Anda di halaman 1dari 67

1

BUKU AJAR
ILMU KESEHATAN JIWA

Editor Utama
dr. Larissa, Sp.PK., MMRS.

Editor
dr. Ade Kurnia Surawijaya, Sp.KJ.

Pembuat Desain Sampul


dr. Jefferson Nicklaus

2
Kata Sambutan

Puji syukur kepada Tuhan, dengan terselesaikannya buku ajar ini.


Buku ajar ini disusun untuk memperlengkapi mahasiswa kepaniteraan saat
melaksanakan kegiatan belajar mengajar di Rumah Sakit Pendidikan Utama
dan Rumah Sakit Afiliasi atau Rumah Sakit Jejaring. Buku ajar yang disusun
ini direncanakan akan terus diperbaharui menanggapi perkembangan ilmu
kedokteran yang juga terjadi secara terus menerus.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada para penulis dan editor
utama serta editor lainnya yang berkontribusi dalam penyusunan buku ajar ini,
yang telah bekerja keras dan meluangkan banyak waktu dalam Menyusun
buku ajar ini.
Saya berharap buku ini dapat memberi manfaat yang optimal bagi
semua mahasiswa kepaniteraan dan juga bermanfaat bagi mahasiswa sarjana
kedokteran di pre klinik, sehingga dapat belajar dengan baik, dan menjadi
dokter-dokter yang memiliki kompetensi dan mampu melayani masyarakat
dengan keprimaan, dengan penuh tanggung jawab, dan penuh kasih kepada
sesama.

Dekan Fakultas Kedokteran


Universitas Kristen Maranatha

Dr. Diana Krisanti Jasaputra, dr., M. Kes.

3
Daftar Isi
Editor ............................................................................................................... i
Kata Sambutan ............................................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
Gangguan Tidur (Insomnia) ....................................................................... 1
Pertanyaan ............................................................................................... 9
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif ... 11
Pertanyaan ............................................................................................. 25
Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi ........................................... 27
Pertanyaan ............................................................................................. 39
Psikosis ........................................................................................................ 41
Skizofrenia ............................................................................................ 41
Pertanyaan ............................................................................................ 61

4
Gangguan Tidur (Insomnia)
Allen A. Pelapelapon, Harry T. Hadi, Jo Suherman

Definisi
Menurut DSM-5, gangguan insomnia adalah kesulitan untuk memulai
tidur, mempertahan tidur, atau bangun lebih dini dan tidak mampu
melanjutkan tidur, terjadi setidaknya 3 kali per minggu selama setidaknya 3
bulan, yang menyebabkan gangguan klinis dalam area fungsi penting hidup
seperti sosial, pekerjaan, akademis, dll.

Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Insomnia
Psychophysiological Kondisi arousal yang berhubungan dengan pikiran tidur.
Insomnia (PPI) Objek yang berhubungan tidur (kamar tidur, tempat
tidur, dst) menjadi stimulus yang mencetuskan
insomnia.
Idiopathic Insomnia Insomnia yang tidak diketahui penyebabnya. Insomnia
mendahului kondisi psikiatri apapun.
Paradoxical Insomnia Seseorang berpikir dirinya bangun dan mengalami
insomnia walaupun aktivitas EEG menunjukkan hasil
yang konsisten seperti tidur normal. Pasien mengeluh
sulit memulai tidur atau mempertahankan tidur, namun
tidak ada bukti yang menunjukkan adanya gangguan
tidur.
Inadequate Sleep Insomnia yang disebabkan perilaku yang tidak kondusif
Hygiene untuk menghasilkan tidur yang berkualitas. Cth/
konsumsi kafein, alkohol, dst.
Behavioral Insomnia of Insomnia yang terjadi karena adanya pola
Childhood ketergantungan terhadap objek/suasana spesifik tertentu
saat anak-anak. Cth/ tidak bisa tidur kalau tidak
menggunakan bantal yang digunakan sejak masih anak-
anak.
Insomnia Comorbid Insomnia yang berhubungan dengan gangguan
with Mental Disorder kesehatan mental. Cth/ depresi à mayoritas kasus
insomnia.
Insomnia Comorbid Insomnia yang berhubungan dengan gangguan
with Medical Condition kesehatan fisik. Cth/ GERD, PPOK
Insomnia due to Drug Insomnia yang disebabkan obat-obat tertentu Cth/ obat
or Substance dekongestan à mengandung pseudoephedrine.

1
Short Sleeper Kondisi seseorang tidur kurang dari 5 jam sehari, namun
dapat berfungsi normal dalam aktivitas sehari-hari
(walaupun jumlah jam tidur kurang).

Epidemiologi
Prevalensi : 12-15% populasi AS
Insidensi:
• Usia lanjut: Insidensi semakin meningkat seiring bertambah usia
• Wanita: Wanita berisiko insomnia lebih tinggi 1.44x dibanding pria
• Finansial: Meningkat pada golongan sosial menengah ke bawah.
Faktor Risiko
Beberapa gangguan kesehatan fisik dan/atau mental dapat meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Begitupun sebaliknya, seseorang dengan insomnia
dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan baik fisik maupun
mental.
Lima puluh persen orang dengan gangguan psikiatri mengalami insomnia.
Gangguan psikiatri yang paling sering berhubungan dengan insomnia adalah
gangguan afektif (mis. major depression disorder), dan gangguan cemas (mis.
generalized anxiety disorder atau PTSD). Gangguan kesehatan secara fisik
yang berhubungan dengan insomnia misalnya akibat sesak, nyeri, nokturia,
dan gangguan saraf.

Etiopatogenesis

Gambar 1. Spielman Model


2
Ada 3 faktor yang berperan dalam terjadinya insomnia, yaitu 3P
(Predisposing factor, Precipitating factor, dan Perpetuating factor).
Predisposing factor adalah faktor yang sudah ada dari awal dan tidak dapat
dimodifikasi, misalnya faktor genetik (ADORA2, CLOCK & Per2, PRNP).
Precipitating factor adalah faktor pencetus yang menyebabkan insomnia,
misalnya kehilangan pekerjaan, keluarga meninggal, perpindahan tempat
tinggal, perubahan jadwal tidur, dst. Perpetuating factor adalah perilaku yang
memperburuk kondisi gangguan tidur, misalnya kebiasaan konsumsi alkohol,
kafein, sleep hygiene buruk, tidur siang (napping).
Menurut Speilman Model, ada kondisi yang disebut sebagai premorbid,
yaitu kondisi dimana seseorang memiliki predisposing factor sehingga lebih
rentan untuk mengalami insomnia, namun belum mengalami insomnia. Lalu,
jika seseorang terpapar dengan precipitating factor, maka orang tersebut akan
mengalami acute insomnia. Insomnia yang dirasakan terus-menerus dapat
menyebabkan seseorang semakin terobsesi untuk tidur dan mencoba segala
cara untuk dapat tidur kembali. Sayangnya, perilaku yang dilakukan
merupakan perilaku yang buruk bagi pola tidur sehat. Kondisi ini disebut
sebagai early insomnia. Lalu, kebiasaan buruk terus berlanjut sehingga pasien
mengalami insomnia bukan lagi disebabkan oleh precipitating factor, namun
didominasi oleh perpetuating factor, sehingga pasien mengalami chronic
insomnia.

Diagnosis Banding
• Depresi
• Obstructive Sleep Apnea (OSA)
• Restless Leg Syndrome
• Circadian Rhytm Disorder
• Periodic Limb Movement Disorder

Pemeriksaan Penunjang
Sleep Diary
Pasien diminta untuk mencatat jadwal tidur selama 1-2 minggu. Sleep
diary digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif
mengenai kondisi insomnia pasien agar terapi yang diberikan dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien.
3
Gambar 2. Sleep Diary

Polisomnografi
Polisomnografi secara umum tidak diindikasikan untuk insomnia, kecuali:
• jika dicurigai adanya sleep apnea, periodic limb movement disorder.
• jika intervensi yang telah dilakukan (farko/non-farko) tidak berhasil.
Jika perlu dilakukan pemeriksaan polisomnografi, pasien dirujuk ke fasilitas
sleep clinic.

Penatalaksanaan
Non-Farmakologis (Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia/CBT-I)
CBT-I merupakan pendekatan yang paling cocok digunakan untuk
insomnia primer dan efektif sebagai terapi adjuvan pada insomnia dengan
komorbid. CBT-I bertujuan untuk mengatasi perpetuating factor. Keterbatasan
dari CBT-I adalah perlu tenaga terlatih dan membutuhkan waktu lama (rata-
rata membutuhkan 6 sesi selama 6 minggu dengan durasi 20-40 menit per
sesi).

4
Gambar 3. Komponen CBT-I

Farmakologis (Hipnotik-Sedatif)
Sebelum pemberian obat, pasien diminta mencatat pola tidur dalam
sleep diary selama 1-2 minggu. Jika masalahnya sulit memulai tidur, maka
pilihlah obat yang memiliki onset of action cepat (zolpidem, zaleplon). Jika
masalahnya sulit mempertahankan tidur, maka pilihlah obat yang memiliki
waktu paruh lama (temazepam, estazolam, flurazepam). Jika pasien depresi,
maka pertimbangkan menggunakan antidepresan dengan efek sedasi
(trazodone, mirtazapine, amitriptilin).

Benzodiazepin
• Mekanisme kerja : berikatan pada bagian alosterik reseptor GABAA à
aktivitas GABA VLPO (sleep promoter) meningkat à inhibisi TMN
(wake promoter) à tidur.
• Efek : SL↓, TST↑, N2↑ , REM↓, ansietas↓.
• Efek samping : gangguan fungsi memori, mengantuk saat pagi/siang
hari (meningkatkan risiko kecelakaan!), dependensi!.
• Cth/
• Long acting : flurazepam, quazepam
• Intermediate acting : temazepam (15-30 mg noct), estazolam
• Short acting : triazolam

Non-BZD sedative/GABA PAMs / ”Z drugs”


• MK : cara kerja mirip seperti benzodiazepin à sering disebut juga
“GABAA receptor positive allosteric modulator (GABA PAM)”.
5
• Efek yang diberikan mirip seperti BZD, namun efek samping yang
ditimbulkan lebih ringan
• Reseptor GABAA terdiri dari subunit α, β, γ.
• Reseptor GABAA di otak merupakan kombinasi dari α, β, γ,
yaitu α1β2γ2 , α2β3γ2 , α3β3γ2 , α5β3γ2.
• Fungsi dari berbagai fungsi subunit reseptor α
• α1 : sedasi, amnesia, partial anticonvulsant, ataksia
• α2 : ansiolitik, relaksasi otot
• α3 : relaksasi otot, ataksia
• α5 : relaksasi otot, ataksia
• GABA PAM selektif berikatan dengan GABAA yang
memiliki subunit α1 à efek samping lebih sedikit.
• Cth/ zolpidem, zaleplon à obat-obatnya berawalan huruf Z à sering
disebut juga “Z drugs”
• Zolpidem 5 mg noct
• Zolpidem CR 6.25 mg
• Ezcopiclone 1 mg noct (T1/2 5-7 jam) à hati2 gangguan
memori, koordinasi, dan psikomotor
• Zaleplon 5-20 mg (T1/2 : 1 jam) à sleep onset insomnia

Antidepresan
• MK : menghambat reseptor neurotransmitter wake promoter (5HT,
NE, dan HA) à tidur
• Cth/ amitriptyline, trimipramine, doxepin, trazodone, mirtazapin

Antihistamin
• Antihistamin à OTC drugs.
• masih bersifat off-label
• menyebabkan rasa mengantuk saat pagi/siang hari dan
menimbulkan efek samping antikolinergik (konstipasi dan
mulut kering) yang dapat menyebabkan masalah khususnya
pada lansia.
• MK : antagonis reseptor H1 à menganggu transmisi histamin dari
TMN (wake promoter) à tidur
• Cth/ difenhidramin

6
Melatonin Agonist
• MK : berikatan dengan reseptor melatonin (MT1 & MT2) à aktivasi
SCN à aktivasi VLPO (sleep promotor) à tidur.
• Efek : SL↓ 10-15 menit, TST↑ 10-15 menit.
• Efek samping lebih sedikit dibanding BZD atau non-BZD sedatives
• Tidak ada efek hipnotik pada keesokan harinya
• Tidak menimbulkan dependensi
• Cth/ Ramelteon

Pencegahan
• Membiasakan sleep hygiene yang baik.
• Segera tangani masalah kesehatan baik fisik maupun mental yang
berpotensi menyebabkan insomnia.

Komplikasi
• Psikiatri: Risiko seseorang yang tidak depresi menjadi depresi
meningkat 2 kali lebih tinggi.
• Medis: Hipertensi, DM tipe 2, sindrom metabolik, dst.

Prognosis
• Quo ad vitam: ad bonam à insomnia tidak secara langsung
menyebabkan kematian.
• Quo ad functionam: dubia ad bonam à insomnia menganggu aktivitas
sehari-hari, namun jika tertangani baik dapat meningkatkan kualitas
hidup.
• Quo ad sanationam: dubia ad bonam à insomnia masih dapat kambuh.

Daftar Pustaka
1. Saddock BJ, Saddock VA, Ruiz P. 2017. Kaplan & Saddock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatry. Tenth Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
2. Stahl S.M. 2013. Stahl's Essential Psychopharmacology
Neuroscientific Basis and Practical Applications. Fourth Edition. New
York: Cambridge University Press.
3. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Impact
of the DSM-IV to DSM-5 Changes on the National Survey on Drug
7
Use and Health [Internet]. Rockville (MD): Substance Abuse and
Mental Health Services Administration (US); 2016 Jun. Table 3.36,
DSM-IV to DSM-5 Insomnia Disorder Comparison. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519704/table/ch3.t36/
4. Winkelman JW. Insomnia Disorder. N Engl J Med 2015;373:1437-44.
5. Schutte-Rodin S, Broch L, Buysse D, Dorsey C, Sateia M. Clinical
guideline for the evaluation and management of chronic insomnia in
adults. J Clin Sleep Med. 2008;4:487–504.
6. Monti JM. The neurotransmitters of sleep and wake, a physiological
reviews series. Sleep Med Rev. 2013;17:313–315.
doi:10.1016/j.smrv.2013.02.004.
7. Mitchell MD, Gehrman P, Perlis M, Umscheid CA. Comparative
effectiveness of cognitive behavioral therapy for insomnia: a
systematic review. BMC Fam Pract 2012; 13: 40.
8. Morin CM, Vallières A, Guay B, et al. Cognitive behavioral therapy,
singly and combined with medication, for persistent insomnia: a
randomized controlled trial. JAMA 2009; 301: 2005-15.
9. Guyton and Hall. 2011. Textbook of Medical Physiology. 12th Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia
10. Saper et al. Hypothalamic Regulation of Sleep and Circadian Rhythms.
Nature 2005;437:1257-1263.
11. Taylor DJ et al. Comorbidity of Chronic Insomnia With Medical
Problems. Sleep 2007;30(2):213-8.
12. Baglioni C et al. Insomnia as a predictor of depression: A meta-
analytic evaluation of longitudinal epidemiological studies. Journal of
Affective Disorders 2011;135:10–19
13. Mitchell MD et al. Comparative effectiveness of cognitive behavioral
therapy for insomnia: a systematic review. BMC Family Practice
2012;13:40
14. Wu R, Bao J, Zhang C, Deng J, Long C. Comparison of sleep condition
and sleep-related psychological activity after cognitive-behavior and
pharmacological therapy for chronic insomnia. Psychother Psychosom
2006;75:220–228.

8
Pertanyaan
1. Yang termasuk predisposing factor menurut teori spielman model
adalah
a. Mutasi gen CLOCK
b. Kebiasaan merokok
c. Kebiasaan minum alkohol
d. Kehilangan pekerjaan
e. Napping terlalu banyak

2. Perubahan pola tidur yang terjadi pada lansia adalah


a. Phase delayed
b. REM semakin lama
c. Phase advancement
d. Sleep efficiency meningkat
e. N3 semakin lama

3. Mengurangi durasi waktu berada di tempat tidur merupakan CBT-I


yang termasuk kategori
a. Sleep hygiene
b. Relaxation therapy
c. Cognitive therapy
d. Stimulus control
e. Sleep restriction

4. Berikut adalah pilihan obat terapi insomnia, kecuali


a. antidepresan
b. benzodiazepin short acting
c. antihistamin
d. melatonin antagonist
e. GABA PAM

5. Gangguan homeostatik yang terjadi pada orang depresi yang


mempengaruhi siklus sirkadian adalah
a. Peningkatan kortisol saat malam hari
b. Peningkatan melatonin saat malam hari
c. Penurunan suhu tubuh saat malam hari
9
d. Penurunan kadar melatonin saat siang hari
e. Peningkatan kadar kortisol saat siang hari

Jawaban:
1. A
2. C
3. E
4. D
5. A

10
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif
Ade Kurnia S, Adrian Suhendra, Budi Widyarto L, Lusiana D,
Wenny Waty

Definisi
ü Zat Psikoaktif adalah substansi yang apabila dikonsumsi akan
berpengaruh pada pikiran. Kelompok zat psikoaktif (PPDGJ- III):
alkohol, opioida, kanabinoida, sedatif/hipnotika, kokain, stimulansia lain
termasuk kafein, halusinogenika, tembakau dan pelarut yang mudah
menguap/solven.
ü Toleransi (tolerance) yaitu menurunnya respon terhadap dosis obat yang
terjadi pada penggunaan terus menerus dari suatu obat. Hal inilah yang
menyebabkan, bahwa untuk mendapatkan efek yang sama seperti awal
penggunaan, kebutuhan pengguna terhadap zat psikoaktif yang biasa
dipakai makin lama makin meningkat.
ü Putus Zat, “sakaw“/“sakau“ (wihtdrawal Syndrome) adalah sekumpulan
gejala yang terjadi pada penghentian atau pengurangan penggunaan zat
psikoaktif yang dapat disertai dengan tanda-tanda gangguan fisiologis.
ü Sindroma ketergantungan (dependence syndrome), adalah sekumpulan
gejala yang melibatkan perilaku, kognitif, dan fisiologis yang
berkembang setelah penggunaan zat berulang kali; biasanya termasuk
keinginan yang kuat untuk konsumsi zat, gangguan kontrol atas
penggunaannya, penggunaan terus menerus meskipun memiliki
konsekuensi berbahaya, peningkatan toleransi, dan kadang-kadang
disertai dengan gangguan fisik

Faktor Risiko
Mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA ini biasanya
disebabkan oleh adanya interaksi dari beberapa faktor, yaitu :
- faktor predisposisi (kepribadian tertentu, kecemasan, keadaan depresi)
- faktor kontribusi (kondisi keluarga)
- faktor pencetus (zat itu sendiri)

11
Mengenai faktor predisposisi ini beberapa ahli juga membagi kedalam dua
kelompok, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan.
1.Faktor individu yang meliputi :
- rasa ingin tahu yang kuat dan ingin mencoba
- tidak tegas terhadap tawaran/pengaruh teman sebaya
- penilaian diri yang negatif seperti merasa kurang mampu dalam
pelajaran, pergaulan, penampilan diri atau tingkat/status sosial ekonomi
yang rendah
- kurang percaya diri dalam menghadapi tugas
- untuk mengurangi rasa tidak enak, ingin menambah prestasi
- tidak tekun dan cepat jenuh
- sikap memberontak terhadap peraturan/tata tertib
- pernyataan diri sudah dewasa
- identitas diri yang kabur akibat proses identifikasi dengan orang
tua/penggantinya yang kurang berjalan dengan baik, atau gangguan
identitas jenis kelamin, merasa diri kurang jantan
- mengalami depresi, cemas, hiperkinetik
- persepsi yang tidak realistis
- kepribadian dissosial (perilaku yang menyimpang dari norma yang
berlaku)
- penghargaan sosial yang kurang
- keyakinan bahwa penggunaan zat merupakan lambang keperkasaan atau
kemodernan
- kurang menghayati ajaran agama

2. Faktor lingkungan yang meliputi :


- mudah diperolehnya NAPZA
- komunikasi antara orang tua dan anak yang kurang efektif
- hubungan antar orang tua (ayah-ibu) yang kurang harmonis
- orang tua atau anggota keluarga lainnya menggunakan NAPZA
- lingkungan keluarga terlalu permisif atau bahkan sebaliknya terlalu ketat
dalam disiplin
- orang tua yang otoriter atau dominan
- berteman dengan pengguna NAPZA
- tekanan kelompok sebaya yang sangat kuat
- ancaman fisik dari teman atau pengedar
12
- lingkungan sekolah yang tidak tertib
- lingkungan sekolah yang tidak memberi fasilitas bagi penyaluran minat
dan bakat para siswanya

Penyalahgunaan NAPZA dapat menimbulkan dampak yang luas antara


lain, mengganggu hubungan keluarga, menurunkan prestasi akademis
sampai drop-out, menurunkan produktifitas kerja sampai PHK,
ketidakmampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
perubahan perilaku menjadi antisosial (mencuri, berbohong, menipu, tindak
kekerasan, penganiayaan atau tindak kriminal lainnya), tertular dan
menyebarkan penyakit infeksi (Hepatitis B, Hepatitis C, endokarditis, HIV,
dll.)

Klasifikasi NAPZA

Tabel 1. Napza berdasarkan efek yang ditimbulkannya


Depresan Stimulan Halusinogen
Alkohol Amfetamin LSD, DMT
Benzodiazepin Metamfetamin Meskalin
Opioid Kokain PCP
Solven Nikotin Ketamin
Kanabis (dosis rendah) Khat Kanabis (dosis tinggi)
Kafein Magic mushrooms
MDMA MDMA

Napza dengan cara kerja sebagai depresan akan memperlambat atau


menekan sistem syaraf pusat dan pesan yang dikirim ke otak. Juga
memperlambat detak jantung dan pernafasan.

Tabel 2. Gejala-gejala efek depresan NAPZA


Efek yang ringan antara lain: Efek yang lebih berat antara lain:
• Perasaan tenang dan sejahtera • Bicara cadel
• Perasaan gembira yang • Jalan sempoyongan
berlebihan (euforia) • Mual
• Perasaan rileks • Muntah

13
Napza yang memiliki efek stimulan akan mempercepat atau merangsang
kerja sistem susunan syaraf pusat dan pesan ke dan dari otak. Stimulan juga
meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan suhu tubuh dan sering
membuat orang lebih sadar dan waspada.

Tabel 3. Gejala-gejala efek stimulan NAPZA


Efek yang ringan antara lain: Efek yang lebih berat antara lain:
• Hilang nafsu makan • Agresi
• Tidak bisa tidur • Panik
• Banyak bicara • Cemas
• Gelisah • Sakit kepala
• Paranoia

Napza yang memiliki efek halusinogen akan mempengaruhi persepsi orang


yang menyebabkannya melihat atau mendengar sesuatu secara terdistorsi.
Halusinogen akan memiliki efek sebagai berikut:
• Tekanan darah meningkat
• Detak jantung meningkat
• Hilang nafsu makan
• Kram perut
• Banyak bicara dan tertawa
• Aktivitas meningkat
• Panik
• Dilatasi pupil
• Distorsi waktu dan ruang

Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDG.J


III) menggolongkan gangguan penyalahgunaan zat adiktif dalam kelompok
Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F10-F19)

Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan Zat Psikoaktif (F10


– F19)
F10.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioida
F12.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa / hipnotika
F14.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
14
F15.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain
termasuk kafein
F16.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19.- Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya.

Jenis Narkotika Dan Minuman Keras

Menurut UU RI No.22/ 1997 tentang narkotika, narkotika adalah zat atau


obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Narkotik dibedakan ke dalam golongan- golongan sebagai berikut :

Narkotika golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : heroin, kokain, ganja.

Narkotika golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : morfin, petidin, turunan/garam dalam golongan tersebut.

Narkotika golongan III


Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Kodein dan garam-
garam narkotika dalam golongan tersebut.

15
Menurut UU RI No.35 /2009 tentang Psikotropika, yang dimaksud dengan
psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah ataupun sintetis bukan narkotik,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika dibedakan dalam golongan- golongan sebagai berikut :

Psikotropika golongan I.
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : MDMA, Ekstasi, LSD, STP

Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan untuk terapi
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : amfetamin,
fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin)

Psikotropika golongan III


Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : fenobarbital,
flunitrazepam

Psikotropika golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : diazepam,
klobazepam, bromazepam, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam
(BK,DUM,MG)

UU Psikotropika tersebut pada pasal 37 menyatakan bahwa pengguna


psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk
ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.

Minuman Keras
16
Menurut peraturan Menkes No. 36 tahun 1977 , minuman keras dibagi dalam
3 golongan :
Golongan A, kadar ethanol 1- 5% (bir)
Golongan B, kadar ethanol 5- 20% (anggur)
Golongan C, kadar ethanol 20- 40% (whiski, vodka, brandy)

Patogenesis dan Patofisiologi (Adiksi Sebagai Gangguan Otak)


Napza memiliki sifat-sifat khusus terhadap jaringan otak: bersifat
menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi otak
(stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Oleh karena
otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara Napza (yang
masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel syaraf otak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia. Perubahan-perubahan
perilaku tersebut tergantung sifat-sifat dan jenis zat yang masuk ke dalam
tubuh.
Otak memiliki puluhan neurotransmiter yang masing-masing bertugas
menghantarkan pesan sensasi khusus. Misalnya dopamin (DA)
menghantarkan pesan sensasi rasa nikmat (senang, enak, euforia dan gembira).
DA setelah lepas dalam celah sinaptik akan mengikat diri (binding) pada
reseptor khusus yang disebut reseptor Dopamin sehingga orang tersebut
merasakan sensasi rasa nikmat. Di dalam otak terdapat puluhan reseptor-
reseptor khusus yang baru diketemukan dalam bidang kedokteran. Salah satu
diantaranya adalah reseptor opioid. Tubuh manusia sendiri dapat
menghasilkan sejenis protein neurotransmiter yang disebut endorphin.
Endorphin mengikat diri pada reseptor opioid yang kemudian mengirimkan
sinyal kepada terminal untuk melepaskan DA. DA yang terlepas akan
mengikatkan diri pada reseptor dopamin sehingga membawa pesan
kenikmatan. Reseptor-reseptor yang berkaitan pada kenikmatan terdapat pada
area orak yang disebut sentra kenikmatan yang terdapat pada daerah otak
bernama nucleus accumbens (NA) – Ventral tegmental area (VTA) dan NA –
Frontal corteks serebri. Area tersebut sering dikaikan dengan sebutan reward
pathway.
Beberapa jenis Napza menyusup ke dalam otak karena mereka memiliki
ukuran dan bentuk yang sama dengan ‘natural neurotransmiter’. Di dalam
otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, Napza tersebut dapat mengunci dari
dalam (‘lock into’) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi
17
berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron
melepaskan sejumlah besar neurotransmiter miliknya. Beberapa jenis Napza
lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa sehingga neuron
melepasan lebih banyak neurotransmiter. Ada yang jenis Napza yang
menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan kebanjiran
neurotransmiter yang tidak alami.
Napza memiliki neurotransmiter yang bersifat khusus sehingga
penggunaan sekaligus berbagai jenis Napza dapat mendatangkan kekacauan
di dalam celah sinaptik. Beberapa jenis neurotransmiter tersebut adalah:
dopamin (amfet, kokain, alkohol), serotonin (LSD, alkohol), endorfin
(opiat, alkohol), GABA (benzodiazepin, alkohol), glutamat (alkohol) dan
asetilkolin (nikotin, alkohol).
Penggunaan Napza yang lama dan berulang-ulang menyebabkan
terjadinya gangguan mekanisme kimiawi dan fungsi otak yang bermakna,
bertanggung jawab terhadap fungsi generasi, modulasi, dan pengendalian
perilaku kognitif, emosional dan sosial. Pernyalagunaan Napza dapat
mengintervensi fungsi otak sehingga terjadi gangguan mental-emosional dan
perilaku. Adiksi Napza merupakan penderitaan menahun dan sering kambuh.
Namun sebagaimana penyakit menahun lainnya seperti diabetes tipe 2 dan
hipertensi, adiksi napza dapat diobati dan dikendalikan secara kedokteran.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kekambuhan antara lain: genetic
heritability, pilihan personal dan lingkungan.

Patogenesis Toleransi dan Ketergantungan Obat


Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi
seluler yang menyebabkan perubahan aktivitas enzym, pelepasan biogenic
amin tertentu atau beberapa respon imun. Nukleus locus ceruleus diduga
bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala withdrawal. Nukleus ini kaya
akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi
pada reseptor opioid dan alpha-adrenergic memberikan respon yang sama
pada intraseluler. Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan
menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik AMP. Bila stimulasi ini diberikan
secara terus menerus, akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam neuron yang
membuat level normal dari adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila
ikatan opiat ini dihentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang
bersifat antagonis opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase
18
pada siklik AMP secara mendadak dan berhubungan dengan gejala pasien
berupa gejala hiperaktivitas. Gejala putus obat (gejala abstinensi atau
withdrawal syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut menghentikan
penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala biasanya timbul dalam 6-10 jam
setelah pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam.
Withdrawal dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-
tiba atau dapat pula dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti
naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit setelah injeksi antagonis opioid, timbul
gejala withdrawal, mencapai puncaknya dalam 10-20 menit, kemudian
menghilang setelah 1 jam.

Manifestasi Klinis
Berikut ini adalah tanda/ciri-ciri yang patut menimbulkan dugaan, bahwa yang
bersangkutan adalah pengguna NAPZA:
- Prestasi akademik/kerja menurun, minat bergaul dan olah raga tidak ada
lagi
- Disiplin dan sopan santun menurun, mengabaikan perawatan dan
kerapihan diri
- Menghindar dari perhatian orang lain, menyendiri terutama ditempat-
tempat yang tidak biasa tanpa alasan yang jelas (gudang, kamar mandi,
sudut belakang rumah dll.)
- Cepat tersinggung dan mudah marah
- Suka mencuri, curang, tidak jujur (pembohong), menghindar dari
tanggung jawab
- Bergaul dengan pengguna/pengedar NAPZA
- Diantara barang milik pribadi ditemukan alat suntik, amplop berisi
rajangan daun kering, bubuk putih-kekuningan, tablet/ kapsul
- Lain-lain: sering mengalami cidera jasmani, menderita penyakit infeksi
tertentu (hepatitis, AIDS, endokarditis dll.), kejang-kejang terutama
terjadi pertama kali pada usia 10-30 tahun, gangguan paru dan keadaan
umum yang buruk.

Gejala-gejala pemakaian, putus zat dan keracunan


Tiap-tiap zat pskoaktif mempunyai gejala pemakaian, putus zat, dan
keracunan yang berbeda-beda. Menemukan gejala tersebut, merupakan hal
yang sangat penting untuk mendeteksi seorang pengguna. Pemakaian lebih
19
dari satu jenis zat, memang akan mempersulit penafsiran gejala. Gejala-gejala
tersebut adalah :
1. Opiat (morfin, heroin)
Gejala pemakaian: gembira, pupil mata kecil, nadi lambat, nafas
lambat, susah BAB, mengantuk.
Gejala putus zat: gelisah, mual, muntah, mata berair, hidung berair,
sendi-sendi nyeri, menggigil, pupil mata melebar, merinding.
Gejala intoksikasi: pupil mata kecil, tekanan darah turun, nafas lambat,
nadi cepat, pingsan, bisa meninggal.
2. Obat penenang/obat tidur
Gejala pemakaian: mula-mula gelisah, mengamuk, lalu mengantuk,
daya pikir dan daya ingat turun, bicara lambat, tindakan lambat.
Gejala putus zat: gelisah, sukar tidur, muntah, gemetar, kejang-
kejang.
Gejala intoksikasi: gelisah, kendali diri turun, banyak bicara, suka
bertengkar, lalu bicara tak jelas, sempoyongan, nafas lambat,
kesadaran turun, pingsan, bisa meninggal.
3. Alkohol
Gejala pemakaian: gembira, hambatan diri turun, muka kemerahan.
Gejala putus zat: gemetar, muntah, kejang, gelisah, sukar tidur,
gangguan jiwa.
Gejala intoksikasi: gelisah, tingkah laku kacau, kendali diri hilang,
banyak bicara, bicara tak jelas, ngantuk, gangguan organ.
4. Ganja
Gejala pemakaian: gembira, “melayang “, santai, tenang, kepala berat,
efisiensi intelektual dan motorik terganggu, mata merah, curiga, moral
turun, “ flashback “.
Gejala putus zat: susah tidur, gelisah, nafsu makan berkurang.
Gejala intoksikasi: panik, mengamuk, “ gila”, demam, pupil mata
melebar.
5. Amfetamin
Gejala pemakaian: siaga, percaya diri, euforia, banyak bicara, tak
mudah lelah, tak nafsu makan, berdebar- debar, nafas cepat, tekanan
darah naik.
Gejala putus zat: lesu, apatis, tidur berlebihan, curiga, depresi (bunuh
diri).
20
Gejala intoksikasi: berdebar cepat, tekanan darah naik, perdarahan,
bisa meninggal.

Diagnosis.
Menegakkan diagnosis tidak selalu mudah, keterangan pengguna sering tidak
bisa dipercaya (menyangkal/mengecilkan masalah), sedangkan keterangan
keluarga biasanya juga tidak lengkap. Meskipun demikian, dengan catatan
tentang keterbatasannya, keterangan pengguna dan keluarganya tetap
diperlukan untuk mendapatkan “gambaran” riwayat penggunaan zat
psikoaktif. Selanjutnya pemeriksaan fisik tentang tanda-tanda pemakaian akan
memperkuat dugaan penggunaan zat psikoaktif dan diagnosis pasti adalah
melalui pemeriksaan laboratorium (urin atau darah) terhadap zat psikoaktif
yang dicurigai (Siregar, 1990)

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium pada narkotika dan zat adiktif dapat dilakukan
untuk tujuan:
1. Penapisan
2. Diagnosis pada keadaan emergensi
3. pemantauan detoksikasi
4. kepentingan forensik
Untuk pemeriksaan penapisan pada umumnya menggunakan metode
immunochromatography dengan bahan pemeriksaan urin, karena non-invasif
dan mempunyai nilai sensitivitas tinggi. Sedangkan untuk kepentingan
keadaan emergensi dan pemantauan detoksikasi dapat menggunakan metode
Enzyme Mediated Immunologic Technique (EMIT), Fluorescence
Polarization Immunoassay (FPIA), Thin Layer Chromatography (TLC) tetapi
bahan pemeriksaan yang digunakan pada umumnya adalah serum karena
diharapkan dapat menggambarkan kadar obat/zat pada saat itu, Untuk
kepentingan forensik, selain menggunakan metode pemeriksaan di atas juga
dapat dilakukan pemeriksaan konfirmasi dengan menggunakan metode Gas
Chromatography-Mass Spectroscopy (GC-MS). Pemeriksaan dengan metode
GC-MS ini biasa digunakan sebagai uji baku bagi metode yang lain.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk deteksi
narkotika dan zat adiktif adalah pemeriksaan drug-strip
immunochromatographic assay dengan menggunakan bahan pemeriksaan
21
urin. Pemeriksaan ini bersifat kualitatif, mudah, cepat, dan hasilnya dapat
dibaca secara visual tanpa alat khusus. Prinsip pemeriksaan ini adalah bila
konsentrasi zat/obat bebas sama atau lebih besar dari cut off yang telah
ditentukan maka drug free akan berikatan dengan anti drug antibody. Ikatan
ini akan menghambat timbulnya pita warna merah pada membran yang
menunjukkan hasil positif. Sedangkan bila tidak ada zat/obat bebas maka anti
drug antibody akan bereaksi dengan antigen conjugated dan menghasilkan
pita berwarna merah pada membran yang menunjukkan hasil negatif.

Penatalaksanaan (Prinsip Penanggulangan)


1. Landasan Hukum: Ketentuan hukum tentang zat psikoaktif di negara kita
saat ini diatur oleh UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika dan UU No.22
tahun 1997 tentang narkotika. Meskipun cukup komprehensif, kekurangan
undang-undang tersebut adalah belum mencakup semua zat psikoaktif
seperti yang tercantum dalam PPDGJ III serta masih memasukkan ganja
kedalam UU narkotika.
2. Upaya preventif-promotif: Penyembuhan pengguna zat psikoaktif sangat
sulit, sehingga upaya pencegahan menjadi sangat penting. Sasarannya
adalah unsur zat psikoaktif itu sendiri, pemakai dan lingkungan dengan
memengaruhi faktor-faktor penyebab, pendorong, dan peluang bagi
pengguna zat psikoaktif, sehingga timbul kesadaran, kewaspadaan, dan
daya tangkal pada remaja umumnya, khususnya para “calon pengguna“.
Beberapa bentuk upaya preventif adalah: Pemberian informasi yang benar
dan objektif secara hati-hati, tanpa menakut-nakuti, dan tidak merangsang
penerima informasi untuk justru mencoba zat psikoaktif. Program teman
sebaya untuk melatih kemampuan menolak ajakan penggunaan zat psikoatif
(Just say No). Program pilihan lain, yaitu menawarkan bermacam-macam
program kegiatan remaja sebagai alternatif yang sehat bagi pengguna zat
psikoaktif dll.
3. Upaya Kuratif dan Rehabilitasi: Merupakan dua upaya yang
berkesinambungan untuk mengakhiri ketergantungan pada zat psikoaktf,
mengatasi bermacam-macam dampak fisik, psikis dan sosial, serta
mengembalikan pengguna ke masyarakat sebagai warga yang produktif,
berguna, dan hidup sejahtera.
Tahapannya adalah:
- Penerimaan awal (1-3 hari)
22
Dilakukan evaluasi medik-psikologik menyeluruh termasuk aspek sosio-
legal dan status penggunaan zat psikoaktif sebagai dasar rencana terapi
selanjutnya.
- Detoksifikasi dan terapi komplikasi medik (1-3 minggu)
Terjadi proses penghentian penggunaan zat psikoaktif dan pengobatan
komplikasi medik yang mungkin terjadi. Penghentian bisa
bertahap/langsung, dengan atau tanpa terapi simptomatik (untuk mengatasi-
meringankan gejala putus zat), dengan atau tanpa terapi substitusi (bahan
pengganti yang lebih “aman”), dengan atau tanpa zat antagonis (bahan
pelawan zat psikoaktif tertentu untuk mengatasi gejala keracunan dan
mencegah pemakaian ulang dimasa yang akan datang).

Kedua tahap ini dilaksanakan secara rawat inap, sedang tahap selanjutnya
dilaksanakan diluar tempat perawatan.

- Stabilisasi (3-9 bulan)


meliputi upaya pembinaan-pemantapan fisik, mental, keagamaan,
komunikasi, interaksi sosial, edukasional, kultural, vokasional, dll.
- Persiapan kembali ke masyarakat (3-12 bulan):
bimbingan melalui program-program khusus (sheltered workshops, day
centers, night centers)
- Resosialisasi (sampai sekitar 1000 hari)
mantan pengguna diharapkan mampu mengembangkan kehidupan yang
bermakna di masyarakat.

Komorbiditas dan komplikasi


Komorbiditas yang sering adalah: skizofrenia (agitasi dan paranoid),
mania (kemarahan dan paranoid), psikosis depresi (keinginan/usaha bunuh
diri atau mencederai orang lain), retardasi mental, gangguan kepribadian
(borderline dan antisosial).

Komplikasi medis yang sering terjadi adalah:


- kelebihan dosis yang berakibat fatal
- keracunan pelarut pada pemakaian lewat suntikan
- menyuntik tidak steril (abses, sepsis, hepatitis, HIV)
- gizi buruk
23
- penyakit kulit
- karies dentis
- anemia

Daftar Pustaka
1. PPDGJ III (DepKes R I 1993)
2. Kaplan H.I, Sadock B.J. Emergency Psychiatry. Philadelphia. Lippincot,
Williams and Wilkins. 1994.
3. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Buku Saku Kegawatdarutan Psikiatri, Departemen Kesehatan
5. Robin et all. Alcohol use disorder: pathophysiology, effects, and
pharmacologic options of treatment. NCBI. Published online 2014 Jan
23. doi: 10.2147/SAR.S37907
6. Javier et all. Cannabinoid–Dopamine Interaction in the Pathophysiology
and Treatment of CNS Disorders. CNS Neuroscience & Therapeutics 16
(2010) e72–e91 c 2010 Blackwell Publishing Ltd.
7. American Psychiatric Association, Practice Guideline for the treatment of
patients with delirium,2010
8. Schuckit M.A, Recognition and management of withdrawal delirium
(Delirium tremens), N Engl J Med 2014;371:2109-13
9. Kaplan HI, Sadock BJ. Substance Abuse. Synopsis of Psychiatry,
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams
and Wilkins, Baltimore, 1998.
10. Ries R, Fiellin D, Miller S. Priciples of Addiction Medicine, 4th edition,
Lippincott Williams and Wilkins, baltimore, 2003

24
Pertanyaan

1. Yang termasuk gejala pemakaian alkohol adalah…


a. gelisah
b. muka kemerahan
c. tingkah laku kacau
d. muntah
e. bicara tak jelas

2. Yang termasuk gejala putus zat alkohol adalah…


a. gelisah
b. muka kemerahan
c. tingkah laku kacau
d. muntah
e. bicara tak jelas
3. Berdasarkan efek yang ditimbulkannya, alkohol termasuk NAPZA
golongan:
a. depresan
b. stimulan
c. halusinogen
d. addiksi
e. non addiksi

4. Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk deteksi


narkotika dan zat adiktif adalah:
a. Enzyme Mediated Immunologic Technique
b. Drug-strip immunochromatographic assay
c. Fluorescence Polarization Immunoassay (FPIA)
d. Thin Layer Chromatography
e. Gas Chromatography-Mass Spectroscopy

5. Upaya Kuratif dan Rehabilitasi diawali dengan:


a. evaluasi medik-psikologik menyeluruh
b. penghentian penggunaan zat psikoaktif
c. pembinaan-pemantapan fisik
d. pemberian therapi substitusi
25
e. bimbingan melalui program-program khusus

Jawaban
1. B
2. A
3. A
4. B
5. A

26
Gangguan Campuran Ansietas Dan Depresi
Julia Windi G, Lusiana Darsono, Ade Kurnia S, Cindra Paskaria

Definisi
Merupakan gangguan yang ditandai gejala-gejala ansietas dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian
gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis
tersendiri.
Untuk gejala ansietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan
walaupun tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran.

Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III


• Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, di mana masing-masing
tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan
diagnosis tersendiri, Untuk ansietas, beberapa gejala otonomik harus
ditemukan walaupun tidak terus menerus, disamping rasa cemas atau
kekhawatiran berlebihan
• Bila ditemukan ansietas berat disertai depresi yang lebih ringan, maka
harus dipertimbangkan kategori gangguan ansietas lainnya atau gangguan
ansietas fobik
• Bila ditemukan sindrom depresi dan ansietas yang cukup berat untuk
menegakkan masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut
harus dikemukakan, dan diagnosa gangguan campuran tidak dapat
digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu
diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan
• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang
jelas, maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian

Epidemiologi
Dalam 3 dekade, gangguan depresi menduduki peringkat ke 1 diantara
10 penyakit mental disorder penyebab Disability Adjusted Life Year
(DALYs), sedangkan gangguan kecemasan menduduki peringkat ke 2.
DALYs dihitung dari penjumlahan kematian prematur dan tahun hidup
dengan kondisi disabilitas. (Kemenkes RI, 2019)
27
Gangguan depresi dapat dialami oleh semua kelompok usia. Riskesdas
2018 menunjukkan bahwa gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang
usia remaja (15-24 tahun), dengan prevalensi 6,2%. Pola prevalensi depresi
semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia. Prevalensi tertinggi pada
usia diatas 75 tahun yaitu sebesar 8,9%.

Gambar 1. Prevalensi Depresi pada Penduduk Usia ≥ 15 Tahun Menurut


Kelompok Umur (Riskesdas 2018)

Faktor Risiko
Faktor risiko gangguan campuran ansietas dan depresi: (IDI, 2014)
- Adanya faktor biologis yang memengaruhi, antara lain
hiperaktivitas sistem noradrenergik, faktor genetik.
- Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti
ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
- Adanya stress kehidupan.

Etiologi
Terdapat beberapa teori yang mendasari kecemasan ditinjau dari :
1. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik
Definisi Freud, kecemasan dipandang sebagai hasil dari konflik psikis
antara keinginan seksual atau agresif sadar dan ancaman sesuai dari
realitas superego atau eksternal.
Dalam menanggapi sinyal ini, ego mengerahkan mekanisme
pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat
diterima dari muncul dalam kesadaran.

28
b. Teori perilaku à Kecemasan merupakan respon terkondisi terhadap
rangsangan lingkungan tertentu.
c. Teori eksistensial à Bahwa orang-orang mengalami perasaan hidup
di alam semesta tanpa tujuan. Kecemasan merupakan respon mereka
terhadap kekosongan yang dirasakan dalam keberadaan dan makna.

2. Teori biologi
a. Otonom Sistem saraf à Menunjukkan tanda simpatik meningkat,
beradaptasi perlahan terhadap rangsangan berulang, dan merespon
berlebihan terhadap rangsangan moderat.
b. Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang terkait dengan kecemasan pada basis
studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin,
serotonin, dan GABA.
• Norepinefrin
Teori umum tentang peran norepinefrin pada gangguan
kecemasan adalah bahwa pasien yang terkena mungkin memiliki
sistem noradrenergik buruk diatur dengan semburan sesekali
aktivitas.
• Serotonin
Beberapa laporan menunjukkan bahwa
metachlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik dengan
beberapa efek dan nonserotonergik, dan fenfluramin (Pondimin),
yang menyebabkan pelepasan serotonin, lakukan menimbulkan
kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan.
• GABA
Dari beberapa studi yang telah dilakukan menyebabkan peneliti
untuk berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan memiliki fungsi abnormal reseptor GABA mereka,
meskipun sambungan ini belum terbukti secara langsung.
c. Pemeriksaan radiologi
Berbagai studi pencitraan otak, telah menghasilkan beberapa
kemungkinan mengarah pada pemahaman gangguan kecemasan.
Dalam satu studi Magnetic Resonance Imaging (MRI), cacat tertentu
di lobus temporal kanan tercatat pada pasien dengan gangguan panik.
d. Penelitian genetika
29
Penelitian genetik telah menghasilkan bukti kuat bahwa setidaknya
beberapa komponen genetik berkontribusi terhadap perkembangan
gangguan kecemasan.
Keturunan telah diakui sebagai faktor predisposisi dalam
pengembangan gangguan kecemasan.
Hampir setengah dari semua pasien dengan gangguan panik memiliki
setidaknya satu kerabat yang terkena dampak.
e. Pertimbangan neuroanatomi
Lokus seruleus dan proyek inti raphe terutama ke sistem limbik dan
korteks serebral. Dalam kombinasi dengan data dari studi pencitraan
otak, daerah ini telah menjadi fokus dari banyak hipotesis tentang
pembentukan substrat neuroanatomi dari gangguan kecemasan.
• Sistem limbiks
Dua bidang sistem limbik telah menerima perhatian khusus
dalam literatur : peningkatan aktivitas di jalur septohippocampal,
yang dapat menyebabkan kecemasan.
• Korteks serebral
Korteks serebral frontal terhubung dengan wilayah
parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus. Korteks
temporal juga telah terlibat sebagai situs patofisiologi pada
gangguan kecemasan.

Patogenesis – Patofisiologi :
ANSIETAS
Gejala cemas atau takut dikaitkan dengan malfungsi amigdala centered
circuit. Neurotransmiter yang mengatur jaras ini adalah serotonin (5-HT),
Gamma Aminobutyric Acid (GABA), Glutamat, Norepinephrine (NE),
Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis (HPA) – Cortico Releasing Factor
(CRF) dan voltage-gated ion channels. Simptom khawatir seperti takut
bersifat dugaan (apprehensive expectation), kesengsaraan (anxious misery),
obsesi, pikiran katastropik dikaitkan dengan malfungsi Cortico Striato
Thalamo Cortical (CSTC) yang diatur oleh 5-HT, GABA, Dopamine (DA),
NE, glutamat dan voltage gated ion channels.
Enzim Catechol-O-Methyltransferase (COMT) yang mengatur
ketersediaan DA di prefrontal cortex (PFC). Berkurangnya ketersediaan DA

30
meningkatkan risiko khawatir dan gangguan cemas, rentan terjadinya
gangguan cemas terutama di bawah stres.
Afek takut diatur oleh hubungan timbal balik antara amigdala dengan
anterior cingulate cortex (ACC) dan amigdala dengan orbitofrontal cortex
(OFC). Hiperaktivitas jaras ini menimbulkan perasaan takut.
Respon takut :
o Sifat akut: mengaktivasi amigdala àpeningkatan aktivitas hypothalamic
pituitary adrenal à pelepasan kortisol dalam jumlah banyak.
Hal ini akan memacu seseorang untuk bertahan hidup.
o Sifat kronik dan menetap: menyebabkan terjadinya suatu kondisi medis
atau komorbiditas medik seperti terjadinya penyakit diabetes, stroke,
penyakit jantung koroner. Respon otonom memberikan respon dari
perasaan takut, menyebabkan tekanan darah meningkat, denyut jantung
meningkat yang diatur oleh hubungan timbale balik antara amigdala
dengan locus coeruelus (LC) atau badan sel noradrenergik.
Aktivasi jangka panjang meningkatkan risiko aterosklerosis, iskemik
jantung, perubahan tekanan darah, variabilitas denyut jantung menurun,
infark miokard, atau kematin mendadak.
Ansietas tidak hanya dicetuskan oleh stimulus eksternal tetapi juga oleh
memori individu

DEPRESI

Gambar 2. Patogenesis-Patofisiologi Depresi

31
Hipotesis monoamin klasik, menyebutkan depresi terjadi karena defisiensi faktor
neurotransmiter monoamin. Hipotesis monoamin terkini, menyebutkan depresi terjadi
karena adanya malfungsi seluruh neurotransmiter trioaminergik (NE, 5-HT, DA) di
berbagai jaras otak. Keterlibatan berbagai neurotransmiter ini ditentukan berdasar tampilan
gejala pada pasien.

Empat garis bukti penting dalam berbagai penelitian yang mengesankan bahwa gejala
ansietas dan gejala depresif terkait secara kausal :
1. Temuan neuroendokrin yang serupa pada gangguan ansietas dan depresif, terutama
gangguan panik, termasuk menumpuknya respons kortisol terhadap hormon
adenokortikotropin, tropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul terhadap
klonidin, dan respon Thyroid Stimulating Hormone (TSH) serta prolaktin yang
tumpul terhadap Thyrotropin Relasing Hormone (TRH).
2. Hiperaktivitas sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan pada sejumlah pasien
dengan gangguan ansiteas dan depresif. Secara rinci, konsentrasi metabolit
norepnefrin 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meningkat dalam urin,
plasma, atau cairan serebro spinal (LCS) pada pasien dengan serangan panik.
Seperti pada gangguan ansietas dan gangguan depresif lain, serotonin dan asam γ-
aminobutirat (GABA) juga mungkin terlibat sebagai penyebab di dalam gangguan
campuran ansietas dan depresi.
3. Obat serotonergik, seperti fluoxetine dan clomipramine, berguna dalam terapi
gangguan campuran ansietas dan depresi.
4. Gejala ansietas dan depresi berhubungan pada secara genetik sedikitnya pada
beberapa keluarga.

Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Ansietas Menyeluruh ditegakkan apabila
dijumpai :
• ansietas sebagai gejala primer, berlangsung hampir setiap hari selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tidak terbatas/ hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
• Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
ü Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb);
ü Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
ü Overaktivitas otonomic (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-
debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb.).
32
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 1. Gejala Ansietas


Ketegangan Motorik • Kedutan otot/ rasa gemetar
• Otot tegang/kaku/pegal
• Tidak bisa diam
• Mudah menjadi lelah
Hiperaktivitas • Nafas pendek/terasa berat
Otonomik • Jantung berdebar-debar
• Telapak tangan basah/dingin
• Mulut kering
• Kepala pusing/rasa melayang
• Mual, mencret, perut tak enak
• Muka panas/ badan menggigil
• Buang air kecil lebih sering
Kewaspadaan • Perasaan jadi peka/mudah ngilu
berlebihan& • Mudah terkejut/kaget
Penangkapan • Sulit konsentrasi pikiran
berkurang • Sukar tidur
• Mudah tersinggung
VI. DIAGNOSIS

Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan


(reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
Adanya gejala-gejala lain yang bersifat sementara (untuk beberapa hari), khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Ansietas Menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32,-), gangguan ansietas
fobik (F40,-), gangguan panik (F41.0) atau gangguan obsesif-kompusif-kompulsif (F42,-
).

Sedangkan untuk gangguan depresif gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan
berat) :
¾ Afek depresif,

¾ Kehilangan minat dan kegembiraan, dan

¾ Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas

Gejala lainnya :
o Konsentrasi dan perhatian berkurang;
o Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
33
o Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
o Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
o Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
o Tidur terganggu;
o Nafsu makan berkurang;

Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi penegakan lebih pendek
dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat;

Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasi dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang
(F33,-).

Diagnosis
Diagnosis gangguan campuran ansietas-depresi dapat ditegakkan apabila ditemukan:
• Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri
• Bila ditemukan ansietas berat disertai depresi yang lebih ringanà pertimbangkan
kategori gangguan ansietas lainnya atau gangguan ansietas fobik
• Bila ditemukan sindrom depresi dan ansietas yang cukup berat untuk menegakkan
masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan
diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan.
Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan
depresif harus diutamakan
• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka
harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian

Teori yang mendasari terjadinya depresi (Faktor Psikologik)


Diduga adanya keterkaitan genetik antara gangguan cemas menyeluruh dan gangguan
depresi berat.
a. Model Psikoanalitik dan Psikodinamik
ü Freud dan Abraham à kontribusi signifikan model psikoanalitik dan
psikodinamik , termasuk kehilangan objek yang diinginkan, introjeksi
ambivalensi terhadap objek yang hilang, agresi pada diri sendiri, dan masokistik.

34
ü Sandler dan Joffe à berasal dari kehilangan kesejahteraan dan akan
memengaruhi kesejahteraan.
ü Jacobson à dapat disebabkan rendahnya kepercayaan diri.

b. Model Kognitif-Perilaku
Beck menyatakan bahwa konsep diri yang negatif, interpretasi negatif terhadap
pengalaman hidup, dan ekspektasi negatif terhadap masa depan merupakan
trias kognisi yang ditemukan pada individu dengan gangguan depresi

c. Model Tanpa Pertolongan


Ketika seseorang dihadapkan pada situasi di luar kemampuan atau kontrol, maka
seseorang akan memercayai bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi masa
depan, yang pada akhirnya mengakibatkan defisit motivasi dan kognitif serta
perasaan tanpa pertolongan atau harapan

d. Model Sistem Keluarga


Keluarga merupakan suatu model dinamis yang memiliki hubungan antara anggota
yang satu dengan yang lain. Permasalahan pada anggota keluarga yang satu akan
menyebabkan gangguan hubungan dengan anggota keluarga yang lainnya.

e. Model Pengendalian Diri


Individu dengan gangguan depresi mengalami defisit satu atau lebih di antara mawas
diri, evaluasi diri sendiri, dan penguatan diri sendiri.

f. Faktor Kepribadian
Hubungan antara faktor kepribadian dan gangguan depresi pada anak belum
banyak diteliti. Kashani dkk pada penelitiannya terhadap nak usia 7-12 tahun
menunjukkan bahwa kepribadian yang rendah diti, putus asa, menarik diti lebih
banyak ditemukan pada anak dengan gangguan gangguan depresi dibandingkan
anak tanpa gangguan depresi.

g. Faktor Sosial
Stres Kehidupan à dianggap sebagai faktor yang berperan dalam terjadinya
gangguan depresi. Penelitian terhadap anak usia 7-12 tahun menemukan bahwa
anak dengan gangguan depresi memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan
dibandingkan anak tanpa gangguan depresi. Gangguan depresi dapat juga
disebabkan karena kurangnya kemampuan dalam menjalin interaksi sosial dengan
sekitar.
35
Penatalaksanaan
Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk
gangguan depresi, terutama depresi berat.
A. Non Farmakologi
o Psikoterapi : meliputi terapi kognitif dan terapi kognitif perilaku (CBT)
Terapi kognitif juga digunakan pada depresi, alasan :
- disfungsi kognitif merupakan inti dari depresi
- Perubahan afektif & psikis yang dihubungkan dengan depresi merupakan
konsekuensi dari disfungsi kognitif.
Tujuan : mengurangi depresi & mencegah berulangnya hal tersebut
Cara : membantu pasien mengidentifikasi & menilai kognisinya yang negatif à
membangun skema pemikiran alternatif yang lebih fleksibel, serta untuk
melatih respon kognitif dan perilakunya à pola pikir berubah à
mengurangi gangguan psikiatriknya.
o Konseling (terhadap keluarga) à agar dapat memberikan dukungan & mengerti
kondisi penyakit pasien, karena kadang memerlukan terapi yang lama. Selain itu
agar pasien mendapatkan pengobatan yang teratur agar tidak terjadi kekambuhan
lagi.
o Edukasi : Pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk bagaimana faktor
perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang
mempunyai dasar fisiologik.
o Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan tindak lanjut, bagaimana
menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke aktivitas normal.
o Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas lambat)
- Bernafas dalam, lambat, tenang dari perut.
- Duduklah dengan nyaman dan punggung tegak
- Tarik nafas melalui hidung dan hitung sampai 3 dengan perlahan
- Tahan nafas hingga hitungan 3 dengan perlahan
- Hembuskan nafas melalui mulut dan hitung hingga 3 dengan perlahan,
lepaskan sebanyak mungkin udara saat mengontraksi otot perut, dan rileks.
- Tarik nafas kembali, ulangi dari awal hingga merasa rileks
- Berlatihlah 2 x 5-10 menit setiap hari walaupun tidak sedang cemas, berlatih
hingga terbiasa mengendalikan cemas dan merasa nyaman
o Anjurkan olah raga teratur, melakukan aktivitas yang disenangi, menerapkan
perilaku hidup sehat, dan selalu berpikir positif serta manajemen stres dengan baik.
o Perhatian khusus pada gangguan panik; beri saran untuk melakukan langkah-
langkah berikut jika terjadi serangan panik:
36
ü Tetap tinggal di tempat hingga serangan berlalu
ü Pusatkan perhatian untuk mengendalikan gangguan ansietas, bukan pada
gejala fisik
ü Bernafas dengan lambat dan rileks. Hiperventilasi akan semakin menambah
ansietasnya.

B. Farmakoterapi : mencakup obat antiansietas, obat antidepresan, atau keduanya.


o Di fasilitas kesehatan tingkat I :
ü Golongan antidepresan yang memiliki sifat anti ansietas
Trisiklik dosis rendah cukup efektif.
Dosis dapat dinaikkan secara bertahap apabila tidak ada perubahan yang
signifikan setelah 2-3 minggu
Contoh obat : fluoksetin 1x10-20 mg/hari ; sertralin 1x25-50 mg/hari ;
amitriptilin 1x12,5-50 mg/hari.
Tappering off : setelah ±4-6 bulan
Catatan: amitriptilin tidak boleh diberikan pada pasien dengan penyakit
jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien lansia karena efek
hipotensi ortostastik (dimulai dosis minimal efektif).
Pasien yang mendapatkan fluoksetin/sertralin dengan gejala kecemasan yang
lebih dominan dan/atau dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi
dengan antiansietas benzodiazepin.

ü Golongan anti ansietas itu sendiri: benzodiazepin.


Contoh : diazepam 1-2 x 2-5 mg ; lorazepam 1-2x0,5-1 mg ; klobazam 1-2 x
5-10 mg.
Tappering off : Setelah ± 2-4 minggu, menjadi < 25% dosis sebelumnya tiap 2
minggu.
Berikan psikoedukasi : saat penurunan dosis obat benzodiazepin mungkin
terjadi sedikit perasaan tidak nyaman, biasanya dalam 2-3 hari akan kembali
seperti biasa, perlu melalui fase adaptasi pada penurununan obat.
Efek samping benzodiazepin termasuk sedasi dan efek pada kognitif dan
psikomotor. Pada penggunaan jangka panjang, dapat berhubungan dengan
masalah ketergantungan dan lepas obat (sering disalahgunakan)

Kriteria Rujukan
ü Gejala menetap, tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2 bulan terapi
ü Gejala progresif dan makin bertambah berat

37
ü Diperlukan tambahan psikoterapi kognitif dan perilaku sehubungan dengan
gangguan yang sudah berlangsung lama (kronis), adanya kepribadian premorbid
tertentu, atau adanya komorbiditas gangguan psikiatrik lain
ü Konfirmasi diagnosis atau meminta second opinion
ü Keterbatasan ketersediaan obat

Pencegahan
Deteksi dini gangguan kecemasan merupakan suatu pencegahan sekunder agar
gangguan kecemasan dapat segera diatasi dengan baik. Masyarakat dapat melakukan
swaperiksa kecemasan di website Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (http://www.pdskji.org/gad.html).

Prognosis
Secara umum prognosis penyakit ini tidak diketahui.
Prognosis ad vitam dapat dikatakan ad bonam apabila tidak ada kondisi yang
membahayakan hidup pasien.
Pada umumnya prognosis gangguan ansietas menyeluruh adalah baik bila mendapat
penatalaksanaan yang sesuai. Sekitar 50% pasien mendapat perbaikan dalam 3 minggu
pertama pengobatan. Sekitar 77% membaik dalam 9 bulan pengobatan. (Kemenkes RI,
2015)
Prognosis gangguan campuran ansietas dan depresi pada umumnya bonam. (IDI, 2014)

Indikator prognostik positif :


- Kooperatif dalam melakukan terapi
- Pendidikan dan taraf intelektual
yang cukup
- Tilikan cukup baik
- Faktor presipitasi jelas, tidak
disertai gejala psikotik
- Memiliki keinginan yang kuat untuk
pulih.

38
Indikator prognostik negatif :
- Adanya gangguan somatik
- Penyesuaian sosial kurang baik
- Hubungan keluarga yang buruk.

Daftar Pustaka
1. Tasman A, Kay J, Lieberman A, dkk. Anxiety disorders: social anxiety disorder and
specific phobia. Dalam: Psychiatry. New York.Wiley Blackwell Publishing. 2014
2. McClure-Tone EB, Pine DS. Clinical features of anxiety disorder. Dalam: Kaplan &
Saddock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry Ninth Edition. New York.
Lippincott William & Wilkins. 2010.
3. Rusdi Maslim, 1998.Rujukan Ringkas PPDGJ-III, Diagnosis Gangguan Jiwa / buku
saku
4. Stahl SM, 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical Application. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press.
5. American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 5th Edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing.
6. Nurmiati Amir, 2013. Buku Ajar Psikiatri, edisi kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. Teter, C. S., Kando, J. C., Wells, B. G., & Hayes, P. E., 2007, Depressive
Disorder,dalam Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G.,&
Posey Micheal, L.,(eds), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,7th Edition,
Appleton and lange, New York.
8. Ikatan Dokter Indonesia. (2014) Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
9. Kementrian Kesehatan RI. (2015) Keputusan menteri kesehatan RI nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa.
10. Kementrian Kesehatan RI. (2019) Infodatin Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia.

Pertanyaan

1. Sediaan bentuk tablet tunggal generik diazepam yang ada adalah sbb:
a. 5 mg
b. 10 mg
c. 15 mg
d. 20 mg
e. 25 mg
39
2. Diazepam merupakan anxiolitik yang mempunyai sifat farmakokinetik sbb:
a. Rapid onset , Short acting
b. Rapid onset , Long acting
c. Intermediate onset , intermediate acting
d. Slow onset , short acting
e. Slow onset , Long acting

3. Berikut merupakan teori yang mendasari kecemasan, KECUALI :


a. Teori psikoanalitik Freud
b. Teori perilaku
c. Teori biologi neurotransmieter (norepinefrin, serotonin, GABA)
d. Teori hipotesis monoamine
e. Teori eksistensial

4. Empat bukti penting bahwa gejala ansietas dan depresif terkait secara kausal,
KECUALI:
a. Menumpuknya kortisol pada gangguan ansietas dan depresi
b. Hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan ansietas dan depresi
c. Obat serotonergic berguna dalam terapi ansietas dan depresi
d. Gejala ansietas dan depresi berhubungan secara genetic
e. Meningkatnya BDNF pada gangguan ansietas dan depresi

5. Yang BUKAN merupakan terapi dari ansietas dan depresi :


a. Teknik relaksasi
b. Obat antidepresan yang memiliki sifat anti ansietas
c. Psikoterapi
d. Terapi kejut listrik
e. Obat antiansietas

Jawaban
1. A
2. B
3. D
4. E
5. D

40
Psikosis
Irna P Gani, Ludovicus, Sugiarto Puradisastra, Cindra Paskaria

Skizofrenia

Definisi
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita,
disorganisasi, dan kemiskinan psikomotor.

Etiologi Skizofrenia
Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai Skizofrenia. Ada beberapa hasil penelitian
yang dilaporkan saat ini:
a. Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada
penderita Skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat
(telah direplika dan dibandingkan) pada subpopulasi pasien. Gangguan yang paling
banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang stabil yang kadang-
kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit; atropi bilateral lobus temporal medial
dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus dan amigdala; disorientasi
spasial sel piramid hipokampus; dan penurunan volume korteks prefrontal
dorsolateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini tampak statis
dan telah dibawa sejak lahir (tidak ada gliosis), dan pada beberapa kasus perjalanannya
progresif. Lokasinya menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui pada Skizofrenia;
misalnya, gangguan hipokampus dikaitkan dengan gangguan memori dan atropi lobus
temporal dihubungkan dengan gejala-gejala negatif pada Skizofrenia. Penemuan lainnya
yaitu adanya antibodi sitomegalovirus dalam cairan serebrospinal (CSS), limfosit
atipikal tipe P (terstimulasi), gangguan fungsi hemisfer kiri, gangguan transmisi dan
pengurangan ukuran korpus kalosum, pengecilan vermis serebri, penurunan aliran darah
dan metabolisme glukosa di lobus frontal (dilihat dengan PET), kelainan EEG, EP P300
auditorik (dengan QEEG), sulit memusatkan perhatian, dan perlambatan waktu reaksi,
serta berkurangnya kemampuan menamakan benda.
Pada individu yang berkembang menjadi Skizofrenia terdapat peningkatan insiden
komplikasi persalinan (prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), lahir pada masa
epidemi influenza), lebih besar kecenderungan lahir pada akhir musim dingin atau awal
musim panas, dan terdapat gangguan neurologi minor. Kemaknaan penemuan-
penemuan ini belum diketahui. Bagaimanapun, ini menunjukkan adanya dasar biologik
dan heterogenitas Skizofrenia.
41
b. Biokimia
Dua senyawa penting yang dibutuhkan dalam metabolisme otak adalah oksigen
dan glukosa. Sumber energi otak terutama didapatkan melalui proses reaksi glikolisis
dan siklus Kreb (Tri Citric Acid Cycle). Pada keadaan hipoglikemia, jalur utama untuk
memenuhi kebutuhan energi otak adalah TCC (asam glutamat à -ketoglutarat). Kerja
banyak saraf diperantarai oleh zat kimia, yang disebut neurotransmiter.
c. Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara siknifikan, kompleks
dan poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), Skizofrenia
adalah gangguan yang bersifat keluarga (misalnya; terdapat dalam keluarga). Semakin
dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko. Pada penelitian anak kembar,
kembar monozigot mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering menjadi sakit bila
dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian adopsi, anak yang mempunyai
orang tua Skizofrenia diadopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka
sakitnya sama dengan bila anak-anak tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang
Skizofrenia.
Frekuensi kejadian gangguan non psikotik meningkat pada keluarga Skizofrenia
dan secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal
(gangguan spektrum Skizofrenia), gangguan obsesif-kompulsif, dan kemungkinan
dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan antisosial.
d. Faktor keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke rumah
sering relaps pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan
di residensial. Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang
hostilitas, memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien,
terlalu ikut campur, sangat pengeritik (disebut Ekspresi emosi tinggi). Pasien
Skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya.
Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh
pada keluarga-keluarga Skizofrenia. komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan
sedikit tak logis. Pada tahun 1956, Beston menggambarkan suatu karakteristik “ikatan
ganda” yaitu pasien sering diminta oleh anggota keluarga untuk merespons pesan yang
bentuknya kontradiksi sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
pola komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh dampak memiliki anak
Skizofrenia.

42
Tanda dan Gejala
Psikotik merupakan kumpulan gejala. Gejala-gejala tersebut dapat berkaitan dengan
banyak gangguan psikotik (termasuk Skizofrenia). Gejala psikotik ditandai oleh
abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, emosi, motivasi, neurokognitif, serta
aktivitas motorik. Gejala pada Skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan
gejala negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan gangguan pikiran formal.
Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang
memilikinya. Tampil dalam bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan pendataran
afek, anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, dan
berkurangnya atensi.

Berikut adalah gejala-gejala yang dapat diamati pada Skizofrenia:


a. Gangguan Pikiran:
- Gangguan proses pikir
gejala-gejala yang menunjukkan adanya gangguan proses pikir. Pikiran pasien sering
tidak dapat dimengerti oleh orang lain dan terdengar tidak logis. Tanda-tanda
diantaranya:
1. Asosiasi longgar : ide pasien sering tidak menyambung. Ide tersebut dapat
melompat dari satu topik ke topik lain yang berhubungan sehingga membingungkan
pendengar. Gangguan ini sering terjadi misalnya dipertengahan kalimat sehingga
pembicaraan sering tidak koheren.
2. Inkoherensi : pikiran yang biasanya tidak dapat dimengerti; berjalan bersama
pikiran atau kata-kata dengan hubungan yang tidak logis atau tanpa tata bahasa,
yang menyebabkan disorganisasi.
3. Tangensial : ketidakmampuan untuk mempunyai asosiasi pikiran yang bertujuan;
pasien tidak pernah berangkat dari titik awal menuju tujuan yang diinginkan.
4. Stereotipik verbal : pola tindakan bicara yang terfiksasi dan berulang.
5. Neologisme : pasien menciptakan kata-kata baru (yang bagi mereka mungkin
mengandung arti simbolik)
6. Terhambat (Blocking) : pembicaraan tiba-tiba berhenti (sering pada pertengahan
kalimat) dan disambung kembali beberapa saat (atau beberapa menit) kemudian,
biasanya dengan topik yang lain. Ini dapat menunjukkan bahwa ada interupsi.
Biasanya pikiran-pikiran lain masuk ke dalam ide pasien. Perhatian pasien sering
sangat mudah teralih dan jangka waktu atensinya singkat.
7. Mutisme : pasien tidak berbicara disebabkan resistensi yang disengaja/tidak
bersuara tanpa kelainan struktural

43
8. Asosiasi bunyi (clang association) : pasien memilih kata-kata berikut mereka
berdasarkan bunyi kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
9. Ekolalia : pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan seseorang.
10. Konkretisasi : pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk
kemampuan berpikir abstraknya.
11. Alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang
disengaja (miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi
sangat sedikit ide yang disampaikan (miskin isi pembicaraan)

- Gangguan isi pikir


Gejala-gejala yang termasuk dalam gangguan isi pikir pada Skizofrenia adalah
adanya waham. Semakin akut Skizofrenia, semakin sering ditemui waham disorganisasi
atau waham tidak sistematis seperti waham kejar, waham kebesaran, waham
dikendalikan, waham nihilistik, waham cemburu, erotomania, waham somatik, waham
rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran. Pada kelompok dengan
predominan gejala negatif akan tampak gejala-gejala seperti alogia dan miskin ide.

b. Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi ditandai dengan gejala:
1. Halusinasi : paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk pengelihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran (paling
sering suara satu atau beberapa orang) dapat pula berupa komentar tentang pasien atau
peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk
ancaman atau perintah-perintah yang langsung ditunjukkan pada pasien (halusinasi
komando). Suara-suara sering (tetapi tidak selalu) diterima pasien sebagai sesuatu yang
berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-
pikiran mereka sendiri berbicara keras (sering memalukannya atau suara yang
memalukan). Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali fase awal Skizofrenia.
2. Ilusi dan depersonalisasi : ilusi yaitu adanya misinterpretasi panca indra terhadap
objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealiasasi
yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat
tidak nyata.

c. Gangguan Emosi
Ada tiga afek dasar yang sering:
1. Afek tumpul atau datar : ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek tersebut
seharusnya diekspresikan, pasien tidak menunjukkan kehangatan.
44
2. Afek tak serasi : afeknya mungkin bersemangat atau kuat tetapi tidak sesuai dengan
pikiran dan pembicaraan pasien.
3. Afek labil : dalam jangka pendek terjadi perubahan afek yang jelas.
4. Kedangkalan respons emosi sampai anhedonia

d. Gangguan penampilan dan perilaku umum


Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas untuk Skizofrenia. Beberapa bahkan
dapat tampil dan berperilaku sama dnegan kebanyakan orang. Gejala-gejala yang
mungkin ditemui dalam kelompok gangguan perilaku diantaranya :
1. Penelantaran penampilan
2. Menarik diri secara sosial
3. Gerakan tubuh yang aneh dan wajah yang menyeringai
4. Perilaku ritual
5. Sangat ketolol-tololan
6. Agresif
7. Perilaku seksual yang tidak pantas
8. Gejala katatonik (stupor atau gaduh gelisah)
9. Fleksibilitas serea : seseorang dapat diatur dalam suatu posisi yang kemudian
dipertahankannya; jika pemeriksa menggerakan anggota tubuh pasien, anggota
tubuh tersebut akan dipertahankan pasien (terasa seakan-akan terbuat dari lilin)
10. Katalepsi : istilah umum untuk suatu posisi yang tidak bergerak yang dipertahankan
terus-menerus.
11. Stereotipik dan mannerism
12. Negativisme : tahanan tanpa motivasi terhadap semua usaha untuk digerakan atau
tahanan tanpa motivasi terhadap semua instruksi.
13. Automatisme perintah (command automatism) : tindakan otomatis yang mengikuti
sugesti
14. Echolalia : Pengulangan kata atau frase orang lain atau lawan bicara. Dapat
ditemukan pada episode manik dan skizofrenia
15. Echopraxia : peniruan pergerakan yang patologis seseorang pada orang lain.

e. Gangguan Motivasi
Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang dengan Skizofrenia.
Gejala-gejala ganggua motivasi diantaranya :
1. Kehilangan kehendak
2. Disorganisasi
3. Tidak berkegiatan

45
f. Gangguan Neurokognitif
Defisit neurokognitif atau intelektual merupakan gambaran inti dari gangguan
Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai:
1. Defisit dalam atensi dan performa
2. Menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah
3. Gangguan dalam memori (termasuk spasial dan verbal), serta
4. Fungsi eksekutif.

Kriteria Diagnosis Skizofrenia :


Menurut PPDGJ III (ICD-10 Chapter V)
Persyaratan normal untuk diagnosis Skizofrenia adalah : dari gejala-gejala di bawah ini
harus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih
apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (a) sampai (d) atau paling
sedikit dua dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian
besar waktu selama satu bulan atau lebih.
a. Thought of echo, thought of insertion, atau thought of withdrawal, dan thought of
broadcasting.
b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence),
atau waham pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau
gerakan ekstremitas, atau pikiran, perbuatan, atau perasaan (sensasi) khusus; delusion
perception.
c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien atau
mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain
yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta
sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau
kekuatan dan kemampuan “mahluk super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain)
e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang
mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang
jelas, atau pun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat
inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme.
g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisme, mutisme, dan stupor.
h. Gejala-gejala negatif seperti bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti
dan respons emosial yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan
46
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunkan kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik.
i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa
aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan,
sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.
Apabila didapati kondisi yang memenuhi kriteria gejala diatas tetapi baru dialami kurang
dari sebulan, maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir Skizofrenia Akut
(F23.2). apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan klasifikasi
ulang.
Kriteria Diagnosis Gangguan Skizoafektif
Berdasarkan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
(PPDGJ-III):

F25 Gangguan Skizoafektif


Pedoman Diagnostik:
- Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala definitif adanya
Skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat yang bersamaan
(simultaneously), atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu
episode penyakit yang sama, dan bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode
penyakit tidak memenuhi kriteria baik Skizofrenia maupun episode manik atau
depresif
- Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala Skizofrenia dan
gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda.
- Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah mengalami suatu
episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi Pasca-Skizofrenia)

F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik


Pedoman Diagnostik
- Kategori ini digunakan baik untuk episode Skizofrenia tipe manik yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe
manik.
- Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tidak begitu
menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak.
- Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua,
gejala skizorenia yang khas.

F 25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif

47
- Kategori ini digunakan baik untuk episode Skizofrenia tipe depresif yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe
depresif.
- Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik depreesif
maupun kelainana perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk episode
depresif.
- Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua,
gejala Skizofrenia yang khas.

F 25.2 Gangguan Skizoafektif Tipe Campuran


- Gangguan dengan gejala-gejala Skizofrenia (F20.-) berada secara bersama-sama
dengan gejala-gejala afektif bipolar campuran (F 31.6)

Kriteria Diagnosis Gangguan Afektif Bipolar berdasarkan PPDGJ-III


F31. Gangguan Afektif Bipolar
Gangguan ini tersifat oleh episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) yaitu
afek pasien dan tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada wakti tertentu terdiri dari
peningkatan afek disertai penambahan energid an aktivitas (mania atau hipomania) dan
pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi).
Episode berulang hanya hipomania atau mania digolongkan sebagai gangguan bipolar.
Episode manik biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai
4-5 bulan (rata-rata sekitar 4 bulan, episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-
rata sekitar 6 bulan) meskipun jarang melebihi 1 tahun kecuali pada orang usia lanjut. Kedua
macam episode itu seringkali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma
mental lain (adanya stres tidak esensial untuk penegakkan diagnosis).
Termasuk : Gangguan atau psikosis manik-depresif
Tidak termasuk : Gangguan bipolar, episode manik tunggal (F30)

F31.0 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik


Pasien saat ini hipomanik, dan mengalami sekurangnya satu riwayat episode afektif
(hipomanik, manik, depresi atau campuran).

F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
Pasien saat ini manik, tanpa gejala psikotik dan memiliki sekurangnya satu riwayat episode
afektif (hipomanik, depresi atau campuran).

F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan Gejala Psikotik
48
Pasien saat ini manik, dengan gejala psikotik dan memiliki sekurangnya satu riwayat
episode afektif (hipomanik, depresi atau campuran).

F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Ringan Atau Sedang
Pasien saat ini depresi, dengan derajat ringa atau sedang, serta sekurangnya satu riwayat
episode afektif hipomanik, manik atau campuran.

F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik
Pasien saat ini depresi berat tanpa gejala psikotik, dan mengalami sekurangnya satu riwayat
episode afektif hipomanik, manik atau campuran.

F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik
Pasien saat ini depresi berat dengan gejala psikotik, dan mengalami sekurangnya satu
riwayat episode afektif hipomanik, manik atau campuran.

F31.6 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran


Pasien sekurangnya mengalami satu riwayat episode afektif hipomanik, manik, depresi atau
campuran, serta saat ini memperlihatkan gejala campuran atau perubahan cepat gejala
manik dan depresi.

31.7 Gangguan Afektif Bipolar, Saat Ini Remisi


Pasien sekurangnya mengalami satu riwayat episode afektif hipomanik, manik, depresi atau
campuran, serta satu episode afektif (hipomanik, manik, depresi atau campuran) tapi saat
ini tidak menderita gangguan mood yang nyata selama beberapa bulan terakhir. Periode
remisi selama profilaksis harus diberi kode.

31.8 Gangguan Afektif Bipolar Lainnya


31.9 Gangguan Afektif Bipolar YTT (Yang Tidak Tergolongkan)

Kriteria Diagnosis Gangguan Afektif Bipolar berdasarkan Diagnostic and Statistical


Manual of Mental Disorder 5th Edition (DSM-5)
• Gangguan Afektif Bipolar Tipe I
Kriteria Diagnostik Episode Mania :
A. Mood elasi, ekspansif atau iritabel yang menetap hampir setiap hari, meningkatnya
aktivitas yang bertujuan atau energi, selama periode tertentu, berlangsung paling
sedikit satu minggu (atau waktunya bisa kurang dari satu minggu bila dirawat inap)
49
B. Selama periode gangguan mood tersebut, tiga (atau lebih) gejala di bawah ini
menetap dengan derajat yang bermakna :
1. Meningkatnya kepercayaan diri atau grandiositas
2. Berkurangnya kebutuhan tidur (merasa segar dengan hanya tidur 3 jam)
3. Bicara lebih banyak dari biasanya atau adanya desakan untuk tetap berbicara
4. Loncatan gagasan atau pengalaman subjektif bahwa pikirannya berlomba
5. Distraktibilitas (perhatian mudah teralih kepada stimulus eksternal yang tidak
relevan atau tidak penting)
6. Meningkatnya aktivitas yang bertujuan (sosial, pekerjaan, sekolah, seksual) atau
agitasi psikomotor
7. Keterlibatan yang berlebihan dalam aktivitas menyenangkan dengan potensi
merugikan (terlalu boros, hubungan seksual yang sembrono, investasi bisnis
yang kurang perhitungan)
C. Gangguan mood sangat berat sehingga menyebabkan hendaya yang jelas dalam
fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa dilakukan, hubungan dengan orang lain,
atau memerlukan perawatan untuk menghindari melukai diri sendiri atau orang lain,
atau dengan gambaran psikotik
D. Episode gejala ini tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung penggunaan zat
(misalnya penyalahgunaan zat, obat, atau terapi lainnya) atau kondisi medik umum

Kriteria Diagnostik Episode Depresi Mayor :


A. Lima (atau lebih) gejala berikut terdapat, paling sedikit, dalam dua minggu, dan
memperlihatkan terjadinya perubahan fungsi. Paling sedikit satu dari gejala ini harus
ada yaitu (1) mood depresi atau (2) hilangnya minat atau rasa senang
• Mood depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang
ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau hampa), atau
yang dapat diobservasi oleh orang lain (misalnya, terlihat menangis)
• Berkurangnya minat atau rasa senang yang sangat jelas pada semua, atau hampir
semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (yang diindikasikan oleh
laporan subjektif atau diobservasi oleh orang lain)
• Penurunan berat badan bermakna ketika tidak sedang diit atau peningkatan berat
badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan) atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari
• Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
• Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diobservasi oleh orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif tentang adanya kegelisahan atau perasaan
menjadi lamban)
• Letih atau tidak bertenaga hampir setiap hari
50
• Rasa tidak berharga atau rasa bersalah berlebihan yang tidak sesuai (mungkin
berupa waham) hampir setiap hari (tidak hanya rasa bersalah karena berada dalam
keadaan sakit)
• Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, ragu-ragu, hampir
setiap hari (baik dilaporkan secara subjektif atau dapat diobservasi oleh orang lain)
• Berulangnya pikiran tentang kematian (tidak hanya takut mati), berulangnya ide-
ide bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau tindakan-tindakan bunuh diri atau
rencana sepsifik untuk melakukan bunuh diri
B. Gejala-gejala menyebabkan penderitaan bermakna atau terjadi hendaya sosial,
pekerjaan atau, fungsi penting lainnya
C. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung dari zat (misalnya,
penyalahgunaan zat) atau kondisi medik umum

• Gangguan Afektif Bipolar Tipe II


Kriteria Diagnostik Episode Hipomania :
A. Mood elasi, ekspansif atau iritabel, meningkatnya aktivitas dan energi yang jelas
terlihat berbeda dan mentap, paling sedikit 4 hari dan terjadi hampir sepanjang waktu,
setiap hari
B. Selama periode gangguan mood dan, dan peningkatan energi serta aktivitas, tiga (atau
lebih) gejala berikut yang menetap (empat bila mood hanya iritabel), dengan derajat
berat yang cukup bermakna :
1. Meningkatnya kepercayaan diri atau grandiositas
2. Berkurangnya kebutuhan tidur (merasa segar dengan hanya tidur 3 jam)
3. Bicara lebih banyak dari biasanya atau adanya desakan untuk tetap berbicara
4. Loncatan gagasan atau pengalaman subjektif bahwa pikirannya berlomba
5. Distraktibilitas (perhatian mudah teralih kepada stimulus eksternal yang tidak
relevan atau tidak penting)
6. Meningkatnya aktivitas yang bertujuan (sosial, pekerjaan, sekolah, seksual) atau
agitasi psikomotor
7. Keterlibatan yang berlebihan dalam aktivitas menyenangkan dengan potensi
merugikan (terlalu boros, hubungan seksual yang sembrono, investasi bisnis yang
kurang perhitungan)
C. Episode yang terjadi berkaitan dengan perubahan yang jelas dalam fungsi yang tidak
khas bagi orang tersebut ketika ia sedang tidak ada gejala
D. Perubahan mood dan fungsi tersbut dapat terlihat oleh orang lain
E. Episode yang terjadi cukup berat untuk menyebabkan hendaya yang jelas dalam fungsi
sosial atau pekerjaan, atau tidak memerlukan rawat inap, tidak gambaran psikotik
F. Episode gejala yang terjadi tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung
51
penggunaan zat (misalnya, penyalahgunaan zat, atau terapi medis)

Kriteria Diagnostik Episode Depresi Mayor :


A. Lima (atau lebih) gejala berikut terdapat, paling sedikit, dalam dua minggu, dan
memperlihatkan terjadinya perubahan fungsi. Paling sedikit satu dari gejala ini harus
ada yaitu (1) mood depresi atau (2) hilangnya minat atau rasa senang
• Mood depresi yang terjadi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, yang
ditunjukkan baik oleh laporan subjektif (misalnya, merasa sedih atau hampa), atau
yang dapat diobservasi oleh orang lain (misalnya, terlihat menangis)
• Berkurangnya minat atau rasa senang yang sangat jelas pada semua, atau hampir
semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (yang diindikasikan oleh
laporan subjektif atau diobservasi oleh orang lain)
• Penurunan berat badan bermakna ketika tidak sedang diit atau peningkatan berat
badan (misalnya, perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan) atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap hari
• Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari
• Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat diobservasi oleh orang
lain, tidak hanya perasaan subjektif tentang adanya kegelisahan atau perasaan
menjadi lamban)
• Letih atau tidak bertenaga hampir setiap hari
• Rasa tidak berharga atau rasa bersalah berlebihan yang tidak sesuai (mungkin
berupa waham) hampir setiap hari (tidak hanya rasa bersalah karena berada dalam
keadaan sakit)
• Berkurangnya kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi, ragu-ragu, hampir
setiap hari (baik dilaporkan secara subjektif atau dapat diobservasi oleh orang lain)
• Berulangnya pikiran tentang kematian (tidak hanya takut mati), berulangnya ide-
ide bunuh diri tanpa rencana spesifik, atau tindakan-tindakan bunuh diri atau
rencana sepsifik untuk melakukan bunuh diri
B. Gejala-gejala menyebabkan penderitaan bermakna atau terjadi hendaya sosial,
pekerjaan atau, fungsi penting lainnya
C. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologik langsung dari zat (misalnya,
penyalahgunaan zat) atau kondisi medik umum

Bersifat :
• Episode berulang (min. 2 episode)
• Afek dan tingkat aktivitas terganggu

52
• Di suatu waktu ada peningkatan afek & energi serta aktivitas (mania/hipomania),
sedangkan di waktu lain sebaliknya (depresi)
• Penyembuhan sempurna antar episode
• Episode manik berlangsung selama 2 minggu – 4 atau 5 bulan dan depresi selama
± 6 bulan
• Sering terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (ada
stres tidak esensial)

Diagnosis Banding
Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif diantaranya :
a. Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus
temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus
erimatosus.
b. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
c. Gangguan skizoafektif
d. Gangguan afektif berat
e. Gangguan waham
f. Gangguan perkembangan pervasif
g. Gangguan kepribadian skizotipal
h. Gangguan kepribadian skizoid
i. Gangguan kepribadian paranoid

Penatalaksanaan
Tiga pengamatan dasar tentang Skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan. Pertama, terlepas dari penyebabnya,
Skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial
psikologis yang unik. Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien
tertentu telah terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan tertolong
oleh pengobatan. Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk Skizofrenia pada
kembar monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa faktor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi
kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan. Jadi, seperti agen
farmakologis digunakan untuk menjawab ketidakseimbangan kimiawi yang diperkirakan,
strategi nonfarmakologis harus menjawab masalah nonbiologis. Ketiga, Skizofrenia adalah
suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapetik tunggal jarang mencukupi
untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan Skizofrenia, penelitian
telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis.
53
Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan
harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien Skizofrenia mendapatkan
manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.

Setelah menyingkirkan kemungkinan organik, Terapi skizofrenia diteruskan secara


menyeluruh.
o Psikoterapi: psikoedukasi dan psikoterapi suportif individual
o konseling keluarga / penjelasan mengenai penyakit untuk memudahkan keluarga
dalam penanganan setelah pulang rawat jalan / rawat inap
o Psikofarmaka/Antipsikotik: contoh:
- Haloperidol 0,5/1,5/5 mg
- Klorpromazin 100 mg
- Risperidon 1/2/3 mg
- Klozapin 25/100 mg
Farmakoterapi harus dilakukan/ ditegaskan dalam 5 tahun permulaan episoda psikosis,
karena pada saat tersebut terjadi pemburukan fungsi psikososial. Pada penggunaan obat
antipsikosis, tujuan yang ingin dicapai adalah “optimal response with minimal side
effects”. Target simptom yang efektif diatasi oleh obat antipsikotik antara lain: agitasi,
penyerangan, permusuhan, halusinasi, delusi, insomnia, anoreksia, kurang dalam
pengurusan diri, negativisme, kadang-kadang penarikan diri. Simptom yang lebih
bervariasi atau lebih lambat diatasi adalah perbaikan motivasi dan kognisi, termasuk
insight, judgment, memori, orientasi dan functional recovery. Hal penting dalam
pengobatan adalah menyederhanakan pemberian obat, efek samping obat dan memastikan
bahwa pasien meminum obatnya.

Obat antipsikotik generasi I (APG-I)


Berdasarkan rumus kimianya, APG-I dibagi menjadi golongan fenotiazin (misalnya
klorpromazin) dan golongan nonfenotiazin (contohnya, haloperidol). Menurut cara
kerjanya terhadap reseptor dopamin, ia disebut Dopamin reseptor Antagonist (DA).
Golongan fenotiazin disebut juga obat-obat berpotensi rendah (low potency),
sedangkan golongan nonfenotiazin disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena
hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan klorpromazin
100mg.
Obat-obat APG-I terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin di otak.
Sistem dopamin yang terlibat adalah sistem nigrostriatal, mesolimbokortikal, dan
tuberoinfundibuler. Manifestasi efek samping yang terjadi berkaitan dengan hambatan
berlebihan pada sistem-sistem tersebut. Bila hambatan pada sistem nigrostriatal
berlebihan, gangguan terutama pada aktivitas motorik dapat terjadi, sedangkan hambatan
54
pada sistem mesolimbokortikal dapat memengaruhi fungsi kognitif. Hambatan yang
berlebihan pada sistem tuberoinfundibuler dapat menyebabkan gangguan endokrin.
Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada
Skizofrenia.Kerja obat ini sangat cepat.Walaupun demikian, ada beberapa efek samping
yang sering dikaitkan dengan injeksi APG-I, misalnya distonia akut dan pemanjangan
QTc. Efek samping ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.

Efek samping
Efek samping dapat dikelompokan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis.
Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut parkinsonism dan Sindroma
Neuroleptik Malignansi (SNM) yang merupakan kondisi emergensi karena dapat
mengancam jiwa. Jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya diskinesia tardiva
(tardive dyskinesia).

Akatisia: Kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita beruba perasaan tidak
nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakan tungkai, terutama kaki..
Distonia Akut: terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai
otot leher, lidah, muka dan punggung.
Parkinsonisme: dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia,
rigiditas, fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti
robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil)
Sindroma neuroleptik malignansi: merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius
dengan gejala utama berupa rigiditas, hiperpiretik, febris tinggi, gangguan sistem saraf
otonom, delirium, dapat kejang-kejang dan koma.

Tabel 1. Beberapa obat untuk efek samping ekstrapiramidal


Nama generik Dosis Waktu paruh eliminasi Target efek samping
(mg/hari) (mg/hari) ekstrapiramidal
Triheksifenidil 1-15 4 Akatisia, distonia, parkinsonism
hidroklorid
Amantadin 100-300 10-14 Akatisia, parkinsonism
Propanolol 30-90 3-4 Akatisia
Lorazepam 1-6 12 Akatisia
Difenhidramin 25-50 4-8 Akatisia, distonia, parkinsonism
(oral/parenteral)

Obat APG-II

55
Karena dosis yang efektif untuk mengatasi gejala Skizofrenia tidak menimbulkan
efek samping ekstrapiramidal, jenis obat ini disebut dengan APG-II.Efek terapetiknya
didapat melakui kerjanya sebagai antagonis reseptor serotonin dan dopamin.APG-II
mempunyai efek terapetik yang lebih luas dibanding APG-I terutama terhadap simptom
negatif.Banyak penderita schizofren yang gagal dengan APG-I, menunjukkan perbaikan
signifikan dengan APG-II.
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi
pada fase akut Skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila
dibadingkan dengan APG-I.hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka
pendek APG-II, misalnya olanzapin, aripiprazole, dan ziprasidon efektif mengontrol
agitasi pada fase akut Skizofrenia.
Risperidon dimasukkan dalam obat antipsikotik lini pertama, sedangkan klozapin
dicadangkan untuk penderita skizofrenia berat yang refrakter pada pengobatan tradisional,
karena menekan sumsum tulang / agranulositosis berat dan gangguan kardiovaskuler.

Tabel 2. Tabel Obat Antipsikotik yang sering digunakan


Obat antipsikotik Rentang dosis Ekuivalen klorpromazin Waktu paruh
Anjuran (mg/hari) (mg/hari) (jam)
Antipsikotik Generasi I
Klorpromazin 300-1000 100 6
Flufenazin (Anatensol®) 5-20 2 33
Perfenazin (Avomitl®) 16-64 10 10
Thioridazin (Melleril®) 300-800 100 24
Trifluoperazin 15-50 5 24
Haloperidol (Haldol®) 5-20 2 21
Loksapin 30-100 10 4
Antipsikotik Generasi II
Aripiprazol (Abilify®) 10-30 75
Klozapin (Clozaril®) 150-600 12
Olanzapin (Zyprexa®) 10-30 33
Quetiapin ( Serouel®) 300-800 6
Risperidon ( Risperdal®) 2-8 24
Dalam pengobatan Skizofrenia terdapat 3 fase, yaitu:
1. Fase akut / Terapi Inisial
Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanaan
segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadinya
kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan
gejala psikotikDiberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari
dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 4-8 minggu,
sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.
2. Terapi pengawasan / fase stabilisasi
56
Setelah fase akut terkontrol, orang dengan skizofrenia (ODS) memasuki fase
stabilisasi. Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini, terutama bila obat
dihentikan atau ODS terpapar stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah
konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada
fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnya gejala akut.
Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan lebih kurang 8 – 10
minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.
3. Terapi pemeliharaan / fase stabil
Penyakit pada fase ini dalam keadaan remisi. Target terapi pada fase ini adalah
untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi Dalam tahap
pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai diturunkan secara bertahap
sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat dipertahankan tanpa menimbulkan
kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka panjang tergantung perjalanan penyakit,
dapat sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila
kondisi aku pertama kali maka terapi diberikan sampai 2 tahun. Dan bila sudah berjalan
kronis dengan beberapa kali kekambuhan makan terapi diberikan sampai 5 tahun.
Bahkan seumur hidup bila dijumpai riwayat agresifitas berlebihan, baik terhadap diri
sendiri maupun orang lain misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.

Intervensi Psikososial
Tatalaksana Skizofrenia yang optimal seyogyanya merupakan keterpaduan antara
intervensi medis dengan intervensi psikososial. Beberapa studi membuktikan bahwa
intervensi psikososial bermanfaat dalam menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi
kebutuhan rawat kembali di rumah sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala
penyakitnya, meningkatkan kapasitas fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan
kehidupan berkeluarga. Intervensi psikososial bisa dimulai sedini mungkin namun
hendaknya disesuaikan dengan fase perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan ODS dan
keluarganya sejak awal. Melalui intervensi psikososial, ODS dan keluarga diajak untuk
memahami perjalanan penyakit, perkembangan gejala, dan menyusun harapan yang lebih
realistik untuk kehidupan dan masa depannya.
Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk individu
meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas. Saat ini intervensi psikososial
dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan RECOVERY, yaitu suatu
pendekatan yang melihat proses pemulihan sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan
transformasi yang memampukan orang dengan masalah kesehatan jiwa (ODGJ) untuk
hidup secara bermakna di masyarakat berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang
dimilikinya.

57
Dari sejak awal ODS dan keluarga diajak bekerja sama menyusun rencana
tatalaksana dan target pemulihan yang realistis dan mungkin dicapai. Berdasarkan
tujuannya, intervensi psikososial memiliki ruang lingkup sebagai berikut:

Tabel 3. Intervensi psikososial berdasarkan tujuan yang akan dicapai (WHO, 1996)
Tujuan Langkah-langkah
Menurunkan gejala Memberikan terapi yang sesuai (farmakoterapi dan
psikoterapi), intervensi psikososial
Menurunkan efek negatif dari Mengurangi dan menghilangkan konsekuensi serta
perawatan dampak fisik dan perilaku akibat intervensi medik.
Mencegah efek perawatan jangka panjang.
Meningkatkan kompetensi sosial Meningkatkan kapasitas individu dalam
keterampilan sosial, koping psikologis, dan fungsi
okupasi
Menurunkan stigma dan diskriminasi
Dukungan keluarga Untuk keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami gangguan jiwa
Dukungan sosial Membangun dan memelihara dukungan terutama
untuk kebutuhan dasar (rumah, pekerjaan, jaringan
sosial, dan waktu luang)
Pemberdayaan konsumer Meningkatkan autonomi konsumer dan keluarga.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, terdapat 8 area psikososial yang perlu dinilai,
yaitu:
1. Psikiatrik (manajemen gejala)
2. Sosial (hubungan dalam keluarga dan masyarakat)
3. Vokasional dan edukasional (keterampilan menyelesaikan masalah, motivasi)
4. Keterampilan hidup dasar (kebersihan dan perawatan diri)
5. Finansial (budget)
6. Sumber-sumber di masyarakat dan aspek legal
7. Kesehatan atau medical (konsistensi dalam pengobatan)
8. Perumahan (lingkungan yang aman)

Strategi untuk menyelenggarakan intervensi psikososial dapat diterapkan ditingkat


individu maupun komunitas. Di tingkat individu, strategi yang dapat dijalankan berupa
penatalaksanaan farmakologis, latihan keterampilan sosial dan keterampilan hidup dasar,
dukungan psikologis bagi ODS dan keluarga, perumahan, rehabilitasi vokasional, jaringan
dukungan sosial, dan pemanfaatan waktu luang. Di tingkat komunitas, intervensi yang
dapat diberikan ditujukan untuk menggalang opini dan sikap yang lebih positif.

58
Pendekatan psikososial diterapkan secara individu sesuai dengan kebutuhan spesifik
dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan
dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang
dianggap efektif untuk Skizofrenia adalah:
1. Psikoedukasi
2. Intervensi keluarga
3. Terapi kognitif perilaku (CBT)
4. Pelatihan keterampilan sosial
5. Terapi vokasional
6. Remediasi kognitif
7. Dukungan kelompok sebaya

Prognosis
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara berangsur-
angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien
dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas
(samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan
berjalannya waktu, tetapi pasien secara kronik membutuhkan perlindungan atau
menghabiskan waktunya bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa.
Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi
(misalnya, menggelandang, mengganggu keamanan) dan sering dikaitkan dengan
penyalahgunaan obat. Sebagian kecil pasien menjadi demensia. Secara keseluruhan
harapan hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan
ketidakmampuannya merawat diri.
Sebelumnya, Skizofrenia dibedakan antara Skizofrenia proses (terjadinya
berangsur-angsur, perjalanannya kronik deteriorasi) dan Skizofrenia raktif (awitan cepat,
prognosis lebih baik). Selain itu, Skizofrenia juga dibedakan antara gejala positif
(halusinasi, waham, perilaku aneh, dll) yang biasanya berespons terhadap antipsikotik
konvensional, dan gejala negatif (afek datar, miskin pembicaraan, anhedonia, penarikan
diri dari sosial, dll) yang tidak berespons terhadap antipsikotik konvensional (berespons
lebih baik terhadap obat antipsikotik baru)
Gambaran klinik yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu:
1. awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi dengan secara mendadak
2. awitan terjadi setelah umur 30 tahun, terutama pada perempuan
3. fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik. Performa
sebelumnya tetap merupakan prediktor terbaik untuk meramalkan performa di
masa datang.

59
4. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut
(simptom positif); beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu;
5. Kemungkinan adanya suatu stresor yang mempresipitasi psikosis akut dan tidak
ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP).
6. Tidak ada riwayat keluarga menderita Skizofrenia.

Meskipun ada variabilitas yang besar, tipe disorganisasi (hebefrenik) secara umum
mempunyai prognosis yang buruk, tetapi tipe paranoid (dan beberapa katatonik)
mempunyai prognosis baik. Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan
zat atau hidup dalam keluarga yang tidak harmonis.

Tabel 4. Gambaran yang Menunjukkan prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia

Prognosis baik Prognosis Buruk


Onset lambat Onset muda
Faktor pencetus yang jelas Tidak ada faktor pencetus
Onset akut Onset yang jelas
Riwayat sosia,l seksual dan pekerjaan Riwayat sosial, seksual, dan pekerjaan
pramorbid yang baik pramorbid yang buruk
Gejala gangguan mood (terutama gangguan Perilaku menarik diri, aufistik
depresif) Tidak menikah, bercerai, atau janda/duda
Menikah Riwayat keluarga Skizofrenia
Riwayat keluarga gangguan mood Sistem pendukung yang buruk
Sistem pendukung yang baik Gejala negatif
Gejala positif Tanda dan gejala neurologis
Riwayat trauma perinatal
Tidak ada remisi dalam tiga tahun
Banyak relaps
Riwayat penyerangan
Daftar Pustaka

1. Sadock BJ and Sadock VA, 2009. Kaplan & Sadock’sComprehensive Textbook of


Psychiatry, 9th editon. Hal 1432-1628
2. Rusdi Maslim, 1998.Rujukan Ringkas PPDGJ-III, Diagnosis Gangguan Jiwa /
buku saku
3. Stahl SM, 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical Application. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press.
4. American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 5th Edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing.
5. Nurmiati Amir, 2013. Buku Ajar Psikiatri, edisi kedua. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

60
Pertanyaan

1. Salah satu contoh obat anti psikotik generasi 2 adalah:


a. Klozapin
b. Thioridazin
c. Trifluoperazin
d. Loksapin
e. Haloperidol

2. Pengobatan fase akut pada pasien skizofrenia dicapai dalam waktu:


a. 1-2 minggu
b. 2-4 minggu
c. 4-8 minggu
d. 8-12 minggu
e. 12-16 minggu

3. Obat yang dipakai sebagai lini pertama dari anti psikotik generasi 2 adalah:
a. Risperidon
b. Aripiprazol
c. Klozapin
d. Olanzapin
e. Quetiapin

4. Salah satu contoh efek samping yang dapat terjadi setelah pemberian obat APG
generasi 1 adalah:
a. Akatisia
b. Hipertensi
c. Vertigo
d. Nausea-Vomitus
e. Rash

5. Yang termasuk gangguan neurokognitif adalah:


a. Defisit dalam atensi dan performa
b. Kehilangan kehendak
c. Disorganisasi
d. Echolalia
e. Negativisme
61
Jawaban
1. A
2. C
3. A
4. A
5. A

62
63

Anda mungkin juga menyukai