Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA APRIL 2019

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

REFARAT: SOMNAMBULISME
LAPORAN KASUS: SKIZOFRENIA PARANOID [F.20.0]

Disusun oleh:
ANDI ALANIS NURULIZAH
C014182226

Residen Pembimbing:
DR. SRI PURWATININGSIH

Supervisor Pembimbing:
DR. AGUS JAPARI, M.KES., SP.KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Andi Alanis Nurulizah

NIM : C014182226

Universitas : Universitas Hasanuddin

Judul Refarat : Somnambulisme

Judul Lapsus : Skizofrenia Paranoid

Adalah benar telah menyelesaikan referat dan laporan kasus berjudul


“Somnambulisme” dan telah telah disetujui serta telah dibacakan di hadapan
pembimbing dan supervisor dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2019

Mengetahui,

Supervisor Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Agus Japari, M.Kes., Sp.KJ dr. Sri Purwatiningsih

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................ii
DAFTAR ISI ................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan...................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Tidur Non Organik........................................................3
2.2 Somnabulisme................................................................................3
2.2.1 Definisi.................................................................................3
2.2.2 Etiologi.................................................................................4
2.2.3 Kriteria Diagnositik..............................................................5
2.2.4 Penatalaksanaan ...................................................................6
2.2.5 Pencegahan...........................................................................7
2.2.6 Prognosis..............................................................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

LAPORAN KASUS

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pada tahun 2018, Departemen kesehatan Republik Indonesia menyatakan, terjadi


Peningkatan proporsi gangguan jiwa pada data yang didapatkan Riskesdas 2018
cukup signifikan jika dibandingkan dengan Riskesdas 2013, naik dari 1,7% menjadi
7%. Masyarakat masih berpikir bahwa gangguan jiwa hanyalah yang biasanya
dibilang gila saja. Padahal, gangguan tidur juga termasuk gangguan jiwa. Jika tidur
yang terganggu hingga dialami dengan adanya hendaya dan penderitaan adalah yang
dinamakan gangguan tidur.

Menurut KBBI, kata kerja tidur dapat diartikan sebagai mengistirahatkan badan dan
kesadarannya. Semua manusia membutuhkan tidur. Tidur yang baik, cukup dalam,
dan lama adalah mutlak untuk regenerasi sel-sel tubuh dan memungkinkan
pelaksanaan aktivitas pagi dan siang hari dengan baik. Sikus tidur fisiologis yang
dialami manusia terdiri dari 2 stadium yaitu Non-REM dan REM. Tidur non-REM
juga disebut slow wave sleep berlangsung kurang lebih 1 jam lamanya, dan meliputi 4
fase tidur, dimana fase 3 dan 4 merupakan bentuk tidur yang terdalam. Pada stadium
ini, dilepaskan hormone sitokin dan anabolik untuk daya tahan tubuh, metabolisme,
dan reparasi ilmiah sel-sel tubuh. Selanjutnya dilanjutkan dengan tidur REM. pada 2
siklus pertama, tidur REM berlangsung 5-15 menit lamanya, timbul berbagai impian
atau yang disebut mimpi. (Tjay, 2007)

Terganggunya salah satu siklus tidur adalah yang dinamakan gangguan tidur. Ada
banyak jenis gangguan tidur, diantaranya adalah Insomnia, hypersomnia, gangguan
jadwal tidur jaga, somnambulisme (Tidur berjalan), tidur terror, dan mimpi buruk.
Somnambulisme

Di Indonesia pada tahun 2009 didapatkan 62,9% remaja mengalami gangguan tidur,
dan gangguan transisi tidur-bangun sebagai gangguan tidur terbanyak (58%).
(Haryono dkk, 2009). Pada tahun 2015, didapatkan 24,6% subyek pada salah satu
sekolah menengah pertama di semarang mengalami gangguan kesadaran saat tidur.

1
Gangguan kesadaran yang dimaksud disini adalah berupa berjalan saat tidur, mimpi
buruk, dan teror tidur. Gangguan tidur memiliki kecenderungan nilai yang lebih besar
(58,2%) pada perempuan dari pada laki - laki (23%). Prevalensi tidur berjalan pada
populasi pada umumnya diperkirakan antara 1% dan 15%. (Mahowald, 2019).

Kurangnya pengetahuan tentang gangguan tidur membuat masyarakat indonesia tidak


menyadari bahwa tidur yang terganggu itu hal yang biasa saja. Terkadang masyarakat
masih menganggap enteng mengenai gangguan tidur. Padahal tidur yang terganggu
akan berpengaruh terhadap kehidupan keseharian orang tersebut, dan jika gangguan
tidur yang berat bisa menimbulkan hendaya dan penderitaan.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Tidur

Gangguan tidur adalah keadaan dimana tidur seseorang terganggu dalam bentuk
kualitas ataupun kuantitas. Menurut PPDGJ III Gangguan tidur non organik terbagi
menjadi 2 kelompok, yaitu dyssomnia dan parasomnia. Dyssomnia adalah kondisi
psikogenik primer dimana gangguan utamanya adalah jumlah, kualitas atau waktu
tidur yang disebabkan oleh hal-hal emosional, misalnya seperti insomnia,
hipersomnia, dan gangguan tidur-jaga. Parasomnia adalah peristiwa episodik
abnormal yang terjadi selama tidur, misalnya somnabulisme, terror tidur, dan mimpi
buruk. Pada kanak-kanak, parasomnia terkait terutama dengan perkembangan anak,
sedangkan pada dewasa terutama pengaruh psikogenik.

Pada kebanyakan kasus, gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan
lainnya, baik mental atau fisik. Walaupun gangguan tidur yang spesifik terlihat secara
klinis berdiri sendiri, sejumlah faktor psikiatrik dan/atau fisik yang terkait
memberikan kontribusi pada kejadiannya. Secara umum adalah lebih baik membuat
diagnosis gangguan tidur yang spesifik bersama dengan diagnosis lain yang relevan
untuk menjelaskan secara adekuat psikopatologi dan/atau patofisiologinya.

2.2 Somnambulisme

2.2.1 Definisi

Tidur Berjalan, yang secara formal disebut Somnabulisme, adalah gangguan prilaku
yang berawal dari tidur dalam dan berakhir dengan berjalan atau melakukan prilaku
kompleks lainnya saat tertidur. Keadaan ini jauh lebih umum terjadi pada anak-anak
dari pada dewasa.

Tidur berjalan biasanya melibatkan lebih dari sekedar berjalan saat tidur, tetapi
prilaku yang paling jelas adalah berjalan. Gejala gangguan tidur berjalan berkisar dari
hanya duduk di tempat tidur dan melihat sekeliling, berjalan sekeliling ruangan atau
rumah, hingga berjalan meninggalkan rumah dan pergi jarak jauh. Kesalahan umum

3
yang di percaya bahwa orang yang tidur berjalan tidak boleh dibangunkan justru akan
bisa sangat membahayakan. Seseorang yang mengalami somnambulisme mempunyai
risiko terjadinya cedera. (Mark, 2019)

Somnambulisme merupakan parasomnia yang paling umum dijumpai dan mengacu ke


berbagai prilaku motorik yang kompleks, termasuk berjalan, yang dimulai selama
tidur dalam Non-REM stadium 3-4. (Anurogo, 2016)

2.2.2. Etiologi

Somnambulisme lebih sering didapatkan pada anak-anak dari pada orang dewasa.
Tidur berjalan cenderung menjadi bagian yang cukup normal dari perkembangan
anak, memuncak pada usia delapan hingga 12 tahun. Somnambulisme bisa saja
didapatkan dari keturunan. Tidur sambil berjalan lebih sering terjadi ketika salah satu
orang tua memiliki riwayat gangguan, dan itu jauh lebih umum jika kedua orang tua
berjalan dalam tidur. Tidur berjalan dapat terjadi pada orang yang memiliki
parasomnia lain seperti teror tidur atau gangguan perilaku tidur REM (RBD). Tidur
sambil berjalan dapat terjadi sebagai efek samping yang jarang dari obat-obatan
seperti obat tidur. Faktor-faktor ini juga dapat menyebabkan berjalan dalam tidur:
(Ben-Joseph, 2018)

 Kurang tidur
 Jadwal tidur yang tidak teratur
 Sakit kepala migrain
 Cidera kepala atau pembengkakan otak
 Apnea tidur obstruktif
 Gangguan tidur lainnya
 Perjalanan atau lingkungan yang tidak dikenal
 Stres
 Masa pramenstruasi
 Alkohol
 Obat-obatan

Menurut DSM-5, terdapat 2 faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya gangguan


tidur berjalan, yaitu; Faktor Genetik dan fisiologis, dan faktor lingkungan. Faktor

4
genetik dan fisiologis meliputi keluarga khususnya orang tua dari penderita yang juga
pernah menderita tidur berjalan. Risiko untuk berjalan dalam tidur semakin meningkat
(Sebanyak 60% anak) ketika kedua orang tua memiliki riwayat gangguan, dan
Riwayat keluarga untuk sleepwalking atau teror tidur dapat terjadi hingga 80% orang
yang berjalan dalam tidur. Faktor Lingkungan yang dimaksud adalah seperti demam,
penggunaan obat penenang, kurang tidur, gangguan jadwal tidur-bangun, kelelahan,
dan stres fisik atau emosional. Demam dan kurang tidur dapat menghasilkan
peningkatan frekuensi Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal Disorders.
Penggunaan obat penenang, kurang tidur, gangguan jadwal tidur-bangun, kelelahan,
dan stres fisik atau emosional meningkatkan kemungkinan episode dari tidur berjalan.

2.2.3 Kriteria Diagnosis

Menurut PPDGJ-III, Somnabulisme termasuk pada gangguan tidur non organik


kelompok parasomnia. Gambaran klinis dibawah ini adalah esesnsial untuk diagnosis
pasti somnabulisme:

a) Gejala yang utama adalah satu atau lebih episode bangun dari tempat tidur,
biasanya pada sepertiga awal tidur malam dan terus berjalan-jalan; (Kesadaran
berubah)
b) Selama satu episode, individu menunjukkan wajah bengong (blank, staring
face), relatif tak memberi respons terhadap upaya orang lain untuk
mempengaruhi keadaan atau untuk berkomunikasi dengan penderita dan hanya
dapat disadarkan/dibangunkan dari tidurnya dengan susah payah.
c) Pada waktu sadar/bangun (setelah satu episode atau besok paginya), individu
tidak ingat apa yang terjadi
d) Dalam kurun waktu beberapa menit setelah bangun dari episode tersebut, tidak
ada gangguan aktivitas mental, walaupun dapat dimulai dengan sedikit
bingung dan disorientasi dalam waktu singkat
e) Tidak ada bukti adanya gangguan mental organik

Somnabulisme harus dibedakan dari serangan epilepsi psikomotor dan fugue


dososiatif

5
Menurut DSM-5, somnabulisme termasuk Non-Rapid Eye Movement Sleep Arousal
Disorders dalam kelompok Parasomnias pada Sleep-wake Disorders. Kriteria
diagnostik dari Non-rapid eye movement sleep arousal disorders adalah;

A. Episode berulang bangun yang tidak seutuhnya dari tidur, biasanya terjadi
selama sepertiga pertama episode tidur utama, disertai salah satu dari berikut
ini;
a. Sleepwalking: Episode berulang turun dari tempat tidur selama tidur
dan berjalan-jalan. Saat tidur sambil berjalan, individu tersebut
memiliki wajah kosong dan menatap; relatif tidak responsif terhadap
upaya orang lain untuk berkomunikasi dengannya; dan bisa terbangun
hanya dengan susah payah dibangunkan.
b. Sleep Terror: Episode berulang dari teror mendadak yang muncul dari
tidur, biasanya dimulai dengan jeritan panik. Ada ketakutan yang
intens dan tanda-tanda gairah otonom, seperti midriasis, takikardia,
napas cepat, dan berkeringat, selama setiap episode. Ada relatif tidak
responsif terhadap upaya orang lain untuk menenangkan individu
selama episode.
B. Tidak atau sedikit (mis., Hanya satu adegan visual) pengingatan kembali
gambaran mimpi
C. Episode menyebabkan tekanan signifikan secara klinis atau penurunan fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.-episode tersebut
D. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (mis., Obat
pelecehan, obat-obatan).
E. Gangguan mental dan medis yang berdampingan tidak menjelaskan episode
berjalan dalam tidur atau teror tidur.

2.2.4 Penatalaksanaan

Banyak metode yang dapat mengurangi atau menangani Somnambulisme, Salah


satunya adalah orang tua dapat menerapkan metode jadwal bangun. Jadwal bangun
sekitar 15-30 menit sebelum waktu yang biasa dari episode berjalan dalam tidur telah
efektif dalam mengurangi atau menghilangkan tidur berjalan pada anak-anak. Dalam
metode intervensi ini, orang tua diinstruksikan untuk membangunkan pelan anak yang

6
biasa mengalami tidur berjalan dengan meminta anak untuk bangun. Setelah anak
tersebut sudah merespons dengan membuka mata ataupun hanya bergumam, anak
diperbolehkan untuk melanjutkan tidurnya. Rutinitas ini dilakukan selama kurang
lebih 1 bulan. Hasil dari intervensi ini dapat bertahan selama 6 bulan atau lebih
setelah berhenti dilakukannya intervensi. (Kothare, 2013)

Pengobatan dipertimbangkan ketika frekuensi tidur berjalan tinggi, ada komplikasi


psikososial atau pemicu stres, atau ketika peristiwa tidur berjalan tersebut meliputi
kekerasan dan berpotensi cedera. Benzodiazepine dosis rendah adalah obat pilihan,
seperti lorazepam, walaupun antidepresan trisiklik dan trazodon juga dapat
bermanfaat. (Bharadwaj, 2007) Lorazepam adalah Benzodiazepine berpotensi tinggi
yang menampilkan karakteristik aksi pendek. Benzodiazepin digunakan untuk banyak
efek terapuetik, seperti menghilangkan kecemasan, promosi tidur, efek antiepilepsi,
relaksasi otot, anestesi genetika, dan induksi sedasi sadar. Mekanisme tidur diduga
berhubungan dengan reseptor BZ1 yang diikat oleh benzodiazepin untuk
menghasilkan efeknya. (Aschenbrenner, 2009)

2.2.5 Pencegahan

Somnambulisme dapat dicegah untuk berkelanjutan. Berbagai upaya yang dapat


dilakukan adalah: (Anurogo, 2016)

1. Mengurangi minum sebelum tidur, mengunci menutup rapat semua


pintu dan jendela agar penderita tidak dapat keluar, menyingkirkan
semua benda yang berpotensi membahayakan dan melukai penderita
2. Disiplin melakukan kebiasaan tidur yang sehat, seperti membiasakan
diri untuk kencing sebelum tidur, tidur-bangun teratur pada jam yang
sama setiap hari
3. Bila terbiasa dan memungkinkan, tidursiang, biasakanlah di waktu
yang sama, sesudah makan siang merupakan waktu terbaik
4. Hindari tidur siang lebih dari 45 menit
5. Hindari berolahraga sore-malam hari atau menjelang tidur
6. Hindari meletakkan peralatan elektronik di kamar tidur
7. Kondisikanlah suasana tidur yang nyaman, seperti mendengarkan
musik lembut sebelum tidur, mematikan lampu, menggunakan kasur

7
yang lembut, serta bantal guling yang empuk, sejuk, harum, dan
tenang.

2.2.6 Prognosis

Gangguan tidur NREM terjadi paling sering pada masa kanak-kanak dan berkurang
frekuensinya seiring bertambahnya usia. (DSM-5). Pada orang dewasa, ada hubungan
antara berjalan dan tidur episode depresi mayor dan gangguan obsesif-kompulsif.
(Tassman, dkk, 2015)

8
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Pada tahun 2015, didapatkan 24,6% subyek pada salah satu sekolah menengah
pertama di semarang mengalami gangguan kesadaran saat tidur. Gangguan tidur
memiliki kecenderungan nilai yang lebih besar (58,2%) pada perempuan dari pada
laki - laki (23%). (Awwal, 2015) Gangguan tidur adalah keadaan dimana tidur
seseorang terganggu dalam bentuk kualitas ataupun kuantitas. Menurut PPDGJ III
Gangguan tidur non organik terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu dyssomnia dan
parasomnia. Parasomnia adalah peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama
tidur, misalnya somnabulisme, terror tidur, dan mimpi buruk.

Somnambulisme merupakan parasomnia yang paling umum dijumpai dan mengacu ke


berbagai prilaku motorik yang kompleks, termasuk berjalan, yang dimulai selama
tidur dalam Non-REM stadium 3-4. (Anurogo, 2016) Somnambulisme lebih sering
didapatkan pada anak-anak dari pada orang dewasa. Terdapat dua hal yang dapat
menyebabkan tidur berjalan, yaitu factor genetik dan factor lingkungan, seperti
kurang tidur, jadwal tidur yang tidak teratur, obat-obatan, stress, dan sakit.
Somnambulisme dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria diagnosis dari PPDGJ - III
ataupun DSM-5.

Untuk menangani somnambulisme, dapat dilakukan metode jadwal bangun yang


dilakukan selama 1 bulan, dimana metode ini telah diteliti dan ditemukan efektif
dalam mengurangi atau menghilangkan tidur berjalan pada anak-anak. Pengobatan
dipertimbangkan ketika frekuensi tidur berjalan tinggi, ada komplikasi psikososial
atau pemicu stres, atau ketika peristiwa tidur berjalan tersebut meliputi kekerasan dan
berpotensi cedera. Benzodiazepine dosis rendah adalah obat pilihan. Gangguan tidur
NREM terjadi paling sering pada masa kanak-kanak dan berkurang frekuensinya
seiring bertambahnya usia.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mahowald, Mark. 2019. Abnormal Sleep Behavior Disorders; Sleepwalking. National


Sleep Foundation.

Haryono, Adelina, dkk. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15
Tahun di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama. Sari Pediatri Vol 11.

Kemenkes RI. 2018. Potret Sehat Indonesia dari Rikerdas 2018. Departemen
Kesehatan.

Awwal, Hafidh, dkk. 2015. PREVALENSI GANGGUAN TIDUR PADA REMAJA


USIA 12-15 TAHUN : Studi pada Siswa SMP N 5 Semarang. Media Medika
Muda.

Muslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya.

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders 5th Edition. Arlington: American Psychiatric Association.

Ben-Joseph, Elana pearl. 2018. Sleepwalking. KidsHealth.

Anurogo, Dito. 2016. The Art of Medicine; Seni Mendeteksi, Mengobati, dan
Menyembuhkan 88 Penyakit dan Gangguan Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia.

Kothare, Sanjeev V. 2013. Parasomnias; Clinical Characteristics and Treatment. New


York: Springer.

Bharadwaj, Rahul, dkk. 2007. Somnambulism: Diagnosis and Treatment. NCBI.

Tassman, Allan, dkk. 2015. Psychiatry; Fourth Edition, Vol. 1. Willey Blackwell.

Tjay, Tan Hoan, dkk. 2007. Obat-obat penting: khasiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya. Jakarta: Gramedia.

Aschenbrenner, D. S., Venable, S. J. 2009. Drug Therapy in Nursing 3 rd. Edition.


Philadelphia : Lippincott William & Wilkins.

10

Anda mungkin juga menyukai