Anda di halaman 1dari 13

TUGAS DISKUSI REQUIREMENT IBM

KELOMPOK 2 – GROUP 2 ANGKATAN 2014

Oleh:

Ni Wayan Florina Warashanti 1802642003

Putu Cita Anindika Restudiva 1802642016

Made Yuni Astari 1802642027

I Gusti Agung Ayu Anjani K.D. 1802642033

DEPARTEMEN ILMU BEDAH MULUT

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI

DOKTER GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2021

1
1. Perubahan Pola Pernapasan
Bernapas adalah kebutuhan dasar manusia demi pemenuhan oksigen
yang memadai (adekuat). Pada keadaan normal frekuensi pernapasan normal
pada orang dewasa adalah sekitar 12-16 kali per menit. Bila sedang
melakukan aktivitas berat, tingkatnya bisa meningkat sampai 45 kali napas
per menit dengan irama teratur serta inspirasi lebih panjang dari ekspirasi.
Perubahan pola napas dapat menjadi penanda terjadi abnormalitas di dalam
tubuh. Pernapasan normal disebut eupneu, perubahan pola napas dapat berupa
hal –hal sebagai berikut.
a. Dispnea, yaitu kesulitan bernapas.
Dispnea merupakan istilah medis untuk sesak napas. Tanda-
tandanya adalah: sesak napas setelah beraktivitas atau akibat kondisi
medis tertentu, merasa seperti tercekik karena sulit bernapas, napas
sesak, dada terasa sesak, pernapasan cepat dan pendek, mengi, dan
batuk.
Penyebab dispnea yang paling sering adalah asma, gagal jantung,
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), penyakit paru interstisial,
pneumonia, dan masalah psikogenik yang umumnya berkaitan dengan
kecemasan. Dispnea bisa bersifat akut (muncul tiba-tiba) maupun
kronis (sudah berlangsung selama berulan-bulan).
Penyebab dispnea akut bisa berupa asma, kecemasan, tersedak atau
menghirup sesuatu yang menghalangi jalan napas, alergi, anemia,
paparan tingkat karbon monoksida yang berbahaya, gagal jantung,
tekanan darah rendah (hipotensi), paru-paru kolaps, hernia hiatus, serta
sering dialami pada orang-orang dengan kondisi terminal (tidak punya
harapan sembuh).
Pada dispnea kronis, penyebabnya adalah asma, PPOK, masalah
jantung, obesitas, dan fibrosis paru interstisial. Beberapa penyebab lain
pemicu dispnea termasuk cedera traumatis di pari, kanker paru,
tuberkulosis, kardiomiopati, dan gangguan irama jantung (Bararah &
Jauhar, 2013).

2
b. Apneu, yaitu tidak bernapas atau berhenti bernapas.
c. Takipneu, pernapasan yang lebih cepat dari normal.
Takipnea adalah peningkatan frekuensi pernapasan. Orang dengan
takipnea akan bernapas lebih cepat untuk menjaga oksigen yang
mengalir ke tubuh tetap seimbang. Penyebab takipnea paling umum
adalah kekurangan oksigen atau terlalu banyak karbon dioksida dalam
tubuh. Penyebab takipnea bisa dilihat secara fisiologis maupun
patologis.
Penyebab fisiologis merupakan bentuk respons normal tubuh
terhadap kondisi tertentu, yang meliputi: ketidakseimbangan antara gas
pernapasan dalam tubuh, ketidakseimbangan asam basa dalam tubuh,
dan demam. Pada kondisi ini, takipnea bukan sesuatu yang abnormal,
tapi lebih pada bagaimana tubuh mengompensasi ketidaknormalan
yang sedang terjadi agar tetap seimbang (homeostasis).
Pada penyebab patologis, berarti ada penyakit yang mendasarinya,
bisa berkaitan dengan paru-paru, jantung, hiperventilasi, asidosis
metabolik, sistem saraf pusat, dan konsumsi obat-obatan. Contohnya
adalah PPOK, asma, pneumonia, gagal jantung, anemia, hiperventilasi
akibat rasa sakit atau kecemasan, ketoasidosis diabetik, ensefalopati
hepatik, tumor otak, hingga penggunaan obat-obatan seperti aspirin,
stimulan, dan mariyuana (Bararah & Jauhar, 2013).
d. Bradipneu, pernapasan lebih lambat dari normal.
Bradipnea adalah kondisi napas yang lebih lambat dari biasanya,
akibat tubuh tidak mendapat suplai oksigen yang cukup. Pada orang
dewasa dengan bradipnea, tingkat pernapasan mereka bisa di bawah 12
napas per menit. Kondisi ini bisa terjadi baik saat seseorang tidur
maupun terjaga.
Bradipnea bisa menjadi tanda kondisi yang dapat memengaruhi
metabolisme, atau masalah lainnya seperti sleep apnea, keracunan
karbon monoksida, dan overdosis obat-obatan. Gejala bradipnea
meliputi rasa seperti mau pingsan, pusing, kelelahan, kebingungan,

3
koordinasi tubuh yang buruk, nyeri dada, dan masalah memori
(Bararah & Jauhar, 2013).
e. Cheyney-stokes
Pernapasan Cheyne Stokes ditandai dengan terjadinya percepatan
pernapasan mendalam secara bertahap, sebelum kemudian terjadi
perlambatan dan semakin dangkal. Pola pernapasan ini kemudian
diikuti periode apnea, di mana pernapasan berhenti untuk sementara.
Siklus tersebut terus berulang dengan sendirinya.Cheyne Stokes dapat
terjadi kapan saja, tapi lebih sering dialami ketika tidur. Kondisi ini
biasanya berkaitan dengan gagal jantung atau stroke, serta mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi berat, seperti tumor otak, cedera otak
traumatis, radang otak, atau edema paru kronis. Tipe pernapasan ini
sering dialami oleh orang yang sekarat. Hal ini mungkin dikarenakan
Cheyne Stokes merupakan upaya alami tubuh untuk mengimbangi
perubahan tingkat karbon dioksida di dalam tubuh (Bararah & Jauhar
2013).
f. Kussmaul
Pernapasan dengan panjang ekspirasi dan inspirasi sama, sehingga
pernapasan menjadi lambat dan dalam. Sama halnya dengan Cheyne
Stokes, Kussmaul merupakan jenis pernapasan abnormal yang ditandai
dengan percepatan pernapasan dan napas menjadi sangat dalam.
Namun, bedanya dengan Cheyne Stokes adalah tipe pernapasan
Kussmaul tidak disertai perlambatan pernapasan atapun apnea.
Pernapasan Kussmaul sering kali disebabkan oleh ketoasidosis
diabetik stadium akhir dan bisa terjadi pada penderita gagal ginjal
kronis.
g. Biot, adalah pernapasan dalam dan dangkal disertai masa apneu
dengan periode yang tidak teratur (Bararah & Jauhar 2013).
h. Hiperventilasi
Hiperventilasi juga termasuk dalam macam-macam pernapasan
abnormal. Kondisi ini ditandai dengan bernapas dalam-dalam dan
terlalu cepat. Hiperventilasi menyebabkan kadar oksigen dalam darah

4
meningkat dan rendahnya kadar karbon dioksida. Kondisi ini juga
termasuk salah satu variasi dalam pola pernapasan pada Cheyne
Stokes.Beberapa kemungkinan penyebab hiperventilasi meliputi
kecemasan, stres, serangan panik, perdarahan yang berlebihan,
penyakit jantung, atau penyakit paru-paru seperti asma.Untuk
menangani hiperventilasi, seseorang bernapas dapat pada kantong
kertas, menutup mulut dan hidung dengan telapak tangan untuk
membatasi banyaknya udara yang dihirup atau untuk menghirup
kembali karbon dioksida yang dikeluarkan (Bararah & Jauhar 2013).
i. Hipoventilasi
Jenis pernapasan hipoventilasi adalah pernapasan yang terlalu lambat
atau terlalu dangkal. Kondisi ini dapat menyebabkan kadar oksigen
dalam darah rendah dan kadar karbon dioksida tinggi. Hipoventilasi
dapat disebabkan masalah paru-paru, seperti emfisema, fibrosis kistik,
atau bronkitis (Bararah & Jauhar 2013).

2. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
asupan zat gizi dari makanan dengan kebutuhan zat gizi yang diperlukan
untuk metabolisme tubuh. Setiap individu membutuhkan asupan zat gizi yang
berbeda antarindividu, hal ini tergantung pada usia orang tersebut, jenis
kelamin, aktivitas tubuh dalam sehari, dan berat badan.
a. Hubungan Status Gizi dengan Kerja Obat Anestesi
Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan interaksi obat dengan
reseptornya, efek ini tergantung pada jumlah obat yang terangkut oleh
protein plasma (albumin) dan jumlah ambilan oleh reseptor pada target
organ. Penelitian membuktikan bahwa ada hubungan antara efek
farmakologik obat dengan kadarnya yang terikat dalam plasma atau
serum. Kadar obat dalam plasma tidak hanya ditentukan oleh dosis obat
tetapi juga oleh faktor-faktor farmakokinetik seperti jumlah dan kecepatan
absorpsi, transportasi, dan distribusi pada reseptornya, metabolisme obat,
dan ekskresi obat (Gholami,2006).

5
Menurunnya status gizi, khususnya tergambar pada turunnya kadar
protein plasma dapat mempengaruhi farmakokinetik obat. Asupan energi-
protein yang tidak adekuat, adanya malnutrisi energi protein, dan
hipoalbuminemia dapat mengakibatkan absorpsi dan transportasi obat ke
target organ tidak efektif. Mekanisme terjadinya efek samping sendiri
disebabkan turunnya albumin yang berikatan dengan metabolit (obat)
yang menyebabkan kadar obat dalam darah meningkat sehingga kadar
obat bebas dalam meningkat menyebabkan kadar terapetik dalam obat
melebihi kadar toksik obat yang menimbulkan efek samping obat.
b. Hubungan Status Gizi dengan Proses Penyembuhan Luka
Status gizi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung
terhadap keadaan kesehatan seseorang yang dipengaruhi oleh konsumsi
makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh baik kuantitas
maupun kualitasnya. Apabila zat giziyang dibutuhkan tidak cukup akan
mempengaruhi proses penyembuhan luka, menaikkan kepekaan terhadap
infeksi, menyumbang peningkatan insiden komplikasi dan akan
mengakibatkan perawatan yang lebih lama. Status gizi kurang, terjadi bila
tubuh mengalami kekurangan satuatau lebih zat-zat gizi esensial secara
terus menerus dalam waktu yang lama (Said, 2013).
Kekurangan gizi terutama protein sangat berpengaruh terhadap
proses penyembuhan luka. Protein diperlukan untuk penyembuhan luka
dan untuk membangun kembali berbagai jaringan tubuh yang mengalami
perubahan setelah menjalani tindakan pembedahan. Sumber protein dapat
diperoleh dari protein hewani dan protein nabati. Protein hewani
merupakan protein sempurna yaitu protein yang mengandung asam amino
esensial lengkap. Sedangkan protein nabati merupakan jenis protein tidak
sempurna karena tidak mengandung asam amino esensial atau kandungan
asam amino esensialnya sangat rendah sehingga dinilai tidak dapat
menjamin berbagai keperluan pertumbuhan dan mempertahankan
kehidupan berbagai jaringan pada tubuh. Protein hewani antara lain
terdapat pada telur, daging, ikan, udang, susu, dan keju. Sedangkan protein

6
nabati banyak terkandung dalam tahu, tempe, kacang-kacangan, jagung
dan lain-lain (Said, 2013).
Status gizi orang dewasa dapat ditentukan dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI), khususnya yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Masalah kekurangan dan
kelebihan gizi pada dewasa (diatas 18 tahun) merupakan masa penting,
karena selain mempunyai resiko penyakit tertentu, juga dapat
mempengaruhi produktifitas kerjanya. IMT dipercayai dapat menjadi
indikator atau menggambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang.
Lemak memiliki peran penting dalam struktur dan fungsi membran sel.
Peran asam lemak dalam penyembuhan luka masiih belum begitu
dimengerti, tetapi diketahui bahwa lemak berperan untuk sintesis sel
tubuh. Kekurangan lemak tubuh dapat menunda penyembuhan luka, akan
tetapi pasien yang gemuk atau kelebihan lemak dalam tubuh/jaringan
dapat meningkatkan resiko infeksi pada luka karena suplai darah jaringan
adiposa tidak adekuat (Nurwahyuninati,2016).
Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses
penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen dan
leukosit. Ketika luka terinfeksi, respon inflamasi berlangsung lama dan
penyembuhan luka terlambat. Pada orang-orang yang gemuk
penyembuhan luka lambatkarena suplai darah jaringan adipose tidak
adekuat danjaringan lemak lebih sulit menyatu, dan lama untuk sembuh
(Yusuf, 2014). Jaringan lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat
untuk menahan infeksi bakteri dan mengirimkan nutrisi dan elemen-
elemen seluler untuk penyembuhan. Apabila jaringan yang rusak tersebut
tidak segera mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan maka proses
penyembuhan luka juga akan terhambat (Rusjianto,2009).

3. Sindrom Frey
A. Definisi
Sindrom Frey yang juga dikenal sebagai sindrom Baillarger,
sindrom auriculotemporal, sindrom Dupuy, atau hiperhidrosis gustatory,

7
merupakan disfungsi saraf aurikulotemporal. Sindrom Frey adalah
kondisi yang jarang terjadi, tetapi merupakan sekuel umum dari tindakan
parotidektomi. Sindrom ini ditandai dengan adanya keringat, kemerahan
pada kulit dan rasa sakit yang berhubungan pada saat makan (Gillespie,
2018).
Laporan kasus pertama sindrom Frey adalah pada tahun 1853 oleh
Dr. Jules Baillarger yang melakukan insisi dan drainase pada dua pasien
yang mengalami abses parotis. Setelah tindakan tersebut, kedua pasien
mengalami berkeringat pada wajah selama makan. Namun pada saat itu,
Dr. Jules Baillarger salah mengartikan cairan yang dihasilkan sebagai
saliva yang meluap melalui kulit karena ductus Stenson tersumbat. Baru
pada tahun 1923, deskripsi pertama yang akurat dari sindrom Frey
diberikan oleh Dr. Lucja Frey seorang dokter di Polandia. Dr. Lucja Frey
menjelaskan seorang pasien wanita usia 25 tahun yang mengalami luka
tembak di daerah parotis dengan keluhan muka memerah dan berkeringat
5 bulan setelahnya, kemudian secara akurat mengidentifikasi persarafan
otonom kelenjar parotid dan saraf aurikulotemporal sebagai hubungan
antara stimulasi gustatori dan produksi keringat wajah. Terakhir, pada
tahun 1932 Dr.Peter Bassoe melaporkan kasus pertama sindrom Frey
setelah tindakan parotidektomi yang sejak saat itu diterima sebagai
penyebab paling umum dari sindrom Frey (Young, 2020).
B. Etiologi
Pada orang dewasa, sindrom Frey biasanya terjadi disertai dengan
cedera saraf aurikulotemporal sekunder dari tindakan bedah atau trauma di
daerah parotis. Sindrom Frey dapat terjadi jika saraf aurikulotemporal
proksimal cabang parotis atau cabang parotis itu sendiri mengalami cedera
(Young, 2020).
Neoplasma kelenjar saliva terdiri dari 3-10% dari semua tumor
kepala dan leher, dengan insidensi 86% tumor terletak di kelenjar parotis.
Parotidektomi adalah perawatan lini pertama pada pasien neoplasma
kelenjar saliva dan penyebab paling umum dari sindrom Frey pada orang
dewasa. Tumor parotis yang lebih besar akan dikaitkan dengan diseksi

8
yang lebih luas, kerusakan dan eksposur serabut saraf parasimpatis lebih
luas sehingga menghasilkan risiko sindrom Frey yang lebih tinggi (Young,
2020).
Selain parotidektomi, penyebab lain dari sindrom Frey termasuk
trauma langsung pada daerah parotis, fraktur kondilus mandibula, fraktur
sendi temporomandibular, infeksi, eksisi kelenjar submandibula dan
diseksi leher radikal (Young, 2020).
Pada anak-anak, sindrom Frey kurang umum terjadi namun dapat
terjadi selama masa awal bayi tanpa riwayat bedah sebelumnya atau
karena trauma pasca kelahiran. Gejala biasanya terjadi sekitar usia 5 bulan
dan dapat salah didiagnosis sebagai alergi makanan karena terjadi
bersamaan dengan diversifikasi makanan (Young, 2020).
C. Patofisiologi
D. Manifestasi Klinis
Gejala sindrom Frey dapat mencakup kemerahan, berkeringat,
sensasi terbakar, neuralgia dan gatal. Umumnya, gejalanya ringan tetapi
dapat mengakibatkan ketidaknyamanan serta kecemasan dan penghindaran
social (Motz, 2016). Pasien dengan sindrom Frey sering memiliki riwayat
pembedahan parotis sebelumnya, bedah leher, trauma atau infeksi pada
daerah parotis, meskipun kejadian idiopatik juga bisa terjadi. Gejala yang
dialami terjadi setelah ada stimulus gustatori terutama dengan makanan
asam dan pedas. Gejala dapat muncul dalam hitungan minggu, bulan, atau
bahkan bertahun-tahun setelah cedera awal. Pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan tanda-tanda intervensi bedah sebelumnya atau trauma daerah
parotis (Young, 2020).

9
Gambar 1. Observasi pada pasien sindroma Frey. Produksi keringat terjadi
pada regio kiri preauricular setelah stimulus gustatory (Kamath, 2013)

E. Penegakkan Diagnosa
Diagnosis sindrom Frey didasarkan pada riwayat klinis, tetapi
untuk mengkonfirmasi dapat dilakukan dengan uji minor pati-yodium
(Minor starch-iodine test) (Motz, 2016). Secara historis, sindrom Frey
didiagnosis klinis dengan kuesioner yang terstandarisasi berdasarkan
keluhan atau gejala dari pasien. Namun saat ini, metode objektif minor
pati-yodium dianggap sebagai metode pemeriksaan yang memiliki
sensitivitas lebih tinggi untuk mengkonfirmasi sindrom Frey (Young,
2020).
Pada uji minor pati-yodium, larutan yodium dioleskan ke kulit dan
dibiarkan kering, setelah itu tepung pati di tempatkan di permukaan
daerah yang terlibat. Setelah itu diberikan stimulus gustatori (Young,
2020). Ketika keringat bereaksi dengan yodium, pati akan berubah
menjadi coklat (Motz, 2016).

10
Gambar 2. Pemeriksaan minor pati-yodium (Gillespie, 2018)
F. Diagnosa Banding
 Alergi makanan
Pada anak-anak, sindrom Frey dapat muncul pada awal masa bayi
bersamaan dengan diversifikasi makanan dan disalahartikan sebagai
alergi makanan. Hal ini dapat dibedakan dari alergi terutama jika ada
riwayat penting pada persalinan pervagina,, onset cepat setelah
makan dibandingkan dengan reaksi alergi, kejadian dengan makanan
tertentu (manis dan asam) tidak terkait dengan alergen yang umum,
pemulihan cepat tanpa pengobatan, lokasi spesifik dan persisten, dan
tidak ada gejala aktopik lainnya (Young, 2020).
 Hiperhidrosis umum
Hiperhidrosis primer adalah gangguan otonom yang mempengaruhi
0,6 – 1% dari populasi. Sebagian besar kasus memiliki etiologi yang
tidak diketahui dan pasien biasanya datang dengan keluhan produksi
keringat bilateral dan simetris yang berlebihan setidaknya selama 6
bulan. Hiperhidrosis sekunder dapat disebabkan oleh obat-obatan,
racun, disfungsi tiroid, disfungsi hipofisis, gangguan metabolism,
keganasan, gangguan saraf pusat, atau kelainan bawaan (2020)
 Hiperhidrosis kompensasi sebagai komplikasi setelah simpatektomi
toraks
Simpatektomi awalnya dilakukan untuk mengobati hyperhidrosis
primer tetapi dapat mengakibatkan gangguan fungsi termoregulasi
sistem saraf simpatis. Hal ini menyebabkan produksi keringat yang
tidak terkontrol di area yang tidak diobati (Young, 2020).

11
 Crocodile tears syndrome
Sindrom ini memiliki gejala adanya produksi air mata saat diberi
stimulus gustatori. Hal ini umumnya terkait dengan Bell’s palsy,
sindrom Duane, dan trauma. Teori yang mendasari adalah bahwa
kerusakan serabut saraf fasialis dan glosofaringeal menyebabkan
regenerasi saraf yang menyimpang dari serabut saraf sekremotor
parasimpatis dan postganglionic di sepanjang petrosus superfisial
mayor yang menginervasi lakrimal (Young, 2020).
 Rhinorrhea gustatory
Rhinorrea gustatory memiliki etiologi yang sama dengan Crocodile
tears syndrome. Setelah trauma, serabut sekremotor parasimpatis
postganglionik yang menginervasi parotis mengalami regenerasi
menyimpang dan tumbuh di sepanjang saraf petrosus superfisialis
mayor dan saraf Vidian yang tidak hanya menginervasi kelenjar
lakrimal saja tetapi juga kelenjar mukosa hidung dan palatina. Hal
ini menyebabkan pasien datang dengan rhinorrhea unilateral ketika
diberikan stimulus gustatori (Young, 2020).
G. Perawatan
H. Prognosis
4. Nervus Facialis

DAFTAR PUSTAKA

Bararah, T dan Jauhar, M. 2013. Asuhan Keperawatan Panduan Lengkap Menjadi


Perawat Profesional. Jakarta : Prestasi Pustakaraya
Gillespie MB, Walfekar RR, Schaitkin BM, Eisele DW. 2018. Gland Preserving
Salivary Surgery: a Problem-Based Approach. Springer International
Publishing : Switzerland
Gholami K., Kamali E., Hajiabdolbagh Mi., Shalviri G., 2006, Evaluation of anti-
tuberculosis induced adverse reactions in hospitalized patients. Pharmacy
Practice 2006; 4(3): 134-138.

12
Kamath AD, Bharani S, Prabhakar S. 2013. Frey’s Syndrome Consequent to an
Unusual Pattern of Temporomandibular Joint Dislocation: Case Report
with Review of Its Incidence and Etiology. Journal Craniomaxillofacial
Trauma and Reconstruction (6): 1-7
Motz KM, Young JK. 2016. Auriculotemporal Syndrome (Frey Syndrome).
Otoloaryngol Clin North Am. 49(2): 501-209
Nurwahyuninati D, Aini F, Siswanto Y. Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Penyembuhan Luka Post Operasi Laparotomi di Ruang Rawat
InapRSUD Tugurejo Semarang (Skripsi). Semarang:STIKES Ngudi
Waluyo Ungaran;2016.
Rusjianto. Pengaruh Pemberian Suplemen Seng (Zn) Dan Vitamin C Terhadap
Kecepatan Penyembuhan Luka Pasca Bedah di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Sukoharjo.Jurnal Kedokteran Indonesia. 2009;1(1)
Said S, Taslim NA, Bahar B. Gizi dan Penyembuhan Luka.Jakarta:EGC;2013.
Young A, Okuyemi OT. Frey Syndrome. [Updated 2020 Aug 20]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562247/
Yusuf NA. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penyembuhan
Luka Post Appendectomy Di Rsud Prof. Dr. Aloei Saboe Kota
Gorontalo(Skripsi). Gorontalo: Universitas NegeriGorontalo;2014.

13

Anda mungkin juga menyukai