Anda di halaman 1dari 33

TUGAS KEPERAWATAN GERONTIK

PROGRAM STUDI REGULER A16

SEMESTER 6

“ASUHAN KEPERAWATAN LANSIA DENGAN INSOMNIA DAN


IMPAKSI”

KELOMPOK 6 :

1. Grace Marcellina Butarbutar 131611133061


2. Alfiana Nur Halimah 131611133063
3. Yuniar Rahma Sofro’in 131611133069
4. Ema Yuliani 131611133077
5. Mutiara Citra Dewi 131611133078
6. Fajrinandetya Paramita 131611133082
7. Khosnul Khotimah 131611133085

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga kelompok dapat menyelesaikan makalah keperawatan gerontik
dengan judul “ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN INSOMNIA DAN
IMPAKSI ” ini tepat waktu. Meskipun banyak hambatan yang kami alami dalam proses
pengerjaannya.

Atas dukungan moral dan material yang diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka
penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Setho Hadisuyatmana, S.Kep., Ns., M.NS (CommHlth&PC) selaku dosen pembimbing


mata kuliah Keperawatan Gerontik di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, yang
memberikan bimbingan dan saran.
2. Kelompok SGD 6 kelas A2 program Studi S1 Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan
Universitas Airlangga, yang memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun dari rekan-rekan sangat kami butuhkan dari penyempurnaan
makalah ini.

Kami berharap agar makalah ini dapat menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita semua.
Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca.

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Insomnia ....................................................................................... 3
2.3 Literatur Review Intervensi Lansia dengan Insomnia ............................... 8
2.2 Konsep Impaksi ....................................................................................... 14
2.3 Literatur Review Intervensi Lansia dengan Impaksi ............................... 19
BAB 3 CORE INTERVENTION
3.1 Intervensi Lansia dengan Insomnia .......................................................... 23
3.2 Intervensi Lansia dengan Impaksi ............................................................ 26
BAB 4 PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 28
3.2 Saran ........................................................................................................ 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju pertumbuhan jumlah lansia dapat menimbulkan masalah kesehatan baik kesehatan
fisik maupun psikologi (jiwa), adapun beberapa masalah tersebut yaitu insomnia dan
impaksi. Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan, setiap tahun
diperkirakan sekitar 20%-50% lansia melaporkan insomnia dan sekitar 17% mengalami
gangguan tidur yang serius (Indrawati, 2018). Sedangkan impaksi fekal merupakan keluhan
saluran cerna terbanyak pada usia lanjut (Pradani, 2015)

Insomnia merupakan gangguan tidur yang paling sering ditemukan pada lansia. Setiap
tahun diperkirakan sekitar 20% _ 50% orang dewasa melaporkan gangguan tidur dan sekitar
17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia
tergolong tinggi yaitu sekitar 67% (Amir, 2007). Penelitian Epidemiologic Catchment Area
di Amerika Serikat menemukan 25% lansia mengalami kecemasan yang disebabkan oleh
gangguan tidur (hanuhili, 2005).

Sedangkan, Impaksi fekal merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut;
terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30 – 40 % orang di atas usia 65 tahun
mengeluh impaksi fekal. Di Inggris ditemukan 30% penduduk di atas usia 60 tahun
merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar . Di Australia sekitar 20%
populasi di atas 65 tahun mengeluh menderita impaksi fekal dan lebih banyak pada wanita
dibanding pria. Menurut National Health Interview Survey pada tahun 1991, sekitar 4,5 juta
penduduk Amerika mengeluh menderita impaksi fekal terutama anak-anak, wanita dan
orang usia 65 tahun ke atas.

Penatalaksanaan terhadap kualitas tidur yang buruk dapat dibagi yaitu secara
farmakologis dan non farmakologis. Namun, obat dapat menimbulkan efek negatif,
menyebabkan penderita gangguan tidur mengalami ketergantungan obat sehingga kualitas
tidur yang baik tidak akan tercapai. Penatalaksanaan non farmakologis saat ini sangat
dianjurkan, karena tidak menimbulkan efek samping dan dapat memandirikan lansia untuk
dapat menjaga kesehatan mereka sendiri. Salah satu cara terbaik untuk mencapai tidur yang
nyenyak pada lansia adalah dengan sleep hygiene. 'Sleep hygiene' adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan kebiasaan tidur yang baik. Banyak penelitian telah
mengembangkan seperangkat pedoman dan tips yang dirancang untuk meningkatkan
kualitas tidur, dan ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa strategi ini dapat memberikan
solusi jangka panjang untuk kesulitan tidur.

Pada dasarnya, terapi konstipasi terbagi dalam dua fase, yaitu pengeluaran masa feses dan
terapi pemeliharaan. Pada kasus dengan impaksi rektal, feses sebaiknya segera dikeluarkan

1
dengan menggunakan enema paling tidak setiap hari selama 3 hari sebelum diberikan
laksatif oral. Dari beberapa jurnal menunjukkan bahwa pengobatan impaksi fekal dengan
pemberian supositoria dan enema memberikan pengaruh cukup baik.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka didapat rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Bagaimana konsep insomnia dan impaksi fekal?


2. Bagaimana penanganan pada lansia insomnia dan impaksi fekal?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yang berdasarkan pada latar belakang dan
rumusan masalah adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui konsep insomnia dan impaksi fekal.

2. Mengetahui penanganan pada lansia dengan insomnia dan impaksi fekal.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Insomnia

2.1.1 Definisi insomnia

Menurut Prasadja (2009), gangguan fungsi tidur yang sering dialami lansia salah
satunya adalah insomnia, yaitu sering terjaga pada malam hari, sering kali terbangun
dini hari, sulit untuk memulai tidur. Insomnia pada lansia bisa diakibatkan karena
kekurangan kegiatan fisik sepanjang hari, gangguan psikologis, tempat tidur dan
suasana kamar yang tidak nyaman, sering berkemih pada malam hari, mengkonsumsi
kafein dan alkohol (Maryam, 2008).

Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami suatu


perubahan dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa
tidak nyaman atau mengganggu gaya hidup yang di inginkan.Gangguan tidur pada
lansia jika tidak segera ditangani akan berdampak serius dan akan menjadi gangguan
tidur yang kronis. Secara fisiologis, jika seseorang tidak mendapatkan tidur yang
cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-efek seperti pelupa,
konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008).

Insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang paling sering terjadi dan paling
dikenal oleh masyarakat. Insomnia merupakan kesulitan dalam memulai atau
mempertahankan tidur. Biasanya pasien dengan insomnia seringkali memiliki
keluhan yang tidak spesifik, selain keluhan insomnia itu sendiri (Kaplan et. al.,
2010).

Prevalensi gangguan pemenuhan kebutuhan tidur pada lansia cukup meningkat


yaitu sekitar 76%. Kelompok lansia lebih mengeluh mengalami sulit tidur sebanyak
40%, sering terbangun pada malam hari sebanyak 30% dan sisanya gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur lain (Amir, 2007). Established Population for
Epidemiologic of the Elderly (EPESE) mendapatkan dari 9000 responden, sekitar
29% berusia diatas 65 tahun mengalami keluhan gangguan pemenuhan kebutuhan
tidur.

2.1.2 Klasifikasi insomnia

Insomnia dibagi menjadi 3 macam, yaitu:

1. Insomnia inisial, yaitu kesulitan untuk memulai tidur.

2. Insomnia intermiten, merupakan ketidakmampuan untuk tetap


mempertahankan tidur sebab sering terbangun.
3
3. Insomnia terminal, yaitu bangun lebih awal tetapi sulit untuk tertidur kembali.

Ada juga pembagian jenis dari insomnia berdasarkan penyebabnya, yaitu :

1. Insomnia kronik disebut juga insomnia psikofisiologik persisten.

Insomnia ini dapat disebabkan oleh kecemasan; selain itu, dapat pula terjadi
akibat kebiasaan atau pembelajaran atau perilaku maladaptif di tempat tidur.
Misalnya, pemecahan masalah serius di tempat tidur, kekhawatiran, atau
pikiran negatif terhadap tidur ( sudah berpikir tidak akan bisa tidur). Adanya
kecemasan yang berlebihan karena tidak bisa tidur menyebabkan seseorang
berusaha keras untuk tidur tetapi ia semakin tidak bisa tidur.
Ketidakmampuan menghilangkan pikiran-pikiran yang mengganggu ketika
berusaha tidur dapat pula menyebabkan insomnia psikofisiologik. Selain itu,
ketika berusaha untuk tidur terjadi peningkatan ketegangan motorik dan
keluhan somatik lain sehingga juga menyebabkan tidak bisa tidur. Penderita
bisa tertidur ketika tidak ada usaha untuk tidur. Insomnia ini disebut juga
insomnia yang terkondisi. Mispersepsi terhadap tidur dapat pula terjadi.
Diagnosis ditegakkan bila seseorang mengeluh tidak bisa masuk atau
mempertahankan tidur tetapi tidak ada bukti objektif adanya gangguan tidur.
Misalnya, pasien mengeluh susah masuk tidur (lebih dari satu jam), terbangun
lebih lama (lebih dari 30 menit), dan durasi tidur kurang dari lima jam. Tetapi
dari hasil polisomnografi terlihat bahwa onset tidurnya kurang dari 15 menit,
efisiensi tidur 90%, dan waktu tidur totalnya lebih lama. Pasien dengan
gangguan seperti ini dikatakan mengalami mispersepsi terhadap tidur.

2. Insomnia idiopatik adalah insomnia yang sudah terjadi sejak kehidupan dini.

Kadang-kadang insomnia ini sudah terjadi sejak lahir dan dapat berlanjut
selama hidup. Penyebabnya tidak jelas, ada dugaan disebabkan oleh
ketidakseimbangan neurokimia otak di formasio retikularis batang otak atau
disfungsi forebrain. Lansia yang tinggal sendiri atau adanya rasa ketakutan
yang dieksaserbasi pada malam hari dapat menyebabkan tidak bisa tidur.
Insomnia kronik dapat menyebabkan penurunan mood (risiko depresi dan
anxietas), menurunkan motivasi, atensi, energi, dan konsentrasi, serta
menimbulkan rasa malas. Kualitas hidup berkurang dan menyebabkan lansia
tersebut lebih sering menggunakan fasilitas kesehatan.

2.1.3 Etiologi insomnia

Faktor penyebab terjadinya insomnia :

4
1. Faktor Psikologis
Seorang lansia mengalami insomnia biasanya karena hal-hal yang secara tiba-
tiba datang seperti, ditinggal pasangan atau ditinggal oleh anaknya sehingga
seorang lansia mengalami depresi dan stress. Hal inilah yang membuat para
lansia mengalami gangguan faktor psikologis dan berdampak pada pikiran
sehingga susah tidur.

2. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan juga bisa menjadi penyebab seseorang susah tidur. Hal ini
disebabkan oleh keadaan lingkungan yang bising dan kelembaban lingkungan.
Jadi bagi lansia yang akhir-akhir ini susah tidur mugkin karena faktor
lingkungan yang tidak bersahabat sehingga mengganggu pola tidur.

3. Perubahan pola tidur

Pola tidur yang salah juga menjadi penyebab terjadinya insomnia. Biasanya
para lansia menghabiskan waktu untuk tidur siang dan hal ini akan sulit bagi
mereka untuk tidur dimalam hari. Semakin bertambahnya usia pola irama
sirkadian mengalami perubahan sehingga menyebabkan perubahan pada pola
tidur seorang yang telah lansia.

4. Asupan nutrisi

Mengkonsumsi makanan yang salah juga dapat menyebabkan seseorang


terserang insomnia salah satunya jika mengonsumsi alkohol dan obat-obatan
hal ini sangat tidak baik bagi tubuh efeknya anda akan mengalami susah tidur.
Dan satu llagi tetap jaga kebersihan diri agar terhindar dari insomnia

5. Ketidaknyamanan fisik
Jika seorang lansia sedang mengalami batuk, nyeri, penyakit paru dan masih
banyak penyakit lainnya, hal itu juga dapat menyebabkan lansia susah untuk
tidur karena penurunan fisik yang drastis dan diiringi dengan berbagai penyakit
yang menggerogoti tubuhnya. Ketidaknyamanan fisik inilah yang
menyebabkan mereka terserang insomnia.

Insomnia ringan atau hanya sementara biasanya dipicu oleh:

1. Stres

2. Suasana yang ramai

3. Perbedaan suhu udara

4. Perubahan lingkungan sekitar

5
5. Masalah jadwal tidur dan bangun tidur yang tidak teratur
6. Efek samping pengobatan
2.1.4 Manifestasi klinis insomnia

Manifestasi klinis insomnia yang biasanya dirasakan umumnya berupa waktu


tidur yang kurang, mudah terbangun saat malam hari, bangun pagi lebih awal, rasa
mengantuk yang dirasakan sepanjang hari dan sering tertidur sejenak (Bestari, 2013).
Hal ini menyebabkan kualitas tidur seseorang menjadi menurun. Akibatnya akan
terlihat pada kehidupan sehari-hari, yaitu menurunnya kualitas hidup, produktivitas
dan keselamatan serta dapat menyebabkan tubuh terasa lemah, letih dan lesu akibat
tidur yang tidak lelap (Sumedi et. al., 2010).

2.1.5 Penatalaksanaan insomnia

Terapi yang diberikan untuk mengatasi insomnia terdiri dari terapi farmakologi
dan nonfarmakologi (Touhy, 2010). Terapi farmakologis yang diberikan kepada
lansia yang mengalami insomnia memberikan efek samping pada lansia seperti obat-
obatan jenis antidepresan, antihipertensi, antineoplastic, antikoligernik, hormon,
simpatometik amines, agen neurologi, dll (Touhy, 2010). Sedangkan terapi
nonfarmakologi untuk mengatasi insomnia terdiri dari Stimulus control, sleep
restriction, cognitive behavioral therapy, terapi relakasi, dan sleep hygiene
(Endeshaw, 2006). Namun dari sekian terapi nonfarmakologis, sleep hygiene
mrupakan terapi yang efektif untuk mengatasi gangguan tidur dibandingkan terapi
lainnya yang hanya mengedapankan persepsi dalam penggunaan tempat tidur dan
teknik nafas dalam (Touhy,2010). Sleep Hygiene merupakan tindakan untuk
mengatasi insomnia dimana terapi yang mengidentifikasi dan memodifikasi perilaku
dan lingkungan yang mempengaruhi tidur (Suastari,et.al. 2014). Dasar Sleep Hygiene
meliputi kegiatan-kegiatan yang mendorong tidur normal yang dapat dipraktekkan
oleh individu secara rutin untuk mencapai tidur normal (Meiner, 2011). Sleep
Hygiene menekankan jadwal dan rutinitas tidur yang stabil, lingkungan yang ramah
untuk tidur, menghindari zat-zat yang akan mengganggu tidur, olahraga teratur (tapi
tidak segera sebelum mencoba untuk tidur), menghindari minuman berkafein, pil
tidur, alkohol dan pengurangan stress (Meiner, 2011).

Penatalaksanaan Umum pada Insomnia, yaitu sebagai berikut:

1. Singkirkan atau terapi sindrom-sindrom yang spesifik


2. Latih kebiasaan tidur yang baik. Pertahankan waktu tidur yang teratur,
gunakan kamar tidur hanya untuk tidur. Jaga agar ruangan gelap, tenang,
dan dingin. Kembangkan suatu ritual tidur sekitar satu jam sebelum tidur.
Bangun pada waktu yang sama setiap pagi. Olahraga yang teratur pada siang

6
hari, tetapi tidak dilakukan setelah makan malam. Hindari aktivitas mental
yang terlampau bersemangat pada saat menjelang malam.
3. Berikan dukungan dan penghiburan. Lakukan psikoterapi, jika diperlukan.
Cobalah teknik relaksasi: relaksasi progresif, biofeedback, self-hypnosis,
meditasi dan lain-lain. Tekankan kepekaan akan kontrol diri.
4. Gunakan sedatif-hipnotik hanya untuk waktu yang terbatas. Sebagian besar
obat hipnotik menjadi tidak efektif lagi setelah 2 minggu jika digunakan
pada malam hari.
Tindakan atau upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia bisa juga
dilakukan dengan cara berikut:
1. Memakan makanan berprotein tinggi sebelum tidur, seperti keju atau susu.
Tripofan yang merupakan suatu asam amino dari protein yang dicerna,
dapat membantu agar mudah tidur.
2. Usahakan agar selalu beranjak tidur pada waktu yang sama.
3. Hindari tidur diwaktu siang atau sore hari.
4. Berusaha untuk tidur hanya apabila merasa benar-benar kantuk dan tidak
pada waktu kesadaran penuh.
5. Hindari kegiatan-kegiatan yang membangkitkan minat sebelum tidur.
6. Lakukan latihan-latihan gerak badan setiap hari, tetapi tidak menjelang
tidur.
7. Gunakan teknik-teknik pelepasan otot-otot serta meditasi sebelum berusaha
untuk tidur.
Adapun penatalaksanaan insomnia terdiri dari terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Berikut ini adalah penjelasannya:
1. Terapi non-farmakologis
1) Teknik deconditioning : pada teknik ini pasien diminta untuk
menggunakan tempat tidurnya hanya untuk tidur dan bukan untuk hal-
hal lainnya, bila pasien tidak tertidur dalam 5 menit, maka mereka
diminta untuk bangun dan melakukan hal lain. Terkadang, berganti
tempat atau ruangan tidur berguna bagi pasien (Sadock B. & Sadock V.,
2014).
2) Edukasi tentang sleep hygiene menurut Ebert Michael H. (2008) dengan
menggunakan terapi kontrol stimulus, yaitu :
Terapi kontrol stimulus
a. Menjaga waktu tidur dan terbangun agar konstan, bahkan saat hari
libur.
b. Saat sudah di tempat tidur hentikanlah kegiatan menonton tv,
membaca buku atau bekerja.
c. Hindari tidur siang.

7
d. Berolahraga secara rutin (3-4 kali per minggu), namun hindari
berolahraga di sore hari bila mengganggu waktu tidur nantinya.
e. Hentikan atau kurangi mengkonsumsi alkohol, kafein, rokok dan
substansi lain yang dapat mengganggu tidur.
f. Sebelum tidur lakukan aktifitas yang dapat menenangkan.
g. Aturlah agar ruangan tempat tidur terasa nyaman dan tenang
3) Terapi kognitif : pasien insomnia sering memiliki pemikiran dan
kepercayaan yang negatif tentang konsekuensi dari kondisi mereka.
Membantu pasien dalam menangani pemikiran dan kepercayaan mereka
yang tidak tepat adalah tujuan dasar dari terapi ini. Hal ini juga dapat
menurunkan kecemasan yang berhubungan dengan insomnia (Pigeon,
2010).
4) Terapi pembatasan tidur (retriksi) : terapi ini didasarkan pada prinsip
bahwa membatasi waktu yang dihabiskan di tempat tidur dapat
membantu memperbaiki kualitas tidur nantinya (McCurry et. al., 2007).
2. Terapi farmakologis
Terdapat dua penggolongan obat untuk pasien-pasien insomnia,
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine. Dimana golongan
benzodiazepine adalah nitrazepam dengan dosis anjuran 5 – 10 mg/malam,
flurazepam 15 – 20 mg/malam dan estazolam 1 – 2 mg/malam.
Sedangkan, zolpidem dengan dosis anjuran 10 – 20 mg/malam merupakan
golongan non-benzodiazepam. Pada orang-orang usia lanjut, dosis yang
diberikan harus lebih kecil dan peningkatan untuk dosis harus dilakukan
secara perlahan untuk menghindari terjadinya oversedation dan intoksikasi
(Maslim, 2007).

2.2 Literatur Review Intervensi pada Lansia dengan Insomnia

No. Judul Karya Ilmiah Metode (Design, Sampel, Variabel, Hasil


& Penulis Instrumen, Analisis)
1. Pengaruh Terapi Design : Ada pengaruh terapi
Musik Suara Air pra eksperimen dengan pendekatan one- music air mengalir
Mengalir dengan group time-series design. dengan brainwave
Brainwave terhadap Sampel : terhadap penurunan
Penurunan Insomnia 6 responden dari 20 lansia posyandu insomnia pada lansia
pada Lansia di lansia sedap malam
Wilayah Posyandu Variabel :
“Sedap Malam” Pare terapi music suara air mengalir dengan

8
Kediri brainwave dan tingkat insomnia
Widyasih Instrumen :
Sunaringtyas, Linda kuesioner
Ishariani, Ria Agustin Analisis :
Wahyuningtiyas hasil penelitian didapatkan setelah
dilakukan terapi music suara air
mengalir dengan brainwave bahwa
setengahnya 50% responden sesudah
diberikan terapi music suara air
mengalir dengan brainwave mengalami
kejadian insomnia ringan. Sedangkan
16% lansia mengalami insomnia berat
dan 34% lansia tidak ada keluhan
insomnia.
2. Efektifitas Design : Mendengarkan
Mendengarkan Quasy Eksperiment (eksperimen semu) murotal Al-Qur’an
Murotal Al-Qur’an Sampel : dalam waktu 12
terhadap Derajat 37 lansia dari 61 orang yang tinggal di menit selama 8 hari
Insomnia pada Lansia selter Dongkelsari Sleman Yogyakarta berturut-turut, efektif
di Selter Dongkelsari Variabel : menurunkan derajat
Sleman Yogyakarta kelompok intervensi yang diberikan insomnia pada lansia
Fatma Siti Fatimah, perlakuan mendengarkan murotal Al- di selter Dongkelsari
Zulkhah Noor Qur’an dan kelompok control tidak Sleman Yogyakarta.
diberikan perlakuan mendengarkan
murotal Al’Qur’an
Instrumen :
daftar pertanyaan tentang identitas
responden, kuesioner dari Kelompok
Studi Psikiatri Biologik Jakarta
(KSPBJ) insomnia rating scale dan
responden mendengarkan murotal Al-

9
Qur’an surat Ar-Rohmaan yang
dibacakan oleh Misyari Rasid melalui
instrument laptop dan speaker
Analisis :
Derajat insomnia kelompok kontrol,
yang mengalami insomnia ringan adalah
9 responden (50%) menjadi 6 (33,3%)
menurun 16,7%, insomnia sedang
sebanyak 5 (27,8%) menjadi 7 (38,9%)
meningkat 11,1% dan insomnia berat 4
(22,2%) menjadi 5 (27,8%) meningkat
5,6%. Derajat insomnia pada kelompok
intervensi sebelum diberikan perlakuan
mendengarkan murotal Al-Qur’an, yang
mengalami insomnia ringan 5 (26,3%)
menjadi 11 (57,8%) meningkat 31,5%,
insomnia sedang 6 (31,6%) menjadi 4
(21,1%) menurun 10,5% dan insomnia
berat 8 (42,1%) menjadi 4 (21,1%)
menurun 20%.
3. Pengaruh Rendam Design : Rendam air hangat
Air Hangat pada Kaki Pre-Eksperimental Design dengan pada kaki mampu
Terhadap Insomnia metode one group pretest postest menurunkan
pada Lansia di Panti design. insomnia pada lansia
Sosial Tresna Werdha Sampel : ditunjukkan hasil uji
Yogyakarta Unit 10 responden dari 20 lansia wilcoxon dengan
Budi Luhur Variabel : nilai z -2.859 dan
Titis Utami terapi rendam air hangat dan tingkat signifikansi (p)
insomnia 0,004 (p = 0,004 <
Instrumen : 0,05)
Kuesioner Insomnia Rating Scale

10
Analisis :
Sebelum diberikan rendam air hangat
pada kaki persentase terendah pada
kriteria insomnia berat yaitu 1 orang (10
%), dan persentase tertinggi pada
kriteria insomnia ringan yaitu 5 orang
(50 %). Setelah diberikan terapi rendam
air hangat pada kaki persentase terendah
pada kriteria insomnia sedang yaitu 1
orang (10%), dan tertinggi pada kriteria
tidak insomnia yaitu 5 orang (50 %).
Hasil perbedaan sebelum dan sesudah
dilakukan rendam air diperoleh hasil
persentase terendah pada kriteria
insomnia ringan dan berat masing-
masing sebesar (10 %), dan persentase
tertinggi pada kriteria tidak insomnia
yaitu (50 %).
4. HUBUNGAN METODE Ada Hubungan
KETERATURAN Cross Sectional Keteraturan
MENGIKUTI TEKNIK purposive sampling Mengikuti Senam
SENAM LANSIA SAMPEL : 30 orang lansia Lansia dengan
DAN KEBUTUHAN Pemenuhan
TIDUR LANSIA DI Kebutuhan Tidur
UPT PSLU Lansia di UPT PSLU
PASURUAN DI Pasuruan di Babat
BABAT Lamongan karena
LAMONGAN dengan mengikuti
(Mahardika, J., senam lansia secara
Haryanto, J. & Bakar, teratur maka dapat
A., 2012 meningkatkan

11
pemenuhan tidur.
5. PENGARUH METODE : Quasi Eksperimen Terjadi penurunan
AROMATERAPI (penelitian eksperimen semu) derajat insomnia
TERHADAP TEKNIK : purposive sampling yang signifikan pada
INSOMNIA PADA SAMPEL : 15 orang kelompok kelompok perlakuan,
LANSIA DI PSTW perlakuan, 15 orang kelompok kontrol selisih Mean derajat
UNIT BUDI LUHUR insomnia pre-test
KASONGAN dan post-test pada
BANTUL responden kelompok
YOGYAKARTA perlakuan sebesar
(Adiyati, S., 2010) 3,733, dari Mean
derajat insomnia pre-
test sebesar 12,27
dan Mean derajat
insomnia posttest
sebesar 8,53. Nilai t
sebesar 2,701
dengan nilai
probabilitas Sig(2
tailed) sebesar
0,017. 2. Kelompok
kontrol tidak terjadi
penurunan derajat
insomnia yang
signifikan, selisih
Mean derajat
insomnia pre-test
dan post-test pada
kelompok kontrol
sebesar 0,400, dari
Mean derajat

12
insomnia pre-test
sebesar 12,07 dan
Mean derajat
insomnia posttest
sebesar 11,67. Nilai t
sebesar 0,535
dengan nilai
probablitas Sig (2
tailed) 0,601. 3.
Derajat insomnia
post-test antara
kelompok perlakuan
dan kelompok
kontrol tidak
terdapat perbedaan
yang signifikan,
dengan hasil uji
statistik Independent
Sample t Test
didapatkan nilai t
sebesar -2,024
dengan nilai
probabilitas Sig. (2
tailed) 0,053.

6. HUBUNGAN METODE : Cross Sectional Semakin rendah


ANTARA SLEEP TEKNIK : simple random sampling perilaku sleep
HYGIENE SAMPEL : 56 lansia hygiene maka akan
DENGAN semakin buruk
KUALITAS TIDUR kualitas tidur pada
PADA LANJUT lanjut usia di Panti

13
USIA DI PSTW Sosial Tresna
YOGYAKARTA Werdha Yogyakarta
UNIT ABIYOSO Unit Abiyoso
PAKEMBINANGUN pakembinangun
PAKEM SLEMAN Pakem Sleman
(Rahmah, S. &
Syaifudin, 2014)

2.3 Konsep Impaksi

2.3.1 Definisi impaksi

Impaksi fekal adalah ketidakmampuan untuk mengevakuasi tinja keras besar pada
rektum dan atau pada usus besar. Impaksi fekal ini paling sering ditemukan di rectum
dan dikenal dengan istilah coprostasis atau inspissated stool syndrom (Obokhare,
2012). Impaksi fekal (Fecal Impaction) merupakan massa feses yang keras di lipatan
rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi material feses yang
berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh konstipasi, intake cairan yang kurang,
kurang aktivitas, diet rendah serat dan kelemahan tonus otot (Hidayat,2006)

Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa impaksi fekal adalah
ketidakmampuan mengevakuasi tinja atau feses yang eras besar pada rektum dan
usus besar yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi material feses yang
berkepanjangan.

2.3.2 Epidemiologi impaksi

Impaksi fekal merupakan keluhan saluran cerna terbanyak pada usia lanjut.
Terjadi peningkatan dengan bertambahnya usia dan 30-40 % orang di atas 65 tahun
mengeluhkan impaksi fekal (Holson, 2002). Di Inggris ditemukan 30% penduduk di
atas usia 65 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar
(Cheskin, dkk 1990). Di Australia sekitar 20% populasi di atas 65 tahun mengeluh
mendrita impaksi fekal dan lebih banyak pada wanita dibanding pria (Robert-
Thomson, 1989). Suatu penelitian yang melibatkan 3000 orang usia lanjut usia di
atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34% wanita dan 26% pria meneluh menderita
impaksi fekal (Harari, 1989).

14
2.3.3 Etiologi impaksi

Banyak lansia mengalami impaksi fekal sebagai akibat dari penumpukan sensasi
saraf, tidak sempurnanya pengosongan usus, atau kegagalan dalam menanggapi
sinyal untuk defekasi. Impaksi fekal merupakan masalah umum yang disebabkan
oleh penurunan motilitas, kurang aktivitas, penurunan kekuatan dan tonus otot.
Impaksi fekal umumnya ditemukan pada pasien dengan gangguan neuropsikiatri
seperti penyakit Alzheimer, penyakit Parkinson, demensia, dan stroke berat serta
pada pasien cedera tulang belakang (Obokhare, 2012).

Faktor-faktor risiko impaksi fekal pada usia lanjut:

1. Obat-obatan: golongan antikolinergik, golongan narkotik, golongan analgetik,


golongan diuretik, NSAID, kalsium antagonis, preparat kalsium, preparat
besi, antasida aluminium, penyalahgunaan pencahar.
2. Kondisi neurologik: stroke, penyakit parkinson, trauma medula spinalis,
neuropati diabetic.
3. Gangguan metabolik: hiperkalsemia, hipokalemia, hipotiroidisme.
4. Kausa psikologik: psikosis, depresi, demensia, kurang privasi untuk BAB,
mengabaikan dorongan BAB, impaksi fekal imajiner.
5. Penyakit-penyakit saluran cerna: kanker kolon, divertikel, ileus, hernia,
volvulus, iritable bowel syndrome, rektokel, wasir, fistula/fisura ani, inersia
kolon.
6. Lain-lain: defisiensi diet dalam asupan cairan dan serat, imobilitas/kurang
olahraga, bepergian jauh, paska tindakan bedah parut.
2.3.4 Patogenesis impaksi

Patogenesis impaksi fekal bervariasi macam-macam, penyebabnya multipel,


mencakup beberapa faktor yang tumpah tindih, motilitas kolon tidak terpengaruh
dengan bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan
perlambatan perjalanan saluran cerna. Pengurangan respon motorik sigmoid
disebabkan karena berkurangnya inervasi instinsik akibat degenerasi pleksus
myenterikus, sedangkan pengurangan rangsang saraf pada otot polos sirkuler
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Pada lansia mempunyai kadar
plasma beta- endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor
opiat endogen di usus. Ini dibuktikan dengan efek impaksi fekalf sediaan opiat
karena dapat menyebabkan relaksasi tonus otot kolon, motilitas berkurang dan
menghambat refleks gaster-kolon. Terdapat kecenderungan menurunnya tonus
sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan usia khususnya pada wanita.
Pada penderita impaksi fekal mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan
feses yang kecil dan keras, menyebabkan upaya mengejan lebih keras dan lebih lama.
Hal ini berakibat penekanan pada saraf pudendus dengan kelemahan lebih lanjut.

15
2.3.5 Manifestasi klinik impaksi

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan impaksi fekal adalah:


(ASCRS, 2002)

1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB

2. Mengejan keras saat BAB

3. Massa feses yang keras dan sulit keluar

4. Perasaan tidak tuntas saat BAB

5. Sakit pada daerah rectum saat BAB

6. Rasa sakit pada daerah perut saat BAB

7. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam

8. Menggunakan bantuan jari-jari intuk mengeluarkan feses

9. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB

2.3.6 Penatalaksanaan impaksi

1. Tatalaksana non farmakologik

1) Cairan

Keadaan status hidrasi yang buruk dapat menyebabkan impaksi fekal.


Kecuali ada kontraindikasi, orang lanjut usia perlu diingatkan untuk
minum sekurang kurangnya 6-8 gelas sehari (1500 ml cairan perhari)
untuk mencegah dehidrasi. Asupan cairan dapat dicapai bila tersedia
cairan/minuman yang dibutuhkan di dekat pasien, demikian pula
cairan yang berasal dari sup,sirup, dan es. Asupan cairan perlu lebih
banyak bagi mereka yang mengkonsumsi diuretik tetapi kondisi
jantungnya stabil.

2) Serat

Pada orang lanjut usia disarankan agar mengkonsumsi serat skitar 6-


10 gram per hari. Ada juga yang menyarankan agar mengkonsumsi
serat sebanyak 15-20 per hari. Serat berasal dari biji-bijian, sereal,
beras merah, buah, sayur, kacang-kacangan. Serat akan memfasilitasi
gerakan usus dengan meningkatkan masa tinja dan mengurangi waktu
transit usus. Serat juga menyediakan substrat untuk bakteri kolon,

16
dengan produksi gas dan asam lemak rantai pendek yang
meningkatkan gumpalan tinja.

3) Bowel training

Pada pasien yang mengalami penurunan sensasi akan mudah lupa


untuk buang air besar. Hal tersebut akan menyebabkan rektum lebih
mengembang karena adanya penumpukan feses. Membuat jadwal
untuk buang air besar merupakan langkah awal yang lebih baik untuk
dilakukan pada pasien tersebut, dan baik juga diterapkan pada pasien
usia lanjut yang mengalami gangguan kognitif. Pada pasien yang
sudah memiliki kebiasaan buang air besar pada waktu yang teratur,
dianjurkan meneruskan kebiasaan teresebut. Sedangkan pada pasien
yang tidak memiliki jadwal teratur untuk buang air besar, waktu yang
baik untuk buang air besar adalah setelah sarapan dan makan malam.

4) Latihan jasmani

Jalan kaki setiap pagi adalah bentuk latihan jasmani yang sederhana
tetapi bermanfat bagi orang usia lanjut yang masih mampu berjalan.
Jalan kaki satu setengah jam setelah makan cukup membantu. Bagi
mereka yang tidak mampu bangun dari tampat tidur, dapat
didudukkan atau didudukkan atau diberdirikan disekitar tempat tidur.
Positioning bagi pasien usia lanjut yang tidak dapat bergerak,
meninggalkan tempat tidurnya menuju ke kursi beberapa kali dengan
interval 15 menit, adalah salah satu cara untuk mencegah ulkus
dekubitus. Tentu saja pasien yang mengalami tirah baring dapat
dibantu dengan menyediakan toilet atau komod dengan tempat tidur,
jangan diberi bed pan. Mengurut perut dengan hati-hati mungkin
dapat pula dilakukan untuk merangsang gerakan usus.

5) Evaluasi penggunaan obat

Evaluasi yang seksama tentang penggunaan obat-obatan perlu


dilakukan untuk mengeliminasi, mengurangi dosis, atau mengganti
obat yang diperkirakan menimbulkan impaksi fekal.

2. Tatalaksana farmakologik

1) Pencahar pembentuk tinja (pencahar bulk/bulk lacative)

Pencahar bulk terbukti menurunkan impaksi fekal pada orang usia


lanjut dan nyeri defekai pada hemoroid. Sama halnya dengan serat,
obat ini juga harus diimbangi dengan asupan cairan.

17
2) Pelembut tinja

Docusate seringkali direkomendasikan dan digunakan oleh orang


lanjut usia sebagai pencahar dan sebagai pelembut tinja. Docusate
sodium bertindak sebagai surfaktan, menurunkan tegangan
permukaan feses untuk membiarakan air masuk dam memperlunak
feses. Docusate tidak dapat menolong impaksi fekal yang kronik.

3) Pencahar stimulant

Senna merupakan obat yang aman digunakan oleh orang usia lanjut.
Senna meningkatkan peristaltik di kolon distal dan menstimulasi
peristaltik diikuti dengan evakuasi feses yang lunak. Pemberian 20
mg senna per hari selama 6 bulan oleh pasien berusia lebih dari 80
tahun tidak menyebabkan kehilangan protein atau elektrolit. Senna
umumnya menginduksi evakuasi tinja 8-12 jam setelah pemberian.
Orang usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama yakni
sampai dengan 10 minggu sebelum mencapai kebiasaan defekasi
yang teratur. Pemberian sebelum tidur malam mengurangi risiko
inkontininsia fekal malam hari dan dosis juga harus ditritasi
berdasarkan respon individu. Terapi dengan Bisakodil supositoria
memiliki absorbsi sistemik minimal dan sangat menolong untuk
mengatasi diskezia rectal pada usia lanjut. Sebaiknya diberikan
segera setelah makan pagi secara supositoria untuk mendapatka efek
refleks gastrokolik. Penggunaan rutin setiap hari dapat menyebabkan
sensasi terbakar pada rectum, jadi sebaiknya digunakan secara rutin,
melainkan sekitar 3 kali seminggu.

4) Pencahar hyperosmolar

Pencahar hiperosmolar terdiri atas laktulosa disakarida dan sorbitol.


Di dalam kolon keduanya di metabolisme oleh bakteri kolon menjadi
bentuk laktat, aetat, dan asam dengan melepaskan karbondioksida.
Asam organik dengan berat molekul rendah ini secara osmotic
meningkatkan cairan intraluminal dan menurunkan pH feses.
Laktulosa sebagai pencahar hiperosmolar terbukti memperpendek
waktu transit pada sejumlah kecil penghni panti rawat jompo yang
mengalami impaksi fekal. Laktulosa dan sorbitol juga sama-sama
menunjukkan efektifitasnya dalam mengobati impaksi fekal pada
orang usia lanjut yang berobat jalan. Glikol polietelin merupakan
pencahar hiperosmolar yang potensial yang mengalirkan cairan ke
lumen dan merupakan zat pembersih usus yang efektif. Gliserin

18
adalah pencahar hiperomolar yang dugunakan hanya dalam bentuk
supositoria.

5) Enema

Enema merangsang evakuasi sebagai respon terhadap distensi kolon;


hasil yang kurang baik biasanya karena pemberian yang tidak
memadai. Enema harus digunakan secara hati-hati pada usia lanjut.
Pasien usia lanjut yang mengalami tirah baring mungkin
membutuhkan enema secara berkala untuk mencegah skibala.
Namun, pemberian enema tertentu terlalu sering dapat
mengakibatkan efek samping. Enema yang berasal dari kran (tap
water) merupakan tipe paling aman untuk penggunaan rutin, karena
tidak menghasilkan iritasi mukosa kolon. Enema yang berasal dari
air sabun (soap-suds) sebaiknya tidak diberikan pada orang usia
lanjut.

2.4 Literatur Review Intervensi pada Lansia dengan Impaksi

No. Judul/Author Metode Intervensi Hasil

1. Fecal Impaction Deskriptif Distal Pelunakan dan


(Farshid Araghizadeh, softtening/washout pengeluaran feses
2005). menggunakan menggunakan enema
enema dan dan suppositoria
suppositoria. terbukti membantu.
Sebagian besar
larutan enema
mengandung air dan
zat osmotik yaitu
natrium yang mampu
melunakkan feses.
Larutan yang
diberikan secara
rektal, secara mekanis
akan melunakkan
feses yang

19
mengenainya dan
secara lembut
merangsang rektum
untuk melakukan
pengeluaran feses.
2. Epidemiology and Deskriptif Pemberian Pemberian suplemen
Management of suplemen serat dan serat dan obat
Chronic Constipation obat pencahar. pencahar merupakan
in Elderly Patients pengobatan lini
(Roque dan Bouras, pertama yang terbukti
2015) efektif, tapi tidak
semua orang bisa
mendapatkan manfaat
pengobatan ini,
seperti pada pasien
slow transit
constipation/PFD.
3. Fecal Impaction: a Deskriptif Pelunakan feses Pelunakan feses yang
Systemic Review of its menggunakan teraba di rektum dapat
Medical enema dan menggunakan
Complications suppositoria. desimulasi manual
(Falcon, et al, 2016) menggunakan enema
dan suppositoria.
Pencegahan dengan
menggunakan obat
pencahar dan
suplemen serat harus
dipertimbangkan
karena daoat
menyebabkan
masalah berulang.

20
4. Use of gastrografin in A double Memberikan obat Sebanyak 124 pasien
the management of enema dan memenuhi syarat,
faecal impaction in gastrogadin dan tetapi hanya 83 yang
patients with severe membandingkan tercatat untuk
chronic constipation: hasilnya percobaan ini (usia
a randomized clinical rata-rata: 44 15,8
trial tahun). Empat puluh
dua pasien menerima
enema, dan 41 pasien
menerima
gastrografin, dengan
enam orang yang
putus sekolah pada
setiap kelompok.
Disimpaksi yang
berhasil dicapai
dengan enema
(69,44%) dan
gastrografin (88,57%;
P = 0,034), durasi
rata-rata impaksi
sangat berbeda antara
kedua kelompok
(masing-masing 67,13
berbanding 31,67; P
<0,01). Tingkat
keparahan sembelit
dan penilaian gejala
berkurang secara
signifikan pada
kelompok

21
gastrografin.

5. Fecal Impaction: A Fragmentasi manual Singkatnya, impaksi


Cause for Concern? atau disimpaksi feses adalah masalah
(Izi Obokhare, M.D.) GI umum pada orang
tua. Identifikasi dan
perawatan dini
meminimalkan
ketidaknyamanan
pasien dan potensi
risiko aspirasi,
ulserasi stercoral, atau
perforasi. Opsi
perawatan termasuk
disimpaksi digital dan
pencucian proksimal
atau distal. Setelah
perawatan, etiologi
yang mungkin harus
ditemukan dan terapi
pencegahan seperti
peningkatan serat
makanan dan asupan
air dapat dilakukan
untuk menghindari
kekambuhan.

22
BAB 3

CORE INTERVENTION

3.1 Intervensi pada Lansia dengan Insomnia

Ada banyak obat yang digunakan untuk mengobati insomnia, namun ini biasanya hanya
efektif dalam jangka pendek. Untuk manajemen jangka panjang masalah tidur, perlu
mempertimbangkan strategi seperti sleep hygiene, terapi kognitif, dan mengurangi tingkat
stres.

'Sleep hygiene' adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan tidur
yang baik. Banyak penelitian telah mengembangkan seperangkat pedoman dan tips yang
dirancang untuk meningkatkan kualitas tidur, dan ada banyak bukti yang menunjukkan
bahwa strategi ini dapat memberikan solusi jangka panjang untuk kesulitan tidur.

Ada banyak obat yang digunakan untuk mengobati insomnia, tetapi ini cenderung hanya
efektif dalam jangka pendek. Penggunaan pil tidur yang terus-menerus dapat menyebabkan
ketergantungan dan mengganggu pengembangan kebiasaan tidur yang baik terlepas dari
pengobatan, sehingga memperpanjang kesulitan tidur. Bicaralah dengan ahli kesehatan
tentang apa pilihan yang tepat tetapi penulis merekomendasikan sleep hygiene yang baik
sebagai bagian penting dari perawatan insomnia, baik dengan strategi lain seperti obat atau
terapi kognitif atau sendirian.

Tips untuk melaksanakan Sleep Hygiene:

1) Get regular (jadwal tetap teratur). Salah satu cara terbaik untuk melatih tubuh
agar tidur nyenyak adalah tidur dan bangun kurang lebih pada waktu yang sama
setiap hari, bahkan pada akhir pekan dan hari libur! Ritme teratur ini akan
membuat merasa lebih baik dan akan memberikan tubuh lebih segar untuk
melakukan aktivitas.
2) Sleep when sleppy (tidur disaat mengantuk). Cobalah untuk tidur ketika benar-
benar merasa lelah atau mengantuk, daripada menghabiskan terlalu banyak waktu
untuk bangun di tempat tidur.
3) Get up and try again (bangun dan coba kembali tidur). Jika belum bisa tidur
setelah sekitar 20 menit atau lebih, bangun dan lakukan sesuatu yang
menenangkan atau membosankan sampai merasa mengantuk, lalu kembali ke
tempat tidur dan coba lagi. Duduk dengan tenang di sofa dengan lampu mati
(cahaya terang akan memberitahu otak bahwa sudah waktunya untuk bangun),

23
atau membaca sesuatu yang membosankan seperti buku telepon. Hindari
melakukan apa pun yang terlalu merangsang atau menarik, karena ini akan
membangunkan lebih banyak lagi.
4) Avoid nicotine and caffeine (hindari konsumsi nikotin dan caffein). Sebaiknya
menghindari mengonsumsi kafein (dalam kopi, teh, minuman cola, cokelat, dan
beberapa obat) atau nikotin (rokok) selama setidaknya 4-6 jam sebelum tidur. Zat
ini bertindak sebagai stimulan dan mengganggu kemampuan untuk tertidur.
5) Avoid alcohol (hindari konsumsi alcohol). Sebaiknya hindari alkohol selama
setidaknya 4-6 jam sebelum tidur. Banyak orang percaya bahwa alkohol
menenangkan dan membantu mereka untuk tidur pada awalnya, tetapi sebenarnya
mengganggu kualitas tidur.
6) Bed is for sleeping (tempat tidur hanya untuk tidur). Usahakan tidak
menggunakan tempat tidur selain untuk tidur dan bercinta, sehingga tubuh
mengaitkan tempat tidur dengan tidur. Jika menggunakan tempat tidur selain
untuk tidur atau sebagai tempat menonton TV, makan, membaca, mengerjakan
laptop, membayar tagihan, dan hal-hal lain, tubuh tidak akan mempelajari
keterikatan ini.
7) No naps (tidak tidur siang). Sebaiknya adalah menghindari tidur siang di siang
hari, untuk memastikan bahwa lelah pada waktu tidur malam. Jika tidak bisa
melewati hari tanpa tidur siang, pastikan itu kurang dari satu jam dan sebelum jam
3 sore.
8) Sleep ritual (ritual yang dilakukan sebelum tidur). Dengan mengembangkan ritual
sebelum tidur tentang hal-hal untuk mengingatkan tubuh bahwa sudah waktunya
tidur – hal ini dilakukan beberapa orang dan merasa berguna untuk melakukan
peregangan santai atau latihan pernapasan selama 15 menit sebelum tidur setiap
malam, atau duduk dengan tenang dengan secangkir teh bebas kafein .
9) Bathtime (mandi). Berendam air panas 1-2 jam sebelum tidur dapat bermanfaat,
karena akan meningkatkan suhu tubuh, menyebabkan merasa mengantuk ketika
suhu tubuh turun lagi. Penelitian menunjukkan bahwa kantuk berhubungan
dengan penurunan suhu tubuh.

24
10) No clock-watching (tidak melihat jam). Banyak orang yang kesulitan tidur
cenderung terlalu banyak melihat jam. Sering memeriksa jam di malam hari dapat
membangunkan dari tidur (terutama jika menyalakan lampu untuk membaca
waktu) dan memperkuat pikiran negatif seperti "Oh tidak, lihat betapa
terlambatnya, saya tidak akan pernah bisa tidur" atau " ini sangat awal, saya hanya
tidur selama 5 jam, ini mengerikan. ”
11) Use a sleep diary (menggunakan buku harian tidur). Buku harian ini bisa
menjadi cara yang berguna untuk memastikan memiliki fakta yang benar tentang
tidur, daripada membuat asumsi. Karena buku harian melibatkan melihat jam
(lihat poin 10), adalah ide yang baik untuk hanya menggunakannya selama dua
minggu untuk mendapatkan ide tentang apa yang sedang terjadi dan kemudian
mungkin dua bulan di jalur untuk melihat bagaimana progres adakah kemajuan.
12) Exercise (olahraga). Olahraga teratur adalah ide yang bagus untuk
membantu tidur yang nyenyak, tetapi cobalah untuk tidak melakukan olahraga
berat dalam 4 jam sebelum waktu tidur. Jalan pagi adalah cara yang bagus untuk
memulai hari dengan merasa segar!.
13) Eat right (makan dengan benar). Diet yang sehat dan seimbang akan
membantu tidur nyenyak, tetapi pengaturan waktu itu penting. Beberapa orang
mengatakan bahwa perut yang sangat kosong pada waktu tidur mengganggu,
sehingga dapat bermanfaat untuk menikmati makanan ringan, tetapi makan berat
segera sebelum tidur juga dapat mengganggu tidur. Beberapa orang
merekomendasikan segelas susu hangat, yang mengandung triptofan, yang
bertindak sebagai penginduksi tidur alami.
14) The right space (ruang yang tepat). Sangat penting bahwa tempat tidur dan
kamar tidur tenang dan nyaman untuk tidur. Kamar yang lebih sejuk dengan
selimut yang cukup agar tetap hangat adalah yang terbaik, dan pastikan memiliki
tirai atau penutup mata untuk menghalangi cahaya pagi dan penyumbat telinga
jika ada suara di luar kamar.
15) Keep daytime routine the same (jaga rutinitas siang hari tetap sama).
Meskipun jika memiliki tidur malam yang buruk dan lelah, penting untuk menjaga

25
aktivitas siang hari seperti yang rencanakan. Artinya, jangan menghindari
aktivitas karena sudah merasa lelah. Ini bisa memperkuat insomnia.
Peran Perawat dalam melakukan intervensi Sleep Hygiene :
- Perawat bertanggung jawab untuk memfasilitasi dan meningkatkan kualitas
tidur lansia selama perawatan dengan memberikan rasa nyaman dan
mengeliminasi faktor-faktor gangguan tidur
- Perawat harus dapat meyakinkan lansia untuk dapat berkomitmen dalam
menjalankan program sleep hygiene
- Menjadwalkan kegiatan rutinan yang harus dilakukan oleh lansia
- Membantu menyiapkan kebutuhan yang diperlukan selama program sleep
hygiene
- Memantau setiap kegiatan sleep hygiene yang dilakukan oleh lansia
- Melakukan evaluasi setiap tahap program sleep hygiene yang telah dilakukan

3.2 Intervensi pada Lansia dengan Impaksi

Pada dasarnya, terapi konstipasi terbagi dalam dua fase, yaitu pengeluaran masa feses dan
terapi pemeliharaan. Pada kasus dengan impaksi rektal, feses sebaiknya segera dikeluarkan
dengan menggunakan enema paling tidak setiap hari selama 3 hari sebelum diberikan
laksatif oral. Dari beberapa jurnal menunjukkan bahwa pengobatan impaksi fekal dengan
pemberian supositoria dan enema memberikan pengaruh cukup baik.

Enema adalah suatu tindakan memasukkan cairan ke dalam rektum dan kolon untuk
memberikan rangsangan peristaltik dengan tujuan membersihkan sisa-sisa pencernaan, dan
persiapan sebelum melakukan tindakan diagnostik atau pembedahan. Namun prosedur
enema tidak boleh dilakukan pada pasien dengan hemoroid dan terdapat neoplasma kolon
atau rektum.

3.2.1 Alat dan Bahan

1. Sarung tangan.
2. Cairan gliserin atau Na Cl 0.9%.
3. Spuit 20 cc untuk penggunaan cairan NaCl digunakan irigator lengkap dengan
selang kanul rekti dengan ukuran dewasa 22-30 Fr/gliserin syringe enema.
4. Wadah enema.
5. Perlak dan kain pengalas.
6. Selimut.

26
7. Bengkok.
8. Jelly.
9. Tissue atau washlap.
10. Botol berisi air
3.2.2 Prosedur Enema

1. Menyiapkan alat dan didekatkan kepada pasien.


2. Persiapan pasien: memberikan informed consent, menjelaskan tentang prosedur
enema, indikasi enema, prosedur pelaksanaan dan meminta persetujuan pasien.
3. Memasang tirai, meminta pasien membuka pakaian bawahnya, memiringkan
badan ke kanan dengan posisi lutut kanan fleksi, dan memasang perlak dan
pengalas di bawah bokong pasien.
4. Mencuci tangan dan memakai sarung tangan.
5. Meletakkan pispot/ bengkok pada sisi bokong.
6. Menuangkan gliserin dengan suhu yang sama suhu badan ke dalam mangkok kecil
(20 cc).
7. Mengisi spuit dengan 20 cc gliserin, dan mengeluarkan udara.
8. Memasukkan ujung spuit secara perlahan-lahan pada anus sampai pangkalnya,
lalu memasukkan gliserin perlahan-lahan sambil meminta pasien menarik nafas
panjang.
9. Mengeluarkan spuit dari anus, diletakkan pada bak desinfeksi, dan meminta
pasien miring ke kiri selama 10-15 menit.
10. Saat pasien merasa ingin buang air besar, berikan pispot, lalu minta pasien
membersihkan anusnya dengan tissue.
11. Nilai karakteristik feses: konsistensi, warna, bau.
12. Membuka sarung tangan, membuang ke tempat sampah medis, mencuci tangan.
13. Mengucapkan terima kasih pada pasien, meminta pasien membersihkan diri di
kamar mandi, dan memakai kembali pakaiannya, sambil menunggu petunjuk
selanjutnya.
14. Mendokumentasikan tindakan yang telah dilakukan (waktu, jumlah, karakteristik
feses, keadaan abdomen).

27
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Insomnia pada lansia merupakan keadaan dimana individu mengalami suatu perubahan
dalam kuantitas dan kualitas pola istirahatnya yang menyebabkan rasa tidak nyaman atau
mengganggu gaya hidup yang di inginkan. Secara fisiologis, jika seseorang tidak
mendapatkan tidur yang cukup untuk mempertahankan kesehatan tubuh dapat terjadi efek-
efek seperti pelupa, konfusi dan disorientasi (Asmadi, 2008). Hal ini dapat disebabkan oleh
banyak faktor, yaitu faktor psikologis, faktor lingkungan, perubahan pola tidur, asupan
nutrisi, ketidaknyamanan fisik.

Ada banyak obat yang digunakan untuk mengobati insomnia, namun ini biasanya hanya
efektif dalam jangka pendek. Untuk manajemen jangka panjang masalah tidur, perlu
mempertimbangkan strategi seperti sleep hygiene, terapi kognitif, dan mengurangi tingkat
stres.

Pada dasarnya, terapi konstipasi terbagi dalam dua fase, yaitu pengeluaran masa feses dan
terapi pemeliharaan. Pada kasus dengan impaksi rektal, feses sebaiknya segera dikeluarkan
dengan menggunakan enema paling tidak setiap hari selama 3 hari sebelum diberikan
laksatif oral. Dari beberapa jurnal menunjukkan bahwa pengobatan impaksi fekal dengan
pemberian supositoria dan enema memberikan pengaruh cukup baik

4.2 Saran

Menyadari bahwa penyusun masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penyusun akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber – sumber
yang lebih banyak yang tentunya dapat di pertanggung jawabkan.

28
DAFTAR PUSTAKA

Adiyati,S. 2010..PENGARUH AROMATERAPI TERHADAP INSOMNIA PADA LANSIA


DI PSTW UNIT BUDI LUHUR KASONGAN BANTUL YOGYAKARTA. Vol 2 No 2.
Diakses pada 23 Maret 2019 di
http://ejurnal.stikeseub.ac.id/index.php/jkeb/article/view/79.
Amir N. Gangguan tidur pada lanjut usia diagnosis dan penatalaksanaannya. Cermin Dunia
Kedokteran. 2007; 34 (4/157): 196.
CCI. Sleep hygiene. Diakses pada 23 Maret 2019 di
https://www.cci.health.wa.gov.au/~/media/cci/mental%20health%20professionals/sleep/s
leep%20-%20information%20sheets/sleep%20information%20sheet%20-%2004%20-
%20sleep%20hygiene.pdf.
CCI. What is Insomnia. Diakses pada 23 Maret 2019 di
https://www.cci.health.wa.gov.au/~/media/CCI/Mental%20Health%20Professionals/Slee
p/Sleep%20-%20Information%20Sheets/Sleep%20Information%20Sheet%20-
%2002%20-%20What%20is%20Insomnia.pdf.
Fatimah, Fatma Siti. Efektifitas Mendengarkan Murotal Al-Qur’an terhadap Derajat Insomnsia
pada Lansia di Selter Dongkelsari Sleman Yogyakarta. JNKI, Vol.3, No. 1, Tahun 2016,
20-26.
Henuhili S, Wibisono S, Pleyte EH, Prihartono J. Proportion of mental disorders among the
elderly residence of Sasana Tresna Werda yayasan.
Indrawati, L., Andriyati, D. 2018. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif terhadap Insomnia pada
Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi 2014. Jurnal Ilmu Kesehatan, Vol 6(2): 140 -146
diakses di http://www.ejurnaladhkdr.com/index.php/jik/article/download/168/143
pada 24/03/2019 18.04 WIB
Jafar, Cindy Puspita Sari Haji. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik pada Lansia Ny. K dengan
Hipertensi di Wisma A BPSTW Yogyakarta Unit Budhi Luhur. Diakses pada 20 Maret
2019 di

29
https://www.academia.edu/34359444/ASUHAN_KEPERAWATAN_GERONTIK_PAD
A_LANSIA_Ny._K_DENGAN_HIPERTENSI_DI_WISMA_A_BPSTW_YOGYAKAR
TA_UNIT_BUDHI_LUHUR
Karya Bakti Ria Pembangunan Cibubur. Majalah Kedokteran Indonesia. 2005; 55 (10): 639-49.
Mahardika,J., Haryanto,J. & Bakar, A. 2012. HUBUNGAN KETERATURAN MENGIKUTI
SENAM LANSIA DAN KEBUTUHAN TIDUR LANSIA DI UPT PSLU PASURUAN
DI BABAT LAMONGAN. Vol 1, No 1. Diakses pada 23 Maret 2019 di https://e-
journal.unair.ac.id/IJCHN/article/view/11900/6822.
Obokhare, I. (2012). Fecal impaction : a cause for concern. New York : Thieme Medical
Publishers, Inc.
Potter, P. A, Perry, A. G. (2013). Fundamentals of nursing. 8th Ed. St. Louis, Missouri : Elsevier
Mosby.
Pradani, V. R., dkk. 2015. Hubungan Asupan Serat, Lemak, dan Posisi Buang Air Besar dengan
Kejadian Konstipasi pada Lansia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol 3(3):257-265
diakses di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm pada 24/03/2019.
Rahmah, S. & Syaifudin. 2014. HUBUNGAN ANTARA SLEEP HYGIENE DENGAN
KUALITAS TIDUR PADA LANJUT USIA DI PSTW YOGYAKARTA UNIT
ABIYOSO PAKEMBINANGUN PAKEM SLEMAN. Diakses pada 23 Maret 2019 di
http://digilib.unisayogya.ac.id/451/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf.
Sibarani, Desi Rohana. 2017. Asuhan Keperawatan pada Ny. M dengan Prioritas Masalah
Kebutuhan Dasar : Istirahat dan Tidur Pasien Hipertensi di Kelurahan Sari Rejo Medan
Polonia. Diakses pada 20 Maret 2019 di
http://repositori.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/2590/142500020.pdf?sequence=1
&isAllowed=y.
Sunaringtyas, Widyasih. Pengaruh Terapi Musik Suara Air Mengalir dengan Brainwave terhadap
Penurunan Insomnia pada Lansia di Wilayah Posyandu “Sedap Malam” Pare Kediri.
Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 4 (1), Januari 2017, 76-79. Diakses pada 24
Maret 2019 di http://nursingjurnal.respati.ac.id/index.php/JKRY/index.
Surilena. Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi pada lansia di Jakarta. Majalah Kedokteran
Damianus. 2006; 5 (2): 115-29.
Utami, Titis. 2015. Pengaruh Rendam Air Hangat pada Kaki Terhadap Insomnia pada Lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budi Luhur. Diakses pada 24 Maret 2019 di
http://digilib.unisayogya.ac.id/241/.

30

Anda mungkin juga menyukai