Disusun oleh :
Nama: ULFA MULIANA
Nim: 18171085
PEMBIMBING :
Dr. Susan Sp.KJ
Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah danrahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Refarat dengan judul Diagnosa Dan
Penatalaksanaan Insomnia Kronik untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan bagian
dari s i s t e m p e m b e l a j a r a n k e p a n i t e r a a n k l i n i k , k h us u s n ya d i D e p a r t e m en
Il m u Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama Rumah Sakit Jiwa Aceh
masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.Penulis menyadari bahwa dalam penulisan
tugas ilmiah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala
saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan
Penulis
i
ABSTRAK
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat orang tersebut dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsangan sensorik atau rangsangan lainnya. Pada beberapa
orang tidur merupakan hal yang sulit dilakukan karena adanya gangguan tidur. Gangguan tidur
1,2
yang paling sering dikeluhkan adalah insomnia. Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur
berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan
untuk itu.2 Gejala tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di
siang hari. Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan
kualitas hidup.2 Prevalensi gangguan tidur di dunia diperkirakan antara 5-15%. Di antara mereka
yang mengalami gangguan tidur, 31-75% berkembang menjadi masalah insomnia kronik. 28
Cureresearch 2017 melaporkan bahwa 30% penduduk di dunia umumnya mengalami insomnia
kronis.3 Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada
beberapa waktu selama hidup mereka.2 1/4 dari laporan menyatakan bahwa penduduk di
Amerika Serikat (AS) sesekali mendapatkan tidur yang buruk dan hampir 10% mengalami
insomnia kronis.3 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk atau sekitar 28 juta
orang yang mengalami insomnia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ruth diperkirakan 10-
15 % populasi orang dewasa menderita insomnia kronik.5 Tingginya angka insomnia tersebut,
dikaitkan dengan bertambahnya permasalahan yang terjadi dalam kehidupan, seperti depresi dan
kecemasan pada seseorang.3
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam beberapa
kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai gangguan penyesuaian tidur
karena paling sering terjadi dalam konteks situasional stres akut, seperti pekerjaan baru atau
menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang ketika stressor hilang atau individu telah
beradaptasi dengan stressor. Namun, insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru
atau serupa muncul dalam kehidupan pasien.4 Insomnia jangka pendek berlangsung selama.
1
1-6 bulan. Hal ini biasanya berhubungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat
situasional (seperti kematian atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). 4
Insomnia kronis adalah setiap insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini
dapat dikaitkan dengan berbagai kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan
predisposisi yang mendasar untuk insomnia.4 Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan
insomnia tidak mengeluh mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah
dan letih, dengan konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan
fisiologis hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan
insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang. Insomnia kronis juga
memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti berkurangnya kualitas hidup, sebanding
dengan yang dialami oleh pasien dengan kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit
jantung. Kualitas hidup meningkat dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat
yang terlihat pada populasi umum. Selain itu, insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya
kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah gangguan
medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi sejumlah gangguan,
termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau kejiwaan
yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit primernya.
Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang
membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan
kualitas hidup bagi pasien mereka.3,4
Penanganan insomnia yang dapat dilakukan dari segi farmakologi dapat berupa
pemberian penanganan hipnotik, antidepresan, dan anti histamine. Penanganan nonparmakologi
meliputi stimulus control terapi, sleep restriction, teknik relaksasi, intervensi kognitif, sleep
hygiene.7,8 Melihat prevalensinya yang tinggi, banyaknya kasus insomnia yang tidak terdiagnosis
dan tidak diobati dan besarnya efek yang ditimbulkan maka dokter umum sebagai lini pertama
pelayanan kesehatan harus bisa mendiagnosis dan menangani secara komprehensif insomnia
kronik.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat stadium,
antara lain:
Stadium 1 : Berlangsung 5% dari keseluruhan waktu tidur. Fase ini didapatkan kelopak
mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan kekiri.
Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG
biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, beta dan kadang gelombang teta dengan
amplitudo yang rendah. Tidak didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks
K.
Stadium 2 : Berlangsung 45% dari keseluruhan waktu tidur. Didapatkan bola mata
berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama.
Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep
spindle, gelombang verteks dan komplek K (gelombang tajam negatif diikuti komponen
positif) pada rekaman EEG
Stadium 3 : Berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur. Fase tidur Lebih dalam dari
fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta simetris antara
25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle.
3
Stadium 4 : Berlangsung 13% dari keseluruhan waktu tidur. Fase ini merupakan tidur
yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi oleh gelombang delta
sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini biasanya
berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM.2
Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalm tidur NREM. Tidur REM yang berlangsung 5 sampai 30 menit
biasanya muncul rat-rata setiap 90 menit. Beberapa hal penting yang didapatkan pada tidur REM
seperti tidur REM biasanya disertai mimpi yang aktif dan pergerakan otot tubuh yang aktif,
seseorang lebih sukar dibangunkan oleh rangsangan sensorik selama tidur gelombang lambat,
namun orang-orang terbangun secara spontan di pagi hari sewaktu episode tidur REM, tonus otot
diseluruh tubuh sangat berkurang, frekuensi denyut jantung dan pernafasan biasanya menjadi
ireguler, ini merupakan sifat dari keadaan tidur dengan mimpi, walaupun ada hambatan yang
sangat kuat pada otot-otot perifer, masih timbul pergerakan otot yang tidak teratur, keadaan ini
khususnya mencakup pergerakan mata yang cepat, otak menjadi sangat aktif dan metabolisme di
seluruh otak meningkat sebanyak 20%. Pada EEG terlihat pola gelombang otak yang serupa
dengan terjadi selama keadaan siaga.
4
2.3 Klasifikasi Insomnia
Klasifikasi Insomnia berbeda berdasarkan etiologi, durasi dan tingkat keparahannya.
Berdasarkan etiologinya, Insomnia diklasifikasikan menjadi 2 yaitu primer (Insomnia disorder)
dan sekunder (Comorbid Insomnia). Insomnia primer tidak disebabkan buruknya kondisi
psikologis atau medis. Penanganan dan terapi yang dipilih cukup sulit karena penyebabnya
kurang jelas. Insomnia sekunder umumnya disebabkan karena kondisi mental dan medis yang
buruk sehingga berpengaruh pada kualitas dan kuantitas tidur. Gangguan tidur lain atau
konsumsi obat-obatan juga menjadi penyebab munculnya Insomnia sekunder.11
Berdasarkan tingkat keparahannya, Insomnia dibedakan menjadi 3 kategori, yaitu mild,
moderate dan severe. Insomnia dibedakan menjadi 2 berdasarkan durasinya yaitu Insomnia akut
yang terjadi secara cepat dan sementara. Insomnia kronis lebih disebabkan karena faktor mental-
psikologis dan kebiasaan tidur yang salah.11
5
c. Faktor toksik
Beberapa zat toksik seperti alkohol, nikotin, obat anti depresan, anfetamin, kafein
mampu mempengaruhi sistem saraf pusat. Kafein sebagai kompetitif inhibitor bersifat
antagonis terhadap reseptor adenosine. Kafein memiliki struktur mirip adenosine
yang akan berikatan dengan reseptor adenosine pada dinding permukaan sel tanpa
menyebabkan pengaktifan reseptor tersebut. Hal ini mengakibatkan penurunn
aktifitas adenosine sehinga terjadi peningkatan aktifitas neurotransmitter dopamin.
peningkatan aktivitas dopamine inilahyang menjadi dasar efek stimulasi kafein.
2. Faktor Interna
a. Factor kondisi medis
Factor kondisi medis yang menyebakan insomnia adalah osteoatritis, gagal ginjal,
prostatic hipertrofi, congestif heard failure, asma dan kondisi medis lainnya. kondisi
medis biasa menimbulkan rasa tidak nyaman sehinga menimbulkan tidur yang
kurang nyenyak.
b. Factor kronobiologis
Kurangnya aktivitas pada siang hari menyebakan seseorang lebih banyak tidur yang
mampu menyebakan terganggunya siklus sirkandian.ganguan utama sirkandian juga
bias di sebabkan karena shift malam atau jaga malam yang mengakibatkan seseorang
terjaga kerika malam dan pada siang hari akan memeanfaatkan waktunya untuk tidur.
c. Ganguan psikis
Beberapa gangguan pisikis seperti ganguan mood, kecemasan, dan gangguan
piskotik (akizofrenia) juga mampu menimbulkan insomnia. Ganggaun mood yang
mampu menyebabkan insomnia yaitu deperesi, hal ini bisa terjadi karena ketika
depresi seseorang akan cenderung merasa malas untuk melakukan segala hal dan
lebih bnyak menghabiskan waktu ditempat tidur, dengan demikian akan terjadi
perubahan pola tidur
6
2.5 PATOFISIOLOGI INSOMNIA
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti tetapi insomnia
dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal.7,11,12 Arousal dikaitkan dengan struktur yang
memicu kesiagaan di ARAS (ascending reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain
yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan
thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan
yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur.11 Data psikofisiologi
dan metabolic dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi peningkatan suhu tubuh,
peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan
metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi
pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. 11,12
Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta
pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas gelombang
otak selam terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien insomnia dikaitkan dengan penurunan
aktivitas gelombang delta.11,12 Data neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan
peningkatan level kortisol dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada
setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia.7,11 Penurunan level melatonin tidak
konsisten ditemukan.11
Data menurut functional neuroanatomi studies of arousal tentang hyperarousal
menunjukan pola-pola aktivitas metabolisme regional otak selama tidur NREM melalui SPECT
(single-photon emission computer tomography) dan PET ( positron emission tomography). Pada
penelitian PET yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan kecepatan metabolisme
glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.11,12 Selama terjaga, pada pasien insomnia primer
ditemukan penurunan aktivitas dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal selama terjaga,
hal inilah yangmenyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh pasien baik pada saat terjaga
maupun tidur.11 Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi
peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek
orbita frontal dan mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia primer, selama tidur
NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling jelas pada basal ganglia. Kesimpulan
7
penelitian imaging mulai menunjukkan perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang
berkaitan dengan insomnia primer maupun sekunder.11
8
(seperti pada “ transient insomnia”) tidak didiagnosis disini, dapat dimasukkan dalam reaksi
stress akut (f43.0) atau ganggaun penyesuaian.
Penegakan diagnosis insomnia bisa didapat melalui anamnesis, dan pemeriksaan tambahan
seperti sleep wake diaries, aktigrapi, polisomnograpi:
a. Anamnesis
Melalui anamnesis yang lengkap diagnosis insomnia dapat ditegakkan. Beberapa
informasi yang harus didapatkan seperti informasi yang mendalam mengenai keluhan yang
dirasakan sangat dibutuhkan untuk membantu menegakan diagnosis, seperti apakah insomnia
yang dikeluhkan berhubungan dengan gangguan saat memulai tidur, mempertahankan tidur,
bangun tidur terlalu pagi, tidur yang tidak menyegarkan atau kombinasinya. Apabila gangguan
memulai tidur berhubungan dengan restless leg syndrome sedangkan gangguan bangun terlalu
pagi berhubungan dengan gangguan depresi. Tambahan informasi seperti onset, frekuensi,
penyakit penyerta, faktor yang memperberat dan memperingan juga dapat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Apabila perjalannya panjang tanpa diikuti penyakit penyerta
menandakan insomnia primer yang kronik, sedangkan insomnia yang disertai penyakit penyerta
menandakan insomnia sekunder. 13,15
Ditanyakan juga jadwal tidur meliputi waktu tidur, latensi tidur, lamanya waktu tidur,
waktu untuk memulai kembali tidur, waktu bangun, waktu yang dihabiskan ditempat tidur,
waktu total tidur mesti dikaji. Apabila ditemukan pilihan waktu tidur tidak sesuai dengan
kenyataannya menandakan adanya gangguan tidur irama sirkadian. Digali juga informasi
mengenai aktivitas sehari-hari seperti jadwal kerja, makan, olahraga, lama dan waktu tidur siang.
Apabila makan atau olahraga waktunya berdekatan dengan waktu tidur akan mengganggu
kemampuan untuk tidur dimalam hari. Pembahasan mengenai rasa ngantuk sepanjang hari,
menurunnya daya ingat dan konsentrasi, depresi, cemas, mudah tersinggung, gangguaan dalam
bekerja atau dirumah juga perlu ditanyakan pada orang sekitar pasien untuk memastikan keluhan
yang disampaikan pasien. Kondisi tidur seperti kondisi ruangan meliputi pencahayaan, suhu,
tingkat kebisingan, penggunaan TV, computer selama waktu menjelang tidur juga perlu
ditanyakan kerena akan mengurangi kemampuan untuk tidur. Ditanyakan juga penanganan yang
dilakukan sebelumnua dan efek yang ditimbulkan melalui pengobatan tersebut. Beberapa
penyakit yang timbul berbarengan dengan insomnia perlu ditanyakan seperti penyakit medis
9
(kardiovaskuler, paru-paru, saraf, gastrointestinal, ginjal, endokrin), yang berhubungan dengan
gangguan psikiatri (depresi gangguan bipolar, cemas, panic psikosis) dan penggunaan zat seperti
nikotin, alcohol, kafein) perlu ditanyakan jumlah penggunaan, waktu dan frekuensinya. 13
10
Gambar 1 : Sleep wake diaries
Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi
yang diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun
gejala ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama
penderita dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang
sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-
19,20,21,22,23
farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri.
11
Farmakologi Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan
tingkat keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia
jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan
dalam memberikan pengobatan insomnia : 1) memiliki efek samping yang minimal; 2)
mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan 3) lama kerja obat
tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam waktu yang singkat,
yaitu sekitar 2-4 minggu.4,5 Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan bisa
diklasifikasikan menjadi: benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous
sleeppromotingagent171819
1. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia
karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat
golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan
menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya.3 Selain itu,
munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan. Kerja obat ini adalah pada
resepor γ-aminobutyric acid (GABA) postsynaptic, dimana obat ini meningkatkan efek GABA
(menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan
otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah : triazolam,temazepam, danlorazepam.18
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek samping
yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu,
obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti
penyakit paru obstrutif kronis (PPOK).18,19 Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan
fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan kerja yang
lama maupun kerja singkat.17,19
2. Non-benzodiazepine
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip dengan benzodiazepine,
tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efeksamping seperti distress pernafasan,
amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang
telah dilakukan. Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak
digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit
GABA Areseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek
12
anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical
trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu
tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek
rebound dan ketergantungan pada penderita.17,19 Zaleplonadalah pilihan lain selain zolpidem,
adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat
pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1
GABAAreseptor.17,21 Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian,
dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior berbanding zolpidem. Sering menjadi
pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek
sehinggatida kmengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan Ramelteon
dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.21
3. Miscellaneoussleep promoting agent2
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan
mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum
mempunyai buktik secara signifikan. Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural.
Melatonin secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui
penyelidikan, sekresi melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat
bangun tidur.21 Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait intesnsitas
cahaya, dimana produksinya meningkat saat hari mulai gelap dan berkurang saat hari mulai
cerah, sesuai siklus tidur manusia. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun
tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan
pemberian melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Farmakokinetik dari
melatonin belum dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis, penyerapan
oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum ada penelitian tentang efek
samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan
pusing, sakit kepala, lemas dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose
(300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovary.21 Oleh karena itu hindari
pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui.
13
4. Antihistamin
Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivate yang telah
mendapat persetujuan dari FDA.21 Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan
mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat
ini. Efikasi dari obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan
signifikan karena penelitian keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum
menemukan bukti yangkuat.
5. Antidepresan
Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan
mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas
penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa
diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangatmurah. 21
Terapi Non-farmakologi
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun
sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia
karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan
19,23
penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat
memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan
oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterap kan seperti yang dibahas dibawahini:
18,19,23
1. Stimulus Conrol
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan tempat
tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi
menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode
ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan
metodeini,seperti:
Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu tidur
Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual. Membaca, menonton TV,
membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
14
Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita
sudah merasa ingin tidur kembali Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
Hindari tidur disiang hari.17,23
2. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur dan
dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur
penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu
yang lebih pendek untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah
untuk memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep restriction
seperti dibawah :
Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu dan
jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2minggu
Batasi jamtidurberdasarkan perhitungan jumlahwaktutidur
Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakanrumus(jumlah
jamtidur/jumlah waktu ditempat tidur x 100)
Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20 menit
jika < 80%, atau pertahankan jumlah jamtidurjika efisiensitidur80-90%
Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan Jangan tidur
kurang dari 5jam Tidur disiang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1jam
Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidurkurang dari 75%
18,19,23
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan
penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itusendiri. Sleep hygiene yang
tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseoran g
dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain
menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang
lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-
masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga
15
mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita
untuk menerapkan sleep hygiene yang baik,sepertidibawah :
Hindarimengkonsumsi alkohol,kafeindan produk nikotin sebelum tidur
Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu
dingin atau panas
Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
Hindari makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur
Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat
sebelum tidur 17,19,23
3. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir,
pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita
mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan
untuk mengganti jumlah tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah
memperburuk status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy
dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat
bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yangsama dengan
pengobatan dengan medikamentosa.
16
Gambar 4: sleep hygiene
Berikut beberapa hal yang direkomendasikan dalam sleep hygiene untuk pengelolaan
Insomnia antara lain menggunakan tempat tidur yang nyaman dengan cara yang benar,
mengkondisikan suhu dan ventilasi serta menghindari kebisingan dan cahaya terang. Beberapa
hal yang dapat dilakukan sebelum tidur untuk meningkatkan kualitas tidur adalah melakukan
gerakan relaksasi, mengonsumsi susu dan protein, melupakan permasalahan sebelum tidur serta
melakukan kebiasaan tertentu sebelum tidur. 24
2.10 Komplikasi
Mereka yang mempunyai gangguan tidur sering kali mempunyai kualitas hidup yang
buruk. Mereka juga mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk mengalami depresi,
kecemasan, dan defisit kognitif. [9] Umumnya pasien yang mengalami gangguan tidur akan
mengkhawatirkan kesulitan tidurnya dan memicu timbulnya gangguan psikiatri.26
2.11 Prognosis
Bila tidak mendapatkan penanganan yang baik, gangguan tidur bisa berkembang menjadi
gangguan kronik dan memicu berkembangnya gangguan psikiatri (seperti kecemasan, depresi,
dan gangguan kognitif). Rapid Eye Movement Sleep Behavior Disorder dilaporkan dapat
meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit neurodegeneratif. 26,27
17
BAB III
RANGKUMAN
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSM-IV) mendefinisikan
insomnia sebagai suatu kesulitan dalam memulai tidur mempertahankan tidur (tidak terbangun);
atau tidur yang tidak menyegarkan selama 1 bulan atau lebih Tidur normal terdiri atas 2 tipe
yaitu: Rapid Eye Movement (REM), tipe Non Rapid Eye Movement (NREM). Fase awal tidur
didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 tahap, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur
normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam.
Penegakan diagnosis insomnia bisa didapat melalui anamnesis, dan pemeriksaan tambahan
seperti sleep wake diaries, aktigrapi, polisomnograpi. Kombinasi antara penanganan parmakologi
dan nonparmakologi pada penanganan insomnia kronik dapat memberikan hasil yang lebih
maksimal. Secara parmakologi obat-obat yang dapat digunakan untuk menangani insomnia
kronik yaitu benzodiasepin reseptor agonis, antihistamin, antidepresan. Penanganan non
parmakologi seperti behavioral interfensi untuk insomnia memberikan hasil yang signifikan
dalam mengurangi latensi tidur, menurunkan waktu terbangun di malam hari, dan memperbaiki
waktu total untuk tidur. Menurut Morin et al 70-80% pasien insomnia mendapat keuntungan dari
terapi ini dan perbaikan tersebut meningkat saat dilakukan evaluasi kembali. Penanganan
nonparmakologi meliputi stimulus control terapi, sleep restriction, teknik relaksasi, kognitif
intervensi, sleep hygiene.
18
Daftar Pustaka
1. Guyton and Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 1022
2. Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. Tidur Normal dan Gangguan Tidur. Sinopsis Psikiatri
Jilid 2. Tangerang: Binarupa Aksara Publisher,2010.p.210-2117.
3. Mawaddha, R. (4 Desember 2017). Penderita insomnia di indonesia mencapai 28 juta orang.
Life & style. Di poroleh 23 juli 2020 dari http://lifestyle.bisnis.com/read/201712
04/106/714937/penderita-insomnia-diindonesia-mencapai-28-juta-orang
4. Zeidler,M.R.2015.Insomnia.Editor:Selim R Benbadis
http://emedicine.medscape.com/article/1187829-overview
5. Benca RM. Diagnosis and Treatment of Chronic Insomnia: A Review. 2015. p. 332-4
6. Tomb, David A. 2016. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
7. Buysse DJ. Chronic Insomnia. Am J Psychiatry. 2008; 165(6): 678-686 Anonim. NIH State-
of-the-Science Conference Statement on Manifestations and
8. Management of Chronic Insomnia in Adult. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry.
2016; 7(4): 538-546.
9. Guyton and Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 1022
10. Sadock BJ, Sadock VA. (2014) Sleep Disorders. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry Volume II. USE :Lippincott wiliams & wilkins inc.
11. Ghaddafi , M. 2015. Tatalaksana Insomnia dengan Farmakologi atau Non-Farmakologi. E-
Jurnal Medika Udayana, 4: 1–17
12. Buysse DJ, et al. Insomnia. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry . 2015; 3(4):
568-584.
13. Mai E, Buysse DJ. Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosisi,
and Evaluation. The Journal of Lifelong Learning In Psychiatry. 2009; 7(4): 491-498
14. Rafknowlegde. 2014. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
19
15. Anonim. NIH State-of-the-Science Conference Statement on Manifestations and
Management of Chronic Insomnia in Adult. The Journal of Lifelong Learning In
Psychiatry. 2019; 7(4): 538-546.
16. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan
DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Unika Atma
Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
17. L Petit. N Azad. Anna B. Non-pharmacological Management of Primary and Secondary
Insomnia Among Older People. British geriatric Society. 2018 ;32 :19-25
18. Anne MMHH, Renee C. Anna L. The Diagnosis and Management of Insomniain
ClinicalPractice.CMAJ. 2017 ;162 :216-220
19. Erika N. Susan L. John ED. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. June :20014 ;17
:212-218
20. Karl D. The Epidemiology and Diagnosis of Insomnia, AMJ. 2016 ;12 : 14-220
21. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
ClinicJournalofMedicine.April:20017;Vol74 :251-265
22. RAretoula F. Sleep Disorder Insomnia. Silva Method Research Proper. 2015 :2-8
23. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management on
Insomnia.JAOA.Nov :2010;Vol110:695-700
24. Nishinoue, N., T. Takano, A. Kaku, R. Eto, N. Kato, Y. Ono dan K. Tanaka. 2012.
Effects of Sleep Hygiene Education and Behavioral Therapy on Sleep Quality of White-
collar Worker: A Randomized Controlled Trial. Industrial Health, 50: 123–131
25. Suen, L.K.P., W.W.S. Tam, K.L. Hon. 2016. Association of Sleep Hygiene-Related
Factors and Quality Among University Student in Hongkong. Hongkong Medical
Journal, 16: 160–165.
26. Gupta R, Das S, Gujar K, Mishra KK, Gaur N, Majid A. Clinical Practice Guidelines for
Sleep Disorders.Indian J Psychiatry 2017;59:S116–38
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5310097/]
27. Praharaj SK, Gupta R, Gaur N. Clinical Practice Guideline on Management of Sleep
Disorders in the Elderly. Indian J Psychiatry 2018;60:S383–96.
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5840912/]
20
28. Levenson
JC, Kay DB, Buysse DJ. The Pathophysiology of Insomnia. Chest 2015;147:1179–92.
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25846534]
21