PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Gangguan tidur yang paling sering dijumpai saat ini yaitu Insomnia.
sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tidur yang adekuat, baik kualitas
akan lebih sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur hingga terbangun lebih
dini dan sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi, 2013). Penyebabnya
dikarenakan gangguan fisik maupun karena faktor mental seperti perasaan gundah
mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam
sehari) dengan terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi dan sering terbangun di
waktu malam hari (Nugroho, 2000). Banyaknya persoalan lanjut usia seiring
47% dengan proporsi sekitar 50-70% terjadi pada usia diatas 65 tahun. Sebuah
penelitian Aging Multicenter melaporkan bahwa sebesar 42% dari 9.000 lansia
yang berusia diatas 65 tahun mengalami gejala insomnia (Suasari,et. al. 2014).
1
Penelitian yang dilakukan di Taipei menunjukkan bahwa sebanyak 40 % individu
terbangun dan sulit untuk memulai tidur (Tsou, 2013). Di Indonesia, angka
prevalensi insomnia pada lansia sekitar 67%. Sedangkan sebanyak 55,8 % lansia
mengalami insomnia ringan dan 23,3 % lansia yang mengalami insomnia sedang
adalah suatu keadaan tidak sadarkan diri dimana persepsi dan reaksi individu
terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat di bangunkan kembali dengan
indra atau ransangan yang cukup (Atoilah & Kusnadi, 2013 dikutip dalam
minimnya aktivitas. Tidur dapat dikatakan sebagai kondisi ketika seseorang tidak
sadar, tetapi dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai yang
ditandai dengan aktivitas fisik yang minim, tingkat kesadaran bervariasi, terjadi
Aktivitas tidur terjadi secara alami dan dikontrol oleh pusat tidur yaitu
medulla spinalis (Batang Otak) tepatnya di RAS (Retikular activating system) dan
bangun dan mempermudah beberapa tahap untuk tidur (Atoilah & Kusnadi,
2013). Terjadinya Bangun dan tidur merupakan peran dari RAS dan BSR, dimana
2
mengaktifkan BSR untuk merangsang pengeluaran serotonin yang menimbulkan
Proses tidur terbagi menjadi dua fase REM (Rapid Eyes Movement/
Gerakan Mata Cepat) Dan NREM (Non Rapid Eyes Movement/gerakan mata tidak
cepat). Tidur NREM dikatakan tidur Gelombang lambat (Slow Wave Sleep),
terjadi karena aktivtas gelombang otak bergerak sangat lambat yang ditandai
dengan penurunan sejumlah fungsi fisiologi maupun metabolisme. kerja otot. dan
tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan frekuensi nafas (Saputra, 2013). Tidur
NREM terjadi sekitar 75% sampai 80% dari waktu tidur, sisanya sekitar 20%
sampai 25 % dari tidur adalah fase tidur REM (Syara, 2015 dikutip dalam Meiner,
2011).
Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM yang biasanya berlangsung rata-
rata setiap 90 menit (5-20 menit) disertai dengan mimpi (Saputra, 2013). Tidur
malam di mulai dengan empat tahap tidur NREM, berlanjut dengan fase tidur
REM, kemudian dilanjutkan dengan pergantian siklus antara NREM dan REM
selama sisa tidur hingga pagi sekitar 4-6 siklus (Syara, 2015 dikutip dalam
Meiner, 2011). Lamanya tidur pada fase 3-4 berkontribusi dalam menentukan
istirahat dan kesegaran individu pada esoknya (Touhy, 2010). Dari Tahap 1
sampai 4 kualitas tidur akan bertambah dalam sehingga pada tahap 3 dan tahap 4
bertambahnya usia (Smelzer & Bare, 2001). Pada Lansia kebutuhan tidur normal
pada usia diatas 60 tahun keatas yaitu selama 6 jam, dimana sebanyak 20-25%
3
dari siklus tidur REM dan tahap IV NREM menurun, sehingga individu dapat
mengalami insomnia yaitu sering terjaga sewaktu tidur (Saputra, 2013). Proses
dan istirahat serta mengakibatkan lebih mudah mengalami gangguan tidur (Maas,
hidup/kebiasaan, stress psikologi, diet dan nutrisi (Atoilah & Kusnadi, 2013).
Stimulan, Alkohol, obat-obatan, diet dan nutrisi. Pada lansia faktor-faktor tersebut
terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal, faktor internal
meliputi fisiologis dan psikologi terdiri dari penyakit, nyeri, gangguan suhu tubuh,
gangguan pernafasan saat tidur, pergerakan kaki secara teratur saat tidur, gejala
kesulitaan untuk tidur, sering terbangun lebih awal, sakit kepala di siang hari,
kesulitan berkonsentrasi, dan mudah marah. Dampak yang lebih luas akan terlihat
4
dikutip dalam Rafiudin, 2004). Jika lansia kurang tidur yaitu perasaan bingung,
kecelakaan, seperti terjatuh, serta kecelakaan dalam rumah tangga. Insomnia juga
mendasari, seperti depresi, hipertensi, penyakit jantung atau paru, stroke, diabetes
mellitus, atau arthritis memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dan durasi tidur
yang kurang dibandingkan dengan lansia yang sehat (Suastari, et.al. 2014).
rasa kantuk yang berlebihan di siang hari sehingga tubuh terasa lemah terutama
pada ekstremitas, kelelahan, rasa tidak nyaman, kehilangan nafsu makan, sakit
sekitar 80 juta lansia sering mengalami jatuh atau kecelakaan yang berhubungan
pula dengan peningkatan biaya pengobatan dan perawatan, yaitu sebesar 100 juta
Sunaryo, dkk (2016) bahwa keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan
lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, dan
5
komunitas maupun masyarakat. Peran perawat sangat penting dalam
meningkatkan tidur yang optimal pada lansia yang tidak memiliki masalah tidur
sebelumnya, ataupun pada lansia yang beresiko atau sedang mengalami gangguan
control, sleep restriction, cognitive behavioral therapy, terapi relakasi, dan sleep
mendorong tidur normal yang dapat dipraktekkan oleh individu secara rutin untuk
mencapai tidur normal (Meiner, 2011). Sleep Hygiene menekankan jadwal dan
rutinitas tidur yang stabil, lingkungan yang ramah untuk tidur, menghindari zat-
zat yang akan mengganggu tidur, olahraga teratur (tapi tidak segera sebelum
mencoba untuk tidur), menghindari minuman berkafein, pil tidur, alkohol dan
6
Beberapa penelitian yang dilakukan terkait Sleep Hygiene terhadap
bahwa terdapat hubungan antara sleep hygiene dengan derajat insomnia pada
lansia, pada dua komponen yaitu faktor diet dan olahraga. Sejalan dengan itu,
adanya hubungan antara sleep hygiene dengan kualitas tidur lansia, dimana
semakin rendah prilaku sleep hygiene maka akan semakin memburuk kualitas
lanjut usia terlantar didalam panti berupa pelayanan dan perawatan, baik jasmani
maupun rohani agar para lanjut usia dapat hidup secara wajar. Selain itu PSTW
pengobatan farmakologis. Salah satu tujuan pelayanan dari PSTW Sicincin yaitu
memenuhi kebutuhan dasar lansia, peneliti ingin melakukan survey kepada lansia
diwilayah kerja Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-
Pariaman. Hal ini menimbang bahwa PSTW Sicincin memiliki jumlah hunian 14
memiliki skor 20-27 (insomnia ringan), 2 lansia memiliki skor 28-36 (insomnia
sedang), dan 1 lansia memiliki skor 37-44 (insomnia berat). Hasil wawancara
gejalanya seperti kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada malam hari,
7
susah untuk memulai tidur kembali dan sering mengantuk pada siang hari. Upaya
satu orang lansia untuk mengatasi insomnia yaitu dengan tidak tidur siang hal itu
dianggap pada malam harinya lansia tersebut akan mengantuk dan mudah untuk
Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman.
B. Rumusan Masalah
pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang
Pariaman?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
2. Tujuan Khusus
8
b. Untuk mengetahui rata-rata derajat insomnia sesudah dilakukan
lansia
D. Manfaat Penelitian.
Peran perawat gerontik dalam hal memonitor kualitas lansia dapat lebih
merawat lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin
9
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Lansia
1. Pengertian Lansia
jika sudah berusia diatas 60 tahun, defenisi ini bervariasi bergantung dari
Darmojo, 1999).
10
2. Proses Menua
organ tubuh, hal ini dapat dibandingkan bagaimana struktur dan fungsi
tahun (Sunaryo, 2016). Seperti pada berat otak pada lansia 56%, aliran
glomerular filtration rate 69%, vital capavity 56%, asupan oksigen dalam
darah ketika berolah raga 40%, jumlah dari axon pada saraf spinal 63%,
kecepatan pengantar impuls saraf 90%, dan berat badan 88% (Sunaryo,
2013).
gigi mulai ompong, aktivitas mulai lambat, nafsu makan mulai berkurang
(Padila, 2013).
dibagi atas dua bagian, pertama faktor genetik yang melibatkan DNA,
dan stres dari luar misalnya radiasi atau bahan-bahan kimia. Faktor
11
terjadinya stres oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang akan
saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Dan
kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama
(Nugroho, 2008).
faktor yang saling berkaitan. Sampai saat ini, banyak defenisi dan teori
biologis pada proses menua, proses penuaan pada tingkat sel, proses
penuaan menurut system tubuh, dan aspek psikologis pada proses penuaan
yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat
12
3. Batasan-Batasan Lanjut Usia
umumnya, berkisar antara 60-65 tahun Beberapa pendapat para ahli dalam
45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua
(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun
b. Menurut Pfrof. Dr. Koesoemanto masa lanjut usia (geriatric age): >
65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri
dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), dan
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikologi UI) terdapa empat fase, yaitu :
pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah
40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase
B. Tidur
1. Pengertian Tidur
diri, tetapi dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai
13
keadaan yang berulang-ulang, perubahan suatau keadaan yang terjadi
2. Siklus Tidur
a. Tidur NREM
sangat lambat yang disebut juga dengan tidur gelombang lambat (Slow
2014). Menurut Saputra (2013) tidur NREM terbagi atas 4 tahap (I-
IV) yaitu :
1) Tahap I
2) Tahap II
14
Tahap II merupakan tahap ketika individu masuk pada
disebut juga dengan tahap tidur ringan (Light Sleep). Pada tahap ini
3) Tahap III
Tahap III merupakan awa dari tahap tidur dalam atau tidur
4) Tahap IV
total.
b. Tidur REM
15
Tidur REM disebut juga dengan tidur paradok karena biasanya
Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM dan sebagian besar mimpi
terjadi pada tahap ini. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental
teratur.
5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur
7) Metabolisme meningkat.
16
Siklus tidur normal dapat dilihat dari skema berikut :
NREM
Tahap
tahap
tidur
IV
NREM NREM
tahap II tahap III
maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry,
2005)
17
Tabel 2.1. Kebutuhan Tidur pada setiap perkembangan Manusia
Kebutuhan
Usia dan Tingkat
Tidur Pola Tidur Normal
Perkembangan
(Jam/Hari)
0-1 bulan 14-18 50% dari siklus tidur adalah
(masa neonates) tidur REM, siklus tidur
berlangsung selama 45-60 menit
1-12 bulan 12-14 20-30% dari siklus tidur adalah
(masa bayi) REM, bayi mungkin akan
tertidur sepanjang malam
1-3 tahun 10-12 Sekitar 25% dari siklus tidur
(masa anak-anak) adalah tidur REM, anak-anak
tidur pada siang dan sepanjang
malam
3-6 tahun 11 20% dari siklus tidur adalah
(masa prasekolah) REM
6-12 tahun 10
(masa sekolah) 18,5% dari siklus tidur adalah
12-18 tahun 7-8,5 REM
(masa remaja) 20% dari siklus tidurnya adalah
18-40 tahun 7-8 tidur REM
(masa dewasa muda) 20-25% dari siklus tidurnya
40-60 tahun 7-8 adalah REM
(masa dewasa 20% dari siklus tidurnya adalah
menengah) tidur REM, individu mungkin
mengalami insomnia dan sulit
>60 tahun 6 untuk tidur
(masa dewasa tua) 20-25% dari siklus tidurnya
adalah tidur REM, individu
dapat mengalami insomnia,
sering terjaga sewaktu tidur, dan
tahap IV REM menurun, bahkan
terkadang tidak ada.
18
4. Fisiologis Tidur
dikontrol oleh dua system pada batang otak, yaitu Reticular Activating
2014).
(Ambarawati, 2014)
19
penurunan yang progesif pada tahap tidur NREM 3 dan 4 (Saputra,
2013). Beberapa lansia tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam hal ini
dan membutuhkan waktu untuk jatuh tidur. Tetapi pada lansia yang
Potter, 2005)
a. Faktor Internal
kritis adalah nyeri, stress akut, depresi, gangguan suhu tubuh, distress
prosedur pembedahan.
20
nyeri juga merupakan faktor yang umumnya mengganggu tidur lansia
henti napas saat seseorang sedang tidur biasanya terjadi pada klien
REM. Salah satu contoh ATO adalah sindrom Pickwickian atau leher
gemuk, suatu keadaan obstruksi jalan napas bagian atas oleh jaringan
21
berhubungan dengan desaturasi oksigen yang buruk hanya dapat
yang khas.
Survei yang dilakukan Ancoli & Israel (1991) pada lansia yang
Apnea (5 periode apnea saat tidur pejam) dan 62% untuk indeks
berperan terhadap kesulitan tidur disiang hari dan gangguan tidur pada
lansia.
22
neuron kortikol dan subkortikal yang terjadi secara progresif. masalah
tidur ternyata dialami juga oleh lansia sehat tetapi masalah tersebut
lebih berat, termasuk sering terbangun dimalam hari, tidak dapat tidur
Gangguan yang terjadi dalam irama sirkandian ini kerap dipicu oleh
ini, biasanya terjadi pada sore menjelang malam dan malam hari.
b. Faktor Eksternal
tidur juga umum terjadi pada unit perawatan intensif dan kerap terjadi
23
Faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada pasien yang
pasien di nursing home terganggu oleh suara rebut dan cahaya dari
menggangu waktu tidur para penghuni panti werda sebanyak tiga kali
durasi tidur siang pada sekelompok sampel lansia sehat sekitar satu
jam (Evans & Rogers, 1994). Pada sebuah penelitian yang lain dengan
lansia pria dan 31% lansia wanita tidur pada siang hari (Gislason, et.al
1993).
kosentrasi yang rendah, nikotin memiliki efek bifasik pada tidur, yatu
24
tidur lebih sering muncul pada perokok, yang berhubungan dengan
tidak merokok dan juga berhubungan dengan stress yang lebih berat
gangguan pernafasan saat tidur lebih tinggi pada kelompok lansia pria
pada lansia.
25
C. Insomnia
1. Pengertian Insomnia
keluhan tidur yang paling sering, dijumpai, baik yang bersifat sementara
ditandai individu sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan
terbangun lebih dini serta sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi,
2013)
2. Jenis-Jenis Insomnia
a. Insomnia Inisia
b. Insomnia termitten
c. Insomnia Terminal
Bangun terlalu dini dan sulit untuk tidur kembali. Beberapa langkah
benar-benar mengantuk
26
3. Klasifikasi Insomnia
a. Berdasarkan Durasi
1) Insomnia Akut
ini terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur
2) Insomnia Kronis
b. Berdasarkan Etiologi
1) Insomnia Primer
2) Insomnia Sekunder
27
Insomnia sekunder menurut Montgomery & Shepard (2010) dapat
dengan mudah.
perlu diobati dengan cara yang tersedia yaitu dengan teknik tertentu
pasien
4. Komplikasi Insomnia
a. Efek Fisiologis
28
hormone melatonin. Akibatnya insomnia akan memicu terjadinya
kasus-kasus fisiologis.
b. Efek Psikologis
d. Efek Sosial
mudah bersosialisasi.
e. Kematian
Dimana orang yang kurang tidur dari lima jam setiap malamnya
yang bisa tidur 7-8 jam setiap malamnya. Namun ini termasuk
5. Penatalaksanaan Insomnia
a. Farmakologi
29
1) Bnezodiazepin (Benzodiazepin)
2) Non Benzodiazepine
(Oktavia, 2015).
b. Nonfarmakologi
1) Stimulus Control
30
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk menggunakan
2) Sleep Restriction
tidur.
3) Sleep Hygiene
5) Terapi Relaksasi
meditasi.
31
6. Alat Ukur Insomnia
(KSPBJ-IRS)
hari, bisa terbangun lebih awal/dini hari, mengantuk siang hari, sakit
kepala siang hari, puas dengan tidur, nyaman atau gelisah saat tidur,
mimpi buruk, merasa lelah dan berkurang tenaga setelah tidur, jadwal
tidak ada masalah, 4= masalah yang sangat parah) dengan skor total
mulai dari 0 sampai 28. Skor diartikan sebagai berikut : tidak adanya
32
dan insomnia parah (22-28). (Oktavia, 2015 diktup dalam Morin,
2011)
C. Sleep Hygiene
obatan) dan faktor lingkungan (cahaya, suara, suhu) untuk merasakan tidur
yang lebih baik (Posner & Gherman, 2011). Sleep Hygiene melibatkan
yang baik. Sleep Hygiene mengacu pada sekumpulan daftar hal-hal yang
33
3. Indikasi Sleep Hygiene
keterbatasan fisik
Gherman, 2011).
Menurut Posner & Gherman (2011) prosedur sleep hygiene terdiri dari :
34
a. Langkah 1 : Kaji tentang Sleep Hygiene klien, apakah termasuk dalam
Salah satu alternatif lain pengganti olah raga pada sore hari
adalah mandi dengan air hangat bagi lansia sebelum tidur. Namun
35
Dasar pemikirannya adalah tidur siang cenderung
tidur siang secara teratur. Individu yang memilih tidur siang harus
diingatkan tidur siang sesekali dan bisa menjadi rutin. Tidur siang
menit tapi harus menunda waktu tidur dimalam hari sesuai selisih
hindari makanan coklat atau makanan yang manis, hal itu dapat
36
sering terbangun pada waktu tidur. Pertimbangan : Individu yang
sebelum tidur
dua gelas setelah makan malam, namun disisi lain sebagian orang
7) Hindari Nikotin
37
Pertimbangan yaitu pada tahap awal penghentian dalam pemakaian
yang ketagihan. Oleh karena itu pasien harus dididik mengenai efek
penuh.
38
Dasar Pemikiran adalah memastikan individu memiliki
kasur yang nyaman dan menjaga agar kamar tidur tetap dingin dan
gelap. Pertimbangan :
a) Seperai.
(setiap 1-3 tahun) dan kasur diganti sekali sebanyak satu sampai
dua dekade.
b) Temperatur/ Suhu
c) Cahaya
yang nyenyak.
11) Menjaga jadwal tidur yang teratur dengan mengatur alarm di pagi
hari
39
menyetel alarm berguna untuk membangunkan individu pada pagi
tidur, karena awal dari terapi ini membutuhkan kontrol yang ketat
membangunkan mereka.
40
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Kerangka Teoritis
memperbaiki diri dari kerusakan yang terjadi (Sunaryo, 2016 dikutip dalam
secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya.
dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, semua saraf, dan jaringan lain,
hingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Dan kecepatan proses menua setiap
individu pada organ tubuh tidak akan sama (Nugroho, 2008). Adapun faktor yang
stress oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang akan terjadinya proses
lansia, akan mempengaruhi pola tidur sehingga terjadinya gangguan tidur yang
41
dikenal dengan insomnia. Insomnia merupakan kesukaran dalam memulai dan
adekuat, baik kuantitas maupun kualitas. Keadaan ini merupakan keluhan tidur
yang paling sering, dijumpai, baik yang bersifat sementara maupun persisten
(Saputra, 2013).
ditandai individu sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan terbangun
lebih dini serta sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi, 2013). Untuk
dijalankan pada pasien yang menjalani terapi Sleep Hygiene ini dikarenakan
aturan tersebut bertujuan untuk mengatur penjadwalan dari tidur, prilaku serta
lingkungan (Phosner & Gherman, 2011). Sehingga ketika Sleep Hygiene diberikan
perubahan.
42
LANSIA
1. Hipnotik
2. Sedatif
Keterangan :
Skema 3.1 Kerangka Teori
(Sumber ; Maas, et.al. 2011; Posner & Gherman, 2011; Saputra, 2013; Oktavia,2015)
43
= tidak diteliti
= yang diteliti
memberikan terapi Sleep Hygiene pada lansia, kemudian dilihat apakah ada
C. Hipotesa Penelitian
pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin
Padang-Pariaman.
44
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
rancangan penelitian One Grup Pre test-Post Test yang bertujuan untuk
Insomnia pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin
Padang Pariaman Tahun 2017. Desain ini melibatkan satu kelompok subjek serta
K 01 X 02
Keterangan :
protocol
45
Penelitian ini terdiri dari satu kelompok intervensi (K), kelompok ini
sebelum dikenai perlakuan tertentu diberi pre test (01). Setelah itu diberi intervesi
yaitu Sleep Hygiene . Selanjutnya akan diadakan kembali post test (02) pada
Aluih Sicincin Padang-Pariaman dimulai pada bulan Maret sampai bulan juli
2017.
1. Populasi
pada penelitian ini yaitu lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha
Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman yaitu 110 orang lansia.
2. Sampel
46
Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman.
a. Kriteria Inklusi
4) Dapat bekerja-sama
b. Kriteria Ekslusi
2) Tidak Kooperatif
D. Instrumen Penelitian
Untuk mengukur tingkat insomnia pada lansia digunakan alat ukur Kelompok
47
dimodifikasi sesuai kondisi lansia (Oktavia, 2015 dikutip Iwan, 2009). Kuisioner
ini terdiri dari 11 pertanyaan, dimana total dari setiap pertanyaan dapat
variabel menjadi lebih konkrit dan dapat diukur. Dalam mendefenisikan suatu
48
tidur, Hindari minum/ cairan
di pagi hari
PSTW Sicincin
49
F. Etika Penelitian
izin meneliti ke Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-
consent. Responden berhak untuk tidak mengikuti atau menarik diri dari
penelitian.
Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek, oleh karena itu harus
dihormati dan dilindungi haknya sebagai responden dengan meminta izin dan
haknya.
50
namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan member nomor
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai
Hygiene
51
pertanyaan-pertanyaan yang ada pada format. Pengisian format tetap
PSTW Sicincin
telah disediakan.
52
i. Setelah mendapatkan lansia yang sesuai dengan kriteria inklusi,
yang dijadikan sebagai pre test. Setelah mengetahui hasil pre test dari
kelompok perlakuan.
Sleep Hygiene
53
H. Prosedur Pengolahan Data
Data yang terkumpul dan hasil pengumpulan data diolah dengan langkah-
1. Editing
2. Coding
3. Processing
4. Cleaning
5. Tabulating
gambaran dari hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian
54
1. Analisa Univariat
distribusi dan uji statistic dari setiap variabel yang diteliti, baik variabel
skor insomnia lansia sebelum dan setelah diberikan intervensi terapi Sleep
Hygiene
2. Analisa Bivariat
55
BAB V
HASIL PENELITIAN
dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang
Pariaman dari tanggal 27 Februari sampai tanggal 18 Juli 2017. Sampel penelitian
kriteria inklusi. Intervensi terapi sleep hygiene dilakukan setiap hari dalam waktu
2 minggu.
kelamin, umur dan pendidikan. Kemudian akan dipaparkan data univariat dan
bivariat penelitian.
B. Karakteristik Responden.
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat
pendidikan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Sicincin Padang Pariaman tahun 2017 (n=15)
Karakteristik Frekuensi Persentase
No
Responden (f) (%)
1. Jenis Kelamin Laki-laki 8 53,3
Perempuan 7 46,7
2. Umur 60-64 tahun 3 20
65-69 tahun 2 13,3
70-74 tahun 10 66,7
3. Tingkat Pendidikan SD 9 60
SMP 6 40
SMA 0 0
laki (53,3%). Berdasarkan umur, rentang umur responden terbanyak berusia 70-74
56
tahun (66,7%). Kemudian pada tingkat pendidikan, terdapat (60%) yang
C. Analisis Univariat
insomnia sebelum dan setelah pemberian intervensi sleep hygiene yang akan
Tabel 5.2 Distribusi skor insomnia sebelum dan setelah diberikan terapi sleep
hygiene pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan
Aluih Sicincin Padang-Pariaman tahun 2017 (n=15)
Variabel Pengukuran n Mean SD Min-Max
Pre Test 15 31,40 3,738 23-36
Insomnia
Post Test 15 24,73 2,658 21-29
Tabel 5.2 didapatkan bahwa sebelum dilakukan terapi sleep hygiene rata-
rata skor insomnia 31,40 pada lansia dengan skor insomnia minimal sebanyak 23
insomnia 24,73 pada lansia dengan skor insomnia minimal sebanyak 21 (insomnia
57
Pada Tabel 5.3 didapatkan bahwa sebelum diberikan terapi sleep hygiene
86,7% lansia berada pada rentang 28 sampai 36 (insomnia sedang) dengan jumlah
responden 13 orang. Setelah diberikan terapi sleep hygiene 13,3 % lansia berada
pada rentang 28-36 (insomnia sedang) dengan jumlah responden 2 orang. Hasil
pada lansia yang menjalani sleep hygiene di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai
D. Analisis Bivariat
pemberian intervensi terapi sleep hygiene pada lansia di Panti Sosial Tresna
dilakukan uji bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas menggunakan uji
Shapiro Wilk untuk menentukan uji statistic yang akan digunakan pada responden
yang diberikan intervensi terapi sleep hygiene, dengan hasil uji normalitas pre-test
adalah 0,136 (p>0,05) dan uji normalitas post-test adalah 0,747 (p>0,05), yang
berarti data berdistribusi normal sehingga uji yang digunakan adalah Uji Paired t-
test.
Tabel 5.4 Distribusi analisa uji hasil skor insomnia sebelum dan setelah
diberikan intervensi terapi sleep hygiene pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-
Pariaman tahun 2017.
58
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa uji statistic dengan uji Paired t-test
antara nilai pre dan post. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
pemberian sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna
59
BAB VI
PEMBAHASAN
didapatkan hasil bahwa lebih dari separo (86,7%) lansia mengalami insomnia
sedang dengan rata-rata skor adalah 31,40. Hal ini sesuai dengan penelitian
Prayitno (2002) bahwa sebagian besar kelompok usia lanjut mempunya risiko
akan kualitas dan kuantitas tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Selain tingkat stres, faktor lain yang mempengaruhi kejadian insomnia adalah
60
tahun memilliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan lansia yang berusia
memasuki awal dari lansia akan mengalami kehilangan jaringan pada otot,
Berdasarkan hasil penelitian bahwa 9 orang (60%) lansia yang baru tinggal
dan depresi adalah penyebab insomnia yang paling umum. Saat individu
mengalami stress dan kecemasan maka hormone kortisol akan memicu tubuh
Medical School, 2011 dikutip dari Nurfianti, 2014). Penelitian Tsou (2013)
memulai tidur yang tinggi dengan total skor 49, tiba-tiba terbangun dimalam
61
hari dengan total skor 54 dan terbangun lebih awal dengan total skor 58. Hal
ini sesuai yang dikemukan oleh Atoilah & Kusnadi (2013) bahwa Insomnia
sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan terbangun lebih dini serta
itu berkaitan dengan wanita lansia lebih rentan mengalami kecemasan dan
karakteristik wanita yang lebih sensitif, seperti pada siklus reproduksi dan
laki disebabkan pola hidup dan lingkungan yang tidak teratur, seperti
merokok, mengkonsumsi kafein yang lebih tinggi, tidur sampai larut malam,
kecemasan, penyakit dan memiliki waktu tidur yang tidak teratur. Hal itu
dapat disimpulkan bahwa dalam penlitian ini responden berjenis kelamin laki-
62
laki memiliki angka insomnia tinggi dibandingkan responden berjenis
kelamin perempuan.
Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa 9 orang (60%) lansia
yang memiliki tingkat pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Hasil penelitian ini
didukung oleh teori Darmojo (2005) dalam Sumirta (2014) bahwa tingkat
mengatasi insomnia.
setelah diberikan intervensi sleep hygiene, begitu juga dengan lansia yang
63
skor insomnia secara signifikan sebanyak 13 orang yaitu rata-rata skor
hygiene. Selain itu penyebab lain dari penurunan skor insomnia yang
signifikan yaitu lansia sedang menjalani ibadah puasa disiang hari dan
Lansia akan mengalami kelelahan secara fisik dan membutuhkan waktu yang
insomnia pada lansia antara lain adalah kurangnya kegiatan fisik dan mental
sepanjang hari sehingga mereka masih bersemangat di malam hari. Hal ini
juga didukung oleh penelitian Larson cit Hawari (2007) dalam Panglulu
pengaruhnya terhadap hasil kesehatan fisik dan mental usia lanjut, usia lanjut
yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stress dari pada yang kurang
atau non relegius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil
insomnia pada lansia, hal ini ditandai dengan analisa jawaban pada item
pre-test menjadi 31 pada post-test. Dengan hal ini dapat disimpulkan bahwa
64
menerapkan sleep hygiene sehari-hari bisa meningkatkan kepuasan tidur dan
hygiene maka akan semakin memburuk kualitas tidur lansia, hal itu
mempengaruhi pola tidur. Pada lanjut usia proporsi yang waktu yang
tidur tahap 1 meningkat dan tidur kurang efesien dan kualitas tidur kelihatan
penurunan skor dari pertanyaan item ke-7 mengenai perasaan gelisah saat
tidur dengan skala likert 1 (tidak pernah) sampai 4 (selalu) yaitu skor 48 pada
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahsan (2015). Penelitian quasi
Berdasarkan hasil penelitian sleep hygiene yang dilakukan setiap harinya bisa
mana tahapan sleep hygiene dilakukan oleh lansia sehingga bisa menurunkan
insomnia.
65
C. Pengaruh Sleep Hygiene Terhadap Insomnia Pada Lansia Di Panti Sosial
2017.
sesuai dengan kriteria inklusi. Intervensi sleep hygiene dilakukan setiap hari
Berdasarkan hasil uji statistic dengan uji Paired t-test didapatkan skor
insomnia rata-rata pre-test 31,40 dengan standar deviasi 3,738 dan skor
insomnia rata-rata post-test 24,73 dengan standar deviasi 2,658 serta nilai p
Value 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi sleep
dampak bagi lansia yang mengalami insomnia. Insomnia yang diderita lansia
insomnia pada lansia. Menurut McCurry (2005) dikutip dalam Touhy (2010)
sangat penting terutama pada orang yang mengalami masalah dalam tidur.
66
pengaruh sleep hygiene terhadap gangguan tidur. Penelitian lainnya oleh
hygiene dengan hasil terdapat perbedaaan yang signifikan terhadap skor rata-
rata lamanya tidur serta skor onset tidur yaitu pre-test sebanyak 25-50 menit
dan post-test 13-21 menit. Penelitian Tan et.al (2012) yaitu program edukasi
and Timing) yang efektif untuk meningkatkan tidur dengan program tidur
yang teridentifikasi.
yang konsisten yang mencakup aktivitas waktu tenang sebelum tidur sebagai
pendekatan awal untuk mengatasi insomnia dan kesulitan tidur lainnya dan
setiap malam (Ahsan, 2015). Rangkaian kegiatan dari terapi sleep hygiene
dilakukan untuk membentuk jadwal tidur yang teratur dan rutinitas tidur yang
untuk menyelaraskan tidur dan siklus bangun dengan siklus tubuh lain seperti
dengan berada di tempat tidur hanya apabila mengantuk dan tidur saja
tempat tidur. Hal itu sejalan dengan penelitian Suastari (2014) bahwa perlu
67
hanya apabila mengantuk dan tidur saja sehingga otak akan mengenali tempat
Mengatur tidur siang selama 30-60 menit dan menghindari tidur siang
Menghindari tidur siang atau tidur siang dengan waktu yang singkat sekitar
yang gelap dan tingkat kebisingan yang rendah dapat mempermudah lansia
dalam proses tidur. Temperatur kamar tidur dan kebersihan kamar tidur dapat
dampak pada tidur dimalam hari walaupun pada individu yang sensitive
kafein yang dikonsumsi 6 jam sebelum tidur tidak memiliki efek penting pada
Menghindari nikotin pada saat malam hari sangat efektif, bahkan dapat
yang ketagihan. Namun hal itu dapat hindari dengan cara mengubah waktu
merokok dan menghindari merokok pada saat tidak bisa tidur pada malam
hari (Phosner & Gherman, 2011). Pada penelitian Sumirta (2014) dimana
68
Lansia yang mengalami insomnia kategori tinggi paling banyak yaitu 11
Selain itu, olah-raga merupakan bagian dari sleep hygiene yang dapat
sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal. Pada
kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi melatonin
2008).
yang sedikit disebabkan menghindari minum dalm waktu 4 jam sebelum tidur
69
karbohidrat (seperti : biscuit, roti) 1 jam sebelum tidur dapat membuat tidur
Terapi sleep hygiene selain berupa monitor prilaku dan lingkungan, tetapi
hygiene untuk meningkatkan kualitas tidur. Hal itu sejalan dengan penelitian
dilakukan selama bulan puasa. Hal ini mempengaruhi waktu istirahat dan
bergantung pada sikap dan prilaku lansia, apakah lansia melakukan sleep
70
BAB VII
PENUTUP
A. Kesimpulan
insomnia pada lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan aluih Sicincin Padang Pariaman
B. Saran
71
Bagi pendidikan ilmu keperawatan dapat menjadi pedoman untuk
2. Bagi Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-
Pariaman.
kepada lansia yang ditinggal disana untuk menerapkan sleep hygiene untuk
hygiene agar terhindar dari gangguan tidur atau insomnia yang dapat
group kontrol.
72
DAFTAR PUSTAKA
Ahsan, Eko Kapti R, Anggreini Putri S. (2015). Pengaruh Sleep hygiene terhadap
Gangguan Tidur pada Anak Usia Sekolah yang menjalani Hospitalisasi.
Volume 6, Nomor 1 diakses
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/2846
Ambarwati, Fitri R. (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta; Dua
Satria Offset.
Atoilah, Kusnadi. 2013. Askep pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasar
Manusia. Garut: In Media.
Badan Pusat Statistik. (2012). Publikasi Data Lansia Di Indonesia Tahun 2015
dari https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4317
Bandiyah, Siti. (2009). Lanjut Usia Dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta;
Nuha Medika
Bani, S. Hasanpour.S, Malakuti.J, Abedi.P, Ansari.S, (2014). Sleep Hygiene and
its Related Factors Among the elderly in Tabriz, Iran. diakses
www.sciencedirect.com
Barker, T.M. (2008). A description of sleep patterns and sleep hygiene practices
for adults in cardiac rehabilitation programs in Nouthern Montana. diakses
https://pdfs.semanticscholar.org
Budiono, Pertami, Sumirah B. (2015). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta; Bumi
Medika.
Cahyono, Kartiko Meri. (2013). Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kualitas
Tidur Pada Lansia Di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur
Kabupaten Semarang. diakses
http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3556.pdf
Darmojo,B. (2011). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI.
Dharma, K.K.(2011). Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta Timur; CV. Trans
Info Media.
Depkes.(2010). Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Drake, C. RoehrS, T. Shambroom, J. (2013). Caffeine Effects on Sleep Taken 0, 3,
or 6 Hours before Going to Bed. diakses
http://dx.doi.org/10.5664/jcsm.3170
73
Elmoneem, H,A. Fouad, A.L. (2017). The Effect of a Sleep Hygiene Program on
Older Adults, Diaskes www.iosrjournals.org
Gellis, Less A. Lichstein, Kenneth L. (2009). Sleep hygiene practices of good and
poor sleepers in the united states: an internet-based study. Available online
at www.sciencedirect.com
Gellis, Stotsky, Taylor. (2014). Associations Between Sleep Hygiene and
Insomnia Severity in College Students: Cross-Sectional and Prospective
Analyses. www.elsevier.com/locate/bt
Hutapnea, Ronald. (2005). Sehat & Ceria Di Usia Senja, Jilid 1: Suatu Awal
Baru. Jakarta; Rineka Cipta.
Jefferson, C.D. Drake, C. Holly,M. (2005). Sleep Hygiene Practices in a
Population-Based Sample of Insomniacs. Diakses
www.journalsleep.org/articles/280509.pdf
Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta;
Salemba Medika.
Kurniawan, Tommy. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
(Insomnia) pada Lansia di Panti Tresna Werdha Kabupaten Magetan.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Diaskses
www.academia.edu/4408372/Daftar_Pemenang_PKM_2012-Copy1
LeBourgeois MK, Giannotti F, Cortesi F, R Amy, Wolfson, John and American
Adolescents. (2005). The Relationship Between Reported Sleep Quality and
Sleep Hygiene in Italian and American Adolescents Pediatrics. diaskes dari
http://www.cureresearch.com/i/insomnia/stats-country.htm
Maas, ML. Buckwalter, KC. Hardy, MD. Trippreimer, T. Titler, MG. Specht, JP.
(2011). Asuhan Keperaawatan Geriatrik: diagnosis NANDA, criteria hasil
NOC, & intervensi NIC. Jakarta; EGC
Marcel, Gaharu M, Lumempouw SF. (2013). Gangguan Tidur pada Usia Lanjut.
diakses dari http://www.perdossi.or.id/show_file.html?id=146
Maryam, S. Ekasari, MF. Rosidawati. Hartini, T. Suryati, ES. Noorkasiani.
(2010). Asuhan Keperawatan Pada Lansia. Jakarta; CV.Trans Info Media.
Meiner, Sue E. (2011). Gerontology Nursing Fourth Edition. America; Elseiver
Mujahidullah, Khalid. (2012). Keperawatan Geriatrik Merawat Lansia dengan
Cinta Dan Kasih Sayang. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
National Alliance of Mental Illness (NAMI). (2017). Sleep Disorders The
Connection Between Sleep And Mental Health. diakses
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Sleep-Disorders
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta; EGC
74
Nurhidiyati. 2016. Gambaran Pengetahuan Lansia Tentang Insomnia Di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 03 Marguna Jakarta Selatan.
Pandila. (2013). Keperawatan Gerontik Yogyakarta; Nuha Medika
Panglulu,Rachmawati. (2015). Hubungan aktifitaas fisik dengan kejadian
insomnia pada lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Yogyakarta Budi
Kosongan Bantul. Diakses http://opac.unisayogya.ac.id/221/
Posner,D. Gehrman, Philip R. (2011). Behavioral Treatments for Sleep Disorders.
Elsevier Inc.
Potter P.A, & Perry. A,G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses, Praktik. Edisi 4. EGC; Jakarta
Prayitno, A. (2002). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan
penatalaksanaannya. Diakses http://univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Prayitno.pdf
Raharja, Ericha. (2013). Hubungan antara tingkat depresi dengan kejadian
insomnia pada lanjut usia di karawang werdha Semeru Jaya. Diakses
http://repository.unej.ac.id/.../%20Ericha%20Aditya%20Raharja%20%20062
310101038.
Rahmah, S. Syaiffuddin. (2014). Hubungan Sleep Hygiene dengan Kualitas Tidur
pada Lanjut Usia Di PSTW Yogyakarta Unit Abiyoso Pakembinangun Pakem
Sleman. Diakses
http://opac.unisayogya.ac.id/451/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Sahin, E.M. Ozturk, M. Oyekcin, D.G. Uludag, A. (2016). Education Effects of
Sleep Hygiene Education on Subjective Sleep Quality and Academic
Performance . Diakses www.jcam.com.tr/files/JCAM-2728.pdf
Saputra, L. (2013). Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggeran;
Binapura Aksara
Sari I.V. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Insomnia
Pada Lansia Di Kelurahan Andalas Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Padang 2015. Skripsi Fkep Unand
Schutte-Rodin S; Broch L; Buysse D; Dorsey C; Sateia M. Clinical guideline for
the evaluation and management of chronic insomnia in adults. J Clin Sleep
Med 2008;4(5):487-504. Diakses
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/magazine/issues/pdf/SleepDiary.pdf
Sitralita, (2010). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas Tidur
Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar.
Skripsi, Fkep Unand
Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanut. Yogyakarta; Gadjah Mada
University Press
75
Suastari M, Bayu Tirtayasa PN, Suka Aryana GP. (2014). Hubungan Antara Sleep
Hygiene Dengan Derajat Insomnia Pada Lansia Di Poliklinik Geriatri RSUP
Sanglah, Denpasar, Februari. Diakses
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/11866
Suhesti, Suratini. (2014). Pengaruh Senam Yoga Terhadap Tingkat Insomnia
Pada Lansia Di UPT Wredha Budi Darma Ponggalan Umbulharjo
Yogyakarta. Diakses
http://opac.unisayogya.ac.id/479/1/NASKAH%20PUBLIKASI_SUHESTI_2
01010201037.pdf
Sumirta, Laraswati. (2014). Faktor yang menyebabkan gangguan tidur (Insomnia)
pada lansia. Diaskes http://poltekkes-
denpasar.ac.id/files/.../JUNI%202015/I%20Nengah%20Sumirta.pdf
Smeltzer, Suzane C. Bare, Brenda G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Vol. 1 edisi 8. Jakarta; EGC
Soleimani, F. Motaarefi, H. Dehkordi, A. (2016). Effect of Sleep Hygiene
Education on Sleep Quality in Hemodialysis Patients. Journal of Clinical and
Diagnostic Research Diakses
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5296457/
Stepanski E.J, Wyatt J.K. (2003). Clinical review about Use of sleep hygiene in
the treatment of insomnia. Elsevier Science. diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/10607092
Sumedi T, Wahyudi, Kuswati A. (2010). Pengaruh Senam Lansia Terhadap
Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Werda Dewanata Cicalap.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume
5, No.1, diakses www.e-jurnal.com/2014/11/pengaruh-senam-lansia-
terhadap.html
Sunaryo. Wijayanti, Kuhu, Sumedi, Widayanti, dkk. (2016). Asuhan Keperawatan
Gerontik. Yogyakata; CV Andi Offset.
Sustyani, R.A. (2012). Hubungan Depresi dengan Kejadian Insomnia pada
Lanjut Usia Di Panti Werdha Harapan Ibu Semarang. Diakses
http://download.portalgaruda.org/article.php?...HUBUNGAN%20ANTARA
%20DEPRESI%
Syara, Letra G, (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas
Tidur Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Kota Padang 2015.
Skripsi, Fkep Unand
Touhy, Therrys A. (2010). Ebersole and Hess Gerontological Nursing Healthy
Aging. America; Elseiver
Tamher. Noorkasiano. (2012). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta; Salemba Medika
76
Tan, E. Healey,D. Gray, A. Galland, B. (2012). Sleep hygiene intervention for
youth aged 10 to 18 years with problematic sleep: a before-after pilot study.
Diakses http://www.biomedcentral.com/1471-2431/12/189
Tsou, M.T. (2013). Prevalence and Risk Factors For Insomnia in Community
Dweling Elderly in Northern Taiwan. Journal Of Clinical Gerontology &
Geriatrics 4; 75-79. Diakses
www.sciencedirect.com/science/article/.../S221083351300027...
Vaughans, Bennita W. (2013). Keperawatan Dasar. Yogyakarta; Rapha
Publishing.
Voinescu, B.L, Tatar,A.S. (2015). Sleep hygiene awareness: its relation to sleep
quality and diurnal preference. Diakses
https://jmolecularpsychiatry.biomedcentral.com/.../s40303-015
77