Anda di halaman 1dari 29

SKRIPSI

HUBUNGAN HIPERTENSI TERHADAP FUNGSI KOGNITIF PADA


LANJUT USIA DI PUSKESMAS JATIASIH KOTA BEKASI

Penelitian Observasi Analitik

IFAN FEBRIAN WILIANTO


2016.04.1.0099

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA 2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tidak menular atau disingkat PTM menjadi penyebab utama


kematian secara global. Data WHO menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian
yang terjadi di dunia pada tahun 2008, sebanyak 36 juta atau hampir dua
pertiganya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular. Salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi perhatian saat ini adalah hipertensi. Menurut WHO dan
ISH (International Society of Hypertension)(dalam Nawi dkk, 2006), saat ini
terdapat 600 juta penderita hipertensi di seluruh dunia, dan 3 juta di antaranya
meninggal setiap tahun.
Di Indonesia, hipertensi menempati peringkat ke-2 dari 10 penyakit
terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2006 dengan
prevalensi sebesar 4,6%. Data Riset Kesehatan Dasar (2007) juga
menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan
insiden komplikasi penyakit kardiovaskular lebih banyak pada perempuan
(52%) dibandingkan laki-laki (48%) (Depkes, 2008, dalam Musayaroh).
Berdasarkan riset Dinas Kesehatan Jawa Barat tahun 2016 angka prevalensi
hipertensi di Jawa Barat diperoleh angka sebesar 32,59% (Dinkes Jawa Barat,
2016).
Batasan umur lansia di Indonesia menurut undang-undang nomor 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia adalah 60 tahun ke atas (Riskesdas,
2013). Hal yang sama menurut World Health Organization (WHO) bahwa usia
lanjut dimulai dari usia 60 tahun. Meskipun beberapa sumber menyebutkan
definisi usia tua, tetapi tidak ada kesepakatan umum tentang usia di mana
seseorang menjadi tua. Seseorang bisa sama tua secara usia, tetapi
kemampuan tubuh secara biologis bisa saja berbeda untuk menunjukkan
seseorang tua atau belum tua. (WHO, 2016).

2
Seiring dengan pertambahan usia, proses penuaan juga mempengaruhi
fungsi kognitif. Perubahan fungsi kognitif dalam proses menua dapat berupa
kemampuan meningkatkan fungsi intelektual yang berkurang dan
berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak, menyebabkan proses inflamasi
melambat dan banyak informasi yang hilang selama transmisi (Setiati et al.,
2009). Kemunduran kognitif ditandai lupa pada hal yang baru, akan tetapi
masih dapat melakukan aktifitas dasar sehari-hari. Hipertensi dan
hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama. Pengobatan hipertensi
dapat mencegah terjadinya penurunan kognitif. Tekanan darah yang optimal
untuk mencegah proses ini adalah 70-79 mmHg (Suhardjono, 2009).
Pasien usia lanjut yang menderita hipertensi lebih dari lima tahun
didapatkan menderita penurunan fungsi kognitif (Taufik, 2014). Keadaan
penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut, lebih sering didapat pada hipertensi
kronik. Keadaan ini terjadi karena penyempitan dan sklerosis arteri kecil di
daerah subkortikal, yang mengakibatkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi,
penurunan sawar otak, dan pada akhirnya terjadi proses demyelinisasi white
matter subcortical, mikroinfark dan penurunan kognitif. Pemeriksaan MRI
pada pasien dengan hipertensi kronik sering mendapatkan lesi subkortikal,
mikroinfark, astrogliosis, pelebaran ventrikel, dan akumulasi cairan ekstrasel
dibanding yang tanpa hipertensi (Suhardjono, 2009).
Hipertensi yang kronis akan membuat sel otot polos pembuluh darah
otak berproliferasi. Proliferasi ini mengakibatkan lumen semakin sempit dan
dinding pembuluh darah semakin tebal sehingga nutrisi yang dibawa darah ke
jaringan otak juga terganggu. Sel neuron di otak akan mengalami iskemik
apabila tidak segera dilakukan penanganan. Saat iskemik terjadi, pompa ion
yang membutuhkan ATP akan tidak berfungsi sehingga ion natrium dan
kalsium akan terjebak dalam sel neuron. Natrium akan menarik H2O ke dalam
sel sehingga menjadi oedem. Kalsium akan mengaktivasi glutamat dan
menjadi zat yang sitotoksik bagi sel. Natrium dan kalsium tersebut pada

3
akhirnya akan membuat sel neuron mati dan menimbulkan gangguan fungsi
kognitif
Berdasarkan tingginya hipertensi yang terjadi pada lanjut usia di Jawa
Barat dan terjadinya penurunan fungsi kognitif yang mempengaruhi kualitas
hidup lanjut usia, peneliti ingin meneliti hubungan antara hipertensi terhadap
fungsi kognitif pada lanjut usia di Puskemas Jatiasih kota Bekasi

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah bagaimana hubungan Hipertensi terhadap Fungsi Kognitif
Lanjut Usia di Puskesmas Jatiasih kota Bekasi

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum


Untuk mengetahui hubungan Hipertensi terhadap Fungsi Kognitif Lanjut
Usia di Puskemas Jatiasih kota Bekasi

1.3.2 Tujuan khusus


Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :
a. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik dasar subjek penelitian
yang mencakup: Usia, pendidikan terakhir, riwayat penyakit lansia di
Puskemas Jatiasih kota Bekasi
b. Mengetahui hubungan lansia yang hipertensi dan mengalami
penurunan fungsi kognitif di Puskemas Jatiasih kota Bekasi

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi peneliti
a. Penelitian ini dapat menjawab keingintahuan peneliti mengenai hubungan
hipertensi dengan fungsi kognitif pada lanjut usia di Puskemas Jatiasih
kota Bekasi

4
b. Wahana bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengadakan penelitian
serupa.

1.4.2 Manfaat bagi tenaga kesehatan

Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam pencegahan


peningkatan keparahan kejadian hipertensi dengan meningkatkan
pengetahuan penderita hipertensi mengenai pengendalian tekanan darah

1.4.3 Manfaat bagi masyarakat

Penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk pencegahan penurunan


fungsi kognitif pada pasien hipertensi lanjut usia.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lansia

2.1.1 Definisi
Istilah untuk manusia yang berusia lanjut belum ada yang baku. Ada
yang menyebutnya manusia usia lanjut (manula), manusia lanjut usia (lansia),
ada yang menyebut golongan lanjut umur (glamur), usia lanjut (usila), bahkan
di Inggris orang biasa menyebutnya dengan istilah warga negara senior
(Maryam, et al., 2011).

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur


kehidupan manusia (Keliat, 1999). Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3),
(4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut
adalah seseorang mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, et al., 2011).

Menurut Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU No. 13
tentang kesehatan).
b. dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai
spritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif.
c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

2.1.2. Proses Penuaan

Tahap dewasa merupakan tahap tubuh mencapai titik perkembangan yang


maksimal. Setelah itu tubuh akan menyusut dikarenakan berkurangnya jumlah
sel-sel yang ada dalam tubuh. Sebagai akibatnya, tubuh juga akan mengalami
penurunan fungsi secara perlahan-lahan. Itulah yang dikatakan proses
penuaan (Maryam et al., 2011).

6
Proses penuaan atau proses menjadi tua adalah suatu proses
menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap infeksi, serta memperbaiki terhadap kerusakan
yang diderita (Constantinides, 1994). Seiring dengan proses menua tersebut,
tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau yang biasa disebut
sebagai penyakit degeneratif (Maryam et al., 2011).

2.2. Denfinisi Hipertensi

2.2.1. Definisi

Hipertensi merupakan penyebab utama gagal jantung, stroke, infak


miokard, diabetes dan gagal ginjal (Corwin, 2009). Hipertensi disebut juga
sebagai “pembunuh diam–diam” karena orang dengan hipertensi sering tidak
menampakan gejala. Institut Nasional Jantung, Paru dan Darah
memperkirakan separuh orang yang menderita hipertensi tidak sadar akan
kondisinya. Tekanan darah pasien harus dipantau dengan interval teratur
karena hipertensi merupakan kondisi seumur hidup (Smeltzer dan Bare,
2002).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah suatu peningkatan abnormal
tekanan darah dalam pembuluh darah arteri yang mengangkut darah dari
jantung dan memompa keseluruh jaringan dan organ–organ tubuh secara
terus–menerus lebih dari suatu periode (Irianto, 2014).
Menurut WHO (2013), batas normal tekanan darah adalah tekanan darah
sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah diastolik kurang dari 80
mmHg. Seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.

7
2.2.2 Klasifikasi Hipertensi

Beberapa klasifikasi hipertensi adalah sebagai berikut:

a. Klasifikasi Menurut Joint National Commite 7


Komite eksekutif dari National High Blood Pressure Education Program
merupakan sebuah organisasi yang terdiri dari 46 professionalm sukarelawan,
dan agen federal. Mereka mencanangkan klasifikasi JNC (Joint Committe
onPrevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure)
pada tabel 1, yang dikaji oleh 33 ahli hipertensi nasional Amerika Serikat
(Marliani, 2008).

Tabel 2.1 Klasifikasi Menurut JNC (Joint National Committe on


Prevention,Detection, Evaluatin, and Treatment of High Blood Pressure)
Kategori Kategori Tekanan Tekanan dan/ Tekanan
Tekanan Darah Darah menurut Darah atau Darah
menurut JNC 7 JNC 6 Sistol Diastol
(mmHg) (mmHg)
Normal Optimal < 120 Dan < 80
Pra-Hipertensi 120-139 Atau 80-89

- Nornal < 130 Dan < 85


- NormalTinggi 130-139 Atau 85-89

Hipertensi: Hipertensi:

Tahap 1 Tahap 1 140-159 Atau 90-99


Tahap 2 - ≥ 160 Atau ≥ 100
- Tahap 2 160-179 Atau 100-109
Tahap 3 ≥ 180 Atau ≥ 110

(Sumber: Marliani, 2008)

Data terbaru menunjukkan bahwa nilai tekanan darah yang


sebelumnya dipertimbangkan normal ternyatamenyebabkan peningkatan

8
resiko komplikasi kardiovaskuler. Data ini mendorong pembuatan klasifikasi
baru yang disebut pra hipertensi (Marliani, 2008).

b. Klasifikasi Menurut WHO (World Health Organization)

WHO dan International Society of Hypertension Working Group


(ISHWG) telah mengelompokkan hipertensi dalam klasifikasi optimal, normal,
normal-tinggi, hipertensi ringan, hipertensi sedang, dan hipertensi berat
(Marliani,2008).

Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO


Kategori Tekanan Tekanan Darah
Darah Diatol (mmHg)
Sistol
(mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Normal-Tinggi 130-139 85-89
Tingkat 1(Hipertensi Ringan) 140-159 90-99
Sub-group: perbatasan 140-149 90-94

Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109

Tingkat 3 (Hipertensi Berat) ≥ 180 ≥ 110

Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90


(Isolatedsystolichypertension)
Sub-group: perbatasan 140-149
<90
(Sumber: Marliani, 2008)

c. Klasifikasi berdasarkan hasil konsesus Perhimpunan Hipertensi


Indonesia (Marliani, 2008).

Pada pertemuan ilmiah Nasional pertama perhimpunan hipertensi


Indonesia 13-14 Januari 2007 di Jakarta, telah diluncurkan suatu konsensus

9
mengenai pedoman penanganan hipertensi di Indonesia yang ditujukan bagi
mereka yang melayani masyarakat umum:

1) Pedoman yang disepakati para pakar berdasarkan prosedur

standar dan ditujukan untuk meningkatkan hasil penanggulangan ini


kebanyakan diambil dari pedoman Negara maju dan Negara tetangga,
dikarenakan data penelitian hipertensi di Indonesia yang berskala
Nasional dan meliputi jumlah penderita yang banyak masih jarang.

2) Tingkatan hipertensi ditentukan berdasarkan ukuran tekanan darah


sistolik dan diastolik dengan merujuk hasil JNC dan WHO.
3) Penentuan stratifikasi resiko hipertensi dilakukan berdasarkan
tingginya tekanan darah, adanya faktor resiko lain, kerusakan organ
target dan penyakitpenyerta tertentu.

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Menurut Perhimpunan Hipertensi Indonesia


Kategori Tekanan dan/atau Tekanan
Darah Sistol Darah
(mmHg) Diastol
(mmHg)
Normal <120 Dan <80
Prehipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi 140-159 Atau 90-99
Tahap 1
Hipertensi ≥160-179 Atau ≥100
Tahap 2
Hipertensi ≥140 Dan <90
Sistol terisolasi
(Sumber: Marliani, 2008)

10
Klasifikasi hipertensi menurut bentuknya ada dua yaitu hipertensi
sistolik dan hipertensi diastolik (Winarno,2009).

1. Pertama yaitu hipertensi sistolik adalah jantung berdenyut terlalu kuat


sehingga dapat meningkatkan angka sistolik. Tekanan sistolik
berkaitan dengan tingginya tekanan pada arteri bila jantung
berkontraksi (denyut jantung). Ini adalah tekanan maksimum dalam
arteri pada suatu saat dan tercermin pada hasil pembacaan tekanan
darah sebagai tekanan atas yang nilainya lebih besar.
2. Kedua yaitu hipertensi diastolik terjadi apabila pembuluh darah kecil
menyempit secara tidak normal, sehingga memperbesar tahanan
terhadap aliran darah yang melaluinya dan meningkatkan tekanan
diastoliknya. Tekanan darah diastolik berkaitan dengan tekanan dalam
arteri bila jantung berada dalam keadaan relaksasi diantara dua
denyutan. Sedangkan menurut Nurochman (2009) faktor yang
mempengaruhi prevalensi hipertensi antara lain ras, umur, obesitas,
asupan garam yang tinggi, adanya riwayat hipertensi dalam keluarga.

Klasifikasi hipertensi menurut sebabnya dibagi menjadi dua yaitu


sekunder dan primer. Hipertensi sekunder merupakan jenis yang penyebab
spesifiknya dapat diketahui (Armilawati, 2009).

Klasifikasi hipertensi menurut gejala dibedakan menjadi dua yaitu


hipertensi Benigna dan hipertensi Maligna. Hipertensi Benigna adalah
keadaan hipertensi yang tidak menimbulkan gejala-gejala, biasanya
ditemukan pada saat penderita dicek up. Hipertensi Maligna adalah keadaan
hipertensi yang membahayakan biasanya disertai dengan keadaan
kegawatan yang merupakan akibat komplikasi organ-organ seperti otak,
jantung dan ginjal (Chobanian, 2013).

Antara tahun 1999-2004, populasi Amerika Serikat Laki-laki yang


menderita hipertensi pada kelompok usia (≥18 tahun) sekitar 27% baik

11
perempuan maupun laki-laki. Peningkatan terjadi secara progresif sesuai
dengan penambahan usia, dan paling banyak terjadi pada lansia (Arronow et
al., 2011).

2.2.3 Etiologi Hipertensi

Penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :

1) Hipertensi essensial

Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan


dasar patologi yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
essensial. Penyebabnya meliputi faktor genetik dan lingkungan. Faktor
genetic mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan terhadap
stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor, resistensi
insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan antara
lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain
(Nafrialdi, 2009).

2) Hipertensi sekunder

5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder dari penyakit


komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau
penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.
Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat
menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan
tekanan darah(Oparil, 2003).

Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering berhubungan


dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung koroner, diabetes dan
kelainan sistem saraf pusat (Sunardi, 2000).

12
2.2.4 Faktor Risiko

Faktor risiko untuk hipertensi ada yang dapat dimodifikasi dan yang tidak
dapat dimodifikasi (Sharma et al., 2008). Faktor-faktor yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis kelamin, dan etnis.
Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stres, obesitas dan nutrisi
(Yogiantoro, 2006)

1. Faktor genetik
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium. Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi (Wade
dan Cameron, 2003)

2. Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50‒60% mempunyai tekanan darah
lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan pengaruh
degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya (Kumar et al.,
2005). Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh
karena interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka
tekanan darah juga akan meningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri
akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen
pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur
menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah meningkat karena
kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan
umur sampai dekade ke lima dan ke enam kemudian menetap atau
cenderung menurun. (Kumar et al., 2005)

13
Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan fisiologis,
pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas
simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor pada usia
lanjut sensitivitasnya sudah berkurang, sedangkan peran ginjal juga sudah
berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun
(Kumar et al., 2005).

3. Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause
(Cortaz et al., 2008). Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi
oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High
Density Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan
faktor pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan esterogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon esterogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut
dimana hormon esterogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun (Kumar et al., 2005).

4. Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes for
Health USA (NIH, 1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 yang memiliki IMT <25 (status gizi
normal menurut standart international) prevalensinya adalah 18% untuk
pria dan 17% untuk wanita (Cortaz et al., 2008). Menurut Hall (1994)
perubahan fisiologis dapat menjelaskan hubungan antara kelebihan berat
badan dengan tekanan darah, yaitu terjadinya resistensi insulin dan

14
hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin, dan
perubahan fisik pada ginjal. Peningkatan konsumsi energi juga
meningkatkan insulin plasma, dimana natriuretik potensial menyebabkan
terjadinya reabsorpsi natrium dan peningkatan tekanan darah secara
terus-menurus (Cortaz et al., 2008).

5. Merokok

Penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari Brigmans


and Wowan Hospital, Massachussetts terhadap 28.236 subyek yang
awalnya tidak ada riwayat hipertensi dengan karakteristik sampel yaitu
51% subyek tidak merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek
merokok 1-14 batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih
dari 15 batang perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8
tahun. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak
terlihat pada kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15
batang per hari (Bowman et al., 2007)

6. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya


angiotensin II dari angiotensin I oleh Angiotensin I Converting Enzyme
(ACE). Peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah diatur oleh
ACE. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati.
Hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I.
Hormon ACE yang terdapat di paru-paru mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam
menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama (Yogiantoro, 2006).
Aldosteron berasal dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan
hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur
volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl
(garam) dengan cara mereabsorbsinya dari tubulus ginjal. Naiknya

15
konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan
volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan
volume dan tekanan darah (Yogiantoro, 2006).

2.3 Fungsi Kognitif

2.3.1 Definisi

Fungsi kognitif adalah merupakan aktivitas mental secara sadar seperti


berpikir, mengingat, belajar dan menggunakan bahasa. Fungsi kognitif juga
merupakan kemampuan atensi, memori, pertimbangan, pemecahan masalah,
serta kemampuan eksekutif seperti merencanakan, menilai, mengawasi dan
melakukan evaluasi (Strub dan Black, 1993).

2.3.2 Evaluasi Klinis

Dalam evaluasi fungsi kognisi, hal yang dapat dievaluasi adalah


memori, kemampuan visuospasial dan konstruksional, serta kemampuan
membaca, menulis, dan menghitung. Kemampuan abstraksi juga patut dikaji,
meski kinerja pasien dalam tugas, seperti interpretasi peribahasa, mungkin
merupakan uji proyektif di bangsal rawat yang berguna bagi sejumlah pasien,
namun interpretasi spesifik dapat timbul dari berbagai faktor, seperti edukasi
yang buruk, inteligensi rendah, serta kegagalan untuk memahami konsep
peribahasa, seperti halnya rangkaian gangguan psikopatologis primer dan
sekunder yang luas (Sadock, 2010).

Evaluasi formal untuk gangguan kognitif memerlukan konsultasi yang


memakan waktu dengan seorang pakar di bidang pengujian psikologis, satu uji
yang praktis dan berguna secara klinis untuk dokter umum adalah
pemeriksaan status mini mental atau MMSE (Mini-Mental State Examination).
MMSE merupakan uji penapis yang digunakan selama pemeriksaan klinis
pasien (Sadock, 2010).

16
Uji yang dirancang oleh M.F. Goldstein, S. Folstein, dan P.R McHugh ini
terdiri dari lima kategori: 1) orientasi (misalnya waktu, tempat, orang); 2)
registrasi (misalnya mengurangkan 7 dari 100 secara serial, menyebutkan tiga
nama benda); 3) mengingat (misalnya mengingat nama benda yang
sebelumnya disebutkan); 4) bahasa (misalnya menyebut nama benda,
pengulangan kata, menulis kalimat); dan 5) konstruksi (misalnya menyalin
suatu pola). Poin diberikan untuk tiap jawaban yang benar dengan skor
maksimum 30 yang menandakan tidak adanya gangguan (folstein et al., 1975).

2.3.2.1. Orientasi dan Memori

Gangguan orientasi biasanya dibagi berdasarkan waktu, tempat, dan


orang. Adanya kelainan biasanya tampak sesuai urutan ini (yaitu sensasi
waktu biasanya lebih dulu terganggu sebelum tempat); demikian juga saat
pasien membaik, gangguan menghilang dalam urutan terbalik. Hal ini dapat
ditentukan apakah pasien dapat menyebutkan dengan tepat tanggal dan jam
saat ini. Bila pasien dirawat inap, dapat ditanya berapa lama mereka dirawat
inap, dan lihat apakah pasien berorientasi ke waktu sekarang. Pada
pertanyaan mengenai orientasi pasien terhadap tempat, tidak cukup bila
pasien hanya mampu menyebutkan nama dan lokasi rumah sakit dengan
tepat; mereka juga harus berlaku seolah mereka tahu di mana mereka berada.
Mengkaji orientasi terhadap orang, dapat ditanyakan apakah pasien
mengetahui nama-nama orang disekitarnya dan apakah mereka memahami
perannya dengan orang-orang tersebut (Sadock, 2010).

Fungsi ingatan biasanya dibagi menjadi empat area: ingatan jangka


panjang, menengah, dan pendek, serta retensi ingatan dan pengingatan
(recall) segera. Ingatan jangka pendek dapat diperiksa dengan menanyakan
pasien mengenai selera makan dan apa yang dimakannya saat sarapan atau
makan malam sebelumnya. Pada poin ini pasien dapat diminta untuk
mengingat nama pewawancara. Meminta pasien untuk mengulangi enam
angka secara berurutan kemudian membalikannya adalah uji untuk retensi

17
ingatan segera. Ingatan jangka panjang dapat diuji dengan menanyakan
pasien mengenai informasi pada masa kanak-kanaknya yang dapat diuji
kebenarannya kemudian. Meminta pasien untuk mengingat berita penting
terbaru selama beberapa bulan terakhir digunakan untuk memeriksa ingatan
jangka menengah. Seringkali pada gangguan kognitif, ingatan jangka pendek
terganggu lebih dahulu dan ingatan jangka panjang terganggu belakangan.
Konfabulasi (memberi jawaban yang salah secara tidak sadar saat memori
terganggu) paling sering dikaitkan dengan gangguan kognitif (Sadock, 2010).

2.3.2.2. Kosentrasi dan Perhatian

Gangguan kognitif dapat dinilai dari konsentrasi pasien. Pengurangan


kelipatan 7 dari angka 100 secara serial adalah tugas sederhana yang
memerlukan kosentrasi penuh dan kemampuan kognitif. Bila pasien tidak bisa
mengurangi dengan kelipatan, maka dapat dicoba dengan kelipatan 3. Apabila
pasien tidak mampu, pemeriksa harus dapat menilai kemampuan dalam
melakukan pengkalian, seperti 4 x 9 atau 5 x 4. Pemeriksa harus mengkaji
apakah ansietas, sejumlah gangguan mood atau kesadaran, atau kelemahan
belajar berperan dalam kesulitan tersebut. Perhatian (atensi) diperiksa dengan
cara berhitung atau minta pasien untuk mengeja kata ‘dunia’ (atau kata lain)
secara terbalik. Pasien juga dapat diminta untuk menyebutkan lima nama
benda yang dimulai dengan huruf tertentu (Sadock, 2010).

2.3.2.3. Membaca dan menulis

Pasien harus diminta untuk membaca suatu kalimat (contohnya,”Pejamkan


matamu”) kemudian mengerjakan hal yang diperintahkan oleh kalimat itu.
Pasien juga harus diminta untuk menulis kalimat sederhana namun lengkap
(Sadock, 2010).

2.3.2.4. Kemampuan visuospasial

Pasien harus diminta untuk menyalin suatu gambar, misalnya bagian depan
jam dinding atau segilima bertumpuk (Sadock, 2010).

18
2.3.2.5. Pikiran abstrak

Pikiran abstrak adalah kemampuan untuk menangani konsep-konsep.


Pasien mungkin memiliki gangguan dalam membuat konsep atau menangani
ide. Dapatkah pasien menjelaskan persamaan, contohnya antara apel dengan
pir atau antara kebenaran dan keindahan? Dapatkah pasien memahami
peribahasa sederhana, seperti “air beriak tanda tak dalam”? Jawaban dapat
konkret (memberikan contoh spesifik untuk menggambarkan artinya) atau
sangat abstrak (memberi penjelasan yang sangat umum). Ketetapan jawaban
dan cara memberikan jawaban harus dicatat. Pada reaksi katastrofik, pasien
dengan kerusakan otak menjadi sangat emosional dan tidak dapat berfikir
secara abstrak (Sadock, 2010).

2.3.2.6. Informasi dan intelegensi

Bila dicurigai terdapat kemungkinan gangguan kognitif, apakah pasien


mengalami kesulitan dengan tugas mental, seperti menghitung duit yang
bersisa dari Rp 10.000,00 setelah membeli barang Rp 3.500,00? Apabila tugas
ini terlalu sulit, berikan soal yang lebih mudah, seperti ada berapa uang Rp
500,00 dalam uang Rp 2.000,00? Inteligensi pasien berhubungan dengan kosa
kata dan pengetahuan umumnya (contohnya jarak dari New York ke Paris).
Tingkat pendidikan pasien dan status sosioekonomi harus diperhitungkan.
Mengatasi konsep yang sulit dan canggih dapat mencerminkan intelegensi,
bahkan tanpa adanya pendidikan formal atau sumber informasi yang luas.
Akhirnya, psikiater memperkirakan kemampuan intelektual dan kemampuan
untuk berfungsi berdasarkan tingkat bakat dasar pasien (Sadock, 2010).

2.3.2.7. Impulsivitas

Apakah pasien mampu mengendalikan impuls seks, agresi, dan impuls


lainnya. Pengkajian pengendalian impuls penting untuk memastikan
kesadaran pasien akan perilaku sosial yang pantas dan merupakan ukuran
potensi bahaya pasien terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Pasien mungkin

19
tidak mampu mengendalikan impuls akibat suatu gangguan kognitif atau
psikotik atau merupakan hasil suatu defek karakter yang kronik, seperti yang
dijumpai pada gangguan kepribadian. Pengendalian impuls dapat diperkirakan
dari informasi mengenai riwayat pasien terkini dan perilaku yang diamati
selama wawancara (Sadock, 2010).

2.4. Hubungan Lansia yang Hipertensi terhadap Fungsi Kognitif

Pasien usia lanjut yang menderita hipertensi lebih dari lima tahun dapatkan
menderita penurunan fungsi kognitif (Taufik, 2014). Keadaan penurunan fungsi
kognitif pada usia lanjut, lebih sering didapat pada hipertensi kronik. Keadaan
ini terjadi karena penyempitan dan sklerosis arteri kecil di daerah subkortikal,
yang mengakibatkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi, penurunan sawar
otak, dan pada akhirnya terjadi proses demyelinisasi white matter subcortical,
mikroinfark dan penurunan kognitif. Pemeriksaan MRI pada pasien dengan
hipertensi kronik sering mendapatkan lesi subkortikal, mikroinfark, astrogliosis,
pelebaran ventrikel, dan akumulasi cairan ekstrasel dibanding yang tanpa
hipertensi (Suhardjono, 2009).

Penelitian longitudinal seperti SHEP, Syst-EUR, The American Ricet


Council’s (MRC), the Protection Against Recurrent Stroke Study
(PROGRESS), dan the Study of Cognition and Prognosis in the Erderly
(SCOPE) telah melaporkan manfaat terapi antihipertensi terhadap fungsi
kognitif. Substudi HYVET-Cognitive (HYVET-COG) tidak menjumpai
perbedaan bermakna antara kelompok antihipertensi dan non-antihipertensi
pada penurunan fungsi kognitif. Sebagai kesimpulan yang digarisbawahi
adalah bahwa pemberian obat anti hipertensi tidak meningkatkan risiko
demensia maupun penurunan fungsi kognitif (Suhardjono, 2009).

Tidak ada data perbandingan obat antihipertensi yang lebih efektif, akan
tetapi dalam studi SystEUR pengobatan dengan golongan antagonis kalsium
mendapat hasil yang baik. Penelitian yang lain mendapatkan golongan

20
penghambat reseptor angiotensin ACEI terutama pada yang pernah
mengalami stroke, cukup efektif. Penghambat reseptor beta tidak
menunjukkan perbaikan kognitif dibandingkan dengan penghambat reseptor
angiotensin walaupun efek penurunan tekanan darah sama.

21
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini hubungan antara variabel bebas, variabel terikat


dan variabel pengganggu secara teoritik dapat digambarkan dalam diagram
berikut ini.

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Lanjut Usia

Karakteristik Subjek
1. Usia
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Hipertensi
Penyakit
4. Gaya Hidup

Penurunan Fungsi
Kognitif

Keterangan :

 = diteliti

 = hubungan yang diteliti

 = hubungan tidak diteliti

22
3.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka hipotesis
pada penelitian ini adalah

H0. : Tidak ada hubungan hipertensi terhadap fungsi kognitif pada lanjut usia
di puskesmas Jatiasih Kota Bekasi

H1. : Adada hubungan hipertensi terhadap fungsi kognitif pada lanjut usia di
puskesmas Jatiasih Kota Bekasi

23
BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian ini adalah penelitian observasional analitik. Penelitian
ini menggunakan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian dimana
variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel efek
diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan hipertensi terhadap fungsi kognitif
pada lanjut usia di Puskesmas Jatiasih Kota Bekasi.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Jatiasih Kota Bekasi pada
bulan Juli 2019.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti
(Notoatmodjo, 2010). Pada penelitian ini populasi yang digunakan adalah
semua lanjut usia yang menderita hipertensi

4.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagian yang di ambil dari keseluruhan subyek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010). Hasil
penelitian yang diperoleh melalui sampel diharapkan dapat digeneralisasikan
dan diberlakukan yang sama dengan kondisi pada populasi (Sugijono, 1999).
Kriteria sampel terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili
dalam sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2002). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

24
a. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun
b. Pasien yang menderita hipertensi
c. Bersedia menjadi subjek penelitian
2. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana populasi penelitian tidak
dapat dipilih menjadi subyek penelitian jika memenuhi syarat sebagai
berikut (Notoatmodjo, 2002). Kriteria eksklusi dalam penelitian ini
adalah:
a. Pasien dengan gangguan psikiatri
b. Pasien yang menderita diabetes mellitus
c. Pasien yang menderita stroke
d. Pasien dengan riwayat gangguan mental
e. Pasien tidak bersedia menjadi subjek penelitian

Besar sampel yang diperlukan untuk kelompok target dihitung berdasarkan


rumus dibawah ini (Sudigdo et al., 2011).

𝑍𝛼 2 𝑃𝑄
𝑛=
𝑑2
1,96 × 0,326 × 0,674
𝑛=
0,12
𝑛 = 43,06 ≈ 43 Orang
Keterangan :
𝑍𝛼 : Tingkat kemaknaan 5% (1,96)
P : Proporsi lansia penderita hipertensi menurut RISKESDAS (32,59%%)
Q : 1 – P (67,41%)
d : Presisi (10%)

Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah sampel minimal yang dibutuhkan


dalam penelitian ini adalah 43 orang.

25
4.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling adalah suatu cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai
dengan keseluruhan objek penelitian. Teknik pengambilan sampel
menggunakan Teknik purposive random sampling. Penelitian ini
menggunakan sampel yang diambil sesuai dengan kriteria dan tujuan yang
dikehendaki. Teknik pengambilan sampel dipilih berdasarkan kriteria dan
tujuan penelitian yang sesuai.

4.5 Variabel Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2010) hubungan antara satu variabel dengan
variabel yang lain maka dalam penelitian ini dibedakan menjadi variabel
independen dan variabel dependen.

4.5.1 Variabel Independen


Variabel independen sering disebut dengan variabel bebas. Variabel
bebas merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat) (Notoatmodjo,
2010). Variabel bebas pada penelitian ini adalah hipertensi pada pasien lanjut
usia. Variabel hipertensi menggunakan skala pengukuran yaitu skala nominal.

4.5.2 Variabel Dependen


Variabel dependen sering disebut dengan variabel terikat. Variabel
terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena
adanya variabel bebas (Notoatmodjo, 2010). Variabel dependen pada
penelitian ini adalah fungsi kognitif pada pasien lanjut usia. Variabel fungsi
kognitif menggunakan skala pengukuran yaitu skala nominal.

4.5.3 Definisi Operasional Variabel


Guna menghindari kesalahan dalam mengartikan variabel-variabel
yang dianalisis atau untuk membatasi permasalahan dalam penelitian ini, perlu
dijelaskan definisi operasional masing-masing variabel.

26
Tabel 4.1 Definisi Operasional Variabel
Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Hipertensi Tekanan darah  Normal ketika Ordinal
diukur dengan tekanan darah
Peningkatan
menggunakan alat sistolik kurang
tekanan darah
sphygmomanometer atau sama
sistolik di atas atau
yang telah dengan 120
sama dengan 140
dikalibrasi (80% dari mmHG sampai
mmHg atau
ukuran manset 139 mmHG dan
tekanan darah
menutupi lengan). tekanan darah
diastolik di atas
Pasien beristirahat diastolik kurang
atau sama dengan
nyaman, dengan atau sama
90 mmHg dalam
posisi duduk dengan 80
dua kali
punggung tegak sampai 89
pengukuran
atau terlentang. mmHG.
dengan jarak
Pada pasien yang  Hipertensi
pemeriksaan
merokok atau ketika tekanan
minimal 10 menit
minum kopi diukur 5 darah sistolik ≥
sebelumnya
sampai 30 menit 140 mmHg dan
(Bawazier dalam
setelah melakukan tekan darah
Setiawati et al.,
aktifitas tersebut diastolik ≥ 90
2008).
(Wade dan mmHg (JNC 7,
Cameron, 2003). 2014).
Fungsi Berjalannya Mengisi kuesioner  Nilai 24 – 30 : Ordinal
Kognitif proses pikiran MMSE dengan normal
yang membuat kita teknik wawancara  Nilai 17 – 23:
menjadi waspada gangguan
akan objek pikiran fungsi kognitif
dan persepsi,
mencakup semua
aspek
pengamatan,
pemikiran, dan
ingatan (Dorland,
2012).

27
4.7 Teknik Analisis Data
Analisis data yang dilakukan dengan menggunakan 2 jenis analisa data,
yaitu analisis univariat dan analisis bivariat.

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan atau


menggambarkan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya
anaisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel
maupun karakteristik responden. Karakteristik responden yang dapat
dideskripsikan pada penelitian ini antara lain jenis kelamin, usia, dan tekanan
darah.

4.7.2 Analisis Bivariat


Analisis bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui
keterkaitan dua variabel. Setelah semua data dijadikan kategori, maka
selanjutnya dibentuk sebuah cross tabulation contingency table dengan
mencocokkan tiap skor responden pada variabel pengelolaan program
pelatihan dan variabel kompetensi peserta lalu disejajarkan berdasarkan
ketiga kategori tersebut (Aziz, 2014).

a. Uji Chisquare
Chi square merupakan metode perhitungan statistika non parametrik yang
jenis datanya harus bersifat nominal atau kategorik. Uji chi square menurut
(Andi Supangat dalam Aziz, 2007) merupakan “uji hipotesis tentang
asosiasi atau korelasi antara frekuensi observasi dengan frekuensi
harapan yang didasarkan pada hipotesis tertentu pada setiap penelitian”.
Hipotesis penelitian dapat diterima apabila nilai signifikansi hasil pengujian
chisquare kurang dari 5%.

b. Koefisien Kontingensi
Koefisien kontingensi merupakan metode yang digunakan untuk mengukur
taraf hubungan, atau ketakbebasan (ketergantungan) dari klasifikasi-

28
klasifikasi pada suatu tabel kontingensi. Asumsi dari koefisien kontingensi
yaitu semakin besar nilai C, maka semakin besar pula taraf hubungannya.
Dalam tabel kontingensi, jumlah baris dan kolom menentukan nilai
maksimum C yang tidak pernah lebih besar dari 0 (Aziz 2014).

Tabel 4.2 Nilai Koefisien Kontingensi Menurut Guilford


Nilai Koefisien Kontingensi Keterangan
< 0,20 Sangat Rendah
0,20 – 0,40 Rendah
0,40 – 0,70 Sedang
0,70 – 0,90 Tinggi
> 0,90 Sangat Tinggi

4.8 Etik Penelitian


Menurut Notoatmodjo (2010), dalam melakukan penelitian
menggunakan prinsip-prinsip etika sebagai berikut:

1. Informed Concent (Lembar persetujuan)


Lembar persetujuan ini diberikan kepada Informan yang akan diteliti dan
memenuhi kriteria inklusi. Lembar ini juga dilengkapi dengan judul
penelitian dan manfaat penelitian. Apabila subjek menolak, maka peneliti
tidak boleh memaksa. Informed concent diberikan pada responden
sebagai tanda persetujuan berpartisipasi dalam penelitian ini.
2. Confidentiality (Kerahasiaan)
Kerahasiaan infnormasi responden dijamin peneliti dan hanya kelompok
data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. Data yang
disajikan data kuisoner yang sesui dengan tujuan penelitian dan hanya
menyebutkan inisial informan.
3. Anonimity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama
informan, tetapi pada lembar tersebut diberi kode pengganti nama
informan. Informan penelitian ini diberi inisial saja.

29

Anda mungkin juga menyukai