STIKES NUSANTARA KUPANG 2020/2021 A. Pengertian Weaning Ventilator Ventilasi mekanik adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien, namun seiring lamanya pemasangan ventilator berbanding lurus dengan resiko komplikasi yang dihadapi pasien. Komplikasi yang harus diperhatikan antara lain barotrauma, volutrauma, aspirasi dan ventilator associated pnemonia (VAP), fistula trakeostomi, stress ulcer dan perdarahan gastrointestinal, trombosis vena dalam, dan masalah lain yang berkaitan dengan imobilisasi (Jones & Fix, 2014). Istilah "weaning" digunakan untuk menggambarkan proses bertahap penurunan dukungan ventilator. Diperkirakan 40% durasi ventilasi mekanik dipersembahkan untuk proses weaning. Percobaan pernafasan spontan (Spontaneous breathing trial/ SBT) menilai kemampuan pasien bernafas saat menerima sedikit atau tanpa dukungan ventilator. Weaning yang tertunda dapat menyebabkan komplikasi seperti cedera paru- paru akibat ventilator, ventilator associated pneumonia (VAP), dan disfungsi diafragma akibat ventilator. Di sisi lain, penyapihan dini dapat menyebabkan komplikasi seperti kehilangan jalan nafas, pertukaran gas yang rusak, aspirasi dan kelelahan otot pernafasan (Zein, Baratloo, Negida, & Safari, 2016). Proses weaning merupakan intervensi yang kompleks dengan adanya komponen- komponen yang saling terkait mencakup proses klinis (pedoman/ guidlines dan protokol), konteks (organisasi, sumber daya, staf), dan karakteristik profesional tenaga kesehatan (pendidikan, ketrampilan, hubungan interprofesional) (Bronagh, Carol, Lyons, Danny, & Louise, 2013). Prediktor weaning merupakan parameter yang dimaksudkan untuk membantu klinisi memprediksi apakah upaya penyapihan akan berhasil atau tidak. Prediktor- prediktor yang mempengaruhi weaning antara lain variabilitas denyut jantung, kualitas tidur, hand grip strength, diaphragmatic dysfunction dan oxydative stress markers (Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007). B. Prediktor Weaning (parameter weaning) 1. Variabilitas denyut jantung Acrentales dkk, menemukan bahwa koherensi spektral antara variabilitas denyut jantung dan sinyal aliran pernafasan bisa memprediksi kegagalan ekstubasi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Namun, semua ini hasil masih perlu dilakukan validasi pada kelompok pasien yang lebih besar. 2. Kualitas tidur Kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi fungsi otot respirasi dan hasil penyapihan. Secara studi cross sectional, Chen et al. menilai kualitas tidur dengan menggunakan Verran dan Snyder-Halpern Sleep Scale dan menemukan bahwa orang memiliki kualitas tidur yang buruk mempunyai keterkaitan secara signifikan dengan kegagalan penyapihan. 3. hand grip strength Kelemahan otot dapat berdampak negatif pada hasil penyapihan . Cottereau dkk. Pengkaji pegangan tangan dengan handgrip dinamometer dan menemukan kekuatan handgrip itu secara signifikan terkait dengan penyapihan yang sulit atau berkepanjangan tapi tidak dengan kegagalan ekstubasi . 4. diaphragmatic dysfunction Disfungsi diafragma yang didapat berikut Ventilasi mekanik yang panjang dapat mempengaruhi hasil penyapihan. DiNino et al. menilai disfungsi diafragma dengan mengukur perbedaan ketebalan diafragma pada akhir inspirasi dan ekspirasi menggunakan ultrasonografi untuk melihat diafragma di zona apposition. Mereka menemukan bahwa perbedaan 30% atau lebih bisa memprediksi kegagalan ekstubasi dengan sensitivitas 88% dan spesifisitas 71%. 5. oxydative stress markers Stres oksidatif adalah mekanisme kunci yang terlibat dalam ventilator disfungsi otot pernafasan yang diinduksi. Verona dkk. Estimasi level plasma dari penanda stres oksidatif sebelumnya dan setelah SBT. Mereka menemukan konsentrasi plasma yang lebih tinggi malondialdehid dan vitamin C, dan tingkat nitrat yang lebih rendah oksida dalam plasma secara signifikan terkait dengan kegagalan SBT. (Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007) C. Protokol weaning 1. Kriteria penilaian weaning (kesiapan fisik dan psikologis) Kriteria ini harus dianggap sebagai pertimbangan dan bukan sebagai ambang yang kaku bahwa pasien harus memenuhi semua dari kriteria tersebut agar berhasil disapih, karena banyak pasien berhasil dihentikan dari ventilator meskipun mereka tidak memenuhi satu atau lebih dari kriteria yang ada (Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007) a. Kriteria penilaian weaning berupa kesiapan fisik Kriteria penilaian weaning berupa kesiapan fisik meliputi kriteria penilaian subyektif dan objektif. Kriteria penilaian subjektif antara lain 1) apakah batuknya cukup kuat 2) tidak ada agen penghambat neuromuskular 3) tidak adanya sekresi trakea-bronkial yang berlebihan 4) penyebab gagal napas 5) tidak ada infus sedasi kontinu atau mentasi sedasi yang memadai. Sedangkan penilaian obyektif antara lain: 1) status kardiovaskular yang stabil dimana denyut jantung ≤ 140 denyut / menit 2) tidak ada iskemia miokard aktif 3) tingkat hemoglobin yang adekuat (≥ 8 g / dl) 4) tekanan darah sistolik 90-160 mmHg 5) afebris (suhu 36 ° C <suhu <38 ° C) 6) tidak atau minimal vasopressor atau inotrope (<5 μg / kg / menit dopamine atau dobutamine) 7) oksigenasi yang cukup dimana tidal volume > 5 mL / kg 8) kapasitas vital> 10 mL / kg 9) upaya inspirasi yang tepat 10) tingkat pernapasan ≤ 35 / menit 11) PaO2 ≥ 60 dan PaCO2 ≤ 60 mmHg 12) tekanan ekspirasi akhir positif ≤ 8 cmH 2 O 13) tidak ada asidosis pernafasan yang signifikan (pH ≥ 7.30) 14) tekanan inspirasi maksimum (MIP) ≤ -20 - -25 cmH2O 15) O 2 saturasi> 90% pada FIO2 ≤ 0,4 (atau PaO2 / FIO2 ≥ 200) 16) indeks Pernafasan Dangkal Cepat (Frekuensi Pernafasan / Volume Tidal) <105 (Zein, Baratloo, Negida, & Safari, 2016). Kriteria ini harus dianggap sebagai pertimbangan dan bukan sebagai ambang yang kaku bahwa pasien harus memenuhi semua dari kriteria tersebut agar berhasil disapih, karena banyak pasien berhasil dihentikan dari ventilator meskipun mereka tidak memenuhi satu atau lebih dari kriteria yang ada (Boles, Bions, Connors, Herridge, Marsh, & Melot, 2007). b. Kesiapan psikologis Kesiapan psikologis juga perlu diperhatikan, hal ini berhubungan dengan kecemasan pasien, terlebih cemas karena ketidakmampuan menerima weaning. Cemas berupa perasaan subjektif dari individu karena akan mendapat stimulus dari luar yang dipersepsikan sebagai rasa ketidakmampuan untuk menerima stimulus tersebut (Chen, Jacob, Quan, Figueredo, & Davis, 2011). Pasien yang terpasang ventilator akan mengalami gangguan psikologis, tidak terdapat pemeriksaan khusus secara klinis untuk memprediksi tingkat keparahan gangguan psikologis pasien yang terpasang ventilator. Berdasarkan penelitian pada pasien yang pernah terpasang ventilator, secara psikologis merasakan kecemasan, dan tampak linglung atau tidak mengalami disorientasi. Keadaan psikologis ini akan berakibat pada lamanya proses weaning (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015). Terdapat sebuah kisah berdasarkan sebuah case study report, bahwa seorang pasien dengan trauma kemudian diindikasikan untuk pemasangan ventilator. Setelah 30 hari, hasil BGA menunjukan perubahan yang baik secara signifikan, sehingga pasien menjalani weaning mulai dari SIMV, CPAP (karena sudah ada nafas spontan) dan akhinya ke tahap T-Piece. Perubahan yang sangat bagus, membuat tim kesehatan berani untuk mengekstubasi ventilator pasien. Saat dicabut ternyata pasien mengalami gemetar hebat dan nafas terengah-tengah, gerakan dada dan perut sangat intens sebagai usaha mengambil oksigen, sehingga dokter memutuskan untuk reintubasi pemasanagn ventilator kembali. Setelah 10 hari pemasangan, ternyata tidak ada perubahan. Kemudian dokter penanggungjawab memprediksi bahwa pasien mengalami gangguan psikologis. Setelah dikaji ke keluarga pasien, keluarga mengatakan tidak memiliki riwayat dalam keluarga dengan gangguan psikologis, hanya memang pasien memiliki emosional yang sensitif, juga tidak ada gejala yang mengarah kepada kecemasan, depresi sebelum kecelakaan terjadi (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015). Berdasarkan hasil pengkajian mental pada pasien, dimana pasien berbaring di atastempat tidur dalam keadaan sadar dan masih diintubasi ventilator tampak gelisah dan memiliki penampilan cemas.Saat ditanya tentang kesehatannya dia mendemonstrasikannya ketakutan dan seperti mengatakan bahwa dia tidak akan pernah sembuh, dan karena diintubasi dai tidak bisa berkata-kata lebih banyak. Berdasarkan pengkajian tersebut, disimpulkan bahwa pasien mengalami kecemasan. Kemudian diberkan obat-obatan untuk psikisnya, dan menurut keluarga pasien lebih tenang, tidur lebih nyenyak. Setelah 5 hari pengobatan, pasien berhasil sampai ke tahap T-Piece dan berhasil di esktubasi (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015). Dari kisah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa psikologis seorang pasien yang terpasang ventilator dapat berpengaruh kepada lama waktu pemasangan ventilator, selain dari faktor keparahan penyakit. Sangat mudah untuk dilakukan deteksi apabila pasien dalam keadaan sadar, namun jika kesadaran somnolens, soporocoma bahkan coma merupakan hal yang sulit bagi perawat atau dokter untuk mengetahui keadaan sikologis pasien tersebut. Terdapat beberapa hal yang perlu dikaji terkait dengan psikologis pasien melalui keluarga, yaitu tentang sifat psikis pasien selama dirumah (mudah marah, sedih, pemikir, mudah cemas dan sebagainya) dan kejadian terakhir atau perasaan terakhir yang terungkapkan sebelum pasien mengalami kecelakaan dan atau penurunan kesadaran (Harshal Sathe, Nilesh Shah, Avinash De Sousa, 2015). Pada pasien tidak sadar, deteksi hipotesa pasien mengalami rasa takut dan cemas adalah dengan melihat secara klinis apakah pasien menunjukan tanda sesak, dan ketidakstabilan antara pasokan permintaan pernafasan dan dari penyesuaian ventilator. Hipotesa dari Psychophysiological Ventilator Weaning Model (PVWM) menyebutkan bahwa kondisi rasa takut yang didapat dari kegagalan weaningsebelumnya mempengaruhi psikologis pasien (state anxiety) dan fisiologis kinerja (fungsi pernafasan), dimana akan sangat mempengaruhi hasil weaning selanjutnya.Tanda klinis lainya untuk mendeteksi apakah pasien dengan ventilator sedang mengalami ketakutan atau kecemasan adalah dengan melihat pola pasien yang gelisah, peningkatan detak jantung, pernafasan yang dangkal, hiperventilasi dan sangat mudah berkeringat. Pasien dengan reintubasi ventilator memiliki hipotesa bahwa pasien mengalami gangguan psikologis. Gangguan psikologis akan mempengaruhi kesuksesan weaning ventilator (Yu-Ju Chen, RN, PhD, 2011 ) 2. Guidelines weaning Pedoman weaning/ guidelines untuk menurunkan dukungan ventilator secara bertahap menggunakan Percobaan pernafasan spontan (Spontaneous breathing trial/ SBT). American College of Chest Physicians (CHEST) dan American Thoracic Society (ATS) telah menerbitkan panduan baru untuk menghentikan ventilasi mekanis pada orang dewasa yang sakit kritis. Tujuan dari panduan ini adalah untuk membantu dokter dan profesional perawatan kesehatan lainnya menentukan kapan pasien dengan kegagalan pernapasan akut dapat bernafas dengan sendirinya dan memberikan saran klinis yang dapat meningkatkan peluang keberhasilan ekstubasi. Rekomendasi dari CHEST dan ATS antara lain : a. SBT harus dilakukan pada pasien rawat inap akut yang telah mendapat ventilasi mekanis selama lebih dari 24 jam. SBT awal disarankan dengan melakukan penambahan tekanan inspirasi (5 – 8 cm H 2 O) dari pada tanpa T piece atau CPAP (rekomendasi bersyarat, bukti mutu moderat) b. Pasien rawat inap akut yang mendapat ventilasi mekanis selama lebih dari 24 jam, disarankan protokol untuk mencoba meminimalkan sedasi (rekomendasi bersyarat, kualitas bukti rendah) c. Pasien dengan resiko mengalami kegagalan ekstubasi (pemasangan ventilasi mekanik lebih dari 24 jam) dan telah melewati SBT direkomendasikan menggunakan NIV (non invansive ventilator) segera setelah ekstubasi. (rekomendasi kuat) (Daniel R. Ouellette, et al., 2017) d. .Mobilisasi dini bagi pasien yang berventilasi secara mekanis lebih dari 24 jam e. Protokol pembebasan ventilator menyediakan penyaringan kriteria kesiapan dan kesiapan sistematis dan melakukan SBT bila semua kriteria terpenuhi. Protokol ini dimaksudkan untuk mengurangi variabilitas dalam penilaian kesiapan pembebasan. Mereka mungkin diimplementasikan oleh klinisi (terapis pernafasan atau perawat) atau didorong oleh komputer. Protokol pembebasan ventilasi dikaitkan dengan pengurangan satu hari dalam durasi ventilasi mekanis dan lamanya tinggal ICU, tanpa efek signifikan pada mortalitas keseluruhan. Rekomendasi tersebut menyarankan penggunaan protokol pembebasan ventilator, baik yang diantar perawat atau komputer, untuk pasien yang berventilasi secara mekanis selama lebih dari 24 jam. f. Edema laring berhubungan dengan intubasi yang berkepanjangan dan menginduksi stridor pasca-ekstubasi, yang meningkatkan risiko reintubasi. Tes pembekuan cuff dapat digunakan sebagai indikator pengganti edema laring dan untuk memandu pengelolaan pasien. Manajemen yang dipandu oleh uji kebocoran manset akan mengurangi laju stridor reintubasi dan pasca ekstubasi, namun mungkin menunda ekstubasi secara tidak perlu. Selanjutnya, terapi steroid sistemik mengurangi tingkat reintubasi dan laju stridor post-ekstubasi. Rekomendasi tersebut menyarankan untuk melakukan tes kebocoran manset pada pasien yang dianggap berisiko tinggi mengalami stridor pasca ekstubasi. Faktor risiko termasuk intubasi traumatis, intubasi lebih dari enam hari, tabung endotrakea besar, jenis kelamin wanita, dan reintubasi setelah ekstubasi yang tidak terencana. Mengkontrol steroid sistemik setidaknya empat jam sebelum ekstubasi juga disarankan untuk pasien yang gagal dalam tes kebocoran manset, yang jika tidak siap untuk melakukan ekstubasi. (Arnal, 2017) 3. kriteria menilai kesiapan ekstubasi Kriteria ekstubasi sama dengan kriteria weaning, yang perlu diperhatikan adalah penilaian terhadap ekstubasi dilakukan setelah berhasil SBT. Penilaian meliputi faktor kegagalan ekstubasi sehingga harus dilakukan reintubasi dalam waktu kurang dari 48 jam setelah ekstubasi. Reintubasi berhubungan dengan prolonged hospital dan lama tinggal di ICU serta tindakan trakeostomi (Thille, Harrois, Schorgen, Brun-Buisson, & Brochard, 2011). D. Peran perawat dalam keberhasilan weaning Perawat ICU sangat berperan dalam proses weaning karena mereka berada 24 jam bersama pasien, memastikan keselamatan pasien dan melakukan pemeriksaan klinis berkelanjutan, terlebih bagaimana mereka mengobservasi dan mengelola prediktor- prediktor weaning dan memberikan penilaian terhadap kriteria weaning tersebut sebagai bentuk dari penerapan protokol weaning. Assesment dilakukan setiap hari dan didokumentasikan. Benefit yang akan dirasakan bagi perawat ICU yang menerapkan protokol weaning berupa perasaan otonomi atau kemandirian yang lebih besar dan responsibility dalam memberikan perawatan kepada pasien (Mary, et al., 2003). Physician berkontribusi dalam memberikan resep weaning/ instruksi setting ventilator sesuai guidlines untuk menurunkan dukungan ventilator secara bertahap. Perawat ICU dan physician (dokter di ICU) bekerja sama secara berdampingan di ICU, namun memiliki peran dan sumber pengetahuan masing-masing. Dalam pendekatan modern terhadap perawatan kritis kolaborasi dan tanggung jawab terhadap pasien dibagi antara perawat dan physician dalam sebuah tim (Hartog & Benbenish, 2015). Kesuksesan weaning erat kaitannya dengan kerjasama multidisiplin profesi dalam menjalankan program weaning, dalam hal ini kolaborasi antara perawat ICU dengan physician sangat penting. Kolaborasi dalam hal ini memuat banyak hal, selain komunikasi yang efektif antar keduanya, persepsi tentang tugas dan peran juga perlu diselaraskan termasuk disicion making yang harus dibuat physician terkait setting ventilator dan peresepan serta dicision making yang dibuat perawat sebagai bentuk otonominya (Bronagh, Carol, Lyons, Danny, & Louise, 2013). E. Hambatan keberhasilan weaning Perawat dan physician harus menemukan cara yang tepat untuk proses weaning hingga ekstubasi pada pasien ICU yang mendapat dukungan ventilator karena cara weaning yang tidak tepat akan merugikan pasien. Terlalu lama mendapat dukungan ventilator akan terjadi banyak komplikasi, lama tinggal di ICU dan tentu saja biaya yang membesar, sedangkan terlalu cepat weaning ataupun extubasi berisiko terjadi reintubasi akibat pasien tidak siap secara fisik dan psikologisnya. Kenyataan dilapangan antara perawat ICU dan physician sering kali berbeda cara pandang terkait responsibilities masing-masing. Perawat ICU memiliki persepsi bahwa hambatan weaning disebabkan kurang petunjuk dari physician seperti keadaan jarang memberikan resep/ instruksi mengubah setting ventilator pada pasien, jika diresepkan ini mewakili kesepakatan antar profesi. Perawat ICU menginginkan pendekatan interdisipliner untuk weaning dan sebuah kebutuhan akan sharing knowledge satu sama lain (Hansen & Severinson, 2007). Sedangkan physician berpandaangan bahwa disisi lain perawat ICU tidak melakukan resep weaning yang diinstruksikan (Hartog & Benbenish, 2015). Reintubasi berhubungan dengan prolonged hospital dan lama tinggal di ICU serta tindakan trakeostomi (Thille, Harrois, Schorgen, Brun-Buisson, & Brochard, 2011). Prolong mechanichal ventilation (PMV) didefinisikan berdasarkan konsensus yang merupakan pemasangan ventilasi mekanik selama ≥ 6 jam sehari dalam 21 hari berturut – turut. Penelitian yang dilakukan Hoong Joong Shin dkk 2017 memberikan evaluasi faktor klinis untuk memprediksi penyebab dari kegagalan PMV. Mereka menggunakan skor Acute Physiology and Chronic Evaluation III (APACHE III) dan Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) (Shin, et al., 2017). DAFTAR PUSTAKA
1. Esteban A, Ferguson ND, Meade MO, Frutos-Vivar F, Apezteguia C, Brochard L, et
al. Evolution of mechanical ventilation in response to clinical research. American journal of respiratory and critical care medicine. 2008;177(2):170-7. 2. MacIntyre NR, Cook DJ, Ely EW, Jr., Epstein SK, Fink JB, Heffner JE, et al. Evidence-based guidelines for weaning and discontinuing ventilatory support: a collective task force facilitated by the American College of Chest Physicians; the American Association for Respiratory Care; and the American College of Critical Care Medicine. Chest. 2001;120(6 Suppl):375s-95s. 3. Ely EW, Baker AM, Dunagan DP, Burke HL, Smith AC, Kelly PT, et al. Effect on the duration of mechanical ventilation of identifying patients capable of breathing spontaneously. The New England journal of medicine. 1996;335(25):1864-9. 4. Fagon JY, Chastre J, Hance AJ, Montravers P, Novara A, Gibert C. Nosocomial pneumonia in ventilated patients: a cohort study evaluating attributable mortality and hospital stay. The American journal of medicine. 1993;94(3):281-8. 5. Jubran A, Tobin MJ. Pathophysiologic basis of acute respiratory distress in patients who fail a trial of weaning from mechanical ventilation. American journal of respiratory and critical care medicine. 1997;155(3):906-15. 6. Tobin MJ, Guenther SM, Perez W, Lodato RF, Mador MJ, Allen SJ, et al. Konno- Mead analysis of ribcageabdominal motion during successful and unsuccessful trials of weaning from mechanical ventilation. The American review of respiratory disease. 1987;135(6):1320-8. 7. MacIntyre NR. The ventilator discontinuation process: an expanding evidence base. Respiratory care. 2013;58(6):1074-86. 8. Ely EW, Baker AM, Evans GW, Haponik EF. The prognostic significance of passing a daily screen of weaning parameters. Intensive care medicine. 1999;25(6):581-7. 9. Boles JM, Bion J, Connors A, Herridge M, Marsh B, Melot C, et al. Weaning from mechanical ventilation. The European respiratory journal. 2007;29(5):1033-56. 10. Huang CT, Tsai YJ, Lin JW, Ruan SY, Wu HD, Yu CJ. Application of heart-rate variability in patients undergoing weaning from mechanical ventilation. Critical care (London, England). 2014;18(1):R21. 11. Seely AJ, Bravi A, Herry C, Green G, Longtin A, Ramsay T, et al. Do heart and respiratory rate variability improve prediction of extubation outcomes in critically ill patients? Critical care (London, England). 2014;18(2):R65. 12. Hammash MH, Moser DK, Frazier SK, Lennie TA, HardinPierce M. Heart rate variability as a predictor of cardiac dysrhythmias during weaning from mechanical ventilation. American journal of critical care : an official publication, American Association of Critical-Care Nurses. 2015;24(2):118-27. 13. Arcentales A, Caminal P, Diaz I, Benito S, Giraldo BF. Classification of patients undergoing weaning from mechanical ventilation using the coherence between heart rate variability and respiratory flow signal. Physiological measurement. 2015;36(7):1439-52. 14. Chen CJ, Hsu LN, McHugh G, Campbell M, Tzeng YL. Predictors of sleep quality and successful weaning from mechanical ventilation among patients in respiratory care centers. The journal of nursing research : JNR. 2015;23(1):65-74. 15. Hermans G, De Jonghe B, Bruyninckx F, Van den Berghe G. Clinical review: Critical illness polyneuropathy and myopathy. Critical care (London, England). 2008;12(6):238. 16. Cottereau G, Dres M, Avenel A, Fichet J, Jacobs FM, Prat D, et al. Handgrip Strength Predicts Difficult Weaning But Not Extubation Failure in Mechanically Ventilated Subjects. Respiratory care. 2015. 17. Hermans G, Agten A, Testelmans D, Decramer M, GayanRamirez G. Increased duration of mechanical ventilation is associated with decreased diaphragmatic force: a prospective observational study. Critical care (London, England). 2010;14(4):R127. 18. DiNino E, Gartman EJ, Sethi JM, McCool FD. Diaphragm ultrasound as a predictor of successful extubation from mechanical ventilation. Thorax. 2014;69(5):423-7.