Anda di halaman 1dari 12

Referat

PARASOMNIA

Oleh:
Chitra Safa Aqilla, S.Ked
Jefrizal, S.Ked
Najla Khairunnisa, S.Ked
Nurhaida Utami, S.Ked

Pembimbing:

dr. Nining Gilang Sari, M.Ked. KJ, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK PSIKIATRI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RS JIWA TAMPAN PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Parasomnia”. Referat ini ditulis untuk memahami bagaimana
permasalahan terhadap parasomnia dan diajukan sebagai salah satu persyaratan
dalam mengikuti Kompetensi di Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa Tampan Pekanbaru.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih
kepada dr. Nining Gilang Sari, M.Ked. KJ,Sp.KJ selaku pembimbing di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam memberi
masukan pada penulisan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penyusunannya. Penulis
juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki
kekurangan dari referat ini di kemudian hari. Akhir kata dari penulis, semoga
referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Atas perhatian yang telah diberikan,
penulis mengucapkan terima kasih.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1

1.1 . Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Tujuan Penulisan..................................................................................2

1.3 Metode Penulisan.................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4

2.1 Definisi.................................................................................................4

2.2 Epidemiologi........................................................................................4

2.3 Etiologi.................................................................................................5

2.4 Klasifikasi dan Diagnostik...................................................................7

2.5 Diagnosis Banding...............................................................................15

2.6 Tatalaksana..........................................................................................16

2.7 Prognosis..............................................................................................18

BAB III KESIMPULAN....................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Parasomnia adalah sekelompok gangguan tidur yang ditandai dengan peristiwa
motorik, verbal atau perilaku yang tidak menyenangkan dan tidak menyenangkan
yang terjadi selama transisi tidur atau bangun ke tidur. Istilah 'parasomnia' pertama
kali diciptakan oleh seorang peneliti Perancis Henri Roger pada tahun 1932.
Nomenklatur ini awalnya berasal dari kata Yunani 'para' yang berarti di samping
atau di samping dan istilah Latin 'somnus' yang berarti tidur. Parasomnia lebih
sering terjadi pada anak-anak daripada populasi orang dewasa. Sleepwalking, sleep
terrors, sleeptalking dan sleep paralysis adalah beberapa manifestasi perilaku yang
terkait dengan sebagian kebangkitan dari tidur yang dikenal sebagai parasomnia.
Walaupun lebih sering terjadi pada anak-anak, parasomnia dapat terjadi pada
semua usia.1,2
Parasomnia dapat dilihat pada kondisi tidur non-rapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM) dan diklasifikasikan secara terpisah oleh
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5) dan
International Classification of Sleep Disorders-3 (ICSD-3). Parasomnia dapat
terjadi sendiri atau dalam pengaturan trauma, penyakit kejiwaan, gangguan terkait
tidur lainnya, penyakit Parkinson dan ataksia spinocerebellar. Parasomnia REM
dan NREM dapat terjadi bersamaan dan disebut sebagai sindrom tumpang tindih
parasomnia.1

1.2 Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan ini adalah:


a. Dokter muda mampu mengetahui definisi, etiologi, diagnosis berdasarkan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ)
III dan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV,
penatalaksanaan, serta prognosis dari parasomnia.
b. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya
bagian Ilmu Kedokteran Jiwa.

4
c. Memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Rumah Sakit Jiwa
Tampan Pekanbaru.

1.3 Metode Penulisan

Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu


pada beberapa literatur.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Parasomnia adalah sekelompok gangguan tidur yang ditandai dengan peristiwa
motorik, verbal atau perilaku yang tidak menyenangkan yang terjadi selama transisi
tidur atau bangun ke tidur. Istilah 'parasomnia' pertama kali diciptakan oleh seorang
peneliti Perancis Henri Roger pada tahun 1932 . Nomenklatur ini awalnya berasal
dari kata Yunani 'para' yang berarti di samping dan istilah Latin 'somnus' yang
berarti tidur. Parasomnia lebih sering terjadi pada anak-anak daripada populasi
orang dewasa. Parasomnia dapat dilihat pada kondisi tidur non-rapid eye movement
(NREM) dan rapid eye movement (REM) dan diklasifikasikan secara terpisah oleh
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-5 (DSM-5) dan
International Classification of Sleep Disorders- 3 (ICSD-3).3

2.2 Epidemiologi
Parasomnia lebih sering terlihat pada anak-anak dibandingkan pada populasi
orang dewasa. Pada anak-anak, parasomnia NREM lebih umum daripada
parasomnia REM. Di antaranya, tingkat prevalensi dari kelompok usia 3 sampai
13 tahun adalah 17,3% dan lebih dari 15 tahun adalah 6,9%. Tingkat prevalensi
sleepwalking di bawah usia 12 tahun adalah 17% dan teror tidur adalah
6,5%. Mimpi buruk terlihat pada 10% hingga 50% populasi anak. 4 Parasomnia
lebih sering terlihat pada anak-anak dengan masalah neurologis dan kejiwaan yang
mendasarinya seperti epilepsi, gangguan hiperaktif defisit perhatian (ADHD) atau
masalah perkembangan. Pada orang dewasa, prevalensi seumur hidup dari berbagai
parasomnia berkisar antara 4% sampai 67%. Tidak ada perbedaan gender yang
dilaporkan dalam sleepwalking, teror tidur atau pembangkitan kebingungan.
Namun, mimpi buruk dilaporkan lebih sering terjadi pada populasi wanita. Selain
itu, tingkat prevalensi parasomnia yang jauh lebih tinggi telah dilaporkan dalam
kondisi kejiwaan, dengan mimpi buruk menjadi 38,9%, kelumpuhan tidur
22,3%, gangguan makan terkait tidur 9,9%, berjalan dalam tidur 8,5% dan RBD
3,8%.5

6
2.3 Patofisiologi
Berbagai tahapan siklus tidur normal meliputi transisi dari terjaga ke tidur
NREM dan tidur REM. Tidur NREM terjadi pada paruh pertama malam dan
biasanya meliputi tahap satu (tahap transisi), tahap dua, tahap tiga, dan tahap
empat. Gangguan gairah diduga terjadi karena transisi yang tidak lengkap atau
diskontrol batas tidur-bangun antara terjaga dan tahapan tidur. Parasomnia NREM
paling sering terlihat selama tidur gelombang lambat (tahap tiga) tetapi dapat
muncul pada tidur tahap dua juga. Sebagian besar parasomnia pediatrik adalah
gangguan jinak dan terjadi karena ketidakmatangan peraturan batas tidur-bangun.
Demikian pula, parasomnia REM dianggap terjadi karena campuran terjaga dan
tidur REM. Penjelasan yang mungkin untuk peningkatan aktivitas motorik pada
RBD adalah karena deaferensiasi pusat alat gerak (pada tingkat tulang belakang
dan supraspinal) yang menghasilkan otomatisme oroalimentary, bruxism, dan
perilaku ambulatory.6
Gangguan gairah juga diduga dipicu oleh kurang tidur, obat penenang,
fragmentasi tidur (nyeri, sindrom kaki gelisah, gerakan tungkai periodik dan apnea
tidur obstruktif), penyakit demam, dan alkohol. Sindrom tumpang tindih
parasomnia dapat dilihat sekunder dari narkolepsi, rhombencephalitis, multiple
sclerosis, tumor otak, ataksia spinocerebellar tipe tiga (sindrom Machadojoseph),
gangguan kejiwaan, penyalahgunaan zat dan penarikan alkohol. Parasomnia
NREM dan REM juga dicatat pada penyakit Anti-IgLON5. Penyakit neurologis ini
baru ditemukan pada tahun 2014 dan mencakup serangkaian aspek gangguan
neurodegeneratif, neuroimunologis, gangguan tidur dan gerakan.6
Gangguan tidur yang dicatat pada penyakit anti-IgLON5 adalah parasomnia
REM, parasomnia NREM, apnea tidur obstruktif dan stridor. Penyakit ini memiliki
hubungan yang lebih tinggi dengan human leucocyte antigen (HLA)-DRB1*10:01
dan HLA-DQB1*05:01 dan dihasilkan dari antibodi terhadap IgLON5 (neuronal
cell adhesion protein). Selain itu, faktor genetik yang terkait dengan parasomnia
termasuk prevalensi HLA B1*05:01 dan HLA DQB1*04 yang lebih tinggi pada
parasomnia NREM. Komponen genetik lain yang diidentifikasi adalah sifat
dominan autosomal untuk berjalan sambil tidur pada kromosom.7

7
2.4 Diagnosis
Diagnosis parasomnia ditegakkan secara klinis berdasarkan kriteria DSM–V
maupun Internal Classification of Sleep Disorder (ICSD)–3 dengan investigasi
riwayat fase tidur dan identifikasi faktor risiko seperti obat–obatan
golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Riwayat tidur yang
mendetail oleh pasien, dan jika memungkinkan, oleh pasangan tidurnya merupakan
langkah awal dalam evaluasi parasomnia. Dokter juga harus menanyakan tentang
riwayat medis yang mendasari, riwayat keluarga, riwayat penyalahgunaan zat dan
obat-obatan yang digunakan saat ini untuk menentukan pemicu spesifik
parasomnia. Penting juga untuk mengesampingkan perbedaan lain yang mungkin
terjadi seperti gangguan kejang nokturnal, gangguan kejiwaan seperti gangguan
stres pascatrauma (PTSD), serangan panik, dan mantra psikogenik yang dapat
meniru parasomnia.8
Pengambilan riwayat medis umum dan penggalian riwayat tidur secara
mendalam umumnya cukup untuk menegakkan diagnosis parasomnia. Apabila
diagnosis masih belum jelas, maka dilakukan polisomnografi dan video
elektroensefografi (EEG) yang berguna untuk mengidentifikasi parasomnia dan
mendeteksi gangguan tidur yang dapat menyebabkan fragmentasi tidur dan
kemungkinan parasomnia. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan tidak spesifik
untuk parasomnia dan jarang diperlukan.8

2.5 Klasifikasi dan Kriteria Diagnostik parasomnia menurut PPDGJ III


dan DSM IV

2.6 Diagnosis Banding

2.7 Tatalaksana Parasomnia


Langkah awal dalam penatalaksanaan adalah mengidentifikasi dan mengobati
gangguan tidur komorbiditas (apnea tidur obstruktif dan sindrom kaki gelisah) atau
kondisi medis bersamaan dengan penghentian agen penginduksi (agonis reseptor
benzodiazepin, antidepresan, dan antipsikotik) yang dapat menjadi pemicu yang
mungkin untuk parasomnia.Sebagian besar parasomnia masa kanak-kanak
(bangkitan kebingungan, berjalan dalam tidur, teror tidur, dan mimpi buruk) tidak
berbahaya dan anak-anak cenderung mengatasinya. Oleh karena itu, dalam kasus

8
tersebut, meyakinkan dan mendidik orang tua dapat bermanfaat tanpa intervensi
medis apa pun.
Untuk parasomnia dewasa, sangat penting untuk mendidik pasien dan
pasangannya tentang metode keamanan lingkungan untuk memastikan keselamatan
individu. Pasien harus disarankan untuk melepaskan senjata api, benda tajam atau
furnitur di dekat area tempat tidur. Mengunci jendela dan alarm pintu kamar dapat
bermanfaat bagi orang yang berjalan dalam tidur. Sangat penting untuk memastikan
teknik keselamatan lingkungan pada pasien dengan RBD karena kemungkinan
cedera yang lebih tinggi pada diri sendiri atau pasangannya. Pasien harus
disarankan untuk menggunakan bantalan tambahan atau bantal di sisi tempat tidur,
atau menggunakan sandaran lengan empuk di samping tempat tidur untuk
mencegah jatuh dan cedera. Mitra ranjang harus diberi tahu tentang risiko cedera,
dan jika terjadi perilaku kekerasan, mereka harus disarankan untuk tidur di ranjang
terpisah.
Psikoterapi dapat membantu pada sebagian besar parasomnia NREM.
Benzodiazepin adalah andalan manajemen untuk sebagian besar parasomnia
bertahan. Clonazepam sangat efektif dalam dosis 0,25 sampai 1 mg dalam
mencegah gairah dan disosiasi tidur REM. Untuk RBD, klonazepam dan melatonin
ditemukan sangat efektif. Imipramine, levodopa, carbamazepine dan pramipexole
telah dicoba di masa lalu tetapi dengan keberhasilan yang terbatas dalam
pengelolaannya.

1. (Malhotra RK, Avidan AY: Parasomnias and their mimics. Neurol Clin. 2012 Nov,
30:1067-94. 10.1016/j.ncl.2012.08.016)

2.8 Prognosis Parasomnia


Prognosis parasomnia pada pasien yang diterapi dengan terapi benzodiazepine,
parasomnia dapat muncul kembali setelah pengobatan dihentikan, tetapi umumnya
lebih baik pada anak karena membaik dengan sendirinya. Prognosis dan komplikasi
parasomnia bergantung pada tipe parasomnia yang dialami. Parasomnia rapid eye
movement (REM) berhubungan erat dengan perkembangan sinukleinopati alfa di
masa depan, termasuk penyakit Parkinson, dengan perkiraan terjadi perkembangan
penyakit sebanyak 50% selama 5 tahun. Parasomnia REM juga berhubungan
dengan penurunan kognitif ringan. Sementara itu, parasomnia non-rapid eye

9
movement (NREM) umumnya ringan dan akan menghilang sendiri seiring
pertambahan usia.

(4. Rodriguez CL, Foldvary-Schaefer N, Clinical neurophysiology of NREM


parasomnias. Handbook of Clinical Neurology. 2019. Volume 161, Pages 397-410
8. Porter VR, Avidan AY. Clinical Overview of REM Sleep Behavior Disorder.
Semin Neurol. 2017. https://escholarship.org/content/qt3755j32d/qt3755j32d.pdf)

10
BAB III
KESIMPULAN

11
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6402728/
2. https://www.cmaj.ca/content/186/8/E273
3. Mahowald MW, Bornemann MC, Schenck CH: Parasomnias . Semin
Neurol. 2004, 24:283-92. 10.1055/dtk-2004-835064

4. Bjorvatn B, Grønli J, Pallesen S: Prevalence of different parasomnias in the


general population. Sleep Med. 2010, 11:1031-4. 10.1016/j.sleep.2010.07.011
5. Ekinci O, Isik U, Gunes S, Ekinci N: Understanding sleep problems in
children with epilepsy: associations with quality of life, attention-deficit
hyperactivity disorder and maternal emotional symptoms. Seizure. 2016,
40:108-13. 10.1016/j.seizure.2016.06.011
6. Irfan M, Schenck CH, Howell MJ: Non-rapid eye movement sleep and
overlap parasomnias. Continuum (Minneap Minn). 2017, 23:1035-
1050. 10.1212/CON.0000000000000503
7. Oliviero A, Della Marca G, Tonali PA, et al.: Functional involvement of
cerebral cortex in adult sleepwalking. J Neurol. 2007, 254:1066-
72. 10.1007/s00415-006-0489-0
8. Fariba KA, Tadi P. Parasomnias. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560524/
9.

12

Anda mungkin juga menyukai