Anda di halaman 1dari 5

Geriatri

1. Definisi Geriatri
Kata geriatri dipakai pertama kali oleh Ignatz Nascher pada tahun 1909. Geriatri
adalah cabang ilmu kedokteran yang fokus pada pencegahan, diagnosis, pengobatan,
dan pelayanan pada pasien usia lanjut.1 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Geriatri di Rumah Sakit, pasien geriatri adalah pasien lanjut usia dengan multi
penyakit dan/atau gangguan akibat penurunan fungsi organ, psikologi, sosial,
ekonomi dan lingkungan yang membutuhkan pelayanan kesehatan secara terpadu
dengan pendekatan multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin. Sedangkan lanjut
usia (lansia) adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke
atas. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2016), lansia dikelompokkan menjadi 3
kelompok yaitu: pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-69 tahun), dan lanjut
usia risiko tinggi ( > 70 tahun atau usia > 60 tahun dengan masalah kesehatan).

Dafpus :
1. Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III). Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
2. Permenkes. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 79 Tahun
2014 Tentang Penyelenggara PElayanan GEriatri Di Rumah Sakit. Peraturan Menteri
Kesehatan.
3. Kemenkes RI. 2016. Situasi Lanjut Usia (Lansia) di Indonesia. Infodatin Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. ISSN 2442-7659.

2. Manajemen anestesi geriatri


a. Penilaian risiko pada pasien geriatric
Risiko yang dihadapi oleh pasien dapat dibedakan menjadi dua, yaitu risiko yang
berhubungan dengan prosedur dan risiko yang berhubungan dengan pasien. Operasi
darurat memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan operasi elektif. Penilaian risiko yang sering digunakan adalah penilaian fisik
ASA, penilaian Preoperative Score to Predict Postoperative Mortality (POSPOM) dan
penilaian Charlson Comorbidity Index. Namun, saat ini belum ada stratifikasi risiko
operasi pada geriatric yang direkomendasikan secara universal.

Tabel 1. Risiko infark miokard atau kematian karena sebab kardiak dalam 30 hari
berdasarkan tipe operasi
b. Evaluasi prabedah
1) Kerentanan (frailty)
Frailty didefinisikan sebagai hilang atau berkurangnya cadangan fisiologis dari
organ yang mengakibatkan ketidakmampuan pasien dalam menghadapi stress.
Prevalensi frailty pada lansia di Indonesia cukup tinggi mencapai 25%. American
college of surgeons merekomendasikan du acara untuk mengevaluasi frailty. Cara
pertama yaitu dengan penilaian multidimensional yang mencakup penilaian pada
ketergantungan fungsional, status nutrisi, mobilitas, adanya komorbid, usia,
kognisi, serta adanya sindrom geriatri (riwayat jatuh lebih dari satu kali dalam
enam bulan). Cara kedua yaitu dengan melihat fenotip berupa penurunan berat
badan, kelemahan, mudah lelah, aktivitas fisik yang rendah, dan kecepatan
berjalan yang lambat. Pasien dengan skor 4-5 dikatakan frail dan mempunyai
risiko komplikasi pascabedah yang lebih tinggi.

Tabel 2. Kriteria Frailty

2) Status nutrisi
Prevalensi malnutrisi pada lansia dapat mencapai 23% dan dapat disebabkan oleh
berbagai faktor seperti penurunan nafsu makan, obat-obatan, serta penyakit kronis
yang menyertai. Beberapa sistem penilaian yang dapat dipergunakan antara lain
Nutritional Risk Index (NRI), Indeks Maastricht, Mini Nutritional Assesment, dan
lain sebagainya. Optimalisasi prabedah dapat dilakukan pada pasien dengan
malnutrisi.
3) Status Fungsional
Metode penilaian yang sering digunakan adalah metabolic equivalent (METs).
Satu MET didefinisikan sebagai laju metabolisme basal seorang pria dengan usia
40 tahun dan berat 70 kg pada saat istirahat (sebesar 3,5 ml/kg/menit). Nilai METs
yang rendah sering dikaitkan dengan tingginya angka kejadian kardiovaskular dan
mortalitas pascabedah, khususnya pada operasi toraks. Pasien dengan status
fungsional yang buruk yang akan menjalani operasi sedapat mungkin dilakukan
optimalisasi untuk meningkatkan status fungsionalnya.
Tabel 3. Estimasi METs untuk berbagai aktivitas

4) Kognisi
Pasien dengan gangguan fungsi kognitif sebelum operasi memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami penurunan fungsi yang lebih lanjut. Beberapa
penilaian yang dapat dilakukan adalah Mini-Cog dan Mini Mental State
Examination (MMSE).

Tabel 4. Beberapa pemeriksaan kognisi yang dapat dilakukan kurang dari 3 menit

5) Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang sering dibutuhkan adalah pemeriksaan darah rutin,
fungsi ginjal dan liver serta elektrokardiogram, khususnya pada operasi dengan
risiko menengah atau tinggi. Selain elektrokardiogram, stress test juga diperlukan,
baik dengan olahraga atau dengan infus dobutamine. Bila ada kecurigaan
gangguan katup, dapat dilakukan pemeriksaan ekokardiografi. Pemeriksaan fungsi
pernapasan dapat dilakukan dengan cara yang mudah seperti memeriksa saturasi
oksigen pada saat istirahat, duduk dan berbaring. Tes lain yang dapat dilakukan
adalah berjalan selama 6 menit dan penilaian kecepaatn berjalan. Spirometry
dapat menilai adanya gangguan restriksi atau obstruksi pada paru.
6) Polifarmasi
Penghentian antikoagulan pada pasien dengan stent koroner harus melalui
pertimbangan yang sangat matang karena risiko terjadinya infark cukup tinggi.
Diskusi dengan seorang spesialis geriatric mungkin dibutuhkan.
7) Prehabilitasi
Prehabilitasi atau optimalisasi kondisi pasien bertujuan untuk memberikan
kesempatan pasien menjalani operasi dalam kondisi optimal dan menurunkan
risiko komplikasi. Optimalisasi dapat dilakukan dengan perbaikan kondisi nutrisi
serta Latihan olahraga untuk meningkatkan cadangan fungsi kardiopulmonal.
Lamanya dilakukan prehabilitasi tergantung dari kondisi pasiend an jenis operasi
yang akan dijalani. Contohnya, pasien yang akan menjalani artroplasti dapat
membutuhkan waktu antara 6-10 minggu untuk meningkatkan kekuatan otot dan
keseimbangan. Pada pasien dengan keganasan, waktu antara 4-6 minggu dapat
meningkatkan cadangan fisiologis tubuh. Bila prehabilitasi karena satu dan lain
hal tidak dapat dilakukan, rehabilitasi yang dilakukan pascabedah juga dapat
memberikan efek yang baik untuk pasien. Penelitian menyatakan bahwa pasien
yang menjalani rehabilitasi pascabedah, 60%nya akan kembali ke keadaan
sebelum operasi.

Tabel 5. Masa penyembuhan pasien yang menjalani prehabilitasi, rehabilitasi, dan


tanpa intervensi

c. Tatalaksana intraoperatif
1) Teknik anestesi
Manajemen perioperatif pada lansia harus mempertimbangkan berbagai
komorbid yang ada serta kemungkinan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik pada pasien. Pemilihan obat-obat anestesi kerja singkat seperti
remifentanil direkomendasikan. Desflurane memiliki waktu emergens yang cepat
baik pada lansia maupun kelompok usia lain. Adanya hubungan antara kedalaman
anestesi dan POCD membuat pemakaian BIS pada pasien lansia dapat menjadi
pertimbangan. Perbedaan luaran antara anestesi umum dan regional pada lansia
masih belum jelas.
Kemungkinan manfaat yang bisa didapatkan dengan anestesi regional
diantaranya adalah mencegah terjadinya thrombosis vena dalam pada operasi
dengan risiko tinggi. Selain itu, efek anestesi terhadap hemodinamik juga dapat
mengurangi perdarahan terutama pada operasi pelvis dan ekstremitas bawah.
Anestesi regional juga tidak memerlukan instrument jalan napas sehingga pasien
dapat mempertahankan fungsi respirasinya. Terakhir, anestesi regional juga
terbukti mempunyai opioid-sparring effect sehingga dapat mengurangi jumlah
opoid yang diperlukan untuk penatalaksaan nyeri.
Usia tidak memiliki efek terhadap durasi blok motoric pada anestesi spinal
dengan bupivakain. Meskipun begitu, onsetnya lebih cepat dan penyebarannya
lebih luas pada lansia bila menggunakan bupivakain hiperbarik. Pengaruh usia
pada anestesi epidural belum dapat dipastikan. Pada penggunakaan ropivakain
0,75% untuk blok saraf perifer, durasi blok motoric dan sensorik dapat
memanjang.

d. Tatalaksana pascabedah
Hingga saat ini, belum ada penatalaksanaan khusus pada lansia di
Postanesthesia Care Unit (PACU) karena banyak hal yang dihubungkan dengan masa
pulih dari anestesi tidak berbeda pada lansia dibandingan dengan kelompok usia
lainnya. Namun, salah satu yang menjadi perhatian khusus adalah komplikasi paru
pascabedah karena salah satu faktor penting yang mempengaruhi angka kejadiannya
adalah usia. Di PACU, pasien dengan usia lanjut memiliki insidens yang lebih besar
untuk mengalami desaturase. Selain itu, lansia juga berisiko tinggi untuk terjadinya
aspirasi karena penurunan fungsi sensorik di laring faring serta gangguan menelan.
Gangguan berkemih juga lebih sering terjadi. Kejadian mual dan muntah tidak
berbeda dengan kelompok usia lain.
Penatalaksanaan nyeri akut pascabedah pada pasien lansia juga memiliki
permasalahan sendiri. Selain karena terdapat dugaan penurunan persepsi nyeri pada
lansi,a penilaian nyeri pada pasien dengan gangguan kognisi seperti Alzheimer dan
demensia juga menimbulkan kesulitan lain. Hal ini ditambah lagi dengan perubahan
fungsi fisiologis dan farmakokinetik obat yang juga harus dipertimbangkan.
Terdapat beberapa prinsip penting yang hraus dipertimbangkan pada
penatalaksanaan nyeri pada lansia. Analgesia dengan konsep multimodal harus
dipikirkan sejak awal. Penggunaan analgesia yang bekerja spesifik dilokasi operasi
(contohnya blok saraf perifer) merupakan salah satu pilihan kombinasi yang baik.
Selain itu, selama tidak ada kontraindikasi, obat anti-inflamasi non-steorid sebaiknya
digunakan karena memiliki efek opoid-sparing. Walaupun kemungkinan efek
sampingnya lebih besar pada lansia, pemakaian opioid untuk tatalaksana nyeri
pascabedah masih mempunyai tempat selama kemungkinan perubahan dosisnya
diperhatikan.
Beberapa kemungkinan masalah pascabedah lain yang harus diwaspadai
adalah efek samping obat,. Dehidrasi, delirium dan POCD, serta penurunan status
fungsional. Masalah-masalah ini dapat menambah lama warat dan biaya yang tidak
sedikit.

Anda mungkin juga menyukai