Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Gangguan tidur yang paling sering dijumpai saat ini yaitu Insomnia.

Insomnia merupakan kesukaran dalam memulai dan mempertahankan tidur

sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tidur yang adekuat, baik kualitas

maupun kuantitas (Saputra, 2013). Biasanya seseorang yang mengalami insomnia

akan lebih sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur hingga terbangun lebih

dini dan sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi, 2013). Penyebabnya

dikarenakan gangguan fisik maupun karena faktor mental seperti perasaan gundah

maupun gelisah (Ambarwati, 2014).

Pada kelompok lansia kejadian insomnia tujuh kali lebih besar

dibandingkan dengan kelompok 20 tahun (Vaughans, 2013). Banyak Lansia yang

mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam

sehari) dengan terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi dan sering terbangun di

waktu malam hari (Nugroho, 2000). Banyaknya persoalan lanjut usia seiring

dengan meningkatnya jumlah lansia di Indonesia mengakibatkan munculnya

beberapa fenomena seperti perubahan structural dan fisiologis salah satunya

kesulitan untuk tidur atau insomnia (Sitralita, 2010).

Di dunia, angka prevalensi insomnia pada lansia diperkirakan sebesar 13-

47% dengan proporsi sekitar 50-70% terjadi pada usia diatas 65 tahun. Sebuah

penelitian Aging Multicenter melaporkan bahwa sebesar 42% dari 9.000 lansia

yang berusia diatas 65 tahun mengalami gejala insomnia (Suasari,et. al. 2014).

1
Penelitian yang dilakukan di Taipei menunjukkan bahwa sebanyak 40 % individu

yang berusia diatas 60 tahun mengalami insomnia dimana mereka sering

terbangun dan sulit untuk memulai tidur (Tsou, 2013). Di Indonesia, angka

prevalensi insomnia pada lansia sekitar 67%. Sedangkan sebanyak 55,8 % lansia

mengalami insomnia ringan dan 23,3 % lansia yang mengalami insomnia sedang

di Poliklinik Geriatri RSUP Sanglah (Suastari,et. al, 2014).

Tidur merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh manusia. Tidur

adalah suatu keadaan tidak sadarkan diri dimana persepsi dan reaksi individu

terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat di bangunkan kembali dengan

indra atau ransangan yang cukup (Atoilah & Kusnadi, 2013 dikutip dalam

Guyton, 1981). Sedangkan menurut Vaughans (2013) tidur yaitu keadaan

gangguan kesadaran yang dapat bangun yang dikarakterisasikan dengan

minimnya aktivitas. Tidur dapat dikatakan sebagai kondisi ketika seseorang tidak

sadar, tetapi dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai yang

ditandai dengan aktivitas fisik yang minim, tingkat kesadaran bervariasi, terjadi

perubahan proses fisiologis dan terjadi penurunan respons terhadap stimulus

eksternal (Saputra, 2013).

Aktivitas tidur terjadi secara alami dan dikontrol oleh pusat tidur yaitu

medulla spinalis (Batang Otak) tepatnya di RAS (Retikular activating system) dan

BSR (Bulbar Synchronizing Region) yang terlibat dalam mempertahankan status

bangun dan mempermudah beberapa tahap untuk tidur (Atoilah & Kusnadi,

2013). Terjadinya Bangun dan tidur merupakan peran dari RAS dan BSR, dimana

RAS akan melepaskan katekolamin untuk mempertahakan kewaspadaan dan agar

tetap terjaga. Namun ketika RAS di otak mengalami kelelahan sehingga

2
mengaktifkan BSR untuk merangsang pengeluaran serotonin yang menimbulkan

rasa kantuk dan tidur (Saputra, 2013).

Proses tidur terbagi menjadi dua fase REM (Rapid Eyes Movement/

Gerakan Mata Cepat) Dan NREM (Non Rapid Eyes Movement/gerakan mata tidak

cepat). Tidur NREM dikatakan tidur Gelombang lambat (Slow Wave Sleep),

terjadi karena aktivtas gelombang otak bergerak sangat lambat yang ditandai

dengan penurunan sejumlah fungsi fisiologi maupun metabolisme. kerja otot. dan

tanda-tanda vital seperti tekanan darah dan frekuensi nafas (Saputra, 2013). Tidur

NREM terjadi sekitar 75% sampai 80% dari waktu tidur, sisanya sekitar 20%

sampai 25 % dari tidur adalah fase tidur REM (Syara, 2015 dikutip dalam Meiner,

2011).

Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM yang biasanya berlangsung rata-

rata setiap 90 menit (5-20 menit) disertai dengan mimpi (Saputra, 2013). Tidur

malam di mulai dengan empat tahap tidur NREM, berlanjut dengan fase tidur

REM, kemudian dilanjutkan dengan pergantian siklus antara NREM dan REM

selama sisa tidur hingga pagi sekitar 4-6 siklus (Syara, 2015 dikutip dalam

Meiner, 2011). Lamanya tidur pada fase 3-4 berkontribusi dalam menentukan

istirahat dan kesegaran individu pada esoknya (Touhy, 2010). Dari Tahap 1

sampai 4 kualitas tidur akan bertambah dalam sehingga pada tahap 3 dan tahap 4

seseorang akan sulit terbangun (Potter & Perry, 2006).

Kebutuhan tidur dan pola tidur pada manusia berubah bersama

bertambahnya usia (Smelzer & Bare, 2001). Pada Lansia kebutuhan tidur normal

pada usia diatas 60 tahun keatas yaitu selama 6 jam, dimana sebanyak 20-25%

3
dari siklus tidur REM dan tahap IV NREM menurun, sehingga individu dapat

mengalami insomnia yaitu sering terjaga sewaktu tidur (Saputra, 2013). Proses

penuaan mengakibatkan lansia mengalami perubahan-perubahan pada pola tidur

dan istirahat serta mengakibatkan lebih mudah mengalami gangguan tidur (Maas,

et. al. 2011).

Perubahan-perubahan yang dialami lansia dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti penyakit, gangguan pada endokrin, obat-obatan, lingkungan, gaya

hidup/kebiasaan, stress psikologi, diet dan nutrisi (Atoilah & Kusnadi, 2013).

Sedangkan menurut Saputra (2013) yang mempengaruhi kebutuhan tidur yaitu

Penyakit, Kelelahan, Lingkungan, Stres Psikologis, Gaya Hidup, Motivasi,

Stimulan, Alkohol, obat-obatan, diet dan nutrisi. Pada lansia faktor-faktor tersebut

terbagi menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal, faktor internal

meliputi fisiologis dan psikologi terdiri dari penyakit, nyeri, gangguan suhu tubuh,

gangguan pernafasan saat tidur, pergerakan kaki secara teratur saat tidur, gejala

monopouse, demensia, depresi, Parkinson, stress, dan kecemasan (Maas,et. al.

2011). Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan yang asing, peningkatan

stimulus sensori, disorientasi waktu, perubahan kebiasaan, tidur siang yang

berlebihan, merokok, penyalahgunaan alkohol, olah raga yang kurang, konsumsi

hipnotik dan sedatif (Maas,et.al 2013).

Masalah yang muncul pada lansia yang mengalami insomnia yaitu

kesulitaan untuk tidur, sering terbangun lebih awal, sakit kepala di siang hari,

kesulitan berkonsentrasi, dan mudah marah. Dampak yang lebih luas akan terlihat

depresi, insomnia juga berkontribusi pada saat mengerjakan pekerjaan rumah

maupun berkendara, serta aktivitas sehari-hari dapat terganggu (Nurhidiyati, 2016

4
dikutip dalam Rafiudin, 2004). Jika lansia kurang tidur yaitu perasaan bingung,

curiga, hilangnya produktivitas kerja, serta menurunya imunitas. Kurang tidur

menyebabkan masalah pada kualitas hidup lansia, memperburuk penyakit yang

mendasarinya, mengubah perilaku, suasana hati menjadi negatif, mengakibatkan

kecelakaan, seperti terjatuh, serta kecelakaan dalam rumah tangga. Insomnia juga

dapat meyebabkan kematian pada lansia (Fitriani,2014).

Marcel et al (2009) menyatakan bahwa lansia dengan penyakit yang

mendasari, seperti depresi, hipertensi, penyakit jantung atau paru, stroke, diabetes

mellitus, atau arthritis memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dan durasi tidur

yang kurang dibandingkan dengan lansia yang sehat (Suastari, et.al. 2014).

Penelitian Tsou (2013) mendapatkan bahwa lansia dengan insomnia mengeluh

rasa kantuk yang berlebihan di siang hari sehingga tubuh terasa lemah terutama

pada ekstremitas, kelelahan, rasa tidak nyaman, kehilangan nafsu makan, sakit

kepala, dan gangguan aktivitas. Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan

sekitar 80 juta lansia sering mengalami jatuh atau kecelakaan yang berhubungan

pula dengan peningkatan biaya pengobatan dan perawatan, yaitu sebesar 100 juta

dolar per tahun (Suastari, 2014 dikutip dalam kurniawan, 2012)

Perawatan lansia (Gerontic Nursing) merupakan bidang keperawatan

spesifik yang memfokuskan perhatian terhadap pengkajian kesehatan dan status

fungsional usia lanjut (Sunaryo, 2016 dikutip dalam Lueckenotte,2000). Menurut

Sunaryo, dkk (2016) bahwa keperawatan gerontik adalah suatu bentuk pelayanan

professional yang didasarkan ilmu dan kiat/teknik keperawatn gerontik yang

berbentuk bio-psiko-sosio-kultural dn spiritual yang komprehensif, ditujukan pada

lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkat individu, keluarga, dan

5
komunitas maupun masyarakat. Peran perawat sangat penting dalam

meningkatkan tidur yang optimal pada lansia yang tidak memiliki masalah tidur

sebelumnya, ataupun pada lansia yang beresiko atau sedang mengalami gangguan

pola tidur (Maas, 2011).

Terapi yang diberikan untuk mengatasi insomnia terdiri dari terapi

farmakologi dan nonfarmakologi (Touhy, 2010). Terapi farmakologis yang

diberikan kepada lansia yang mengalami insomnia memberikan efek samping

pada lansia seperti obat-obatan jenis antidepresan, antihipertensi, antineoplastic,

antikoligernik, hormon, simpatometik amines, agen neurologi, dll (Touhy, 2010).

Sedangkan terapi nonfarmakologi untuk mengatasi insomnia terdiri dari Stimulus

control, sleep restriction, cognitive behavioral therapy, terapi relakasi, dan sleep

hygiene (Endeshaw, 2006). Namun dari sekian terapi nonfarmakologis, sleep

hygiene mrupakan terapi yang efektif untuk mengatasi gangguan tidur

dibandingkan terapi lainnya yang hanya mengedapankan persepsi dalam

penggunaan tempat tidur dan teknik nafas dalam (Touhy,2010).

Sleep Hygiene merupakan untuk mengatasi insomnia dimana terapi yang

mengidentifikasi dan memodifikasi perilaku dan lingkungan yang mempengaruhi

tidur (Suastari,et.al. 2014). Dasar Sleep Hygiene meliputi kegiatan-kegiatan yang

mendorong tidur normal yang dapat dipraktekkan oleh individu secara rutin untuk

mencapai tidur normal (Meiner, 2011). Sleep Hygiene menekankan jadwal dan

rutinitas tidur yang stabil, lingkungan yang ramah untuk tidur, menghindari zat-

zat yang akan mengganggu tidur, olahraga teratur (tapi tidak segera sebelum

mencoba untuk tidur), menghindari minuman berkafein, pil tidur, alkohol dan

pengurangan stress (Meiner, 2011).

6
Beberapa penelitian yang dilakukan terkait Sleep Hygiene terhadap

insomnia, seperti penelitian yang dilakukan oleh Suastari (2014) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan antara sleep hygiene dengan derajat insomnia pada

lansia, pada dua komponen yaitu faktor diet dan olahraga. Sejalan dengan itu,

adanya hubungan antara sleep hygiene dengan kualitas tidur lansia, dimana

semakin rendah prilaku sleep hygiene maka akan semakin memburuk kualitas

tidur lansia (Rahmah, 2014). Penelitian Ahsan (2015) menunjukkan adanya

pengaruh sleep hygiene untuk mengatasi masalah gangguan tidur

PSTW Sicincin merupakan UPTD Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat

yang mempunyai tugas pokok memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada

lanjut usia terlantar didalam panti berupa pelayanan dan perawatan, baik jasmani

maupun rohani agar para lanjut usia dapat hidup secara wajar. Selain itu PSTW

Sicincin mengedepankan upaya pengobatan secara nonfarmakogi dibandingkan

pengobatan farmakologis. Salah satu tujuan pelayanan dari PSTW Sicincin yaitu

memenuhi kebutuhan dasar lansia, peneliti ingin melakukan survey kepada lansia

diwilayah kerja Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-

Pariaman. Hal ini menimbang bahwa PSTW Sicincin memiliki jumlah hunian 14

wisma dan menampung sekitar 110 lansia (PSTW Sicincin, 2015)

Berdasarkan Studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 13 Maret

2015 didapatkan bahwa 8 dari 10 lansia mengalami insomnia. 5 lansia diantaranya

memiliki skor 20-27 (insomnia ringan), 2 lansia memiliki skor 28-36 (insomnia

sedang), dan 1 lansia memiliki skor 37-44 (insomnia berat). Hasil wawancara

peneliti dengan lansia yang mengalami insomnia menyatakan bahwa didapatkan

gejalanya seperti kesulitan untuk memulai tidur, terbangun pada malam hari,

7
susah untuk memulai tidur kembali dan sering mengantuk pada siang hari. Upaya

satu orang lansia untuk mengatasi insomnia yaitu dengan tidak tidur siang hal itu

dianggap pada malam harinya lansia tersebut akan mengantuk dan mudah untuk

tidur. Sedangkan lansia lainnya tidak menggunakan terapi apapun untuk

mengatasi insomnia yang dialami.

Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik mengambil judul

Pengaruh Sleep Hygiene Terhadap Penurunan Derajat Insomnia pada Lansia di

Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian

sebagai berikut,Apakah Ada Pengaruh Sleep Hygiene Terhadap Derajat Insomnia

pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang

Pariaman?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Pengaruh Sleep Hygiene Terhadap Derajat

Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih

Sicincin Padang Pariaman

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui rata-rata derajat insomnia pada lansia sebelum

dilakukan intervensi sleep hygiene

8
b. Untuk mengetahui rata-rata derajat insomnia sesudah dilakukan

intervensi sleep hygiene

c. Untuk mengetahui pengaruh sleep hygiene terhadap insomnia pada

lansia

D. Manfaat Penelitian.

1. Bagi Bidang Keperawatan

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

tentang Pengaruh Sleep Hygiene terhadap penurunan skala insomnia pada

lansia. Selain itu, diharapkan juga dapat membantu perkembangan lmu

keperawatan gerontik serta sebagai referensi dimasa yang akan datang.

Peran perawat gerontik dalam hal memonitor kualitas lansia dapat lebih

optimal dengan mengetahui bagaimana sleep hygiene dan pengaruhnya

terhadap derajat insomnia

2. Bagi PSTW Sicincin Padang Pariaman

Sebagai bahan masukan untuk melakukan intervensi dalam

merawat lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin

Padang Pariaman terutama yang mengalami insomnia.

9
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Lansia

1. Pengertian Lansia

Lansia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan.

Terjadinya proses penuaan merupakan proses perubahan biologis secara

terus-menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan

waktu (Suardiman, 2011). Secara Umum seseorang dikatakan lanjut usia

jika sudah berusia diatas 60 tahun, defenisi ini bervariasi bergantung dari

aspek budaya, fisiologis dan kronologis (Fatimah, 2010).

Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan

fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki diri dari kerusakan yang terjadi

(Sunaryo, 2016 dikutip dalam Costantinides,1994). Sehingga didalam

tubuh akan semakin banyak menumpuk distorsi metabolik dan struktural

yang disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan

mengakhiri hidup dengan episode terminal (Sunaryo, 2016 dikutip dalam

Darmojo, 1999).

10
2. Proses Menua

Proses menua merupakan proses yang berhubungan dengan umur

seseorang. Semakin bertambah umur semakin berkurang fungsi-fungsi

organ tubuh, hal ini dapat dibandingkan bagaimana struktur dan fungsi

organ antara manusia yang berumur 70 tahun dengan yang berumur 30

tahun (Sunaryo, 2016). Seperti pada berat otak pada lansia 56%, aliran

darah ke otak 80%, cardiac output 70%, jumlah glomelurus 56%,

glomerular filtration rate 69%, vital capavity 56%, asupan oksigen dalam

darah ketika berolah raga 40%, jumlah dari axon pada saraf spinal 63%,

kecepatan pengantar impuls saraf 90%, dan berat badan 88% (Sunaryo,

2013).

Setiap Manusia yang memasuki usia lanjut banyak yang

mengalami kemunduran misalnya kemudnduran fisik yang ditandai

dengan kulit menjadi keriput karena berkurangnya bantalan lemak, rambut

memutih, pendengaran mulai berkurang, penglihatan mulai memburuk,

gigi mulai ompong, aktivitas mulai lambat, nafsu makan mulai berkurang

dan kondisi tubuh yang lainnya juga mulai mengalami kemunduran

(Padila, 2013).

Adapun faktor yang mempengaruhi proses penuaan tersebut yaitu

dibagi atas dua bagian, pertama faktor genetik yang melibatkan DNA,

respons stres, dan pertahanan terhadap antioksidan. Kedua, faktor

lingkungan yang meliputi: pemasukan kalori, berbagai macam penyakit,

dan stres dari luar misalnya radiasi atau bahan-bahan kimia. Faktor

tersebut mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan

11
terjadinya stres oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang akan

terjadinya proses penuaan (Sunaryo, 2016).

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus atau

berkelanjutan secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk

hidup. Misalnya, dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, semua

saraf, dan jaringan lain, hingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Dan

kecepatan proses menua setiap individu pada organ tubuh tidak akan sama

(Nugroho, 2008).

Adanya proses penuaan merupakan kombinasi bermcam-macam

faktor yang saling berkaitan. Sampai saat ini, banyak defenisi dan teori

yang menjelaskan tentang proses menua yang tidak seragam. Secara

umum, proses menua didefenisikan perubahan yang terkait waktu, bersifat

universal, intrinsik, progesif, dan destrimental keadaaan tersebut dapat

menyebabkan bekurangnya kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan

untuk dapat bertahan hidup (Nugroho, 2008).

Proses penuaan terdiri atas teori-teori tentang penuaan, aspek

biologis pada proses menua, proses penuaan pada tingkat sel, proses

penuaan menurut system tubuh, dan aspek psikologis pada proses penuaan

(Padila, 2013). Seseorang lanjut usia dinyatakan mengalami proses menua

yang berhasil apabila ia menarik diri dari kegiatan terdahulu dan dapat

memusatkan diri menghadapi kematian (Nugroho, 2008).

12
3. Batasan-Batasan Lanjut Usia

Menurut Padila (2013) yaitu usia patokan lansia berbeda-beda

umumnya, berkisar antara 60-65 tahun Beberapa pendapat para ahli dalam

Efendi (2009) tentang batasan usia adalah sebagai berikut :

a. Menurut World Health Organzation (WHO), usia lanjut dibagi

menjadi empat criteria berikut : usia pertengahan (middle-age) ialah

45-59 tahun, lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua

(old) ialah 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun

b. Menurut Pfrof. Dr. Koesoemanto masa lanjut usia (geriatric age): >

65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric age) itu sendiri

dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), dan

very old (>80 tahun)

c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikologi UI) terdapa empat fase, yaitu :

pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah

40-55 tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase

senium) ialah 65 hingga tutup usia (Sunaryo, 2016)

B. Tidur

1. Pengertian Tidur

Tidur merupakan suatu kondisi ketika seseorang tidak sadarkan

diri, tetapi dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai

ditandai dengan aktivitas fisik yang minim, tingkat kesadaran bervariasi,

terjadi perubahan proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap

stimulus eksternal (Saputra, 2013). Tidur juga didefenisikan sebagai suatu

13
keadaan yang berulang-ulang, perubahan suatau keadaan yang terjadi

selama periode tertentu (Perry & Potter, 2005)

2. Siklus Tidur

Tidur dapat dibagi menjadi dua tahapan, yaitu Non-Rapid Eye

Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM) (Saputra, 2013).

a. Tidur NREM

Tidur NREM disebabkan oleh penurunan kegiatan dalam sistem

pengaktifan retikularis sehingg gelombang otak bergerak dengan

sangat lambat yang disebut juga dengan tidur gelombang lambat (Slow

wave sleep) (Saputra, 2013). Didalam tidur NREM terjadi penurunan

sejumlah fungsi fisiologis serta semua proses metabolik termasuk

tanda-tanda vital, metabolisme, dan kerja otot melambat (Ambarwati,

2014). Menurut Saputra (2013) tidur NREM terbagi atas 4 tahap (I-

IV) yaitu :

1) Tahap I

Tahap I merupakan tahapan paling dangkal dari tidur dan

merupakan tahap transisi antara bangun dan tidur ditandai dengan

individu cenderung rileks, masih sadar dengan lingkungannya,

merasa mengantuk, bola mata bergerak dari samping ke samping,

frekuensi nadi dan napas sedikit menurun, serta mudah

dibangunkan. Tahap I normalnya berlangsung sekitar 5 menit atau

sekitar 5 % dari total tidur.

2) Tahap II

14
Tahap II merupakan tahap ketika individu masuk pada

tahap tidur, tetapi masih dapat dibangunkan dengan mudah yang

disebut juga dengan tahap tidur ringan (Light Sleep). Pada tahap ini

otot mulai relaksasi, mata pada umumnya menetap, dan proses-

proses didalam tubuh terus menurun yang ditandai dengan

penurunan denyut jantung, frekuensi napas, suhu tubuh, dan

metabolism. Tahap II normalnya berlangsung selama 10-20 menit

dan merupakan 50-55% dari total tidur.

3) Tahap III

Tahap III merupakan awa dari tahap tidur dalam atau tidur

nyenyak (deep sleep). Tahap ini dicirikan dengan relaksasi otot

menyeluruh serta perlambatan oleh dominasi system saraf

parasimpatik seperti pada denyut nadi, frekuensi napas, dan proses

tubuh yang lain. Pada tahap ini, individu cenderung sulit

dibangunkan dan berlangsung selama 15-30 menit yang merupakan

10% dari total tidur.

4) Tahap IV

Pada tahap IV, individu tidur semakin dalam atau delta-

sleep. Tahap ini ditandai dengan perubahan fisiologis, yaitu EEG

gelombang otak melemah serta penurunan denyut jantung, tekanan

darah, tonus otot, metabolism, dan suhu tubuh. Tahap ini

berlangsung selama 15-30 menit dan merupakan 10 % dari tidur

total.

b. Tidur REM

15
Tidur REM disebut juga dengan tidur paradok karena biasanya

terjadi rata-rata setiap 90 menit dan berlangsung selama 5-20 menit.

Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM dan sebagian besar mimpi

terjadi pada tahap ini. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental

dan emosi serta adaptasi. Tidur REM ditandai dengan

1) Lebih sulit dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba

2) Tonus otot sangat terdepresi dan menunjukan inhibisi kuat proyeksi

spinal atas system pengaktivasi retikularis.

3) Sekresi lambung meningkat

4) Frekuensi denyut jantung dan pernafasan sering kali menjadi tidak

teratur.

5) Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur

6) Mata cepat tertutup dan terbuka

7) Metabolisme meningkat.

16
Siklus tidur normal dapat dilihat dari skema berikut :

NREM
Tahap
tahap
tidur
IV

NREM NREM NREM


tahap I tahap IV tahap III

NREM NREM
tahap II tahap III

Skema 2.1 . Tahap-Tahap Siklus Tidur (Perry & Potter, 2005)

Siklus ini merupakan salah satu dari irama sirkandian yang

merupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan irama

sirkandian ini juga merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu,

maka fungsi fisiologis dan psikologis dapat terganggu (Potter & Perry,

2005)

3. Kebutuhan Tidur Pada Manusia

Menurut Saputra (2013) kebutuhan tidur pada setiap tahap

perkembangan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

17
Tabel 2.1. Kebutuhan Tidur pada setiap perkembangan Manusia

Kebutuhan
Usia dan Tingkat
Tidur Pola Tidur Normal
Perkembangan
(Jam/Hari)
0-1 bulan 14-18 50% dari siklus tidur adalah
(masa neonates) tidur REM, siklus tidur
berlangsung selama 45-60 menit
1-12 bulan 12-14 20-30% dari siklus tidur adalah
(masa bayi) REM, bayi mungkin akan
tertidur sepanjang malam
1-3 tahun 10-12 Sekitar 25% dari siklus tidur
(masa anak-anak) adalah tidur REM, anak-anak
tidur pada siang dan sepanjang
malam
3-6 tahun 11 20% dari siklus tidur adalah
(masa prasekolah) REM
6-12 tahun 10
(masa sekolah) 18,5% dari siklus tidur adalah
12-18 tahun 7-8,5 REM
(masa remaja) 20% dari siklus tidurnya adalah
18-40 tahun 7-8 tidur REM
(masa dewasa muda) 20-25% dari siklus tidurnya
40-60 tahun 7-8 adalah REM
(masa dewasa 20% dari siklus tidurnya adalah
menengah) tidur REM, individu mungkin
mengalami insomnia dan sulit
>60 tahun 6 untuk tidur
(masa dewasa tua) 20-25% dari siklus tidurnya
adalah tidur REM, individu
dapat mengalami insomnia,
sering terjaga sewaktu tidur, dan
tahap IV REM menurun, bahkan
terkadang tidak ada.

18
4. Fisiologis Tidur

a. Fisiologis Tidur Secara Umum

Aktivitas tidur berhubungan dengan mekanisme serebral yang

secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak agar dapat

tidur dan bangun (Saputa, 2013). Aktivitas tersebut diatur dan

dikontrol oleh dua system pada batang otak, yaitu Reticular Activating

System (RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR) (Ambarwati,

2014).

RAS terdapat dibatang otak bagian atas yang diyakini memiliki

sel-sel khusus yang dapat mempertahankan kewaspadaaan serta

kesadaran (Saputra, 2013). RAS memberikan stimulus visual,

pendengaran, nyeri, dan perabaan serta dapat mnerima stimulus dari

korteks serebri termasuk rangsangan emosi dan proses berpikir

(Ambarawati, 2014)

Pada saat sadar, RAS melepaskan katekolamin untuk

mempertahankan kewaspadaan dan agar tetap terjaga. Pengeluaran

serotonin dari BSR menimbulkan rasa kantuk yang selanjutnya

menyebabkan tidur. Terbangun atau terjaganya seseorang tergantung

pada keseimbangan impuls yang diterima di pusat otak dan system

limbic (Saputra, 2013).

b. Fisiologis Tidur pada Lansia

Jumlah tidur total tidak berubah sesuai dengan perubahan usia.

Akan tetapi, kualitas tidur menjadi berubah pada kebanyakan lansia.

Episode tidur REM 20-25 % dan cenderung memendek serta terdapat

19
penurunan yang progesif pada tahap tidur NREM 3 dan 4 (Saputra,

2013). Beberapa lansia tidak memiliki tahap 4 atau tidur dalam hal ini

dikarenakan sering mengalami terbangun lebih sering dimalam hari,

dan membutuhkan waktu untuk jatuh tidur. Tetapi pada lansia yang

berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis

dalam penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Perry &

Potter, 2005)

5. Faktor Hubungan/ Etiologi Gangguan Tidur Pada Lansia

Gangguan pola tidur menurut Maas (2014) disebabkan oleh

beberapa faktor, yaitu :

a. Faktor Internal

Kecemasan dan kekhawatiran dapat menunda seseorang untuk

tidur, biasanya hanya beberapa malam. Keduanya hal tersebut dapat

terjadi secara berkala pada lansia, khususnya yang mengalami rawat

inap di rumah sakit tidak mendapatkan tidur yang cukup.

Faktor yang berhubungan dengan lansia yang mengalami penyakit

kritis adalah nyeri, stress akut, depresi, gangguan suhu tubuh, distress

pernafasan, dan sering berkemih. Nyeri akut memiliki dampak

negative pada pola tidur, terutama nyeri yang disebabkan oleh

prosedur pembedahan.

Lansia yang tinggal di Panti werdha mengalami gangguan pola

tidur yang berhubungan dengan kemunduran, dsteriorasi dalam irama

sirkandian tidur-terjaga, apnea saat tidur, dan demensia. Nokturia dan

20
nyeri juga merupakan faktor yang umumnya mengganggu tidur lansia

yang tinggal di Panti Werdha.

Faktor pertahanan diri pada inang berperan dalam pengaturan tidur

seperti tidur NREM (Non Rapid Eyes Movement) dapat memiliki

fungsi perlindungan terhadap sistem imun, walaupun hubungan antara

keduanya belum jelas dipahami. Kemungkinan juga terdapat pengaruh

beberapa sitokin tertentu seperti interleukin-1 saat siklus tidur terjaga.

Pada lansia, kadar, kadar kortisol rata-rata meningkat, dan terjadi

penurunan keefektifan system imun. Semua perubahan fisiologis ini

dapat mencetuskan gangguan pola tidur pada lansia dan diperburuk

dengan penyakit, terutama jika dapat demam.

Angka kejadiaan masalah pernafasan saat tidur tampaknya

meningkat seiring dengan penambahan. Apnea saat tidur, keadaan

henti napas saat seseorang sedang tidur biasanya terjadi pada klien

lansia. Apnea tidur obstruktif (ATO) merupakan gangguan jalan napas

bagian atas yang cenderung menimbulkan apnea selama fase tidur

REM. Salah satu contoh ATO adalah sindrom Pickwickian atau leher

gemuk, suatu keadaan obstruksi jalan napas bagian atas oleh jaringan

lunak yang menyebabkan apnea pada seseorang yang obesitas. Selama

fase REM, desaturasi oksigen menyebabkan serangan apnea dan

peningkatan tekanan darah.

Pada pasien yang mengalami Penyakit Paru Obstruktif Menahun

(PPOM), periode hipopnea dan bersifat obstruktif atau terpusat dan

umumnya tetap terjadi pada individu. Walaupun demikian, tidur yang

21
berhubungan dengan desaturasi oksigen yang buruk hanya dapat

dipantau pada pasien yang memperlihatkan hipoksemia siang hari

yang khas.

Survei yang dilakukan Ancoli & Israel (1991) pada lansia yang

tinggal dalam masyarakat dan menemukan rata-rata prevalensi

gangguan pernapasan saat tidur yaitu, sebanyak 24% untuk indeks

Apnea (5 periode apnea saat tidur pejam) dan 62% untuk indeks

gangguan pernafasan ( 10 periode apnea dan hipoapnea saat tidur

perjam, periode hipopnea diukur dengan alat perekam dan didapatkan

penurunan sebesar 50% sampai 90% pada tanda-tanda pernapasan).

Mereka menyimpulkan bahwa gangguan pernapasan saat tidur

berperan terhadap kesulitan tidur disiang hari dan gangguan tidur pada

malam hari yang dialami oleh lansia.

Pergerakan kaki secara teratur saat tidur (PKTI), merupakan

keadaan abnormal yaitu seseorang melakukan gerakan tendangan atau

menghentakkan kakinya setiap 20 sampai 40 detik selama tidur, dapat

mengakibatkan gangguan tidur. Prevalensi PKIT cukup tinggi pada

lansia.

Gejala Monopouse dapat mengganggu pola tidur. Selama

monopouse terdapat perubahan besar pada sistem neuroendokrin,

terutama hipotalamus, yang menyebabkan wanita perimonopouse

mengalami masalah tidur.

Gangguan pola tidur dipantau secara teratur pada pasien demensia

tipe Alzheimer (DTA), penyakit yang menyebabkan degenerasi

22
neuron kortikol dan subkortikal yang terjadi secara progresif. masalah

tidur ternyata dialami juga oleh lansia sehat tetapi masalah tersebut

lebih berat, termasuk sering terbangun dimalam hari, tidak dapat tidur

kembali dimalam hari, dan peningkatan waktu tidur disiang hari.

Gangguan yang terjadi dalam irama sirkandian ini kerap dipicu oleh

delirium dan keadaan terbenamnya matahari. Eksaserbasi perilaku

ini, biasanya terjadi pada sore menjelang malam dan malam hari.

Dasar neurologi yang menyebabkan gejala ini adalah terdapatnya

gangguan metabolism serebral. lebih khusus lagi, jumlah fase tidur

REM lebih rendah pada pasien DTA.

Pengaturan tidur terjaga yang abnormal juga sering terlihat pada

penyakit Parkinson dan sindrom parkinsonisme lainnya. Selama fase

tidur REM, trempr Parkinsonian menghilang. Walaupun demikian,

terdapat bukti untuk menyarankan waktu REM yang lebih pendek,

terutama ketika pasien denga Parkinson mengalami depresi.

b. Faktor Eksternal

Tidur dapat mengganggu oleh suara bising dan stimulus

lingkungan lainnya. Beyermen (1987) mewawancarai 100 pasien yang

di rawat inap (usia rata-rata 86 tahun), untuk memastikan apa yang

mereka yakini sebagai penyebab gangguan pola tidur yang paling

banyak teridentifikasi adalah suara, diikuti dengan terbangun karena

kedatangan perawat dan lingkungan rumah sakit yang asing. Masalah

tidur juga umum terjadi pada unit perawatan intensif dan kerap terjadi

akibat lingkungan yang bising.

23
Faktor yang berhubungan dengan gangguan tidur pada pasien yang

tinggal dip anti werda meliputi lingkungan eksternal yang bising,

menghasilkan waktu yang berlebihan. Schnelle dan rekan (1989)

menemukan bukti kuat yang menunjukkan bahwa tidur malam pada

pasien di nursing home terganggu oleh suara rebut dan cahaya dari

lingkungan sekitar. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gentili

(1997) melaporkan bahwa suara bising atau cahaya dari lingkungan,

menggangu waktu tidur para penghuni panti werda sebanyak tiga kali

atau lebih perminggunya.

Tidur siang mungkin dapat atau tidak dapat membantu mengatasi

masalah tidur, baik sebagai kompensasi terhadap kualitas tidur siang

kurang ataupun pola tidur malam yang terganggu. Jumlah rata-rata

durasi tidur siang pada sekelompok sampel lansia sehat sekitar satu

jam (Evans & Rogers, 1994). Pada sebuah penelitian yang lain dengan

sampel lansia yang tinggal dalam masyarakat menemukan sekitar 50%

lansia pria dan 31% lansia wanita tidur pada siang hari (Gislason, et.al

1993).

Perokok lebih cenderung melaporkan beberapa keluhan seperti

kesulitan untuk tertidur, kesulitan untuk tetap tertidur, keluhan

terhadap perasaan mengantuk di siang hari, dan asupan kafein harian

yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok nonperokok. Pada

kosentrasi yang rendah, nikotin memiliki efek bifasik pada tidur, yatu

dapat menimbulkan relaksasi dan sedasi; pada kosentrasi yang lebih

tinggi, nikotin dapat menghambat tidur. Angka kejadian gangguan

24
tidur lebih sering muncul pada perokok, yang berhubungan dengan

peningkatan angka kejadian ganggan pernafasan daripada mereka

tidak merokok dan juga berhubungan dengan stress yang lebih berat

(Wetter & Young, 1994).

Alkohol, dapat berfungsi sebagai agen sedative dan relaksasi jika

dikonsumsi sesaat sebelum tidur, tetapi terbangun dimalam hari dapat

menjadi masalah yang berhubungan dengan aktivitas simpatik akibat

meningkatnya kadar alcohol dalam darah. Salah satu penelitian

Aldrich (1993) telah menemukan bukti bahwa pravelensi terjadinya

gangguan pernafasan saat tidur lebih tinggi pada kelompok lansia pria

yang alkoholik dibandingkan dengan lansia pria yang sehat. Terdapat

bukti bahwa pasien yang mengalami ketergantungan alcohol

memperlihatkan penurunan dalam tidur tahap 4 atau gelombang tidur

yang lambat, terutama pada alkoholik yang mengalami depresi klinis.

Obat tidur dapat menyebabkan gangguan tidur seperti

meningkatkan waktu untuk tertidur dan peningkatan jumlah waktu

terjaga. Sktruktur tidur dapat terganggu, terutama pada fase tidur

REM. dengan demikian obat tidur harus digunakan dengan

kewaspadaan, dan efek hipnotis dan sedative harus dipertimbangkan

ketika mempelajari hl-hal yang mempengaruhi gangguan pola tidur

pada lansia.

25
C. Insomnia

1. Pengertian Insomnia

Insomnia merupakan kesukaran dalam memulai dan

mempertahankan tidur sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tidur

yang adekuat, baik kuantitas maupun kualitas. Keadaan ini merupakan

keluhan tidur yang paling sering, dijumpai, baik yang bersifat sementara

maupun persisten (Saputra, 2013).

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur yang

ditandai individu sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan

terbangun lebih dini serta sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi,

2013)

2. Jenis-Jenis Insomnia

Insomnia dibagi menjadi tiga jenis menurut (Ambarwati, 2014) yaitu :

a. Insomnia Inisia

Insomnia yang terjadi dengan gejala kesulitan untuk memulai tidur.

b. Insomnia termitten

Kesulitan untuk tetap tidur karena sering terjaga

c. Insomnia Terminal

Bangun terlalu dini dan sulit untuk tidur kembali. Beberapa langkah

yang bisa dilakukan untuk mengatasi insomnia antara lain dengan

mengembangkan pola tidur-istirahat yang efektif melalui olahraga

rutin, menghindari rangsangan tidur di sore hari, melakukan relaksasi

sebelum tidur (mis., membaca, mendengarkan musik), dan tidur jika

benar-benar mengantuk

26
3. Klasifikasi Insomnia

Menurut Galimi (2010) Insomnia diklasifikasikan berdasarkan

durasi dan etiologi :

a. Berdasarkan Durasi

1) Insomnia Akut

Gangguan tidur yang dialami kurang dari 1 bulan. Insomnia

ini terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan tidur

dan karena sebuah penyebab atau pemicu, misalnya rawat inap,

perubahan dalam lingkungan tidur serta obat.

2) Insomnia Kronis

National Institutes of Health (NIH) State of the science

(2005) menyatakan bahwa angka waktu dikatakan insomnia kronis

bila mengalami gangguan tidur dalam waktu 1-6 bulan.

b. Berdasarkan Etiologi

1) Insomnia Primer

Insomnia Primer adalah insomnia yang menyebabkan tidak

diketahui dengan jelas atau idiopatik. Insomnia ini tidak ditemukan

pada orang yang mengalami gangguan medis, gangguan psikiatri,

atau karena faktor lingkungan.

2) Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder adalah insomnia yang terjadi karena

kondisi medis tertentu dan juga obat-obatan. Ada beberapa faktor

yang menyebabkan insomnia sekunder misalnya penyakit jantung,

paru-paru, nyeri, gangguan cemas, depresi serta obat-obatan

27
Insomnia sekunder menurut Montgomery & Shepard (2010) dapat

dibedakan menjadi berikut :

a. Transient Insomnia (Insomnia Sementara)

Insomnia yang berlangsung beberapa malam hingga kurang dari 2

minggu dan berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang

berlangsung sementara dan menimbulkan stress serta dapat dikenali

dengan mudah.

b. Short -Term Insomnia (Insomnia Jangka Pendek)

Insomnia yang berlangsung selama 2-4 minggu dan disebabkan

oleh kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian

salah satu anggota keluarga, perubahan pekerjaan dan lingkungan

pekerjaan atau penyakit fisik.

c. Long-Term Insomnia (Insomnia Kronis).

Insomnia ini dapat berlangsung 1 bulan bahkan bertahun-tahun dan

perlu diobati dengan cara yang tersedia yaitu dengan teknik tertentu

untuk tidur atau obat-obatan dengan gangguan utama yang diderita

pasien

4. Komplikasi Insomnia

Dampak Insomnia terdiri dari :

a. Efek Fisiologis

Pada umumnya, khusus insomnia terjadi akibat stress sehingga

pada kondisi ini akan terjadi peningkatan hormone-hormon adrenalin

serum, peningkatan ACTH, dan kortisol serta penurunan produksi

28
hormone melatonin. Akibatnya insomnia akan memicu terjadinya

kasus-kasus fisiologis.

b. Efek Psikologis

Efek psikologis yang ditimbulkan oleh manusia dapat berupa

gangguan memori, gangguan kosentrasi, irritable (mudah marah),

kehilangan motifasi hidup, mudah depresi dan sebagainya

c. Efek Fisik dan Somatik

Efek fisik dan yang disebabkan insomnia adalah berupa kelelahan,

nyeri otot, memperparah hipertensi, penglihatan menjadi kabur,

kosentrasi berkurang (tidak focus).

d. Efek Sosial

Efek sosial yang disebabkan insomnia adalah berupa kualitas tidur

hidup yang terganggu, seperti kurangnya menikmati hubungan sosial

dengan keluarga dan lingkungan sekitar, sering minder, dan tidak

mudah bersosialisasi.

e. Kematian

Dimana orang yang kurang tidur dari lima jam setiap malamnya

memiliki angka harapn hidup yang lebih sedikit dibandingkan mereka

yang bisa tidur 7-8 jam setiap malamnya. Namun ini termasuk

perkecualian bagi mereka yang sepanjang hidupnya memang sudah

terbiasa tidur selama lima jam (Sari, 2016)

5. Penatalaksanaan Insomnia

Penatalaksanaan insomnia dibagi menjadi :

a. Farmakologi

29
1) Bnezodiazepin (Benzodiazepin)

Benzodiazepine (BZDs) adalah obat yang paling sering

digunakan untuk mengobati insomnia pada lansia. BZDs

menimbulkan efek sedasi karena bekerja secara langsung pada

reseptor benzodiazepine. Efek yang ditimbulkan oleh BZDs

adalah menurunkan frekuensi tidur pada fase REM, menurunkan

sleep Latency, dan mencegah pasien terjaga di malam hari. BZDs

digunakan untuk transien insomnia karena tidak dianjurkan untuk

penggunaan jangka panjang. Penggunaan lebih dari 4 minggu

akan menyebabkan ketergantungan (Oktavia, 2015).

2) Non Benzodiazepine

Obat ini efektif pada lansia karena dapat diberikan dalam

dosis yang sangat rendah. Obat golongan ini juga mengurangi

efek hipotoni otot, gangguan prilaku, kekambuhan insomnia jika

dibandingkan dengan obat golongan BZDs. Zaleplon, zalpidem

dan Eszopiclone berfungsi untuk mengurangi sleep latency

sedangkan ramelteon (Melatonin Receptor Againts) digunakan

pada pasien yang mengalami kesulitan untuk mengawali tidur

(Oktavia, 2015).

b. Nonfarmakologi

Terapi Nonfarmakologi khususnya behavioral therapies efektif

sebagai farmakoterapi dan diharapkan menjadi pilihan pertama untuk

insomnia pada lansia (endeshaw, 2006):

1) Stimulus Control

30
Melalui metode ini pasien diedukasi untuk menggunakan

tempat tidur hanya untuk tidur dan menghindari aktivitas lain

seperti membaca dan menonton tv di tempat tidur.

2) Sleep Restriction

Tujuan dari terapi ini adalah mengurangi frekuensi tidur

dan meningkatkan sleep efficiency. Pasien diedukasi agar tidak

tidur terlalu lama dengan mengurangi frekuensi berada di tempat

tidur.

3) Sleep Hygiene

Bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan

lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur.

4) Cognitive Behavioral Therapy

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan

psikoterapi kombinasi yang terdiri dari stimulus control, sleep

retriction, terapi kognitif dengan atau tanpa terapi relaksasi

5) Terapi Relaksasi

Tujuan terapi ini adalah mengatasi kebiasaan lansia yang

mudah terjaga dimalam hari saat tidur. Pada beberapa lansia

mengalami kesulitan untuk tertidur kembali setelah terjaga. Metode

terapi relaksasi meliputi : melakukan relaksasi otot progresif, guide

imaginary, latihan pernafasan dengan diagfragma, yoga atau

meditasi.

31
6. Alat Ukur Insomnia

a. Kelompok Studi Psikatri Biologi Jakarta-Insomnia Rting Scale

(KSPBJ-IRS)

Alat ukur yang digunakan untuk mengukur insomnia dari subjek

adalah menggunakan KSPBJ-JRS (Kelompok Studi Psikiatri Biologi-

Jakarta Insomnia Rating Scale). yang telah dimodifikasi sesuai dengan

kondisi lansia. Alat ukur untuk mengukur insomnia secara terperinci,

11 pertanyaan meliputi kesulitan memulai tidur, terbangun malam

hari, bisa terbangun lebih awal/dini hari, mengantuk siang hari, sakit

kepala siang hari, puas dengan tidur, nyaman atau gelisah saat tidur,

mimpi buruk, merasa lelah dan berkurang tenaga setelah tidur, jadwal

tidur tidak beraturan, dan kebutuhan tidur 6 jam semalam (Oktavia,

2015 dikutip dalam Ramaita, 2010)

b. Insomnia Severity Index (ISI)

ISI meliputi kuisioner yang menilai sifat, tingkat keparahan, dan

dampak insomnia. 7 itemnya meliputi kesulitan jatuh tidur, kesulitan

memulai tidur, terbangun dengan mudah, puas dengan pola tidur,

masalah tidur berdampak pada kegiatan sehari-hari, masalah tidur

dapat merusak kualitas hidup, kekhawatiran dengan masalah tidur.

Skala likert yang dgunakan untuk menilai setiap item (misalnya, 0 =

tidak ada masalah, 4= masalah yang sangat parah) dengan skor total

mulai dari 0 sampai 28. Skor diartikan sebagai berikut : tidak adanya

insomnia (0-7); sub-batas insomnia (8-14); insomnia sedang (15-21);

32
dan insomnia parah (22-28). (Oktavia, 2015 diktup dalam Morin,

2011)

C. Sleep Hygiene

1. Pengertian Sleep Hygiene

Sleep Hygiene atau kebersihan tidur merupakan pemberian

intervensi dalam mengatur gaya hidup (diet, olah-raga, penggunaan obat-

obatan) dan faktor lingkungan (cahaya, suara, suhu) untuk merasakan tidur

yang lebih baik (Posner & Gherman, 2011). Sleep Hygiene melibatkan

praktek prilaku berdasarkan pemahaman para ahli tentang fisiologi tidur

dan farmakologi, yang telah diidentifikasi untuk mempromosikan tidur

yang baik. Sleep Hygiene mengacu pada sekumpulan daftar hal-hal yang

dapat dilakukan untuk memfasilitasi mulainya tidur dan

mempertahankannya. Daftar ini berisi beberapa komponen yang

meningkatkan kecendrungan alami untuk tidur dan mengurangi hal yang

mengganggu tidur (Ahsan, 2015 dikutip dalam Butkov& Lee, 2007).

2. Tujuan Sleep Hygiene

Sleep Hygiene bertujuan untuk mengubah pola hidup pasien dan

lingkungannya sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur (Endeshaw,

2006). Sleep Hygiene digunakan untuk meningkatkan kuantitas dan

kualitas tidur yang diperoleh individu setiap malam dengan mengupayakan

membina kebiasaan atau ritual yang konsisten yang mencangkup aktivtas

waktu tenang sebelum tidur sebagai pendekatan awal untuk mengatasi

insomnia dan kesulitan tidur lainnya (Ahsan, 2015).

33
3. Indikasi Sleep Hygiene

Sleep Hygiene atau Kebersihan tidur yang diindikasikan untuk

pasien yang terlibat dalam kebiasaan dalam mengatur waktu tidur,

mengkonsumsi zat, dan mengatur lingkungan yang tidak kondusif untuk

memulai dan mempertahankan tidur (Posner & Gherman, 2011).

4. Kontraindikasi Sleep Hygiene

Meskipun umumnya bahwa Terapi Sleep Hygiene tidak memiliki

kontraindikasi, namun ada aturan-aturan pada pasien tertentu yang tidak

aman untuk dilakukan, seperti contoh :

a. Aktivitas fisik yang tidak mungkin dilakukan pada pasien dengan

keterbatasan fisik

b. Pada pasien yang menderita penyakit GERD (Gastroesophageal

Reflux Disease) yang mengalami mual dan muntah, dan tidak

mungkin untuk diberikan makanan ringan pada malam hari atau

menjalani diet ketat

c. Menghentikan merokok dengan cepat pada perokok berat akan

menimbulkan gangguan tidur

d. Penggunaan penerangan yang redup pada lingkungan tidur pada lansia

tidak efektif dikarenakan beresiko untuk disorientasi dan resiko jatuh

e. Penggunaan penyumbat suara atau alat colokan pada telinga tidak

mungkin untuk pasien yang berfungsi sebagai pengasuh (Posner &

Gherman, 2011).

5. Prosedur Sleep Hygiene

Menurut Posner & Gherman (2011) prosedur sleep hygiene terdiri dari :

34
a. Langkah 1 : Kaji tentang Sleep Hygiene klien, apakah termasuk dalam

kategori sleep hygiene baik atau buruk

b. Langkah 2 : Jelaskan bahwa konsep dan tujuan Sleep Hygiene dengan

menekankan faktor-faktor dibawah ini :

1) Bahwa sleep hygiene bukanlah penyebab dari insomnia

2) kemungkinan Sleep Hygiene berperan dalam tidur

3) Sleep Hygiene memberikan pengaruh secara klinis

4) Sleep Hygiene dapat dilakukan lagi bila terjadinya gangguan tidu

c. Langkah 3 : Jelaskan kepada pasien tentang aturan-aturan yang ada

pada sleep hygiene sangat penting untuk dilakukan. Aturan-aturan

mengenai sleep hygiene terdiri dari :

1) Latihan atau berolahraga di sore hari

Dasar pemikirannya adalah olah raga dapat membantu

individu lebih cepat tertidur atau mendapatkan lebih lama tidur.

Pertimbangan bagi pasien yang memiliki status gangguan

kesehatan kemungkinan butuh saran dokter untuk latihan yang

sesuai. Tujuan dari latihan atau berolah raga yaitu mengatasi

masalah yang berhubungan dengan suhu tubuh, waktu tidur dan

lamanya tidur NREM

Salah satu alternatif lain pengganti olah raga pada sore hari

adalah mandi dengan air hangat bagi lansia sebelum tidur. Namun

pada lansia dengan kondisi medis tidak mungkin dilakukan karena

dapat beresiko jatuh dikamar mandi.

2) Jangan tidur siang terlalu lama

35
Dasar pemikirannya adalah tidur siang cenderung

meningkatkan masalah dalam tidur karena pengaruhnya terhadap

waktu, durasi dan kedalaman tidur. Pertimbangan bagi beberapa

pasien seperti lansia, memiliki kesempatan dan keinginan untuk

tidur siang secara teratur. Individu yang memilih tidur siang harus

diingatkan tidur siang sesekali dan bisa menjadi rutin. Tidur siang

dianjurkan dalam jangka waktu yang lebih singkat yaitu 30-60

menit tapi harus menunda waktu tidur dimalam hari sesuai selisih

lama tidur di siang hari. Tujuanya untuk mengatasi masalah yang

berkaitan dengan proses tidur-terjaga yang berkaitan dengan irama

sirkandian dan homestasis tidur

3) Makan snack ringan sebelum tidur

Dasar pemikirannya cemilan bermanfaat selama 1 jam

sebelum tidur yang mengandung karbohidrat (seperti : biscuit, roti,

sereal, buah) paling baik untuk tidur yang nyenyak. Sebaiknya

hindari makanan coklat atau makanan yang manis, hal itu dapat

membantu menghindari penurunan gula darah pada malam hari

yang bisa mengganggu tidur. Pertimbangan seperti kontraindikasi

pada pasien yang memiliki penyakit saluran cerna serta yang

menjalani program diet khusus.

4) Hindari minum/ cairan sebelum tidur

Dasar pemikirannya mengkonsumsi minuman/ cairan

mendekati waktu tidur akan mengisi kandung kemih yang

mengakibatkan individu merasa tidak nyaman pada waktu tidur dan

36
sering terbangun pada waktu tidur. Pertimbangan : Individu yang

ingin minum/ cairan dalam jumlah kecil dapat melakukannya

dengan membatasi asupan 6-7 ons (>2-3 gelas/ 10 cc ) dalam

waktu 4 jam sebelum tidur.

5) Hindari mengkonsumsi produk berkafein dalam waktu 6 jam

sebelum tidur

Dasar pemikirannya adalah mengkonsumsi produk

berkafein dapat menstimulasi tubuh dan membuat tubuh tetap

terjaga. Pertimbangan : mengkonsumsi kafein dipagi hari tidak

memiliki dampak pada tidur dimalam hari walaupun pada individu

yang sensitive terhadap kafein.

6) Hindari alkohol sebagai hipnotis

Dasar pemikirannya adalah pada beberapa pengguna

memanfaatkanalkohol sebelum tidur untuk dapat jatuh kedalam

tidur. Namun penggunaan alkohol melebihi dari batasnya akan

menyebabkan tidur yang terfragmentasi, dan terbangun lebih lama

dimalam hari. Pertimbangan bagi beberapa orang yang tidak

memiliki efek jika mengkonsumsi alkohol sebanyak satu sampai

dua gelas setelah makan malam, namun disisi lain sebagian orang

akan mengalami gelisah saat tidur dan terbangun lebih awal.

7) Hindari Nikotin

Dasar pemikiran adalah nikotin merupakan stimulan, dan

ditunjukkan pada perokok kronis. yang telah mengalami

peningkatan tidur yang signifikan saat mereka berhenti merokok.

37
Pertimbangan yaitu pada tahap awal penghentian dalam pemakaian

nikotin dapat memperparah gangguan tidur, terutama pada pasien

yang ketagihan. Oleh karena itu pasien harus dididik mengenai efek

nikotin saat tidur dan mendorong pasien untuk berhenti merokok

pada waktu yang berbeda. Intinya membuat pasien dapat mengubah

waktu merokok dan menghindari merokok pada saat tidak bisa

tidur pada malam hari. Perubahan yang konsisten setidaknya bisa

mengubah pola tersebut tanpa harus menhentikan merokok secara

penuh.

8) Gunakan penyumbat telinga untuk mengurangi kebisingan

Dasar pemikiran adalah suara tidak beraturan, kebisingan

dapat menggangu tidur seperti suara halus (suara kipas angin).

Pertimbangan yaitu kehatian-hatian diperlukan pada kondisi pasien

yang mengalami penyakit seperti Alzheimer ketika menggunakan

penyumbat telinga untuk mengurangi kebisingan.

9) Hindari tidur bersama dengan hewan peliharaan

Dasar pemikiran adalah hewan peliharaan akan sering

bergerak atau melompat-melompat ditempat tidur yang

menyebabkan gerakan dan kebisingan yang bisa mengganggu tidur.

Pertimbangan : tidak ada kehati-hatian untuk ini, hanya saja terapi

ini dapat membantu bagaimana memecahkan masalah mengenai

bagaimana pasien dapat mengajarkan hewan peliharaan untuk tidak

tidur disamping pasien.

10) Membuat lingkungan Nyaman dan kondusif untuk tidur

38
Dasar Pemikiran adalah memastikan individu memiliki

kasur yang nyaman dan menjaga agar kamar tidur tetap dingin dan

gelap. Pertimbangan :

a) Seperai.

Banyak pasien yang belum membeli tempat tidur baru

selama beberapa dekade karena akan menimbulkan

permasalahan bila tidur dengan bantal dan kasur yang usang

sehingga mengalami gangguan pada tidur. Gangguan tidur

tersebut seperti: ketidaknyamanan atau rasa sakit, bangun tidur

yang tidak nyenyak, tidur yang dangkal, dan meningkatkan

kerentanan untuk terbangun dari tidur. Aturan praktis untuk

mengatasi masalah ini yaitu mengganti bantal secara teratur

(setiap 1-3 tahun) dan kasur diganti sekali sebanyak satu sampai

dua dekade.

b) Temperatur/ Suhu

Tidak ada suhu yang tepat untuk tidur, namun biasanya

suhu untuk tidur adalah suhu yang dingin.

c) Cahaya

Pencahayaan yang kurang membantu seseorang untuk tidur

yang nyenyak.

11) Menjaga jadwal tidur yang teratur dengan mengatur alarm di pagi

hari

Dasar pemikiran adalah menjaga waktu bangun yang

konsisten akan meningkatkan siklus sirkandian yang lebih baik,

39
menyetel alarm berguna untuk membangunkan individu pada pagi

hari serta mencegah insomnia. Pertimbangan bagi beberapa pasien

akan menolak untuk dilakukannya penjadwalan waktu bangun

tidur, karena awal dari terapi ini membutuhkan kontrol yang ketat

sehingga irama sirkandian tidur dan terjaga kembali teratur.

Namun ketika pasien sudah bisa mandiri dalam melakukan

terapi menjaga jadwal yang baik untuk tidur, tidak memerlukan

kontrol yang ketat karena selama pasien masih menjaga waktu

penjadwalan tidur maka gangguan tidur tidak terjadi. Beberapa

pasien menolak menyetel alarm, karena mereka merasa bahwa hal

ini akan meningkatkan kecemasan dan membuat mereka akan tetap

terjaga. Namun disisi lain, menyetel alarm setiap pagi akan

memungkinkan pasien bergantung pada alarm untuk

membangunkan mereka.

40
BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Teoritis

Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti serta mempertahankan fungsi normalnya

secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan

memperbaiki diri dari kerusakan yang terjadi (Sunaryo, 2016 dikutip dalam

Costantinides,1994). Sehingga didalam tubuh akan semakin banyak menumpuk

distorsi metabolik dan struktural yang disebut penyakit degeneratif yang

menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Sunaryo,

2016 dikutip dalam Darmojo, 1999).

Proses menua merupakan proses yang terus-menerus atau berkelanjutan

secara alamiah dan umumnya dialami oleh semua makhluk hidup. Misalnya.

dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot, semua saraf, dan jaringan lain,

hingga tubuh mati sedikit demi sedikit. Dan kecepatan proses menua setiap

individu pada organ tubuh tidak akan sama (Nugroho, 2008). Adapun faktor yang

mempengaruhi proses penuaan tersebut yaitu faktor fisiologis, psikologis, gaya

hidup, lingkungan, dan pengobatan (Maas. et al. 2011). Faktor-faktor tersebut

mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan terjadinya

stress oksidasi sehingga terjadi kerusakan pada sel yang akan terjadinya proses

penuaan (Sunaryo, 2016).

Dari faktor-faktor yang mempengaruhi proses penuaan yang terjadi pada

lansia, akan mempengaruhi pola tidur sehingga terjadinya gangguan tidur yang

41
dikenal dengan insomnia. Insomnia merupakan kesukaran dalam memulai dan

mempertahankan tidur sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan tidur yang

adekuat, baik kuantitas maupun kualitas. Keadaan ini merupakan keluhan tidur

yang paling sering, dijumpai, baik yang bersifat sementara maupun persisten

(Saputra, 2013).

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur yang

ditandai individu sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan terbangun

lebih dini serta sulit untuk tidur kembali (Atoilah & Kusnadi, 2013). Untuk

mengatasi insomnia maka diberika intervensi Sleep Hygiene.

Sleep Hygiene merupakan salah satu terapi prilaku untuk mengatasi

gangguan tidur seperti insomnia. Dimana terdapat aturan-aturan yang harus

dijalankan pada pasien yang menjalani terapi Sleep Hygiene ini dikarenakan

aturan tersebut bertujuan untuk mengatur penjadwalan dari tidur, prilaku serta

lingkungan (Phosner & Gherman, 2011). Sehingga ketika Sleep Hygiene diberikan

kepada lansia yang mengalami insomnia maka derajat insomnia mengalami

perubahan.

42
LANSIA

Perubahan degenerasi dan penurunan


fungsi tubuh

Fisiologis Psikologis Lingkungan Gaya Hidup

1. Penyakit 1. Stress 1. Lingkungan yang 1. Perubahan dalam


2. Nyeri 2. Kecemasan asing kebiasaan atau tidak ada
3. Gangguan suhu tubuh 2. Peningkatan kebiasaan yang rutin
4. Gangguan pernafasan stimulasi sensoris 2. Menghabiskan waktu
saat tidur 3. Terjaga akibat berlebihan di tempat
5. PKTT (Pergerakan Kaki prosedur yang tidur
secara teratur saat tidur) dijalankan 3. Tidur siang yang
6. Gejala Monopouse 4. Disorientasi berlebihan
7. Gangguan eliminasi waktu 4. Merokok
8. Demensia 5. Penyalahgunaan/
9. Depresi peminum alcohol
10. Penyakit Parkinson 6. Olahraga yang kurang
Pengobatan

1. Hipnotik
2. Sedatif

Sleep Hygiene INSOMNIA Tanda dan Gejala Insomnia:

1. Sulit Memulai Tidur


Terapi Sleep Hygiene terdiri : 2. Sering terbangun saat tidur
3. Terbangun lebih dini dan sulit
1. Latihan atau berolahraga di sore hari untuk tidur kembali
2. Jangan tidur siang terlalu lama
3. Makan snack ringan sebelum tidur
4. Hindari minum/ cairan sebelum tidur
tidak ada insomnia
5. Hindari mengkonsumsi produk berkafein dalam
waktu 6 jam sebelum tidur
6. Hindari alkohol sebagai hipnotis insomnia ringan
7. Hindari Nikotin
8. Gunakan penyumbat telinga untuk mengurangi
kebisingan Insomnia Sedang
9. Hindari tidur bersama dengan hewan peliharaan
10. Membuat lingkungan Nyaman dan kondusif untuk
tidur Insomnia Berat
11. Menjaga jadwal tidur yang teratur dengan
mengatur alarm di pagi hari

Keterangan :
Skema 3.1 Kerangka Teori
(Sumber ; Maas, et.al. 2011; Posner & Gherman, 2011; Saputra, 2013; Oktavia,2015)

43
= tidak diteliti

= yang diteliti

B. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah insomnia sedangkan terapi

Sleep Hygiene sebagai variable independen. Penelitian ini dilakukan dengan

memberikan terapi Sleep Hygiene pada lansia, kemudian dilihat apakah ada

pengaruh terapi Sleep Hyegiene terhadap skala insomnia pada lansia.

Tidak ada insomnia

` Pre Test Intervensi : ` Post Test


Insomnia Ringan
Derajat Insomnia Sleep Hygiene Derajat Insomnia
sebelum pada lansia setelah dilakukan
dilakukan Sleep PSTW Sicincin Sleep Hygiene Insomnia Sedang
Hygiene pada pada lansia
lansia di PSTW PSTW
Insomnia Berat
Gambar 3.2 Kerangka Konsep

C. Hipotesa Penelitian

1. Ha : adanya Pengaruh Terapi sleep hygiene terhadap derajat insomnia

pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin

Padang-Pariaman.

44
BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini dilakukan bersifat Pra- exsperiment Design dengan

rancangan penelitian One Grup Pre test-Post Test yang bertujuan untuk

mengungkapkan kemungkinan adanya Pengaruh Sleep Hygiene terhadap Derajat

Insomnia pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin

Padang Pariaman Tahun 2017. Desain ini melibatkan satu kelompok subjek serta

melakukan pengukuran derajat insomnia sebelum pemberian Sleep Hygiene (Pre

test) dan setelah pemberian Sleep Hygiene (Post-test).

Rancangan penelitian tersebut sebagai berikut :

Subyek Pretest Perlakuan Posttest

K 01 X 02

Tabel 4.1. Desain Penelitian

Keterangan :

K : Kelompok subjek penelitian (Lansia Di PSTW Sicincin)

O1 : Pre test derajat insomnia sebelum dilakukan Sleep Hygiene

O2 : Post test derajat insomnia setelah dilakukan Sleep Hygiene

X : Intervensi Sleep Hygiene pada kelompok perlakuan sesuai

protocol

45
Penelitian ini terdiri dari satu kelompok intervensi (K), kelompok ini

sebelum dikenai perlakuan tertentu diberi pre test (01). Setelah itu diberi intervesi

yaitu Sleep Hygiene . Selanjutnya akan diadakan kembali post test (02) pada

kelompok tersebut hari ke empat setelah dilakukan intervensi.

B. Waktu Dan Tempat Penelitian

Penelitian sudah dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan

Aluih Sicincin Padang-Pariaman dimulai pada bulan Maret sampai bulan juli

2017.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi merupakan unit dimana suatu hasil penelitian akan diteliti

(Dharma, 2011), sedangkan menurut Notoadmojo (2010) populasi

merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti. Populasi

pada penelitian ini yaitu lansia yang ada di Panti Sosial Tresna Werdha

Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman yaitu 110 orang lansia.

2. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh

populasi (Notoadmojo, 2010). Sampel ditentukan dengan teknik Purposive

Sampling, yaitu teknik atau metode pemilihan sampel yang dilakukan

berdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan peneliti

(Dharma, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang

mengalami insomnia yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi di

46
Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman.

Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian adalah 20 orang menurut

Sugiyono (2010) pada penelitian eksperimen sederhana, maka jumlah

anggota sampel yaitu 15 sampel.

Adapaun Kriteria sampel dalam penelitian ini agar tidak terjadinya

kesalahan dan penyimpangan karakteristik sampel yaitu kriteria inklusi

dan kriteria ekslusi :

a. Kriteria Inklusi

1) Lansia berusia 60-74 tahun

2) Lansia yang tinggal di PSTW Sicincin

3) Memiliki Panca-Indra yang sehat

4) Dapat bekerja-sama

5) Mengalami tingkat insomnia ringan dan sedang

6) Bersedia menjadi responden dan mengikuti prosedur sampai

dengan tahap akhir

b. Kriteria Ekslusi

1) Mengkonsumsi obat tidur selama penelitian

2) Tidak Kooperatif

D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan suatu alat yang digunakan oleh peneliti

untuk mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena (Dharma, 2011).

Untuk mengukur tingkat insomnia pada lansia digunakan alat ukur Kelompok

Studi Psikiatri Biologi Jakarta-Insomnia Rating Scale (KSPBJ-IRS) yang telah

47
dimodifikasi sesuai kondisi lansia (Oktavia, 2015 dikutip Iwan, 2009). Kuisioner

ini terdiri dari 11 pertanyaan, dimana total dari setiap pertanyaan dapat

dikategorikan sebagai berikut :

11-19 = Tidak ada keluhan insomnia

20-27 = Insomni Ringan

28-36 = Insomnia Sedang

37-44= Insomnia sangat berat

E. Variabel Dan Defenisi Operasional

Mendefinisikan variabel secara operasional bertujuan untuk membuat

variabel menjadi lebih konkrit dan dapat diukur. Dalam mendefenisikan suatu

variabel, peneliti menjelaskan tentang apa yang harus diukur, bagaimana

mengukur, apa saja criteria pengukurannya, isntrumen yang digunakan untuk

mengukurnya dan skala pengukurannya (Darma, 2011).

Cara Hasil Skala


No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur
Ukur Ukur Ukur

1. Independen: Sleep Hygiene merupakan satu terapi

Sleep prilaku untuk mengatasi gangguan

Hygiene tidur seperti insomnia yang memiliki

beberapa aturan yang harus

dijalankan yaitu latihan atau

berolahraga di sore hari, jangan tidur

siang terlalu lama (30-60 menit),

makan snack ringan 1 jam sebelum

48
tidur, Hindari minum/ cairan

sebelum tidur (6-7 atau 3-4 gelas),

hindari mengkonsumsi produk

berkafein dalam waktu 6 jam

sebelum tidur, hindari alkohol

sebagai hipnotis, hindari Nikotin/

merokok pada saat tidak bisa tidur,

gunakan penyumbat telinga untuk

mengurangi kebisingan, hindari tidur

bersama dengan hewan peliharaan,

membuat lingkungan nyaman dan

kondusif untuk tidur (suhu, tempat

tidur, cahaya), menjaga jadwal tidur

yang teratur dengan mengatur alarm

di pagi hari

2. Dependent: Keluhan gangguan tidur yang Wawan Kuisioner 11-44 Interval

Insomnia sering dialami lansia yang ditandai cara (KSBP-IRT)

dengan susah memulai tidur, sering

terbangun dimalam hari, terbangun

dini hari dan sulit tdur kembali di

PSTW Sicincin

49
F. Etika Penelitian

Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu peneliti mengajukan surat

izin meneliti ke Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-

Pariaman. Pada awal penelitian, peneliti menjelaskan kepada subjek penelitian

tentang keterlibatannya dan perlindungan terhadap kerahasiaan pada penelitian

yang akan dilakukan dengan menandatangani lembar persetujuan atau informed

consent. Responden berhak untuk tidak mengikuti atau menarik diri dari

penelitian.

Penelitian ini menggunakan manusia sebagai subjek, oleh karena itu harus

dihormati dan dilindungi haknya sebagai responden dengan meminta izin dan

menggunakan etika sebagai berikut :

1. Lembar Persetujuan (Informed Consent)

Informed Consent adalah informasi secara lengkap tentang tujuan

riset yang akan dilaksanakan dan mempunyai kebebasan dalam

berpartisipasi atau menolak menjadi responden. Setiap lansia yang menjadi

responden diberikan lembar persetujuan beserta penjelasan tentang

maksud dan tujuan penelitian, jika menandatangani lembar persetujuan

tersebut berarti bersedia, tetapi jika subjek tidak bersedia menjadi

responden maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghargai

haknya.

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Anonimity adalah kerahasiaan identitas atau biodata responden.

Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan

50
namanya pada lembar pengumpulan data, cukup dengan member nomor

kode (nama inisial) pada masing-masing lembar untuk menjaga privasi.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Confidentiality adalah kerahasiaan informasi kelompok data

tertentu sebagai hasil riset. Segala informasi yang diperoleh dari

responden, peneliti bersedia menjamin kerahasiaannya, hanya pada

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai

hasil riset. (Susilo et, al. 2014)

G. Teknik Pengumpulan Data

1. Data yang dikumpulkan

Data yang digunakan dalam penellitian ini berupa data primer

karena pengumpulan data dilakukan secara lansgung terhadap responden

dengan wawancara berupa kuisioner yang dilakukan sendiri oleh peneliti.

Secara umum kuisioner berisi tentang biodata responden serta hasil

pengukuran skor insomnia sebelum dan sesudah diberikan Terapi Sleep

Hygiene

2. Prosedur Pengumpulan Data

Peneliti menemui calon responden untuk memperkenalkan diri,

menjelaskan maksud, tujuan, dan cara pengumpulan data. Peneliti

menyerahkan informed consent, tanda bersedia menjadi responden. Calon

responden menandatangani informed consent, tanda bersedia menjadi

responden. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

wawancara terpimpin (Kuisioner). Responden diarahkan untuk menjawab

51
pertanyaan-pertanyaan yang ada pada format. Pengisian format tetap

dilakukan oleh peneliti berdasarkan jawaban yang diberikan responden.

Setelah mengetahui responden sesuai dengan kriteria, responden tersebut

diberikan terapi Sleep Hygiene.

3. Langkah-langkah Pengumpulan Data

a. Peneliti mengurus surat izin pengambilan data dan penelitian dari

kampus Fakultas Keperawatan Unand

b. Peneliti memasukkan surat ke Kesbangpol Provinsi Sumatera Barat

untuk mendapatkan surat izin penilitian di PSTW Sicincin

c. Kemudian setelah mendapat surat izin dari Kesbangpol Provinsi

Sumatera Barat, barulah peneliti memasukkan surat izin ke Dinas

Sosial Provinsi Sumatera Barat agar mendapat izin ke PSTW Sicincin

d. Setelah mendapat surat izin penelitian dari Dinas Sosial Provinsi

Sumatera Barat, peneliti memasukkan surat izin penelitian ke

Kesbangpol Kab. Padang Pariaman Di Parit Malintang.

e. Kemudian barulah peneliti mengajukan surat izin penelitian ke PSTW

Sicincin dan mengkoordinasikan dengan petugas PSTW Sicincin

f. Petugas PSTW mengiformasikan kepada responden yang ada di

PSTW Sicincin

g. Peneliti melakukan penelitian di PSTW Sicincin

h. Peneliti memperkenalkan diri dan meminta izin untuk menanyakan

langsung kepada responden dengan menggunakan kuisioner yang

telah disediakan.

52
i. Setelah mendapatkan lansia yang sesuai dengan kriteria inklusi,

peneliti menyampaikan tujuan penelitian kepada responden

j. Pada responden yang memenuhi kriteria bersedia ditetapkan sebagai

sampel dan diminta untuk menyetujui lembar persetujuan (informed

consent) yang diajukan peneliti.

k. Peneliti memberikan terapi sleep hygiene sesuai dengan kontrak yang

telah disepakati dengan responden. Sebelumnya peneliti mengukur

derajat insomnia pada responden menggunakan kuisioner insomnia

yang dijadikan sebagai pre test. Setelah mengetahui hasil pre test dari

derajat insomnia kemudian dilakukan terapi Sleep Hygiene terhadap

kelompok perlakuan.

l. Peneliti memberikan terapi sleep hygiene dan memonitor responden

untuk dilakukan Sleep Hygiene menggunakan Lembar Ceklis Harian

(Catatan Sleep Hygiene).

m. Terapi ini merupakan terapi yang mengandalkan keseharian dan

lingkungan pada lansia, dimana aturan-aturan yang ada pada sleep

hygiene diterapkan setiap harinya oleh lansia

n. Peneliti mengingatkan responden kembali untuk melakukan terapi

Sleep Hygiene

o. Posttest dilakukan 1 kali setelah memberikan terapi Sleep Hygiene

dalam jangka waktu 2 minggu.

53
H. Prosedur Pengolahan Data

Data yang terkumpul dan hasil pengumpulan data diolah dengan langkah-

langkah sebagai berikut (Notoadmojo, 2010) :

1. Editing

Editing merupakan kegiatan pengecekan data perbaikan dari hasil

wawancara, angket, atau pengamatan dari lapangan.

2. Coding

Setelah dilakukan editing, data diubah dari bentuk kalimat atau

huruf menjadi data angka atau bilangan

3. Processing

Data yang didapatkan dari responden berbentuk kode dimasukkan

ke dalam program komputerisasi

4. Cleaning

Semua data yang telah dimasukkan, dilakukan pengecekan kembali

agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan atau ketidaklengkapan

5. Tabulating

Merupakan pengelompokkan data kedalam suatu tabel tertentu

menurut sifat-sifat yang dimilikinya, sesuai dengan tujuan peneliti yang

akan memudahkan dalam melakukan analisa selanjutnya.

I. Teknik Analisa Data

Analisa data bertujuan untuk menginterpretasikan data agar memperoleh

gambaran dari hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian

berikut (Notoadmojo, 2010)

54
1. Analisa Univariat

Analisa univariat dilakukan terhadap tiap variabel dan hasil

penelitian (Notoadmodjo, 2010). Analisa univariat digunakan untuk

distribusi dan uji statistic dari setiap variabel yang diteliti, baik variabel

dependen yaitu insomnia pada lansia. Hasil analisis univariat didapatkan

skor insomnia lansia sebelum dan setelah diberikan intervensi terapi Sleep

Hygiene

2. Analisa Bivariat

Untuk menganalisa pengaruh Sleep Hygiene (Variabel Independen)

terhadap skor insomnia (Variabel dependen) akan dilakukan dengan uji

Paired t-test yang menunjukkan nilai kemaknaan p=0,000 (p<0.05).

55
BAB V

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian mengenai sleep hygiene pada lansia yang mengalami insomnia

dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang

Pariaman dari tanggal 27 Februari sampai tanggal 18 Juli 2017. Sampel penelitian

berjumlah 15 responden yang dipilih secara purposive sampling sesuai dengan

kriteria inklusi. Intervensi terapi sleep hygiene dilakukan setiap hari dalam waktu

2 minggu.

Pada bab ini akan dipaparkan karakteristik responden berdasarkan jenis

kelamin, umur dan pendidikan. Kemudian akan dipaparkan data univariat dan

bivariat penelitian.

B. Karakteristik Responden.

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat
pendidikan di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih
Sicincin Padang Pariaman tahun 2017 (n=15)
Karakteristik Frekuensi Persentase
No
Responden (f) (%)
1. Jenis Kelamin Laki-laki 8 53,3
Perempuan 7 46,7
2. Umur 60-64 tahun 3 20
65-69 tahun 2 13,3
70-74 tahun 10 66,7
3. Tingkat Pendidikan SD 9 60
SMP 6 40
SMA 0 0

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa responden terbanyak berjenis kelamin laki-

laki (53,3%). Berdasarkan umur, rentang umur responden terbanyak berusia 70-74

56
tahun (66,7%). Kemudian pada tingkat pendidikan, terdapat (60%) yang

berpendidikan SD (Sekolah Dasar/Sederajat),

C. Analisis Univariat

Analisis univariat dalam penelitian ini akan menggambarkan frekuensi

insomnia sebelum dan setelah pemberian intervensi sleep hygiene yang akan

ditampilkan dalam tabel dibawah berikut.

Tabel 5.2 Distribusi skor insomnia sebelum dan setelah diberikan terapi sleep
hygiene pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan
Aluih Sicincin Padang-Pariaman tahun 2017 (n=15)
Variabel Pengukuran n Mean SD Min-Max
Pre Test 15 31,40 3,738 23-36
Insomnia
Post Test 15 24,73 2,658 21-29

Tabel 5.2 didapatkan bahwa sebelum dilakukan terapi sleep hygiene rata-

rata skor insomnia 31,40 pada lansia dengan skor insomnia minimal sebanyak 23

(insomnia ringan) dan skor insomnia maksimal sebanyak 36 (insomnia sedang).

Kemudian, didapatkan setelah dilakukan terapi sleep hygiene rata-rata skor

insomnia 24,73 pada lansia dengan skor insomnia minimal sebanyak 21 (insomnia

ringan) dan skor insomnia maksimal sebanyak 29 (insomnia sedang). Selanjutnya

sebagai data pendukung, akan ditampilkan pengkategorian berdasarkan skor

insomnia sebagai berikut.

Tabel 5.3 Distribusi pengelompokkan insomnia berdasarkan skor sebelum


dan setelah pemberian terapi sleep hygiene di Panti Sosial Tresna
Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang Pariaman tahun 2017

Tingkat Pre Test Post Test


Range
Insomnia f % f %
Tidak ada insomnia 11-19 0 0 0 0
Insomnia ringan 20-27 2 13,3 13 86,7
Insomnia Sedang 28-36 13 86,7 2 13,3
Total 15 100 15 100

57
Pada Tabel 5.3 didapatkan bahwa sebelum diberikan terapi sleep hygiene

86,7% lansia berada pada rentang 28 sampai 36 (insomnia sedang) dengan jumlah

responden 13 orang. Setelah diberikan terapi sleep hygiene 13,3 % lansia berada

pada rentang 28-36 (insomnia sedang) dengan jumlah responden 2 orang. Hasil

menunjukkan bahwa terdapat penurunan yang signifikan terhadap skor insomnia

pada lansia yang menjalani sleep hygiene di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai

Nan Aluih Sicincin Padang-Pariaman Tahun 2017.

D. Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mellihat skor sebelum dan setelah

pemberian intervensi terapi sleep hygiene pada lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-Pariaman tahun 2017. Sebelum

dilakukan uji bivariat, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas menggunakan uji

Shapiro Wilk untuk menentukan uji statistic yang akan digunakan pada responden

yang diberikan intervensi terapi sleep hygiene, dengan hasil uji normalitas pre-test

adalah 0,136 (p>0,05) dan uji normalitas post-test adalah 0,747 (p>0,05), yang

berarti data berdistribusi normal sehingga uji yang digunakan adalah Uji Paired t-

test.

Tabel 5.4 Distribusi analisa uji hasil skor insomnia sebelum dan setelah
diberikan intervensi terapi sleep hygiene pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-
Pariaman tahun 2017.

Pengukuran Mean SD IK (95%) p Value


Upper Lower
Pre-test
6,667 2,380 5,348 7,985 0.000
Post-test

58
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa uji statistic dengan uji Paired t-test

didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) artinya terdapat perbedaan yang signifikan

antara nilai pre dan post. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh

pemberian sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Sabai Nan Aluih Sicincn Padang-Pariaman tahun 2017

59
BAB VI

PEMBAHASAN

A. Insomnia Sebelum Diberikan Intervensi Sleep Hygiene Pada Lansia Di

Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-

Pariaman Tahun 2017.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap 15 orang lansia

didapatkan hasil bahwa lebih dari separo (86,7%) lansia mengalami insomnia

sedang dengan rata-rata skor adalah 31,40. Hal ini sesuai dengan penelitian

Prayitno (2002) bahwa sebagian besar kelompok usia lanjut mempunya risiko

mengalami gangguan pola tidur sebagai akibat pensiun, perubahan

lingkungan sosial, penggunaan obat-obatan yang meningkat, penyakit-

penyakit dan perubahan irama sirkadian.

Suastari (2014) melakukan penelitian mengenai insomnia pada lansia

terhadap sikap sleep hygiene. Dalam penelitian tersebut didapatkan hasil

bahwa 24 dari 43 (55,8%) lansia mengalami insomnia. National Sleep

Foundation (2006) memaparkan defenisi insomnia sebagai suatu keluhan

akan kualitas dan kuantitas tidur yang disebabkan oleh berbagai faktor.

Selain tingkat stres, faktor lain yang mempengaruhi kejadian insomnia adalah

jenis kelamin, usia dan tingkat pendidikan.

Dalam penelitian ini beberapa faktor tersebut mempengaruhi tingkat

keberhasilan intervensi sleep hygiene dalam menangani gangguan insomnia.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa lansia terbanyak berusia 70-74 tahun

(13,3%). Rahmah (2014) mengungkapkan bahwa lansia yang berusia 65-75

60
tahun memilliki kualitas tidur yang buruk dibandingkan lansia yang berusia

80-90 tahun dikarenakan tinggal di PSTW, Hal itu berhubungan dengan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Dimana ketika

memasuki awal dari lansia akan mengalami kehilangan jaringan pada otot,

susunan saraf, dan jaringan lainnya sehingga tubuh mengalami kehilangan

sedikit demi sedikit sesuai bertambahnya usia (Nugroho, 2008). Perubahan

lingkungan baru merupakan stressor yang harus dihadapi lansia, dimana

stressor ini akan mneyebabkan lansia mengalami insomnia ketika baru

memasuki Lingkungan di PSTW Sicincin.

Berdasarkan hasil penelitian bahwa 9 orang (60%) lansia yang baru tinggal

selama 1 tahun di PSTW Sicincin masih belum bisa beradaptasi secara

optimal, sehingg stress yang dirasakan cenderung tinggi. Sejalan dengan

National Sleep Foundation (2006) mengungkapkan bahwa stress, kecemasan

dan depresi adalah penyebab insomnia yang paling umum. Saat individu

mengalami stress dan kecemasan maka hormone kortisol akan memicu tubuh

untuk tetap aktif, sehingga individu akan mengalami insomnia (Harvard

Medical School, 2011 dikutip dari Nurfianti, 2014). Penelitian Tsou (2013)

mendapatkan bahwa lansia dengan insomnia mengeluh rasa kantuk yang

berlebihan di siang hari sehingga tubuh terasa lemah terutama pada

ekstremitas, kelelahan, rasa tidak nyaman, kehilangan nafsu makan, sakit

kepala, dan gangguan aktivitas

Melalui analisis pertanyaan kuisioner yang dijawab oleh lansia, dapat

diketahui bahwa permasalahan yang paling dikeluhkan lansia adalah kesulitan

memulai tidur yang tinggi dengan total skor 49, tiba-tiba terbangun dimalam

61
hari dengan total skor 54 dan terbangun lebih awal dengan total skor 58. Hal

ini sesuai yang dikemukan oleh Atoilah & Kusnadi (2013) bahwa Insomnia

adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur yang ditandai individu

sulit memulai tidur, sering terbangun saat tidur, dan terbangun lebih dini serta

sulit untuk tidur kembali.

Dalam teori yang dikemukakan oleh TOP (Toward Optimized Program)

Program (2007) bahwa perempuan lebih beresiko mengalami insomnia. Hal

itu berkaitan dengan wanita lansia lebih rentan mengalami kecemasan dan

stress yang akan mengganggu tidurnya. Salah satu penyebabnya adalah

karakteristik wanita yang lebih sensitif, seperti pada siklus reproduksi dan

menopause dimana wanita menopause mengalami penurunan produksi

hormon estrogen oleh ovarium yang dapat mempengaruhi kondisi

psikologisnya (Suatari, 2014).

Namun dalam penelitian ini, lebih setengah responden berjenis kelamin

laki-laki sebanyak (53,3%). Tingginya angka insomnia pada responden laki-

laki disebabkan pola hidup dan lingkungan yang tidak teratur, seperti

merokok, mengkonsumsi kafein yang lebih tinggi, tidur sampai larut malam,

kecemasan, penyakit dan memiliki waktu tidur yang tidak teratur. Hal itu

sejalan dengan penelitian Sumirta bahwa penyebab gangguan tidur pada

lansia 78,6% memiliki kebiasaan minum kopi, 64,36% memiliki kebiasaan

merokok, 57,1% mengalami kecemasan sedang, 78,6% tidak nyaman dengan

kondisi lingkungannya, dan 78,6% status kesehatannya kurang. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa dalam penlitian ini responden berjenis kelamin laki-

62
laki memiliki angka insomnia tinggi dibandingkan responden berjenis

kelamin perempuan.

Dalam penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa 9 orang (60%) lansia

yang memiliki tingkat pendidikan di Sekolah Dasar (SD). Hasil penelitian ini

didukung oleh teori Darmojo (2005) dalam Sumirta (2014) bahwa tingkat

pendidikan merupakan salah satu faktor sosiokultural yang bisa

mempengaruhi insomnia, tingkat pendidikan yang tinggi bisa memungkinkan

individu untuk mengakses dan memahami informasi tentang kesehatan

sehingga pasien memiliki pengetahuan untuk memilih strategi dalam

mengatasi insomnia.

B. Insomnia Setelah Diberikan Intervensi Sleep Hygiene Pada Lansia Di

Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-

Pariaman Tahun 2017.

Setelah diberikan intervensi sleep hygiene pada lansia Di Panti Sosial

Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-Pariaman Tahun 2017

mengalami penurunan dalam skor insomnia, diantaranya 13 orang (86,7%)

lansia mengalami insomnia ringan dan 2 orang (13,3%) lansia mengalami

insomnia sedang. Lansia yang dikategorikan pada insomnia ringan berawal

dari insomnia sedang, kemudian lansia yang mengalami penurunan insomnia

setelah diberikan intervensi sleep hygiene, begitu juga dengan lansia yang

mengalami insomnia sedang.

Berdasarkan hasil penelitian semua responden, seluruh lansia mengalami

penurunan skor insomnia dan (86,7%) diantaranya mengalami penurunan

63
skor insomnia secara signifikan sebanyak 13 orang yaitu rata-rata skor

insomnia 24,73 (insomnia ringan). Lansia yang mengalami penurunan skor

insomnia yang signifikan tersebut dikarenakan lansia telah menjalani sleep

hygiene. Selain itu penyebab lain dari penurunan skor insomnia yang

signifikan yaitu lansia sedang menjalani ibadah puasa disiang hari dan

mengikuti sholat tarawih pada malam harinya, sehingga aktivitas tersebut

menyebabkan rasa kantuk sehingga lansia mudah tertidur dimalam hari.

Lansia akan mengalami kelelahan secara fisik dan membutuhkan waktu yang

lama untuk mengembalikan energy serta stamina, sehingga kelelahan tersebut

menyebabkan lansia mudah mengantuk pada malam harinya.

Menurut Depkes RI (2010) mengungkapkan bahwa salah satu penyebab

insomnia pada lansia antara lain adalah kurangnya kegiatan fisik dan mental

sepanjang hari sehingga mereka masih bersemangat di malam hari. Hal ini

juga didukung oleh penelitian Larson cit Hawari (2007) dalam Panglulu

(2015) mengungkapkan bahwa penghayatan keagamaan ternyata besar

pengaruhnya terhadap hasil kesehatan fisik dan mental usia lanjut, usia lanjut

yang religius lebih kuat dan tabah menghadapi stress dari pada yang kurang

atau non relegius, sehingga gangguan mental emosional jauh lebih kecil

sehingga akan memperkecil peluang terjadinya insomnia.

Setelah diberikan intervensi sleep hygiene terdapat perbaikan kondisi

insomnia pada lansia, hal ini ditandai dengan analisa jawaban pada item

pertanyaan ke-6 mengenai kepuasaan tidur dengan skala likert 1 (tidak

pernah) samapi 4 (selalu) mengalami penurunan tertinggi yaitu dari 48 pada

pre-test menjadi 31 pada post-test. Dengan hal ini dapat disimpulkan bahwa

64
menerapkan sleep hygiene sehari-hari bisa meningkatkan kepuasan tidur dan

kualitas tidur pada lansia.

Penelitian Rahmah (2014) menunjukkan semakin rendah prilaku sleep

hygiene maka akan semakin memburuk kualitas tidur lansia, hal itu

disebabkan oleh proses penuaan yang menyebabkan perubahan dapat

mempengaruhi pola tidur. Pada lanjut usia proporsi yang waktu yang

dihabiskan dalam tahap tidur 3 dan 4 menurun, sementarayang dihabiskan di

tidur tahap 1 meningkat dan tidur kurang efesien dan kualitas tidur kelihatan

menjadi berubah pada kebanyakan lansia (Perry & Potter, 2005)

Kepuasaan tidur yang dirasakan oleh lansia menyebabkan penurunan

dalam perasaan gelisah dimalam harinya. Hal tersebut dibuktikan melalui

penurunan skor dari pertanyaan item ke-7 mengenai perasaan gelisah saat

tidur dengan skala likert 1 (tidak pernah) sampai 4 (selalu) yaitu skor 48 pada

pre-test menjadi 32 pada post-test.

. Penelitian bahwa sleep hygiene berpengaruh terhadap gangguan tidur

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ahsan (2015). Penelitian quasi

eksperiment yang dilakukan Ahsan dengan kelompok kontrol 16 orang yang

menderita gangguan tidur juga menunjukan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian sleep hygiene yang dilakukan setiap harinya bisa

menurunkan insomnia pada lansia Di PSTW Sicincin. Akan tetapi terdapat

beberapa faktor menentukan keberhasilan sleep hygiene diantaranya sejauh

mana tahapan sleep hygiene dilakukan oleh lansia sehingga bisa menurunkan

insomnia.

65
C. Pengaruh Sleep Hygiene Terhadap Insomnia Pada Lansia Di Panti Sosial

Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-Pariaman Tahun

2017.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada lansia di Panti Sosial

Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-Pariaman tahun 2017

sampai tanggal 22 juli 2017. Sampel penelitian yang diberikan intervensi

sleep hygiene berjumlah 15 responden yang dipilih secara pusposive sampling

sesuai dengan kriteria inklusi. Intervensi sleep hygiene dilakukan setiap hari

dalam waktu 2 minggu.

Berdasarkan hasil uji statistic dengan uji Paired t-test didapatkan skor

insomnia rata-rata pre-test 31,40 dengan standar deviasi 3,738 dan skor

insomnia rata-rata post-test 24,73 dengan standar deviasi 2,658 serta nilai p

Value 0,000 (p<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh terapi sleep

hygiene terhadap skor insomnia pada lansia. Adanya perubahan yang

signifikan tersebut menunjukkan bahwa terapi sleep hygiene memberikan

dampak bagi lansia yang mengalami insomnia. Insomnia yang diderita lansia

tersebut dikarenakan dari berbagai faktor. Kondisi fisik dan psikologis

responden seiring dengan proses penuaan berdampak pada terjadinya

insomnia pada lansia. Menurut McCurry (2005) dikutip dalam Touhy (2010)

mengatakan bahwa program pengobatan menggunakan terapi sleep hygiene

sangat penting terutama pada orang yang mengalami masalah dalam tidur.

Terapi sleep hygiene berpengaruh dalam mengatasi masalah gangguan

dalam tidur seperti insomnia, sejalan dengan dengan penellitian yang

dilakukan Ahsan (2015) terhadap 16 responden, bertujuan untuk melihat

66
pengaruh sleep hygiene terhadap gangguan tidur. Penelitian lainnya oleh

Elmoneem (2017) menunjukkan usia lanjut yang menerapkan program sleep

hygiene dengan hasil terdapat perbedaaan yang signifikan terhadap skor rata-

rata lamanya tidur serta skor onset tidur yaitu pre-test sebanyak 25-50 menit

dan post-test 13-21 menit. Penelitian Tan et.al (2012) yaitu program edukasi

sleep hygiene F.E.R.R.E.T (Food, Emotions, Routine, Restrict, Enviroment

and Timing) yang efektif untuk meningkatkan tidur dengan program tidur

yang teridentifikasi.

Terapi sleep hygiene diupayakan untuk membina kebiasaan atau ritual

yang konsisten yang mencakup aktivitas waktu tenang sebelum tidur sebagai

pendekatan awal untuk mengatasi insomnia dan kesulitan tidur lainnya dan

secara umum dapat digambarkan sebagai promosi perilaku untuk

meningkatkan kuantitas dan kualitas tidur yang diperoleh seorang individu

setiap malam (Ahsan, 2015). Rangkaian kegiatan dari terapi sleep hygiene

dilakukan untuk membentuk jadwal tidur yang teratur dan rutinitas tidur yang

konsisten serta pengkondisian lingkungan tidur yang baik dengan maksud

untuk menyelaraskan tidur dan siklus bangun dengan siklus tubuh lain seperti

suhu tubuh, metabolisme dan jadwal hormonal yang membentuk sinkronisasi

irama sirkadian untuk mencapai kondisi homeostasis (Tan et al, 2012). .

Sleep hygiene juga mengedepankan pembatasan waktu di tempat tidur

dengan berada di tempat tidur hanya apabila mengantuk dan tidur saja

sehingga menyebabkan otak akan mengenali tempat tidur hanya sebagai

tempat tidur. Hal itu sejalan dengan penelitian Suastari (2014) bahwa perlu

dilakukan pembatasan waktu di tempat tidur dengan berada di tempat tidur

67
hanya apabila mengantuk dan tidur saja sehingga otak akan mengenali tempat

tidur hanya sebagai tempat untuk relaks dan tidur.

Mengatur tidur siang selama 30-60 menit dan menghindari tidur siang

berlama-lama mampu mengatasi masalah pada waktu memulai tidur.

Menghindari tidur siang atau tidur siang dengan waktu yang singkat sekitar

30-60 menit berkaitan dengan proses tidur-terjaga yang berkaitan irama

sirkandian dan homeostatis tidur (Phosner & Gherman, 2011). Pencahayaan

yang gelap dan tingkat kebisingan yang rendah dapat mempermudah lansia

dalam proses tidur. Temperatur kamar tidur dan kebersihan kamar tidur dapat

berpengaruh pula terhadap kondisi tidur (Nami, 2017). Penelitian Dewi

(2010) diperoleh bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengaruh

lingkungan, yaitu pencahayaan dan kebisingan dengan insomnia

Disamping itu, mengkonsumsi kafein 6 jam sebelum tidur tidak memiliki

dampak pada tidur dimalam hari walaupun pada individu yang sensitive

terhadap kafein. Drake et,al (2013) mengatakan dalam penelitiannya bahwa

kafein yang dikonsumsi 6 jam sebelum tidur tidak memiliki efek penting pada

gangguan tidur dan dapat direkomendasikan sebagai intervensi sleep hygiene.

Menghindari nikotin pada saat malam hari sangat efektif, bahkan dapat

menurunkan skala insomnia. Walaupun dalam pelaksanaannya

memberhentikan merokok dapat mengganggu tidur terutama pada pasien

yang ketagihan. Namun hal itu dapat hindari dengan cara mengubah waktu

merokok dan menghindari merokok pada saat tidak bisa tidur pada malam

hari (Phosner & Gherman, 2011). Pada penelitian Sumirta (2014) dimana

68
Lansia yang mengalami insomnia kategori tinggi paling banyak yaitu 11

orang (78,6%) memiliki gaya hidup merokok dan minum kopi.

Selain itu, olah-raga merupakan bagian dari sleep hygiene yang dapat

mempermudah tidur dan mendapatkan tidur yang lama. Olahraga juga

merangsang penurunan aktifitas saraf simpatis dan peningkatan aktifitas saraf

para simpatis yang berpengaruh pada penurunan hormone adrenalin,

norepinefrin dan katekolamin serta vasodilatasi pada pembuluh darah yang

mengakibatkan transport oksigen keseluruh tubuh terutama otak lancar

sehingga dapat menurunkan tekanan darah dan nadi menjadi normal. Pada

kondisi ini akan meningkatkan relaksasi lansia. Selain itu, sekresi melatonin

yang optimal dan pengaruh beta endhorphin dan membantu peningkatan

pemenuhan kebutuhan tidur lansia (Cahyono, 2013 dikutip dalam Rahayu,

2008).

Penggunaan penyumbat telinga berfungsi untuk mengurangi suara tidak

beraturan, kebisingan yang dapat mengganggu dalam tidur (Phosner &

Gherman, 2011). Namun, dalam penggunaan penyumbat telinga untuk

menghindari kebisingan kurang efektif diterapkan pada lansia untuk

mengatasi insomnia. Hal itu dikarenakan lansia yang berada di PSTW

Sicincin tidak merasa nyaman sehingga terganggunya tidur dan memperparah

insomnia. Sebaliknya, menghindari minum sebelum tidur sangat efektif untuk

mengatasi insomnia. Hal itu disebabkan dengan pengisian kandung kemih

yang sedikit disebabkan menghindari minum dalm waktu 4 jam sebelum tidur

( Phosner &Gherman, 2011). Makan snack ringan yang mengandung

69
karbohidrat (seperti : biscuit, roti) 1 jam sebelum tidur dapat membuat tidur

lebih nyenyak (Phosner & Gherman, 2011).

Terapi sleep hygiene selain berupa monitor prilaku dan lingkungan, tetapi

juga memberikan pendidikan kesehatan kepada lansia yang mengalami

insomnia sehingga para lansia mengetahui point-point mengenai sleep

hygiene untuk meningkatkan kualitas tidur. Hal itu sejalan dengan penelitian

yang dilakukan Sahim (2016) yang menyatakan bahwa pendidikan tentang

sleep hygiene dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang

D. Keterbatasan Dalam Penelitian

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini yang terdiri dari :

1. Keterbatasan dalam penelitian ini terdapat pada waktu penelitian yang

berlangsung pada pre-test 3 hari sebelum bulan puasa dan post-test

dilakukan selama bulan puasa. Hal ini mempengaruhi waktu istirahat dan

tidur responden. Kemudian,

2. Dalam pelaksanaan sleep hygiene, ketidakefektifan sleep hygiene

bergantung pada sikap dan prilaku lansia, apakah lansia melakukan sleep

hygiene ataupun tidak melakukannya.

70
BAB VII

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian mengenai pengaruh sleep hygiene terhadap derajat

insomnia pada lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih

Sicincin Padang-Pariaman Tahun 2017, dengan total responden 15 orang.

Dapat diambil kesimpulan :

1. Sebelum diberikan intervensi sleep hygiene sebagian kecil 2 orang

(13.3%) lansia mengalami insomnia ringan dan 13 orang (86,7%) lansia

mengalami insomnia sedang.

2. Setelah diberikan intervensi sleep hygiene sebagian besar 13 orang

(86,7%) lansia mengalami insomnia ringan dan 2 orang (13,3%)

mengalami insomnia sedang

3. Terdapat pengaruh sleep hygiene terhadap derajat insomnia pada lansia Di

Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan aluih Sicincin Padang Pariaman

tahun 2017 dengan nili p=0,000.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan dapat

disarankan hal-hal berikut ini:

1. Bagi Profesi Keperawaatan

71
Bagi pendidikan ilmu keperawatan dapat menjadi pedoman untuk

tindakan keperawatan dalam mengatasi masalah insomnia pada lansia.

2. Bagi Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih Sicincin Padang-

Pariaman.

Bagi PSTW Sicincin agar memberikan penyuluhan, membuat

program, mengawasi program dan mengevaluasi terapi sleep hygiene

kepada lansia yang ditinggal disana untuk menerapkan sleep hygiene untuk

mengatasi insomnia. Bagi lansia di PSTW agar mengikuti program sleep

hygiene agar terhindar dari gangguan tidur atau insomnia yang dapat

berdampak terhadap kualitas hidupnya.

3. Bagi penelitian selanjutnya

Penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode

yang berbeda dengan peneliti ini, yaitu dengan menggunakan metode

group kontrol.

72
DAFTAR PUSTAKA

Ahsan, Eko Kapti R, Anggreini Putri S. (2015). Pengaruh Sleep hygiene terhadap
Gangguan Tidur pada Anak Usia Sekolah yang menjalani Hospitalisasi.
Volume 6, Nomor 1 diakses
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/2846
Ambarwati, Fitri R. (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia. Yogyakarta; Dua
Satria Offset.
Atoilah, Kusnadi. 2013. Askep pada Klien dengan Gangguan Kebutuhan Dasar
Manusia. Garut: In Media.
Badan Pusat Statistik. (2012). Publikasi Data Lansia Di Indonesia Tahun 2015
dari https://www.bps.go.id/index.php/publikasi/4317
Bandiyah, Siti. (2009). Lanjut Usia Dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta;
Nuha Medika
Bani, S. Hasanpour.S, Malakuti.J, Abedi.P, Ansari.S, (2014). Sleep Hygiene and
its Related Factors Among the elderly in Tabriz, Iran. diakses
www.sciencedirect.com
Barker, T.M. (2008). A description of sleep patterns and sleep hygiene practices
for adults in cardiac rehabilitation programs in Nouthern Montana. diakses
https://pdfs.semanticscholar.org
Budiono, Pertami, Sumirah B. (2015). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta; Bumi
Medika.
Cahyono, Kartiko Meri. (2013). Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kualitas
Tidur Pada Lansia Di Desa Leyangan Kecamatan Ungaran Timur
Kabupaten Semarang. diakses
http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/documents/3556.pdf
Darmojo,B. (2011). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut ). Jakarta: Balai
Penerbitan FKUI.
Dharma, K.K.(2011). Metodologi Penelitian Keperawatan Panduan
Melaksanakan dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta Timur; CV. Trans
Info Media.
Depkes.(2010). Pedoman Pembinaan Kesehatan Lanjut Usia Bagi Petugas
Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Drake, C. RoehrS, T. Shambroom, J. (2013). Caffeine Effects on Sleep Taken 0, 3,
or 6 Hours before Going to Bed. diakses
http://dx.doi.org/10.5664/jcsm.3170

73
Elmoneem, H,A. Fouad, A.L. (2017). The Effect of a Sleep Hygiene Program on
Older Adults, Diaskes www.iosrjournals.org
Gellis, Less A. Lichstein, Kenneth L. (2009). Sleep hygiene practices of good and
poor sleepers in the united states: an internet-based study. Available online
at www.sciencedirect.com
Gellis, Stotsky, Taylor. (2014). Associations Between Sleep Hygiene and
Insomnia Severity in College Students: Cross-Sectional and Prospective
Analyses. www.elsevier.com/locate/bt
Hutapnea, Ronald. (2005). Sehat & Ceria Di Usia Senja, Jilid 1: Suatu Awal
Baru. Jakarta; Rineka Cipta.
Jefferson, C.D. Drake, C. Holly,M. (2005). Sleep Hygiene Practices in a
Population-Based Sample of Insomniacs. Diakses
www.journalsleep.org/articles/280509.pdf
Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Klien Lanjut Usia. Jakarta;
Salemba Medika.
Kurniawan, Tommy. (2012). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur
(Insomnia) pada Lansia di Panti Tresna Werdha Kabupaten Magetan.
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Diaskses
www.academia.edu/4408372/Daftar_Pemenang_PKM_2012-Copy1
LeBourgeois MK, Giannotti F, Cortesi F, R Amy, Wolfson, John and American
Adolescents. (2005). The Relationship Between Reported Sleep Quality and
Sleep Hygiene in Italian and American Adolescents Pediatrics. diaskes dari
http://www.cureresearch.com/i/insomnia/stats-country.htm
Maas, ML. Buckwalter, KC. Hardy, MD. Trippreimer, T. Titler, MG. Specht, JP.
(2011). Asuhan Keperaawatan Geriatrik: diagnosis NANDA, criteria hasil
NOC, & intervensi NIC. Jakarta; EGC
Marcel, Gaharu M, Lumempouw SF. (2013). Gangguan Tidur pada Usia Lanjut.
diakses dari http://www.perdossi.or.id/show_file.html?id=146
Maryam, S. Ekasari, MF. Rosidawati. Hartini, T. Suryati, ES. Noorkasiani.
(2010). Asuhan Keperawatan Pada Lansia. Jakarta; CV.Trans Info Media.
Meiner, Sue E. (2011). Gerontology Nursing Fourth Edition. America; Elseiver
Mujahidullah, Khalid. (2012). Keperawatan Geriatrik Merawat Lansia dengan
Cinta Dan Kasih Sayang. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
National Alliance of Mental Illness (NAMI). (2017). Sleep Disorders The
Connection Between Sleep And Mental Health. diakses
https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Sleep-Disorders
Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta; EGC

74
Nurhidiyati. 2016. Gambaran Pengetahuan Lansia Tentang Insomnia Di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 03 Marguna Jakarta Selatan.
Pandila. (2013). Keperawatan Gerontik Yogyakarta; Nuha Medika
Panglulu,Rachmawati. (2015). Hubungan aktifitaas fisik dengan kejadian
insomnia pada lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Yogyakarta Budi
Kosongan Bantul. Diakses http://opac.unisayogya.ac.id/221/
Posner,D. Gehrman, Philip R. (2011). Behavioral Treatments for Sleep Disorders.
Elsevier Inc.
Potter P.A, & Perry. A,G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan, Konsep,
Proses, Praktik. Edisi 4. EGC; Jakarta
Prayitno, A. (2002). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan
penatalaksanaannya. Diakses http://univmed.org/wp-
content/uploads/2011/02/Prayitno.pdf
Raharja, Ericha. (2013). Hubungan antara tingkat depresi dengan kejadian
insomnia pada lanjut usia di karawang werdha Semeru Jaya. Diakses
http://repository.unej.ac.id/.../%20Ericha%20Aditya%20Raharja%20%20062
310101038.
Rahmah, S. Syaiffuddin. (2014). Hubungan Sleep Hygiene dengan Kualitas Tidur
pada Lanjut Usia Di PSTW Yogyakarta Unit Abiyoso Pakembinangun Pakem
Sleman. Diakses
http://opac.unisayogya.ac.id/451/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Sahin, E.M. Ozturk, M. Oyekcin, D.G. Uludag, A. (2016). Education Effects of
Sleep Hygiene Education on Subjective Sleep Quality and Academic
Performance . Diakses www.jcam.com.tr/files/JCAM-2728.pdf
Saputra, L. (2013). Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggeran;
Binapura Aksara
Sari I.V. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Insomnia
Pada Lansia Di Kelurahan Andalas Wilayah Kerja Puskesmas Andalas
Padang 2015. Skripsi Fkep Unand
Schutte-Rodin S; Broch L; Buysse D; Dorsey C; Sateia M. Clinical guideline for
the evaluation and management of chronic insomnia in adults. J Clin Sleep
Med 2008;4(5):487-504. Diakses
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/magazine/issues/pdf/SleepDiary.pdf
Sitralita, (2010). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas Tidur
Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Kasih Sayang Ibu Batusangkar.
Skripsi, Fkep Unand
Suardiman, Siti Partini. 2011. Psikologi Usia Lanut. Yogyakarta; Gadjah Mada
University Press

75
Suastari M, Bayu Tirtayasa PN, Suka Aryana GP. (2014). Hubungan Antara Sleep
Hygiene Dengan Derajat Insomnia Pada Lansia Di Poliklinik Geriatri RSUP
Sanglah, Denpasar, Februari. Diakses
https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/view/11866
Suhesti, Suratini. (2014). Pengaruh Senam Yoga Terhadap Tingkat Insomnia
Pada Lansia Di UPT Wredha Budi Darma Ponggalan Umbulharjo
Yogyakarta. Diakses
http://opac.unisayogya.ac.id/479/1/NASKAH%20PUBLIKASI_SUHESTI_2
01010201037.pdf
Sumirta, Laraswati. (2014). Faktor yang menyebabkan gangguan tidur (Insomnia)
pada lansia. Diaskes http://poltekkes-
denpasar.ac.id/files/.../JUNI%202015/I%20Nengah%20Sumirta.pdf
Smeltzer, Suzane C. Bare, Brenda G. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah Brunner & Suddarth Vol. 1 edisi 8. Jakarta; EGC
Soleimani, F. Motaarefi, H. Dehkordi, A. (2016). Effect of Sleep Hygiene
Education on Sleep Quality in Hemodialysis Patients. Journal of Clinical and
Diagnostic Research Diakses
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5296457/
Stepanski E.J, Wyatt J.K. (2003). Clinical review about Use of sleep hygiene in
the treatment of insomnia. Elsevier Science. diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/10607092
Sumedi T, Wahyudi, Kuswati A. (2010). Pengaruh Senam Lansia Terhadap
Penurunan Skala Insomnia Pada Lansia Di Panti Werda Dewanata Cicalap.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume
5, No.1, diakses www.e-jurnal.com/2014/11/pengaruh-senam-lansia-
terhadap.html
Sunaryo. Wijayanti, Kuhu, Sumedi, Widayanti, dkk. (2016). Asuhan Keperawatan
Gerontik. Yogyakata; CV Andi Offset.
Sustyani, R.A. (2012). Hubungan Depresi dengan Kejadian Insomnia pada
Lanjut Usia Di Panti Werdha Harapan Ibu Semarang. Diakses
http://download.portalgaruda.org/article.php?...HUBUNGAN%20ANTARA
%20DEPRESI%
Syara, Letra G, (2015). Hubungan Antara Tingkat Kecemasan Dengan Kualitas
Tidur Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Kota Padang 2015.
Skripsi, Fkep Unand
Touhy, Therrys A. (2010). Ebersole and Hess Gerontological Nursing Healthy
Aging. America; Elseiver
Tamher. Noorkasiano. (2012). Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan
Keperawatan. Jakarta; Salemba Medika

76
Tan, E. Healey,D. Gray, A. Galland, B. (2012). Sleep hygiene intervention for
youth aged 10 to 18 years with problematic sleep: a before-after pilot study.
Diakses http://www.biomedcentral.com/1471-2431/12/189
Tsou, M.T. (2013). Prevalence and Risk Factors For Insomnia in Community
Dweling Elderly in Northern Taiwan. Journal Of Clinical Gerontology &
Geriatrics 4; 75-79. Diakses
www.sciencedirect.com/science/article/.../S221083351300027...
Vaughans, Bennita W. (2013). Keperawatan Dasar. Yogyakarta; Rapha
Publishing.
Voinescu, B.L, Tatar,A.S. (2015). Sleep hygiene awareness: its relation to sleep
quality and diurnal preference. Diakses
https://jmolecularpsychiatry.biomedcentral.com/.../s40303-015

77

Anda mungkin juga menyukai