Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) adalah masalah kesehatan


masyarakat yang terbilang cukup mengkhawatirkan. Sekitar 2% hingga 4%
populasi usia dewasa mengalami OSAS. Satu dari lima pasien mengidap OSAS
ringan dan satu dari 15 pasien berkembang dari OSAS sedang menjadi berat.
Diperkirakan lebih dari 85% penderita OSAS tidak terdiagnosis. Hal ini
menunjukkan fakta bahwa banyak penderita dengan gejala OSAS kurang
peduli terhadap masalah mendengkur dan arousal nokturnal. Terestimasi
bahwa OSAS yang tidak tertangani tersebut menyebabkan melonjaknya 3,4
miliar dolar amerika biaya pelayanan kesehatan tahunan di Amerika Serikat.1,2

Dampak OSAS terhadap masyarakat menjadi lebih serius. Gangguan


pola tidur yang diakibatkan OSAS meningkatkan level kelelahan sepanjang
hari yang pada akhirnya menyebabkan hilangnya pekerjaan serta angka
kejadian kecelakaan kendaraan bermotor dan okupasi kerja. Kondisi OSAS
dapat menjadi lebih buruk serta berpotensial menyebabkan masalah kesehatan
lainnya.1,2

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah kondisi ditandai dengan episode


repetitif parsial hingga komplit akibat kolapsnya saluran napas atas selama
tidur yang menghasilkan obstruksi komplit atau pengurangan aliran udara yang
menyebabkan kondisi arousal dan hipoksia. Gejala-gejala OSA yang timbul,
yaitu mengantuk sepanjang hari, kurangnya konsentrasi, mood, morning
headaches, mendengkur, kesaksian berhentinya napas penderita yang dilihat
oleh partner tidur.3 Hal ini diasosiasikan dengan sekuele neurokognitif,
komplikasi kardiovaskular, dan sindrom metabolik. Terapi OSAS saat ini
ditargetkan mampu memperbesar saluran napas atas selama tidur termasuk
intervensi bedah, terapi oral dan pemberian tekanan positif saluran napas.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Obstructive Sleep Apnea (OSA), sering juga disebut sebagai Obstructive


Sleep Apnea Hypopnea (OSAH), adalah suatu gangguan tidur yang melibatkan
penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara dalam proses
bernapas. Hal ini merupakan tipe gangguan pernafasan tidur yang paling sering
terjadi dan memiliki karakteristik kolapsnya saluran nafas bagian atas sewaktu
tidur secara rekuren. Episode ini berkaitan dengan desaturasi oksihemoglobin
yang rekuren dan keinginan untuk tidur.5

OSA yang berkaitan dengan rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari
(Excessive Daytime Sleepiness/EDS) sering disebut sebagai Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS) atau disebut juga sebagai Obstructive Sleep Apnea-
Hypopnea Syndrome (OSAHS). Meskipun merupakan kelainan yang cukup
sering terjadi, OSAS seringkali tidak dikenali oleh kebanyakan dokter
pelayanan primer di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat 80% kejadian
OSAS di Amerika Serikat tidak terdiagnosis.5

Gejala utama dari apnea saat tidur (sleep apnea) adalah 3 S (Snoring,
Sleppiness, Significant other report of sleep apnea episodes). Mnemonik ini
terbukti dapat membantu mengedukasi masyarakat untuk lebih sensitif dalam
mengenali penyakit ini. Akan sangat membantu jika pasangan atau kerabat
dekat pasien juga ikut datang saat konsultasi dengan tenaga kesehatan.
Seringkali penderita tidak menyadari mengidap OSA dan mengganggap diri
mereka sebagai “good sleepers” karena dapat tidur dimanapun dan kapanpun.
Rasa kantuk merupakan salah satu gejala yang mengancam jiwa penderita
apnea saat tidur (sleep apnea), berkaitan dengan kecelakaan yang dapat terjadi
sebagai akibatnya.5

OSA merupakan diagnosa yang sangat penting karena keterkaitannya


dengan kondisi medis lain, seperti hipertensi, gangguan kardiovaskular,

2
penyakit arteri koroner, diabetes mellitus, depresi, dan kecelakaan yang terkait
kantuk (sleepiness-related accidents).5

2.2 Epidemiologi

Prevalensi OSA mengalami peningkatan pada kehidupan modern, baik


pada orang dewasa maupun anak-anak. Berdasarkan penelitian kohort yang
dilakukan oleh Wisconsin, didapatkan prevalensi OSA sebanyak 9-24% pada
laki-laki dan 4-9% pada perempuan dengan subjek berusia 30-60 tahun.
Sedangkan prevalensi pada anak-anak masih kurang pasti.5

Usia merupakan faktor penting yang menjadi faktor risiko terjadinya


OSA. Prevalensi OSA meningkat 2-3 kali pada usia diatas 65 tahun
dibandingkan dengan usia 30-64 tahun, dengan persentase sebanyak 65% pada
sampel berusia diatas 65 tahun.5

Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 2-3:1. Pola distribusi lemak
pada pria, yaitu pada daerah leher menjadi faktor predisposisi kejadian OSA.
Secara umum, hormon seks dapat mempengaruhi faktor neurologis yang
mengatur dilatasi otot saluran nafas atas dan ventilasi. Menurut sebuah
penelitian yang berbasis populasi, perempuan tidak hanya lebih jarang
menderita OSA, namun juga jarang terdiagnosis pada fase awal penyakit.
Tingkat harapan hidup lebih rendah pada perempuan dibandingkan dengan
laki-laki, kemungkinan karena terlambatnya diagnosis.5

Prevalensi OSA pada perempuan meningkat setelah menapause.


Perempuan pasca menapause memiliki risiko 3 kali lipat untuk menderita OSA
sendang hingga berat dibandingkan dengan perempuan yang belum
menapause. Perempuan pasca menapause yang mendapatkan terapi pengganti
hormon memiliki risiko setengah kali lebih rendah dibandingkan perempuan
pasca menapause tanpa terapi pengganti hormon.5

Ras Afrika-Amerika memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan ras kulit


putih. Ras Asia diketahui memiliki risiko OSA yang lebih tinggi terkait dengan
BMI, lingkar leher, serta postur tubuh yang lebih pendek.5

3
2.3 Etiologi dan faktor risiko

Faktor struktural

Faktor struktural berhubungan dengan anatomi tulang kraniofasial yang


menjadi presdiposisi pasien dengan OSA untuk mengalami kolapsnya faring
selama tidur, yang meliputi:5

 Variasi anatomi

 Retrognatia dan mikrognatia

 Hipoplasia mandibular

 Hipertrofi adenotonsilar

 Sindroma Pierre Robin

 Sindroma Down

 Sindroma Marfan

 Sindroma Prader-Willi

Gambar 1. Cincin Waldeyer

4
Karakteristik kraniofasial yang berbeda-beda telah dikaitkan dengan
OSAS yaitu menyebabkan penyempitan saluran napas bagian atas termasuk
tulang hyoid yang diposisikan inferior, posterior penempatan rahang atas dan
rahang bawah, lidah membesar dan lunak palatum, dan area velopharyngeal
yang lebih kecil. Perbedaan berdasarkan ras dalam fitur kraniofasial memiliki
peningkanan risiko OSAS dengan alasan yang bervariasi. Misalnya, pada studi
Cleveland Family , brachycephaly menurun di tengah fossa kranial, dan
panjang intermaksila dikaitkan dengan peningkatan risiko OSAS pada orang
Kaukasia sementara lidah meningkat luas dan panjang langit-langit lunak lebih
dari berisiko OSAS di Afrika Amerika. Pasien Hispanik dengan OSAS
memiliki posisi maksila dan mandibula yang lebih rendah. Klinis fitur
morfologis kraniofasial yang merupakan faktor risiko OSAS beberapa diantara
lainnya yaitu micrognathia, retrognathia, atau crossbite.6

Faktor non-struktural

Faktor non-struktural meliputi:5

 Obesitas

OSAS memiliki angka prevalensi yang tinggi pada populasi obesitas


dan kelebihan berat badan. Beberapa penelitian berbasis cross-sectional
mengungkapkan terdapat hubungan monoton antara OSAS terhadap berat
badan, BMI, lingkar leher, rasio pinggang ke panggul, dan ukuran habitus
tubuh lainnya . Selanjutnya, fluktuasi berat badan telah terbukti
mempengaruhi keparahan OSAS. Dalam Wisconsin Sleep Cohort,
kenaikan berat badan 10% pada subjek dengan tidak ada kejadian OSAS
(AHI ‹5) dikaitkan dengan peningkatan 6 kali lipat kemungkinan
berkembang menjadi OSAS sedang hingga berat (AHI ≥15) setelah
mempertimbangkan faktor perancu yang relevan, termasuk usia dan
gender. Pada kenaikan berat badan 10% dikaitkan dengan perkiraan 30%
memburuk dalam tingkat OSAS, dan alternatifnya serta penurunan berat
badan 10% dikaitkan dengan perkiraan peningkatan 30% dalam tingkat
OSAS. Serupa hasilnya ditunjukkan dalam Sleep Heart Health Study, di

5
mana peningkatan berat badan sebesar 10 kg diamati untuk kemungkinan
berkembang menjadi AHI (›15 peristiwa per jam) sebesar 5,2 kali lipat
pada pria dan 2,5 kali lipat pada wanita selama periode 5 tahun. Hasil ini
menunjukkan bahwa perempuan kurang rentan terhadap pengaruh yang
terkait dengan berat badan terhadap risiko OSAS dan hal tersebut dapat
dijelaskan oleh perbedaan tergantung gender dalam pola distribusi lemak
yang ditunjukkan pria yang cenderung memiliki lebih banyak kejadian
kegemukan dan berpotensi juga karena faktor hormon . Pada studi
Cleveland Family , efek adipose diukur sebagai BMI pada OSAS tercatat
berkurang setelah usia 60 tahun. Temuan serupa telah dilaporkan di Sleep
Heart Health Study di mana OSAS pada individu yang lebih tua dari 70
tahun kurang memiliki pengaruh terkait dengan BMI dan faktor-faktor
habitus tubuh lainnya.6

 Jenis kelamin laki-laki

OSAS lebih sering terjadi pada pria, dengan rasio pria-wanita 2–4: 1
dalam studi berbasis komunitas dan sekitar 10: 1 dalam sampel rujukan
klinik tidur. Perbedaan antara komunitas berbasis jenis kelamin dan
prevalensi klinik OSAS dapat dijelaskan oleh fakta bahwa wanita lebih
jarang memiliki simtomatologi klasik OSAS. Wanita kemungkinan lebih
cenderung melaporkan morning headache, kesulitan tidur, dan kelelahan
terkait dengan OSAS dibandingkan dengan laporan kegelisahan dan apnea.
Selanjutnya, wanita dengan OSAS lebih cenderung memiliki risiko untuk
dirawat karena depresi, insomnia, dan memiliki hipotiroid dibandingkan
dengan pria dengan tingkat OSAS yang sama. Faktor lain yang mungkin
menjelaskan fenomena ini adalah perempuan lebih memungkinkan
cenderung dirujuk ke pusat tidur karena ide bahwa OSAS adalah penyakit
yang lebih sering diderita laki-laki. Memang, OSAS pertama kali
dipelajari pada pria, dan studi sebelumnya secara eksklusif diujicobakan
pada laki-laki. Meskipun ada kemungkinan bahwa wanita dengan OSAS
kurang terdiagnosis, ada faktor berbasis jenis kelamin lainnya. Disparitas
berbasis jenis kelamin dari kejadian OSAS mungkin saja terjadi yang

6
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dipengaruh hormon dan
fenotipe berbasis seks, termasuk fitur fisik seperti morfologi kraniofasial
dan penumpukan lemak. Struktur dan fungsi saluran udara bagian atas
menunjukkan perbedaan berdasarkan jenis kelamin, termasuk jalan napas
bagian atas yang lebih pendek dan lebih kecil diamati pada wanita
dibandingkan dengan pria. Meskipun perbedaan anatomi saluran napas
bagian atas muncul menjadi predisposisi wanita dibandingkan pria
bahwasannya pria memiliki struktur saluran napas yang lebih panjang
dibandingkan dengan wanita. Data telah menunjukkan bahwa wanita
memiliki saluran napas bagian atas yang lebih stabil didukung oleh
tekanan penutupan kritis faring yang lebih tinggi dibandingkan dengan
sleep apneic BMI pada pria. Penjelasan lain yang mungkin mengenai
perbedaan berbasis jenis kelamin dalam risiko OSAS adalah variasi dalam
distribusi adiposa jaringan antara pria dan wanita. Pria cenderung memiliki
lebih banyak lemak pada tubuh bagian atas termasuk leher (android),
dengan demikian predisposisi untuk kolaps pada saluran napas bagian atas
dibandingkan dengan wanita yang cenderung memiliki lemak tubuh lebih
rendah (gynoid) Konsisten dengan pengamatan ini adalah pengukuran
lingkar leher dan lingkar pinggang yang berkorelasi lebih baik dengan
tingkat keparahan OSA daripada IMT. Sebuah studi pencitraan, resonansi
magnetik menegaskan bahwa pria juga memiliki lebih dominan jaringan
lemak dan jaringan lunak faring dibandingkan dengan wanita.
Singkatnya,ada perbedaan yang penting pada saluran napas atas struktural
dan fungsional antara pria dan wanita, yang menempatkan pria pada risiko
tinggi untuk terkena OSAS.6

 Usia

The Sleep Heart Health Study membuktikan terdapat korelasi linear


positif antara usia dan OSAS hingga usia ± 65 tahun. Beberapa studi
menunjukkan prevalensi OSAS pada golongan lansia berkisar 5,6%
hingga 70% berdasarkan sampel yang diambil pada beberapa studi
populasi yang telah dilakukan. Pada review mengenai OSAS dan lansia

7
ditemukan bahwa prevalensi OSAS pada pria berkisar antara 28% hingga
62% sedangkan pada wanita yaitu 19,5% hingga 60%. Pada golongan
lansia, prevalensi OSAS benar-benar menunjukan perbedaan yang
signifikan dan berhubungan dengan sebuah perbedaan konstelasi beberapa
gejala dibandingkan dengan dewasa pertengahan. Secara spesifik,
konsekuensi dari OSAS pada golongan lansia kemungkinan memiliki
hubungan dengan morbiditas dibandingkan dengan gangguan
kardiovaskular. Untuk menjelasakan mengenai hubungan antara OSAS
dan usia, berbagai hipotesis telah diajukan dan diuji. Fungsi dan struktur
dari saluran napas atas telah menjadi fokus dari berbagai laporan
pertambahan usia dan patofisiologi saluran napas atas. Sebagai contohnya,
proses menua diasosiasikan dengan pertambahan resistensi saluran napas
atas, penumpukan lemak parafaring, pengurangan ukuran faring dan
gangguan refleks otot faring yang penting untuk mempertahankan patensi
saluran napas atas.6

 Perempuan pasca menapause

Berbagai studi cross-sectional telah mengidentifikasi menopause


sebagai salah satu faktor risiko untuk OSAS. Prevalensi OSAS pada
pascamenopause perempuan yaitu 2,7% dibandingkan dengan 0,6% pada
wanita premenopause. Konsisten dengan hasil ini, studi lain
memperkirakan kemungkinan memiliki AHI ≥ 15 pada wanita menopause
sebesar 3,49 dibandingkan dengan 1.07 pada wanita premenopause. Efek
dari terapi penggantian hormon pada wanita pascamenopause dengan
OSAS dalam Sleep Heart Health Study mengungkapkan sebuah hubungan
terbalik antara tingkat keparahan OSAS dan terapi hormon pengganti
adalah seperti yang disesuaikan pada model multivariabel , kemungkinan
memiliki OSAS pada mereka yang mengonsumsi hormon terapi pengganti
yaitu 55% lebih rendah daripada yang tidak memakai terapi. Mekanisme
yang berbeda telah dipostulasikan untuk menjelaskan hubungan asosiatif
antara OSAS dan status hipoestrogenik pada wanita menopause.
Perubahan terkait menopause pada distribusi lemak tubuh, seperti obesitas

8
sentral yang dominan dan peningkatan adiposa di sekitar saluran napas
bagian atas, meningkatkan risiko untuk mempersempit saluran napas
bagian atas. Tekanan pada otot-otot seperti geniglossus, dilator faring
primer lebih rendah pada pascamenopause dibandingkan dengan
premenopause.Selain itu, estrogen dan progestin memiliki peran dalam
mengatur penggerak ventilasi yang dapat menyebabkan
ketidakseimbangan kekuatan yang mendukung peningkatan kolapsnya
saluran napas atas. Estrogen dan kadar rendah progestin pada menopause
dapat menyebabkan disinkronisasi otot-otot inspirasi dan otot-otot faring
yang memungkinkan obstruksi saluran napas bagian atas.6

 Alkohol

Alkohol menyebabkan penurunan latensi tidur serta dalam jumlah


yang lebih besar meningkatkan terjadinya gelombang tidur yang lambat.
Efek jangka pendek alkohol pada OSAS dipelajari pada subjek yang sehat
dan subjek dengan OSAS. Temuan studi tersebut menunjukkan bahwa
alkohol menghasilkan peningkatan frekuensi apnea dengan durasi apnea
yang lebih panjang, dan episode hipoksia yang lebih sering. Namun, dua
penelitian lain gagal mereplikasi hasil tersebut. Efek jangka panjang dari
alkohol pada tidur dipelajari pada studi Wisconsin Sleep Cohort yang
menunjukkan peningkatan konsumsi alkohol pada pria yang dikaitkan
dengan peningkatan risiko OSAS ringan atau lebih buruk. Hasil dari
penelitian ini konsisten dengan penelitian cross-sectional lainnya dalam
populasi yang berbeda. Alkohol kemungkinan memperparah OSAS
melalui mekanisme yang berbeda-beda termasuk pengurangan selektif
aktivitas otot genioglosal , penurunan tanggapan ventilasi untuk
hiperkapnea dan hipoksia, peningkatan resistensi saluran napas bagian
atas, dan kecenderungan peningkanan ketidakstabilan saluran udara
bagian atas.6

9
Kondisi lain yang dapat berhubungan dengan OSA adalah:5

 Obat-obatan sedatif

 Perokok

 Posisi tidur terlentang

 Rapid eye movement (REM) sleep

 Faktor genetik dan lingkungan

 Hipotiroidisme

 Sindrom neurologis

 Stroke

 Akromegali

Hipotiroidisme berhubungan dengan makroglosia dan peningkatan massa


jaringan lunak pada regio faring, hal tersebut dapat meningkatkan risiko
terjadinya OSA. Hipotiroidisme juga berhubungan dengan miopati yang
mungkin berkontribusi pada disfungsi jalan nafas atas. Namun, tidak terdapat
perbedaan prevalensi kejadian OSA yang signifikan antara penderita
hipotoroidisme dibandingkan dengan populasi umum.5

Sindroma neurologis berhubungan dengan sindroma pasca polio, distrofi


otot, dan sindroma kegagalan otonom seperti Sindroma Shy-Drager. Hubungan
antara OSA dan penyakit serebrovaskular masih dalam penelitian. Beberapa
bukti menunjukkan peningkatan prevalensi OSA pada pasien stroke. Namun,
belum diketahui dengan pasti apakah stroke merupakan faktor risiko OSA atau
OSA merupakan faktor risiko stroke.5

Seperti halnya hipotiroidisme, akromegali juga berhubungan dengan


makroglosia dan peningkatan massa jaringan lunak pada regio faring. Pajanan
lingkungan yang berpengaruh terhadap kejaian OSA antara lain asap, iritan
atau alergen, alkohol, dan obat-obat hipnotik-sedatif.5

10
2.4 Patogenesis

Penderita OSAS memiliki saluran napas yang lebih kecil dan rentan
dibandingkan orang normal. Dalam keadaan sadar, saluran napas cenderung
paten karena aktivasi dari otot faring dilator. Bagaimanapun, dalam keadaan
tidur aktivitas otot-otot tersebut menjadi berkurang dan volume paru-paru
berkurang dapam posisi supine sehingga menyebabkan restriksi substansi pada
saluran napas yang menghasilkan keadaan hipopnea dan apnea. Beban mekanik
tersebut dan retensi CO2 mengaktifkan otot-otot faring yang dimaksudkan
untuk mengembalikan patensi dari saluran napas bagian atas. Rekrutmen otot-
otot dilator faring dapat tercapai dan patensi saluran napas bagian atas
dikembalikan tanpa kortikal arousal pada beberapa individu sedangkan pada
yang lainnya, arousal dibutuhkan untuk efektivitas rekruitmen otot; fenomena
ini dideskripsikan sebagai keefektifan kompensasi. Ketidakstabilan ventilasi
memegang peranan OSAS sebagaimana gain loop lebih tinggi pada pasien
dengan OSAS berat selama fase tidur non-REM dibandingkan dengan OSAS
ringan. Terlebih lagi, beberapa laporan telah mendeskripsikan pengurangan
respon dari otot-otot faring hingga tekanan negative saluran napas karena
kerusakan nervus sensorik pada saluran napas atas atau pada otot itu sendiri.
Kerusakan ini disebabkan oleh inflamasi yang disebabkan karena getaran,
dengkuran, ataupun trauma. Data juga mendukung gagasan variabilitas
ventilasi pada transisi tidur-bangun sebagai predictor keparahan OSAS.
Mediator humoral dan inflamasi dilepaskan dari jaringan adipose viseral yang
memegang peranan regulasi variabilitas ventilasi. Pada kebanyakan studi,
leptin yang terikat dengan reseptornya pada hipotalamus menyebabkan
kejenuhan dan peningkanan ventilasi. Leptin menstimulasi pernafasan, seperti
yang ditunjukkan pada tikus percobaan yang kekurangan leptin atau pada kasus
resistensi yang diperlihatkan hipoventilasi sentral dan obesitas. Secara
keseluruhan, terdapat berbagai variasi mekanisme kontrol ventilasi yang
menjadi predisposisi ketidakstabilan saluran napas bagian atas termasuk
perubahan pada gain loop, gangguan motor saluran bagian atas dan kontrol
neural.6

11
2.5 Patofisiologi

Bernapas memiliki lokasi pusat di pusat pernapasan yang mengontrol


otot-otot pernapasan supaya membiarkan aliran udara melalui saluran napas
sehingga terjadi pertukaran udara di paru-paru. Berbagai disfungsi pada level
pusat pernapasan (ketidakstabilan ventilasi), saluran napas bagian atas
(obstruksi), atau kombinasi dari keduanya dapat memicu abnormalitas pola
pernapasan lebih dominan selama fase tidur menyebabkan ketidakteraturan
pertukaran udara dan arousal dalam jumlah yang sering.6

Patensi Saluran Napas Bagian Atas

Saluran napas bagian atas pada manusia ibarat sebuah tabung yang rentan
dengan dominasi jaringan lunak dan sedikit jaringan keras atau struktur yang
padat. Pada manusia normal, saluran napas bagian atas cenderung paten pada
keadaan terjaga dan tidur membuat saluran napas bagian atas membuka dan
membutuhkan setidaknya -5 cm H20 untuk mencapai fase kolaps dibawah
kondisi pasif. Bagaimanapun, ini bukanlah subyek penderita obesitas yang
mana ketika selama tidur, tekanan saluran napas cenderung kolaps , tekanan
kritis menutup hampir sama dengan tekanan atmosfir, bahkan positif. Saluran
napas menjadi paling berisiko untuk kolaps secara sempurna pada akhir
ekspirasi dimana tekanan jaringan lebih tinggi dari tekanan intraluminal.
Faktor-faktor anatomis juga memperbesar risiko OSAS seperti yang terjadi
pada penderita obesitas yang memiliki penimbunan lemak parafaring. Berbagai
kodisi kraniofasial seperti retrognathia memiliki hubungan dengan risiko besar
OSAS yang disebabkan karena kaliber saluran napas atas yang lebih kecil dan
lebih penuh. Postur individual mempengaruhi ukuran saluran napas atas pada
posisi supine yang berhubungan dengan prolaps struktur lidah dan palatum
posterior dan itu menjelaskan alasan mengapa OSAS menjadi lebih buruk
kondisinya pada posisi supine. Beberapa faktor lain yang menyebabkan
kolapsnya saluran napas bagian atas termasuk aktivasi otot-otot faring. Lebih
dari 20 otot-otot faring bekerja secara kompleks dan terkordinasi untuk
menjaga patensi saluran napas bagian atas. Studi menunjukkan otot
genioglossus memiliki 3 kontrol neuronal utama;6

12
1. Aktivasi refleks otot genioglossus melalui mekanoreseptor laring sebagai
respon tekanan luminal negatif.

2. Neuron-neuron pernapasan pada medulla, yang mengaktivasi otot


genioglossus 50-100 ms lebih dini dari diafragma untuk menjaga saluran
napas yang paten sebelum inspirasi terjadi, dan

3. Neuron motor hipoglosus yang membuat input rangsangan selama fase


terjaga dari serotonergik saluran napas bagian atas dan neuron-neuron
adrenergic.

Pada akhirnya, volume paru mempengaruhi patensi saluran napas bagian


atas sebagaimana paru-paru terhubung pada saluran napas bagian atas sehingga
menciptakan tarikan kaudal yang membuat kaku dinding faring dan
meminimalisir kolapsnya saluran napas bagian atas. Pada beberapa kasus
volume paru yang lebih sedikit pada obesitas dan perubahan postur tubuh dari
tegak hingga supine menghasilkan tekanan yang berkurang pada dinding-
dinding faring dan saluran napas yang cenderung mudah kolaps.6

Kontrol Ventilasi

Pusat-pusat pernapasan sentral pada batang otak dengan ketat mengatur


kadar oksigen dan karbondioksida dalam darah melalui berbagai jalur timbal
balik yang mengikutsertakan berbagai kemoreseptor dan mekanoreseptor
menghasilkan berbagai perubahan pola dan kedalaman ventilasi untuk menjaga
gas dalam darah dalam jalur yang sempit . Seperti sebuah sistem yang
kompleks bisa menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan sistem terbaik dijelaskan
dengan prinsip loop gain yang mana merupakan sebuah konsep perancangan.
Loop gain adalah perbandingan respon normal terhadap gangguang itu sendiri.
Sistem dengan intensitas tinggi merespon dengan cepat dan hebat terhadap
gangguan dimana sistem dengan intensitas yang lebih rendah merespon dengan
lebih lambat dan lemah. Dua variabel primer mempengaruhi loop gain dikenal
sebagai pengontrol dan pembuat. Pengontrol menggambarkan kemorespon atau
hipoksik dan respon ventilasi hiperkapnea. Pengontrol intensitas tinggi
berhubungan dengan respon cepat hiperkapnik. hiperkapnik Pembuat

13
menggambarkan keefektifan kadar ventilasi untuk mengeliminasi CO2. Loop
gain intensitas tinggi menstabilkan ventilasi pada keadaan terjaga dan tidur
meskipun kurang jelas selama terjaga karena pola bernapas selama keadaan
terjaga sangat besar dipengaruki oleh aktivitas seperti berbicara dan makan.
Loop gain intensitas tinggi memegang peranan penting pada patofisiologi
OSAS dimana pusat bernapas merespon dengan cepat dan kuat (pengontrol)
terhadap peribahan kecil CO2 dimana menghasilkan kadar rendah CO2 dibawah
ambang apnea menyebabkan terhentinya napas yang mengakibatkan retensi
CO2.6

Saluran nafas atas adalah sebuah tabung yang dapat kolaps. OSA
disebabkan kolapsnya jaringan lunak faring. Tekanan transmural adalah
perbedaan antara tekanan intralumen dan tekanan jaringan sekitar. Jika tekanan
transmural menurun, akan terjadi penurunan area cross-sectional. Jika
penurunan ini mencapai titik kritis, akan tercapai tekanan penutupan faring
(pharyngeal closing pressure). Pharyngeal closing pressure (Pcrit) yang
berlebih menyebabkan jaringan lunak kolaps dan mengakbatkan terjadinya
obstruksi saluran napas. Saluran napas ini akan tetap terhambat sampai nilai
tekanan transmural kembali ke normal. Durasi OSA sama dengan waktu
terjadinya Pcrit yang berlebih.5

Kebanyakan pasien dengan OSA mengalami obstruksi pada saluran


napas atas baik pada tingkal palatum mole (nasofaring) maupun pada lidah
(orofaring). Hal ini disebabkan oleh faktor anatomi dan neuromuskular.5

Faktor anatomi (seperti pembesaran tonsil, volume lidah, jaringan lunak,


atau dinding lateral faring, panjang palatum durum, abnormalitas posisi
maksila dan mandibula) mungkin berkontribusi terhadap penurunan area cross-
sectional dari saluran napas atas dan meningkatkan tekanan pada jaringan
lunak sekitar, yang akan mencetuskan terjadinya kolaps pada saluran napas
atas. Pada orang dewasa, pembesaran tonsil dan adenoid jarang sekali
menyebabkan OSA. Karena itu, operasi pengangkatan tonsil atau adenoid yang
membesar bukan merupakan terapi yang efektif. Pada anak-anak, sekitar 80%
penderita OSA sembuh setelah dilakukan pengangkatan tonsil dan adenoid.5

14
Aktivitas neuromuskular pada saluran napas atas, termasuk refleks,
menurun selama tidur, dan kemungkinan lebih berat pada penderita OSA.
Penurunan output motorik pada saluran napas atas dipercaya sebagai pemicu
terjadinya obstruksi saluran napas atas, hal ini lebih jelas terlihat pada pasien
dengan kelainan anatomi sebagai faktor predisposisi kolapsnya saluran napas
atas.5

15
16
2.6 Manifestasi Klinis

GejalaKlinis :

a.
Suara Mendengkur
b.
Mengantuk
c.
Restless sleep
d.
Mental abnormal
e.
Perubahan personality
f.
Impotensi
g.
Sakit kepala siang hari
h.
Nokturia
i.
Enuresis
j.
Nocturnal choking

Beberapa gejala lain yang dapat di temui :

a.
Mulut terasakering saat terbangun
b.
Konsentrasi terganggu
c.
Depresi
d.
Hipertensi
e.
Daya ingat menurun

Pada orang dewasa, tidak adanya aliran udara pernapasan selama 10


detik atau lebih disebut sebagai apnea. Sedangkan hiponea ditandai
dengan pengurangan aliran udarasebesar 30% selama 10 detik atau
lebih dengan atau tanpa di saturasi oksigen.

Factor non structural yang berpengaruh pada timbulnya OSA antara


lain :

a.
Distribusi lemak sentral
b.
Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak
c.
Umur, semakin tua semakin beresikopost menopause
d.
Pemakai alcohol
e.
Penggunaan sedative

17
f.
Tidur terlentang
g.
perokok

Manifestasi klinis yang terbanyak adalah kesulitan bernafas pada saat tidur
yang biasanya berlangsung perlahan-lahan. Sebelum gejala kesulitan bernafas
terjadi, mendengkur merupakan gejala yang mula-mula timbul. Dengkuran
dapat terjadi secara terus menerus (setiap tidur) ataupun hanya pada posisi
tertentu saja. Pada OSAS, pada umumnya anak mendengkur setiap tidur
dengan dengkuran yang keras terdengar dari luar kamar dan terlihat episode
apnea yang mungkin diakhiri dengan gerakan badan atau terbangun Sebagian
kecil anak tidak memperlihatkan dengkur yang klasik, tetapi berupa dengusan
atau hembusan nafas, noisy breathing (nafas berbunyi). Usaha bernafas dapat
terlihat dengan adanya retraksi. Posisi pada saat tidur biasanya tengkurap,
setengah duduk, atau hiperekstensi leher untuk mempertahankan patensi jalan
nafas.7-9

Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan melalui mulut, adenoidal


facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau kelainan kraniofasial
lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya alergic shiners atau
lipatan horizontal hidung.10 Patensi pasase hidung harus dinilai, perhatikan
adanya septum deviasi atau polip hidung, ukuran lidah, integritas palatum,
daerah orofarings, redudant mukosa palatum, ukuran tonsil, dan ukuran uvula,
mungkin ditemukan pectus excavatum. Paru-paru biasanya normal pada
pemeriksaan auskultasi. Pemeriksaan jantung dapat memperlihatkan tanda-
tanda hipertensi pulmonal misalnya peningkatan komponen pulmonal bunyi
jantung II, pulsasi ventrikel kanan. Pemeriksaan neorologis harus dilakukan
untuk mengevaluasi tonus otot dan status perkembangan.11

2.7 Diagnosis

Polisomnografi

Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan


polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS. Pada anak, tanda dan gejala

18
obstructive sleep apnea lebih ringan dari pada orang dewasa; karena itu
diagnosisnya lebih sulit dan harus dipertegas dengan polisomnografi.
Polisomnografi juga akan menyingkirkan penyebab lain dari gangguan
pernafasan selama tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang
objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar
untuk mengevaluasi keadaannya setelah operasi.12

Uji tapis

Mengingat bahwa polisomnografi memerlukan waktu, biaya yang mahal,


dan belum tentu tersedia di fasilitas kesehatan, maka diperlukan suatu metode
lain sebagai uji tapis. Uji tapis yang banyak digunakan adalah dengan
menggunakan kuesioner. Brouillette dkk6 menunjukkan bahwa penelitian tidur
yang abnormal dapat diprediksi dengan suatu questionnare score yang disebut
skor OSAS.

Skor OSAS = 1,42D + 1,41A + 0,71S – 3,83


• D: kesulitan bernafas (0: tidak pernah, 1: sekalisekali, 2: sering, 3: selalu)
• A: apnea (0: tidak ada, 1: ada)
• S: snoring (mendengkur) (0: tidak pernah, 1: sekali-sekali, 2: sering, 3: selalu)
Dengan rumus di atas, ditentukan kemungkinan OSAS berdasarkan nilai:
• Skor < -1 : bukan OSAS
• Skor -1 sampai 3,5 mungkin OSAS mungkin bukan OSAS
• Skor > 3,5 sangat mungkin OSAS

Dengan menggunakan skor di atas, dapat diprediksi kemungkinan OSAS


meskipun tetap memerlukan pemeriksaan polisomnografi. Artinya meskipun
skor >3,5 untuk diagnosis pasti tetap memerlukan polisomnografi. Beberapa
peneliti dapat menerima penggunaan skor tersebut, tetapi banyak pula yang
tidak menyetujuinya. Skoring tersebut mempunyai nilai sensitivitas 73% dan
spesifisitas 83% dibandingkan dengan polisomnografi.12

Observasi selama tidur

19
Kejadian OSAS dapat didiagnosis dengan observasi langsung, anak di
suruh tidur di tempat praktek dokter demikian pula OSAS dapat didiagnosis
dengan melakukan review audiotapes/ videotapes yang dapat dilakukan di
rumah.13,14 Beberapa variabel yang dinilai adalah kekerasan dan tipe inspirasi,
pergerakan selama tidur, frekuensi terbangun, banyaknya apnea, retraksi, dan
nafas dengan mulut. Cara tersebut mempunyai nilai sensitifitas 94%,
spesifisitas 68%, nilai prediksi positif 83%, dan nilai prediksi negatif 88%.13
Observasi selama tidur dapat dilakukan dengan menggunakan pulse oximetry.
Pada saat tidur anak dipantau penurunan nilai saturasi dengan menggunakan
oksimetri. Pencatatan pulse oximetry secara kontinyu selama tidur dianjurkan
sebagai tes skrining dan dapat memperlihatkan desaturasi secara siklik yang
menjadi karakteristik suatu OSAS, tetapi tidak akan mendeteksi pasien OSAS
yang tidak berkaitan dengan hipoksia. Dengan menggunakan metode di atas
nilai prediksi positif sebesar 97% dan nilai prediksi negatif 53%. Hal ini berarti
bahwa apabila terjadi penurunan saturasi selama tidur maka kemungkinan
menderita OSAS cukup besar tetapi apabila tidak terdeteksi pada pemantauan
dengan oksimetri maka di perlukan pemeriksaan polisomnografi.13

Pemeriksaan laboratorium

Pertanda hipoksia kronis seperti polisitemia atau peningkatan ekskresi


metabolit ATP kadang-kadang digunakan sebagai indikator non spesifik
OSAS. Pasien dengan hiperkapnia kronis selama tidur dapat mengalami
peningkatan bikarbonat serum yang persisten akibat kompensasi alkalosis
metabolik. Beberapa jenis sitokin diketahui mempunyai efek somnogenik dan
berperan penting dalam proses tidur. Interleukin-1 dan TNF-α dapat
meningkatkan slow wave sleep dan pemberian anti TNF-α anti body dapat
menghambat fase NREM. Irama sirkadian dari pelepasan TNF-α mengalami
gangguan pada pasien OSAS, kadar puncak fisiologis pada malam harinya
menghilang sedangkan pada siang hari kadar puncaknya meningkat.15

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis Banding OSAS:16

20
 Asma
 Central Sleep Apnea Syndromes
 Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
 Depresi
 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
 Hipotiroid
 Narkolepsi
 Obsttructive Sleep Apnea
 Periodic Limb Movement Disorder

2.9 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan OSA terdiri dari terapi non-bedah dan terapi bedah.


Penggunaan continuous positive pressure (CPAP) adalah terapi non-bedah
OSA yang dianggap paling efektif untuk menurunkan gejala mendengkur,
apneahipopnea dan daytime hypersomnolence. The American College of Chest
Physicians merekomendasikan CPAP pada pasien dengan AHI >30 dan juga
pasien dengan AHI 5–30 yang disertai gejala. Kelemahan CPAP adalah adanya
rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit
kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta aerofagia.

Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas


dapat meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas. Menghindari
konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan kafein pada malam
hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan mekanisme
pernapasan sentral. Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek jangka
panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada saluran napas
atas.

Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi pembedahan OSA adalah AHI >20x/jam, saturasi O2.

21
Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik
operasi dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk
uvula dan tonsil. Menurut penelitian metaanalisis yang pernah dilakukan,
dinyatakan UPPP secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan
saturasi oksigen. UPPP kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang
tinggi. Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal.
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum. Indikasinya
untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <10 sampai 63 %

2.10 Komplikasi

Komplikasi OSAS terjadi akibat hipoksia kronik nokturnal, asidosis, dan sleep
fragmentation.

a. Komplikasi neurobehavioural

Komplikasi neurobehavioural terjadi akibat hipoksia kronik


nokturnal dan sleep fragmentation. Rasa mengantuk yang berlebihan pada
siang hari dilaporkan terjadi pada 31-84% anak dengan OSAS. Keluhan
lain yang dapat menyertai OSAS adalah keterlambatan perkembangan,
gangguan belajar di sekolah, hiperaktivitas, sikap yang apatis/hiperaktif,
dan menarik diri dari kehidupan sosial. Manifestasi gangguan kognitif yang
lebih ringan sering terjadi. Perbaikan pada OSAS berat dapat memberikan
perbaikan nyata pada fungsi kognitif.

b. Gagal tumbuh

Gagal tumbuh merupakan komplikasi yang sering terjadi pada anak


dengan OSAS, yaitu kira-kira 27-56%. Penyebab gagal tumbuh pada anak
dengan OSAS adalah anoreksia dan disfagia (sekunder akibat hipertrofi

22
adenoid dan tonsil), peningkatan upaya bernapas, hipoksia, dan gangguan
tidur. Setelah dilakukan adenotonsilektomi, pertumbuhan anak akan terjadi
dengan cepat.

c. Komplikasi kardiovaskular

Hipoksia nokturnal berulang, hiperkapnia, dan asidosis respiratorik


dapat mengakibatkan terjadinya hipertensi pulmonal, yang merupakan
penyebab kematian pada pasien OSAS. Keadaan tersebut dapat
berkembang menjadi kor pulmonal. Prevalens hipertensi pulmonal pada
anak dengan OSAS tidak diketahui. Brouilette dkk melaporkan bahwa kor
pulmonale terjadi pada 55% dari 22 anak dengan OSAS, sedangkan
Guilleminault dkk melaporkan adanya gagal kardiorespiratorik
(cardiorespiratory failure) pada 20% dari 50 pasien.

d. Enuresis

Dapat disebabkan oleh adanya kelainan regulasi hormon yang


mempengaruhi cairan tubuh. Enuresis, khususnya yang sekunder, dapat
membaik setelah obstruksi saluran respiratorik-atas teratasi.

e. Penyakit respiratorik

Pasien OSAS cenderung mengalami aspirasi sekret dari saluran


respiratorik atas, sehingga dapat mengakibatkan kelainan respiratorik
bawah dan memungkinkan terjadinya infeksi respiratorik. Keadaan ini
dapat membaik setelah dilakukan tonsilektomi dan/atau adenoidektomi.
Beberapa anak dengan tonsil yang besar mengalami disfagia atau sering
merasa tercekik, dan berisiko mengalami aspirasi.

23
f. Gagal napas dan kematian

Berdasarkan laporan kasus, gagal napas dapat terjadi pada pasien


dengan OSAS berat atau akibat komplikasi perioperatif.

12.11 Prognosis

Prognosis jangka pendek, dalam hubungannya dengan gejala seperti rasa


kantuk di siang hari (daytime sleepiness) dan mengorok, bervariasi mulai dari
baik sampai baik sekali dengan terapi menggunakan CPAP (Continous Positive
Airway Pressure). Beberapa penelitian menunjukkan kemajuan yang signifikan
setelah terapi menggunakan CPAP selama 4-8 minggu. Porgnosis jangka
panjang belum diketahui karena belum ada penelitian yang mengkaji efek
terapi CPAP dalam pencegahan perkembangan penyakit.5

Mortalitas pada OSA berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya


penyakit kardiovaskular, khususnya karena infark miokard dan stroke.
Peningkatan mortalitas terutama terjadi pada pasien yang mengalami desaturasi
oksigen paling banyak saat tidur. OSA merupakan risiko independen untuk
munculnya penyakit kardiovaskular dan kematian. pada saat ini tidak ada
penelitian yang dapat menjelaskan pengaruh CPAP dalam mencegah potensi
terjadinya gangguan kardiovaskular.5

Pasien OSA dilaporkan 2-7 kali lebih berisiko untuk mengalami


kecelakaan kendaraan bermotor. Memprediksi risiko kecelakaan pada pasien
OSA sulit karena banyak pasien dengan OSA tidak dapat menilai dengan
akurat tingkat kengantukan mereka. Belum ada juga bukti yang menunjukkan
penggunaan driving-simulator sebagai indikator yang dapat menggambarkan
kemampuan menyetir yang sebenarnya.5

24
BAB III

KESIMPULAN

Obstructive Sleep Apnea (OSA), sering juga disebut sebagai


Obstructive Sleep Apnea Hypopnea (OSAH), adalah suatu gangguan tidur yang
melibatkan penghentian atau penurunan yang signifikan dari aliran udara
dalam proses bernapas. Hal ini merupakan tipe gangguan pernafasan tidur yang
paling sering terjadi dan memiliki karakteristik kolapsnya saluran nafas bagian
atas sewaktu tidur secara rekuren.

Gejala utama dari apnea saat tidur (sleep apnea) adalah 3 S (Snoring,
Sleppiness, Significant other report of sleep apnea episodes). Mnemonik ini
terbukti dapat membantu mengedukasi masyarakat untuk lebih sensitif dalam
mengenali penyakit ini. Pada pemeriksaan fisis dapat terlihat pernafasan
melalui mulut, adenoidal facies, midfacial hypoplasia, retro/mikrognasi atau
kelainan kraniofasial lainnya, obesitas, gagal tumbuh, stigmata alergi misalnya
alergic shiners atau lipatan horizontal hidung.

Cara definitif untuk menegakkan diagnosis OSAS dengan pemeriksaan


polisomnografi pada saat tidur. Polisomnografi merupakan pemeriksaan baku
emas untuk menegakkan diagnosis OSAS.

Tatalaksana OSAS pada anak dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
tindakan bedah dan medis (non bedah). Tindakan bedah yang dilakukan adalah
tonsilektomi dan/atau adenoidektomi dan koreksi terhadap disproporsi
kraniofasial, sedangkan terapi medis dapat berupa diet pada anak dengan
obesitas dan pemakaian nasal CPAP (Continuous Positif Airway Pressure ).

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Motamedi KK, McClary AC, Amedee RG. Obstructive Sleep Apnea: A


Growing Problem. The Ochsner Journal. 2009;9:149-153. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3096276/

2. Spicuzza L, Caruso D, Di Maria G. Obstructive sleep apnoea syndrome


and its management. Ther Adv Chronic Dis. 2015;6(5):273-85. DOI:
10.1177/2040622315590318. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4549693/

3. Gharibeh T, Mehra R. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: natural


history, diagnosis, and emerging treatment options. Nature and Science
of Sleep.2010;2:233-55. DOI: 10.2147/NSS.S6844. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3630950/

4. Bergeron C, Kimoff J, Hamid Q. Obstructive sleep apnea syndrome and


inflammation. J Allergy Clin Immunol. 2005;116(6):1393-6.
DOI: https://doi.org/10.1016/j.jaci.2005.10.008 Available at:
http://www.jacionline.org/article/S0091-6749(05)02262-1/fulltext

5. Downey R. Obstructive Sleep Apnea. Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/295807-overview#a2.

6. Gharibeh T, Mehra R. Obstructive Sleep Apnea Syndrome: natural


history, diagnosis, and emerging treatment options. Nature and Science
of Sleep.2010;2:233-55. DOI: 10.2147/NSS.S6844. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3630950/

7. Neil AM, Angus SM, Sajkov D. Effects of sleep posture on upper


airway stability in patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir
Crit Care Med 1997; 155:199204.

26
8. Laks L, Lehrhaft B, Grunstein RR. Pulmonary artery pressure response
to hypoxia in sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1997; 155:193-8.
17.
9. Entzian P, Linnemann K. Schlaak M. Obtructive sleep apnea syndrome
and circadian rhytms of hormones an cytokines. Am J Respir Crit Care
Med 1996; 153:1080-6. 20.
10. Obstructive Sleep Apnea Differential Diagnoses [Internet]. California:
American Academy of Sleep Medicine; 2018 Jan 09 [cited 2018 April
09]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/295807-
differential
11. Ryan CF, Love LL. Mechanical properties of the velopharynx in obese
patients with obstructive sleep apnea. Am J Respir Crit Care Med 1996;
154:806-12.
12. Teschler H, Jones MB, Thomson AB, dkk. Automated continuo
positive airway pressure titration for obstructive sleep apnea syndrome.
Am J Respir Crit Care Med 1996; 154:734-40.
13. Levy P, BettegaG, Pepin JL. Surgical management options for snoring
and sleep apnoea. Dalam: McNicholas WT, penyunting. Respiratory
disorders during sleep. United Kingdom, ERS J Ltd; 1998. h. 205-26.
14. Montserrat JM, Ballester E, Hernands L. Overview of management
options for snoring and sleep apnoea. Dalam: McNicholas WT,
penyunting. Respiratory disorders during sleep. United Kingdom, ERS
J Ltd; 1998. h. 144-78.
15. Smith RS, Ronald J, Delaive K, Walld R, Manfreda J, Kryger MH.
What are obstructive sleep apnea patients being treated for prior to this
diagnosis?. Chest 2002; 121:164-72.

27

Anda mungkin juga menyukai