Anda di halaman 1dari 45

PROPOSAL SKRIPSI

HUBUNGAN KUALITAS TIDUR DENGAN PERUBAHAN TEKANAN


DARAH PADA LANSIA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SAWOO KECAMATAN SAWOO KABUPATEN PONOROGO

Disusun oleh :

RIZQI FAUZIYAH AR-ROHMAH

NIM : 17631603

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penuaan merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk
tubuh, jaringan dan sel yang mengalami penurunan kapasitas fungsional. Pada
manusia penuaan dihubungkan dengan perubahan degenerative pada kulit, tulang,
jantung, pembuluh darah, paru-paru, otot, penglihatan, kognitif, respirasi dan juga
pada pola tidurnya. Karena kemampuan regenerative yang terbatas, mereka lebih
rentan terhadap bebagai penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan
orang dewasa lain (Kholifah, 2016 ). Lanjut usia merupakan masa perkembangan
terakhir dalam kehidupan manusia, seseorang yang dikatakan lansia apabila
usiannya sudah mencapai 60 tahun keatas. Pada lansia dapat terjadi berbagai
perubahan- perubahan, diantaranya perubahan fisik, psikologis, kejiwaan, dan
social. Pada perubahan fisik salah satunya yaitu pada sistem kardiovaskuler pada
sistem ini akan berpengaruh terhadap tekanan darahnya dalam hal ini bisa terjadi
hipertensi. (Triyanto, 2014). Perubahan- perubahan diatas akan memberikan
pengaruh pada aspek kehidupan termasuk kesehatan. Agar lansia dapat berperan
aktif dalam pembangunan dan juga bisa hidup produktif sesuai dengan
kemampuannya maka perlu ditingkatkannya kualitas tidur pada lansia. (Nugroho,
2010) .
Pola tidur menjadi salah satu faktor resiko dari kejadian hipertensi pada
lansia. Pola tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk dapat
mengakibatkan gangguan fisiologis dan psikologis pada lansia (Potter P dkk,
2010). Gangguan tidur pada lansia merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya sehingga
mengganggu gaya hidup dan menimbulkan rasa tidak nyaman. Gejala-gejala dari
masalah tidur pada lansia diantaranya adalah kesulitan tidur dan menjaga tidur,
bangun dini hari dan rasa kantuk yang berlebihan di siang hari. Akibat dari
permasalahan tidur yang kronis cukup besar. Kehilangan waktu tidur atau
penggunaan obat penenang yang kronis dapat menyebabkan terjadinya jatuh atau
kecelakaan. Gangguan pernapasan saat tidur bisa memberikan dampak yang
serius pada kardiovaskular, paru-paru dan system syaraf pusat. Bukti yang
mendukung adanya sebuah hubungan yang kuat antara sleep apnea dengan
hipertensi (Ari et al., 2017). Saat terjadinya apnea kadar oksigen pada darah akan
turun dan kadar CO2 akan meningkat pada darah sehingga menjadikan aliran
udara ke paru-paru terhambat atau tidak ada (Arter JL,dkk 2004). Menurut
National Sleep Foundation sekitar 67% dari 1.508 lansia di Amerika usia di atas
65 tahun melaporkan mengalami gangguan tidur dan sebanyak 7,3% lansia
mengeluhkan gangguan tidur atau insomnia. Di Indonesia gangguan tidur
menyerang sekitar 50% orang yang berusia 65 tahun. Insomnia merupakan
gangguan tidur yang paling sering ditemukan, setiap tahun diperkirakan sekitar
20%-50% lansia melaporkan adanya insomnia dan sekitar 17% mengalami
gangguan tidur yang serius. (Rubin 1999 dalam Budi 2011).
National Heart, Lung, and Blood Institut dari United States Departement of
Health and Human Services pada tahun 2009, menginformasikan kualitas tidur
yang buruk meningkatkan resiko hipertensi, penyakit jantung, dan kondisi medis
lainnya. Orang berusia lebih dari 60 tahun berisiko menderita hipertensi karena
tekanan darah cenderung meningkat dengan bertambahnya usia (Palmer, 2007).
World Health Organization (WHO) tahun 2015 menunjukkan sekitar 1,13 Miliar
orang di dunia menyandang hipertensi, artinya 1 dari 3 orang di dunia
terdiagnosis hipertensi. Jumlah penyandang hipertensi terus meningkat setiap
tahunnya, diperkirakan pada tahun 2025 akan ada 1,5 Miliar. Di Indonesia
estimasi jumlah kasus hipertensi di Indonesia sebesar 63.309.620 orang,
sedangkan angka kematian di Indonesia akibat hipertensi sebesar 427.218
kematian. Hipertensi terjadi pada kelompok umur 31-44 tahun (31,6%), umur 45-
54 tahun (45,3%), umur 55-64 tahun (55,2%) (Riskesdas Kementerian Kesehatan
RI, 2018). Angka prevalensi hipertensi di Provinsi Jawa Timur masih cukup
tinggi bila dibandingkan dengan angka prevalensi di Indonesia, yaitu sebesar
26,2% (Kemenkes RI, 2013). Sementara pada tahun 2016 prosentase prevalensi
tekanan darah tinggi sebesar 13,47% (Dinkes Provinsi Jawa Timur, 2017).
Berdasarkan data terbaru dari Dinas Kesehatan Kabupaten Ponorogo pada tahun
2020 didapatkan jumlah penderita Lansia dengan Hipertensi tertinggi berada di
Kecamatan Sukorejo dengan estimasi 4.040 orang (1.908 berjenis kelamin laki-
laki, 2.132 berjenis kelamin perempuan), dan yang kedua berada di Kecamatan
Sawoo dengan estimasi 4.026 orang (1.907 berjenis kelamin laki-laki, 2.119
berjenis kelamin perempuan), dan yang ketiga berada di Kecamatan Ngrayun
dengan estimasi 3.988 orang (1.976 berjenis kelamin laki-laki dan 2.012 berjenis
kelamin perempuan), yang keempat berada Kecamatan Balong dengan estimasi
3.658 orang ( 1.721 berjenis kelmin laki-laki dan 1.937 berjenis kelamin
perempuan).
Kurang tidur berkepanjangan dapat mengganggu kesehatan fisik dan psikis.
Menurut Putri, 2014, bahwa buruknya kualitas tidur akan mempengaruhi
penurunan imunitas tubuh pada orang lanjut usia dan akan menyebabkan
hipertensi yang mengakibatkan tubuh terasa lemas dan mudah lelah. Hipertensi
menjadi faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit jantung, gagal jantung
kongesif, stroke, gangguan penglihatan dan penyakit ginjal. Hipertensi yang tidak
di identifikasi secara dini dan tidak mendapakan pengobatan yang memadai akan
mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya memperpendek harapan hidup
sebesar 10-20 tahun (Nuraini, 2015). Penanganan untuk meningkatakan kualitas
tidur pada lansia salah satunya dengan cara farmakologi yaitu memberikan obat
sedative hipnotik seperti golongan benzodiapepine (Ativan, valium, dan
diazepam), akan tetapi itu akan mempunyai efek samping jika berkepanjangan,
sehingga pengobatan yang diberikan kepada lansia harus ada cara lain yaitu
dengan cara non farmakologi (Monica, R dkk 2017 ). Pengobatan nonfarmakologi
contohnya dengan memberikan terapi stimulus control, melakukan olahraga
ringan seperti : berjalan kaki pada pagi hari, berlari-lari kecil, senam atau sekedar
meregangkan otot dan juga bisa dengan terapi relaksasi contohnya merendam
kaki dengan air hangat (Putra, 2014).
Berdasarkan uraian diatas maka saya sebagai peneliti tertarik untuk meneliti
tentang “Hubungan Kualitas Tidur dengan Perubahan Tekanan Darah pada Lansia
di Wilayah Kerja Puskesmas…

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat diambil
yakni sebagai berikut “Adakah Hubungan Antara Kualitas Tidur Dengan
Perubahan Tekanan Darah Pada Lansia Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas
Sawoo?”

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara kualitas tidur dengan perubahan
tekanan darah pada lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas Sawoo.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kualitas tidur pada lansia di wilayah kerja puskesmas
Sawoo.
2. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia hipertensi di wilayah kerja
puskesmas Sawoo.
3. Menganalisis hubungan antara kualitas tidur dengan perubahan tekanan
darah pada lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas Sawoo.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teori dari penelitian ini adalah sebagai rujukan sumber ilmiah
bagi tenaga kesehatan terutama di bidang keperawatan. Khususnya untu
mengetahui hubungan kualitas tidur dengan perubahan tekanan darah
pada lansia hipertensi.
1.4.2. Manfaat Praktisi
1. Bagi Responden
Hasil penelitian dapat di gunakan lansia dengan Hipertensi untuk
mendapatkan informasi tentang hungan kualitas tidur dengan
perubahan tekanan darah.
2. Bagi Institusi Penelitian
Hasil penelitian ini dapat di jadikan sumber bacaan untuk menambah
wawasan baru mengenai hubungan kualitas tidur dengan perubahan
tekanan darah pada lansia hipertensi.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui
tentang hubungan kualitas tidur dengan perubahan tekanan darah pada
lansia.

1.5. Keaslian Penelitian


Penelitian yang sudah ada terkait dengan hubungan kualitas tidur dengan
peningkatan tekanan darah pada lansia :
1. Harsismanto J dkk (2020) dalam penelitian ini berjudul “Kualitas Tidur
Berhubungan Dengan Perubahan Tekanan Darah Pada Lansia”. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kualitas tidur dengan
perubahan tekanan darah pada lansia hipertensi di Panti Sosial Tresna
Werdha (PSTW) Provinsi Bengkulu. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah kualitas Tidur, sedangkan variabel dependen adalah
tekanan darah pada lansia hipertensi. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kuantitatif berupa survey analitik dengan desain penelitian cross sectional.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data
sekunder, data primer berupa kualitas tidur lansia dengan hipertensi
menggunakan kuesioner dan hasil pengukuran tekanan darah lansia
sistolik dan diastolik menggunakan tensimeter. Data yang diperoleh diuji
menggunakan uji chi square untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen. Persamaan dari penelitian ini adalah
sama-sama meneliti tentang masalah kualitas tidur terhadap tekanan darah
pada lansia. Perbedaanya tidak terdapat perbedaan dalam penelitian ini.
2. Maria Adelheid Moi dkk (2017) dalam penelitian ini berjudul “Hubungan
Gangguan Tidur Dengan Tekanan Darah Pada Lansia”. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola tidur dengan
tekanan darah pada lansia di Kelurahan Tlogomas Malang. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah gangguan tidur, sedangkan
tekanan darah sebagai variabel dependen. Penelitian ini menggunakan
desain penelitian korelasi dengan metode pendekatan cross sectional,
Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Persamaaan dari
penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang tekanan darah pada
lansia. Perbedaannya dalam penelitian tersebut variable independennya
adalah gangguan tidur, sedangkan dalam penelitian ini variable
independennya adalah kualitas tidur.
3. Rina Budi Kristiani (2018) dalam penelitian ini berjudul “Hubungan
Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah Pada Lansia di Posyandu Lansia
“Bugar” Rw 08 Kelurahan Mojo Kecamatan Gubeng Surabaya”. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kualitas tidur, tekanan
darah dan menganalisis hubungan antara kualitas tidur dengan tekanan
darah pada lansia. Variable independen dalam penelitian ini adalah
kualitas tidur, sedangkan variabel dependennya adalah tekanan darah.
Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional. Pengambilan sampel dengan teknik Total Sampling. Persamaan
dari penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang kualitas tidur dan
tekanan darah pada lansia. Perbedaannya terdapat pada tempat
penelitiannya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia


2.1.1 Pengertian Lanjut usia
Menurut World Health organization (WHO) lanjut usia merupakan
kelompok penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Udang-undang
No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia adalah penduduk
dengan usia yang mencapai usia 60 tahun keatas. Secara umum seseorang
dikatakan lanjut usia jika sudah mencapai usia 60 tahun akan tetapi
definisi ini sangat bervariasi tergantung pada aspek sosial budaya,
fisiologis dan kronologis (Fatimah, 2010).
Menurut (Darmojo, 2012 dalam Relifan, 2014) menyatakan bahwa
lanjut usia diawali dengan proses menua atau aging adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan tubuh untuk
memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang diderita. Penuaan adalah suatu prose alami yang tidak
dapat dihindari, berjalan terus menerus, berkesinambungan. Selanjutnya
akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada
tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara
keseluruhan (Kemenkes, 2013).
Sedangkan menurut (Soejono, 2012) lanjut usia adalah tahap akhir
siklus kehidupan manusia, yang merupakan bagian dari proses kehidupan
yang tidak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh seseorang. Pada tahap
ini seseorang akan mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun
mental. Khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan
yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagaian dari
proses penuaan normal seperti rambut yang memulai memutih, kerut-kerut
ketuaan diwajah, berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran
daya tahan tubuh, merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut.
Belum lagi mereka harus berhadapan dengan kehilangan- kehilangan
peran diri, kedudukan social, serta perpisahan dengan orang-orang yang
dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan beradaptasi yang
cukup besar untuk menyikapi secara bijak.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa, seseorang
dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 60 tahun keatas. Menua
merupakan suatu proses alami dan bukanlah suatu penyakit. Lanjut usia
merupakan tahap terakhir dari kehidupan manusia dan akan banyak
mengalami perubahan baik secara fisik maupun mental.

1.1.2. Batasan Lanjut Usia


Usia lanjut merupakan usia mendekati akhir siklus kehidupan manusia
didunia. Tahap ini dimulai pada usia 60 tahun sampai akhir kehidupan.
Dan digambarkan dalam sebuah Hadist sebagai berikut :
“Masa penuaan umur umatku adalah enam puluh hingga tujuh puluh
tahun.” (HR. Muslim dan Nasa’i)
Pendapat mengenai batasan umur lanjut usia menurut, Emmelia (2017)
yaitu :
1. Menurut (WHO dalam Emmelia, 2017) batasan lanjut usia meliputi :
a. Usia pertengahan (middle age), yaitu dimulai pada usia 45-59
tahun.
b. Lansia (elderly), yaitu mulai usia 55-65 tahun.
c. Lansia muda (old), yaitu mulai usia 66-74 tahun.
d. Lansia sangat tua (very old), yaitu usia lebih dari 90 tahun.
2. Menurut (Maryam 2008 dalam Emmelia 2017) mengklasifikasikan
lanjut usia antara lain :
a. Pra Lansia (Prasenilis)
Orang dengan usia antara 45-59 tahun.
b. Lansia
Orang dengan usia 60 tahun atau lebih.
c. Lansia Berisiko Tinggi
Yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih / seseorang yang
berusia 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan.

d. Lansia Potensial
Yaitu orang lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan
dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia Tidak Potensial
Yaitu orang lanjut usia yang tidak berdaya untuk mencari nafkah,
sehingga hidupnya bergantung kepada orang lain.
2.1.3. Ciri-ciri Lanjut Usia
Menurut (Darmojo 2004 dalam Emmelia 2017) lanjut usia diartikan
sebagai fase dari menurunnya kemampuan akal dan fisiknya., dan dimulai
dengan adanya perubahan-perubahan di dalam hidup.
(Hurlock 1980, dalam Emmelia 2017) Beberapa ciri-ciri orang lanjut usia,
yaitu :
a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Pemicu kemunduran yang terjadi pada lansia sebagian diakibatkan
oleh faktor fisik maupun psikologis, sehingga setiap lansia
membutuhkan dukungan motivasi karena motivasi berperan penting
dalam kemunduran pada lansia. Contohnya jika lansia memiliki
motivasi yang rendah dalam melakukan sebagian kegiatan maka itu
akan mempercepat proses kemunduran fisik maupun psikologis nya.
Sebaliknya jika lansia itu memiliki motivasi yang kuat/tinggi maka
akan memperlambat proses kemunduran fisik maupun psikologisnya
tersebut.
b. Usia lanjut yang memiliki status kelompok minoritas
Pada kondisi ini diakibatkan oleh sikap sosial masyarakat yang negatif
atau tidak menyenangkan terhadap lansia dan akan berdampak pada
terbentuknya status kelompok minoritas pada lansia.
c. Menua membutuhkan perubahan peran
Perubahan peran pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan
sendiri bukan atas dasar tekanan atau paksaan dari lingkungan.
d. Penyesuaian yang buruk pada lansia
Perlakuan buruk dari keluarga atau masyarakat dapat membentuk
perilaku lansia tersebut menjadi buruk karena secara tidak langsung
lansia akan cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk
sehingga akan memepengaruhi perilaku lansia tersebut menjadi buruk.

2.1.4. Teori Proses Penuaan


Teori proses menua dikelompokkan dalam dua bidang, yaitu biologi dan
sosiologi. Kemudian masing-masing akan dipecah menjadi beberapa
bagian sebagai berikut (Nugroho 2006, dalam Emmelia 2017) :
a. Teori biologi
1. Teori genetik
a) Teori genetic clock
Menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis
berfungsi untuk mengatur gen dan proses penuaan. Proses
menua ini telah terprogram secara genetik untuk spesies-
spesies tertentu. Didalam inti sel pada setiap spesies
memiliki jam biologisnya masing-masing dan mempunyai
batas usia yang berbeda-beda yang telah diputar menurut
replika tertentu (Nugroho 2006, dalam Emmelia 2017). Jika
jam ini terhenti maka spesies akan meninggal dunia.
b) Teori mutasi somatik
Menjelaskan bahwa penuaan ini disebabkan oleh keslahan
yang beruntun dalam jamgka panjang melalui transkripsi
dan translasi. Kesalahn tersebut menyebabkan terbentuknya
enzim yang salah dan berakibat pada metabolisme yang
salah sehingga mengurangi fungsional.
2. Teori nongenetik
a) Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory)
Mutasi merusak membran sel yang akan menyebabkan
sistem imun tidak mengenalinya, dan mengakibatkan sistem
imun tersebut akan merusaknya.
b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory)
Pembentuk teori ini karena adanya proses metabolisme
didalam mitokondria. Radikal bebas dianggap dianggap
sebagai penyebab dari kerusakan fungsi sel.
Radikal bebas yang terdapat pada lingkungan yaitu :
1. Asap rokok
2. Asap kendaraan
3. Pengawet makanan
4. Radiasi
5. Sinar ultraviolet
c) Teori menua akibat metabolisme
Metabolisme dapat mempengaruhi proses penuaan. Dalam
penelitian-penelitian yang diuji cobakan pada hewan
didapatkan bukti bahwa, pengurangan kalori akan
menghambat pertumbuhan dan memperpanjang umur
sebaliknya perubahan asupan kalori dapat menyebabkan
kegemukan dan memperpendek umur (Nugroho, 2006
dalam Emmelia 2017)
d) Teori rantai silang (cross link theory)
Teori ini menjelaskan bahwa adanya perubahan pada
membran plasma yang akan menjadikan jaringan kaku, atau
elastisitas berkurangdan menurunnya fungsi pada proses
menua.
e) Teori fisiologis
Menjelaskan bahwa menua akan mengakibatkan hilangnya
sel-sel yang biasa digunakan oleh tubuh, kelebihan usaha
dan stress mengakibatkan sel tubuh lelah terpakai.
b. Teori Sosiologi
a) Teori interaksi sosial
Untuk mempertahankan kemampuan lansia dalam interaksi sosial
adalah kunci dalam mempertahankan status sosialnya.
b) Teori aktivitas atau kegiatan
Lansia yang sukses yaitu mereka yang aktif dan banyak dalam
mengikuti kegiatan sosial. Lanjut usia akan merasa puas jika bisa
melakukan aktivitas dan dapat mempertahankan aktivitas selama
mungkin. Padahal secara alamiah, lanjut usia akan menglami
penurunan jumlah kekutan secara langsung.
c) Teori kepribadian berlanjut (community theory)
Menjelskan bahwa perubahan terjadi pada seorang lanjut usia
sangat dipengaruhi oleh personalitas yang dimiliki (Nugroho 2006
dalam Emmelia 2017).
d) Teori pembebasan/penarikan diri (disangagement)
Teori ini diajukan pertama kali oleh (Cumming dan Henry pada
tahun 1961 dam Emmelia 2017 ) menjelaskan bahwa dengan
bertambahnya usia, seseorang akan mulai melepaskan diri dari
kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan secara
perlahan-lahan. Lanjut usia akan mengalami kehilangan ganda
(triple loss), yaitu :
1. Kehilangan peran (loss of role).
2. Hambatan kontak sosial (restriction of cobtact and
relationship).
3. Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social
mores and values).

2.1.5. Faktor Yang Mempengaruhi Proses Penuaan


Setiap manusia yang berumur panajng akan mengalami perubahan
dalam berbagai hal. Misalnya pada usia lanjut yang merupakan proses
alamiah, teru menerus dan berkesinambungan, dimana dalam keadaan
lanjut usia akan menyebabkan perubahan anatomo, fisiologis dan biokimia
pada jaringan atau organ. Proses menua setiap orang akan berbeda-beda.
Terdapat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses menua
tersebut. Faktor eksternal diantaranya asupan makanan, sosial budaya,
pendidikan, hygiene sanitasi lingkungan, ekonomi dan dukungan keluarga
serta penyakit infeksi/degenerative. Sedangkan faktor lain yang
mempengaruhi yaitu, ditentukan oleh kemunduran psikologis seperti,
sindroma lepas janatan, perubahan status sosial, perasaan sedih dan
perasaan sendiri.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES MENUA


Faktor Eksternal

Stressor psikosisal Pendidikan Penyakit


Infeksi/
Degeneratif
Konsumsi
Faktor internal

Sosial - budaya PROSES MENUA Stressor psikosisal

Faktor biologi
Keluarga / Lingkup
Pengasuh pergaulan/
kelompok
Ekonomi
Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi proses menua masyarakat
(Sumber: Kementrian Kesehatan Republik Indonesi, 2000)
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis (Bandiyah 2009,
dam Emmelia 2017). Penuaan yang terjadi sesuai dengan kronologis usia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses tersebut, yaitu :
a. Hereditas / genetic
Kematian sel semua program kehidupan dikaitkan dengan peran
DNA dalam pengendalian fungsi sel. Secara genetik, pada sel
perempuan ditentukan oleh sepasang kromosom X sedang pada
laki-laki dhanya ditentukan oleh 1 kromosom X. kromosom X
membawa unsur kehidupan, sehingga perempuan berumur panjang
daripada laki-laki.
b. Nutrisi / makanan
Kondisi yang kekurangan atau kelebihan nutrisi dari kebutuhan
akan mempengaruhi atau mengganggu keseimbangan dan
kekebalan.
c. Status kesehatan
Penyakit yang dikaitkan dengan proses penuaan tidak benar-benar
disebabkan oleh proses menua tersebut. Akan tetapi terdapat faktor
luar yang merugikan, yang hidup berkepanjangan.
d. Pengalaman hidup
1. Paparan matahari : kulit yang terkena sengatan matahari
secara langsung akan mudah ternoda oleh flek, kerutan,
dan menjadi kusam.
2. Kurang olahraga : olahraga dapat membentuk otot dan
melancarkan sirkulasi darah.
3. Mengkonsusmsi alcohol : alcohol dapat memperbesar
pembuluh darah kecil pada kulit dan mengakibatkan
peningkatan aliran darah pada dekat permukaan kulit.
e. Lingkungan
Menua merupakan proses alamiah yang tidak dapat dihindari,
namun dengan lingkungan yang positif, status sehat dapat
dipertahankan dalam usia lanjut.
f. Stress
Tekanan hidup dalam keluarga, pekerjaan, maupun masyarakat
dapat mencerminkan bentuk gaya hidup yang mempengaruhi
terhadap proses penuaan.
2.1.6. Perubahan Yang Terjadi pada Lansia
Perubahan-perubahan fisik yang terjadi pada orang lanjut usia meliputi
perubahan fisik, psikososial, dan kognitif.
a. Perubahan fisik
1. Pada kulit : proliferasi epidermal menurun, kelembaban kulit
menurun, supalai darah kekulit menurun, dermis/ kulit menipis,
kelenjar keringat berkurang ditandai dengan (kulit kering,
pigmentasi irregular, kuku mudah patah, kulit berkerut, elastisitas
berkurang, sensitivitas kulit menurun).
2. Pada otot : berkurangnya massa otot, perubahan degenerative
jaringan konektif, osteoporosis, kekuatan otot menurun, endurance
dan koordinasi menurun,ROM terbatas, mudah jatuh/fraktur.
3. Pada persendian : masalah pada persendia terutama pada bagian
tungkai dan lenganyang membuat mereka menjadi sulit bergerak.
4. Pada gigi : gigi menjadi kering, patah dan tanggal, terkadang
memakai gigi palsu.
5. Pada mata : kornea kuning/keruh, ukuran pupil mengecil / atropi
M. Ciliaris, atropi sel-sel fotoseptor, penurunan suplai darah dan
neuron ke retina, pengkapuran lensa, konsekuensi : sensitivitas
pada cahaya meningkat, respon lambat dalam perubahan cahaya,
lapang pandang menyempit/ persepsi perubahan warna, sulit
berkendara dimalam hari.
6. Pada telinga : fungsi pendengaran mulai menurun, ssebagian lansia
ada yang menggunakan alat bantu pendengaran. Penurunan ini bisa
terjadi secara perlahan bahkan cepat tergantung kebiasaan pada
usia muda.
7. Pada sistem pernapasan : napas menjadi lebih pendek sering
tersengal-sengal, hal ini diakibatkan karena terjadinya penurunan
kapasitas total paru-paru, residu volume paru dan menggunakan
oksigen nasal, penggunaan oksigen nasal akan menurunkan
fleksibilitas dan elastisitas paru.
8. Pada saraf otak : mengalami penurunan ukuran, berat dan fungsi.
9. Pada sistem kardiovaskuler : terjadi penurunan elastisitas
pembuluh darah dijantung dan cardiac output menurun.
10. Pada pola tidur : butuh waktu lebih lama untuk tidur, sering
terbangun, mutu tidur jurang, lebih lama berada ditempat tidur.
11. Munculnya penyakit kronis, misalnya diabetes militus (DM),
penyakit kardiovaskular, hipertensi, gagal ginjal, kanker, dan
masalah-masalah lain yang berhubungsn dengan persendian dan
saraf.
2.2 KONSEP KUALITAS TIDUR
2.2.1. Pengertian Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah ukuran dimana seseorang itu mendapat
kemudahan dalam memulai tidur dan untuk mempertahankan tidur,
kualitas tidur esesorang dapat digambarkan dengan lama waktu tidur,
dan keluhan- keluhan yang dirasakan saat tidur ataupun sehabis bangun
tidur. Kebutuhan tidur yang cukup ditentukan selain oleh faktor jumlah
jam tidur (kuantitas tidur), juga oleh faktor kedalaman tidur (kualitas
tidur). Beberapa faktor yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur
yaitu : faktor fisiologis, faktor psikologis, faktor lingkungan, dan gaya
hidup. Dari faktor psikologis berdampak dengan penurunan aktivitas
sehari-hari, rasa lemah, lelah, daya tahan tubuh menurun, dan
ketidakstabilan tanda-tanda vital, sedangkan dari faktor psikologis
menyebabkan depresi, cemas, dan sulit untuk konsentrasi (Potter dan
Perry, 2010).
2.2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur
Pemenuhan kebutuhan tidur bagi setiap orang berbeda-beda, ada yang
terpenuhi secara baik bahkan sebaliknya. Seseorang bisa tidur ataupun
tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu diantaranya sebagai
berikut: (Chen et al, 2016)
1. Status kesehatan
Seseorang dengan kondisi kesehatan yang memungkinkan atau baik
makan ia dapat tertidur dengan nyenyak. jika sebaliknya kondisi
seseorang yang kurang sehat atau sakit dan terdapat nyeri maka
kebutuhan tidurnya akan tidak terpenuhi dengan penuh atau tidak
nyenyak.
2. Usia lanjut
Pada lansia kualitas tidurnya seringkali berkurang, terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas tidur lansia
diantaranya, efek samping dari obat yang dikonsumsi lansia,
gangguan pernapasan dan sirkulasi yang menyebabkan
ketidaknyamanan pernapasan pada lansia, nyeri akibat peningkatan
kekakuan maupun mobilitas, depresi, kehilangan pasangan atau
teman dekat.
3. Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang. Pada
lingkungan yang bersih, bersuhu dingin, suasana yang nyaman atau
tidak gaduh, penerangan yang cukup tidak terlalu terang dapat
membuat seseorang tertidur dengan nyenyak. jika sebaliknya
lingkungan kotor, bersuhu panas,suasana yang ramai atau gaduh
dan penerangan yang terlalu terang akan mempengaruhi kualitas
tidur seseorang.
4. Stress psikologis
Cemas dan depresi akan menyebabkan gangguan kualitas tidur
seseorang, karena cemas akan meningkatkan norepineprin darah
melalui sistem saraf simpatis. Zat ini akan mengurangi waktu tidur
pada tahap IV dan REM.
5. Diet
Minuman yang mengandung bnayak kafein maupun alcohol akan
mempengaruhi kualitas tidur seseorang menjadi buruk, sebaliknya
makanan yang mengandung L-Triptofan seperti keju, susu, daging,
dan ikan tuna dapat membuat seseorang mudah tertidur.
6. Gaya hidup
Seseorang yang mengalami kelelahan yang berlebih akan
berpengaruh pada kualitas tidurnya, dan menyebabkan periode tidur
REM lebih pendek
7. Obat-obatan
Beberapa obat yang dikonsumsi terkadang ada yang mempengaruhi
kualitas tidur seseorang. Obat tidur akan berpengaruh pada tahap III
dan tahap IV tidur NREM serta menekan tidur REM.
2.2.3. Jenis-jenis tidur
Asmadi (2013) menyatakan bahwa tidur dapat diklasifikasikan
kedalam dua kategori yaitu dengan gerakan bola mata cepat (Rapid Eye
Movement-REM), dan tidur dengan bola mata lambat (Non-Rapid Eye
Movement- NREM).
1. Tidur REM
Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur
paradoksial. Hal tersebut berarti seseorang dapat tertidur nyenyak
sekali, namun gerakan kedua bola matanya bersifat sangat aktif.
Tidur REM ini ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor, tekanan
darah bertambah, gerakan bola mata cepat (mata cenderung
bergerak bolak-balik), sekresi lambung meningkat, kecepatan
jantung, ereksi penis pada laki-laki yang tidak teratur, suhu dan
metabolisme meningkat. Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan
seseorang mengalami kehilangan tidur REM, seperti cenderung
hiperaktif, emosi sulit dikendalikan, nafsu makan bertambah,
bingung dan curiga (Asmadi, 2013).
2. Tidur NREM
Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam. Pada tidur
NREM gelombang otak lebih lambat dibandingkan dengan orang
yang sadar atau tidak tidur. Tanda- tanda tidur NREM ini adalah
mimoi berkurang, keadaan istirahat, tekanan darah mrnurun,
kecepatan pernapasan turun, metabolisme turun, dan bola mata
bergerak lambat. Pada tidur NREM ini memiliki empat tahap
masing- masing tahap memiliki pola perubahan aktivitas
gelombang otak (Kozier, 2010).

Tahapan tidur NREM dibagi menjadi empat yaitu,


a. Tahap I
Merupakan tahap tidur yang sangat ringan, ditandai dengan
seseorang merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas,
kelopak mata mulai menutup, bola mata bergerak kekiri dan
kekanan sesuai dengan kecepatan jantung, pernapasan menurun.
b. Tahap II
Merupakan tahap tidur ringan dan selama tahap ini proses tubuh
terus –menerus menurun, ditandai dengan kedua bola mata berhenti
bergerak, suhu tubuh menurun, pernapasan menurun dengan jelas.
Pada tahap ini terjadi sekitar 10-15 menit.
c. Tahap III
Merupakan tahap fisik yang melemah lunglai karena tonus otot
lenyap secara menyeluruh. Kecepatan jantung, pernapasan, dan
pproses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi
sistem saraf parasimpatis. Pada tahap ini seseorang akan sulit untuk
dibangunkan.
d. Tahap IV
Merupakan tahap dimana seseorang tidur dalam keadaan rileks,
jaranf bergerak karena keadaan fisik yang sudah lemah dan lunglai,
sulit untuk dibangunkan. Pada tahap ini dapat memulihkan keadaan
tubuh.
2.2.4. Pengukuran Kualitas Tidur
Pengukuran kualitas tidur menggunakan skala PSQI (Pittsburgh
Sleep Quality Index) adalah instrument yang efektif digunakan untuk
menukur kualitas tidur dan pola tidur orang dewasa (Majid, 2014).
PSQI dikembangkan untuk mengukur dan membedakan individu
dengan kualitas tidur yang baik dan buruk. Kualitas tidur merupakan
fenomena yang komplek dan melibatkan beberapa dimensi yang
seluruhnya dapat tercakup dalam PSQI. Dimensi tersebut antara lain
kualitas tidur subjektif, sleep latensi, durasi tidur, gangguan tidur,
efisiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat tidur dan gangguan tidur
yang dialami pada siang hari. Dimensi tersebut dinilai dalam bentuk
pertanyaan dan memiliki bobot penilaian masing-masing sesuai
dengan standar baku. (Curcio et al, 2012).
Apabila semakin tinggi skor yang didapatkan, maka akan semakin
buruk kualitas tidur seseorang. Keuntungan dari PSQI ini yaitu
memiliki nilai validitas dan reliabilitas yang tinggi. Namun ada juga
kekurangan dari quisioner ini yaitu dalam pengisian memerlukan
pendampingan untuk mengurangi kesulitan responden saat mengisi
kuisioner. Masing-masing komponen memliki rentang skor 0-3 dengan
0= tidak pernah dalam sebulan terakhir, 1 = 1 kali seminggu, 2 = 2 kali
seminggu, 3 = lebih dari 3 kali seminggu. Skor dari ke tujuh komponen
tersebut dijumlahkan menjadi 1 (satu) skor global kisaran nilai 0-21.
Ada 2 interpretasi pada PSQI yaitu kualitas tidur baik jika skor ≤ 5 dan
kualitas tidur buruk jika skornya ≥5 (Curcio, 2012 ; Contreras, 2014 ;
Vicens, 2014)

2.3. KONSEP TEKANAN DARAH


2.3.1. Pengertian Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan dari darah yang dipompa jantung
terhadap arteri. Tekanan darah dipengaruhi oleh volume darah dan
juga elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah
diakibatkan adanya penurunan elastisitas pembuluh darah. Dan
sebaliknya, jika pembuluh darah elastis maka akan menurunkan
tekanan darah (Ronny, 2010). Tekanan darah merupakan faktor yang
sangat penting dalam sistem sirkulasi, peningkatan maupun penurunan
tekanan darah dapat mempengaruhi hemeostasis didalam tubuh
(Syarifudin, 2013).
Setiap orang memiliki tekanan darah yang bervariasi. Bayi dan anak-
anak cenderung memiliki tekanan darah yang lebih rendah
dibandingkan dengan orang dewasa. Aktivitas fisik seseorang akan
mempengaruhi tekanan darahnya, tekanan darah akan meningkat
ketika seseorang beraktivitas, dan sebaliknya jika seseorang tersebut
sedang beristirahat maka tekanan darahnya akan menurun
(Sutanto,2010).

2.3.2. Pengukuran tekanan darah


Teknik pengukuran tekanan darah menurut (Susilo, 2013 dalam Suri,
2017) dengan menggunkan sphygmomanometer manual :
1. Responden duduk dengan tenang atau rileks sekitar 5 menit pada
kursi dengan penopang punggung
2. Pemeriksa menjelaskan manfaat dari rileks, agar pada saat
pengukuran tekanan darah dapat menghasilkan nilai yang stabil.
3. Pasangkan manset disalah satu lengan dengan jarak sisi manset
paling bawah 2,5 cm dari siku kemudian rekatkan dengan baik.
4. Tangan responden diposisikan diatas meja dengan posisi telapak
tangan terbuka keatas dan sejajar dengan jantung.
5. Lengan yang terpasang manset harus terbebas dari lapisan apapun.
6. Raba nadi pada lipatan tangan, lalu pompa alat hingga denyut nadi
tidak teraba kemudian dipompa kembali sampai tekanan
meningkat 30 mmHg.
7. Tempelkan stetoskop pada perabaan denyut nadi, lepaskan
pemompa secara perlahan-lahan sambil dengarkan bunyi dari
denyut nadi tersebut.
8. Catat tekanan darah sistolik yaitu nilai tekanan ketika denyut nadi
pertama kali terdengar dan diastolik yaitu bunyi denyut nadi yang
sudah tidak terdengar.
9. Pengukuran tekanan darah sebaiknya dilakukan 2 - 3 kali dengan
selang waktu 2 menit. Jika hasil pengukuran berbeda sebesar 10
mmHg atau bahkan lebih maka lakukan pengukuran yang ke 3
kalinya.
10. Apabila responden tidak mampu duduk, maka pengukuran tekanan
darah dapat dilakukan dengan posisi berbaring, lalu catat kondisi
responden pada lembar catatan.

2.3.3. Faktor- faktor yang mempengaruhi tekanan darah


Tekanan darah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
(Asriwati, 2017)
1. Curah jantung. Tekanan darah berbanding lurus dengan curah
jantung yang ditentukan berdasarkan isi sekuncup dan frekuensi
pada jantung.
2. Tekanan perifer. Tekanan darah yang berbanding terbalik dengan
tahanan yang terdapat pada pembuluh darah.
3. Viskositas darah. Semakin banyak kandungan protein dalam sel
plasma darah, maka semakin besar tekanan aliran pada darah dan
bisa meningkatkan hematocrit yang menyebabkan peningkatan
viskositas pada anemia, kandungan hematokrit dan viskositas
berkurang.
4. Panjang pembuluh. Semakin panjang pembuluh darah semakin
besar tahanan terhadap aliran darah.
5. Radius pembuluh. Tekanan perifer berbanding terbalik dengan
radius pembuluh sampai pangkat keempatnya. Radius pembuluh
digunakan digandakan seperti yang terjadi pada vasodilatasi maka
aliran darah akan meningkat 16 kali lipat dan tekanan darah akan
turun. Jika radius pembuluh diabgi 2, seperti yang terjadi pada
vasokontriksi, maka tahanan terhadap aliran darah akan meningkat
16 kali lipat dan tekanan darah akan naik.
2.3.4. Penyakit tekanan darah
Menurut Asriwati (2017) penyakit pada tekanan darah diabgi menjadi
2, yaitu :
1. Hiperetensi. Beberapa faktor yang menyebabkan tekanan darah
tinggi atau hipertensi antara lain : keturunan, usia, makanan yang
tinggi garam dll, adapun tanda dan gejalanya seperti sakit kepala,
kelelahan, mual, muntah, sesak nafas, dan gelisah.
2. Hipotensi. Yaitu keadaan dimana tekanan darah seseorang
dibawah tekanan darah normal mencapai 90/60 mmHg. Tekanan
darah rendah berarti kondisi dimana kurangnya hantaran nutrisi
dan oksigen kedalam sel-sel tubuh. Tanda dan gejalanya seperti,
sering pusing, sering menguap, penglihatan kurang kabur atau
berkunang-kunang, cepat lelah, lemas tidak bertenaga, bahkan
pingsan yang berulang.
2.4. KONSEP HIPERTENSI
2.4.1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah meningkatnya
tekanan darah sistolik diatas batas normal yaitu lebih dari 140 mmHg
dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg (WHO, 2013; Ferri 2017).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu kondisi medis
dengan peningkatan tekanan darah melebihi batas normal. Seseorang
dikatakan mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya mengalami
kenaikan dan terjadi secara menetap sehingga oksigen akan terhambat
sampai kejaringan tubuh yang lain (Ramayulis, 2010).
Hipertensi yaitu suatu keadaan meningkatnya tekanan darah
pada pembuluh darah yang meningkat secara kronis. Yang demikian
itu dikarenakan jantung bekerja lebih keras dalam memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi pada tubuh. Jika
hipertensi dibiarkan maka akan mengganggu fungsi organ vital seperti
jantung dan ginjal (Kemenkes RI, 2015). Hipertensi merupakan
produk resistensi perifer dan cardiac output (Devina, 2011 dalam
Bradley, 2016). Tekanan darah lebih dari 180/100 mmHg berisiko
mengalami penyakit jantung coroner 5 kali lebih besar dibandingakan
dengan seseorang yang mempunyai tekanan darah kurang dari 120/80
mmHg (Dwi, 2014).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah kondisi dimana
meningkatnya tekanan darah yang berada pada nilai lebih dari 140/90
mmHg. Dan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti
gagal ginjal dan penyakit jantung.
2.4.2. Etiologi Hipertensi
Menurut Udjianti (2013) berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi
menjadi 2, yaitu :
1. Hipertensi primer
Adalah hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya namun
terdapat beberapa faktor yang dianggap sebagai penyebabnya,
yaitu :
a. Faktor keturunan : seseorang akan memiliki kemungkinan
lebih besar mengalami hipertensi apabila orang tuanya
menderita hipertensi.
b. Jenis kelamin dan usia
Laki-laki yang berusia 35-50 tahun dan wanita yang sudah
mengalami menopause berisiko tinggi mengalami hipertensi.
c. Diet
Konsumsi tinggi garam secara langsung dapat berhubungan
dengan berkembangnya hipertensi, mengkonsumsi garam
dapat menyebabkan haus dan mendorong kita untuk minum.
Banyaknya cairan yang tertahan dapat menyebabkan volume
darah meningkat sehingga jantung harus memompa darah
dengan lebih . kenaikan darah akan berakibat pada ginjal yang
harus menyaring lebih banyak garam dan air dan akan
menyebabkan tekanan darah didalam dinding pembuluh darah
meningkat.
d. Berat badan
Berat badan yang berlebih atau obesitas >25% dikaitkan
dengan peningkatan tekanan darah.
e. Gaya hidup
Merokok dan mengkonsumsi alcohol akan meningkatkan
tekanan darah. Nikotin dalam rokok akan menyebabkan
peningkatan tekanan darah karena diserap oleh pembuluh
darah kecil pada paru dan akan diedarkan oleh pembuluh
darah hingga ke otak, otak akan memberi sinyal pada kelenjar
adrenal untuk melepaskan hormone epinefrin (adrenalin).
Hormone tersebut akan menyempitkan pembuluh darah dan
jantung akan bekerja lebih berat. Hal tersebut akan
menyebabkan tekanan darah meningkat atau hipertensi.

2. Hipertensi sekunder
Adalah hipertensi akibat dari kelainan penyakit atau obat tertentu
sehingga dapat meningkatkan tekanan darah.
Berikut penyebab dari hipertensi sekunder :
a. Penggunaan kontrasepsi hormonal
Kontrasepsi ini berisi estrogen dan menyebabkan hipertensi
melalui mekanisme renin-aldosteron-mediated volume
expansion. Jika penggunann obat ini berhenti maka tekanan
darah akan kembali normal.

b. Penyakit parenkim dan vascular ginjal


Penyakit ini merupakan penyebab utama hipertensi. Hipertensi
renovaskular berhubungan dengan penyempitan satu atau lebih
arteri renal pada klien dengan hipertensi disebabkan oleh
aterosklorosis atau fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal
jaringan fibrus). Penyakit ini terkait dengan infeksi, inflamasi
dan perubahan struktur dan fungsi ginjal.
c. Gangguan endokrin
Medulla adrenal atau korteks adrenal yang tidak berfungsi
dapat menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-medited
hypertension disebabkan oleh kelebihan aldosterone primer,
kortisol dan katekolamin. Pada aldosterone primer yang
berlebih akan menyebabkan hipertensi dan hypokalemia.
d. Kehamilan
Naiknya tekanan darah dipengaruhi oleh hormone estrogen
pada tubuh. Saat hamil hormone estrogen menurun dan
menyebabkan sel-sel endotel rusak yang akhirnya akan muncul
plak-plak pada pembuluh darah dan akan menghambat
sirkulasi darah pada akhirnya akan memicu naiknya tekanan
darah.

e. Merokok
Merokok menyebabkan tekanan darah meningkat setelah
isapan pertama. Kandungan nikotin pada rokok memicu syaraf
untuk melepaskan zat kimia yang dapat menyempitkan
pembuluh darah dan juga akan meningkatkan tekanan darah.

2.4.3. Klasifikasi Hipertensi


Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah
pada tekanan darah sistolik kurang dari 120 mmHg dan pada
tekanan darah diastolic kurang dari 80 mmHg. Seseorang
diakatakan hipertensi apabila tekanan darahnya lebih dari
140/90 mmHg.

Tabel klasifikasi tekanan darah usia dewasa (>18 tahun) dan lansia
(Sumber : Potter dan Perry, 1997 dalam Wiria, 2015 )

Keterangan Tekanan Tekanan Darah


Darah Diastolik
Sistolik
Hipotensi <100 <80
Normal <130 <85
Normal tinggi 130-139 85-89
Hipertensi :
Stadium I (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Stadium 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Stadium 3 (hipertensi berat) 180-209 110-119
Stadium 4 (hipertensi maligna) >210 >120

2.4.4. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac
output (curah jantung) dengan total tahanan perifer. Cardiac output
diperoleh dari perkalian antara stroke volume dengan heart rate
(denyut jantung) . pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh
sistem saraf otonom dan sirkulasi hormone. Empat sistem control
berperan dalam mempertahankan tekanan darah yaitu : baroreseptor
arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan
autoregulasi vaskukar (Udjianti, 2015).
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi
pembuluh darah terletak di vasomotor, pada medulla diotak. Pusat
vasomotor ini bermula pada jaras 19 saraf simpatis, yang berlanjut
kebawah korda spinalis dan keluar dari kolumna medulla spinalis
ganglia simpatis ditoraks dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak kebawah
melalui sistem saraf simpatis ke ganglia simpatis. Titik neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut
saraf syaraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh
darah (Padila, 2013).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat
mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan
vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitive terhadap
norepinefrin, walau tidak diketahui dengan jelas mengapa hal
tersebut bisa terjadi (Padila, 2013). Meski etiologi hipertensi belum
diketahui dengan jelas, banyak faktor yang tidak terduga yang
memegang peranan dalam genesis hipertensi seperti yang sudah
dijelaskan dan faktor psikis, sisitem saraf, ginjal, jantung, pembuluh
darah, kortikosteroid, katekolamin, amgiotensin, sodium, dan air
(Syamsudin, 2011).
Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,
mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal
mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks
adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya, sehingga dapat
memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah (Padila, 2013).
Vasokonstriksi akan mengakibatkan aliran keginjal mengalami
penurunan, akan menyebabkan pelepasan rennin. Rennin akan
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian akan diubah
menjadi angiotensin II, dan akan memperkuat vasokonstriktor dan
akan merangsang sekresi aldosterone pleh korteks adrenal. Hormone
tersebut menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal,
yang akan menyebabkan volume intra vaskuler meningkat. Semua
faktor tersebut diatas akan mencetuskan keadaan hipertensi (Padila,
2013).
2.4.5. Tanda dan Gejala Hipertensi
Hipertensi termasuk dalam penyakit yang tidak mennjukkan
gejala atau tanda-tandanya belum jelas sebelum ada perubahan pada
pembuluh darah dijantung,otak atau ginjal. Hipertensi sering disebut
dengan “the silent killer” karena banyak orang yang tidak menyadari
saat tekanan darah mulai meninggi, bahkan sampai stadium yang
mengkhawatirkan. Gejala hipertensi yang dirasakan penderita
anatara lain : sakit kepala, pusing, tengkuk terasa pegal, jantung
berdetak lebih cepat dan berdebar-debar, telinga berdenging
(Agromedia, 2009).
Tanda – tanda klinis dari hipertensi :
1. Hasil pengukuran tekanan darah mengalami kenaikan pada dua
kali pengukuran secara berurutan.
2. Nyeri kepala oksipital
3. Epitaksis mungkin terjadi karena kelainan vaskuler.
4. Bruits, bising pembuluh darah dapat didengar didaerah aorta
abdominalis atau arteri karotis, arteri renalis femoralis, hal
tersebut disebabkan oleh stenosis atau aneurisma).
5. Perasaan pusing, bingung, dan keletihan.
6. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina.
7. Nokturia disebabkan oleh peningkatan aliran darah keginjal dan
meningkatnya filtrasi glomelurus.
8. Edema yang disebabkan peningkatan kapiler darah (Kowalak,
2011).

2.4.6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
Pengobatan yang tidak menggunakan obat- obatan :
1. Diet
Beberapa diet yang dianjurkan yaitu :
a. Diet rendah garam, dengan diet ini bisa
menurunkan tekanan darah pada klien hipertensi
dan juga dapat mengurangi stimulasi sistem renin-
angiotensin sehingga berpotensi sebagai anti
hipertensi. Jumlah asupan natrium / garam yang
dianjurakan adalah 50-100 mmol atau setara dengan
3-6 gram perhari.
b. Diet rendah kolestrol untuk mencegah terjadinya
jantung koroner.
c. Diet kaya buah dan sayur.
2. Olahraga
Olahraga yang teratur contohnya seperti senam,
berjalan, bersepeda, lari-lari kecil. Dengan berolahraga
secara teratur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali per
minggu dapat menurunkan tekanan darah, olahraga
dapat meningkatkan kadar HDL yang bisa mengurangi
aterosklerosis akibat hipertensi.
3. Gaya hidup
Berhenti merokok dan tidak mengkonsusmsi alcohol,
penting untuk mengurangi efek jangka panjang dari
hipertensi, karena asap rokok dapat menurunkan aliran
darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan kerja
jantung (Reny Yuli, 2014)

4. Terapi relaksasi nafas dalam


Menrut Brunner & Suddarth (2013), terapi ini adalah
terapi dengan pernapasan diabdomen menggunakan
frekuensi lambat dan perlahan, berirama dan nyaman.

b. Penatalaksanaa Farmakologis
1. Terapi oksigen
2. Pemantauan hemodinamik
3. Pemantauan jantung
4. Obat-obatan :
a. Diuretik, bekerja diberbagai mekanisme untuk
mengurangi curah jantung dengan mendorong
ginjal meningkatkan ekskresi garam dan airnya.
b. Antagonis (penyekat) reseptor beta (-blocker)
terutama penyekat selektif, bekerja pada reseptor
beta dijantung untuk menurunkan kecepatan denyut
dan curah jantung.
c. Antagonis reseptor alfa (-blocker) menghambat
reseptor alfa diotot polos vaskuler yang secara
normal berespon terhadap ranfsangan saraf simpatis
dengan vasokonstriksi. Dan akan menurunkan TPR.
d. Vasodilator arteriol langsung dapat digunakan
untuk menurunkan TPR. Misalnya, natrium,
nitroprusida, nikardipin, hidralazin, nitrogliserin
(Brunner & Suddarth, 2002).

2.4.7. Komplikasi
Penyakit hipertensi akan meningkat adanya penyakit kronis.
Penyakit lain yang dapat meningkatkan derajat hipertensi atau
berupa komplikasi dan menyebabkan hipertensi sulit
dikendalikan, yaitu :
a. Kolestrol tinggi. Kadar kolestrol yang tinggi dalam darah
akan meningkatkan pembentukan plak dalam pembuluh
darah arteri. Akibatnya arteri akan menyempit dan sulit
mengembang. Hal ini akan mengakibatkan tekanan darag
meningkat.
b. Diabetes Melitus. Terlalu banyak kadar gula dalam darah
akan merusak organ dan jaringan tubuh sehingga terjadi
aterosklerosis (penyempitan atau penyumbatan arteri), hal
ini akan mempengaruhi tekanan darah.
c. Apnea pada saat tidur (mendengkur). Apnea adalah
gangguan tidur berupa kesulitan bernapas yang terjadi
berulang kali pada saat tidur. Jika pernapasan terhenti maka
pasokan oksigen akan berkurang untuk sementara waktu
yang menyertai apnea dan dapat terjadinya hipertensi.
d. Gagal jantung dan gagal ginjal. Hipertensi yang tidak
terkendali akan menuntut jantung bekerja lebih berat untuk
memompa darah. Indikator lain yang menunjukkan
peningkatan resiko penyakit jantung dan pembuluh darah
adalah terjadinya perubahan aliran darah dalam retina.,
penebalan bilik kiri jantung, perubahan kadar kreatinin (zat
kimia yang dikeluarkan oleh ginjal) dalam darah, dan
perubahan jumlah protein dalam urine.
e. Gangguan pada sistem kardiovaskular (jantung dan
pembuluh darah), terdiri dari aterosklerosis, ateriosklerosis,
aneurisma, penyakit arteri koronia, hipertrofi bilik kiri dan
gagal jantung.
f. Gangguan pada otak, terdiri dari stroke iskemik dan stroke
hemoregik dan demensia.
g. Gangguan pada mata yaitu kerusakan kornea mata
(Junaedi, 2013).

2.5. KERANGKA TEORI


Kerangka teori adalah kesimpulan dari tinjauan pustaka yang berisi tentang
konsep-konsep teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan
dilaksanakan (Hidayat, 2014). Adapun kerangka teori pada penelitian ini
dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

LANSIA TEKANAN DARAH

1. Definisi
2. Batasan Lansia 1. Definisi
3. Ciri-Ciri Lansia 2. Pengukuran TD
4. Teori Proses Menua 3. Faktor Yang
5. Faktor Yang Mempengaruhi TD
Mempengaruhi 4. Penyakit TD
6. Perubahan Yang
Terjadi Pada Lansia

KUALITAS TIDUR HIPERTENSI

1. Definisi 1. Definisi
2. Faktor-Faktor Yang 2. Etiologi
Mempengaruhi 3. Klasifikasi
Kualitas Tidur 4. Patofisiologi
3. Jenis-Jenis Tidur 5. Tanda Dan Gejala
4. Pengukuran Kualitas 6. Penatalaksanaan
Tidur 7. Komplikasi

Gambar 2.5 Kerangka teori

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1. Kerangka Konseptual Penelitian


kerangka konsep merupakan justifikasi ilmiah terhadap penelitian yang
dilakukan meliputi siapa yang diteliti, variabel yang diteliti, variabel yang
mempengaruhi dalam penelitian dan mempunyai landasan yang kuat terhadap
judul yang dipilih, sesuai identifikasi masalahnya didukung landasan teori yang
kuat serta ditunjang sebagai sumber (Hidayat, 2014). Kerangka konsep dalam
penelitian ini dapat dilihat pada gambar sebagai berikut :

TEKANAN DARAH ;

1. HIPOTENSI
2. NORMAL

LANSIA KUALITAS TIDUR 3. HIPERTENSI

Faktor yang
mempengaruhi kualitas
tidur :

1. Status kesehatan
2. Lingkungan
3. Stress
4. Diet
5. Gaya hidup
6. Obat-obatan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: diteliti

: tidak diteliti

3.2. Hipotesis Penelitian


Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang kebenarannya
dibuktikan dalam penelitian maka hipotesis dapat benar atau juga salah dapat
diterima atau ditolak (Notoatmodjo, 2010). Hipotesis pada penelitian ini adalah,
sebagai berikut :
1. Hipotesa Aktif atau disebut juga Hipotesa Kerja (Ha)
Ada hubungan antara kualitas tidur dengan perubahan tekanan darah pada
lansia hipertensi.
2. Hipotesa pasif atau disebut juga Hipotesa nihil (H0)
Tidak ada hubungan antara kualitas tidur dengan perubahan tekanan darah
pada lansia hipertensi.
KUISIONER PENELITIAN

Hubungan Kualitas Tidur Dengan Perubahan Tekanan Darah


Pada Lansia Hipertensi Di Wilayah Kerja Puskesmas Sawoo Kecamatan Sawoo
Kabupaten Ponorogo
IDENTITAS RESPONDEN

Tanggal Penelitian :

Nama Responden :

Usia Responden :

Petunjuk : Berilah tanda centang (√) pada jawaban yang saudara anggap benar !

1. Jenis kelamin saudara


Laki – laki
Perempuan

2. Apakah pendidikan terakhir saudara ?


SD
SMP
SMA
S1
S2
3. Apakah pekerjaan saudara ?
Ibu rumah tangga
Petani
Swasta
PNS
Lainnya ……………………………… (Sebutkan)
KUESIONER KUALITAS TIDUR
PSQI (PITTSBURGH SLEEP QUALITY INDEX)

A. Pertanyaan Untuk Subjek Penelitian


Petunjuk :

Pertanyaan berikut ini berhubungan dengan kebiasaan tidur anda selama 1


bulan terakhir. Jawaban anda sebaiknya menunjukkan jawaban yang
paling tepat atas kebiasaan tidur anda pada sebagian besar siang dan
malam pada 1 bulan terakhir. Saya berharap anda menjawab semua
pertanyaan , nomor 1 – 4 jawablah dengan angka, sedangkan
pertanyaan nomor 5 – 9 cukup dengan tanda centang (√) pada salah
satu kolom pilihan jawaban yang ada.

1. Pada jam berapa anda biasanya mulai tidur malam ?


..................................................................................................................
2. Berapa lama anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam ?
..................................................................................................................
3. Pada jam berapa anda biasanya bangun pagi ?
..................................................................................................................
4. Berapa lama anda tidur dimalam hari ?
..................................................................................................................
5 Seberapa sering masalah Tidak 1x 2x ≥ 3x
Pernah seminggu seminggu semingg
– masalah dibawah ini
(0) (1) (2) u
mengganggu tidur anda ? (3)
a. Tidak mampu tertidur
selama 30 menit sejak
berbaring
b. Terbangun ditengah malam
atau terlalu dini
c. Terbangun untuk kekamar
mandi
d. Tidak mampu bernafas
dengan leluasa
e. Batuk atau mengorok
f. Kedinginan di malam hari
g. Kepanasan di malam hari
h. Mimpi buruk
i. Merasa nyeri
j. Alas an lain, jelaskan :
……………………………
……………………………
……………………………
……………………………
…….........
6 Seberapa sering anda
menggunakan obat tidur ?
7 Seberapa sering anda
mengantuk ketika
melakukan aktivitas di
siang hari ?
Tidak Kecil (1) Sedang Besar
antusias (2) (3)
(0)
8 Seberapa besar antusias
anda ingin menyelesaikan
masalah yang anda
hadapi ?
Sangat Baik (1) Kurang Sangat
baik (0) (2) kurang
(3)
9 Bagaimana kualitas tidur
anda selama satu minggu
yang lalu ?
Hasil :
1. Jumlah score : ………………………
2. Tekanan darah : Sistolik ………… Diastolik ………. mmHg

Keterangan cara Skoring


Komponen :
1. Kualitas tidur subyektif : dilihat dari pertanyaan nomor 9
a. Sangat baik =0
b. Baik =1
c. Kurang =2
d. Sangat kurang =3
2. Latensi tidur (kesulitan memulai tidur) : total skor dari pertanyaan nomor 2
dan nomor 5a.
Pertanyaan nomor 2 :
a. ≤15 menit =0
b. 16 – 30 menit =1
c. 31 – 60 menit =2
d. ≥60 menit =3
Pertanyaan nomor 5a :
a. Tidak pernah =0
b. 1x seminggu =1
c. 2x seminggu =2
d. ≥ 3x seminggu =3
Jumlahkan skor pertanyaan nomor 2 dan 5a, dengan skor dibawah ini,
a. Skor 0 =0
b. Skor 1 – 2 =1
c. Skor 3 – 4 =2
d. Skor 5 – 6 =3
3. Lama tidur malam : dilihat dari pertanyaan nomor 4
a. ≥ 7 jam =0
b. 6 - 7 jam =1
c. 5 – 6 jam =2
d. ≤ 5 jam =3

4. Efisiensi tidur : pertanyaan nomor 1, 3, 4.


Efisiensi tidur = (# lama tidur / # lama ditempat tidur) x 100 %
#lama tidur ± pertanyaan nomor 4
#lama ditempat tidur kalkulasi respon dari pertanyaan nomor 1 dan 3
Jika didapat hasil berikut, maka skornya :
a. >85 % =0
b. 75 – 84 % =1
c. 65 – 74 % =2
d. <65 % =3
5. Gangguan ketika tidur malam : pertanyaan nomor 5b sampai 5i.
Nomor 5b sampai 5i dinilai dengan skor dibawah ini :
a. Tidak pernah =0
b. 1x seminggu =1
c. 2x seminggu =2
d. ≥3x seminggu =3
Jumlahkan skor pertanyaan nomor 5b sampai 5i dengan skor dibawah ini :
a. Skor 0 =0
b. Skor 1 – 9 =1
c. Skor 10 – 18 =2
d. Skor 19 – 27 =3
6. Menggunakan obat-obat tidur : pertanyaan nomor 6.
a. Tidak pernah =0
b. 1x seminggu =1
c. 2x seminggu =2
d. ≥3x seminggu =3
7. Terganggunya aktivitas disiang hari : pertanyaan nomor 7 dan 8.
Petanyaan nomor 7 :
a. Tidak pernah =0
b. 1x seminggu =1
c. 2x seminggu =2
d. ≥3x seminggu =3
Pertanyaan nomor 8 :
a. Tidak antusias = 0
b.Kecil =1
c. Sedang =2
d.Besar =3
Jumlahkan skor pertanyaan nomor 7 dan 8, dengan skor dibawah ini :
a. Skor 0 =0
b.Skor 1 -2 =1
c. Skor 3 – 4 =2
d.Skor 5 – 6 =3

Skor akhir : jumlahkan semua skor mulai dari komponen 1 – 7.


Nilai tiap komponen kemudian dijimlahkan menjadi skor global antara 0 –
21.
Skor ≤ 5 = baik
Skor ≥ 5 = buruk

Anda mungkin juga menyukai