Anda di halaman 1dari 13

WEANING VENTILATOR

OLEH :
ANNA MARIANCE TAETETI, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKES NUSANTARA KUPANG
2020/2021
A. Pengertian Weaning Ventilator
Ventilasi mekanik adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien, namun
seiring lamanya pemasangan ventilator berbanding lurus dengan resiko komplikasi yang
dihadapi pasien. Komplikasi yang harus diperhatikan antara lain barotrauma,
volutrauma, aspirasi dan ventilator associated pnemonia (VAP), fistula trakeostomi,
stress ulcer dan perdarahan gastrointestinal, trombosis vena dalam, dan masalah lain
yang berkaitan dengan imobilisasi (Jones & Fix, 2014).
Istilah "weaning" digunakan untuk menggambarkan proses bertahap penurunan
dukungan ventilator. Diperkirakan 40% durasi ventilasi mekanik dipersembahkan untuk
proses weaning. Percobaan pernafasan spontan (Spontaneous breathing trial/ SBT)
menilai kemampuan pasien bernafas saat menerima sedikit atau tanpa dukungan
ventilator. Weaning yang tertunda dapat menyebabkan komplikasi seperti cedera paru-
paru akibat ventilator, ventilator associated pneumonia (VAP), dan disfungsi diafragma
akibat ventilator. Di sisi lain, penyapihan dini dapat menyebabkan komplikasi seperti
kehilangan jalan nafas, pertukaran gas yang rusak, aspirasi dan kelelahan otot pernafasan
(Zein, Baratloo, Negida, & Safari, 2016).
Proses weaning merupakan intervensi yang kompleks dengan adanya komponen-
komponen yang saling terkait mencakup proses klinis (pedoman/ guidlines dan
protokol), konteks (organisasi, sumber daya, staf), dan karakteristik profesional tenaga
kesehatan (pendidikan, ketrampilan, hubungan interprofesional) (Bronagh, Carol, Lyons,
Danny, & Louise, 2013).
Prediktor weaning merupakan parameter yang dimaksudkan untuk membantu
klinisi memprediksi apakah upaya penyapihan akan berhasil atau tidak. Prediktor-
prediktor yang mempengaruhi weaning antara lain variabilitas denyut jantung, kualitas
tidur, hand grip strength, diaphragmatic dysfunction dan oxydative stress markers
(Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007).
B. Prediktor Weaning (parameter weaning)
1. Variabilitas denyut jantung
Acrentales dkk, menemukan bahwa koherensi spektral antara variabilitas denyut
jantung dan sinyal aliran pernafasan bisa memprediksi kegagalan ekstubasi dengan
sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Namun, semua ini hasil masih perlu dilakukan
validasi pada kelompok pasien yang lebih besar.
2. Kualitas tidur
Kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi fungsi otot respirasi dan hasil
penyapihan. Secara studi cross sectional, Chen et al. menilai kualitas tidur dengan
menggunakan Verran dan Snyder-Halpern Sleep Scale dan menemukan bahwa orang
memiliki kualitas tidur yang buruk mempunyai keterkaitan secara signifikan dengan
kegagalan penyapihan.
3. hand grip strength
Kelemahan otot dapat berdampak negatif pada hasil penyapihan . Cottereau dkk.
Pengkaji pegangan tangan dengan handgrip dinamometer dan menemukan kekuatan
handgrip itu secara signifikan terkait dengan penyapihan yang sulit atau
berkepanjangan tapi tidak dengan kegagalan ekstubasi .
4. diaphragmatic dysfunction
Disfungsi diafragma yang didapat berikut Ventilasi mekanik yang panjang dapat
mempengaruhi hasil penyapihan. DiNino et al. menilai disfungsi diafragma dengan
mengukur perbedaan ketebalan diafragma pada akhir inspirasi dan ekspirasi
menggunakan ultrasonografi untuk melihat diafragma di zona apposition. Mereka
menemukan bahwa perbedaan 30% atau lebih bisa memprediksi kegagalan ekstubasi
dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 71%.
5. oxydative stress markers
Stres oksidatif adalah mekanisme kunci yang terlibat dalam ventilator disfungsi otot
pernafasan yang diinduksi. Verona dkk. Estimasi level plasma dari penanda stres
oksidatif sebelumnya dan setelah SBT. Mereka menemukan konsentrasi plasma yang
lebih tinggi malondialdehid dan vitamin C, dan tingkat nitrat yang lebih rendah oksida
dalam plasma secara signifikan terkait dengan kegagalan SBT.
(Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007)
C. Protokol weaning
1. Kriteria penilaian weaning (kesiapan fisik dan psikologis)
Kriteria ini harus dianggap sebagai pertimbangan dan bukan sebagai ambang yang
kaku bahwa pasien harus memenuhi semua dari kriteria tersebut agar berhasil disapih,
karena banyak pasien berhasil dihentikan dari ventilator meskipun mereka tidak
memenuhi satu atau lebih dari kriteria yang ada (Boles, Bions, Connors, Herridge,
Marsh, & Melot, 2007)
a. Kriteria penilaian weaning berupa kesiapan fisik
Kriteria penilaian weaning berupa kesiapan fisik meliputi kriteria penilaian
subyektif dan objektif. Kriteria penilaian subjektif antara lain
1) apakah batuknya cukup kuat
2) tidak ada agen penghambat neuromuskular
3) tidak adanya sekresi trakea-bronkial yang berlebihan
4) penyebab gagal napas
5) tidak ada infus sedasi kontinu atau mentasi sedasi yang memadai.
Sedangkan penilaian obyektif antara lain:
1) status kardiovaskular yang stabil dimana denyut jantung ≤ 140 denyut / menit
2) tidak ada iskemia miokard aktif
3) tingkat hemoglobin yang adekuat (≥ 8 g / dl)
4) tekanan darah sistolik 90-160 mmHg
5) afebris (suhu 36 ° C <suhu <38 ° C)
6) tidak atau minimal vasopressor atau inotrope (<5 μg / kg / menit dopamine
atau dobutamine)
7) oksigenasi yang cukup dimana tidal volume > 5 mL / kg
8) kapasitas vital> 10 mL / kg
9) upaya inspirasi yang tepat
10) tingkat pernapasan ≤ 35 / menit
11) PaO2 ≥ 60 dan PaCO2 ≤ 60 mmHg
12) tekanan ekspirasi akhir positif ≤ 8 cmH 2 O
13) tidak ada asidosis pernafasan yang signifikan (pH ≥ 7.30)
14) tekanan inspirasi maksimum (MIP) ≤ -20 - -25 cmH2O
15) O 2 saturasi> 90% pada FIO2 ≤ 0,4 (atau PaO2 / FIO2 ≥ 200)
16) indeks Pernafasan Dangkal Cepat (Frekuensi Pernafasan / Volume Tidal) <105
(Zein, Baratloo, Negida, & Safari, 2016).
Kriteria ini harus dianggap sebagai pertimbangan dan bukan sebagai ambang yang
kaku bahwa pasien harus memenuhi semua dari kriteria tersebut agar berhasil
disapih, karena banyak pasien berhasil dihentikan dari ventilator meskipun mereka
tidak memenuhi satu atau lebih dari kriteria yang ada (Boles, Bions, Connors,
Herridge, Marsh, & Melot, 2007).
b. Kesiapan psikologis
Kesiapan psikologis juga perlu diperhatikan, hal ini berhubungan dengan
kecemasan pasien, terlebih cemas karena ketidakmampuan menerima weaning.
Cemas berupa perasaan subjektif dari individu karena akan mendapat stimulus dari
luar yang dipersepsikan sebagai rasa ketidakmampuan untuk menerima stimulus
tersebut (Chen, Jacob, Quan, Figueredo, & Davis, 2011).
Pasien yang terpasang ventilator akan mengalami gangguan psikologis, tidak
terdapat pemeriksaan khusus secara klinis untuk memprediksi tingkat keparahan
gangguan psikologis pasien yang terpasang ventilator. Berdasarkan penelitian pada
pasien yang pernah terpasang ventilator, secara psikologis merasakan kecemasan,
dan tampak linglung atau tidak mengalami disorientasi. Keadaan psikologis ini
akan berakibat pada lamanya proses weaning (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash
De Sousa, 2015).
Terdapat sebuah kisah berdasarkan sebuah case study report, bahwa seorang pasien
dengan trauma kemudian diindikasikan untuk pemasangan ventilator. Setelah 30
hari, hasil BGA menunjukan perubahan yang baik secara signifikan, sehingga
pasien menjalani weaning mulai dari SIMV, CPAP (karena sudah ada nafas
spontan) dan akhinya ke tahap T-Piece. Perubahan yang sangat bagus, membuat
tim kesehatan berani untuk mengekstubasi ventilator pasien. Saat dicabut ternyata
pasien mengalami gemetar hebat dan nafas terengah-tengah, gerakan dada dan
perut sangat intens sebagai usaha mengambil oksigen, sehingga dokter
memutuskan untuk reintubasi pemasanagn ventilator kembali. Setelah 10 hari
pemasangan, ternyata tidak ada perubahan. Kemudian dokter penanggungjawab
memprediksi bahwa pasien mengalami gangguan psikologis. Setelah dikaji ke
keluarga pasien, keluarga mengatakan tidak memiliki riwayat dalam keluarga
dengan gangguan psikologis, hanya memang pasien memiliki emosional yang
sensitif, juga tidak ada gejala yang mengarah kepada kecemasan, depresi sebelum
kecelakaan terjadi (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015).
Berdasarkan hasil pengkajian mental pada pasien, dimana pasien berbaring di
atastempat tidur dalam keadaan sadar dan masih diintubasi ventilator tampak
gelisah dan memiliki penampilan cemas.Saat ditanya tentang kesehatannya dia
mendemonstrasikannya ketakutan dan seperti mengatakan bahwa dia tidak akan
pernah sembuh, dan karena diintubasi dai tidak bisa berkata-kata lebih banyak.
Berdasarkan pengkajian tersebut, disimpulkan bahwa pasien mengalami
kecemasan. Kemudian diberkan obat-obatan untuk psikisnya, dan menurut
keluarga pasien lebih tenang, tidur lebih nyenyak. Setelah 5 hari pengobatan,
pasien berhasil sampai ke tahap T-Piece dan berhasil di esktubasi (Harshal Sathe,
Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015).
Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa psikologis seorang pasien
yang terpasang ventilator dapat berpengaruh kepada lama waktu pemasangan
ventilator, selain dari faktor keparahan penyakit. Sangat mudah untuk dilakukan
deteksi apabila pasien dalam keadaan sadar, namun jika kesadaran somnolens,
soporocoma bahkan coma merupakan hal yang sulit bagi perawat atau dokter untuk
mengetahui keadaan sikologis pasien tersebut. Terdapat beberapa hal yang perlu
dikaji terkait dengan psikologis pasien melalui keluarga, yaitu tentang sifat psikis
pasien selama dirumah (mudah marah, sedih, pemikir, mudah cemas dan
sebagainya) dan kejadian terakhir atau perasaan terakhir yang terungkapkan
sebelum pasien mengalami kecelakaan dan atau penurunan kesadaran (Harshal
Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015).
Pada pasien tidak sadar, deteksi hipotesa pasien mengalami rasa takut dan cemas
adalah dengan melihat secara klinis apakah pasien menunjukan tanda sesak, dan
ketidakstabilan antara pasokan permintaan pernafasan dan dari penyesuaian
ventilator. Hipotesa dari Psychophysiological Ventilator Weaning Model (PVWM)
menyebutkan bahwa kondisi rasa takut yang didapat dari kegagalan
weaningsebelumnya mempengaruhi psikologis pasien (state anxiety) dan fisiologis
kinerja (fungsi pernafasan), dimana akan sangat mempengaruhi hasil weaning
selanjutnya.Tanda klinis lainya untuk mendeteksi apakah pasien dengan ventilator
sedang mengalami ketakutan atau kecemasan adalah dengan melihat pola pasien
yang gelisah, peningkatan detak jantung, pernafasan yang dangkal, hiperventilasi
dan sangat mudah berkeringat. Pasien dengan reintubasi ventilator memiliki
hipotesa bahwa pasien mengalami gangguan psikologis. Gangguan psikologis akan
mempengaruhi kesuksesan weaning ventilator (Yu-Ju Chen, RN, PhD, 2011 )
2. Guidelines weaning
Pedoman weaning/ guidelines untuk menurunkan dukungan ventilator secara
bertahap menggunakan Percobaan pernafasan spontan (Spontaneous breathing trial/
SBT). American College of Chest Physicians (CHEST) dan American Thoracic
Society (ATS) telah menerbitkan panduan baru untuk menghentikan ventilasi mekanis
pada orang dewasa yang sakit kritis. Tujuan dari panduan ini adalah untuk membantu
dokter dan profesional perawatan kesehatan lainnya menentukan kapan pasien dengan
kegagalan pernapasan akut dapat bernafas dengan sendirinya dan memberikan saran
klinis yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan ekstubasi. Rekomendasi dari
CHEST dan ATS antara lain :
a. SBT harus dilakukan pada pasien rawat inap akut yang telah mendapat ventilasi
mekanis selama lebih dari 24 jam. SBT awal disarankan dengan melakukan
penambahan tekanan inspirasi (5 – 8 cm H 2 O) dari pada tanpa T piece atau CPAP
(rekomendasi bersyarat, bukti mutu moderat)
b. Pasien rawat inap akut yang mendapat ventilasi mekanis selama lebih dari 24 jam,
disarankan protokol untuk mencoba meminimalkan sedasi (rekomendasi bersyarat,
kualitas bukti rendah)
c. Pasien dengan resiko mengalami kegagalan ekstubasi (pemasangan ventilasi
mekanik lebih dari 24 jam) dan telah melewati SBT direkomendasikan
menggunakan NIV (non invansive ventilator) segera setelah ekstubasi.
(rekomendasi kuat)
(Daniel R. Ouellette, et al., 2017)
d. .Mobilisasi dini bagi pasien yang berventilasi secara mekanis lebih dari 24 jam
e. Protokol pembebasan ventilator menyediakan penyaringan kriteria kesiapan dan
kesiapan sistematis dan melakukan SBT bila semua kriteria terpenuhi. Protokol ini
dimaksudkan untuk mengurangi variabilitas dalam penilaian kesiapan
pembebasan. Mereka mungkin diimplementasikan oleh klinisi (terapis pernafasan
atau perawat) atau didorong oleh komputer. Protokol pembebasan ventilasi
dikaitkan dengan pengurangan satu hari dalam durasi ventilasi mekanis dan
lamanya tinggal ICU, tanpa efek signifikan pada mortalitas keseluruhan.
Rekomendasi tersebut menyarankan penggunaan protokol pembebasan ventilator,
baik yang diantar perawat atau komputer, untuk pasien yang berventilasi secara
mekanis selama lebih dari 24 jam.
f. Edema laring berhubungan dengan intubasi yang berkepanjangan dan menginduksi
stridor pasca-ekstubasi, yang meningkatkan risiko reintubasi. Tes pembekuan cuff
dapat digunakan sebagai indikator pengganti edema laring dan untuk memandu
pengelolaan pasien. Manajemen yang dipandu oleh uji kebocoran manset akan
mengurangi laju stridor reintubasi dan pasca ekstubasi, namun mungkin menunda
ekstubasi secara tidak perlu. Selanjutnya, terapi steroid sistemik mengurangi
tingkat reintubasi dan laju stridor post-ekstubasi.
Rekomendasi tersebut menyarankan untuk melakukan tes kebocoran manset pada
pasien yang dianggap berisiko tinggi mengalami stridor pasca ekstubasi. Faktor
risiko termasuk intubasi traumatis, intubasi lebih dari enam hari, tabung endotrakea
besar, jenis kelamin wanita, dan reintubasi setelah ekstubasi yang tidak
terencana. Mengkontrol steroid sistemik setidaknya empat jam sebelum ekstubasi
juga disarankan untuk pasien yang gagal dalam tes kebocoran manset, yang jika
tidak siap untuk melakukan ekstubasi.
(Arnal, 2017)
3. kriteria menilai kesiapan ekstubasi
Kriteria ekstubasi sama dengan kriteria weaning, yang perlu diperhatikan
adalah penilaian terhadap ekstubasi dilakukan setelah berhasil SBT. Penilaian
meliputi faktor kegagalan ekstubasi sehingga harus dilakukan reintubasi dalam waktu
kurang dari 48 jam setelah ekstubasi. Reintubasi berhubungan dengan prolonged
hospital dan lama tinggal di ICU serta tindakan trakeostomi (Thille, Harrois,
Schorgen, Brun-Buisson, & Brochard, 2011).
D. Peran perawat dalam keberhasilan weaning
Perawat ICU sangat berperan dalam proses weaning karena mereka berada 24
jam bersama pasien, memastikan keselamatan pasien dan melakukan pemeriksaan klinis
berkelanjutan, terlebih bagaimana mereka mengobservasi dan mengelola prediktor-
prediktor weaning dan memberikan penilaian terhadap kriteria weaning tersebut sebagai
bentuk dari penerapan protokol weaning. Assesment dilakukan setiap hari dan
didokumentasikan. Benefit yang akan dirasakan bagi perawat ICU yang menerapkan
protokol weaning berupa perasaan otonomi atau kemandirian yang lebih besar dan
responsibility dalam memberikan perawatan kepada pasien (Mary, et al., 2003).
Physician berkontribusi dalam memberikan resep weaning/ instruksi setting ventilator
sesuai guidlines untuk menurunkan dukungan ventilator secara bertahap. Perawat ICU
dan physician (dokter di ICU) bekerja sama secara berdampingan di ICU, namun
memiliki peran dan sumber pengetahuan masing-masing. Dalam pendekatan modern
terhadap perawatan kritis kolaborasi dan tanggung jawab terhadap pasien dibagi antara
perawat dan physician dalam sebuah tim (Hartog & Benbenish, 2015).
Kesuksesan weaning erat kaitannya dengan kerjasama multidisiplin profesi dalam
menjalankan program weaning, dalam hal ini kolaborasi antara perawat ICU dengan
physician sangat penting. Kolaborasi dalam hal ini memuat banyak hal, selain
komunikasi yang efektif antar keduanya, persepsi tentang tugas dan peran juga perlu
diselaraskan termasuk disicion making yang harus dibuat physician terkait setting
ventilator dan peresepan serta dicision making yang dibuat perawat sebagai bentuk
otonominya (Bronagh, Carol, Lyons, Danny, & Louise, 2013).
E. Hambatan keberhasilan weaning
Perawat dan physician harus menemukan cara yang tepat untuk proses weaning
hingga ekstubasi pada pasien ICU yang mendapat dukungan ventilator karena cara
weaning yang tidak tepat akan merugikan pasien. Terlalu lama mendapat dukungan
ventilator akan terjadi banyak komplikasi, lama tinggal di ICU dan tentu saja biaya yang
membesar, sedangkan terlalu cepat weaning ataupun extubasi berisiko terjadi reintubasi
akibat pasien tidak siap secara fisik dan psikologisnya. Kenyataan dilapangan antara
perawat ICU dan physician sering kali berbeda cara pandang terkait responsibilities
masing-masing.
Perawat ICU memiliki persepsi bahwa hambatan weaning disebabkan kurang
petunjuk dari physician seperti keadaan jarang memberikan resep/ instruksi mengubah
setting ventilator pada pasien, jika diresepkan ini mewakili kesepakatan antar profesi.
Perawat ICU menginginkan pendekatan interdisipliner untuk weaning dan sebuah
kebutuhan akan sharing knowledge satu sama lain (Hansen & Severinson, 2007).
Sedangkan physician berpandaangan bahwa disisi lain perawat ICU tidak melakukan
resep weaning yang diinstruksikan (Hartog & Benbenish, 2015).
Reintubasi berhubungan dengan prolonged hospital dan lama tinggal di ICU serta
tindakan trakeostomi (Thille, Harrois, Schorgen, Brun-Buisson, & Brochard, 2011).
Prolong mechanichal ventilation (PMV) didefinisikan berdasarkan konsensus yang
merupakan pemasangan ventilasi mekanik selama ≥ 6 jam sehari dalam 21 hari berturut
– turut. Penelitian yang dilakukan Hoong Joong Shin dkk 2017 memberikan evaluasi
faktor klinis untuk memprediksi penyebab dari kegagalan PMV. Mereka menggunakan
skor Acute Physiology and Chronic Evaluation III (APACHE III) dan Sequential Organ
Failure Assesment (SOFA) (Shin, et al., 2017).
DAFTAR PUSTAKA

1. Esteban A, Ferguson ND, Meade MO, Frutos-Vivar F, Apezteguia C, Brochard L, et


al. Evolution of mechanical ventilation in response to clinical research. American
journal of respiratory and critical care medicine. 2008;177(2):170-7.
2. MacIntyre NR, Cook DJ, Ely EW, Jr., Epstein SK, Fink JB, Heffner JE, et al.
Evidence-based guidelines for weaning and discontinuing ventilatory support: a
collective task force facilitated by the American College of Chest Physicians; the
American Association for Respiratory Care; and the American College of Critical
Care Medicine. Chest. 2001;120(6 Suppl):375s-95s.
3. Ely EW, Baker AM, Dunagan DP, Burke HL, Smith AC, Kelly PT, et al. Effect on
the duration of mechanical ventilation of identifying patients capable of breathing
spontaneously. The New England journal of medicine. 1996;335(25):1864-9.
4. Fagon JY, Chastre J, Hance AJ, Montravers P, Novara A, Gibert C. Nosocomial
pneumonia in ventilated patients: a cohort study evaluating attributable mortality
and hospital stay. The American journal of medicine. 1993;94(3):281-8.
5. Jubran A, Tobin MJ. Pathophysiologic basis of acute respiratory distress in patients
who fail a trial of weaning from mechanical ventilation. American journal of
respiratory and critical care medicine. 1997;155(3):906-15.
6. Tobin MJ, Guenther SM, Perez W, Lodato RF, Mador MJ, Allen SJ, et al. Konno-
Mead analysis of ribcageabdominal motion during successful and unsuccessful
trials of weaning from mechanical ventilation. The American review of respiratory
disease. 1987;135(6):1320-8.
7. MacIntyre NR. The ventilator discontinuation process: an expanding evidence base.
Respiratory care. 2013;58(6):1074-86.
8. Ely EW, Baker AM, Evans GW, Haponik EF. The prognostic significance of passing
a daily screen of weaning parameters. Intensive care medicine. 1999;25(6):581-7.
9. Boles JM, Bion J, Connors A, Herridge M, Marsh B, Melot C, et al. Weaning from
mechanical ventilation. The European respiratory journal. 2007;29(5):1033-56.
10. Huang CT, Tsai YJ, Lin JW, Ruan SY, Wu HD, Yu CJ. Application of heart-rate
variability in patients undergoing weaning from mechanical ventilation. Critical care
(London, England). 2014;18(1):R21.
11. Seely AJ, Bravi A, Herry C, Green G, Longtin A, Ramsay T, et al. Do heart and
respiratory rate variability improve prediction of extubation outcomes in critically ill
patients? Critical care (London, England). 2014;18(2):R65.
12. Hammash MH, Moser DK, Frazier SK, Lennie TA, HardinPierce M. Heart rate
variability as a predictor of cardiac dysrhythmias during weaning from mechanical
ventilation. American journal of critical care : an official publication, American
Association of Critical-Care Nurses. 2015;24(2):118-27.
13. Arcentales A, Caminal P, Diaz I, Benito S, Giraldo BF. Classification of patients
undergoing weaning from mechanical ventilation using the coherence between heart
rate variability and respiratory flow signal. Physiological measurement.
2015;36(7):1439-52.
14. Chen CJ, Hsu LN, McHugh G, Campbell M, Tzeng YL. Predictors of sleep quality
and successful weaning from mechanical ventilation among patients in respiratory
care centers. The journal of nursing research : JNR. 2015;23(1):65-74.
15. Hermans G, De Jonghe B, Bruyninckx F, Van den Berghe G. Clinical review: Critical
illness polyneuropathy and myopathy. Critical care (London, England).
2008;12(6):238.
16. Cottereau G, Dres M, Avenel A, Fichet J, Jacobs FM, Prat D, et al. Handgrip Strength
Predicts Difficult Weaning But Not Extubation Failure in Mechanically Ventilated
Subjects. Respiratory care. 2015.
17. Hermans G, Agten A, Testelmans D, Decramer M, GayanRamirez G. Increased
duration of mechanical ventilation is associated with decreased diaphragmatic force:
a prospective observational study. Critical care (London, England). 2010;14(4):R127.
18. DiNino E, Gartman EJ, Sethi JM, McCool FD. Diaphragm ultrasound as a predictor
of successful extubation from mechanical ventilation. Thorax. 2014;69(5):423-7.

Anda mungkin juga menyukai