Anda di halaman 1dari 19

A.

Pengertian
Keperawatan perioperatif adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan keragaman fungsi keperawatan yang berkaitan dengan
pengalaman pembedahan pasien. Kata ”perioperatif” adalah suatu istilah
gabungan yang mencakup tiga fase pengalaman pembedahan yaitu
praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif. Masing-masing dari fase ini
dimulai dan berakhir pada waktu tertentu dalam urutan peristiwa yang
membentuk pengalaman bedah, dan masing-masing mencakup rentang
perilaku dan aktivitas keperawatan yang luas yang dilakukan oleh perawat
dengan menggunakan proses keperawatan dan standart praktik keperawatan.
1. Fase praoperasi
Fase perioperatif dimulai ketika keputusan untuk intervensi bedah dibuat
dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi. Lingkup aktivitas
keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup penetapan
pengkajian dasar pasien di tatanan klinik atau di rumah, menjalani
wawancara praoperatif, dan menyiapkan pasien untuk anastesi yang
diberikan dan pembedahan (Brunner & Suddart, 2005)
2. Fase intraoperatif
Fase intraoperatif dimulai ketika pasien dipindahkan ke meja operasi.
Tahap ini berakhir ketika pasien dipindahkan ke post anesthesia care unit
(PACU) atau yang dahulu disebut ruang pemulihan (recovery room, RR).
Dalam tahap ini, tanggung jawab perawat terfokus pada kelanjutan dari
pengkajian fisiologis, psikologis, merencanakan dan
mengimplementasikan intervensi untuk keamanan dan privasi pasien,
mencegah infeksi luka, dan mempercepat penyembuhan. Termasuk
intervensi keperawatan yang spesifik adalah memberi dukungan
emosional ketika anastesia dimulai (induksi anastesia) dan selama
prosedur pembedahan berlangsung, mengatur dan mempertahankan posisi
tubuh yang fungsional, mempertahankan asepsis, melindungi pasien dari
bahaya arus listrik (dari alat-alat yang dipakai seperti electrocautery),
membantu mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menjamin ketepatan hitungan kasa dan instrumen, membantu dokter
bedah, mengadakan komunikasi dengan keluarga pasien dan anggota tim
kesehatan yang lain.

1
3. Fase pascaoperatif
Fase pascaoperatif dimulai dengan pemindahan pasien ke PACU dan
berakhir pada waktu pasien dipulangkan dari rumah sakit. Termasuk
dalam kegiatan perawatan adalah mengkaji perubahan Universitas
Sumatera Utara fisik dan psikologis; memantau kepatenan jalan napas,
tanda-tanda vital, dan status neurologis secara teratur; mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit; mengkaji secara akurat serta haluaran
dari semua drain (Baradero, dkk., 2009).

B. Pertimbangan khusus pasien bedah


Pembedahan adalah suatu pengalaman yang unik untuk setiap pasien,
bergantung pada faktor psikososial dan fisiologis yang ada. Sekalipun
pembedahan tersebut dianggap minor oleh tenaga kesehatan profesional,
perlu diingat bahwa pembedahan apapun selalu dianggap sebagai sesuatu
yang besar oleh pasien dan keluarganya. Pembedahan termasuk suatu stresor
yang bisa menimbulkan stres fisiologis (respon neuroendokrin) dan stres
psikososial (cemas dan takut). Pembedahan juga menimbulkan stres sosial
yang mengharuskan keluarga beradaptasi terhadap perubahan peran.
Perubahan peran ini bisa sementara atau permanen (Baradero, dkk., 2009).
1. Respon neuroendokrin
Pada dasarnya pembedahan yang akan dilaksanakan dapat memicu respon
neuroendokrin. Respon terdiri dari sistem saraf simpati dan respon
hormon yang berfungsi melindungi tubuh dari ancaman cidera. Respon
sistem saraf simpati dengan vasokontriksi berguna untuk mempertahankan
tekanan darah agar cukup aliran darah ke jantung dan otak. Kenaikan
cardiak output dan pengurangan aktifitas gastrointestinal berguna untuk
mempertahankan tekanan darah, namun memiliki efek negatif: anoreksia,
nyeri akibat gas dan konstipasi. Pada respon hormonal, peningkatan
sekresi glukokortikoid (corteks adrenal) menyebabkan retensi sodium
untuk peningkatan Universitas Sumatera Utara volume darah: katabolisme
protein dan lemak untuk penyembuhan menyebabkan peningkatan energi,
tersedianya asam amino sehingga efek negatifnya menyebabkan
penurunan berat badan, kemungkinan pembentukan trombus, kenaikan
sekresi ADH menyebabkan peningkatan volume darah, namun bisa
memungkinkan kelebihan cairan. Efek sistemik dari respon neuroendokrin
tampak pada perubahan yang kompleks dalam tubuh. Manifestasi

2
perubahan fisiologis antara lain: denyut jantung meningkat, tekanan darah
meningkat, suplai darah ke otak dan organ vital meningkat, suplai darah
ke gastrointestinal dan motilitas gastrointestinal menurun, produksi asam
lambung meningkat, kecepatan pernapasan meningkat, glukosa darah
meningkat, diaforesis dan piloereksi, dilatasi pupil, agregasi trombosit
(Baradero dkk, 2009).
2. Respons psikologis
Ansietas (cemas) merupakan respon adaptif yang normal terhadap stres
karena pembedahan. Pasien yang akan dioperasi biasanya menjadi agak
gelisah dan takut. Perasaan gelisah dan takut kadang-kadang tidak tampak
jelas, tetapi kadangkala dapat terlihat dalam bentuk lain. Pasien yang
gelisah dan takut akan sering bertanya, walaupun pertanyaannya telah
dijawab sebelumnya (Oswari, 2005). Contoh perubahan fisiologis yang
muncul akibat ketakutan antara lain: Pasien dengan riwayat hipertensi jika
mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit
tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa
dibatalkan, Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat
mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi
terpaksa harus ditunda. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan
ketakutan pasien diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Takut nyeri setelah pembedahan.
b) Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi
normal (body image).
c) Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti).
d) Takut mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang
mempunyai penyakit yang sama.
e) Takut menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas.
f) Takut mati saat dibius/ tidak sadar lagi.
g) Takut gagal operasi.
Menurut Robby (2009) ketakutan dan kecemasan yang mungkin
dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik
seperti: meningkatnya frekuensi nadi dan pernapasan, gerakan-gerakan
tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah,
menanyakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering
berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa

3
digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Selain itu perawat perlu
mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam
menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan tersebut, seperti adanya
orang terdekat, tingkat perkembangan pasien dan faktor pendukung
(support system).
3. Respons sosial
Terjadi perubahan pada peran dan fungsi pasien yang akan dibedah.
Perubahan ini bisa sementara atau permanen. Rutinitas hidup keluarga
dapat juga terganggu. Karena itu, harus ada yang menemani pasien di
rumah sakit. Misalnya: pasien seorang ibu dengan anak kecil, untuk
sementara anak harus diasuh orang lain; jika individu yang bekerja, harus
meninggalkan pekerjaannya. Di samping mengambil alih fungsi dan
perannya, keluarga juga harus memberi dukungan psikologis kepada
pasien. Semua ini dapat menimbulkan stres pada keluarganya, yang dapat
juga ditimbulkan oleh ketidakpastian mengenai hasil pembedahan
(Baradero dkk, 2009).

C. Tipe Pembedahan
1. Menurut fungsinya (tujuannya), Potter & Perry (2005) membagi menjadi
beberapa bagian diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Diagnostik : biopsi, laparotomi eksplorasi.
b) Kuratif (ablatif) : tumor, appendiktom.
c) Reparatif : memperbaiki luka multiple.
d) Rekonstruktif : mamoplasti, perbaikan wajah.
e) Paliatif : menghilangkan nyeri.
f) Transplantasi : penanaman organ tubuh untuk menggantikan organ
atau struktur tubuh yang malfungsi (cangkok ginjal, kornea).
Sedangkan menurut Smeltzer & Bare (2005), membagi operasi menurut
tingkat urgensi dan luas atau tingkat resiko.
2. Menurut tingkat urgensinya :
a) Kedaruratan Klien membutuhkan perhatian dengan segera, gangguan
yang diakibatkannya diperkirakan dapat mengancam jiwa (kematian
atau kecacatan fisik), tidak dapat ditunda.
b) Urgen Klien membutuhkan perhatian segera, dilaksanakan dalam 24 –
30 jam.

4
c) Diperlukan Klien harus menjalani pembedahan, direncanakan dalam
beberapa minggu atau bulan.
d) Elektif Klien harus dioperasi ketika diperlukan, tidak terlalu
membahayakan jika tidak dilakukan.
e) Pilihan Keputusan operasi atau tidaknya tergantung kepada klien
(pilihan pribadi klien).
3. Menurut Luas atau Tingkat Resiko :
a) Mayor Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan
mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup
klien.
b) Minor Operasi pada sebagian kecil dari tubuh yang mempunyai resiko
komplikasi lebih kecil dibandingkan dengan operasi mayor.

D. Informed consent
Hak pasien untuk menentukan intervensi pembedahan yang akan
dilaksanakan dilindungi oleh proses informed consent. Izin tertulis yang
dibuat secara sadar dan sukarela dari pasien diperlukan sebelum suatu
pembedahan dilakukan, izin ini untuk melindungi pasien terhadap
pembedahan yang lalai dan melindungi ahli bedah terhadap tuntutan dari
suatu lembaga hukum. Demi kepentingan semua pihak yang terkait, perlu
mengikuti prinsip medikolegal yang baik. Tanggung jawab perawat adalah
untuk memastikan bahwa informed consent telah didapat secara sukarela dari
pasien oleh dokter. Sebelum pasien menandatangani formulir consent, ahli
bedah harus memberikan penjelasan yang jelas dan sederhana tentang apa
yang akan diperlukan dalam pembedahan. Ahli bedah juga harus
menginformasikan pasien tentang alternatif-alternatif yang ada,
kemungkinan resiko, komplikasi, perubahan bentuk tubuh, menimbulkan
kecacatan, ketidakmampuan, dan pengangkatan bagian tubuh, juga tentang
apa yang diperkirakan terjadi pada periode pascaoperasi awal dan lanjut
(Brunner & Suddart, 2002).
Klien yang menolak pembedahan atau tindakan medis lainnya harus
diinformasikan tentang apapun konsekuensi bahayanya. Jika klien terus
menolak, penolakan harus ditulis, ditandatangani, dan disaksikan. Orang tua
biasanya wali legal dari klien anak-anak dan dengan demikian ada orang
yang menandatangani format persetujuannya. Dalam beberapa hal, misalnya

5
jika klien tidak sadar, persetujuan tindakan diperolah dari seseorang yang
secara legal disahkan untuk memberikan persetujuan atas nama klien. Jika
orang yang cedera telah diumumkan secara legal tidak mampu, persetujuan
harus diperoleh dari wali legal orang tersebut (Potter & Perry, 2005).

E. Pengkajian Keperawatan
1. Praoperasi
a) Riwayat keperawatan
Pengumpulan data subjektif praoperasi meliputi usia, alergi
(iodin, medikasi, lateks, larutan antiseptic), obat dan zat yang
digunakan, tinjauan sistem tubuh, pengalaman pembedahan yang dulu
dan yang sekarang, latar belakang kebudayaan (termasuk kepercayaan,
keyakinan, agama), dan psikososial (Yenichrist, 2008).
b) Pemeriksaan fisik dan sirkulasi
Perawat melakukan pemeriksaan “head to toe” (dari kepala
sampai ke ibu jari kaki). Sistem jantung dan pernapasan harus
mendapat perhatian yang seksama. Perawat tidak boleh mengabaikan
denyut nadi perifer, pemeriksaan rektal, dan pelvis. Pada tahap
preoperatif, data objektif dikumpulkan dengan dua tujuan, yaitu
memperoleh data dasar untuk digunakan sebagai pembanding data
pada tahap intraoperatif dan tahap pascaoperatif dan mengetahui
masalah potensial yang memerlukan penanganan sebelum pembedahan
dilaksanakan. Kelainan yang ditemukan (suhu meningkat, batuk, rales,
bradikardi, hipertensi, dan sebagainya) harus didokumentasikan dan
segera dilapor ke dokter bedah dan ahli anastesi untuk evaluasi
selanjutnya. Pembedahan dapat ditunda sesuai beratnya kelainan yang
ditemukan (Baradero dkk, 2009).
c) Pemeriksaan penunjang
Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan
penunjang, maka dokter bedah tidak mungkin bias menentukan
tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan
penunjang yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi dan
diagnostik seperti: foto thoraks, abdomen, USG, CT scan, MRI,
renogram, cytoscopy, mammografi, colon in loop, EKG, ECHO,

6
Electro Enchelophalo Grafi. Pemeriksaan laboratorium, berupa
pemeriksaan darah seperti: hemoglobin, angka leukosit, limfosit, LED
(laju endap darah), jumlah trombosit, protein total (albumin dan
globulin), elektrolit, ureum, kreatinin. Biopsi, yaitu tindakan sebelum
operasi berupa pengambilan bahan jaringan tubuh untuk memastikan
penyakit pasien sebelum dioperasi. Pemeriksaan kadar gula darah
(KGD), yaitu untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalam
rentang normal atau tidak. Khususnya untuk proses anastesi, biasanya
dibutuhkan berbagai macam pemeriksaan laboratorium terutama
pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan
(clotting time) darah pasien, elektrolit serum, hemoglobin, protein
darah dan hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG
(Rondhianto, 2008).

2. Intraoperasi
Pengkajian fase Intra Operatif
Hal-hal yang dikaji selama dilaksanakannya operasi bagi pasien yang
diberi anaesthesi total adalah yang bersifat fisik saja, sedangkan pada
pasien yang diberi anaesthesi lokal ditambah dengan pengkajian
psikososial. Secara garis besar yang perlu dikaji diantaranya adalah
sebagai berikut :
a) Pengkajian mental
Bila pasien diberi anaesthesi lokal dan pasien masih sadar/terjaga maka
sebaiknya perawat menjelaskan prosedur yang sedang dilakukan
terhadapnya dan memberi dukungan agar pasien tidak cemas/takut
menghadapi prosedur tersebut.
b) Pengkajian fisik
Tanda-tanda vital (bila terjadi ketidaknormalan maka perawat harus
memberitahukan ketidaknormalan tersebut kepada ahli bedah).
c) Transfusi dan infuse
Monitor flabot sudah habis apa belum.
d) Pengeluaran urin
Normalnya pasien akan mengeluarkan urin sebanyak 1 cc/kg BB/jam.

7
3. Postoperasi
Pengkajian fase Post Operatif
a) Status respirasi
Meliputi : kebersihan jalan nafas, kedalaman pernafasaan, kecepatan
dan sifat pernafasan dan bunyi nafas.
b) Status sirkulatori
Meliputi : nadi, tekanan darah, suhu dan warna kulit.
c) Status neurologis
Meliputi tingkat kesadaran.
d) Balutan
Meliputi : keadaan drain dan terdapat pipa yang harus disambung
dengan sistem drainage.
e) Kenyamanan
Meliputi : terdapat nyeri, mual dan muntah
f) Keselamatan
Meliputi : diperlukan penghalang samping tempat tidur, kabel panggil
yang mudah dijangkau dan alat pemantau dipasang dan dapat berfungsi.
g) Perawatan
Meliputi : cairan infus, kecepatan, jumlah cairan, kelancaran cairan.
Sistem drainage : bentuk kelancaran pipa, hubungan dengan alat
penampung, sifat dan jumlah drainage.
h) Nyeri
Meliputi : waktu, tempat, frekuensi, kualitas dan faktor yang
memperberat/memperingan.

F. Diagnosis Keperawatan
1. Praoperasi
Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien
praoperasi, meliputi:
a) Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan tidak ada informasi
mengenai rutinitas perioperatif, keterbatasan informasi tentang
penyakit dan proses operasi
b) Ansietas yang berhubungan dengan perubahan citra tubuh, perubahan
status kesehatan, financial, tidak terlindung oleh asuransi dan krisis
situasional.

8
c) Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
prosedur bedah, anastesia, sedasi, dan banyaknya sekresi.
d) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer, thrombosis vena profunda
yang berhubungan dengan statis vena, peningkatan pembekuan darah.
e) Resiko infeksi yang berhubungan dengan persiapan kulit yang tidak
adekuat, luka terkontaminasi.
f) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan rasa cemas dan
lingkungan.
2. Postoperasi
a) Gangguan pertukaran gas b.d efek samping dari anaesthesi.
b) Kerusakan integritas kulit b.d luka post operasi
c) Nyeri akut b.d proses pembedahan

G. Intervensi Keperawatan
Praoperasi
1. Penyuluhan
Tujuan penyuluhan praoperasi adalah memenuhi kebutuhan individu
tentang pengetahuan praoperasi; meningkatkan keamanan pasien;
meningkatkan kenyamanan psikologis dan fisiologis; meningkatkan
keikutsertaan pasien dan keluarga dalam perawatannya; meningkatkan
kepatuhan terhadap instruksi yang telah dijelaskan. Penyuluhan preoperasi
dilakukan dahulu dalam satu atau dua hari sebelum pembedahan. Riset
menunjukkan bahwa penyuluhan praoperasi dikaitkan dengan penurunan
tingkat kecemasan, ambulansi yang cepat, dan keikutsertaan dalam
aktivitas perawatan diri. Informasi penting yang perlu dijelaskan kepada
pasien adalah prosedur praoperasi, pembedahan itu sendiri, dan apa yang
diharapkan dari pembedahan. Kebanyakan pasien merasa kecemasannya
menjadi lebih ringan apabila ia mengetahui apa tujuan pemeriksaan, dan
prosedur praoperasi yang akan dilaksanakan (Baradero dkk,2009). Materi
penyuluhan praoperasi antara lain informed consent; skrining praoperasi
(laboratorium, uji diagnostik, riwayat keperawatan, pengkajian fisik);
rutinitas praoperasi (pencukuran, persiapan kulit, pemeriksaan tanda-tanda
vital, penggunaan pakaian praoperasi dan pelepasan perhiasan); status
puasa; medikasi praoperasi; pemindahan ke ruang tunggu di kamar
operasi (lamanya menunggu, lamanya prosedur pembedahan); rutinitas di

9
unit pasca anastesia; adanya slang intravena, kateter foley, slang
nasogastrik, drain, luka insisi; rutinitas praoperasi (latihan batuk efektif,
napas dalam, mobilisasi di tempat tidur dan pergerakan sendi).
2. Peningkatan kenyamanan
Pembedahan mengakibatkan rasa cemas karena dikaitkan dengan
takut akan sesuatu yang belum diketahui, nyeri, perubahan citra tubuh,
perubahan fungsi tubuh, kehilangan kendali dan kematian. Joint
Commision on Accreditation of Health Care Organizations (JCAHO)
menyatakan bahwa perawat profesional mempunyai tanggung jawab
membantu pasien dan keluarganya atau orang yang penting untuk
mengidentifikasi sumber rasa cemas dan membantu mereka memakai
mekanisme koping yang efektif. Tingkat cemas yang dialami pasien akan
mempengaruhi kemampuannya untuk mengerti instruksi praoperasi.
Cemas ringan bisa mempertajam penangkapan penjelasan, tetapi cemas
berat bisa membuat pasien tidak mampu menangkap instruksi yang
diberikan (Baradero dkk, 2009).
Pemberdayaan pasien dengan memulihkan kemampuannya dalam
mengendalikan situasi dapat mengurangi rasa cemas. Dengan melibatkan
pasien untuk mengambil keputusan atau berpartisipasi dalam
perawatannya akan membuat pasien merasa bisa mengendalikan situasi.
Pasien juga bisa dibantu dalam memilih kegiatan atau latihan yang bisa
mengurangi rasa cemas. Misalnya, memilih dan mendengarkan lagu-lagu
(terapi musik), relaksasi progresif, imajinasi terbimbing, dan sebagainya.
Menurut Rodhianto (2008) selain itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang
bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah
ketakutan dan kecemasannya , seperti adanya orang terdekat, tingkat
perkembangan pasien, faktor pendukung.
3. Pemeliharaan fungsi paru
Penyuluhan praoperasi ternasuk menjelaskan pada pasien tentang
pentingnya latihan napas dalam dan batuk efektif. Napas dalam dapat
memperbaiki oksigenasi, mengeluarkan anestetik inhalan yang tertinggal
dalam paru, mencegah kolaps alveolar yang bisa menimbulkan atelektasis.
Batuk efektif dapat mengeluarkan sekresi yang bisa menghambat saluran
pernapasan, ketika dilakukan napas dalam sebelum batuk, refleks batuk
dirangsang. Jika pasien tidak dapat batuk secara efektif, pneumonia

10
hipostatik dan komplikasi paru lainnya dapat terjadi. Latihan ini perlu
dijelaskan dan didemonstrasikan, kemudian pasien diminta untuk
mendemonstrasikan kembali sebelum pembedahan. Pemberian
penyuluhan pada pasien setelah pembedahan ternyata tidak efektif karena
efek anastesi, rasa nyeri dan rasa tidak nyaman bisa menganggu
konsentrasi pasien (Brunner & Suddarth, 2005).
Latihan napas dalam dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Pasien tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk (semifowler)
dengan lutut ditekuk dan perut tidak boleh tegang. Meletakkan tangan di
atas perut, menghirup udara sebanyak-banyaknya dengan menggunakan
hidung dalam kondisi mulut tertutup rapat, kemudian menahan napas
beberapa saat (3-5 detik), secara perlahan-lahan, udara dikeluarkan sedikit
demi sedikit melalui mulut. Latihan ini dilakukan berulang kali (15 kali)
dan dua kali sehari preoperatif. Sedangkan teknik batuk efektif dapat
dilatih dengan cara: pasien condong ke depan dari posisi semifowler,
sarankan untuk menjalin jari-jari tangan dan diletakkan melintang di atas
insisi sebagai bebat ketika batuk. Kemudian pasien napas dalam seperti
cara napas dalam (3-5 kali), segera lakukan batuk spontan, harus
dipastikan rongga pernapasan terbuka dan tidak hanya batuk dengan
mengandalkan kekuatan tenggorokan saja karena bisa terjadi luka pada
tenggorokan. Hal ini dapat menimbulkan ketidaknyamanan, namun tidak
berbahaya terhadap insisi. Teknik ini dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Jika selama batuk daerah operasi terasa nyeri, pasien bisa menambahkan
dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan handuk yang lembut
untuk menahan daerah operasi dengan hati-hati sehingga dapat
mengurangi guncangan tubuh saat batuk (Rondhianto, 2008).Selain
latihan napas dalam dan batuk efektif, dapat juga diberikan latihan gerak
sendi. Latihan gerak sendi merupakan hal yang sangat penting bagi pasien
sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai
pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Pergerakan setelah operasi akan mempercepat rangsang peristaltik usus,
menghindari penumpukan lendir pada saluran pernapasan dan terhindar
dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Selain itu akan
memperlancar sirkulasi untuk mencegah statis vena dan menunjang fungsi
pernapasan optimal. Intervensi ditujukan pada perubahan posisi tubuh dan

11
juga Range Of Motion (ROM). Latihan perpindahan posisi dan ROM ini
pada awalnya dilakukan secara pasif namun kemudian seiring dengan
bertambahnya kekuatan tonus otot maka pasien diminta melakukan secara
mandiri.
4. Pencegahan infeksi Lambung dan kolon harus dibersihkan terlebih
dahulu. Intervensi keperawatan yang dapat diberikan diantaranya pasien
dipuasakan dan dapat juga dengan pemberian enema. Enema biasanya
diberikan untuk pembedahan pada gastrointestinal, pelvis, perineal, atau
perianal. Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk
menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paruparu) dan
menghindari kontaminasi feses di area pembedahan sehingga
menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan dan dapat juga
memberi visualisasi yang baik untuk dokter bedah. Persiapan kulit juga
sangat penting dilakukan untuk mengurangi resiko infeksi luka setelah
pembedahan. Menurut Baradero (2009) beberapa rekomendasi persiapan
kulit diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Daerah yang akan dibedah dan daerah sekitarnya harus bersih.
Kegiatan membersihkan kulit ini bisa dilakukan dengan mandi dan
mencuci kulit di kamar pasien atau mencuci kulit dan segera memberi
agens antimikroba di kamar operasi.
b) Daerah yang akan dibedah harus dikaji sebelum kulit disiapkan.
Trauma kulit pada area pembedahan memungkinkan mikroorganisme
berkembang di tempat tersebut. Apabila perlu mencukur rambut,
gunakan kliper elektrik atau krim depilatori daripada pencukur pisau.
Pencukuran rambut dilakukan karena rambut yang tidak dicukur dapat
menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga menghambat proses
penyembuhan dan perawatan luka. Pengosongan kandung kemih juga
dilakukan dengan pemasangan kateter. Selain untuk mencengah
infeksi, diperlukan untuk mengobservasi keseimbangan cairan.
5. Persiapan akhir pembedahan
Pada tahap akhir praoperatif, perawat bertanggung jawab atas
kesiapan dan keamanan pemindahan pasien ke ruang bedah. Semua
barang milik pasien harus diidentifikasi dan diamankan. Pasien memakai
pakaian rumah sakit khusus untuk pembedahan, semua pakaian pribadi
dilepas, apabila pasien memakai cat kuku (kutek), cat kuku harus dihapus

12
agar dapat mengkaji pengisian kapiler dengan akurat, melepas perhiasan,
kaca mata, semua prostesis (gigi, bola mata, tangan/kaki palsu)
diidentifikasi dan diamankan. Perawat harus memeriksa apakah pasien
menggunakan gigi palsu. Gigi palsu yang tidak dilepas bisa
membahayakan saluran napas karena bisa menghambat saluran napas
apabila terlepas ketika induksi anestesi. Obat-obat premedikasi. Sebelum
premedikasi diberikan, perawat harus memeriksa kembali apakah formulir
informed consent telah diisi ditandatangani. Formulir informed consent
diletakkan paling depan pada status pasien. Tujuan dari premedikasi
adalah mengurangi rasa cemas dan memberikan sedatif atau hipnotik,
mengurangi sekresi saliva dan sekresi gaster, mengurangi nyeri dan rasa
tidak nyaman (narkotik). Obat-obat premedikasi yang diberikan biasanya
adalah agens anti ansietas (diazepam, midazolan, lorazepam), narkotik
(morfin, meperidine), anti kolinergik (atropin, glikopirolat). Antibiotik
profilaksis biasanya diberikan sebelum pasien dioperasi. Antibiotik
profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya
infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya diberikan
1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca operasi 2-3 kali.
Antibiotik yang dapat diberikan adalah ceftriakson 1 gram dan lain-lain
sesuai indikasi pasien (Robby, 2009).
Premedikasi dapat diberikan ”on call to the O.R” (kamar operasi
memberi tahu untuk diberikan premedikasi) atau dapat juga diberikan di
kamar operasi sebelum induksi anastesi. Setelah premedikasi diberikan,
pasien tidak boleh lagi turun dari tempat tidur. Daftar periksa praoperasi
(checklist praoperatif), adalah ringkasan persiapan pasien sebelum
pembedahan. Tanda-tanda vital preoperasi harus didokumentasikan. Data
ini bisa dijadikan sebagai data dasar untuk mengidentifikasi perubahan
yang dapat timbul pada tahap intraoperasi dan pascaoperasi. Apabila
kateter folay tidak dipasang, pasien diminta untuk berkemih, dan jumlah
urine dicatat pada statusnya. Pasien dipindahkan ke kamar operasi
bersama dengan statusnya yang lengkap dan dokumen lain yang
diperlukan (Baradero dkk, 2009).

13
H. Intervensi Keperawatan
NO. NANDA NOC NIC
1.  Status : G Anxiety Control
Pre Operatif Anxiety Reduction
Ansietas b.d Kriteria hasil :
1) Bina hubungan saling percaya
1) Secara verbal dapat
krisis situasional dengan klien / keluarga
mendemonstrasikan
Operasi 2) Kaji tingkat kecemasan klien.
teknik menurunkan
3) Tenangkan klien dan
cemas.
dengarkan keluhan klien
2) Mencari informasi
dengan atensi
yang dapat
4) Jelaskan semua prosedur
menurunkan cemas
tindakan kepada klien setiap
3) Menggunakan teknik
akan melakukan tindakan
relaksasi untuk
5) Dampingi klien dan ajak
menurunkan cemas
berkomunikasi yang terapeutik
4) Menerima status
6) Berikan kesempatan pada klien
kesehatan.
untuk mengungkapkan
perasaannya.
7) Ajarkan teknik relaksasi
8) Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal yang
membuat cemas.
9) Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain untuk pemberian
obat penenang,
2. Pre Operatif Tujuan : bertambahnya Health education : the disease
Defisit pengetahuan pasien process
Pengetahuan b.d tentang penyakitnya. 1) Kaji tingkat pengetahuan klien.
keterbatasan Knowledge: diseasse 2) Jelaskan proses terjadinya
informasi tentang process penyakit, tanda gejala serta
penyakit dan Knowledge: health komplikasi yang mungkin
proses operasi behavior terjadi
Kriteria hasil : 3) Berikan informasi pada
1) Pasien mampu men- keluarga tentang
jelaskan penyebab, perkembangan klien.
komplikasi dan cara 4) Berikan informasi pada klien
pencegahannya dan keluarga tentang tindakan
2) Klien dan keluarga yang akan dilakukan.
kooperatif saat 5) Diskusikan pilihan terapi

14
dilakukan tindakan 6) Berikan penjelasan tentang
pentingnya ambulasi dini
7) Jelaskan komplikasi kronik
yang mungkin akan muncul
3. Post Operatif Tujuan : kerusakan per- Airway management
Gangguan tukaran gas tidak terjadi 1) Kaji bunyi paru, frekuensi
pertukaran gas Status : Gas exchange nafas,kedalaman dan usaha
b.d efek samping Respiratory Status : nafas.
dari anaesthesi. ventilation 2) Auskultasi bunyi napas, tandai
Vital sign status area penurunan atau hilangnya
Kriteria hasil : ventilasi dan adanya bunyi
1) Status tambahan
neurologis DBN 3) Pantau hasil gas darah
2) Dispnea tidak ada dan kadar elektrolit
3) PaO2, PaCO2, pH 4) Pantau status mental
arteri dan SaO2 dalam 5) Observasi terhadap sianosis,
batas normal terutama membran mukosa
4) Tidak ada gelisah, mulut
sianosis, dan keletihan 6) Pantau status pernapasan dan
oksigenasi
7) Jelaskan penggunaan alat bantu
yang diperlukan (oksigen,
pengisap,spirometer)
8) Ajarkan teknik bernapas dan
relaksasi
9) Laporkan perubahan
sehubungan dengan pengkajian
data (misal: bunyi napas, pola
napas, sputum,efek dari
pengobatan)
10) Berikan oksigen atau udara
yang dilembabkan sesuai
dengan keperluan

4. Post Operatif Tujuan : kerusakan Pressure Management


Kerusakan integritas kulit tidak 1) Ganti balutan plester dan
integritas kulit terjadi. debris
b.d luka post Tissue Integrity : Skin 2) Cukur rambut sekeliling daerah

15
operasi and Mucous yang terluka, jika perlu
Membranes 3) Catat karakteristik luka bekas

Wound Healing : operasi


4) Catat katakteristik dari
primer dan sekunder
beberapa drainase
Kriteria hasil :
5) Bersihkan luka bekas operasi
1) Kerusakan kulit tidak
dengan sabun antibakteri yang
ada
cocok
2) Eritema kulit tidak
6) Rendam dalam larutan saline
ada
yang sesuai
3) Luka tidak ada pus
7) Berikan pemeliharaan lokasi
4) Suhu kulit DBN
IV
8) Sediakan pemeliharaan luka
bekas operasi sesuai kebutuhan
9) Berikan pemeliharaan kulit
luka bernanah sesuai
kebutuhan
10) Gunakan unit
TENS (Transcutaneous
Elektrikal Nerve
Stimulation) untuk peningkatan
penyembuhan luka bekas
operasi yang sesuai
11) Gunakan salep yang cocok
pada kulit/ lesi, yang sesuai
12) Balut dengan perban yang
cocok
13) Pertahankan teknik
pensterilan perban ketika
merawat luka bekas operasi
14) Periksa luka setiap mengganti
perban
15) Bandingkan dan
mencatat secara teratur
perubahan-perubahan pada
luka
16) Jauhkan tekanan pada luka
17) Ajarkan pasien dan anggota

16
keluarga prosedur perawatan
luka

5. Post Operatif Tujuan : Nyeri dapat Infection Risk control


Nyeri akut b.d teratasi. 1) Kaji nyeri secara
proses Infection Risk control komprehensif ( lokasi,
pembedahan 1) Klien melaporkan karakteristik, durasi, frekuensi,
nyeri berkurang dg kualitas dan faktor presipitasi
scala 2-3 ).
2) Ekspresi wajah tenang 2) Observasi reaksi NV dr
3) klien dapat istirahat ketidak nyamanan.
dan tidur 3) Gunakan teknik komunikasi
4) vital sign dalam batas terapeutik untuk mengetahui
normal pengalaman nyeri klien
4) Kontrol faktor lingkungan
yang mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
5) Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologis/non
farmakologis).
6) Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk mengetasi
nyeri.
7) Kolaborasi pemberian
analgetik untuk mengurangi
nyeri.
8) Evaluasi tindakan pengurang
nyeri
9) Monitor TTV

17
Daftar Pustaka

Baradero, M dan Dayrit, M. (2007). Seri Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan


Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth (2005). Buku ajar keperawatan medikal bedah, Edisi 8.
Jakarta: EGC.

Oswari (2005). Bedah dan Perawatannya, Ed. Ke- 4. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Potter, P.A, & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :
Konsep, Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata
Komalasari,dkk. Jakarta: EGC.

Rondhianto. (2008). Keperawatan perioperatif.


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22531/4/Chapter%20II.pdfke
perawatanperioperatif. htmI. Diakses tanggal 05 Januari 2016

Smeltzer C. Suzanne, Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan


Medikal Bedah. EGC : Jakarta.

18
Mengetahui,

Pembimbing Klinik/CI Pembimbing Akademik

(Basuki, S.Kep.,Ns) (Siti Fadlilah, S.Kep.,Ns.,MSN)


NIP:196909061992031013 NIK: 405308007

Mahasiswa

(Fauzi)
15160005

19

Anda mungkin juga menyukai