Anda di halaman 1dari 24

Sari Kepustakaan Telah di ACC Supervisor Telah dibacakan,

Divisi Psikosomatis dr. Wika Hanida Lubis, SpPD, K-Psi dr. Wika Hanida Lubis, SpPD, K-Psi

INSOMNIA
Baginda Yusuf Siregar, Wika Hanida Lubis, Habibah Hanum Nasution
Divisi Psikosomatik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU
RSUP. Haji Adam Malik Medan

1. Pendahuluan
Insomnia merupakan ketidakpuasan kuantitas atau kualitas tidur yang ditandai
kesulitan memulai tidur, sering terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali
tidur, atau bangun lebih awal di pagi hari. Gangguan ini juga ditandai distress atau
gangguan dalam bekerja, gejala kelelahan sepanjang hari, kantuk di siang hari,
gangguan kognitif dan gangguan mood (Levenson, Kay and Buysse, 2015).
Data studi epidemiologi secara global, sekitar 30% orang mengalami insomnia,
dengan gejala insomnia berat sekitar 10%. Di Amerika Serikat, sebesar 17% orang
mengalami insomnia (Prasetyo, Soemarko and Kusumadewi, 2018). Sebagian besar
negara-negara Eropa memiliki prevalensi cukup tinggi di Kanada 24%, Jerman 19%
dibandingkan negara Asia di Cina 15%, dan Jepang (12.2% pada pria dan 14.6% pada
wanita). Pada tahun 2015, dilaporkan prevalensi insomnia di Indonesia sebesar 11 %
(Peltzer and Pengpid, 2019) (Bhattacharya, Sen and Suri, 2013). Prevalensia insomnia
meningkat progresif pada usia di atas 65 tahun. Prevalensi wanita lebih banyak
mengalami insomnia dibandingkan laki-laki (Singh and Dhandevi, 2016).
Insomnia memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup, karena kualitas tidur yang
buruk menurunkan kualitas hidup (Grewal and Doghramji, 2017). Insomnia juga dapat
menyebabkan peningkatan risiko depresi, kecemasan, penyalahgunaan zat, bunuh diri,
dan menurunkan daya tahan tubuh (Bollu and Kaur, 2019). Insomnia juga menyebabkan
peningkatan resiko penyakit jantung, gangguan ingatan, resiko kecelakaan, dan
mempengaruhi aktivitas sehari-hari terganggu (Malan and Dlamini, 2017).

1
2. Definisi Insomnia
Berdasarkan American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders Fifth Edition (DSM 5), Insomnia merupakan suatu
gangguan tidur yang ditandai dengan kesulitan memulai atau mempertahankan tidur
selama tiga malam atau lebih dalam seminggu yang dialami minimal 3 bulan (Griend
and Anderson, 2012).
World Health Organization (WHO) mendefinisikan insomnia sebagai kondisi
kuantitas atau kualitas tidur yang tidak memuaskan, yang dialami periode waktu yang
cukup lama, termasuk sulit memulai tidur, sulit mempertahankan tidur, atau bangun
yang terlalu cepat (Wilson and Attarian, 2017).

3. Epidemiologi Insomnia
Data studi epidemiologi secara global, sekitar 30% orang mengalami insomnia,
dengan gejala insomnia berat sekitar 10%. Di Amerika Serikat, sebesar 17% orang
mengalami insomnia (Prasetyo, Soemarko and Kusumadewi, 2018). Sebagian besar
negara-negara Eropa memiliki prevalensi cukup tinggi di Kanada 24%, Jerman 19%
dibandingkan negara Asia di Cina 15%, dan Jepang (12.2% pada pria dan 14.6% pada
wanita). Pada tahun 2015, dilaporkan prevalensi insomnia di Indonesia sebesar 11 %
(Peltzer and Pengpid, 2019).
Prevalensi insomnia bervariasi tergantung pada parameter yang dipilih. Data
studi epidemiologi prevalensi insomnia terdiri dari empat kategori. Data berdasarkan
gejala sulit memulai dan mempertahankan tidur, prevalensi insomnia mencapai 30-48%.
Prevalensi insomnia berdasarkan komorbid yang mempengaruhi sekitar 12-16%.
Prevalensi insomnia yang mempengaruhi aktivitas sehari-hari adalah 9-15%.
Berdasarkan parameter ketidakpuasan kualitas dan kuantitas tidur, prevalensi insomnia
8-18%. Berdasarkan klasifikasi DSM IV prevalensi insomnia sekitar 4.4% - 6.4%
(Bhattacharya, Sen and Suri, 2013). Prevalensia insomnia meningkat progresif pada usia
di atas 65 tahun. Prevalensi wanita lebih banyak mengalami insomnia dibandingkan
laki-laki (Singh and Dhandevi, 2016).

2
4. Fisiologi Tidur
Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar parsial yang dapat distimulasi.
Proses siklus tidur terdiri dari dua fase, non-rapid eye movement (NREM) dan rapid eye
movement (REM). Idealnya seseorang mengalami 4-6 siklus REM dan NREM yang
berlangsung selama sekitar 70 hingga 120 menit (Malan and Dlamini, 2017).
Terdapat 4 tahap NREM seorang individu yang sehat akan berkembang melalui
tahap-tahap ini sebelum periode REM. Tahap 1 dan 2 terjadi selama 30-45 menit
pertama tidur, merupakan keadaan antara terjaga dan tidur yang dapat digambarkan
sebagai perasaan mengantuk. Ketika kita jatuh lebih dalam ke dalam siklus tidur
berlanjut ke tahap 3 dan 4, juga disebut tidur gelombang lambat atau gelombang delta,
karena aktivitas lambat dari pola gelombang pada EEG (Malan and Dlamini, 2017).
Pola dan jenis tidur dipengaruhi oleh waktu dalam sehari. Siklus tidur ini
berlangsung sekitar 90 menit. Siklus tidur dimulai dengan tidur NREM beralih dari tidur
ringan (NREM tahap 1), selanjutnya tidur lebih dalam (NREM tahap 2) dan tidur
nyenyak (NREM tahap 3), dan kemudian ke episode tidur REM. NREM tahap 3 disebut
sebagai tidur nyenyak karena memerlukan rangsangan yang lebih intens untuk membuat
seseorang terbangun (Driver et al., 2012).
Pada orang dewasa, episode pertama tidur REM dimulai sekitar 70-100 menit
setelah tertidur. Tergantung pada berapa lama seseorang tidur, seseorang biasanya
memiliki 4 sampai 6 siklus tidur malam. Bahkan dengan siklus NREM dan tidur REM
ini, sebagian besar tidur nyenyak seseorang adalah dalam dua siklus pertama malam itu.
Episode tidur REM dimulai dengan singkat (sekitar 10 menit) (Driver et al., 2012).
Siklus tidur menunjukkan ritme sirkadian normal yang diatur oleh nukleus
suprachiasmatic di hipotalamus, juga disebut jam biologis. Nukleus suprachiasmatic
menginduksi tidur dengan menghambat sistem pengaktifan retikuler melalui regulasi
nukleus preoptiknya (penginduksi tidur) yang menempatkan korteks untuk tidur.
Orexins, juga disebut bahan kimia pembangun dilepaskan oleh hipotalamus sesaat
sebelum bangun dan membangunkan korteks. Neurokimia yang terlibat dalam tidur
adalah kompleks dan sulit untuk dilokalisasi ke area tertentu dan neurotransmitter otak.
Namun, fase NREM dikendalikan oleh bagian basal anterior dan nukleus raphe dorsal
yang mengandung sebagian besar tubuh serotonergik. Sel-sel kolinergik di daerah
gigantoseluler mesencephalic, medullary, dan pontine mengatur fase REM.

3
Neurotransmitter lain yang terlibat dalam tidur termasuk dopamin, norepinefrin,
asetilkolin, histamin dan neuropeptida dan faktor pelepas kortikotropin (Malan and
Dlamini, 2017).
Mekanisme bangun diatur oleh kelompok sel hipotalamus (neuron orexinergic),
basal otak anterior dan batang otak yang mengaktifkan thalamus dan korteks serebral.
Sebagai pusat pengaturan tidur, VLPO (nukleus preoptik ventrolateral) aktif selama
tidur, memberikan output terhadap penunjang bangun tidur di hipotalamus dan batang
otak yang mengatur gairah dan mengurangi aktivitas dengan neurotransmitter inhibisi
GABA (asam gamma-monobutyric). VLPO juga menerima sinyal aferen dari sistem
monoaminergik dan neuronnya diinhibisi oleh noradrenalin dan serotonin, serangkaian
"flip-flop switch" dengan transisi bangun dan tidur. Ketidakseimbangan antara daerah
yang mempromosikan tidur dalam Sistem Saraf Pusat (SSP) (VLPO, neurotransmitter:
GABA) dan neuron penginduksi arous (neuron orexin di hipotalamus lateral) dengan
hiperaktifitas dari sistem orexin atau hipofungsi dari VLPO menyebabkan gangguan
tidur dan bangun (Riemann et al., 2020).

Gambar 1. Gambaran struktur anatomi regulasi dan jalur mengatur bangun (kiri), Non
REM (tengah) dan REM (kanan) (Riemann et al., 2020).

5. Faktor Resiko Insomnia


Pekerjaan, status sosial ekonomi, status perkawinan, dan kesehatan mental dan
fisik juga berdampak pada prevalensi insomnia. Hubungan langsung antara
pengangguran, status sosial ekonomi yang lebih rendah, tingkat pendidikan yang lebih
rendah dengan peningkatan prevalensi insomnia. Peningkatan prevalensi insomnia
berhubungan dengan status pernikahan, dimana status single, duda dan janda karena
bercerai lebih tinggi dibandingkan dengan orang memiliki pasangan (Grewal and
Doghramji, 2017).

4
Stresor psikososial dan kesehatan fisik yang buruk juga berhubungan dengan
prevalensi insomnia yang lebih tinggi seperti halnya kesehatan mental yang buruk.
Masalah medis yang terkait dengan insomnia termasuk gangguan depresi, gangguan
kecemasan, penyalahgunaan obat-obatan, skizofrenia, gagal jantung kongestif,
gangguan pernapasan saat tidur (Grewal and Doghramji, 2017). Selain itu, prevalensi
insomnia sering terjadi pada perokok, sangat aktif secara fisik, jarang mengkonsumsi
buah dan sayuran, dan sering makan makanan cepat saji dan minum minuman ringan
(Peltzer and Pengpid, 2019).

Tabel 1. Faktor Resiko Insomnia


Situasional
Masalah pribadi, stres terkait pekerjaan, krisis keuangan, kondisi yang menyebabkan
kelelahan ekstrem
Medis
Gangguan endokrin (diabetes, hipertiroidisme)
Kondisi kardiovaskular (angina, gagal jantung, aritmia)
Kondisi pernapasan (asma, sleep apnea)
Sakit kronis
Gangguan gastrointestinal (penyakit gastroesophageal reflux, bisul)
Gangguan neurologis (delirium, epilepsi, penyakit Parkinson)
Kehamilan
Psikiatri
Gangguan yang memengaruhi suasana hati seperti mania dan gangguan depresi
mayor
Penyalahgunaan zat
Gangguan yang menyebabkan kekhawatiran, kegugupan, dan ketakutan yang
berlebihan, seperti kecemasan umum dan gangguan obsesif kompulsif
Farmakologi
Blocker adrenergik yang bekerja sentral, steroid dan stimulan, antikonvulsan,
diuretik, inhibitor reuptake serotonin selektif

5
6. Patofisiologi Insomnia
Proses terjadinya insomnia merupakan gangguan hyperarousal pada malam dan
siang hari sebagai akibat dari peningkatan aktivasi somatik, kortikal dan kognitif. Hal
ini terjadi melalui tiga tingkatan yaitu : kognitif, emosional dan fisiologis (Malan and
Dlamini, 2017).
Fisiologis hyperarousal berhubungan dengan peningkatan aktivitas
metabolisme, suhu tubuh, nadi dan peningkatan konsumsi glukosa otak (Malan and
Dlamini, 2017). Hyperarousal kognitif merupakan kecemasan dan pikiran persisten
yang menyebabkan kewaspadaan berlebihan. Stimulus hiper kognitif dapat
menimbulkan kecemasan yang menyebabkan gangguan tidur (Malan and Dlamini,
2017).

Gambar 2. Patofisiologi Insomnia (Levenson, Kay and Buysse, 2015)

6
Gambar 3. Model Neurobiologic (Perlis, Ellis, Kloss. 2015)

Gambar 4. Patofisiologi Insomnia (Riemann et al., 2020)

7
7. Klasifikasi Insomnia
Insomnia transient adalah kesulitan tidur yang berlangsung selama beberapa hari
atau hingga satu minggu. Hal ini dapat disebabkan oleh kecemasan atas peristiwa
kehidupan jangka pendek yang menyebabkan stres situasional akut, seperti wawancara
kerja, masalah hubungan atau kondisi sosial (Malan and Dlamini, 2017).
Insomnia akut disebut sebagai penyesuaian atau stres berhubungan insomnia,
terjadi untuk periode kurang dari tiga bulan. Ini biasanya terkait dengan situasi stres
yang lebih persisten yang disebabkan oleh peristiwa kehidupan yang penuh tekanan
seperti krisis keuangan, kematian atau penyakit atau perubahan lingkungan. Biasanya
membaik tanpa intervensi pengobatan (Malan and Dlamini, 2017).
Insomnia kronis merupakan kesulitan tidur dan bangun di pagi hari selama lebih
dari tiga malam seminggu dan gejalanya menetap setidaknya selama tiga bulan (Malan
and Dlamini, 2017).

8. Gejala klinis Insomnia


Diagnosis klinis insomnia didasarkan pada keluhan sulit memulai tidur, sulit
mempertahankan tidur, atau bangun terlalu cepat pagi hari, menimbulkan gejala klinis
pada siang hari. Gejala klinis yang dialami pada siang hari meliputi kelelahan, malaise,
gangguan fokus baik konsentrasi atau memori; gangguan sosial, keluarga, pekerjaan
atau akademik; gangguan mood, mudah marah, mengantuk, hiperaktif, impulsif, agresif,
kurang semangat, dan selalu cemas dan merasa tidak puas dengan tidur (Krystal, Prather
and Ashbrook, 2019).
Meskipun gejala tidur yang dilaporkan pasien bersifat subjektif, ada beberapa
parameter yang diterima secara umum untuk keluhan tidur yang signifikan secara klinis.
Onset tidur tertunda dan bangun setelah tidur waktu 30 menit atau lebih adalah ambang
batas yang diterima secara umum untuk diagnosis insomnia pada orang dewasa dan
orang tua. Bangun terlalu cepat, setidaknya 30 menit sebelum waktu bangun yang
diinginkan. Keluhan tidur yang tidak memuaskan atau tidak restoratif juga sering
dijumpai (Malley and Malley, 2017).

Gejala klinis insomnia sebagai berikut (Malan and Dlamini, 2017) :


 Kesulitan tidur di malam hari

8
 Berbaring dalam waktu yang lama
 Bangun beberapa kali di malam hari
 Bangun lebih awal dan tidak dapat kembali tidur
 Kelelahan dan kantuk di siang hari
 Ketidakmampuan berkonsentrasi atau mengganggu fungsi memori
 Prestasi kerja atau akademik yang buruk, kesulitan focus
 Lekas marah
 Kurang motivasi dan energi

9. Kriteria Diagnosis Insomnia


Menurut American Psychiatric Association's Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders Fifth Edition (DSM-5) dan International Classification of Sleep
Disorders (ICSD -10), kriteria diagnosis insomnia berdasarkan gejala yang dialami
menyebabkan gangguan atau penurunan fungsional yang signifikan secara klinis
dialami 3 malam dalam seminggu selama minimal 3 bulan dan tidak berkaitan dengan
gangguan tidur yang disebabkan kelainan medis atau gangguan mental (Qaseem et al.,
2016).

Tabel 2. Kriteria diagnostik DSM-V untuk insomnia primer (Wilson and Attarian, 2017)
(A) Keluhan utama dari kualitas tidur yang buruk atau durasi yang terkait dengan salah
satu dari ini gejala:
1. Masalah dengan onset tidur (pada anak-anak, gejala ini mungkin sulit tidur tanpa
bantuan pengasuh)
2. Masalah dengan perawatan tidur (pada anak-anak, gejala ini mungkin sulit tidur
tanpa bantuan pengasuh).
3. Bangun lebih awal dari yang diinginkan di pagi hari.
(B) Tidur yang bermasalah menyebabkan kesulitan yang signifikan atau penurunan
sosial, pekerjaan, akademik, perilaku, atau bidang kehidupan lainnya.
1. Masalah tidur terjadi setidaknya tiga kali seminggu.
2. Masalah tidur sedang terjadi setidaknya selama 3 bulan.
3. Kesulitan tidur terjadi meskipun ada peluang yang cukup untuk tidur.
4. Insomnia bukan karena gangguan tidur lainnya:
(C) Insomnia bukan karena efek zat farmakologis.
(D) Gangguan mental dan medis komorbid bukan penyebab utama keluhan insomnia

9
Tabel 3. Kriteria ICSD-3 untuk gangguan insomnia kronis (Wilson and Attarian, 2017)
(A) Laporan pasien atau pengasuh :
1. Sulit onset tidur.
2. Kesulitan perawatan tidur
3. Kebangkitan di pagi hari.
4. Tidak pergi tidur saat yang tepat.
5. Sulit tidur tanpa campur tangan pengasuh.
(B) Laporan pasien atau pengasuh:
1. Kelelahan dan / atau malaise.
2. Masalah dengan perhatian, konsentrasi, atau memori.
3. Kesulitan dengan kewajiban keluarga atau sosial, sekolah, atau prestasi kerja.
4. Iritabilitas dan gangguan mood.
5. Kantuk di siang hari.
6. Masalah dengan perilaku seperti agresi, impulsif, atau hiperaktif.
7. Cenderung melakukan kesalahan atau menyebabkan kecelakaan.
8. Energi dan motivasi berkurang atau kurangnya inisiatif.
9. Ketidakpuasan dan keluhan tentang kualitas tidur.
(C) Keluhan dalam (A) dan (B) tidak semata-mata karena keadaan yang tidak pantas
atau tidak cukup waktu yang diberikan untuk tidur.
(D) Gejala dalam (A) dan (B) terjadi setidaknya tiga kali seminggu.
(E) Gejala dalam (A) dan (B) telah berlangsung selama setidaknya 3 bulan.
(F) Gejala di atas bukan karena gangguan tidur lain.

10. Alat Penilaian Insomnia


Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai insomnia. Anamnesis
keluhan dan perasaan subyektif, bagaimana kualitas tidur atau sering terbangun.
Kemudian dapat menggunakan kuesioner yang telah dibuat untuk mencerminkan
berbagai aspek insomnia. Selanjutnya menggunakan alat untuk menilai insomnia
(Driver et al., 2012).
Alat skrining standar penilaian insomnia yang direkomendasikan adalah
Insomnia Severity Index (ISI), Athens Insomnia Scale (AIS) dan Pittsburgh Sleep
Quality Index (PSQI) (Chiu et al., 2016).

10
Gambar 5. Anamnesis Klinis Insomnia (Driver et al., 2012)

Tabel 4. Alat Penilaian Insomnia (Malley and Malley, 2017)


Alat Penilaian Kegunaan
Sleep diary Memberikan persepsi pola tidur, ritme sirkadian, perbedaan
akhir pekan vs hari kerja saat ini dan saat ini, dan informasi
lainnya yang berkaitan dengan periode tidur.
Epworth Sleepiness Menilai kantuk subyektif
Scale (ESS)

Actigraphy Menilai masalah tidur sirkadian, atau kurang tidur parsial


kronis
Screening Questionnaire Memberikan gambaran tentang masalah tidur yang
dirasakan pasien
Beliefs and Attitudes Memberikan informasi terperinci mengenai komponen
kognitif gangguan tidur.
Questionnaire
Fatigue Severity Scale Membantu membedakan kelelahan yang disebabkan
kantuk atau faktor lain

Skor normal untuk kuesioner ini adalah (Driver et al., 2012)

11
 Epworth Sleepiness Scale (ESS) : Kurang dari 10
 Athens Insomnia Scale : Kurang dari 10
 Non Restorative Sleep Scale Questionnaire : Kurang dari 43
 Fatigue Severity Index : Kurang dari 27
Tabel 5. Insomnia Severity Index (ISI)

Interpretasi Insomnia Severity Index (ISI), yaitu : (Driver et al., 2012)


 Nilai antara 0-7: Tidak ada insomnia
 Skor antara 8-14: Insomnia ringan
 Skor antara 15-21: Insomnia sedang
 Skor antara 22-28: Insomnia berat

Tabel 6. Athens Insomnia Scale

12
Tabel 7. Epworth Sleepiness Scale

Tabel 8. Fatigue Severity Index

13
Tabel 9. Non Restorative Sleep Scale Questionnaire

11. Penatalaksanaan Non Farmakologi Insomnia

14
Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia (CBT-I)
American College of Physicians (ACP) merekomendasikan Cognitive
Behavioral Therapy for Insomnia (CBT-I) sebagai terapi awal untuk insomnia kronis.
Terapi perilaku kognitif pada insomnia merupakan kombinasi perawatan yang
mencakup terapi kognitif tidur, intervensi perilaku seperti pembatasan tidur atau
kontrol stimulus, kemudian edukasi higienitas tidur yang dapat dilakukan di pelayanan
primer (Qaseem et al., 2016).
Terapi perilaku kognitif untuk insomnia membantu memperbaiki kebiasaan tidur
yang baik dan menghindari perilaku yang membuat tidur tidak nyenyak. Strategi
meliputi : (Singh and Dhandevi, 2016)
 Terapi kontrol stimulus. Metode ini membantu mengurangi faktor-faktor yang
mengganggu pikiran saat akan tidur. Mengatur waktu tidur dan waktu bangun
yang konsisten dan menghindari tidur siang, gunakan tempat tidur hanya untuk
tidur dan tinggalkan kamar tidur jika tidak bisa tidur dalam waktu 20 menit,
kembali kembali ketika merasa mengantuk.
 Teknik relaksasi. Relaksasi otot progresif dan pernapasan untuk mengurangi
kecemasan pada waktu tidur. Mempraktikkan teknik ini dapat membantu
mengendalikan pernapasan, nadi, ketegangan otot, dan suasana hati sehingga
merasa rileks.
 Restriksi tidur. Terapi ini mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur
dan menghindari tidur siang hari sehingga kurang tidur dan membuat lebih lelah
pada malam berikutnya. Ketika tidur telah membaik, secara bertahap
meningkatkan waktu tidur.
 Bangun secara pasif, terapi ini bertujuan untuk mengurangi kekhawatiran dan
kecemasan untuk dapat tidur saat ada di tempat tidur dan tidur tetap nyenyak.
 Terapi cahaya. Jika seseorang tertidur terlalu cepat kemudian bangun terlalu
cepat maka dapat menggunakan cahaya untuk dapat kembali tidur

15
Tabel 10. Komponen terapi perilaku kognitif untuk pengelolaan gangguan insomnia
Sleep Hygiene • Tingkatkan olahraga menjadi 3-4 kali seminggu (tidak
dekat dengan waktu tidur)
• Batasi asupan alkohol, kafein, dan nikotin
• Menciptakan lingkungan tidur yang nyaman; jaga kamar
tidur gelap, hindari suhu yang ekstrim dan suara keras,
lepaskan
jam kamar tidur dari pandangan
• Hindari minum banyak cairan di malam hari untuk
mencegah perjalanan malam hari ke kamar mandi
• Makan camilan ringan sebelum tidur, bukan makan besar
• Gunakan teknik manajemen relaksasi dan kecemasan
sebelum tidur
Stimulus Control • Pertahankan siklus tidur yang teratur (bangun waktu
teratur untuk bangun dan tidur; termasuk akhir pekan)
• Tinggalkan tempat tidur ketika tidak dapat tidur selama
lebih dari 15-30 menit, dan lakukan aktivitas yang tidak
merangsang (mis. Baca, dengarkan untuk musik lembut)
sampai mengantuk
• Tidur hanya sebanyak yang diperlukan untuk merasa segar
• Tidur hanya saat mengantuk, gunakan tempat tidur hanya
untuk tidur atau keintiman; jangan membaca atau
menonton televisi di tempat tidur
• Pembatasan tidur: kurangi waktu di tempat tidur menjadi
waktu tidur total yang dirasakan (tidak kurang dari 5-6
jam), hindari siang hari atau tidur siang
• Jangan membawa masalah dan kekhawatiran ke tempat
tidur, berlatih latihan pernapasan atau meditasi untuk
meningkatkan relaksasi

12. Penatalaksanaan Farmakologi Insomnia


Penatalaksanaan farmakologis untuk insomnia terdiri dari kelas obat yang
berbeda, dengan mekanisme kerja yang berbeda, mencerminkan berbagai sistem saraf
yang mengatur tidur. Agonis reseptor benzodiazepin adalah obat yang paling banyak
digunakan, dan memperkuat 'saklar tidur flip-flop' antara siklus tidur bangun (Malan
and Dlamini, 2017)
 Benzodiazepine receptor agonist
Benzodiazepin berikatan menghasilkan efek agonistik pada transmisi
GABAergik dan hiperpolarisasi membran neuron. Peningkatan aktivitas intrinsik dari
neurotransmitter inhibitor GABA menyebabkan inhibisi kelompok sel utama di batang
otak dan hipotalamus yang menstimulus gairah. Benzodiazepin meningkatkan efek

16
sleepprom dari sleep-drive homeostatik dan mengurangi aktivitas dalam sistem gairah
(seperti : histamin, serotonin, asetilkolin dan orexin). Dapat mengurangi insomnia
dengan mengurangi latensi tidur dan meningkatkan waktu tidur total (Malan and
Dlamini, 2017).
Agonis reseptor benzodiazepine, terdiri dari :
 Benzodiazepin : Oxazepam, flurazepam, quazepam, estazolam, temazepam dan
triazolam
 Non Benzodiazepin : Zolpidem, zaleplon dan eszopiclon
Benzodiazepin diklasifikasikan sebagai long-acting, intermediate-acting, short-
acting atau ultra-short acting sesuai dengan waktu paruh plasma mereka. Karena
benzodiazepin bervariasi terutama dalam waktu paruh, pilihan obat yang spesifik
biasanya didasarkan pada gejala insomnia. Benzodiazepine memiliki sejumlah potensi
efek samping akut (Malan and Dlamini, 2017).

 Antihistamines dan Sedative Antidepresssants


Antidepresan merupakan alternatif untuk benzodiazepin, terutama untuk pasien
yang mengalami depresi atau berisiko mengalami penyalahgunaan zat. Antidepresan
sedatif, seperti amitriptyline dan doxepin efektif untuk mendorong kontinuitas tidur,
efek dari antihistaminergik, antikolinergik dan serotonergik dan aktivitas antagonistik
adrenergik. Antihistamin seperti diphenhydramine dan doxylamine umumnya aman dan
efektif untuk mengobati insomnia ringan. Namun pasien beresiko mengalami toleransi
terhadap efek sedatif dan efek samping antikolinergik seperti konstipasi, terutama pada
orang tua (Malan and Dlamini, 2017).

 Melantonin receptor agonist (Ramelteon)


Melatonin adalah hormon alami yang diproduksi oleh kelenjar pineal. Sistem
sirkadian di hipotalamus dan nukleus suprachiasmatic (SCN) mengatur kadar hormon
ini sepanjang siang dan malam. Melatonin disetujui oleh FDA untuk pengobatan
insomnia, terutama pada orang tua. Dosis 2-8 mg efektif dalam mengobati gangguan
tidur dengan ritme sirkadian (Bollu and Kaur, 2019).
Ramelteon merupakan agonis reseptor melatonin dapat mengurangi latensi tidur
dengan bereaksi pada melatonin MT1 dan MT2 reseptor di SCN dengan afinitas lebih

17
tinggi daripada melatonin sendiri. FDA merekomendasikan dosis 8 mg untuk
manajemen insomnia onset tidur (Bollu and Kaur, 2019).
 Orexin receptor antagonist (Survorexant)
Suvorexant merupakan antagonis reseptor orexin ganda (reseptor OX1 dan
OX2) yang menetralkan sistem orexin / hypocretin yang memiliki peran penting dalam
kewaspadaan. Ini efektif dalam dosis 5 mg, 10 mg, 15 mg, dan 20 mg untuk manajemen
onset tidur dan insomnia. Dosis 15 mg dan 20 mg telah menunjukkan peningkatan
waktu tidur total dan pengurangan latensi onset tidur. Namun, FDA tidak
merekomendasikan dosis lebih tinggi 30 mg atau 40 mg suvorexant karena masalah
keamanan, dengan peningkatan risiko peningkatan mengantuk di siang hari dan gejala
seperti narkolepsi (halusinasi hypnogogichypnopompic), cataplexy, dan mimpi.
Suvorexant dikontraindikasikan pada pasien dengan narkolepsi karena kemungkinan
mekanisme yang mendasari antagonisme orexin (Bollu and Kaur, 2019).

Tabel 11. Obat-obat yang digunakan untuk insomnia (Bragg et al., 2019)

18
19
13. Komplikasi Insomnia
Insomnia dapat disertai dengan gangguan depresi dan kecemasan. Hingga dua
pertiga dari subyek melaporkan keluhan insomnia selama episode depresi utama. Selain
itu, 30-60% pasien dengan insomnia akan memiliki penyakit kejiwaan yang
mendasarinya. Insomnia meningkatkan risiko dua hingga empat kali lipat untuk
mengalami depresi (Gourineni, 2017).
Gejala insomnia berhubungan dengan obesitas dan diabetes dan risiko diabetes
sangat tinggi pada penderita insomnia kronis dengan durasi tidur pendek. Insomnia pada
penderita diabetes juga dapat berkontribusi terhadap kontrol glukosa yang lebih buruk
(Gourineni, 2017).

20
Gambar 6. Komplikasi Insomnia (Singh and Dhandevi, 2016)
Insomnia berhubungan dengan risiko hipertensi, terutama ketika dikaitkan
dengan durasi tidur pendek. insomnia kronis dikaitkan dengan aktivasi dari sistem stres
termasuk hipotalamus hipofisis adrenal (HPA) axis dan sympatho-adrenal-medullary
(sympathetic) axis. Peningkatan metabolisme kortisol, norepinefrin, dan katekolamin
terlihat tidak hanya pada malam hari, tetapi juga selama periode 24 jam, yang
menunjukkan aktivasi sistem stres 24 jam. Peningkatan hormon kortisol dan
adrenokortikotrofik (ACTH) 24 jam terbesar terlihat pada malam hari dan setengah
malam pertama (Gourineni, 2017).

Gambar 7. Komorbid yang berhubungan dengan Insomnia (Bollu and Kaur, 2019)

21
22
Daftar Pustaka

Bollu, P. C. and Kaur, H. (2019) ‘Sleep Medicine: Insomnia and Sleep.’, Missouri
medicine, 116(1), pp. 68–75. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/30862990%0Ahttp://www.pubmedcentral.
nih.gov/articlerender.fcgi?artid=PMC6390785.
Bragg, S. et al. (2019) ‘Updates in insomnia diagnosis and treatment’, International
Journal of Psychiatry in Medicine, 54(4–5), pp. 275–289. doi:
10.1177/0091217419860716.
Chiu, H. et al. (2016) ‘A meta-analysis of diagnostic accuracy of three screening tools
for insomnia’, Journal of Psychosomatic Research. Elsevier Inc., 87, pp. 85–92.
doi: 10.1016/j.jpsychores.2016.06.010.
Driver, H. et al. (2012) Insomnia in adults and children.
Gourineni, R. (2017) ‘Clinical Handbook of Insomnia’, Clinical Handbook of Insomnia,
pp. 59–73. doi: 10.1007/978-3-319-41400-3.
Grewal, R. G. and Doghramji, K. (2017) ‘Clinical Handbook of Insomnia’, Clinical
Handbook of Insomnia, pp. 13–25. doi: 10.1007/978-3-319-41400-3.
Griend, J. P. Vande and Anderson, S. L. (2012) ‘of Insomnia’, Journal of the American
Pharmacists Association, 52(6), pp. e210–e219. doi:
10.1331/JAPhA.2012.12051.
Krystal, A. D., Prather, A. A. and Ashbrook, L. H. (2019) ‘The assessment and
management of insomnia: an update’, World Psychiatry, 18(3), pp. 337–352.
doi: 10.1002/wps.20674.
Levenson, J. C., Kay, D. B. and Buysse, D. J. (2015) ‘The pathophysiology of
insomnia’, Chest, 147(4), pp. 1179–1192. doi: 10.1378/chest.14-1617.
Malan, L. and Dlamini, N. (2017) ‘Clinical practice guidelines for insomnia disorder’,
Clinical practice guidelines for insomnia disorder, 59(3), pp. 45–51. doi:
10.4102/safp.v59i3.4691.
Malley, M. B. O. and Malley, E. B. O. (2017) ‘Clinical Handbook of Insomnia’,
Clinical Handbook of Insomnia, (Cid), pp. 27–39. doi: 10.1007/978-3-319-
41400-3.
Peltzer, K. and Pengpid, S. (2019) ‘Prevalence, social and health correlates of insomnia
among persons 15 years and older in Indonesia’, Psychology, Health and
Medicine. Taylor & Francis, 24(6), pp. 757–768. doi:
10.1080/13548506.2019.1566621.
Prasetyo, A. S., Soemarko, D. S. and Kusumadewi, I. (2018) ‘Prevalence of insomnia
symptoms and predictive factors among employees at central government’,
Journal of Physics: Conference Series, 1073(4), pp. 0–8. doi: 10.1088/1742-
6596/1073/4/042016.

23
Qaseem, A. et al. (2016) ‘Management of Chronic Insomnia Disorder in Adults : A
Clinical Practice Guideline From the American College of Physicians’, (July
2015). doi: 10.7326/M15-2175.
Riemann, D. et al. (2020) ‘Sleep, insomnia, and depression’,
Neuropsychopharmacology. Springer US, 45(1), pp. 74–89. doi:
10.1038/s41386-019-0411-y.
Singh, P. and Dhandevi, S. (2016) ‘Impact Factor: RJIF 5.54
www.medicalsciencejournal.com Volume 2; Issue 10’, International Journal of
Medical and Health Research, 2(10), pp. 37–41. Available at:
www.medicalsciencejournal.com.
Wilson, A. and Attarian, H. P. (2017) ‘Defining Insomnia’, pp. 3–11. doi: 10.1007/978-
3-319-41400-3.

24

Anda mungkin juga menyukai