BUKU AJAR
ILMU KESEHATAN JIWA
Editor Utama
dr. Larissa, Sp.PK., MMRS.
Editor
dr. Ade Kurnia Surawijaya, Sp.KJ.
2
Kata Sambutan
3
Daftar Isi
Editor ............................................................................................................... i
Kata Sambutan ............................................................................................... ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
Gangguan Tidur (Insomnia) ....................................................................... 1
Pertanyaan ............................................................................................... 9
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif ... 11
Pertanyaan ............................................................................................. 25
Gangguan Campuran Ansietas dan Depresi ........................................... 27
Pertanyaan ............................................................................................. 39
Psikosis ........................................................................................................ 41
Skizofrenia ............................................................................................ 41
Pertanyaan ............................................................................................ 61
4
Gangguan Tidur (Insomnia)
Allen A. Pelapelapon, Harry T. Hadi, Jo Suherman
Definisi
Menurut DSM-5, gangguan insomnia adalah kesulitan untuk memulai
tidur, mempertahan tidur, atau bangun lebih dini dan tidak mampu
melanjutkan tidur, terjadi setidaknya 3 kali per minggu selama setidaknya 3
bulan, yang menyebabkan gangguan klinis dalam area fungsi penting hidup
seperti sosial, pekerjaan, akademis, dll.
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Insomnia
Psychophysiological Kondisi arousal yang berhubungan dengan pikiran tidur.
Insomnia (PPI) Objek yang berhubungan tidur (kamar tidur, tempat
tidur, dst) menjadi stimulus yang mencetuskan
insomnia.
Idiopathic Insomnia Insomnia yang tidak diketahui penyebabnya. Insomnia
mendahului kondisi psikiatri apapun.
Paradoxical Insomnia Seseorang berpikir dirinya bangun dan mengalami
insomnia walaupun aktivitas EEG menunjukkan hasil
yang konsisten seperti tidur normal. Pasien mengeluh
sulit memulai tidur atau mempertahankan tidur, namun
tidak ada bukti yang menunjukkan adanya gangguan
tidur.
Inadequate Sleep Insomnia yang disebabkan perilaku yang tidak kondusif
Hygiene untuk menghasilkan tidur yang berkualitas. Cth/
konsumsi kafein, alkohol, dst.
Behavioral Insomnia of Insomnia yang terjadi karena adanya pola
Childhood ketergantungan terhadap objek/suasana spesifik tertentu
saat anak-anak. Cth/ tidak bisa tidur kalau tidak
menggunakan bantal yang digunakan sejak masih anak-
anak.
Insomnia Comorbid Insomnia yang berhubungan dengan gangguan
with Mental Disorder kesehatan mental. Cth/ depresi à mayoritas kasus
insomnia.
Insomnia Comorbid Insomnia yang berhubungan dengan gangguan
with Medical Condition kesehatan fisik. Cth/ GERD, PPOK
Insomnia due to Drug Insomnia yang disebabkan obat-obat tertentu Cth/ obat
or Substance dekongestan à mengandung pseudoephedrine.
1
Short Sleeper Kondisi seseorang tidur kurang dari 5 jam sehari, namun
dapat berfungsi normal dalam aktivitas sehari-hari
(walaupun jumlah jam tidur kurang).
Epidemiologi
Prevalensi : 12-15% populasi AS
Insidensi:
• Usia lanjut: Insidensi semakin meningkat seiring bertambah usia
• Wanita: Wanita berisiko insomnia lebih tinggi 1.44x dibanding pria
• Finansial: Meningkat pada golongan sosial menengah ke bawah.
Faktor Risiko
Beberapa gangguan kesehatan fisik dan/atau mental dapat meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Begitupun sebaliknya, seseorang dengan insomnia
dapat meningkatkan risiko terjadinya gangguan kesehatan baik fisik maupun
mental.
Lima puluh persen orang dengan gangguan psikiatri mengalami insomnia.
Gangguan psikiatri yang paling sering berhubungan dengan insomnia adalah
gangguan afektif (mis. major depression disorder), dan gangguan cemas (mis.
generalized anxiety disorder atau PTSD). Gangguan kesehatan secara fisik
yang berhubungan dengan insomnia misalnya akibat sesak, nyeri, nokturia,
dan gangguan saraf.
Etiopatogenesis
Diagnosis Banding
• Depresi
• Obstructive Sleep Apnea (OSA)
• Restless Leg Syndrome
• Circadian Rhytm Disorder
• Periodic Limb Movement Disorder
Pemeriksaan Penunjang
Sleep Diary
Pasien diminta untuk mencatat jadwal tidur selama 1-2 minggu. Sleep
diary digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih komprehensif
mengenai kondisi insomnia pasien agar terapi yang diberikan dapat
disesuaikan dengan kondisi pasien.
3
Gambar 2. Sleep Diary
Polisomnografi
Polisomnografi secara umum tidak diindikasikan untuk insomnia, kecuali:
• jika dicurigai adanya sleep apnea, periodic limb movement disorder.
• jika intervensi yang telah dilakukan (farko/non-farko) tidak berhasil.
Jika perlu dilakukan pemeriksaan polisomnografi, pasien dirujuk ke fasilitas
sleep clinic.
Penatalaksanaan
Non-Farmakologis (Cognitive Behavioral Therapy for Insomnia/CBT-I)
CBT-I merupakan pendekatan yang paling cocok digunakan untuk
insomnia primer dan efektif sebagai terapi adjuvan pada insomnia dengan
komorbid. CBT-I bertujuan untuk mengatasi perpetuating factor. Keterbatasan
dari CBT-I adalah perlu tenaga terlatih dan membutuhkan waktu lama (rata-
rata membutuhkan 6 sesi selama 6 minggu dengan durasi 20-40 menit per
sesi).
4
Gambar 3. Komponen CBT-I
Farmakologis (Hipnotik-Sedatif)
Sebelum pemberian obat, pasien diminta mencatat pola tidur dalam
sleep diary selama 1-2 minggu. Jika masalahnya sulit memulai tidur, maka
pilihlah obat yang memiliki onset of action cepat (zolpidem, zaleplon). Jika
masalahnya sulit mempertahankan tidur, maka pilihlah obat yang memiliki
waktu paruh lama (temazepam, estazolam, flurazepam). Jika pasien depresi,
maka pertimbangkan menggunakan antidepresan dengan efek sedasi
(trazodone, mirtazapine, amitriptilin).
Benzodiazepin
• Mekanisme kerja : berikatan pada bagian alosterik reseptor GABAA à
aktivitas GABA VLPO (sleep promoter) meningkat à inhibisi TMN
(wake promoter) à tidur.
• Efek : SL↓, TST↑, N2↑ , REM↓, ansietas↓.
• Efek samping : gangguan fungsi memori, mengantuk saat pagi/siang
hari (meningkatkan risiko kecelakaan!), dependensi!.
• Cth/
• Long acting : flurazepam, quazepam
• Intermediate acting : temazepam (15-30 mg noct), estazolam
• Short acting : triazolam
Antidepresan
• MK : menghambat reseptor neurotransmitter wake promoter (5HT,
NE, dan HA) à tidur
• Cth/ amitriptyline, trimipramine, doxepin, trazodone, mirtazapin
Antihistamin
• Antihistamin à OTC drugs.
• masih bersifat off-label
• menyebabkan rasa mengantuk saat pagi/siang hari dan
menimbulkan efek samping antikolinergik (konstipasi dan
mulut kering) yang dapat menyebabkan masalah khususnya
pada lansia.
• MK : antagonis reseptor H1 à menganggu transmisi histamin dari
TMN (wake promoter) à tidur
• Cth/ difenhidramin
6
Melatonin Agonist
• MK : berikatan dengan reseptor melatonin (MT1 & MT2) à aktivasi
SCN à aktivasi VLPO (sleep promotor) à tidur.
• Efek : SL↓ 10-15 menit, TST↑ 10-15 menit.
• Efek samping lebih sedikit dibanding BZD atau non-BZD sedatives
• Tidak ada efek hipnotik pada keesokan harinya
• Tidak menimbulkan dependensi
• Cth/ Ramelteon
Pencegahan
• Membiasakan sleep hygiene yang baik.
• Segera tangani masalah kesehatan baik fisik maupun mental yang
berpotensi menyebabkan insomnia.
Komplikasi
• Psikiatri: Risiko seseorang yang tidak depresi menjadi depresi
meningkat 2 kali lebih tinggi.
• Medis: Hipertensi, DM tipe 2, sindrom metabolik, dst.
Prognosis
• Quo ad vitam: ad bonam à insomnia tidak secara langsung
menyebabkan kematian.
• Quo ad functionam: dubia ad bonam à insomnia menganggu aktivitas
sehari-hari, namun jika tertangani baik dapat meningkatkan kualitas
hidup.
• Quo ad sanationam: dubia ad bonam à insomnia masih dapat kambuh.
Daftar Pustaka
1. Saddock BJ, Saddock VA, Ruiz P. 2017. Kaplan & Saddock’s
Comprehensive Textbook of Psychiatry. Tenth Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer.
2. Stahl S.M. 2013. Stahl's Essential Psychopharmacology
Neuroscientific Basis and Practical Applications. Fourth Edition. New
York: Cambridge University Press.
3. Substance Abuse and Mental Health Services Administration. Impact
of the DSM-IV to DSM-5 Changes on the National Survey on Drug
7
Use and Health [Internet]. Rockville (MD): Substance Abuse and
Mental Health Services Administration (US); 2016 Jun. Table 3.36,
DSM-IV to DSM-5 Insomnia Disorder Comparison. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519704/table/ch3.t36/
4. Winkelman JW. Insomnia Disorder. N Engl J Med 2015;373:1437-44.
5. Schutte-Rodin S, Broch L, Buysse D, Dorsey C, Sateia M. Clinical
guideline for the evaluation and management of chronic insomnia in
adults. J Clin Sleep Med. 2008;4:487–504.
6. Monti JM. The neurotransmitters of sleep and wake, a physiological
reviews series. Sleep Med Rev. 2013;17:313–315.
doi:10.1016/j.smrv.2013.02.004.
7. Mitchell MD, Gehrman P, Perlis M, Umscheid CA. Comparative
effectiveness of cognitive behavioral therapy for insomnia: a
systematic review. BMC Fam Pract 2012; 13: 40.
8. Morin CM, Vallières A, Guay B, et al. Cognitive behavioral therapy,
singly and combined with medication, for persistent insomnia: a
randomized controlled trial. JAMA 2009; 301: 2005-15.
9. Guyton and Hall. 2011. Textbook of Medical Physiology. 12th Ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia
10. Saper et al. Hypothalamic Regulation of Sleep and Circadian Rhythms.
Nature 2005;437:1257-1263.
11. Taylor DJ et al. Comorbidity of Chronic Insomnia With Medical
Problems. Sleep 2007;30(2):213-8.
12. Baglioni C et al. Insomnia as a predictor of depression: A meta-
analytic evaluation of longitudinal epidemiological studies. Journal of
Affective Disorders 2011;135:10–19
13. Mitchell MD et al. Comparative effectiveness of cognitive behavioral
therapy for insomnia: a systematic review. BMC Family Practice
2012;13:40
14. Wu R, Bao J, Zhang C, Deng J, Long C. Comparison of sleep condition
and sleep-related psychological activity after cognitive-behavior and
pharmacological therapy for chronic insomnia. Psychother Psychosom
2006;75:220–228.
8
Pertanyaan
1. Yang termasuk predisposing factor menurut teori spielman model
adalah
a. Mutasi gen CLOCK
b. Kebiasaan merokok
c. Kebiasaan minum alkohol
d. Kehilangan pekerjaan
e. Napping terlalu banyak
Jawaban:
1. A
2. C
3. E
4. D
5. A
10
Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan
Zat Psikoaktif
Ade Kurnia S, Adrian Suhendra, Budi Widyarto L, Lusiana D,
Wenny Waty
Definisi
ü Zat Psikoaktif adalah substansi yang apabila dikonsumsi akan
berpengaruh pada pikiran. Kelompok zat psikoaktif (PPDGJ- III):
alkohol, opioida, kanabinoida, sedatif/hipnotika, kokain, stimulansia lain
termasuk kafein, halusinogenika, tembakau dan pelarut yang mudah
menguap/solven.
ü Toleransi (tolerance) yaitu menurunnya respon terhadap dosis obat yang
terjadi pada penggunaan terus menerus dari suatu obat. Hal inilah yang
menyebabkan, bahwa untuk mendapatkan efek yang sama seperti awal
penggunaan, kebutuhan pengguna terhadap zat psikoaktif yang biasa
dipakai makin lama makin meningkat.
ü Putus Zat, “sakaw“/“sakau“ (wihtdrawal Syndrome) adalah sekumpulan
gejala yang terjadi pada penghentian atau pengurangan penggunaan zat
psikoaktif yang dapat disertai dengan tanda-tanda gangguan fisiologis.
ü Sindroma ketergantungan (dependence syndrome), adalah sekumpulan
gejala yang melibatkan perilaku, kognitif, dan fisiologis yang
berkembang setelah penggunaan zat berulang kali; biasanya termasuk
keinginan yang kuat untuk konsumsi zat, gangguan kontrol atas
penggunaannya, penggunaan terus menerus meskipun memiliki
konsekuensi berbahaya, peningkatan toleransi, dan kadang-kadang
disertai dengan gangguan fisik
Faktor Risiko
Mekanisme terjadinya penyalahgunaan NAPZA ini biasanya
disebabkan oleh adanya interaksi dari beberapa faktor, yaitu :
- faktor predisposisi (kepribadian tertentu, kecemasan, keadaan depresi)
- faktor kontribusi (kondisi keluarga)
- faktor pencetus (zat itu sendiri)
11
Mengenai faktor predisposisi ini beberapa ahli juga membagi kedalam dua
kelompok, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan.
1.Faktor individu yang meliputi :
- rasa ingin tahu yang kuat dan ingin mencoba
- tidak tegas terhadap tawaran/pengaruh teman sebaya
- penilaian diri yang negatif seperti merasa kurang mampu dalam
pelajaran, pergaulan, penampilan diri atau tingkat/status sosial ekonomi
yang rendah
- kurang percaya diri dalam menghadapi tugas
- untuk mengurangi rasa tidak enak, ingin menambah prestasi
- tidak tekun dan cepat jenuh
- sikap memberontak terhadap peraturan/tata tertib
- pernyataan diri sudah dewasa
- identitas diri yang kabur akibat proses identifikasi dengan orang
tua/penggantinya yang kurang berjalan dengan baik, atau gangguan
identitas jenis kelamin, merasa diri kurang jantan
- mengalami depresi, cemas, hiperkinetik
- persepsi yang tidak realistis
- kepribadian dissosial (perilaku yang menyimpang dari norma yang
berlaku)
- penghargaan sosial yang kurang
- keyakinan bahwa penggunaan zat merupakan lambang keperkasaan atau
kemodernan
- kurang menghayati ajaran agama
Klasifikasi NAPZA
13
Napza yang memiliki efek stimulan akan mempercepat atau merangsang
kerja sistem susunan syaraf pusat dan pesan ke dan dari otak. Stimulan juga
meningkatkan detak jantung, tekanan darah dan suhu tubuh dan sering
membuat orang lebih sadar dan waspada.
Narkotika golongan I
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : heroin, kokain, ganja.
Narkotika golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : morfin, petidin, turunan/garam dalam golongan tersebut.
15
Menurut UU RI No.35 /2009 tentang Psikotropika, yang dimaksud dengan
psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah ataupun sintetis bukan narkotik,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada SSP yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika dibedakan dalam golongan- golongan sebagai berikut :
Psikotropika golongan I.
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh : MDMA, Ekstasi, LSD, STP
Psikotropika golongan II
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan untuk terapi
dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi
kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : amfetamin,
fensiklidin, sekobarbital, metakualon, metilfenidat (ritalin)
Psikotropika golongan IV
Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan, serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : diazepam,
klobazepam, bromazepam, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam
(BK,DUM,MG)
Minuman Keras
16
Menurut peraturan Menkes No. 36 tahun 1977 , minuman keras dibagi dalam
3 golongan :
Golongan A, kadar ethanol 1- 5% (bir)
Golongan B, kadar ethanol 5- 20% (anggur)
Golongan C, kadar ethanol 20- 40% (whiski, vodka, brandy)
Manifestasi Klinis
Berikut ini adalah tanda/ciri-ciri yang patut menimbulkan dugaan, bahwa yang
bersangkutan adalah pengguna NAPZA:
- Prestasi akademik/kerja menurun, minat bergaul dan olah raga tidak ada
lagi
- Disiplin dan sopan santun menurun, mengabaikan perawatan dan
kerapihan diri
- Menghindar dari perhatian orang lain, menyendiri terutama ditempat-
tempat yang tidak biasa tanpa alasan yang jelas (gudang, kamar mandi,
sudut belakang rumah dll.)
- Cepat tersinggung dan mudah marah
- Suka mencuri, curang, tidak jujur (pembohong), menghindar dari
tanggung jawab
- Bergaul dengan pengguna/pengedar NAPZA
- Diantara barang milik pribadi ditemukan alat suntik, amplop berisi
rajangan daun kering, bubuk putih-kekuningan, tablet/ kapsul
- Lain-lain: sering mengalami cidera jasmani, menderita penyakit infeksi
tertentu (hepatitis, AIDS, endokarditis dll.), kejang-kejang terutama
terjadi pertama kali pada usia 10-30 tahun, gangguan paru dan keadaan
umum yang buruk.
Diagnosis.
Menegakkan diagnosis tidak selalu mudah, keterangan pengguna sering tidak
bisa dipercaya (menyangkal/mengecilkan masalah), sedangkan keterangan
keluarga biasanya juga tidak lengkap. Meskipun demikian, dengan catatan
tentang keterbatasannya, keterangan pengguna dan keluarganya tetap
diperlukan untuk mendapatkan “gambaran” riwayat penggunaan zat
psikoaktif. Selanjutnya pemeriksaan fisik tentang tanda-tanda pemakaian akan
memperkuat dugaan penggunaan zat psikoaktif dan diagnosis pasti adalah
melalui pemeriksaan laboratorium (urin atau darah) terhadap zat psikoaktif
yang dicurigai (Siregar, 1990)
Kedua tahap ini dilaksanakan secara rawat inap, sedang tahap selanjutnya
dilaksanakan diluar tempat perawatan.
Daftar Pustaka
1. PPDGJ III (DepKes R I 1993)
2. Kaplan H.I, Sadock B.J. Emergency Psychiatry. Philadelphia. Lippincot,
Williams and Wilkins. 1994.
3. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Buku Saku Kegawatdarutan Psikiatri, Departemen Kesehatan
5. Robin et all. Alcohol use disorder: pathophysiology, effects, and
pharmacologic options of treatment. NCBI. Published online 2014 Jan
23. doi: 10.2147/SAR.S37907
6. Javier et all. Cannabinoid–Dopamine Interaction in the Pathophysiology
and Treatment of CNS Disorders. CNS Neuroscience & Therapeutics 16
(2010) e72–e91 c 2010 Blackwell Publishing Ltd.
7. American Psychiatric Association, Practice Guideline for the treatment of
patients with delirium,2010
8. Schuckit M.A, Recognition and management of withdrawal delirium
(Delirium tremens), N Engl J Med 2014;371:2109-13
9. Kaplan HI, Sadock BJ. Substance Abuse. Synopsis of Psychiatry,
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 8th edition, Lippincott Williams
and Wilkins, Baltimore, 1998.
10. Ries R, Fiellin D, Miller S. Priciples of Addiction Medicine, 4th edition,
Lippincott Williams and Wilkins, baltimore, 2003
24
Pertanyaan
Jawaban
1. B
2. A
3. A
4. B
5. A
26
Gangguan Campuran Ansietas Dan Depresi
Julia Windi G, Lusiana Darsono, Ade Kurnia S, Cindra Paskaria
Definisi
Merupakan gangguan yang ditandai gejala-gejala ansietas dan depresi
bersama-sama, dan masing-masing gejala tidak menunjukkan rangkaian
gejala yang cukup berat untuk dapat ditegakkannya suatu diagnosis
tersendiri.
Untuk gejala ansietas, beberapa gejala otonomik harus ditemukan
walaupun tidak terus-menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran.
Epidemiologi
Dalam 3 dekade, gangguan depresi menduduki peringkat ke 1 diantara
10 penyakit mental disorder penyebab Disability Adjusted Life Year
(DALYs), sedangkan gangguan kecemasan menduduki peringkat ke 2.
DALYs dihitung dari penjumlahan kematian prematur dan tahun hidup
dengan kondisi disabilitas. (Kemenkes RI, 2019)
27
Gangguan depresi dapat dialami oleh semua kelompok usia. Riskesdas
2018 menunjukkan bahwa gangguan depresi sudah mulai terjadi sejak rentang
usia remaja (15-24 tahun), dengan prevalensi 6,2%. Pola prevalensi depresi
semakin meningkat seiring dengan peningkatan usia. Prevalensi tertinggi pada
usia diatas 75 tahun yaitu sebesar 8,9%.
Faktor Risiko
Faktor risiko gangguan campuran ansietas dan depresi: (IDI, 2014)
- Adanya faktor biologis yang memengaruhi, antara lain
hiperaktivitas sistem noradrenergik, faktor genetik.
- Ciri kepribadian tertentu yang imatur dan tidak fleksibel, seperti
ciri kepribadian dependen, skizoid, anankastik, cemas menghindar.
- Adanya stress kehidupan.
Etiologi
Terdapat beberapa teori yang mendasari kecemasan ditinjau dari :
1. Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik
Definisi Freud, kecemasan dipandang sebagai hasil dari konflik psikis
antara keinginan seksual atau agresif sadar dan ancaman sesuai dari
realitas superego atau eksternal.
Dalam menanggapi sinyal ini, ego mengerahkan mekanisme
pertahanan untuk mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat
diterima dari muncul dalam kesadaran.
28
b. Teori perilaku à Kecemasan merupakan respon terkondisi terhadap
rangsangan lingkungan tertentu.
c. Teori eksistensial à Bahwa orang-orang mengalami perasaan hidup
di alam semesta tanpa tujuan. Kecemasan merupakan respon mereka
terhadap kekosongan yang dirasakan dalam keberadaan dan makna.
2. Teori biologi
a. Otonom Sistem saraf à Menunjukkan tanda simpatik meningkat,
beradaptasi perlahan terhadap rangsangan berulang, dan merespon
berlebihan terhadap rangsangan moderat.
b. Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang terkait dengan kecemasan pada basis
studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin,
serotonin, dan GABA.
• Norepinefrin
Teori umum tentang peran norepinefrin pada gangguan
kecemasan adalah bahwa pasien yang terkena mungkin memiliki
sistem noradrenergik buruk diatur dengan semburan sesekali
aktivitas.
• Serotonin
Beberapa laporan menunjukkan bahwa
metachlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik dengan
beberapa efek dan nonserotonergik, dan fenfluramin (Pondimin),
yang menyebabkan pelepasan serotonin, lakukan menimbulkan
kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan.
• GABA
Dari beberapa studi yang telah dilakukan menyebabkan peneliti
untuk berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan memiliki fungsi abnormal reseptor GABA mereka,
meskipun sambungan ini belum terbukti secara langsung.
c. Pemeriksaan radiologi
Berbagai studi pencitraan otak, telah menghasilkan beberapa
kemungkinan mengarah pada pemahaman gangguan kecemasan.
Dalam satu studi Magnetic Resonance Imaging (MRI), cacat tertentu
di lobus temporal kanan tercatat pada pasien dengan gangguan panik.
d. Penelitian genetika
29
Penelitian genetik telah menghasilkan bukti kuat bahwa setidaknya
beberapa komponen genetik berkontribusi terhadap perkembangan
gangguan kecemasan.
Keturunan telah diakui sebagai faktor predisposisi dalam
pengembangan gangguan kecemasan.
Hampir setengah dari semua pasien dengan gangguan panik memiliki
setidaknya satu kerabat yang terkena dampak.
e. Pertimbangan neuroanatomi
Lokus seruleus dan proyek inti raphe terutama ke sistem limbik dan
korteks serebral. Dalam kombinasi dengan data dari studi pencitraan
otak, daerah ini telah menjadi fokus dari banyak hipotesis tentang
pembentukan substrat neuroanatomi dari gangguan kecemasan.
• Sistem limbiks
Dua bidang sistem limbik telah menerima perhatian khusus
dalam literatur : peningkatan aktivitas di jalur septohippocampal,
yang dapat menyebabkan kecemasan.
• Korteks serebral
Korteks serebral frontal terhubung dengan wilayah
parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus. Korteks
temporal juga telah terlibat sebagai situs patofisiologi pada
gangguan kecemasan.
Patogenesis – Patofisiologi :
ANSIETAS
Gejala cemas atau takut dikaitkan dengan malfungsi amigdala centered
circuit. Neurotransmiter yang mengatur jaras ini adalah serotonin (5-HT),
Gamma Aminobutyric Acid (GABA), Glutamat, Norepinephrine (NE),
Hypothalamic Pituitary Adrenal Axis (HPA) – Cortico Releasing Factor
(CRF) dan voltage-gated ion channels. Simptom khawatir seperti takut
bersifat dugaan (apprehensive expectation), kesengsaraan (anxious misery),
obsesi, pikiran katastropik dikaitkan dengan malfungsi Cortico Striato
Thalamo Cortical (CSTC) yang diatur oleh 5-HT, GABA, Dopamine (DA),
NE, glutamat dan voltage gated ion channels.
Enzim Catechol-O-Methyltransferase (COMT) yang mengatur
ketersediaan DA di prefrontal cortex (PFC). Berkurangnya ketersediaan DA
30
meningkatkan risiko khawatir dan gangguan cemas, rentan terjadinya
gangguan cemas terutama di bawah stres.
Afek takut diatur oleh hubungan timbal balik antara amigdala dengan
anterior cingulate cortex (ACC) dan amigdala dengan orbitofrontal cortex
(OFC). Hiperaktivitas jaras ini menimbulkan perasaan takut.
Respon takut :
o Sifat akut: mengaktivasi amigdala àpeningkatan aktivitas hypothalamic
pituitary adrenal à pelepasan kortisol dalam jumlah banyak.
Hal ini akan memacu seseorang untuk bertahan hidup.
o Sifat kronik dan menetap: menyebabkan terjadinya suatu kondisi medis
atau komorbiditas medik seperti terjadinya penyakit diabetes, stroke,
penyakit jantung koroner. Respon otonom memberikan respon dari
perasaan takut, menyebabkan tekanan darah meningkat, denyut jantung
meningkat yang diatur oleh hubungan timbale balik antara amigdala
dengan locus coeruelus (LC) atau badan sel noradrenergik.
Aktivasi jangka panjang meningkatkan risiko aterosklerosis, iskemik
jantung, perubahan tekanan darah, variabilitas denyut jantung menurun,
infark miokard, atau kematin mendadak.
Ansietas tidak hanya dicetuskan oleh stimulus eksternal tetapi juga oleh
memori individu
DEPRESI
31
Hipotesis monoamin klasik, menyebutkan depresi terjadi karena defisiensi faktor
neurotransmiter monoamin. Hipotesis monoamin terkini, menyebutkan depresi terjadi
karena adanya malfungsi seluruh neurotransmiter trioaminergik (NE, 5-HT, DA) di
berbagai jaras otak. Keterlibatan berbagai neurotransmiter ini ditentukan berdasar tampilan
gejala pada pasien.
Empat garis bukti penting dalam berbagai penelitian yang mengesankan bahwa gejala
ansietas dan gejala depresif terkait secara kausal :
1. Temuan neuroendokrin yang serupa pada gangguan ansietas dan depresif, terutama
gangguan panik, termasuk menumpuknya respons kortisol terhadap hormon
adenokortikotropin, tropik, respon hormon pertumbuhan yang tumpul terhadap
klonidin, dan respon Thyroid Stimulating Hormone (TSH) serta prolaktin yang
tumpul terhadap Thyrotropin Relasing Hormone (TRH).
2. Hiperaktivitas sistem noradrenergik sebagai penyebab relevan pada sejumlah pasien
dengan gangguan ansiteas dan depresif. Secara rinci, konsentrasi metabolit
norepnefrin 3-methoxy-4-hydroxyphenylglycol (MHPG) yang meningkat dalam urin,
plasma, atau cairan serebro spinal (LCS) pada pasien dengan serangan panik.
Seperti pada gangguan ansietas dan gangguan depresif lain, serotonin dan asam γ-
aminobutirat (GABA) juga mungkin terlibat sebagai penyebab di dalam gangguan
campuran ansietas dan depresi.
3. Obat serotonergik, seperti fluoxetine dan clomipramine, berguna dalam terapi
gangguan campuran ansietas dan depresi.
4. Gejala ansietas dan depresi berhubungan pada secara genetik sedikitnya pada
beberapa keluarga.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis bervariasi, diagnosis Gangguan Ansietas Menyeluruh ditegakkan apabila
dijumpai :
• ansietas sebagai gejala primer, berlangsung hampir setiap hari selama beberapa
minggu sampai beberapa bulan, tidak terbatas/ hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”)
• Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
ü Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb);
ü Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
ü Overaktivitas otonomic (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-
debar, sesak nafas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb.).
32
Untuk lebih jelasnya gejala-gejala umum ansietas dapat dilihat pada tabel di bawah ini
Sedangkan untuk gangguan depresif gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan
berat) :
¾ Afek depresif,
¾ Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya :
o Konsentrasi dan perhatian berkurang;
o Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
33
o Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
o Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
o Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri;
o Tidur terganggu;
o Nafsu makan berkurang;
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi penegakan lebih pendek
dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat;
Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat (F32.2)
hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang pertama). Episode depresif
berikutnya harus diklasifikasi dibawah salah satu diagnosis gangguan depresif berulang
(F33,-).
Diagnosis
Diagnosis gangguan campuran ansietas-depresi dapat ditegakkan apabila ditemukan:
• Terdapat gejala-gejala ansietas maupun depresi, dimana masing-masing tidak
menunjukkan rangkaian gejala yang cukup berat untuk menegakkan diagnosis
tersendiri
• Bila ditemukan ansietas berat disertai depresi yang lebih ringanà pertimbangkan
kategori gangguan ansietas lainnya atau gangguan ansietas fobik
• Bila ditemukan sindrom depresi dan ansietas yang cukup berat untuk menegakkan
masing-masing diagnosis, maka kedua diagnosis tersebut harus dikemukakan, dan
diagnosis gangguan campuran tidak dapat digunakan.
Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu diagnosis maka gangguan
depresif harus diutamakan
• Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan yang jelas, maka
harus digunakan kategori F43.2 gangguan penyesuaian
34
ü Sandler dan Joffe à berasal dari kehilangan kesejahteraan dan akan
memengaruhi kesejahteraan.
ü Jacobson à dapat disebabkan rendahnya kepercayaan diri.
b. Model Kognitif-Perilaku
Beck menyatakan bahwa konsep diri yang negatif, interpretasi negatif terhadap
pengalaman hidup, dan ekspektasi negatif terhadap masa depan merupakan
trias kognisi yang ditemukan pada individu dengan gangguan depresi
f. Faktor Kepribadian
Hubungan antara faktor kepribadian dan gangguan depresi pada anak belum
banyak diteliti. Kashani dkk pada penelitiannya terhadap nak usia 7-12 tahun
menunjukkan bahwa kepribadian yang rendah diti, putus asa, menarik diti lebih
banyak ditemukan pada anak dengan gangguan gangguan depresi dibandingkan
anak tanpa gangguan depresi.
g. Faktor Sosial
Stres Kehidupan à dianggap sebagai faktor yang berperan dalam terjadinya
gangguan depresi. Penelitian terhadap anak usia 7-12 tahun menemukan bahwa
anak dengan gangguan depresi memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan
dibandingkan anak tanpa gangguan depresi. Gangguan depresi dapat juga
disebabkan karena kurangnya kemampuan dalam menjalin interaksi sosial dengan
sekitar.
35
Penatalaksanaan
Kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk
gangguan depresi, terutama depresi berat.
A. Non Farmakologi
o Psikoterapi : meliputi terapi kognitif dan terapi kognitif perilaku (CBT)
Terapi kognitif juga digunakan pada depresi, alasan :
- disfungsi kognitif merupakan inti dari depresi
- Perubahan afektif & psikis yang dihubungkan dengan depresi merupakan
konsekuensi dari disfungsi kognitif.
Tujuan : mengurangi depresi & mencegah berulangnya hal tersebut
Cara : membantu pasien mengidentifikasi & menilai kognisinya yang negatif à
membangun skema pemikiran alternatif yang lebih fleksibel, serta untuk
melatih respon kognitif dan perilakunya à pola pikir berubah à
mengurangi gangguan psikiatriknya.
o Konseling (terhadap keluarga) à agar dapat memberikan dukungan & mengerti
kondisi penyakit pasien, karena kadang memerlukan terapi yang lama. Selain itu
agar pasien mendapatkan pengobatan yang teratur agar tidak terjadi kekambuhan
lagi.
o Edukasi : Pengaruh antara faktor fisik dan psikologis, termasuk bagaimana faktor
perilaku, psikologik dan emosi berpengaruh mengeksaserbasi gejala somatik yang
mempunyai dasar fisiologik.
o Bicarakan dan sepakati rencana pengobatan dan tindak lanjut, bagaimana
menghadapi gejala, dan dorong untuk kembali ke aktivitas normal.
o Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas lambat)
- Bernafas dalam, lambat, tenang dari perut.
- Duduklah dengan nyaman dan punggung tegak
- Tarik nafas melalui hidung dan hitung sampai 3 dengan perlahan
- Tahan nafas hingga hitungan 3 dengan perlahan
- Hembuskan nafas melalui mulut dan hitung hingga 3 dengan perlahan,
lepaskan sebanyak mungkin udara saat mengontraksi otot perut, dan rileks.
- Tarik nafas kembali, ulangi dari awal hingga merasa rileks
- Berlatihlah 2 x 5-10 menit setiap hari walaupun tidak sedang cemas, berlatih
hingga terbiasa mengendalikan cemas dan merasa nyaman
o Anjurkan olah raga teratur, melakukan aktivitas yang disenangi, menerapkan
perilaku hidup sehat, dan selalu berpikir positif serta manajemen stres dengan baik.
o Perhatian khusus pada gangguan panik; beri saran untuk melakukan langkah-
langkah berikut jika terjadi serangan panik:
36
ü Tetap tinggal di tempat hingga serangan berlalu
ü Pusatkan perhatian untuk mengendalikan gangguan ansietas, bukan pada
gejala fisik
ü Bernafas dengan lambat dan rileks. Hiperventilasi akan semakin menambah
ansietasnya.
Kriteria Rujukan
ü Gejala menetap, tidak ada perbaikan yang signifikan dalam 2 bulan terapi
ü Gejala progresif dan makin bertambah berat
37
ü Diperlukan tambahan psikoterapi kognitif dan perilaku sehubungan dengan
gangguan yang sudah berlangsung lama (kronis), adanya kepribadian premorbid
tertentu, atau adanya komorbiditas gangguan psikiatrik lain
ü Konfirmasi diagnosis atau meminta second opinion
ü Keterbatasan ketersediaan obat
Pencegahan
Deteksi dini gangguan kecemasan merupakan suatu pencegahan sekunder agar
gangguan kecemasan dapat segera diatasi dengan baik. Masyarakat dapat melakukan
swaperiksa kecemasan di website Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Indonesia (http://www.pdskji.org/gad.html).
Prognosis
Secara umum prognosis penyakit ini tidak diketahui.
Prognosis ad vitam dapat dikatakan ad bonam apabila tidak ada kondisi yang
membahayakan hidup pasien.
Pada umumnya prognosis gangguan ansietas menyeluruh adalah baik bila mendapat
penatalaksanaan yang sesuai. Sekitar 50% pasien mendapat perbaikan dalam 3 minggu
pertama pengobatan. Sekitar 77% membaik dalam 9 bulan pengobatan. (Kemenkes RI,
2015)
Prognosis gangguan campuran ansietas dan depresi pada umumnya bonam. (IDI, 2014)
38
Indikator prognostik negatif :
- Adanya gangguan somatik
- Penyesuaian sosial kurang baik
- Hubungan keluarga yang buruk.
Daftar Pustaka
1. Tasman A, Kay J, Lieberman A, dkk. Anxiety disorders: social anxiety disorder and
specific phobia. Dalam: Psychiatry. New York.Wiley Blackwell Publishing. 2014
2. McClure-Tone EB, Pine DS. Clinical features of anxiety disorder. Dalam: Kaplan &
Saddock’s Comprehensive Textbook of Psychiatry Ninth Edition. New York.
Lippincott William & Wilkins. 2010.
3. Rusdi Maslim, 1998.Rujukan Ringkas PPDGJ-III, Diagnosis Gangguan Jiwa / buku
saku
4. Stahl SM, 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology: Neuroscientific Basis and
Practical Application. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press.
5. American Psychiatric Association, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. 5th Edition. Washington DC: American Psychiatric Publishing.
6. Nurmiati Amir, 2013. Buku Ajar Psikiatri, edisi kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
7. Teter, C. S., Kando, J. C., Wells, B. G., & Hayes, P. E., 2007, Depressive
Disorder,dalam Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G.,&
Posey Micheal, L.,(eds), Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,7th Edition,
Appleton and lange, New York.
8. Ikatan Dokter Indonesia. (2014) Panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
9. Kementrian Kesehatan RI. (2015) Keputusan menteri kesehatan RI nomor
HK.02.02/MENKES/73/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa.
10. Kementrian Kesehatan RI. (2019) Infodatin Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia.
Pertanyaan
1. Sediaan bentuk tablet tunggal generik diazepam yang ada adalah sbb:
a. 5 mg
b. 10 mg
c. 15 mg
d. 20 mg
e. 25 mg
39
2. Diazepam merupakan anxiolitik yang mempunyai sifat farmakokinetik sbb:
a. Rapid onset , Short acting
b. Rapid onset , Long acting
c. Intermediate onset , intermediate acting
d. Slow onset , short acting
e. Slow onset , Long acting
4. Empat bukti penting bahwa gejala ansietas dan depresif terkait secara kausal,
KECUALI:
a. Menumpuknya kortisol pada gangguan ansietas dan depresi
b. Hiperaktivitas noradrenergik pada gangguan ansietas dan depresi
c. Obat serotonergic berguna dalam terapi ansietas dan depresi
d. Gejala ansietas dan depresi berhubungan secara genetic
e. Meningkatnya BDNF pada gangguan ansietas dan depresi
Jawaban
1. A
2. B
3. D
4. E
5. D
40
Psikosis
Irna P Gani, Ludovicus, Sugiarto Puradisastra, Cindra Paskaria
Skizofrenia
Definisi
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita,
disorganisasi, dan kemiskinan psikomotor.
Etiologi Skizofrenia
Belum ditemukan etiologi yang pasti mengenai Skizofrenia. Ada beberapa hasil penelitian
yang dilaporkan saat ini:
a. Biologi
Tidak ada gangguan fungsional dan struktur yang patognomonik ditemukan pada
penderita Skizofrenia. Meskipun demikian beberapa gangguan organik dapat terlihat
(telah direplika dan dibandingkan) pada subpopulasi pasien. Gangguan yang paling
banyak dijumpai yaitu pelebaran ventrikel tiga dan lateral yang stabil yang kadang-
kadang sudah terlihat sebelum awitan penyakit; atropi bilateral lobus temporal medial
dan lebih spesifik yaitu girus parahipokampus, hipokampus dan amigdala; disorientasi
spasial sel piramid hipokampus; dan penurunan volume korteks prefrontal
dorsolateral. Beberapa penelitian melaporkan bahwa semua perubahan ini tampak statis
dan telah dibawa sejak lahir (tidak ada gliosis), dan pada beberapa kasus perjalanannya
progresif. Lokasinya menunjukkan gangguan perilaku yang ditemui pada Skizofrenia;
misalnya, gangguan hipokampus dikaitkan dengan gangguan memori dan atropi lobus
temporal dihubungkan dengan gejala-gejala negatif pada Skizofrenia. Penemuan lainnya
yaitu adanya antibodi sitomegalovirus dalam cairan serebrospinal (CSS), limfosit
atipikal tipe P (terstimulasi), gangguan fungsi hemisfer kiri, gangguan transmisi dan
pengurangan ukuran korpus kalosum, pengecilan vermis serebri, penurunan aliran darah
dan metabolisme glukosa di lobus frontal (dilihat dengan PET), kelainan EEG, EP P300
auditorik (dengan QEEG), sulit memusatkan perhatian, dan perlambatan waktu reaksi,
serta berkurangnya kemampuan menamakan benda.
Pada individu yang berkembang menjadi Skizofrenia terdapat peningkatan insiden
komplikasi persalinan (prematur, berat badan lahir rendah (BBLR), lahir pada masa
epidemi influenza), lebih besar kecenderungan lahir pada akhir musim dingin atau awal
musim panas, dan terdapat gangguan neurologi minor. Kemaknaan penemuan-
penemuan ini belum diketahui. Bagaimanapun, ini menunjukkan adanya dasar biologik
dan heterogenitas Skizofrenia.
41
b. Biokimia
Dua senyawa penting yang dibutuhkan dalam metabolisme otak adalah oksigen
dan glukosa. Sumber energi otak terutama didapatkan melalui proses reaksi glikolisis
dan siklus Kreb (Tri Citric Acid Cycle). Pada keadaan hipoglikemia, jalur utama untuk
memenuhi kebutuhan energi otak adalah TCC (asam glutamat à -ketoglutarat). Kerja
banyak saraf diperantarai oleh zat kimia, yang disebut neurotransmiter.
c. Genetika
Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara siknifikan, kompleks
dan poligen. Sesuai dengan penelitian hubungan darah (konsanguinitas), Skizofrenia
adalah gangguan yang bersifat keluarga (misalnya; terdapat dalam keluarga). Semakin
dekat hubungan kekerabatan semakin tinggi risiko. Pada penelitian anak kembar,
kembar monozigot mempunyai risiko 4-6 kali lebih sering menjadi sakit bila
dibandingkan dengan kembar dizigot. Pada penelitian adopsi, anak yang mempunyai
orang tua Skizofrenia diadopsi, waktu lahir, oleh keluarga normal, peningkatan angka
sakitnya sama dengan bila anak-anak tersebut diasuh sendiri oleh orang tuanya yang
Skizofrenia.
Frekuensi kejadian gangguan non psikotik meningkat pada keluarga Skizofrenia
dan secara genetik dikaitkan dengan gangguan kepribadian ambang dan skizotipal
(gangguan spektrum Skizofrenia), gangguan obsesif-kompulsif, dan kemungkinan
dihubungkan dengan gangguan kepribadian paranoid dan antisosial.
d. Faktor keluarga
Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan penting dalam
menimbulkan kekambuhan dan mempertahankan remisi. Pasien yang pulang ke rumah
sering relaps pada tahun berikutnya bila dibandingkan dengan pasien yang ditempatkan
di residensial. Pasien yang berisiko adalah pasien yang tinggal bersama keluarga yang
hostilitas, memperlihatkan kecemasan yang berlebihan, sangat protektif terhadap pasien,
terlalu ikut campur, sangat pengeritik (disebut Ekspresi emosi tinggi). Pasien
Skizofrenia sering tidak “dibebaskan” oleh keluarganya.
Beberapa peneliti mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan aneh
pada keluarga-keluarga Skizofrenia. komunikasi sering samar-samar atau tidak jelas dan
sedikit tak logis. Pada tahun 1956, Beston menggambarkan suatu karakteristik “ikatan
ganda” yaitu pasien sering diminta oleh anggota keluarga untuk merespons pesan yang
bentuknya kontradiksi sehingga membingungkan. Penelitian terbaru menyatakan bahwa
pola komunikasi keluarga tersebut mungkin disebabkan oleh dampak memiliki anak
Skizofrenia.
42
Tanda dan Gejala
Psikotik merupakan kumpulan gejala. Gejala-gejala tersebut dapat berkaitan dengan
banyak gangguan psikotik (termasuk Skizofrenia). Gejala psikotik ditandai oleh
abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, emosi, motivasi, neurokognitif, serta
aktivitas motorik. Gejala pada Skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan
gejala negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan gangguan pikiran formal.
Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang
memilikinya. Tampil dalam bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan pendataran
afek, anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, dan
berkurangnya atensi.
43
8. Asosiasi bunyi (clang association) : pasien memilih kata-kata berikut mereka
berdasarkan bunyi kata-kata yang baru saja diucapkan dan bukan isi pikirannya.
9. Ekolalia : pasien mengulang kata-kata atau kalimat-kalimat yang baru saja
diucapkan seseorang.
10. Konkretisasi : pasien dengan IQ rata-rata normal atau lebih tinggi, sangat buruk
kemampuan berpikir abstraknya.
11. Alogia : pasien berbicara sangat sedikit tetapi bukan disebabkan oleh resistensi yang
disengaja (miskin pembicaraan) atau dapat berbicara dalam jumlah normal tetapi
sangat sedikit ide yang disampaikan (miskin isi pembicaraan)
b. Gangguan Persepsi
Gangguan persepsi ditandai dengan gejala:
1. Halusinasi : paling sering ditemui, biasanya berbentuk pendengaran tetapi bisa juga
berbentuk pengelihatan, penciuman, dan perabaan. Halusinasi pendengaran (paling
sering suara satu atau beberapa orang) dapat pula berupa komentar tentang pasien atau
peristiwa-peristiwa sekitar pasien. Komentar-komentar tersebut dapat berbentuk
ancaman atau perintah-perintah yang langsung ditunjukkan pada pasien (halusinasi
komando). Suara-suara sering (tetapi tidak selalu) diterima pasien sebagai sesuatu yang
berasal dari luar kepala pasien dan kadang-kadang pasien dapat mendengar pikiran-
pikiran mereka sendiri berbicara keras (sering memalukannya atau suara yang
memalukan). Suara-suara cukup nyata menurut pasien kecuali fase awal Skizofrenia.
2. Ilusi dan depersonalisasi : ilusi yaitu adanya misinterpretasi panca indra terhadap
objek. Depersonalisasi yaitu adanya perasaan asing terhadap diri sendiri. Derealiasasi
yaitu adanya perasaan asing terhadap lingkungan sekitarnya misalnya dunia terlihat
tidak nyata.
c. Gangguan Emosi
Ada tiga afek dasar yang sering:
1. Afek tumpul atau datar : ekspresi emosi pasien sangat sedikit bahkan ketika afek tersebut
seharusnya diekspresikan, pasien tidak menunjukkan kehangatan.
44
2. Afek tak serasi : afeknya mungkin bersemangat atau kuat tetapi tidak sesuai dengan
pikiran dan pembicaraan pasien.
3. Afek labil : dalam jangka pendek terjadi perubahan afek yang jelas.
4. Kedangkalan respons emosi sampai anhedonia
e. Gangguan Motivasi
Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang dengan Skizofrenia.
Gejala-gejala ganggua motivasi diantaranya :
1. Kehilangan kehendak
2. Disorganisasi
3. Tidak berkegiatan
45
f. Gangguan Neurokognitif
Defisit neurokognitif atau intelektual merupakan gambaran inti dari gangguan
Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai:
1. Defisit dalam atensi dan performa
2. Menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah
3. Gangguan dalam memori (termasuk spasial dan verbal), serta
4. Fungsi eksekutif.
47
- Kategori ini digunakan baik untuk episode Skizofrenia tipe depresif yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe
depresif.
- Afek depresif harus menonjol, disertai oleh sedikitnya dua gejala khas, baik depreesif
maupun kelainana perilaku terkait seperti tercantum dalam uraian untuk episode
depresif.
- Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atau lebih baik lagi dua,
gejala Skizofrenia yang khas.
F31.1 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Tanpa Gejala Psikotik
Pasien saat ini manik, tanpa gejala psikotik dan memiliki sekurangnya satu riwayat episode
afektif (hipomanik, depresi atau campuran).
F31.2 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik Dengan Gejala Psikotik
48
Pasien saat ini manik, dengan gejala psikotik dan memiliki sekurangnya satu riwayat
episode afektif (hipomanik, depresi atau campuran).
F31.3 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Ringan Atau Sedang
Pasien saat ini depresi, dengan derajat ringa atau sedang, serta sekurangnya satu riwayat
episode afektif hipomanik, manik atau campuran.
F31.4 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Berat Tanpa Gejala Psikotik
Pasien saat ini depresi berat tanpa gejala psikotik, dan mengalami sekurangnya satu riwayat
episode afektif hipomanik, manik atau campuran.
F31.5 Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresi Berat Dengan Gejala Psikotik
Pasien saat ini depresi berat dengan gejala psikotik, dan mengalami sekurangnya satu
riwayat episode afektif hipomanik, manik atau campuran.
Bersifat :
• Episode berulang (min. 2 episode)
• Afek dan tingkat aktivitas terganggu
52
• Di suatu waktu ada peningkatan afek & energi serta aktivitas (mania/hipomania),
sedangkan di waktu lain sebaliknya (depresi)
• Penyembuhan sempurna antar episode
• Episode manik berlangsung selama 2 minggu – 4 atau 5 bulan dan depresi selama
± 6 bulan
• Sering terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (ada
stres tidak esensial)
Diagnosis Banding
Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif diantaranya :
a. Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus
temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus
erimatosus.
b. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif
c. Gangguan skizoafektif
d. Gangguan afektif berat
e. Gangguan waham
f. Gangguan perkembangan pervasif
g. Gangguan kepribadian skizotipal
h. Gangguan kepribadian skizoid
i. Gangguan kepribadian paranoid
Penatalaksanaan
Tiga pengamatan dasar tentang Skizofrenia yang memerlukan perhatian saat
mempertimbangkan pengobatan gangguan. Pertama, terlepas dari penyebabnya,
Skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial
psikologis yang unik. Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien
tertentu telah terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan tertolong
oleh pengobatan. Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk Skizofrenia pada
kembar monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa faktor lingkungan dan psikologis yang tidak diketahui tetapi
kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan gangguan. Jadi, seperti agen
farmakologis digunakan untuk menjawab ketidakseimbangan kimiawi yang diperkirakan,
strategi nonfarmakologis harus menjawab masalah nonbiologis. Ketiga, Skizofrenia adalah
suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan terapetik tunggal jarang mencukupi
untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan Skizofrenia, penelitian
telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis.
53
Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan
harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien Skizofrenia mendapatkan
manfaat dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial.
Efek samping
Efek samping dapat dikelompokan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis.
Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut parkinsonism dan Sindroma
Neuroleptik Malignansi (SNM) yang merupakan kondisi emergensi karena dapat
mengancam jiwa. Jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya diskinesia tardiva
(tardive dyskinesia).
Akatisia: Kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita beruba perasaan tidak
nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakan tungkai, terutama kaki..
Distonia Akut: terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai
otot leher, lidah, muka dan punggung.
Parkinsonisme: dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia,
rigiditas, fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti
robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil)
Sindroma neuroleptik malignansi: merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius
dengan gejala utama berupa rigiditas, hiperpiretik, febris tinggi, gangguan sistem saraf
otonom, delirium, dapat kejang-kejang dan koma.
Obat APG-II
55
Karena dosis yang efektif untuk mengatasi gejala Skizofrenia tidak menimbulkan
efek samping ekstrapiramidal, jenis obat ini disebut dengan APG-II.Efek terapetiknya
didapat melakui kerjanya sebagai antagonis reseptor serotonin dan dopamin.APG-II
mempunyai efek terapetik yang lebih luas dibanding APG-I terutama terhadap simptom
negatif.Banyak penderita schizofren yang gagal dengan APG-I, menunjukkan perbaikan
signifikan dengan APG-II.
Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi
pada fase akut Skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila
dibadingkan dengan APG-I.hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka
pendek APG-II, misalnya olanzapin, aripiprazole, dan ziprasidon efektif mengontrol
agitasi pada fase akut Skizofrenia.
Risperidon dimasukkan dalam obat antipsikotik lini pertama, sedangkan klozapin
dicadangkan untuk penderita skizofrenia berat yang refrakter pada pengobatan tradisional,
karena menekan sumsum tulang / agranulositosis berat dan gangguan kardiovaskuler.
Intervensi Psikososial
Tatalaksana Skizofrenia yang optimal seyogyanya merupakan keterpaduan antara
intervensi medis dengan intervensi psikososial. Beberapa studi membuktikan bahwa
intervensi psikososial bermanfaat dalam menurunkan frekuensi kekambuhan, mengurangi
kebutuhan rawat kembali di rumah sakit, mengurangi penderitaan akibat gejala-gejala
penyakitnya, meningkatkan kapasitas fungsional, memperbaiki kualitas hidup dan
kehidupan berkeluarga. Intervensi psikososial bisa dimulai sedini mungkin namun
hendaknya disesuaikan dengan fase perjalanan penyakitnya, dengan melibatkan ODS dan
keluarganya sejak awal. Melalui intervensi psikososial, ODS dan keluarga diajak untuk
memahami perjalanan penyakit, perkembangan gejala, dan menyusun harapan yang lebih
realistik untuk kehidupan dan masa depannya.
Intervensi psikososial adalah proses yang memfasilitasi kesempatan untuk individu
meraih tingkat kemandiriannya secara optimal di komunitas. Saat ini intervensi psikososial
dikembangkan dengan mengadaptasi konsep dan pendekatan RECOVERY, yaitu suatu
pendekatan yang melihat proses pemulihan sebagai sebuah perjalanan penyembuhan dan
transformasi yang memampukan orang dengan masalah kesehatan jiwa (ODGJ) untuk
hidup secara bermakna di masyarakat berdasarkan pilihannya dan mencapai potensi yang
dimilikinya.
57
Dari sejak awal ODS dan keluarga diajak bekerja sama menyusun rencana
tatalaksana dan target pemulihan yang realistis dan mungkin dicapai. Berdasarkan
tujuannya, intervensi psikososial memiliki ruang lingkup sebagai berikut:
Tabel 3. Intervensi psikososial berdasarkan tujuan yang akan dicapai (WHO, 1996)
Tujuan Langkah-langkah
Menurunkan gejala Memberikan terapi yang sesuai (farmakoterapi dan
psikoterapi), intervensi psikososial
Menurunkan efek negatif dari Mengurangi dan menghilangkan konsekuensi serta
perawatan dampak fisik dan perilaku akibat intervensi medik.
Mencegah efek perawatan jangka panjang.
Meningkatkan kompetensi sosial Meningkatkan kapasitas individu dalam
keterampilan sosial, koping psikologis, dan fungsi
okupasi
Menurunkan stigma dan diskriminasi
Dukungan keluarga Untuk keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami gangguan jiwa
Dukungan sosial Membangun dan memelihara dukungan terutama
untuk kebutuhan dasar (rumah, pekerjaan, jaringan
sosial, dan waktu luang)
Pemberdayaan konsumer Meningkatkan autonomi konsumer dan keluarga.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, terdapat 8 area psikososial yang perlu dinilai,
yaitu:
1. Psikiatrik (manajemen gejala)
2. Sosial (hubungan dalam keluarga dan masyarakat)
3. Vokasional dan edukasional (keterampilan menyelesaikan masalah, motivasi)
4. Keterampilan hidup dasar (kebersihan dan perawatan diri)
5. Finansial (budget)
6. Sumber-sumber di masyarakat dan aspek legal
7. Kesehatan atau medical (konsistensi dalam pengobatan)
8. Perumahan (lingkungan yang aman)
58
Pendekatan psikososial diterapkan secara individu sesuai dengan kebutuhan spesifik
dari masing-masing orang. Intervensi psikososial juga harus berbasis bukti dan
dilaksanakan oleh petugas yang terlatih. Intervensi psikososial berbasis bukti yang
dianggap efektif untuk Skizofrenia adalah:
1. Psikoedukasi
2. Intervensi keluarga
3. Terapi kognitif perilaku (CBT)
4. Pelatihan keterampilan sosial
5. Terapi vokasional
6. Remediasi kognitif
7. Dukungan kelompok sebaya
Prognosis
Skizofrenia merupakan gangguan yang bersifat kronik. Pasien secara berangsur-
angsur menjadi semakin menarik diri, dan tidak berfungsi setelah bertahun-tahun. Pasien
dapat mempunyai waham dengan taraf ringan dan halusinasi yang tidak begitu jelas
(samar-samar). Sebagian gejala akut dan gejala yang lebih dramatik hilang dengan
berjalannya waktu, tetapi pasien secara kronik membutuhkan perlindungan atau
menghabiskan waktunya bertahun-tahun di dalam rumah sakit jiwa.
Keterlibatan dengan hukum untuk pelanggaran ringan kadang-kadang terjadi
(misalnya, menggelandang, mengganggu keamanan) dan sering dikaitkan dengan
penyalahgunaan obat. Sebagian kecil pasien menjadi demensia. Secara keseluruhan
harapan hidupnya pendek, terutama akibat kecelakaan, bunuh diri, dan
ketidakmampuannya merawat diri.
Sebelumnya, Skizofrenia dibedakan antara Skizofrenia proses (terjadinya
berangsur-angsur, perjalanannya kronik deteriorasi) dan Skizofrenia raktif (awitan cepat,
prognosis lebih baik). Selain itu, Skizofrenia juga dibedakan antara gejala positif
(halusinasi, waham, perilaku aneh, dll) yang biasanya berespons terhadap antipsikotik
konvensional, dan gejala negatif (afek datar, miskin pembicaraan, anhedonia, penarikan
diri dari sosial, dll) yang tidak berespons terhadap antipsikotik konvensional (berespons
lebih baik terhadap obat antipsikotik baru)
Gambaran klinik yang dikaitkan dengan prognosis baik yaitu:
1. awitan gejala-gejala psikotik aktif terjadi dengan secara mendadak
2. awitan terjadi setelah umur 30 tahun, terutama pada perempuan
3. fungsi pekerjaan dan sosial premorbid (sebelum sakit) baik. Performa
sebelumnya tetap merupakan prediktor terbaik untuk meramalkan performa di
masa datang.
59
4. Kebingungan sangat jelas dan gambaran emosi menonjol, selama episode akut
(simptom positif); beberapa hal yang perlu ditanyakan yaitu;
5. Kemungkinan adanya suatu stresor yang mempresipitasi psikosis akut dan tidak
ada bukti gangguan susunan saraf pusat (SSP).
6. Tidak ada riwayat keluarga menderita Skizofrenia.
Meskipun ada variabilitas yang besar, tipe disorganisasi (hebefrenik) secara umum
mempunyai prognosis yang buruk, tetapi tipe paranoid (dan beberapa katatonik)
mempunyai prognosis baik. Prognosis menjadi lebih buruk bila pasien menyalahgunakan
zat atau hidup dalam keluarga yang tidak harmonis.
Tabel 4. Gambaran yang Menunjukkan prognosis Baik dan Buruk dalam Skizofrenia
60
Pertanyaan
3. Obat yang dipakai sebagai lini pertama dari anti psikotik generasi 2 adalah:
a. Risperidon
b. Aripiprazol
c. Klozapin
d. Olanzapin
e. Quetiapin
4. Salah satu contoh efek samping yang dapat terjadi setelah pemberian obat APG
generasi 1 adalah:
a. Akatisia
b. Hipertensi
c. Vertigo
d. Nausea-Vomitus
e. Rash
62
63