gangguan medis, neurologis, dan mental. Polisomnografi
semalam dapat membantu mengevaluasi gangguan tidur komorbid lainnya,
seperti apnea tidur. Sifat sirkadian dari tipe fase delayed sleep,
bagaimanapun, harus membedakannya dari gangguan lain dengan keluhan
serupa (Association, 2013).

2. Advanced Sleep Phase Type


 Gangguan tidur lainnya. Faktor perilaku seperti jadwal tidur yang tidak
teratur, bangun lebih awal secara sukarela, dan paparan cahaya di pagi hari
harus dipertimbangkan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua.
Perhatian yang cermat harus diberikan untuk menyingkirkan gangguan
tidur-bangun lainnya, seperti gangguan insomnia, dan gangguan mental
serta kondisi medis lainnya yang dapat menyebabkan bangun pagi
(Association, 2013).

92
 Depressive and bipolar disorders. Karena bangun pagi, kelelahan, dan
mengantuk adalah ciri utama dari gangguan depresi mayor, gangguan
depresi dan bipolar juga harus dipertimbangkan (Association, 2013).

3. Irregular Sleep-Wake Type


 Variasi normatif dalam tidur. Jenis tidur-bangun yang tidak teratur harus
dibedakan dari jadwal tidur-bangun yang tidak teratur dan kebersihan tidur
yang buruk, yang dapat menyebabkan insomnia dan rasa kantuk yang
berlebihan.
 Kondisi medis dan gangguan mental lainnya. Penyebab lain insomnia
dan kantuk di siang hari, termasuk kondisi medis komorbiditas dan
gangguan mental atau pengobatan, harus dipertimbangkan (Association,
2013).

4. Non-24-Hour Sleep-Wake Type


 Circadian rhythm sleep-wake disorders. Pada individu dengan
penglihatan, non-24 hour sleep-wake type harus dibedakan dari tipe fase
tidur tertunda (delayed sleep phase type), karena individu dengan tipe fase
tidur tertunda dapat menunjukkan penundaan progresif serupa dalam
periode tidur selama beberapa hari.
 Depressive disorders. Gejala depresi dan gangguan depresi dapat
menyebabkan disregulasi dan gejala sirkadian yang serupa (Association,
2013).

5. Shift Work Type


 Variasi normatif dalam tidur dengan kerja shift. Diagnosis jenis kerja
shift, yang bertentangan dengan kesulitan '' normal "dari kerja shift, harus
tergantung pada tingkat keparahan gejala dan / atau tingkat kesusahan yang
dialami oleh individu. Adanya gejala jenis kerja shift bahkan ketika Individu
yang mampu hidup pada rutinitas yang berorientasi pada siang hari selama
beberapa minggu pada suatu waktu mungkin menunjukkan adanya

93
gangguan tidur lainnya, seperti apnea tidur, insomnia, dan narkolepsi, yang
harus disingkirkan (Association, 2013).

F. Parasomnias
1. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders
 Nightmare disorder. Berbeda dari individu dengan NREM sleep arousal
disorders, individu dengan nightmare disorder biasanya terbangun dengan
mudah dan lengkap, melaporkan mimpi seperti cerita yang jelas yang
menyertai peristiwa tersebut, dan cenderung mengalami peristiwa di malam
hari. NREM sleep arousal disorders terjadi selama tidur NREM, sedangkan
mimpi buruk biasanya terjadi selama tidur REM. Orang tua dari anak-anak
dengan NREM sleep arousal disorders mungkin salah menafsirkan laporan
citra fragmentaris sebagai mimpi buruk (Association, 2013).
 Breathing-related sleep disorders. Gangguan pernapasan saat tidur juga
dapat menyebabkan timbulnya kebingungan dengan amnesia kemudian.
Namun, gangguan tidur terkait pernapasan juga ditandai dengan gejala
karakteristik mendengkur, jeda pernapasan, dan kantuk di siang hari. Pada
beberapa individu, gangguan tidur terkait pernapasan dapat memicu
peristiwa sleepwalking (Association, 2013).
 REM sleep behavior disorder. REM sleep behavior disorder mungkin sulit
dibedakan dari NREM sleep arousal disorders. REM sleep behavior
disorder ditandai dengan peristiwa gerakan yang menonjol dan kompleks,
sering kali melibatkan cedera pribadi yang timbul dari tidur. Berbeda
dengan NREM sleep behavior disorder, REM sleep behavior disorder
terjadi selama tidur REM. Individu dengan REM sleep behavior disorder
terbangun dengan mudah dan melaporkan konten mimpi yang lebih rinci
dan jelas daripada individu dengan NREM sleep behavior disorder. Mereka
sering melaporkan bahwa mereka "memerankan mimpi" (Association,
2013).

94
 Parasomnia overlap syndrome. Parasomnia overlap syndrome terdiri dari
gambaran klinis dan polisomnografi dari sleepwalking dan REM sleep
behavior disorder (Association, 2013).
 Sleep-related seizures. Beberapa jenis kejang dapat menghasilkan peristiwa
perilaku yang sangat tidak biasa yang terjadi terutama atau secara eksklusif
selama tidur. Kejang nokturnal mungkin mirip dengan NREM sleep
behavior disorder tetapi cenderung lebih stereotip di alam, terjadi beberapa
kali setiap malam, dan lebih mungkin terjadi dari tidur siang. Adanya kejang
terkait tidur tidak menghalangi adanya NREM sleep behavior disorder.
Kejang terkait tidur harus diklasifikasikan sebagai bentuk epilepsi
(Association, 2013).
 Alcohol-induced blackouts. Alcohol-induced blackouts dapat dikaitkan
dengan perilaku yang sangat kompleks tanpa adanya indikasi keracunan
lainnya. Mereka tidak melibatkan hilangnya kesadaran melainkan
mencerminkan gangguan memori yang terisolasi untuk peristiwa-peristiwa
selama minum. Berdasarkan riwayat, perilaku ini mungkin tidak dapat
dibedakan dari yang terlihat pada NREM sleep behavior disorder
(Association, 2013).
 Dissociative amnesia, with dissociative fugue. Fugue disosiatif mungkin
sangat sulit dibedakan dari sleepwalking. Tidak seperti semua parasomnia
lainnya, fugue disosiatif nokturnal muncul dari peristiwa terjaga selama
tidur, bukan secara tiba-tiba dari tidur tanpa terjaga. Riwayat pelecehan fisik
atau seksual masa kanak-kanak yang berulang biasanya ada (tetapi mungkin
sulit diperoleh) (Association, 2013).
 Malingering or other voluntary behavior occurring during wakefulness.
Seperti fugue disosiatif, berpura-pura sakit atau perilaku sukarela lainnya
yang terjadi selama terjaga timbul dari terjaga (Association, 2013).
 Panic disorder. Serangan panik juga dapat menyebabkan bangun
mendadak dari tidur NREM yang dalam disertai dengan rasa takut, tetapi
peristiwa ini menghasilkan kebangkitan yang cepat dan lengkap tanpa

95
kebingungan, amnesia, atau aktivitas motorik yang khas dari NREM sleep
arousal disorders (Association, 2013).
 Medication-induced complex behaviors. Perilaku yang mirip dengan
NREM sleep arousal disorders dapat disebabkan oleh penggunaan, atau
penarikan dari, zat atau obat (misalnya, benzodiazepines,
nonbenzodiazepine sedative-hypnotics, opiates, cocaine, nicotine,
antipsychotics, tricyclic antidepressants, chloral hydrate). Perilaku seperti
itu mungkin muncul dari masa tidur dan mungkin sangat kompleks.
Patofisiologi yang mendasari tampaknya merupakan amnesia yang relatif
terisolasi. Dalam kasus seperti itu, gangguan tidur akibat zat / obat, jenis
parasomnia, harus didiagnosis (Association, 2013).
 Night eating syndrome. Bentuk sleep-related eating disorder dari
sleepwalking harus dibedakan dari sindrom makan malam, di mana ada
penundaan ritme sirkadian saat menelan makanan dan ada hubungannya
dengan insomnia dan / atau depresi (Association, 2013).

2. Nightmare Disorder
 Sleep terror disorder. Baik nightmare disorder maupun sleep terrors
disorder mencakup terbangun atau terbangun sebagian dengan rasa takut
dan aktivasi otonom, tetapi kedua gangguan tersebut dapat dibedakan.
Mimpi buruk biasanya terjadi di malam hari, selama tidur REM, dan
menghasilkan mimpi yang hidup, seperti cerita, dan teringat dengan jelas;
gairah otonom ringan; dan kebangkitan total. Sleep terrors biasanya muncul
pada sepertiga pertama malam selama tidur NREM tahap 3 atau 4 dan tidak
menghasilkan ingatan mimpi atau gambar tanpa kualitas cerita yang rumit.
Teror menyebabkan kebangkitan sebagian yang membuat individu bingung,
bingung, dan hanya responsif sebagian dan dengan gairah otonom yang
substansial. Biasanya ada amnesia pada peristiwa di pagi hari.
 REM sleep behavior disorder. Kehadiran aktivitas motorik yang
kompleks selama mimpi yang menakutkan harus mendorong evaluasi lebih
lanjut untuk gangguan perilaku tidur REM, yang terjadi lebih sering di

96
antara pria paruh baya akhir dan, tidak seperti nightmare disorder, sering
dikaitkan dengan berlakunya mimpi kekerasan dan riwayat cedera
nokturnal. Gangguan mimpi REM sleep behavior disorder digambarkan
oleh pasien sebagai mimpi buruk tetapi dikendalikan oleh pengobatan yang
tepat.
 Bereavement. Mimpi disforik dapat terjadi selama kematian tetapi biasanya
melibatkan kehilangan dan kesedihan dan diikuti oleh refleksi diri dan
wawasan, bukan kesusahan, saat bangun.
 Narcolepsy. Mimpi buruk adalah keluhan yang sering terjadi pada
narkolepsi, tetapi adanya rasa kantuk yang berlebihan dan cataplexy
membedakan kondisi ini dari gangguan mimpi buruk.
 Nocturnal seizures. Kejang jarang bermanifestasi sebagai mimpi buruk dan
harus dievaluasi dengan polisomnografi dan elektroensefalografi video
kontinu. Kejang nokturnal biasanya melibatkan aktivitas motorik stereotip.
Mimpi buruk terkait, jika diingat, sering berulang di alam atau
mencerminkan fitur epileptogenik seperti isi aura diurnal (misalnya, rasa
takut yang tidak termotivasi), fosfen, atau citra iktal. Gangguan rangsangan,
terutama kebingungan terhadap rangsangan, juga bisa ada.
 Breathing-related sleep disorders. Gangguan tidur yang berhubungan
dengan pernapasan dapat menyebabkan terbangun dengan rangsangan
otonom, tetapi ini biasanya tidak disertai dengan mimpi buruk.
 Panic disorder. Serangan yang timbul selama tidur dapat menyebabkan
bangun tiba-tiba dengan rangsangan dan ketakutan otonom, tetapi mimpi
buruk biasanya tidak dilaporkan dan gejalanya mirip dengan serangan panik
yang muncul saat bangun.
 Sleep-related dissociative disorders. Individu mungkin mengingat trauma
fisik atau emosional aktual sebagai "mimpi" selama kebangkitan yang
didokumentasikan dengan elektroensefalografi.
 Medication or substance use. Banyak zat / obat yang dapat memicu mimpi
buruk, termasuk beta-adrenergic antagonists and other antihypertensives;
amphetamine, cocaine, and other stimulants; antidepressants; smoking

97
cessation aids; and melatonin. Penarikan REM sleep-suppressant
medications (mis., Antidepresan) dan alkohol dapat menghasilkan rebound
tidur REM disertai mimpi buruk. Jika mimpi buruk cukup parah untuk
menjamin perhatian klinis independen, diagnosis gangguan tidur akibat zat
/ obat harus dipertimbangkan (Association, 2013).

3. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder


 Other parasomnias. Confusional arousals, sleepwalking, dan sleep terrors
mudah disalahartikan sebagai gangguan perilaku tidur REM. Secara umum,
gangguan ini terjadi pada individu yang lebih muda. Tidak seperti gangguan
perilaku tidur REM, mereka timbul dari tidur NREM yang dalam, karena
itu cenderung terjadi pada bagian awal periode tidur. Saat tersadar dari
confusional arousal biasanya akan terjadi kebingungan, disorientasi, serta
ketidakmampuan mengingat keseluruhan mimpi (Association, 2013).
 Nocturnal seizures. Nocturnal seizures dapat sepenuhnya meniru
gangguan perilaku tidur REM, namun perilaku umumnya lebih stereotip.
Pemantauan polisomnografi yang menggunakan montase seizure
elektroensefalografi penuh dapat membedakan keduanya. Tidur REM tanpa
atonia tidak muncul pada pemantauan polysomnographic (Association,
2013).
 Obstructive sleep apnea. Obstructive sleep apnea dapat menghasilkan
perilaku yang tidak dapat dibedakan dari gangguan perilaku tidur REM.
Pemantauan polysomnographic diperlukan untuk membedakan keduanya.
Dalam kasus ini, gejala-gejala hilang setelah pengobatan yang efektif dari
obstructive sleep apnea, dan tidur REM tanpa atonia tidak akan muncul saat
pemantauan polisomnografi (Association, 2013).
 Other specified dissociative disorder (sleep-related psychogenic
dissociative disorder). Tidak seperti hampir semua parasomnia lain, yang
timbul secara tiba-tiba dari tidur NREM atau REM, perilaku disosiatif
psikogenik muncul saat periode kesadaran yang jelas selama tidur. Tidak

98
seperti gangguan perilaku tidur REM, kondisi ini umumnya lebih sering
muncul pada wanita muda (Association, 2013).
 Malingering. Banyak kasus malingering dimana individu melaporkan tidur
yang bermasalah sangat mirip dengan gambaran klinis gangguan perilaku
tidur REM, maka dari itu wajib dilakukan dokumentasi polisomnografi
(Association, 2013).

G. Restless Legs Syndrome


Kondisi yang paling penting dalam membedakan diagnosa RLS adalah
kram kaki, positional discomfort, artralgia / artritis, mialgia, positional
ischemia (mati rasa), leg edema, neuropati perifer, radikulopati, dan habitual
foot tapping. Knotting muscle (kram) akan lebih ringan dengan sedikit merubah
postur tubuh, keterbatasan sendi, nyeri pada palspasi (mialgia), dan kelainan
lain pada pemeriksaan fisik bukan karakteristik dari RLS. Tidak seperti RLS,
kram kaki nokturnal biasanya tidak disertai dengan keinginan untuk
menggerakkan bagian tubuh juga tidak terdapat gerakan tubuh yang sering.
Kondisi yang kurang umum untuk dibedakan yang berasal dari RLS termasuk
akathisia yang diinduksi neuroleptik, mielopati, vena simptomatik insufisiensi,
penyakit arteri perifer, eksim, masalah ortopedi lainnya, dan kecemasan juga
dapat membuat gelisah. Perburukan pada malam hari dan gerakan tungkai yang
berkala lebih sering terjadi di RLS daripada akathisia yang diinduksi obat atau
neuropati perifer (Association, 2013).
Sementara itu penting bahwa gejala RLS tidak hanya diperhitungkan
oleh medis lain atau kondisi perilaku, harus juga dipahami bahwa salah satu
dari kondisi serupa ini dapat terjadi terjadi pada individu dengan RLS. Jadi
perlu fokus terpisah pada setiap kondisi yang memungkinkan dalam proses
diagnostik dan saat menilai dampaknya. Untuk kasus-kasus di mana diagnosis
RLS tidak pasti, evaluasi untuk fitur yang mendukung RLS, khususnya PLMS
atau riwayat RLS keluarga, dapat bermanfaat. Gambaran klinis, seperti respons
terhadap agen dopaminergik dan riwayat keluarga positif RLS, dapat
membantu diagnosis banding (Association, 2013).

99
H. Substance/Medification-Induced Sleep Disorder
 Substance intoxication or substance withdrawal. Gangguan tidur
umumnya dijumpai dalam konteks intoksikasi zat atau pemberhentian /
penarikan zat. Diagnosis gangguan tidur yang ditimbulkan oleh zat / obat-
obatan seharusnya dibuat, dari pada diagnosis keracunan zat atau penarikan
zat hanya ketika gangguan tidur dominan muncul dalam gambaran klinis
dan cukup berat untuk menjamin perhatian klinis independen (Association,
2013).
 Delirium. Jika gangguan tidur akibat zat/obat terjadi secara eksklusif
selama terjadinya delirium, artinya tidak dapat didiagnosis secara terpisah
(Association, 2013).
 Other sleep disorders. Gangguan tidur yang disebabkan oleh zat/obat
dibedakan dari gangguan tidur lainnya, jika suatu zat/obat dinilai secara
etiologi terkait dengan gejala. Gangguan tidur yang disebabkan oleh obat
yang diresepkan untuk gangguan mental atau kondisi medis, harus memiliki
onset-nya ketika individu menerima obat atau selama penghentian, jika ada
sindrom penghentian/penarikan yang terkait dengan obat. Setelah
perawatan dihentikan, gangguan tidur biasanya akan hilang dalam beberapa
hari hingga beberapa minggu. Jika gejalanya menetap melebihi 4 minggu,
penyebab lain untuk gejala terkait gangguan tidur harus dipertimbangkan.
Tidak jarang, individu dengan gangguan tidur lainnya menggunakan obat-
obatan atau menyalahgunakan obat untuk mengobati gejala mereka sendiri
(misalnya, alkohol untuk manajemen insomnia). Jika zat / obat dinilai
memainkan peran penting dalam eksaserbasi gangguan tidur, diagnosis
tambahan dari gangguan tidur yang disebabkan oleh zat/obat dapat
dibenarkan (Association, 2013).
 Sleep disorder due to another medical condition. Gangguan tidur pada
zat/obat-obatan dan gangguan tidur yang terkait dengan kondisi medis lain
dapat menghasilkan gejala insomnia, mengantuk di siang hari, atau
parasomnia yang mirip. Banyak orang dengan kondisi medis lain yang
menyebabkan gangguan tidur diobati dengan obat-obatan yang juga dapat

100
menyebabkan gangguan tidur (Association, 2013). Kronologi gejala
merupakan faktor terpenting dalam membedakan kedua sumber gejala tidur
ini. Kesulitan tidur yang jelas mendahului penggunaan obat apapun untuk
pengobatan kondisi medis akan menyarankan diagnosis gangguan tidur
yang berkaitan dengan kondisi medis lain. Sebaliknya, gejala tidur yang
muncul hanya setelah inisiasi zat / obat tertentu akan menyarankan
gangguan tidur yang disebabkan oleh zat/obat. Jika gangguan ini komorbid
dengan kondisi medis lain dan juga diperparah oleh penggunaan zat, kedua
diagnosa (yaitu, gangguan tidur yang berkaitan dengan kondisi medis lain
dan gangguan tidur yang diinduksi zat/obat) diberikan. Ketika tidak ada
bukti yang cukup untuk menentukan apakah gangguan tidur disebabkan
oleh zat/obat atau kondisi medis lain atau primer (yaitu, bukan karena salah
satu zat / obat atau kondisi medis lain), maka diagnosa other specified sleep-
wake disorder atau unspecified sleep-wake disorder akan ditegakkan
(Association, 2013).

101
BAB V
TREATMENT

A. Insomnia Disorder
1. Cognitive Behavior Therapy(CBT)
Cognitive Behavior Therapy(CBT) adalah terapi yang konsep
dasarnya meyakini bahwa pemikiran manusia terbentuk melalui
serangkaian Stimulus – Kognisi – Respon (SKR) yang saling berkaitan satu
sama lain dan membentuk semacam jaringan dalam otak manusia. Proses
kognitif akan menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana
manusia berpikir, merasa, dan bertindak. Terapi ini berusaha untuk
membantu individu melakukan perubahan-perubahan, tidak hanya perilaku
nyata tetapi juga dalam pemikiran, keyakinan, dan sikap yang
mendasarinya. Terapi ini berkeyakinan bahwa pola pikir seseorang dalam
menghasilkan perilaku yang diharapkan. Pasien dengan insomnia sering
memiliki pemikiran dan kepercayaan yang negatif tentang konsekuensi dari
kondisi mereka sehingga dengan terapi ini pemikiran negatif mereka
berusaha diubah dan juga dapat membantu mereka mengurangi kecemasan
(Pigeon, 2010).

2. Teknik deconditioning
Pada teknik ini pasien diminta untuk menggunakan tempat tidurnya
hanya untuk tidur dan bukan untuk hal-hal lainnya, bila pasien tidak tertidur
dalam 5 menit, maka mereka diminta untuk bangun dan melakukan hal lain.
Terkadang, berganti tempat atau ruangan tidur berguna bagi pasien (Sadock
B. & Sadock V., 2014).

3. Terapi kontrol stimulus


Edukasi tentang sleep hygiene menurut Ebert Michael H. (2008)
dengan: Menjaga waktu tidur dan terbangun agar konstan, bahkan saat hari
libur. Saat sudah berada di tempat tidur, pasien diminta untuk tidak

102
melakukan kegiatan lain seperti menonton atau membaca. Hindari tidur
siang. Berolahraga secara rutin (3-4 kali per minggu), namun hindari
berolahraga di sore hari bila mengganggu waktu tidur nantinya. Hentikan
atau kurangi mengkonsumsi alkohol, kafein, rokok dan substansi lain yang
dapat mengganggu tidur. Sebelum tidur lakukan aktifitas yang dapat
menenangkan. Aturlah agar ruangan tempat tidur terasa nyaman dan
tenang.

4. Terapi pembatasan tidur (retriksi)


Terapi ini didasarkan pada prinsip bahwa membatasi waktu yang
dihabiskan di tempat tidur dapat membantu memperbaiki kualitas tidur
nantinya (McCurry et. al., 2007).

5. Hipnoterapi
Hipnoterapi merupakan konsep penyembuhan yang
menyeimbangkan sistem harmonisasi tubuh dengan mengatur kembali pola
pola negatif yang sering dilakukan, baik secara sadar maupun tidak secara
sadar olah seseorang. Dengan memasuki pikiran bawah sadar klien, pola-
pola negatif yang selama ini dilakukan oleh klien bisa dikoreksi dan
diprogram kembali dengan memberikan pandangan-pandangan baru yang
bisa memberikan kenyamanan dan ketenangan secara jangka panjang bagi
klien (Hakim, 2010). Hipnoterapi untuk insomnia dapat membantu pasien
rileks dan akhirnya tertidur. Hipnosis untuk insomnia bertujuan untuk
menghasilkan perubahan positif yang akan membantu menghilangkan pola
gangguan tidur yang telah tertanam di alam bawah sadar.

6. Terapi relaksasi
Salah satu cara untuk mengatasi insomnia ini adalah dengan metode
relaksasi (woolfolk, 1983). Teknik ini mengembangkan metode fisiologis
melawan ketegangan dan kecemasan. Teknik ini disebutnya relaksasi
progresif yaitu teknik untuk mengurangi ketegangan. Menurut Jacobson

103
ketegangan dan kecemasan disebabkan oleh ketegangan otot oleh sebab itu
perlu direlaksasikan (Utami, 1993).

7. Paradoxical intention / Paradoxical Intervention


Teknik ini adalah salah suatu teknik dalam pendekatan logoterapi
Viktor Frankl (1986), yang berdasarkan pada konsep selfdistancing atau
melihat diri dari sudut pandang orang lain melalui penggunaan humor atau
absurdity (sesuatu yang tidak mungkin terjadi) (Ameli & Dattilio, 2013).
Terapi ini bertujuan mengurangi rasa cemas dan khawatir tidak bisa tidur,
justru dengan cara tetap terbangun di tempat tidur dan tidak berharap untuk
tertidur.

B. Hypersomnolence Disorder
1. Lifestyle modifications
Strategi ini merupakan serangkaian strategi awal untuk diterapkan
setelah diagnosis yang akurat telah dibuat. Perubahan-perubahan ini jarang
cukup sebagai pengobatan yang berdiri sendiri, melainkan dimaksudkan
sebagai komponen dari pendekatan terapi yang lebih holistic / sebagai
pendamping treatment lainnya.

2. Sleep hygiene.
Sleep hygiene ini termasuk praktik-praktik yang meningkatkan
kualitas tidur, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tidur, dan
kebiasaan-kebiasaan yang menciptakan homeostatic need untuk tidur
sambil reinforcing circadian disorder dan menghindari kekurangan tidur.
Rekomendasi tersebut harus bersifat individual.

3. Scheduled naps
Tidur siang yang dijadwalkan telah terbukti mengurangi rasa kantuk
di siang hari tanpa mempengaruhi latensi tidur malam berikutnya.Tidur
siang yang terjadwal berkisar antara 15-30 menit.

104
4. Penggunaan Obat- Obatan
Modafinil. Modafinil disetujui oleh Food and Drug Administration
(FDA) dan dianggap sebagai agen pertama untuk narkolepsi, gangguan tidur
kerja shift, dan kantuk sisa dalam sleep apnea yang diobati. Armodafinil.
R-enansiomer modafinil rasemik berbagi aktivitas farmakologis yang mirip
dengan modafinil tetapi sifat farmakokinetik yang berbeda karena tingkat
metabolisme yang berbeda. Sodium oxybate. Sodium oxybate, juga disebut
gamma hydroxybutyrate (GHB), adalah agen yang awalnya terbukti
mempromosikan slow wave (NREM 3) dan tidur REM pada subjek yang
dibius, digunakan untuk hipersomnia dan cataplexy pada banyak pasien
narkolepsi. Amphetamines. Amfetamin memiliki struktur kimia yang mirip
dengan katekolamin endogen seperti epinefrin, norepinefrin, dan dopamin.
Amphetamine efektif dan disetujui FDA untuk perawatan hipersomnia pada
narkolepsi.

C. Narcolepsy
1. Symptomatic pharmacological approaches
Treatment pharmacological diberikan bersamaan dengan terapi
non-pharmacological. Berikut obat-obatan yang digunakan dalam
symptomatic narcolepsy treatment (Bassetti dkk, 2019):
Obat-obatan Dosis sehari-hari Indikasi
Modafinil 100–400 mg Perawatan pertama untuk EDS
Armodafinil 100–250 mg Perawatan pertama untuk EDS
Pitolisant 4.5–36.0 mg Perawatan pertama untuk EDS
dan cataplexy
Sodium oxybate 4.5–9.0 g Perawatan pertama untuk
EDS, cataplexy, dan gangguan
tidur malam hari.
Solriamfetol 75–150 mg Perawatan pertama untuk EDS

105
Antidepressants  Venlafaxine Perawatan pertama dan kedua
37.5–300.0 mg untuk cataplexy dan
 Fluoxetine 20–60 perawatan ketiga untuk EDS
mg
 Clomipramine
10–50 mg
 Citalopram 10–75
mg
Methylphenidate 10–60 mg Perawatan kedua untuk EDS
Amphetamines  Amphetamine Perawatan kedua untuk EDS
mixed saltsb 10–
60 mg
 Dexamphetamine
10–60 mg

2. Pendekatan behavioral
 Mengatur kebiasaan tidur nokturnal
o Hindari kekurangan tidur dan perubahan pada waktu tidur
o Melakukan teknik relaksasi sebelum tidur nokturnal
 Menjadwalkan tidur siang
o Tidur 15 menit antara pukul 12.30 – 17.00 lebih efektif
o Ambil waktu tidur 15 menit
o Buat rencana tidur sejenak sebelum menggunakan obat-obatan
 Diet
o Kopi, teh, dan stimulan lain hanya digunakan pada jadwal yang
sudah dibuat dan berdasarkan rekomendasi dokter
o Karbohidrat dan makanan manis harus dihindari dari saat bangun
pagi hingga jam 12 siang.
o Meminimalkan penggunaan alkohol
o Hindari obat-obatan yang meningkatkan rasa kantuk

106
 Konseling
o Konseling untuk pengorganisasian ulang gaya hidup
o Konseling untuk mereview jenis kerja atau psikoterapi individu
atau kelompok
o Membantu memprogram kesadaran mental yang dibutuhkan pada
aktivitas sehari-hari (Agudelo, Correa, Sierra, Pandi-Perumal, &
Schenck, 2014)

3. Teknik Cognitive Behaviroal Therapy (CBT):


 Untuk mengurangi serangan kantuk siang hari:
o Tidur sejenak yang terjadwal, berkisar 15-20 menit hingga lebih
dari 1 jam.
 Untuk mengurangi serangan cataplexy
o Systematic desensitization. Aplikasi hirarkhi dari stimulus tidak
menyenangkan sebelumnya dimana pasien merasa bahwa
cataplexy-nya berkurang.
o Stimulus control. Menggunakan reinforcer yang mempertahankan
perilaku cataplex sampai efeknya hilang.
 Untuk mengurangi halusinasi hipnagogis
o Imagery rehearsal therapy. Memilih mimpi buruk tertentu, ubah
ke gambaran baru yang diinginkan, lalu review gambar selama 15-
20 saat sadar dapat mengurangi mimpi buruk.
 Untuk mengurangi akibat dari gejala yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari:
o Cognitive therapy. Mengidentifikasi dan mengubah disfungsi
kognisi pasien (Agudelo, Correa, Sierra, Pandi-Perumal, &
Schenck, 2014)

D. Breathing-Related Sleep Disorder


1. Obstructive Sleep Apnea Hypopnea
a. Non-surgical Treatments

107
 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Pada CPAP, saluran
pernapasan atas dibuka untuk meningkatkan patensi selama tidur.
Penggunaan CPAP secara efektif mengurangi gejala kantuk dan
meningkatkan kualitas hidup dalam obstructive sleep apnea hypopnea
sedang hingga berat (Chang, Chen, & Du, 2019).
 Pengaplikasian Oral (OA). Alat penahan lidah dan pengaplikasian
orthodontic adalah alat yang umum digunakan. Alat tersebut
meningkatkan saluran pernapasan dengan mengubah posisi lidah dan
menggabung struktur saluran pernapasan atas. Hasil perawatan dengan
OA cenderung efektif untuk pasien dengan struktur craniofacial tertentu
seperti saluran napas retroglosaal yang sempit dan wajah anterior yang
pendek (Chang, Chen, & Du, 2019).
 Mini-implant assisted rapid maxillary expansion (MARME).
Prosedur ini bisa meningkatkan volume rongga hidung, dimana implan
kecil diposisikan di bagian posterior. MARME memiliki resiko yang
lebih kecil dan efektif bagi orang dewasa dengan obstructive sleep
apnea hypopnea (Chang, Chen, & Du, 2019).

b. Surgical Treatments
 Maxillomandibular advancement surgery (MMA). Operasi ini tidak
hanya memperbesar saluran pernapasan tapi juga meningkatkan tulang
hyoid. Pada MMA, dasar lidah dan langit-langit lunak ditarik ke depan
sehingga meningkatkan saluran pernapasan (Chang, Chen, & Du,
2019).
 Hypoglossal nerve stimulation. Pada operasi ini, alat stimulasi
dipasang di saluran pernapasan atas pada pasien yang memiliki
kesulitan toleransi dengan CPAP. Neurostimulasi untuk stabilitas
saluran napas atas selama tidur lebih efektif pada pasien tertentu
(Chang, Chen, & Du, 2019).

108
2. Central Sleep Apnea
a. CPAP (Continuous Positive Airways Pressure)
CPAP (Continuous Positive Airways Pressure) bekerja dengan
memberikan tekanan positif di jalan napas pada tingkat yang konstan agar
jalur pernapasan tetap terbuka selama tidur dan mempertahankan volume
paru. Tekanan udara yang nantinya dikeluarkan CPAP diatur berdasarkan
pada petunjuk dokter setelah pemeriksaan, dimana CPAP akan konstan
menghembuskan udara dari awal mulai tidur sampai bangun kembali. Hal
ini tentunya kurang efektif, karena CPAP akan bekerja terus walaupun
sedang tidak terjadi apnea. Hembusan udara 2 yang dihasilkan oleh CPAP
ternyata dalam banyak kasus menyebabkan penggunanya kesulitan untuk
mulai tidur (Hisif, 2018).

b. ASU (adaptive servo ventilator)


Fungsi utama ASV berbeda yaitu lebih berfungsi untuk memberi
oksigen jika terjadi apnea selama tidur ketimbang memberikan tekanan
positif untuk membuka jalan napas; apabila saturasi oksigen turun di bawah
90%, ASV akan memberikan oksigen (Suryawati, 2018)

3. Sleep-Related Hypoventilation
a. Congenital central alveolar hypoventilation adalah kelainan genetik yang
disebabkan oleh mutasi PHOX2B, sebuah gen yang sangat penting untuk
pengembangan sistem saraf otonom embrionik dan neural crest derivatives.

E. Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders


Durand (1988) dan Regestein (1990) dalam (Waedhni, 2010)
menyarankan beberapa penerapan kebiasaan tidur yang baik antara lain:
 Menetapkan rutinitas dan waktu bangun regular yang sama setiap hari .
 Batasi atau hentikan zat yang bekerja di SSP (kafein, nikotin, alcohol,
stimulan).

109
 Naik ke tempat tidur hanya setelah merasa mengantuk dan bangkit dari
tempat tidur bila tidak dapat tidur dalam 15 menit dan minum susu sebelum
tidur.
 Hindari tidur sekejap siang hari (kecuali menyebabkan tidur malam lebih
baik) .
 Dapatkan kebugaran fisik dengan rajin olahraga pagi secara bertahap.
 Batasi aktivitas di kasur pada aktivitas membantu induksi tidur, hindari
stimulasi malam seperti aktivitas berat, ganti televisi dengan radio, bacaaan
santai.
 Kurangi suara keras dan cahaya di tempat tidur.
 Makan pada waktu yang teratur setiap hari dengan diet berimbang dan
membatasi lemak ; hindari makan besar dalam jumlah besar sebelum tidur.
 Hindari perubahan suhu udara ekstem di kamar misal terlalu panas atau
dingin.
 Lakukan relaksasi malam seperti relaksasi otot progresif atau meditasi.

1. Non-24-Hour Sleep-Wake Type


Untuk pasien dengan penglihatan, AASM Practice Parameters
merekomendasikan planned sleep schedules, timed bright light exposure, dan
pemberian melatonin sebagai pilihan pengobatan, untuk individu yang buta
dapat diobati dengan timed melatonin administration (Ehren R. Dodson, 2010).

2. Work Shift Type


 Improving Sleep
Pasien harus mempraktikkan kebersihan tidur yang baik, termasuk
menghindari alkohol dan kafein menjelang waktu tidur. Karena pekerja shift
sering tidur di siang hari, penting untuk memastikan lingkungan kamar tidur
yang kondusif untuk tidur. Lingkungan tidur harus sejuk, gelap, tenang, dan
rapi. AC, penutup mata, dan penutup telinga dapat menjadi alat yang hemat
biaya untuk menciptakan lingkungan tidur yang optimal.

110
F. Parasomnias
1. Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders
a. Environmental Safety
Modifikasi lingkungan (misalnya, memindahkan benda tajam atau memiliki
potensi yang membahayakan, furnitur, dan senjata dari kamar tidur;
mengamankan jendela dan outlet lainnya; menggunakan alarm pintu) dapat
mencegah konsekuensi yang bermasalah (Muna Irfan, 2017).
b. Pharmacotherapy
Benzodiazepin dan antidepresan adalah farmakoterapi andalan, tergantung
pada jenis gangguan rangsangan. Klonazepam sering digunakan sebagai
first-line agent untuk mengobati non-REM parasomnias, meskipun
intermediate and longacting benzodiazepines lain juga dapat digunakan
(Muna Irfan, 2017).

2. Nightmare Disorder
a. Desensitization and exposure therapy
Desensitisasi dan terapi eksposur adalah pendekatan pertama yang
digunakan untuk mengobati mimpi buruk secara langsung. Untuk latihan
desensitisasi, pertama-tama pasien diperkenalkan pada relaksasi otot
(muscular relaxation). Kemudian dia diminta untuk membayangkan mimpi
buruk, tanpa mengubahnya, dan kemudian diminta rileks/tenang setiap kali
bayangan tersebut menyebabkan ketegangan. Selama terapi ekposur, pasien
juga diminta untuk membayangkan mimpi buruk dengan jelas tetapi tanpa
latihan relaksasi yang menyertai dan juga tanpa mengubah alur cerita secara
aktif (Gieselmann, 2019).

b. Imagery rehearsal therapy (IRT)


Pendekatan IRT untuk mengobati mimpi buruk didukung oleh bukti
terbaik yang tersedia dan oleh karena itu direkomendasikan sebagai
pengobatan tingkat A untuk gangguan mimpi buruk oleh Oxford Centre for
Evidence Based Medicine, serta oleh AASM. Dengan IRT, pasien

111
diinstruksikan untuk menceritakan kembali cerita mimpi buruk tersebut
selama terjaga. Instruksi aslinya adalah: "Ubah mimpi buruk itu sesuka
Anda" yang tidak menawarkan penargetan khusus dari akhir mimpi buruk
atau komponen spesifik lainnya dari mimpi yang mengganggu, sedangkan
yang lain telah mengusulkan untuk mengubah mimpi buruk menjadi
"kemenangan" " memuaskan "atau" lebih netral atau bahkan menyenangkan
". Mimpi buruk yang direskripsikan ini (yang tidak lagi tampak seperti
mimpi buruk) kemudian dilatih dalam imajinasi pasien beberapa kali setiap
hari (Gieselmann, 2019).

3. Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder (RBD)


a. Pengamanan Fisik
Dokter mungkin menyarankan pasien untuk membuat perubahan
dalam lingkungan tidurnya agar lebih aman bagi pasien dan pasangan
tidurnya, termasuk:
 Melapisi lantai di dekat tempat tidur.
 Menghilangkan benda berbahaya dari kamar tidur, seperti benda tajam
dan senjata.
 Menempatkan pembatas di sisi tempat tidur.
 Memindahkan perabotan dan barang-barang yang berantakan dari
tempat tidur.
 Melindungi jendela kamar tidur.
 Mungkin tidur di tempat tidur atau kamar yang terpisah dari pasangan
tidur sampai gejala dapat terkontrol.

b. Pengobatan
 Melatonin. Dokter mungkin meresepkan suplemen makanan yang
disebut sebagai melatonin, yang dapat membantu mengurangi atau
menghilangkan gejala pasien. Melatonin mungkin sama efektifnya
dengan clonazepam dan biasanya dapat ditoleransi dengan baik oleh
pasien serta memiliki efek samping yang sedikit.

112
 Clonazepam (Klonopin). Obat ini sering digunakan untuk mengobati
kecemasan, yang juga merupakan pilihan tradisional untuk mengobati
gangguan perilaku tidur REM, karena dapat mengurangi gejala RBD
dengan efektif. Clonazepam dapat menyebabkan efek samping seperti
kantuk di siang hari, penurunan keseimbangan dan memburuknya sleep
apnea (Staff, 2018).

G. Restless Legs Syndrome (RLS)


Meskipun RLS dapat menjadi gangguan yang melemahkan, RLS
merupakan kondisi yang dapat diobati dan responsif terhadap terapi non-
farmasi maupun farmasi. The restless leg foundation merekomendasikan
bahwa dokter dapat mendasarkan terapi mereka berdasarkan tingkat keparahan
penyakit dan komorbiditas pasien.
1. Iron Therapy
Saat ini, ada banyak penelitian klinis yang menunjukkan bahwa
kekurangan zat besi pada otak berperan dalam pengembangan RLS. Dokter
didorong untuk mengevaluasi status zat besi dari semua pasien dengan tanda
dan gejala RLS. Pasien dengan serum feritin di bawah 75ng / L telah
menunjukkan perbaikan gejala dengan suplementasi zat besi. Konsensus
umum adalah dengan meresepkan 325mg sulfat besi oral untuk diminum
setiap hari bersama dengan 100mg sampai 200mg vitamin C untuk
meningkatkan penyerapan zat besi.
Pada beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dalam uji
klinis yang mengobati RLS melalui metode oral dan intravena (IV).
Suplementasi zat besi IV dikenal dengan cepat mengisi kembali simpanan
zat besi dan membutuhkan administrasi yang lebih sedikit daripada terapi
oral, namun agak kurang nyaman untuk dilakukan. Formulasi IV biasanya
dipertimbangkan ketika terapi oral tidak dapat ditoleransi oleh pasien, jika
formulasi zat besi tidak dapat diserap secara oral, atau terapi besi oral tidak
dapat mengimbangi kehilangan zat besi yang cepat (misalnya kehilangan
darah akut).

113
2. Terapi Non-farmakologis
Terapi nonfarmasi sering direkomendasikan pada semua kategori
pengobatan. Namun, penerapan terapi berikut ini didasarkan pada jumlah
uji coba terkontrol secara acak (RTC) yang tidak mencukupi. Strategi umum
yang direkomendasikan untuk pasien adalah pantangan terhadap alkohol
dan minuman berkafein, kebersihan tidur yang tepat, dan alat kompresi
pneumatik. Beberapa uji klinis telah menunjukkan manfaat positif dengan
melakukan olahraga ringan.
Sebuah uji coba selama 12 minggu yang melibatkan 23 peserta yang
terlibat dalam pelatihan aerobik dan latihan ketahanan tubuh bagian bawah
menghasilkan perbaikan gejala RLS. Selanjutnya, meta-analisis yang
melibatkan empat studi klinis menyimpulkan pengurangan keparahan gejala
RLS melalui olahraga ringan (Kwatra, Khan, Quadri, & Cook, 2018).

H. Substance/Medication-Induced Sleep Disorder


Karena kondisi ini disebabkan oleh penggunaan obat, pengobatan
akan difokuskan pada penghentian obat tersebut atau menangani gejala yang
muncul setelah berhenti menggunakan obat-obatan tersebut. Jika pasien
menggunakan alkohol, opioid, sabu, atau benzodiazepin, penting untuk
mendapatkan dukungan medis yang tepat selama proses withdrawal. Hal ini
tidak hanya akan membuat pasien lebih nyaman, dengan gejala yang lebih
sedikit, tetapi zat ini juga dapat menyebabkan gejala penarikan yang parah
seperti kejang atau psikosis yang dapat mengancam jiwa jika tanpa
pengawasan medis (Association, 2013).
Setelah pasien menghentikan obat yang menyebabkan permasalahan
tidur, butuh waktu yang cukup lama untuk mengembalikan pola tidur yang
normal. Maka dari itu harus bersabar. Cara terbaik untuk mendukung proses
ini adalah:
 Atur dan pertahankan waktu tidur dan bangun yang teratur.
 Lakukan olahraga teratur di siang hari.

114
 Keluar di pagi hari, dapat membantu menyetel ulang "jam tubuh" pasien.
 Hindari stress.
 Penuhi nutrisi yang baik, tanpa merasa terlalu lapar atau terlalu kenyang
saat ingin tidur ( Hartney, 2019).

115
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sleep-wake disorder terdiri dari 10 kelompok yang terdiri dari insomnia
disorder, hypersomjiolence disorder, narcolepsy, gangguan tidur terkait
pernapasan, circadian rhythm sleep-wake disorders, non-rapid eye movement
(NREM) sleep arousal disorders, gangguan mimpi buruk, rapid eye movement
(REM) sleep behavior disorder, Restless Legs Syndrome (RLS), dan
Substance/Medication-Induced Sleep Disorder. Gangguan tidur sering kali disertai
dengan depresi, kecemasan, dan perubahan kognitif yang harus ditangani dalam
perencanaan dan manajemen perawatan yang akan dilakukan. Gangguan tidur juga
dapat diakibatkan oleh gangguan lainnya atau pun masalah kesehatan fisik dan
penggunaan obat-obatan tertentu. Meskipun terdapat beberapa persamaan kriteria
gangguan tertentu, tetapi kriteria gangguan harus ditinjau lebih jauh lagi dengan
pendekatan multidimensional agar tidak salah menegakkan diagnosa. Penanganan
gangguan sleep-wake disorder dapat dilakukan dengan non-farmakologi dan
farmakologi.

B. Saran
Kita sebagai masyarakat tidak boleh secara sembarang memberikan
diagnosa tertentu terhadap masalah yang dialami orang lain atau diri kita sendiri
karena pada dasarnya untuk dapat dikatakan sebagai gangguan harus ada kriteria
tertentu yang dipenuhi. Ada baiknya jika mengetahui bahwa memang diri kita
mengalami gangguan tidur ini setelah berkonsultasi dengan ahli, penanganan non-
farmakologi digunakan terlebih dahulu sebelum menggunakan penanganan
farmakologi karena obat-obatan tertentu pasti memiliki efek samping jika dipakai
dalam waktu yang lama.

116
DAFTAR PUSTAKA

Agudelo, H. A., Correa, U. J., Sierra, J. C., Pandi-Perumal, S. R., & Schenck, C.
H. (2014). Cognitive Behavioral Treatment for Narcolepsy: Can it
Compelement Pharmacotherapy? Sleep Science, 30-42.

Al, M. e. (2007). Evidence-Based Interventions to Improve Quality of Life for


Individuals with Dementia. Sleep Medicine Reviews.

Association, A. P. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders


"DSM-5". Washington DC: American Psychiatric Publishing.

Attarin, H. (2014). Treatment of Hypersomnolence . Journal Current Treatment


Option in Neurology.

Bassetti, C. L. (2019). Narcolepsy — Clinical Spectrum, Aetiopathophysiology,


Diagnosis and Treatment. Nature Reviews Neurology, 519-539.

Billiard, M. (2008). Narcolepsy: Current Treatment Options and Future Approach.


Neuropsychiatric Disease and Treatment, 4, 557-566.

Chang, H. P., Chen, Y. F., & Du, J. K. (2019). Obstructive Sleep Apnea
Treatment in Adults. The Kaohsiung Journal of Medical Sciences, 36(1).

Ehren R. Dodson, P. (2010). Therapeutics for Circadian Rhythm Sleep Disorders.


Sleep Med Clin, 1-20.

Gieselmann, A. (2019). Aetiology and treatment of nightmare disorder: State of


the art and future perspectives. Journal of Sleep Research, 1-17.

Hartney, E. (2019, May 17). Retrieved September 19, 2020, from Very Well
Mind: https://www.verywellmind.com/substance-medication-induced-
sleep-disorder-4152072

117
Hisif, B. A. (2018). SIMULASI PENGENDALIAN CPAP (CONTINUOUS
POSITIVE. SKRIPSI. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta.

Jehan, S. (2017). Shift Work and Sleep: Medical Implications and Management.
1-14.

Kwatra, V., Khan, M. A., Quadri, S. A., & Cook, T. S. (2018, September 13).
Differential Diagnosis and Treatment of Restless Legs Syndrome: A
Literature Review. Cureus. doi:10.7759/cureus.3297

Muna Irfan, M. (2017). Non–Rapid Eye Movement Sleep and Overlap


Parasomnias. 1035-1050.

Pigeon, W. R. (2010). Treatment of adult insomnia with cognitive-behavioral


therapy . Journal of Clinical Psychology.

R. Robert Auger, M. (2015). Clinical Practice Guideline for the Treatment of


Intrinsic Circadian Rhythm Sleep-Wake Disorders. Journal of Clinical
Sleep Medicine,, 1199-1236.

Respir, A. (2014, 9 20). Insomnia. Retrieved from American Thoracic Society:


https://www.sleepducation

Roneil G. Malkani, M. M. (2018). Diagnostic and Treatment Challenges of


Sighted Non–24-Hour Sleep-Wake Disorder. Journal of Clinical Sleep
Medicine, 603-613.

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2014). Kaplan & Sadock's Concise Textbook of
Clinical Psychiatry. USA: Lippincott William & Wilkins.

Staff, M. C. (2018, January 18). Retrieved September 19, 2020, from Mayo
Clinic: https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/rem-sleep-
behavior-disorder/diagnosis-treatment/drc-20352925

Suryawati, H. (2018). Positive Airway Pressure sebagai Terapi Definitif


Obstructive Sleep Apnea (OSA). 383.

118
Uttami, M. (1993). Prosedur Relaksasi. Yogyakarta: UGM.

Waedhni, A. K. (2010). Perbedan kualitas tidur pada pasian asma terkontrol


dengan tidak terkontrol di RSUD MOEWARDI Surakarta, SKRIPSI.
Surakarta: Universitas Surakarta.

119

Anda mungkin juga menyukai