GANGGUAN OKSIGENASI
DI SUSUN OLEH :
NIM : 202111025
2. Etiologi
Berikut ini penyebab dari gangguan kebutuhan oksigenasi, antara lain: (Iqbal,
Wahit Mubarak .2019. Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta : EGC)
1. Faktor Fisiologis
a. Penurunan kapasitas angkut O2
Secara fisiologis, daya angkut hemoglobin untuk membawa O2 ke jaringan adalah
97%. Akan tetapi, nilai tersebut dapat berubah sewaktu-waktu apabila terdapat
gangguan pada tubuh. Misalnya, pada penderita anemia atau pada saat yang terpapar
racun. Kondisi tersebutdapat mengakibatkan penurunan kapasitas pengikatan O2.
b. Penurunan Konsentrasi O2 Inspirasi
Kondisi ini dapat terjadi akibat penggunaan alat terapi dan penurunan kadar O2
inspirasi.
c. Hipovolemik
Kondisi ini disebabkan oleh penurunan volume sirkulasi darah akibat kehilangan
cairan ekstraselular yang berlebihan.
d. Peningkatan Laju Metabolik
Kondisi ini dapat terjadi pada kasus infeksi dan demam yang terus-menerus yang
mengakibatkan peningkatan laju metabolik. Akibatnya, tubuh mulai memecah
persediaan protein dan menyebabkan penurunan massa otot.
e. Kondisi Lainnya
Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada, seperti kehamilan, obesitas,
abnormalitas musculoskeletal, trauma, penyakit otot, penyakit susunan saraf,
gangguan saraf pusat dan penyakit kronis
2. Faktor perkembangan
a. Bayi prematur
Bayi yang lahir prematur berisiko menderita penyakit membran hialin yang ditandai
dengan berkembangnya membran serupa hialin yang membatasi ujung saluran
pernafasan. Kondisi ini disebabkan oleh produksi surfaktan yang masih sedikit
karena kemampuan paru menyintesis surfaktan baru berkembang pada trimester
akhir.
b. Bayi dan anak-anak
Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
faringitis, influenza, tonsilitis, dan aspirasi benda asing (misal: makanan, permen dan
lain-lain).
c. Anak usia sekolah dan remaja
Kelompok usia ini berisiko mengalami infeksi saluran napas akut akibat kebiasaan
buruk, seperti merokok.
d. Dewasa muda dan paruh baya
Kondisi stress, kebiasaan merokok, diet yang tidak sehat, kurang berolahraga,
merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan paru pada
kelompok usia ini.
e. Lansia
Proses penuaan yang terjadi pada lansia menyebabkan perubahan fungsi normal
pernafasan, seperti penurunan elastis paru, pelebaran alveolus, dilatasi saluran
bronkus dan kifosis tulang belakang yang menghambat ekspansi paru sehingga
berpengaruh pada penurunan kadar O2.
3. Faktor Perilaku
a. Nutrisi
Kondisi berat badan berlebih (obesitas) dapat menghambat ekspansi paru, sedangkan
malnutrisi berat dapat mengakibatkan pelisutan otot pernapasan yang akan
mengurangi kekuatan kerja pernapasan.
b. Olahraga
Latihan fisik akan meningkatkan aktivitas metabolik, denyut jantung dan kedalaman
serta frekuensi pernapasan yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen.
c. Ketergantungan zat adiktif
Penggunaan alkohol dan obat-obatan yang berlebihan dapat mengganggu oksigenasi.
Hal ini terjadi karena :
1) Alkohol dan obat-obatan daoat menekan pusat pernapasan dan susunan saraf
pusat sehingga mengakibatkan penurunan laju dan kedalaman pernapasan.
2) Penggunaan narkotika dan analgesik, terutama morfin dan meperidin, dapat
mendepresi pusat pernapasan sehingga menurunkan laju dan kedalaman
pernafasan.
d. Emosi
Perasaan takut, cemas dan marah yang tidak terkontrol akan merangsang aktivitas
saraf simpatis. Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan denyut jantung dan
frekuensi pernapasan sehingga kebutuhan oksigen meningkat. Selain itu, kecemasan
juga dapat meningkatkan laju dan kedalaman pernapasan.
e. Gaya hidup
Kebiasaan merokok dapat memengaruhi pemenuhan kebutuhan oksigen seseorang.
Merokok dapat menyebabkan gangguan vaskulrisasi perifer dan penyakit jantung.
Selain itu nikotin yang terkandung dalam rokok bisa mengakibatkan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer dan koroner.
4. Faktor Lingkungan
a. Suhu
Faktor suhu dapat berpengaruh terhadap afinitas atau kekuatan ikatan Hb dan O2.
Dengan kata lain, suhu lingkungan juga bisa memengaruhi kebutuhan oksigen
seseorang.
b. Ketinggian
Pada dataran yang tinggi akan terjadi penurunan pada tekanan udara sehingga
tekanan oksigen juga ikut turun. Akibatnya, orang yang tinggal di dataran tinggi
cenderung mengalami peningkatan frekuensi pernapasan dan denyut jantung.
Sebaliknya, pada dataran yang rendah akan terjadi peningkatan tekanan oksigen.
c. Polusi
Polusi udara, seperti asap atau debu seringkali menyebabkan sakit kepala, pusing,
batuk, tersedak, dan berbagai gangguan pernapasan lain pada orang yang
menghisapnya. Para pekerja di pabrik asbes atau bedak tabur berisiko tinggi
menderita penyakit paru akibat terpapar zat-zat berbahaya.
3. Manifestasi Klinik
Adanya penurunan tekanan inspiras/ekspirasi menjadi tanda gangguan oksigenasi.
Penurunan ventilasi permenit, penggunaaan otot nafas tambahan untuk bernafas,
pernafasan nafas flaring (nafas cuping hidung), dispnea, ortopnea, penyimpangan dada,
nafas pendek, posisi tubuh menunjukan posisi 3 poin, nafas dengan bibir, ekspirasi
memanjang, peningkatan diameter anterior-posterior, frekuensi nafas kurang, penurunan
kapasitas vital menjadi tanda dan gejala adanya pola nafas yang tidak efektif sehingga
menjadi gangguan oksigenasi (standar Diagnosis keperawatan, 2017). Beberapa tanda
dan gejala kerusakan pertukaran gas yaitu takikardi, hiperkapnea, kelelahan, somnolen,
iritabilitas, hipoksia, kebingungan, AGD abnormal, sianosis, warna kulit abnormal
(pucat, kehitam-hitaman), hipoksemia, hiperkarbia, sakit kepala ketika bangun, abnormal
frekuensi, irama dan kedalaman nafas. (Iqbal, Wahit Mubarak .2019. Kebutuhan Dasar
Manusia.Jakarta : EGC)
4. Patofisiologi
Penyakit yang Berhubungan dengan Gangguan Sistem Respirasi Organ-organ
gangguan pernapasan atas adalah nasal, sinus, paranasal, tonsil, adenoid, laring dan faring
termasuk juga nasofaring dan orofaring gangguan pernapasan atas. Gangguan pernapasan
atas minor, seperti common cold. Pada jalan napas atas yang terpenting adala.) paten
untuk bernapas efektif. Karena apabila jalan napas atas tidak paten dapat mengakibatkan
masalah akut bahkan dapat mengancam jiwa, missal dengan adanya edema laring.
Gangguan pernapasan atas dapat mempengaruhi bernapas, komunikasi, makan, menelan
dan citra tubuh, Ketika bernapas terganggu akibat pembengkakan, perdarahan, atau
akumulasi sekresi, terjadi akut dan ansietas.Asuhan keperawatan focus adalah bagaimana
mempertahankan jalan napas, mengelola nyeri, dan gejala, meningkatkan komunikasi
efektif dan memberi dukungan psikologis kepada pasien dan keluarga. Lingkungan
merupakan pajanan yang tersering pada saluran napas atas. Lingkungan membuat saluran
napas rentang terhadap kondisi infeksius dan inflamasi. Meskipun sebagian bear infeksi
dan inflamasi pernapasan atas bersifat minor tetapi komplikasi dapat terjadi. Pada dewasa
tua yang lemah, resiko merupakan masalah serius yang menyertai infeksi pernapasan atas
dapat bersifat mayor. Inflamasi rongga nasal misal rhinitis. Rinitis merupakan merupakan
inflamasi rongga nasal, rhinitis terbagi atas dua yaitu aki.") dan kronik. Rhinitis akut
sama dengan common cold sedangkan rhinitis kronik antara lain Thinitis alergi
vasomotor dan rhinitis atropi. Rhinitis atau biasa disebut demam hay yang biasa
disebabkan oleh reaksi sensivitas terhadap alergen dikarenakan serbuk tanaman.
Cenderung terjadi musiman tetapi kemungkinan besar dapat berulang kembali, Rhinitis
vasometer etiologinya belum diketahui, meskipun tanda dan gejalanya mirip bahkan
serupa dengan rhinitis alergi, hal tersebut tidak berhubungan dengan allergen. Rhinitis
atropi ditandai pada membrane mukosa rongga nasal (Priscilla Lemone, Karen M.Burke,
2015)
1. Gangguan Sistem Pernapasan Bagian Atas Infeksi pernapasan atas akibat virus
atau biasa disebut upper respiratory infection (URI) atau common cold adalah
merupakan gangguan pernapasan yang paling umum. Penyebab URI adalah virus,
rinovirus adalah penyebab umum terjadinya upper respiratory infection, Lebih dari
100 serotipe berbeda pada rinovirus telah didenifikasi, Adapun jenis-jenis virus
URI virus yang dapat menyebabkah adalah parainfluenza, respiratory syncytial
viruses (RSV), korona dan adenovirus TIRI sangat menular dan lazim pada
lingkungan sekolah dan kerja. Insides URI akut memuncak selama bulan
September dan akhir Januari, bersamaan dengan permulaan sekolah, dan juga ke
akhir April. Sebagian besar orang dewasa mengalami dua hingga empat kali cold
setiap tahun. Cold akibar RSV, koronavirus, adenovirus memuncak dimusim
dingin dan musim semi(Mccance, 2008).
a) Respiratory Syncytial Virus (RSV)
Respiratory syncytial virus yang biasa disingkat dengan RV adalah virus
umum penyebab utama terjadinya gangguan respirasi pada anak dan
merupan penyakit bawaan mulai dari bayi. Api virus ini juga dapat
penyerang orang dewa”’a maupun lansia. Pada umumnya penyakit ini
dapat berulang tetapi sifatnya ringan namun perlu dilalukan indakan yang
tepat karena dapat menyebabkan terjadinya pneumonitis berat apabila
mengalami penurunan imun. Penularan pada penyakit ini adalah melalui
tanga atau benda yang terkontaminasi dengan penyebaran droplet melalui
batuk ataupun bersin. Masa inkubasi 4-6 hari. Manifestasi RV adalah
rinorea, nyeri tenggorokan, batuk, sakit kepala, malaise, demam. Pada bayi
dapat mengakibatkan terjadinya pneumonia, bronkiolitis,
trakeobronkiolitis. Sedangkan pada orang dewasa dan lansia dapat
menyebabkan pneumonia. Terapi yang dilakukan pada orang dewasa yang
mengalami URI pada pernapasan bawah adalah simtomatik. Tindakan lain
untuk mengeluarkan sekresi adalah intubasi dan ventilasi mekanik terutama
apábila pasien mengalami hipoksia. Pasien dewasa dan lansia yang
mengalami penurunan imun disertai pneumoni R$V dapat diberikan
ribavirin melalui aerosol (virazole dan bat antivirus).Asuhan keperawatan
bersifat suportif pada pasien dewasa yang mengalami RSV adalah
penyuluhan mengenai perawatan diri, mengidenifikasi komplikasi seperti
pneumonia, sinusitis, dan mencengah penyebaran virus. Tindakan yang
dilakukan sama dengan pasien yang mengalami pneumonia,
b) Influensa
Influenza atau biasa disebut flu adalah penyakit pernapasan akibat virus
yang sangat mudah untuk menular. Tanda dan gejalanya adalah: koriza,
demam, batuk, dan gejala sistemik seperti sakit kepala serta malaise.
Influenza terjadi dalam epidemic tau pandemic meskipun kasus sporadic
juga biasa terjadi. Penyebaran virus influenza B leth ringan bahkan secara
umum kurang luas dan kurang berat daripada penyebaran virus influenza A.
Sedangkan virus influenza C lebih ringan dan sering kali tidak dikenali.
Pada juni 2019kemunculan virus influenza A H1N1. WHO
mengklasifikasikan penyebaran virus ini merupakan penyebaran pandemic
fase 6 karena dampak virus ini meningkat di Eropa bahkan virus ini resisten
Tamiflu sedangkan di Amerika Serikat virus in sensif terhadap Tamiflu.
Dan sampai dampak virus ini semakin meningkat. Pandemic berat H1N1
atau avian influenza dapat mengganggu semua aspek kehidupan. Tidak
hanya menyebabkan kesakitan berat dan kematian tetapi juga system
asuhan kesehatan yang besar. Dampaknya pada pelayanan kesehatan social,
dan penyebaran kerugian ekonomi yang sangat bear. Persiapan tingkat
lanjut yang dilakukan olen WHO dan Amerika Serikat dapat mengurangi
dampak pandemic. Masa inkubasi virus influenza 18- 72 jam, sehingga
dikatakan masa inkubasi yang sangat singkat. Virus ini langsung
menginfeksi epitel pernapasan. Sangat cepat bereplikasi pada sel yang
terinfeksi dan dilepaskan untuk menginfeksi sel yang lain. Inflamasi
menyebabkan nekrosis dan pengelupasan sel serosa dan sel silia pada
saluran napas. Hal ini menyebabkan cairan eksrtaseluluer menyusup,
terjadilah rinorea. Dengan penyembuhan, sel serosa diganti lebih cepat
daripada silia sehingga mengakibatkan batuk dan koriza yang terus terjadi.
Manifestasi sistemik influenza disebabkan oleh pelepasan mediator
inflamasi seperti nekrosis tumor, interleukin. Respon imun humoral dan
respon imun dimediasi sel di aktivasi oleh infeksi influenza dan ditambah
respon lokal dam sistemik lainnya seperti interferon (Mccance, 2008).
c) Sinusitis
Sinusitis merupakan inflamasi membrane mukosa pada satu sinus atau
lebih. Sinusitis adalah kondisi umum yang biasanya mengikuti apabila
pernah ada riwayat infeksi saluran pernapasan atas akut akibat virus atau
influenza. Penyebab sinusitis adalah virus, streptokoki, S. pneumonia,
heamophilus influenze, dan sapilokokus. Resiko lebih tinggi apabila system
imun tertekan oleh bat imunosupresif atau infeksi HIV. Apabila sinusitis
terjadi pada penderita AIDS pada umumnya sulit untuk ditangani. Sinus
paranasal adalah rongga berisi udara pada tulang wajah yang membuka
keturbinat rongga nasal. Mereka dilapisi dengan membrane mukosa silia
yang membantu memindahkan cairan mikroorganisme keluar sinus
kedalam rongga nasal. Sinus normalnya steril. Udara dalam sinus memiliki
kandungan oksigen yang lebih rendah daripada udara yang dinspirasi.
Sinusitis terjadi ketika membrane mukosa nasal membengkak atau
gangguan lain seperti adanya polip atau tumor sehingga dapat
mengobstruksi lubang sinus, mengganggu drainase. sekresi mucus
berkumpul dalam rongga sinus sehingga virus dan bakteri mudah untuk
berkembangbiak membrane mukosa nasal dan sinus tidak rusak sehingga
dapat menyebabkan patogen dapat menyebar secara umm kesinus melalui
lubang kedalam turbinate pathogen. Respon inflamasi dipicu oleh invasi
pathogen menyebabkan serum dan leukosit ke area untuk melawan infeksi
menyebabkan terjadinya peningkatan pembengkakan dan tekanan. Semua
proses yang mengganggu drainase dari sinus dapat mempresipitasi sinusitis.
Hal tersebut mencakup polip nasal, deviasi septum, rhinitis, abses gigi,
alaul trauma akibat berenang/menyelam. Sinusitis juga biasa terjadi pada
pasien yang sudah melakukan lindakan intubasi nasotrakea yang lama.
Akibat tindakan tersebut biasanva lebih dari satu sinus terinfeksi yaitu sinus
frontal, chan maksila cenderung terjadi pada orang dewasa, Sinusitis
terbagi atas dua yaitu sinusitis akut dan kronis. Sinusitis kronik terjadi
ketika sinus akut tidak: ditangani atau penanganan kurang tepat, kurang
adekuat, schingga sinusitis akut in berulang atau ada factor yang lain dapat
mengganggu saluran drainase sinus. Sehinga apabila tidak ditangant dapat
menyebabkan inleksi berkelanjatan, bakteri dapat meniadi lorisolasi vang,
menpakibatkan terjadinya sinus kronie. Apalagi pasien menpalamt
imunosuprosi. Adapun factor pemicu lainnya sinusitis kronik adalah
merokok, alergi, dan kebiasaan menggunakan spray nasal atau inhalasi
(Priscilla Lemone, Karen M.Burke, 2015).
d) Faringitis atau tonsillitis
Faringitis merupakan inflamasi akut faring yang merupakan salah satu
masalah klinis yang sering diidentifikasi. Penyebab biasanya berasal dari
virus maupun infeksi bakteri, streptoccus Beta Hemolytic Group A
(GABHS) in adalah bakteri yang paling sering menjadì penyebab terjadinya
faringitis. Tetapi slain bakteri tersebut diatas ada juga bakteri vang sering
menyebabkan faringitis adalah Neisseria Gonorhece, diplococus gram
negative yang ditularkan secara seksual, mycoplasma dan chlamydia
trachomatis. Faringitis juga dapat diakibat tetes postnasal dam rhinitis
alergi atau sebagai akibat refluks gasroesofagus ke tenggorokan. Tonsilitis
adalah inflamasi akut tonsil alatin. Tonsillitis biasanya diakibatkan infeksi
streptokokal tapi terkadang juga berasal dari virus. Inside infeksi
streptokokal tertinggi antara akhir musim gugur dan musim semi,
khususnya pada suhu dingin. Tonsils akibat virus dapat terjadi epidemic
pada orang yang tinggal di kondisi ramai. Faringitis dan tonsilitis menular
dengan droplet. Masa inkubasi beragam mulai dari berapa jam sampai
berapa hari, tergantung dari organisme. Infeksi virus menular 2-3 hari.
Gejala biasanya sembuh dari 3-10 hari setelah awitan.
Manifestasi faringitis akut adalah nyeri tenggorokan yang rasanya sangat
gatal yang mengakibatkan sulit menelan dan demam. Tetapi larinpitis
akibat streptokokus biasanya ditandai adanya awitan tiba-tiba, demam
tinggi, nyeri tenggorokan berat dengan distagia, sakit kepala, malaise, dan
sering kali arthralgia, dan myalgia dan tidak disertai batuk. Nodus lime
arterior seringkali membesar dan nyeri tekan. Bisa sampai adanya pus pada
faring dan tonsil. Seball‹nya awitan pada faringitis virus sering kali
bertahap dengan manifestasi demam rendah, nyeri tenggorokan, parau
ringan, salt kepala, dan rinoreet. Membrane tarine merah dongan Rongesti
vaskuler, mononudiposis, infeksins disepabkan olen virus Epstein-Barr,
sering kali terjadi pada faringitis akut dengan bercak eksudat yang tampak
pada faring atau tonsil. Nodus limfe servikal membesar dan juga
nyeri(Priscilla Lemone, Karen M.Burke, 2015). Pada tonsillitis tampak
berwarnah merah terang dan edema. Eksudat putih dapat terjadi pada tonsil
dengan adanya tekanan pada tonsil dapat menyebabkan drainase porulen.
Uvula juga dapat merah dan bengkak, sehinngga menyebabkan nodus
limfeonsilar nyeri dan membesar.Pasien yang mengalami tonsillitis
biasanya mengeluh nyeri tenggorokan sulit menelan, malaise pada umum,
demam dan nyeri menjalar kebagian telinga (atalgia) apabila infeksi
memanjang melalui tuba eustasius dapat menyebabkan terjadinya otitis
media. Kemungkinan dapat menyebabkan rupture gendang telinga dan
mastoid secara spontan. Manifestasi dirasakan remaja dan orang dewasa
lebih berat dibandingkan olch anakk-anak, [adi dapat dibedakan menjadi
dua manifestasi klinis faringitis dan tonsillitis yaitu lokal dan umum
Adapun tanda lokal adalah: nyeri tenggorokan. kemungkinan disfagia dan
otalgia, madus lime servikal anterior membengkak: dan yer, suara parau,
membrane mukasa faring/tonsil mombengkak sampai merah, dan
kemungkinaneksudatyang terlihat pada membrano faring dan tonsil
Sedanskan manifestasi umumnya adalah ; demam, malaise umum, dan
arthralgia dan myalgia (Priscilla Lemone, Karen M.Burke, 2015).
e) Epiglotis
Epiglottis merupakan inflamasi pada epiglottis yang tidak umum terjadi
sebagai kedaruratan medis. Penyebabnya yang paling umum adalah infeksi
H. influenzae epiglottitis ini dapat secara cepat menyebabkan selulitis yang
mulai dari dasar sampai pangkal lidah dan epiglottis,epiglottis akan
mengalami pembengkakan dan mengalami inflamasi pada jaringan yang
berdekatan dengan epiglopis dapat mendorong secara posterior. Dengan
adanya pembengkakan dan edema dapat mengancam jalan napas. Ciri khas
pada orang . dowasa mengalami nyer tenggorokan selama 1-2 hari,
odinolagia (nveri yang timbul- ketika menclan),. Dispneu dan kemungkinan
mengeluarkan air liur dan bisa sampai terjadi stridor Sebaiknya
menggunakan laringoskop filberoptik fleksibel untuk menetapkan
diagnosis. Hindarilah menggunakan bilah lidah untuk melihat orofaring
karena ini dapat menyebabkan terjadinya laringospasme dan obstruksi jalan
napas. Intubasi nasotrakea diperlukan untuk memastikan kepatenan jalan
napas. Asuhan keperawatan pada pasien epiglottis akut focus pada
memonitor dan mempertahankan jalan napas. Observasi secara tepat tanda
obstruksijalan napas, termasuk nasal faring, kegelisahan, sridor,
penggunaan otot aksesoris, dan penurunan saturasi oksigen. Bila pasien
tidak diintubasi selalu menyiapkan alat intubasi darurat di unit. Dalam
tindakan keperawatan yang utama dalah tindalkan yang tenang dan'
menenangkan (Priscilla Lemone, Karen M.Burke, 2015).
f) Laringitis
Laryngitis adalah inflamasi pada laring akibat gangguan mum yang dapat
terjadi sendiri atau bersama dengan infeksi pernapasan atas lainnya. Pada
umumnya mirip dengan URI akibat Grus influenza, bronchitis, pneumonia,
infeksi pernapasan lainnva seperti tumor, polippada pita suara. Selain itu
yang dapat menyebabkan laryngitis akut dan kronis adalah pengeluaran
suara secara berlebihan perubahan tiba-tiba pada suho, pajanan terhadap
debu. Pada umumnya terjadi pada musim dingin dan pada cuaca dingin,
cara pencegahan yang tepat adalah pengangkatan iritan yang dievaluasi
untuk mengürangi malignasi. Hindari inflamasi pada membrane mukosa
yang melapisi laring supaya pita suara tidak ikut terinfeksi yang berisiko
menyebabkan pembengkakan. Perubahan suara adalah tanda umm
terjadinya gejala utama pada laryngitis. Adapun tanda lain seperti afonia
(suara parau), kehilangan suara sempurna, tenggorokan gatal dan nyeri,
serta batuk kering dan kasar bisa juga terjadi. Pengobatan khusus laryngitis
virus belum ditemukan. Untuk sekarang in dalam penenganan laryngitis
dapat dilakukan menghindari pengeluaran shara yang berlebihan, pajanan
iritan harus di hindari. Disarankan mengistirahatkan suara seperti berhenti
merokok, hindari minum minuman beralkohol, yang bila terjadi iritan
kimia: Tindakan yang biasanya dilakukan juga dalah mengisap up ataupun
menyemprotkan tenggorokan dengan laruan antiseptic. Kerusakan
komunikasi verbal menjadi masalah utama pada pasien laryngitis, Anjurkan
pada pasien untuk berkomunikasi dengan kalimat pendek, atau
menggunakan metode komunukai alternatif seperti menulis,
Mengistirahatkan suara dapat
mempercepatpenyembuhandanmengurangiketidak nyamanan pada
tenggerokan. Sarankan pada pasien untuk menggunakan table isap, spray
tenggorokan berkumur larutan anti septik hangat. Selain itu bantu pasien
untuk mengidentifikasi iritan seperti uap, zat kimia, suhu dingin untuk
mencengah berulangnya laringitis pada masa yang akan datang (Priscilla
Lemone, Karen M.Burke, 2015).
2. Gangguan Sistem Pernapasan bagian Bawah
a) Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) bronchitis obstruktif kronis dan
emtisema, Keterbatasan aliran udara kronis disebabkan oleh campuran
penyakit jalan napas kecil dan desrtuksi parenkim, Inflamasi jalan napas
menyebabkan perubahan struktur, penyempitan lumina dan kehilangan
recoil elastis dalam parenkim. Penyebab PPOK factor risiko (iritan primer)
polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi pernapasan pada masa kanak-
kanak hereditas-defisiensi, Ekssaserbasi akut biasanya disebabkan oleh
infeksi pulmonal. Klasifikasi spiromerik keparahan PPOK
1. Stadium I (PPOK ringan) keterbatasan aliran udara ringan.
2. Stadium Il (PPOK sedang) perburukan keterbatasan aliran udara, dapat
terjadi sesak napas saat ngerahan tenaga, dan batuk serta produksi
sputum
3. Stadium Ill (PPOK berat) perburukan kontinu keterbatasan aliran
udara, peningkatan sesak napas, penurunan kapasitas olahraga,
keletihan dan eksaserbasiberulang
4. Stadium IV (PPOK sangat berat) keterbatasan aliran udara berat,
prediksi ditambah adanya gagal napas kronis' (Marilynn E. Doenges,
Mary Frances Moorhouse, 2018)
b) Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamatori parenkim paru yang umumnya
disebabkan oleh ages inteksius. Salah satu penyebab kematian di amerika
serikat. Angka kematian pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan. Pnemoni di kelompokkan agen penyehabnya yaitu pnemoni
bacterial dan pneumoni atipikal, Selain itu pneumonia juga bisa disebabkan
oleh terapi radiasi, bahan kimia, dan aspirasi, lika suatu bagian subtansi
dari satu lobus atau lebih yang terkena penyakit ini disebut pneumoni
lobaris. Bronkopneumonia dapat menggambarkan pola penyebaran yang
berbercak, teratur dalam satu area atau lebih area terlokalisasi di dalam
bronki dan meulas ke parenkim paru yang berdekatan disekitanya.
Bronkopneumonia lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia lobaris.
Secara umum pasien pneumonia bacterial biasanya mempunyai penyakit
dasar akut atau kronis yang dapat mengganggu daya tahan hopes. Hal yang
lebih sering terjadi adalah pneumonia timbul akibat flora normal yang ada
pada pasien yang memiliki daya tahan tubuh yang lemah, atau bisa juga
terjadi karena adanya aspirasi flora normal yang terdapat didalam mulut.
Sebagian bear pneumoni tidak tipikal yang disebabkan oleh virus tetapi
terjadi pada individu yang shat dan memiliki riwayat penyaki virus yang
mendahuluinya (Suddarth, 2001).
c) Tuberkulosis paru (TB)
Tuberkolosis Paru (TB) adalah penyakit infeksius kronik dan berulang
yang biasanya mengenai par tapi tidak menutup kemungkinan organ lain
juga bisa terkena. Disebabkan oleh mycobacterium tubercolosis. M.
tuberculosis merupan orgasme bentuk batang kecil dan relatif tumbuh
lambat dengan kapsul bagian luar seperti lilin sehingga resisensinya agak
sulit untuk dihancurkan. Penyebarannya melalui droplet nuclei dan partikel
terkontaminasi dapat menghindari pertahanan normal saluran napas atas
sampai pada alveoli (Priscilla Lemone, Karen M.Burke, 2015).
d) Empisema
Empisema adalah pengumpulan cairan purulent (pus) dalamcavitas pleura.
Pada awalnya cairan pleura sedikit yang disertai leukosit rendah sampai
cairan ini berkembang ketahap fibropurulen dimana pada akhirnya cairan
tersebut membungkus par dalam membrane eksudatif yang tebal. Kondisi
ini akan terjadì apabila abses par meluas sampai kavitas ploural. Meskipun
empisema bukan merupakan komplikasi lazim infeksi par, tetapi hal ini
dapat terjadi apabila pengobatan terlambat. Manifesasi klinis pemberian
antibiotik yang sesuai dengan penyebab, streptokinase untuk mencegah
akomulasi cairan lebih lanjut(Suddarth,2001)
e) Penyakit Paru Obstruksi Menahun (PPOM)
PPOM adalah klasifikasi yang sangat las, mencakup beberapa penyakit lain
yaitu bronchitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma. PPOM
merupakan kondisi yang ireversibel yang berkaitan dengan dispneu pada
sat melakukan akivitas dan penurunan aliran masuk keluarnya udara di
paru-paru. Salah satu penyebab kematian terbesar dengan urutan ke 5 di
Amerika Serikat. Menyerang 25% populasi khususnya orang dewasa. Pada
bronchitis kronik dan bronkiolitis menyebabkan terjadinya penumpukan
lendir dan sekresi yang sangat banyak shingga terjadi obstruksi dan
menyebabkan penyumbatan jalan napas. Pada emfisema terjadi obstruksi
pada pertukaran oksigen dan karbondioksida akibatnya merusak dinding
alveoh yang disebabkan oleh overeksenst ruang udara didalam paru. Pada
asma jalan nanas bronchial menvemnit sehingga membatasi jumiah udara
vana mengalir kedalam paruparu PPOM dianggab sebagai penyaki yang
berhubungan dengan interaksi genetic dan lingkungan seperti merokok,
polusi udara, pemajanan ditempat kerja (industri batubara, kapas dan padi-
padian) inilah beberapa penyebab terjadinya penyakit PPOM. Penyakit ini
tampak timbul cukup dini dalam kehidupan tetapi juga mempunyai
kemanjuan lambat bisa sampai bertahun-tahun baru dirasakan gejala
klinisnya bahkan sampai pada kerusakan paru.
f) Atelektasis
Atelectasis adalah terjadinya kolaps alveolus, lobus atau unit bar yang lebih
luas karena adanya obstruksi bronkus. Sumbatan mengganggu lewatnya
udara ke dan dari alveoli yang normalnya menerima udara melalui
bronkus,. Udara alveolar yang terperangkap akan terserap kedalam
pembuluh darah. Udara luar tidak dapat menggantikan udara yang terserap
karena obstruksi. In dapat mengakibatkan bagian paru yang terisolasi
menjadi kekurangan udara dan ukurannya menyusut, menyebabkan bagian
paru pronnya mengembang berlebihan.
Atelektasis dapat menyertai obstruksi bronkial akibat benda asing atau
sumbatan eksudat yang kental. Posisi supinasi, membebat dada karena
nyeri, depresi pernapasan akibat opiod, sedative dan relaksan otot dan
distensi abdomen dapat menyebabkan tejadinya atelectasis meningkat.
Atelektasis yang terjadi akibat obstruksi bronkial oleh sekresi hal yang
paling lazim terjadinya kolaps massif hal ini dapat terjadi pada pasien
setelah operas dan pasien lemah akibat tirah baring, karena pasien-pasien
tersebut hampir pasti mengalami depresi pernapasan kontinu, bersamaan
dengan ekskursi pernapasan yang tidak adekuat dan retensisekresibronkial.
Selain penvebab diatas atelectasis dapat juga terjadi karena tekanan pada
jaringan paru, yang menghambat ekspansi normal par pada inspirasi.
Penyebab tekanan tersebut karena adanya penumpukan cairan didalam
toraks (efusi pleura), udara di dalam ruang pleura (pneumotoraks),
pembesaran jantung, distensi pericardium oleh cairan (etusi pericardial),
pertumbuhan tumor di dalam toraks, atau kenaikan diagfragma yang
mengalami perubahan tempt kearah atas karena adanya tekanan abdominal,
Atelektasis karena tekanan sering didapatkan pada pasien efusi pleura
akibat gagal jantung bisa juga adanya infeksi pleura. Tanda utama tumor
bronki adalah atelectasis (Suddarth; 2001).
g) Abses Paru
Abses paru adalah lesi nekrotika setempat pada parenkim paru yang
disertai dengan bahan purulent. Lesi ini mengalami kolaps dan membentuk
ruang. Penyebab abses paru terjadi karengm adanya aspirasi dari hidung
atau mulut, abses sekunder karena adanya obstruksi mekanik dan
fungsional bronki, termasuk tumor, benda asing atan stenosis bronkial,
adanva nekrosis pneumonia, tuberkolosis, embolisme paru, atau trauma
dada. Kerusakan reflex batuk, tidak mamou menutup giotis, mengalami
kesulitan mengunyah beresiko terhadap aspirasi benda asing dan
mengalami abses paru, Selain itu pasien berisiko lainnya adalah pasien
mengalami perubahan status kesadaran akibat anesthesia kejang, stroke,
kecanduan obat. alkoholisme, penyakit esophagus, pasien terpasang
nasogatrik, serta dengan pneumonia juga dapat mengalami abses paru.
Lokasi abses paru berhubungan rat dengan gaya gravitasi bum sehingga
berkaitan dengan bagaimana posisi pasien. Pasien dalam posisi rekumben
lokasi yang paling umum terjadinya abses adalah segmen posterior lobus
kanan atas, Segmen apeks lobus bawah adalah area vang paling sering
setelah segmen posterior dimana abses paru terjadi, Kavitas dalam paru
dapat atau tidak moluas spcara langsung kedalam bronicus, Pada akhirnya
abses akan dikelilingi ensapsularea oleh dining jaringan fibrosa, kecuali
pada satu atau dua titik dimana proses nekrotik melas hingga mencapai
lumen dari beberapa brounkus atau pleura dan demikian membentuk
hubungan dengan saluran pernapasan, kavitas pleura atau keduanya.
Apabila bronkus terkena kandungan purulent diekspektorasikan secara
kontinu dalam bentuk sputum. Sedangkan apabila pleura yang terkena
terjadilah empisema. Organisme aerobic yang paling sering berkaitan
dengan alses paru adalah staphylococcus aureus. Organisme anaerob lebih
prevalen. Tapi bervariasi tergantung pada factor predisposisi yang
mendasari (Suddarth, 2001)
E. PATHWAYS
Udara di atmosfer
Sumbatan Bronkus
Terjebaknya udara di
paru
Gangguan
pengembangan paru/
KETIDAKEFEKTIFA Dispnea
kolaps alveoli
N JALAN NAFAS
Ventilasi dan
perfusi tidak
Pola nafas
seimbang
cepat dan
dangkal
GANGGUAN
PERTUKARAN GAS
KETIDAKEFEKTIFAN
POLA NAFAS
F. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
PemeriksaanFisik dan Penunjang
1. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
1) Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
b) Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
c) Penggunaan otot bantu napas
d) Hipertropi otot bantu napas
e) Pelebaran sela iga
f) Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis dileher & edema tungkai
g) Penampilan pink puffer atau blue bloater
2) Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
3) Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah
4) Auskultasi
a) suara napas vesikuler normal, atau melemah
b) terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
c) ekspirasi memanjang
d) bunyi jantung terdengar jauh Pink puffer Gambaran yang khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing. Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer Pursed - lips breathing. Adalah
sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik.
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan
oksigenasi yaitu: (Iqbal, Wahit Mubarak .2019. Kebutuhan Dasar Manusia.Jakarta : EGC)
1) EKG: menghasilkan rekaman grafik aktivitas listrik jantung, mendeteksi transmisi impuls
dan posisi listrik jantung.
2) Pemeriksaan stres latihan, digunakan untuk mengevaluasi respond jantung terhadap stres
fisik. Pemeriksaan ini memberikan informasi tentang respond miokard terhadap
peningkatan kebutuhan oksigen dan menentukan keadekuatan aliran darah koroner.
3) Pemeriksaan untuk mengukur keadekuatan ventilasi dan pemeriksaan fungsi paru,
analisis gas darah (AGD).
4) Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap: ditemukan hitung jenis eosinofil lebih dari 4%,
namun kurang dari 4% tidak menyingkirkan diagnosis asthma.
b. Pewarnaan sputum: dijumpai eosinofil
c. Serum IgE, lebih dari 100 IU menandakan suatu kondisi alergi
d. Analisis gas darah arteri (AGDA), pada asthma berat dapat ditemukan hipoksemia
atau hiperkarbia. AGDA sebaiknya dilakukan pada pasien yang saturasi oksigen
nya tidak mencapai 90% walau sudah dilakukan tatalaksana awal.
e. Pemeriksaan dengan pulse oximeter untuk menilai saturasi oksigen dan
klasifikasi beratnya serangan asthma (saturasi oksigen di atas 97% serangan
ringan, saturasi oksigen 92-97% serangan sedang, saturasi oksigen kurang dari
92% serangan berat).
5) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Rontgen (untuk menunjukkan adanya udara yang terperangkap atau
hiperekspansi).
b. CT-Scan toraks, digunakan untuk menilai kelainan minimal yang tidak dapat
ditentukan melalui foto toraks, seperti bronkiolitis, bronkiektasis,
trakeobronkomalasia, dan kelainan pembuluh darah.
G. Penata Laksanaan
1. Inhalasi oksigen
Terdapat dua system dalam inhalasi oksigen yaitu :
a) System aliran rendah
1. Nasal kanula/binasal kanula
2. Sungkup muka sederhana
3. Sungkup muka dengan kantong “Rebreathing”
4. Sungkup muka dengan kantong “ Nonrebreathing”
b) System airan tinggi (High Flow Oxygen System)
2. Fisioterapi Dada
Fisioterapi dada merupakan suatu rangkaian tindakan keperawatan yang terdiri
dari:
a. inspirasi
b. Perkusi
c. Palpasi
d. Auskultasi
e. Vibrasi
f. Clapping
H. Pengkajian Keperawatan
1. Identitas
a. Identitas kelien
Identitas klien yang perlu dikaji meliputi nama, jenis kelmin, tanggal lahir,
No.RM, usia, agama,alamat, status, pekerjaan, dan tanggal masuk rumah sakit
b. Identitas penanggungjawab
Identitas penanggungjawab yang perlu dikaji meliputi nama, umur, pekerjaan,
alamat, dan hubungan dengan klien.
c. Keluhan utama
Keluhan yang membuat seseorang datang ketempat pelayanan kesehatan
untuk mencari pertolongan, misalnya : demam, sesak nafas, nyeri pinggang,
dan lain-lain
d. Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian riwayat pasien saat ini melipiti alasan pasien yang menyebabkan
terjadi keluhan/gangguan dalam mobilitas dan imobilitas
e. Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dimasa lalu yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan mobilitas
f. Riwayat kesehatan keluarga
Pengkajian riwayat penyakit keluarga, misalnya tentang ada atau tidaknya
riwayat alergi stroke, penyakit jantung, diabetes militus
Kecemasan
a. Perasaan tidak berdaya
b. Kurang terpapar informasi tentang proses
penyapihan
c. Penurunan motivasi
Situasional
a. Ketidakadekuatan dukungan sosial
b. Ketidaktepatan kecepatan proses penyapihan
c. Riwayat kegagalan berulang dalam upaya
penyapihan
d. Riwayat ketergantungan ventilator >4 hari
3 (D.0003) Gangguan a. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Pertukaran Gas b. Perubahan membran alveolus-kapiler
6) Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
kolaborasi
pemberian mukolitik
atau ekspektoran,
Jika perlu
Terapeutik
Pertahanan
kepatenan jalan
napas dengan head-
tift dan chin-lift
(jaw-thrust jika
curiga trauma
servikal)
Posisikan Semi-
Fowler atau Fowler
Berikan minuman
hangat
Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
Lakukan
penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
proses McGill
Berikan Oksigen,
Jika perlu
Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
Jika tidak
komtraindikasi
Ajarkan teknik batuk
efektif
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, Jika perlu
Pemantauan respirasi
(I.01014)
Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman
dan upaya napas
Monitor pola napas
(seperti bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul, Cheyne-
Stokes, biot, ataksik)
Monitor kemampuan
bantuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray
toraks
Teraupetik
Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
Terapeutik
Posisikan pasien
semi Fowler (30-
40 derajat)
Lakukan
pengisapan jalan
napas, jika perlu
Berikan fisioterapi
dada, jika perlu
Lakukan uji coba
penyapihan (30-
120 menit dengan
napas spontan
yang dibantu
ventilator)
Gunakan teknik
relaksasi, jika
perlu
Hindari pemberian
sedasi
farmakologis
selama percobaan
penyapihan
Berikan dukungan
psikologis
Edukasi
Ajarkan cara
pengontrolan
napas saat
penyapihan
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian obat
yang
meningkatkan
kepatenan jalan
napas dan
pertukaran gas
Pemantauan Respirasi
(I.01014)
Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman
dan upaya napas
Monitor pola
napas (seperti
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul,
Cheyne-Stokes,
biot, ataksik)
Monitor
kemampuan
bantuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray
toraks
Teraupetik
Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
Teraupetik
Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
Terapi Oksigen
(I.01026)
Observasi
Monitor Kecepatan
aliran oksigen
Monitor posisi alat
terapi oksigen
Monitor aliran
oksigen secara
periodik dan
pastikan fraksi
yang diberikan
cukup
Monitor efektifitas
terapi oksigen
(mis. oksimetri,
analisa gas
darah), jika perlu
Monitor
kemampuan
melepaskan
oksigen saat
makan
Monitor tanda-
tanda hipoventilasi
Monitor tanda dan
gejala toksikasi
oksigen dan
atelektasis
Monitor tingkat
kecemasan akibat
terapi oksigen
Monitor integritas
mukosa hidung
akibat
pemasangan
oksigen
Terapiutik
Bersihkan sekret
pada mulut,
hidung dan trakea,
jika perlu
Perhatikan
kepatenan jalan
napas
Siapkan dan atur
peralatan
pemberian oksigen
Berikan oksigen
tambahan, jika
perlu
Tetap berikan
oksigen saat
pasien
ditransportasi
Gunakan
perangkat oksigen
yang sesuai
dengan tingkat
mobilitas pasien
Edukasi
Anjurkan pasien
dan keluarga cara
menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
Kolaborasi
penggunaan
oksigen saat
aktivitas dan atau
tidur
Pertahankan
kepatenan jalan
napas
Berikan posisi
semi fowler atau
fowler
Fasilitasi
mengubah posisi
senyaman
mungkin
Berikan oksigen
sesuai kebutuhan
(mis. nasal kanul,
masker wajah,
masker
rebreathing atau
non rebreathing)
Gunakan bag-
valve, jika perlu
Edukasi
Ajarkan
melakukan teknik
relaksasi napas
dalam
Ajarkan mengubah
posisi secara
mandiri
Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator, jika
perlu
Pemantauan Respirasi
(I.01014)
Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman
dan upaya napas
Monitor pola
napas (seperti
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul,
Cheyne-Stokes,
biot, ataksik)
Monitor
kemampuan
bantuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray
toraks
Teraupetik
Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
ekspirasi aroma)
meningkat
Terapeutik
Tekanan inspirasi
Pertahanan
meningkat
kepatenan jalan
Dispnea menurun
napas dengan
Penggunaan otot
head-tift dan chin-
bantu napas
lift (jaw-thrust jika
menurun
curiga trauma
Pemanjang fase servikal)
ekspirasi Posisikan Semi-
menurun Fowler atau
Otopnea Fowler
Penapasan hangat
pernapasan Lakukan
Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, Jika tidak
komtraindikasi
Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, Jika
perlu
Pemantauan Respirasi
(I.01014)
Observasi
Monitor frekuensi,
irama, kedalaman
dan upaya napas
Monitor pola
napas (seperti
bradipnea,
takipnea,
hiperventilasi,
kussmaul,
Cheyne-Stokes,
biot, ataksik)
Monitor
kemampuan
bantuk efektif
Monitor adanya
produksi sputum
Monitor adanya
sumbatan jalan
napas
Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
Auskultasi bunyi
napas
Monitor saturasi
oksigen
Monitor nilai AGD
Monitor hasil x-ray
toraks
Teraupetik
Atur interval
pemantauan
respirasi sesuai
kondisi pasien
Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
Informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
Ekspektasi Observasi
meningkat aroma)
Kelemeahan otot
Pertahanan
menurun
kepatenan jalan
Akumulasi sekret
napas dengan
menurun
head-tift dan chin-
Wheezing
lift (jaw-thrust jika
menurun
curiga trauma
Batuk menurun
servikal)
Penggunaan otot
Posisikan Semi-
aksesoris
Fowler atau
menurun
Fowler
Sianosis menurun
Berikan minuman
Gelisah menurun
hangat
Edukasi
Anjurkan asupan
cairan 2000
ml/hari, Jika tidak
komtraindikasi
Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, Jika
perlu
Pencegahan Aspirasi
(I.01018)
Observasi
Monitor tingkat
kesadaran batuk
muntah dan
kemampuan
menelan
Monitor status
pernapasan
Monitor bunyi
napas, terutama
setelah makan
atau minum
Periksa residu
gaster sebelum
memberi asupan
oral
Periksa kepatenan
selang nasogastrik
sebelum
pemberian asupan
oral
Terapeutik
Posisikan semi
Fowler (30-45
derajat) 30 menit
sebelum
memberikan
asupan oral
Pertahankan
posisi semi Fowler
(30-40 derajat)
pada pasien tidak
sadar
Pertahankan
kepatenan jalan
napas (mis. teknik
head tilt chin lift,
jaw thrust, in line)
Pertahankan
pengembangan
balon
endotracheal tube
(ETT)
Lakukan
penghisapan jalan
napas, jika
produksi sekret
meningkat
Sediakan suction
di ruangan
Hindari memberi
makanan melalui
selang
gastrointestinal,
jika residu banyak
Berikan makanan
dengan ukuran
kecil atau lunak
Berikan obat oral
dalam bentuk cair
Terapeutik
Anjurkan makan
secara perlahan
Ajarkan strategi
mencegah aspirasi
Ajarkan teknik
mengunyah atau
menelan, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Andarmoyo, S. (2012). Kebutuhan Dasar Manusia (Oksigenasi). Yogyakarta : Graha
Ilmu.