Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penuaan merupakan suatu proses alamiah yang akan dialami oleh setiap

manusia. Dalam proses ini terjadi penurunan fisik, psikologis maupun sosial

kehidupan orang lanjut usia (lansia) sehingga dapat menyebabkan

ketergantungan kepada orang lain. Salah satu perubahan yang terjadi pada

lansia adalah kebutuhan tidur yang akan semakin berkurang seiring dengan

bertambahnya usia. Kebutuhan tidur pada usia dua belas tahun berkurang

menjadi delapan jam, usia empat puluh tahun sebanyak tujuh jam, dan usia

delapan puluh tahun adalah enam jam. Secara fisiologis pada struktur tidur

lansia, terjadi peningkatan fase terjaga dan penurunan fase tidur lansia menjadi

berkurang. Kondisi ini cenderung mengakibatkan permasalahan kesehatan

secara fisik ataupun kesehatan mental atau jiwa.

Gangguan tidur terjadi paling sering dialami oleh lansia adalah insomnia.

Di dunia angka prevalensi insomnia pada lansia diperkirakan sebesar 13-47%

dengan proporsi sekitar 50-70% terjadi pada usia diatas 65 tahun. Sebuah

penelitian Aging Multicenter melaporkan bahwa sebesar 42 % dari 9.000

lansia yang berusia diatas 65 tahun mengalami gelaja insomnia. Di Indonesia

angka prevalensi insomnia pada lansia sekitar 67%. Namun sayangnya hanya

satu dari delapan penderita insomnia yang diketahui karena mencari

pengobatan dokter.

Insomnia merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami

kesulitan untuk tidur, terutama tidur dimalam hari. Insomnia merupakan

1
masalah kesehatan yang sering dijumpai disemua lingkungan, baik pada

negara maju maupun negara berkembang. Penderita insomnia pun tidak

terbatas pada kisaran umur tertentu. Semua usia rawan terkena insomnia, baik

pada bayi, anak-anak, remaja, dewasa, maupun lanjut usia. Sebesar 60-75%

merupakan insomnia sekunder yang disebabkan oleh gangguan kesehatan

fisik, mental, lingkungan, atau penggunaan obat-obatan. Penelitian ( Marcel et

al, 2010) menyatakan bahwa lansia dengan penyakit yang mendasari seperti

depresi, hipertensi, penyakit jantung atau paru, stroke, diabetes melitus, atau

arthritis memiliki kualitas tidur yang lebih buruk dan durasi tidur yang

berkurang dibandingkan dengan lansia yang sehat. Sedangkan 25-30% sisanya

merupakan insomnia primer yang dipengaruhi oleh gangguan endokrin,

neurologi, dan perilaku.

Dampak insomnia cukup besar, yaitu rasa lelah, berkurangnya energi,

kesulitan berkosentrasi dan iritabel selain itu juga menyebabkan gangguan

mood, penyesuaian sosial dan kelelahan berat sehingga dapat mengakibatkan

kecelakaan pada waktu kerja (Lumbantobing, 2004). Masalah yang muncul

pada lansia yang mengalami insomnia yaitu kesulitan untuk tidur, sering

terbangun lebih awal, sakit kepala disiang hari, kesulitan berkosentrasi, dan

mudah marah. Dampak yang lebih luas akan terlihat depresi, insomnia juga

berkontribusi pada saat mengerjakan pekerjaan rumah maupun berkendara,

serta aktivitas sehari-hari dapat terganggu (Nurhidiyati, 2016 dikutip dalam

Rafiudin, 2004). Jika lansia kurang tidur yaitu perasaan bingung, curiga,

hilangnya produktivitas kerja, serta menurunya imunitas. Kurang tidur

menyebabkan masalah pada kualitas hidup lansia, memperburuk penyakit

2
yang mendasarinya, suasana hati menjadi negatif, mengakibatkan kecelakaan,

seperti terjatuh, serta kecelakaan dalam rumah tangga. Insomnia juga dapat

menyebabkan kematian pada lansia (Fitriani, 2014).

Menurut Haryanto (2009) menyebutkan insomnia dapat memberikan efek

samping pada kehidupan seseorang. Dampak fisiologis karena kebanyakkan

insomnia diakibatkan oleh stres, dampak psikologis berupa gangguan

memori,gangguan kosentrasi, kehilangan motivasi dan depresi, dampak fisik

dari insomnia terdiri dari penurunan kadar melatonin darah, kurang cukup

tidur REMS maka keesokan harinya keadaan fisik menjadi kurang gesif,

dampak sosial berupa kualitas tidur yang terganggu, seperti susahnya

mendapatkan promosi pada lingkungan kerjanya, kurang bisa menikmati

hubungan sosial dan keluarga, kematian orang yang tidur dari 5 jam semalam

memiliki angka harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam

semalam.

Disamping itu penelitian Sivertsen (2006) menyatakan bahwa insomnia

pada lansia berhubungan dengan penurunan produktivitas dan sosial ekonomi.

Hal ini menyebabkan kapasitas kerja menurun, ketidakpuasan dalam bekerja,

meningkatnya level stres kerja, dan sering absen kerja karena sakit. Jadi

dengan kata lain orang yang menderita insomnia kurang produktif dalam

hidupnya.

Selama ini berbagai terapi pengobatan telah dikembangkan untuk

membantu para lansia mengatasi keluhannya sehingga meminimalisasi

dampaknya terhadap kehidupan. Namun hingga saat ini belum ditemukan

suatu terapi pengobatan yang ideal bagi lansia penderita insomnia. Pengobatan

3
farmakologis seperti golongan hipnotik sedatif dapat diberikan berdasarkan

indikasi klinis. Namun dalam penggunaan jangka panjang, pengobatan ini

tidak dianjurkan sebab memiliki efek samping yang berbahaya. Penelitian

Glass et al (2005) menyatakan bahwa gelongan hipnotik sedatif meningkatkan

resiko araxia, gangguan kognitif, dan jatuh pada lansia.

Hal-hal yang mempercepat tidur dimalam hari yaitu dengan rilekskan

tubuh dan pikiran agar merelaksasi dan menenangkan saraf-saraf pikiran

sehingga dapat terhindar dari stress dan dapat tidur dengan nyenyak, rapihkan

dan bersihkan tempat tidur sebelum merebahkan tubuh dikasur dengan

mengibaskan debu halus dan membuat rapih tempat tidur sehingga membantu

untuk kenyamanan tidur, matikan lampu agar membuat suasana kamar

menjadi lebih nyaman sangat disarankan untuk tidur dalam keadaan gelap

gulita yang membuat kualitas tidur menjadi sangat baik dan mempercepat

tidur dimalam hari, berwudhu sebelum tidur dengan berwudhu maka badan

menjadi segar dan merilekskan otot sebelum tidur, gunakan penutup mata

dengan tujuan untuk mencegah mata terkena cahaya sehingga mampu

mengirim rangsangan ke otak untuk membantu proses mengistirahatkan tubuh

dan pikiran, fokuskan pikiran untuk tidur, asupan kalsium yang cukup untuk

tubuh berfungsi untuk mengendurkan sistem saraf yang membantu tidur

nyenyak dan nyaman, lakukan gerakan terapi yaitu dengan mengambil napas

dalam lalu berhenti bernapas selama 10 detik kemudian ulangi hingga 3 kali

atau lebih gerakan ini untuk mengurangi aktivitas gelombang otak sehingga

membuat tubuh secara cepat bisa ke tahap awal sebelum tidur, lakukan

tekanan pada telapak kaki selama 5 menit seperti berjalan-jalan biasa dikamar

4
hal ini karena jari-jari dan telapak kaki secara langsung berhubungan dengan

organ otak sehingga dengan berjalan-jalan selama 5 menit sebelum tidur

bermanfaat untuk mendorong syaraf otak menjadi nyaman dan rileks sehingga

lebih mudah untuk tidur, jangan mengkonsumsi makanan berat sebelum tidur

karena hal ini agar perut tidak penuh ketika tidur, lakukan terapi pernapasan

bernapas sangat mempengaruhi fisiologi dan proses berpikir termasuk suasana

hati.

Penanganan insomnia selain dengan cara farmakologis dapat dilakukan

dengan non farmakologis menggunakan terapi dapat juga bersifat

simptomatik, termasuk memperbaiki umpan balik biologis, teknik kognitif,

teknik relaksasi dan tindakan sleep hygiene. Perilaku tindakan sleep hygiene

yang tepat untuk membuat pola tidur yang tepat sehingga pola tidur baik dan

tidak memerlukan penggunaan obat (Potter & Perry, 2006).

Menurut Suastari, dkk (2014) terapi non farmakologis yang paling efektif

untuk mengatasi insomnia adalah terapi perilaku, yaitu sleep hygiene. Sleep

hygiene merupakan identifikasi dan memodifikasi perilaku dan lingkungan

yang mempengaruhi tidur. Sebagaimana dijelaskan bahwa “higiene tidur

merupakan suatu manipulasi lingkungan yang dapat digunakan dalam

mengatasi masalah insomnia dengan cara mengatur jadwal tidur seseorang

secara teratur”. Manipulasi lingkungan merupakan suatu pendekatan yang

terbaik dalam mengatasi masalah insomnia pada usia lanjut (Depkes, 2006).

Perilaku sleep hygiene pada usia lanjut merupakan cara yang sederhana namun

efektif dalam meningkatkan kualitas tidur (Puspitosari, 2008). Penelitian Le

5
Bourgeois et al (2008) menyatakan bahwa sleep hygiene berperan penting

terhadap kualitas tidur sehingga kebiasaan tidur menjadi lebih baik.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul “Hubungan Tindakan Sleep Hygiene terhadap

Insomnia pada Lansia di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Adakah hubungan tindakan Sleep Hygiene terhadap insomnia pada

lansia di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui tentang “Hubungan tindakan sleep hygiene terhadap

insomnia di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018”.

13.2 Tujuan Khusus

1. Mengindentifikasi tindakan sleep hygiene pada lansia di UPT PSLU Di

Jombang di Pare tahun 2018

2. Mengidentifikasi insomnia pada lansia di UPT PSLU Jombang di Pare

tahun 2018

3. Menganalisis hubungan tindakan sleep hygiene terhadap insomnia di UPT

PSLU Jombang di Pare tahun 2018.

6
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan atau khasanah ilmu dalam perkembangan ilmu

keperawatan gerontik dan meningkatkan ilmu pengetahuan khususnya

dalam ilmu keperawatan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Instansi Pendidikan

Sebagai masukan dalam mengembangkan keilmuan khususnya yang

berkaitan dengan sleep hygiene dengan insomnia. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan referensi di

perpustakaan S1 Keperawatan Universitas Kadiri dan memberikan

gambaran serta informasi bagi peneliti selanjutnya.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan wawasan tentang

hubungan tindakan sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia.

3. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan, motivasi

untuk meningkatkan proses belajar. Dan sebagi pengalaman belajar

dan acuan dalam melakukan penelitian selanjutnya

4. Bagi Responden

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan

tindakan sleep hygiene dengan insomnia dan juga memberikan

gambaran tentang sleep hygiene untuk mencegah insomnia.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

2.1.1 Definisi lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada dasar

perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut pasal 1 ayat

(2), (3), (4) UU No.13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut

adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk,

2008).

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia)

apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan

tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan

kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stress lingkungan. Lansia adalah

keadaan ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan

terhadap kondisi stress fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya

kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Bandiyah,

2009).

Penetapan usia 65 tahun keatas sebagai awal masa lanjut usia (Lansia)

dimulai pada abad ke-19 di negara Jerman. Usia 65 tahun merupakan batas

minimal untuk kategori lansia. Namun, banyak lansia yang masih menganggap

dirinya berada pada masa usia pertengahan. Usia kronologis biasanya tidak

memiliki banyak keterkaitan dengan kenyataan penuaan lansia. Setiap orang

8
menua dengan cara yang berbeda-beda, berdasarkan waktu dan riwayat hidupnya.

Setiap lansia adalah unik, oleh karena itu perawat harus memberikan pendekatan

yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Nugroho, 2008).

Menurut undang-undang RI No.13 tahun 1988 tentang kesejahteraan lanjut

usia pada Bab I pasal 1 ayat 2 yang berbunyi lanjut usia adalah seseorang yang

mencapai usia 60 tahun keatas. Lanjut usia adalah suatu yang akan pasti dialami

oleh semua orang yang dikarunia usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh

siapapun. Menurut undang-undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal

19 ayat 1 bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya

mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan

memberikan perubahan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, karena itu

kesehatan manusia lanjut usia perlu mendapatkan perhatian khusus dengan tetap

dipelihara dan ditingkatkkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif

sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat ikut serta berperan aktif dalam

pembangunan.

2.1.2 Teori proses menua

1) Teori genetic clock

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik, didalam nukleus

terdapat jam genetik yang menghitung mitosis dan menghentikan replikasi

sel dan akan berhenti bila kita meninggal dunia. Melalui teori ini dapat

diterangkan mengapa tiap spesies memiliki perbedaan harapan hidup.

Secara teoritis jam ini dapat diputar lagi untuk beberapa waktu dengan

pengaruh dari luar, misalnya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

9
obat-obatan dan tindakan-tindakan tertentu. Pengontrolan genetik umur

dilakukan melalui seluler, yaitu nukleus yang menentukan jumlah

replikasi, kemudian menua dan mati (Darmojo dan Martono, 2006).

2) Teori mutasi somatik (error catastroplhe)

Menurut teori ini menua disebabkan oleh kesalahan beruntun dalam

kehidupan yang berlangsung dalam waktu lama. Terjadi kesalahan dalam

proses transkipsi (DNA menjadi RNA) ataupun dalam proses translasi

(RNA ke sintesa protein atau enzim). Sehingga akan terbentuk enzim yang

salah, dan menyebabkan reaksi metabolisme yang salah, yang akan

mengurangi fungsional sel (Darmojo dan Martono, 2006).

3) Teori rusaknya sistem imun tubuh

Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen

permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan terjadinya sistem imun

tubuh menganggap sel mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing

dan menghancurkannya, perubahan ini menjadi dasar terjadinya

“Autoimun” (Darmojo dan Martono, 2006).

4) Teori menua akibat metabolisme

Pada tahun 1935, Mekey Et Al, memperlihatkan bahwa pengurangan

intake kalori pada rodentina muda akan menghambat pertumbuhannya dan

dapat mencapai umur 2x lebih panjang umur kontrolnya (Darmojo dan

Martono, 2006).

10
5) Teori kerusakan akibat radikal bebas

Dikemukakan oleh D.Harman tahun 1959 konsep molekul radikal bebas

sebenarnya ada di dalam tubuh dan menjadi bertambah sesuai dengan

bertambahnya umur.

Radikal bebas yang terdapat dilingkungan seperti asap kendaraan bermotor

dan rokok, radiasi, sinar ultra violet dll dapat mengakibatkan terjadinya

perubahan pigmen dan kolagen (Setiabudi dan Hardiwinoto, 2005).

Pada proses respirasi oksigen diperlukan untuk pembentukan ATP

melalui enzim-enzim respirasi di dalam mitokondria, dan radikal bebas di

hasilkan sebagai zat antara misalnya : superoksida, radikal hidroksil, dan

hydrogen peroksida. Radikal bebas bersifat merusak dan sangat reaktif

sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, asam lemak tak jenuh,

walaupun telah ada system penangkal namun sebagian radikal bebas tetap

lolos, bahkan makin tua makin banyak radikal bebas yang terbentuk

sehingga proses kerusakan sel terus terjadi (Darmojo dan Martono, 2006).

2.1.3 Batasan lansia

Menurut pendapat berbagai ahli batasan-batasan umur yang mencakup

batasan umur lansia adalah sebagai berikut :

1. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 pasal 1 ayat

2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60

(enam puluh) tahun ke atas”.

2. Menurut Word Health Organization (WHO),usia lanjut dibagi menjadi

empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun,

11
lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90

tahun, usia sangat tua (very old) ialah diatas 90 tahun.

3. Menurut Dra. Jos Masdani (psikolog UI) terdapat empat fase yaitu :

pertama (fase invetus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55

tahun, ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium)

ialah 65 hingga tutup usia.

4. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia (geriatric

age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75

tahun), old (75-80 tahun), dan very old (>80 tahun). (Bandiyah, 2009)

2.1.4 Klasifikasi lansia

1. Pralansia adalah seseorang yang berusia antara 45-59 tahun.

2. Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih

3. Lansia resiko tinggi adalah seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih

dengan masalah kesehatan.

4. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan

dan kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan jasa.

5. Lansia tidak potensial adalah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah,

sehingga hidupnya bergantungan pada bantuan orang lain. (Maryam dkk,

2008)

2.1.5 Karakteristik lansia

Menurut Maryam dkk (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai

berikut:

12
1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13

tentang kesehatan).

2. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai titik,

dari kebutuhan bio,psiko,sosial sampai spritual, serta dari kondisi adaptif

hingga maladaptive.

3. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi

2.1.6 Perubahan yang terjadi pada lansia

Menurut Stanley, dkk (2007), perubahan yang terjadi pada lanjut usia

meliputi :

1. Perubahan fisik

a. Sel

Jumlah berkurang, ukuran membesar, cairan tubuh menurun dan cairan

intraseluler menurun.

b. Persyarafan

Saraf panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat

dalam merespon dan waktu bereaksi, khususnya yang berhubungan

dengan stres yang berkurang atau hilang lapisan.

c. Sistem Pernapasan

Otot pernapasan kekuatannya akan menurun dan kaku, kemampuan

batuk menurun akibat penurunan aktivitas silia sehingga pengeluaran

secret berkurang dan mengalami hambatan atau obstruksi, elastisitas

paru menurun sehingga jumlah udara pernapasan yang masuk ke paru

13
mengalami penurunan, alveoli jumlahnya berkurang dan semakin

melebar serta terjadinya penyempitan bronkus.

d. Sistem Pendengaran

Hilangnya kemampuan pendengaran pada telinga bagian dalam, pada

membran tympani atropi terjadi pengumpulan serumen yang dapat

mengeras karena mengumpulnya keratin dan tulang-tulang

pendengaran mengalami kekakuan.

e. Sistem Penglihatan

Kornea lebih berbentuk skeris, lensa lebih suram (kekeruhan pada

lensa), meningkatanya ambang pengamatan sinar (daya adapsif

terhadap gelap lambat dan kesulitan untuk melihat dalam kondisi

gelap), akomodasi menurun, lapang pandang menurun serta

berkurangnya luas pandang. Sulitnya lansia membedakan warna biru

dan hijau.

f. Sistem Kardiovaskuler

Katup jantung mulai menebal dan kaku, kemampuan jantung

memompa darah menurun 1% (kontraksi dan volumen), menurunnya

elastisitas pembuluh darah, meningkatnya retensi pembuluh darah

perifer sehingga tekanan darah meningkat.

g. Sistem Perkemihan

Ukuran ginjal akan mengecil (atropi), penyaringan di glomerulus

menurun, otot-otot vesikaunaria melemah dimana terjadi penurunan

kapasitas sampai 200cc sehingga frekuensi untuk BAK meningkat.

14
h. Sistem Pencernaan

Kehilangan gigi, esofagus melebar, asam lambung menurun, peristaltic

mulai melemah sehingga daya absorpsi menurun dan akan

menyebabkan konstipasi. Ukuran lambung mulai mengecil serta fungsi

organ aksesori menurun dan akan mengakibatkan hormone dan enzim

berkurang.

i. Sistem Integumen

Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak, kulit kering dan tidak

elastic karena kurangnya cairan dan hilangnya jaringan adiposa,

rambut dalam hidung dan telinga menebal, kelenjar keringat mulai

tidak bekerja dengan baik, rambut memutih, vaskularisasi menurun,

kulit pucat dan terdapat bintik-bintik kehitaman akibat menurunnya

aliran darah dan sel penghasil pigmen, kuku kaki dan tangan rapuh dan

tebal serta pertumbuhan rambut mengalami penipisan.

j. Sitem Endokrin

Hormon mulai menurun produksinya, menurunnya produksi aldosteron

dan sekresi hormon gonad (progesterone, estrogen, dan testosterone )

dan penurunan hormone dapat menyebabkan hipotirodisme depresi

dari sum-sum tulang dan ketidakmampuan mengatasi tekanan jiwa.

k. Sistem Muskulokeletal

Cairan tulang menurun sehingga tulang kehilangan kepadatan dan

mengakibatkan kerapuhan tulang (osteoporosis), bungkuk (kifosis),

persendian besar dan kaku (atropiotot), tremor, kram, tendon

mengkerut dan sklerosis.

15
2. Perubahan mental atau psikologis pada lansia

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental, yaitu :

a. Perubahan fisik

b. Kesehatan umum

c. Tingkat pendidikan

d. Keturunan (herediter)

e. Lingkungan

f. Gangguan memori : kenangan jangka panjang (berjam-jam sampai

berhari-hari yang lalu mencakup beberapa perubahan), kenangan

jangka pendek atau sekitar (0-10 menit), dan kenangan buruk.

g. IQ (intelegense quotient) : tidak berubah dengan informasi dan

perkataan verbal, berkurangnya penampilan, persepsi dan

keterampilan psikomotor : terjadi perubahan pada daya

membanyangkan karena tekanan-tekanan dari factor tertentu.

3. Perubahan psikososial

a. Pensiunan

Nilai seseorang sering di ukur oleh produktifitasnya dan identitas

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiunan

(purnatungas), dia akan mengalami kehilangan-kehilangan antara lain:

kehilangan finansial (pemasukan berkurang), kehilangan status,

kehilangan teman/relasi dan kehilangan pekerjaan atau kegiatan.

b. Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awernwes of mortality )

16
c. Perubahan dalam hidup, yaitu memasuki rumah perawatan lebih

sempit.

d. Ekonomi melemah atau menurun akibat pemberhentian dari jabataan

(economic deprivation).

e. Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya

biaya pengobatan.

f. Penyakit kronis dan ketidakmampuan.

g. Gangguan saraf dan pencernaan.

h. Hilangnya kekuatan dan ketegangan fisik (perubahan terhadap

gambaran diri dan konsep diri ).

2.1.7 Tipe Lansia

Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup

lingkungan kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya (Nugroho,2000) tipe

tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

1. Tipe arif bijaksana

Menggantikan kegiatan yang hilang yang baru, selektif dalam mencari

pekerjaan, bergaul dengan teman dan memenuhi undangan. Kaya

dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan

zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati sederhana

dermawan, memenuhi, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

17
2. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan

banyak menuntut.

3. Tipe pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama dan

melakukan pekerjaan apa saja.

4. Tipe binggung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder menyesal

pasif dan acuh tak acuh.

2.2 Konsep Tidur

2.2.1 Pengertian Tidur

Tidur merupakan proses normal yang bersifat aktif, teratur, berlubang,

reversibel yang dibutuhkan oleh otak untuk menunjang proses fisiologisnya.

Menurut Patricia dan Anne (2005) tidur adalah proses fisiologis yang bersiklus

yang bergantian dengan periode yang lebih lama dari keterjagaan. Tidur

merupakan bagian penting dalam siklus 24 jam dimana organisme manusia harus

berfungsi (Hudack dan Gallo, 1998). Sedangkan menurut Amir (2007) tidur

merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan oleh seseorang untuk berfungsi

dengan baik. Tujuan tidur untuk mencegah kelelahan fisik dan psikis. Kurang

tidur memperpanjang waktu sembuh dari sakit.

18
2.2.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya

hubungan mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan

menekan pusat otak agar dapat tidur dan bangun. Salah satu aktifitas tidur

ini diatur oleh sistem pengaktivasi retikularis yang merupakan sistem yang

mengatur seluruh tingkatan kegiatan susunan saraf pusat termasuk

pengaturan kewaspadaan dan tidur (Hidayat, 2008)

Pusat pengaturan aktifitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam

mesensefalon dan bagian atas pons. Reticular Aktivating System (RAS)

terletak pada batang otak teratas. RAS terdiri dari sel khusus yang

mempertahankan kewaspadaan dan tidur. Selain itu, RAS dapat

memberikan rangsangan visual, pendengaran, nyeri, dan perabaan, juga

dapat menerima stimulasi dari korteks serebri termasuk rangsangan emosi

dan proses tidur. Dalam keadaan sadar, neuron dalam RAS akan melepas

katekolamin seperti nerepineprin. Demikian juga pada saat tidur,

kemungkinan disebabkan adanya pelepasan serum serotin dari sel khusus

berada di pons dan batang otak tengah, yaitu Bulbar Synchronizing

Regional (BSR), sedangkan saat bangun tergantung pada keseimbangan

impuls yang diterima dipusat otak dan sistem limbie. Dengan demikian

sistem pada batang otak yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur

adalah RAS dan BSR (Hidayat, 2008).

Ketika seseorang mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan

berada dalam posisi rileks, stimulasi ke RAS akan menurun. Jika ruangan

gelap dan terang, maka aktivasi RAS selanjutnya akan menurun. Pada

19
beberapa bagian BSR akan mengalami alih kemudian menyebabkan tidur

(Potter dan Perry, 2006).

1) Tahapan Tidur

Tahap tidur dikelompokkan berdasarkan karakteristik

electroencephalogram (EEG) dan tidak adanya rapid eye movement

(REM). Tidur malam normal merupakan sebuah siklus yang terdiri dari 4

tahap NREM dan I tahap REM. Diperkirakan 75-80% waktu tidur adalah

tahap NREM sementara sisanya adalah tahap REM.

Tidur NREM tahap I merupakan tidur dengan tingkatan yang paling ringan

sehingga seseorang dapat dengan mudah terbangun. Ketika memasuki

tidur NREM tahap II, terjadi pergerakan mata secara melambat,

fregmentasi mimpi, namun masih muda untuk dibangunkan. Tidur NREM

tahap III otot-otot mengalami relaksasi, nadi melambat, suhu tubuh

menurun, dan dapat dibangunkan dengan stimulus sedang. Tidur NREM

tahap IV merupakan tidur resoratif untuk pemulihan kondisi tubuh, jarang

terjadi gerakan tubuh dan dapat dibangunkan dengan stimulus yang kuat.

Tahap REM merupakan tidur dengan keadaan otak sangat aktif

ditunjukkan dengan metabolisme otak yang meningkat hingga 20%. Tahap

REM biasanya terjadi setiap 90 menit sekali dengan durasi 5-10 menit.

Karakteristik tidur tahap REM antara lain pergerakan mata cepat, fluktasi

nadi, tekanan darah dan pernapasan, serta terjadi mimpi. Perubahan

fisiologi lain yang terjadi pada tahap REM antara lain peningkatan sekresi

asam lambung, produksi urin lebih terkonsentrasi, dan peningkatan aliran

darah serebal.

20
2) Siklus Tidur

Siklus tidur dimulai dari NREM tahap I sampai tahap IV kemudian

kembali ke tahap NREM III dan II. Setelah itu memasuki tahap REM

selama 10 menit selanjutnya kembali lagi ke tidur NREM tahap I. Setiap

siklus tidur berlangsung kira-kira 70 hingga 120 menit. Tidur malam

biasanya terjadi dalam 4 hingga 6 siklus REM dan NREM.

3) Mekanisme

Siklus tidur terjaga mengikuti irama sirkadian yang di atur oleh

hipotalamus. Hipotalamus berperan sebagai penghubung ke bagian otak

lain dengan fungsi masing-masing mulai dari berfikir, mengontrol emosi,

melawan dan melarikan diri dari bahaya.

Hipotalamus posterior lateral merupakan area yang berisi neuron

orexin/hypocretin untuk mengontrol tubuh terbangun dari tidur dan

terjaga. Ini proeptik ventrolateral mengandung neuron GABAergic dan

galaninergic yang aktif selama tidur dan diperlukan untuk tidur normal.

Sel dalam VPLO hipotalamus menghasilkan bahan kimia berupa asam

gamma-aminobutiric, atau GABA, GABA yang berfungsi menghambat

aktivitas sel-sel otak yang berhubungan dengan terjaga pada saat tidur.

4) Kebutuhan dan pola tidur lansia

Lansia merupakan tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan

manusia. Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun

keatas. Proses menua akan dialami oleh semua lansia. Penuaan adalah

suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi

21
normalnya. Penuaan membawa perubahan kebutuhan dan pola tidur

seseorang. Kuantitas tidur yang dibutuhkan adalah 8 jam pada usia 12

tahun, turun menjadi 7 jam pada usia 40 tahun dan pada usia 60 tahun

keatas turun menjadi 6 jam.

Penurunan waktu tidur dimalam hari dan peningkatan waktu tidur siang

merupakan hasil dari perubahan irama sirkandian seiring dengan proses

penuaan. Lansia lebih sulit untuk tertidur, menghabiskan lebih banyak

waktu tidur dalam, lebih mudah dan sering terbangun. Tahap tidur pada

lansia biasanya mengalami perubahan, jumlah waktu yang dibutuhkan

untuk NREM tahap I dan II mengalami peningkatan. Di sisi lain tidur pada

NREM tahap III dan IV berkurang bahkan beberapa tidak mengalami

tahap NREM IV. Tidur tahap REM juga biasanya terganggu karena sering

terbangun dimalam hari. Kejadian ini membuat waktu tidur REM

berkurang dan dapat menyebabkan penurunan daya kosentrasi, iritabilitas

dan ansietas.

5) Gangguan tidur pada lansia

Gangguan tidur pada lansia terdiri dari: insomnia, apnea, periode Limb

movement/PLM (pergerakan anggota mata) dan Restless leg

syndrome/RSL (sindrom kaki resah). Insomnia adalah masalah dalam

memulai tidur atau selalu terbangun ditengah malam hari dan tidak dapat

kembali tidur. Ada 3 jenis gangguan insomnia, yaitu: sulit tidur, selalu

terbangun ditengah malam, dan selalu bangun lebih awal pagi. Apnea

merupakan gangguan tidur yang berhubungan dengan pernapasan. Apnea

terjadi karena adanya gangguan jalan napas bagian atas, hilangnya fungsi

22
saraf-saraf yang menggerakan pernafasan atau kombinasi keduanya. Tidur

apnea sangat khas dengan dengkuran yang tidak teratur.

Periode Limb Movement (PLM) merupakan pergerakan anggota gerak

kaki pada satu atau dua bagian yang terjadi secara tiba-tiba dan singkat

selama 20-40 detik. PLM lebih sering dihubungkan dengan penggunaan

obat antidepressant. Restless leg syndrome (RSL) adalah sindrom kaki

resah yang terjadi karena ketidaknyaman terhadap adanya rangsangan

yang terjadi pada otot kaki, tidak dapat mengendalikan kaki untuk dapat

bergerak, berjalan serta terdiri.

6) Kualitas tidur lansia

Siklus tidur dapat dilihat menurut kuantitas waktu yang dibutuhkan di

tempat tidur, kedalaman dan kualitas tidur. Perubahan karena penuaan

tidak terlalu berpengaruh pada kuantitas tidur lansia, akan tetapi memiliki

dampak yang besar terhadap kualitas tidur dan kuantitas istirahat lansia.

Efisiensi tidur pada lansia hanya sekitar 70% sementara efisiensi tidur

pada orang yang lebih muda berkisar antara 80-95%. Efisiensi tidur

seringkali dikaitkan dengan perasaan seseorang ketika bangun dari tidur.

Tidur malam yang berkualitas digambarkan dengan perasaan segar,

restore dan siap untuk melakukan aktivitas. Berbeda dengan seseorang

yang memiliki kualitas tidur malam buruk akan merasa letih, less alert dan

kurang produktif saat beraktivitas. Kualitas tidur yang rendah juga dapat

mengakibatkan terjadinya kelelahan, iritabilitas, konfusi, disorientasi,

penurunan daya ingat dan kosentrasi bahkan tanda neorologis sementara

seperti tremor.

23
Kualitas tidur yang tidak terpenuhi dengan baik dipengaruhi oleh

beberapa faktor, diantaranya:

a) Lingkungan

Lingkungan dapat mendung ataupun menghambat tidur, lingkungan

meliputi suasana tenang, pencahayaan yang sesuai, sarana yang

nyaman, dan stimulus yang rendah. Lansia membutuhkan lingkungan

yang kondusif agar dapat merasa rileks dan istirahat.

b) Nyeri atau rasa ketidaknyaman

Nyeri akut maupun kronik dapat menyebabkan seseorang kesulitan

untuk tidur. Lansia dengan congestive heart failure (CHF) atau

penyakit paru obstruktif akan terganggu dengan kondisinya sehingga

harus menemukan posisi yang nyaman agar bisa tidur.

c) Perubahan gaya hidup

Masa pensiun membawa perubahan aktivitas dan rutinitas seseorang.

Aktivitas yang dilakukan selama bekerja akan membuat lelah sehingga

kebutuhan tidur lebih besar. Lansia yang tidak aktif setelah pensiun

mungkin tidak merasa lelah dan tidak merasa kantuk saat waktu tidur.

Perubahan yang terjadi seperti kehilangan pasangan yang biasa

menjadi teman tidur memiliki teman sekamar juga berpengaruh

terhadap kualitas tidur. Teman sekamar yang mendengkur, mengigau,

berjalan ketika tidur, atau memiliki restless leg syndrome akan

menggangu tidur.

24
d) Diet

Lapar atau haus dapat membuat seseorang tidak bisa tidur. Makanan

ringan sebelum tidur dan sedikit minum akan membuat tidur lebih

nyaman. Kandungan L-trifon dalam susu dan keju akan menginduksi

tidur. Kafein dalam teh, kopi dan softdrink dapat menghambat tidur.

Komponen bioaktif pada kafein dapat menghilangkan rasa kantuk.

Konsumsi kafein yang berlebih dapat menyebabkan perburukan

jumlah jam tidur, onset tidur, frekuensi terbangun dimalam hari,

kedalaman tidur, ketidakpuasan tidur dan disfungsi pada pagi hari.

Alkohol dapat membantu relaksasi, namun dalam kondisi banyak akan

mengurangi waktu tidur dalam atau REM. Konsumsi minuman pada

malam hari atau sebelum tidur sering terkait dengan nokturia.

e) Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan tertentu akan mempengaruhi kualitas tidur.

Obat dapat mempengaruhi kualitas tidur melalui 3 mekanisme, yaitu

menyebabkan tidur, menyebabkan kantuk dan menyebabkan insomnia

atau gangguan tidur.

f) Stress emosional

Lansia sering mengalami stress emosional yang berujung pada

insomnia. Lansia biasanya mengalami depresi atau ansietas karena

memikirkan keluarga dan kehidupannya. Ansietas akan menimbulkan

stimulus terhadap saraf simpatis untuk meningkatkan produksi

neropinefrin akan mengurangi waktu tidur NREM tahap IV dan tidur

REM.

25
g) Dimensia

Lansia yang mengalami dimensia sering mengalami gangguan tidur.

Dimensia membuat lansia mengalami agitasi, peningkatan konfusi dan

berkeliaran di malam hari.

7) Dampak kualitas tidur yang buruk

Kualitas tidur yang baik dapat memberikan perasaan tenang di pagi hari,

perasaan energik dan tidak mengeluh gangguan tidur. Dengan kata lain,

kualitas tidur yang baik sangat penting dan vital dalam melakukan

kegiatan sehari-hari. Sisi lain kualitas tidur yang baik adalah kualitas tidur

yang buruk. Kualiatas tidur yang buruk dapat dibagi 2, yaitu secara

fisiologis dan psikologis.

Dampak fisiologis dari kualitas tidur yang buruk adalah rasa kantuk

berlebihan pada siang hari, menurunnya kesehatan pribadi dan

menyebabkan kelelahan. Pengkajian lebih lanjut menyebutkan bahwa

dampak fisik dari kualitas tidur yang tidak terpenuhi adalah peningkatan

denyut jantung dan tekanan darah, peningkatan nafsu makan dan kadar

glukosa, hingga peningkatan hormone stress kortisol.

Dampak psikologis dari kualitas tidur yang buruk adalah penurunan

fungsi kognitif. Selanjutnya, dikaitkan dengan peningkatan hormone stres

kortisol yang menyebabkan penurunan fungsi imunologi, perubahan

pikiran yang negative (kontravaktual) dan lebih emosional. Kualitas tidur

yang tidak terpenuhi pada lansia dapat menimbulkan rasa kecemasan yang

lebih tinggi, meningkatkan ketegangan, mudah tersinggung, kebingunan,

26
suasana hati yang buruk, depresi, hingga penurunan kepuasan hidup yang

lebih rendah. Secara bersamaan hal ini akan berhubungan positif dengan

melambatnya psikomotor dan gangguan kosentrasi.

2.2.3 Macam-macam gangguan tidur menurut Priharjo (1996) :

1. Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan tidur

baik kualitas maupun kuantitasnya.

2. Hipersomnia

Hipersomnia adalah tidur yang berlebihan terutama pada siang hari

3. Narkolepsi

Narkolepsi adalah serangan mengantuk yang terjadi secara mendadak

pada siang hari sedang pada malam hari terganggu.

4. Somnabulisme

Somnabulisme adalah suatu keadaan dimana seseorang berjalan pada

saat tidur.

2.3. Insomnia

2.3.1 Definisi Insomnia

Insomnia adalah kesukaran dalam memulai dan mempertahankan tidur.

Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik

secara keseluruhan terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam

menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan (Kaplan dan Sadock,

1997). Pada penderita depresi sering timbul keluhan tidur tidak nyenyak pada

malam hari dan telah terbangun pada dini hari (early morning insomnia)

(Soewadi, 1999). Insomnia adalah gejalah yang dialami oleh klien yang

27
mengalami kesulitan kronis untuk tidur, sering terbangun dari tidur atau tidur

singkat atau tidur non restoratife. Penderita insomnia mengeluarkan rasa ngantuk

yang berlebihan di siang hari dan kuantitas dan kualitas tidurnya tidak cukup.

Insomnia dapat menandakan adanya gangguan fisik atau psikologis. Seseorang

dapat mengalami insomnia transient akibat stress situsional seperti masalah

keluarga, kerja, sekolah, kehilangan orang yang dicintai. Insomnia dapat terjadi

berulang tetapi diantara episode tersebut klien dapat tidur dengan baik. Namun,

kasus insomnia temporer akibat situasi stres dapat menyebabkan kesulitan kronik

untuk mendapatkan tidur yang cukup, mungkin disebabkan oleh kekhawatiran dan

kecemasan yang terjadi untuk mendapatkan tidur yang adekuat tersebut (Patricia

dan Anne, 2005).

2.3.2 Klasifikasi insomnia

Adapun macam-macam dari tipe insomnia yaitu :

a) Insomnia sementara (transient)

Yakni insomnia yang berlangsung beberapa malam dan biasanya

berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu yang berlangsung

sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali dengan

mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat

secara retrospektif setelah keluhan pasien sudah hilang. Keluhan ini

kurang lebih ditemukan sama pada pria dan wanita dan episode berulang

juga cukup sering ditemukan, faktor yang memicu antara lain akibat

lingkungan tidur yang berbeda, gangguan irama sirkadian sementara

akibat jet lag atau rotasi waktu kerja, stress situasional akibat lingkungan

28
kerja baru, dan lain-lainnya. Transient insomnia biasanya tidak

memerlukan terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter.

b) Insomnia jangka pendek

Yakni gangguan tidur yang terjadi dalam jangka waktu dua sampai tiga

minggu. Kedua jenis insomnia ini biasanya menyerang orang yang sedang

mengalami stres, berada di lingkungan yang ribut-ramai, berada

dilingkungan yang mengalami perubahan temperatur ekstrim, masalah

dengan jadwal tidur-bangun yang terjadi saat jetlag, efek samping

pengobatan.

c) Insomnia kronis

Kesulitan tidur dialami hampir setiap malam selama sebulan atau lebih.

Setelah satu penyebab chronic insomnia yang paling umum adalah depresi.

Penyebab lainnya bisa berupa arthritis, gangguan ginjal, gagal jantung,

sleep apnea, sindrom restless legs, parkison, dan hyperthyroidism. Namun

demikian, insomnia kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku,

termaksud penyalahgunaan kafein, alkohol, dan subtansi lain, siklus

tidur/bangun yang disebabkan oleh kerja lembur dan kegiatan malam hari

lainnya, dan stres kronis.

2.3.3 Etiologi

Menurut Suwahadi (2008) dan Perry Potter (2006) penyebab insomnia

mencakup:

29
a) Faktor psikologi (Stress dan Depresi )

Stres yang berkepanjangan sering menjadi penyebab dari insomnia jenis

kronis, sedangkan berita-berita buruk gagal rencana dapat menjadi

penyebab insomnia transient. Depresi paling sering ditemukan. Bangun

lebih pagi dari biasanya yang tidak diinginkan adalah gejala paling umum

dari awal depresi, cemas, neorosa dan gangguan psikologi lainnya sering

menjadi penyebab dari gangguan tidur.

b) Sakit fisik

Sesak nafas pada orang yang terserang asma, hipertensi, penyakit jantung

koroner sering dikarakteristikkan dengan episode nyeri dada yang tiba-tiba

dan denyut jantung yang tidak teratur. Sehingga seringkali mengalami

frekuensi terbangun yang sering, nokturia atau berkemih pada malam hari,

dan lansia yang mempunyai sindrome kaki tak berdaya yang terjadi pada

saat sebelum tidur mereka mengalami berulang kali kambuh gerakan

berirama pada kaki dan tungkai.

c) Faktor lingkungan

Lingkungan yang bising seperti lingkungan lintasan pesawat jet, lintasan

kereta api, pabrik atau TV tetangga dapat menjadi faktor penyebab susah

tidur.

d) Gaya hidup

Alkohol, rokok, kopi, obat penurun berat badan, jam kerja yang tidak

teratur, juga dapat menjadi faktor penyebab sulit tidur.

30
e) Usia

Usia merupakan jumlah lamanya kehidupan yang dihitung berdasarkan

tahun kelahiran sampai ulang tahun terakhir. Usia mempengaruhi

psikologi seseorang. Semakin bertambah usia seseorang, semakin siap

pula dalam menerima cobaan dan berbagai masalah. Noorkasiani dan

S.Tamber (2009).

f) Jenis kelamin

Jenis kelamin merupakan status gender dari seseorang yaitu laki-laki dan

perempuan. Menurut (Rawlins, 2001) wanita secara psikologis memiliki

mekanisme koping yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki

dalam mengatasi suatu masalah. Dengan adanya gangguan secara fisik

maupun secara psikologis tersebut maka wanita akan mengalami suatu

kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut maka akan mengalami suatu

kecemasan, jika kecemasan itu berlanjut makan akan mengakibatkan

seseorang lansia lebih sering mengalami kejadian insomnia dibandingkan

dengan laki-laki. Menurut Peek dan Nungki (2007) jenis kelamin

merupakan aspek identitas yang sangat berarti, wanita dan pria

mempunyai pengalaman yang berbeda tentang pembetukan identitas jenis

kelamin. Identitas kelamin terbentuk sekitar usia tiga tahun, anak laki-laki

dan perempuan mulai mengenal tingkah laku dan ciri-ciri kepribadian

yang sesuai bagi masing-masing jenis kelamin.

2.3.4 Tanda dan gejala

Suatu kelompok kerja dari Nasional Center for Sleep Disorders Research

menyatakan bahwa insomnia merupakan pengalaman tidur yang tidak adekuat

31
atau berkualitas buruk atau miskin, yang ditandai oleh satu atau lebih gejala

berikut, yaitu :

a) Sulit memulai tidur

b) Sulit mempertahankan tidur

c) Bangun terlalu cepat di pagi hari

d) Tidur yang tidak menyegarkan

Gejala insomnia dapat dibedakan sebagai berikut :

1) Kesulitan memulai tidur biasanya disebabkan oleh adanya gangguan

emosi, ketegangan, gangguan fisik (misalnya keletihan yang

berlebihan atau adanya penyakit yang mengganggu fungsi organ

tubuh.

2) Bangun terlalu awal yaitu dapat dimulai tidur dengan normal namun

tidur mudah terputus atau bangun lebih awal dari waktu tidur serta

kemudian tidak tidur lagi gejala ini sering muncul seiring dengan

bertambahnya usia seseorang atau karena depresi dan sebagainnya

(Lumbantobing,2004).

2.3.5 Manifestasi Insomnia

a) Perasaa sulit tidur, bangun terlalu awal

b) Wajah kelihatan kusam

c) Mata merah, hingga timbul bayangan gelap dibawah mata

d) Lemas, mudah mengantuk

e) Resah dan mudah cemas

f) Sulit berkosentrasi, depresi, gangguan memori, dan tersinggung.

32
2.3.6 Dampak Insomnia

Berbagai dampak merugikan yang ditimbul dari insomnia yaitu :

a) Depresi

b) Kesulitan untuk berkosentrasi

c) Aktivitas sehari-hari menjadi terganggu

d) Prestasi kerja atau belajar mengalami penurunan

e) Mengalami kelelahan di siang hari

f) Hubungan interpersonal dengan orang lain menjadi buruk

g) Meningkatkan resiko kematian

h) Memunculkan berbagai penyakit fisik

Dampak insomnia ada hubungan yang kuat antara jumlah tidur,

peningkatan resiko kecelakaan, dan luka-luka dan keluhan fisik. Remaja

yang kurang tidur lebih mungkin untuk menggunakan alkohol, nikotin,

dan kafein. Orang kurang tidur biasanya bertanggung jawab atas

kecelakaan mobil disebabkan oleh driver jatuh tertidur untuk sepersekian

detik. Kurang tidur meningkatkan resiko hipertensi, diabetes, obesitas,

depresi, serangan jantung, stroke dan berbagai kondisi fisik dan fisiologis

lainnya. Dampak insomnia ini tidak di anggap remeh, karena bisa

menimbulkan kondisi yang lebih serius dan membahayakan kesehatan dan

keselamatan. Oleh karenanya, setiap penderita insomnia perlu mencari

jalan keluar yang tepat.

33
2.3.7 Komplikasi Insomnia

a. Efek fisiologis. Karena kebanyakan insomnia diakibatkan oleh stres

terdapat peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol,

juga penurunan produksi melatonin.

b. Efek psikologis. Dapat berupa gangguan memori, gangguan berkosentrasi,

iritabel, kehilangan motivasi, depresi, dan sebagainya.

c. Efek fisik/somatik. Dapat berupa kelelahan, nyeri otot, hipertensi, dan

sebagainya.

d. Efek sosial. Dapat berupa kualitas hidup yang terganggu, seperti susah

mendapatkan promosi pada lingkungan kerjanya. Kurang bisa menikmati

hubungan sosial dan keluarga.

e. Kematian. Orang yang tidur kurang dari 5 jam semalam memiliki angka

harapan hidup lebih sedikit dari orang yang tidur 7-8 jam semalam. Hal ini

mungkin disebabkan karena penyakit yang menginduksi insomnia yang

memperpendek angka harapan hidup atau karena high arousal state yang

terdapat pada insomnia mempertinggi angka mortalitas atau mengurangi

kemungkinan sembuh dari penyakit. Selain itu, orang yang menderita

insomnia memiliki kemungkinan 2 kali lebih besar untuk mengalami

kecelakan lalu lintas jika dibandingkan dengan orang normal.

2.3.8 Insomnia pada Lansia dan Pengaruhnya

Insomnia adalah suatu keadaan seseorang sulit masuk tidur, atau kesulitan

mempertahankan tidur dalam kurun waktu tertentu, sehingga menimbulkan

penderitaan atau gangguan dalam berbagai fungsi sosial, pekerjaan ataupun

34
fungsi-fungsi kehidupan sehari-hari. Pada umumnya penderita mengeluh di waktu

pagi mengalami kelelahan fisik dan mental, pada siang hari merasa ekspresif,

cemas, tegang, tremor, berkurangnya kosentrasi dan mudah tersinggung. Orang

yang terlambat, baru tidur menjelang pagi hari, biasa bangun dengan perasaan

lemah, tidak berdaya, depresif dan pusing sehingga dapat mempengaruhi

kemampuan dalam kinerjanya. Dapat menimbulkan resiko kecelakaan lalu lintas,

kesulitan dalam pengambilan suatu keputusan dalam keluarga, pekerjaan, maupun

dalam kehidupan sosial, yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Erry,2000).

2.4 Sleep Hygiene

2.4.1 Definisi sleep hygiene

Sleep hygiene adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

kebiasaan tidur yang baik, yang meliputi hal-hal yang dapat dilakukan untuk

memberikan kesempatan terbaik untuk tidur yang rileks. Perilaku sleep hygiene

adalah latihan atau kebiasaan yang dapat mengoptimalkan tidur yang baik

sehingga dapat melakukan aktivitas maksimal di siang hari. Tujuan dari menjaga

sleep hygiene adalah untuk meningkatkan periode REM dan mempertahankan

durasi REM yang cukup. Perbaikan sleep hygiene pada usia lanjut merupakan cara

yang sederhana namun efektif dalam meningkatkan kualitas tidur.

Menurut Sustari, dkk (2014), terapi nonfarmakologis yang paling efektif

untuk mengatasi insomnia adalah terapi perilaku, yaitu sleep hygiene. Sleep

hygiene merupakan identifikasi dan modifikasi perilaku dan lingkungan yang

mempengaruhi tidur (Roepke SK & Ancoli-Israel S, 2010). “Sleep hygiene

merupakan suatu latihan atau kebiasaan yang dapat mempengaruhi tidur”.

35
Sebagaimana dijelaskan bahwa “higiene tidur merupakan suatu manipulasi

lingkungan yang dapat digunakan dalam mengatasi insomnia dengan cara

mengatur jadwal tidur seseorang secara teratur”. Manipulasi lingkungan

merupakan suatu pendekatan yang terbaik dalam mengatasi masalah insomnia

pada lanjut usia (Depkes, 2006). Perbaikan sleep hygiene pada lanjut usia

merupakan cara sederhana namun efektif dalam meningkatkan kualitas tidur

(Puspitosari, 2008). Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan

bahwa sleep hyginie merupakan tindakan-tindakan yang dapat kita lakukan

sebelum tidur guna membantu kita mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik.

2.4.2 Komponen sleep hygiene

Komponen sleep hygiene dibagi menjadi 4 bagian menjadi 4 bagian besar

yang terdiri dari jadwal tidur-bangun, lingkungan, diet dan kebiasaan tidur yang

dapat menginduksi tidur seperti aktivitas siang hari.

1) Jadwal tidur-bangun

Jadwal bangun tidur terbagi atas kebiasaan tidur siang, kebiasaan

jam tidur, kebiasaan jam bangun, dan aktivitas latihan sebelum tidur.

Tidur siang hari dapat menyebabkan kualitas tidur malam yang lebih

baik. Kebiasaan tidur siang dimulai dari pukul 14.00-16.00 WIB

dengan durasi tidur siang yang berbeda, yaitu antara 11,5 sampai 108,5

menit. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Yoon yang menyebutkan

bahwa lebih dari 40% responden (433 responden) yang memiliki

kebiasaan tidur siang teratur memiliki tidur malam yang lebih dari

pada responden yang tidak memiliki kebiasaan tidur siang.

36
2) Lingkungan

Lingkungan terdiri dari tempat tidur yang tidak nyaman (seperti

matras dan guling yang tidak nyaman, selimut yang terlalu tebal atau

terlalu tipis). Kamar tidur yang tidak nyaman (terlalu terang, suhu

ruangan yang panas, suara berisik). Perasaan yang buruk sebelum tidur

(seperti marah, stress, khawatir). Studi menunjukkan bahwa sinar

cahaya dalam ruangan akan mempengaruhi hormone melatonin.

Kamar yang tetap terang saat tidur akan mengurangi kadar melatonin

hingga 50%.

Dari hasil penelitian sebelumnya, tidur dengan tidak menggunakan

lampu akan memberikan kualitas tidur yang baik, jarang terbangun di

malam hari dan merasa bangun dalam keadaan segar. Lampu yang

mati saat tidur akan membuat kinerja hormon melatonin maksimal

sehingga tubuh dan otak beristirahat secara penuh.

3) Diet

Komponen diet terdiri dari perilaku konsumsi alkohol, merokok dan

konsumsi kafein 4 jam sebelum tidur. Komponen bioaktif yang

terdapat pada kafein yang berlebihan dapat menghilangkan rasa

kantuk. Konsumsi kafein yang berlebihan dapat menyebabkan

perburukan jumlah jam tidur, onset tidur, frekuensi terbangun dimalam

hari, kedalaman tidur, ketidakpuasan tidur dan disfungsi pada pagi

hari. Mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat reseptor

Adenosin. Adenosine merupakan neurontransmiter yang efeknya

mengurangkan aktivitas sel terutama sel saraf. Apabila reseptor

37
adenosine berikatan dengan kafein, maka aktivitas sel saraf akan tetap

aktif karena adenosine tidak dapat bekerja menghambat aktivitas sel.

Konsumsi alkohol akan memicu rasa kantuk saat seseorang sudah

terjaga dalam waktu yang lama akan mulai mereda setelah tidur.

Setelah minum alkohol, produksi adenosine (bahan kimia yang

menginduksi tidur dalam otak) akan meningkat, memungkinkan untuk

onset cepat tidur. Namun, akan mereda dan menyebabkan seseorang

terbangun sebelum benar-benar istirahat. Dampak konsumsi alkohol

lainnya adalah blocking tidur pada fase REM. Fase REM yang

berkurang akan menyebabkan penurunan kosentrasi saat bangun tidur.

Merokok merupakan salah satu perilaku yang dihindari sebelum tidur.

Kandungan nikotin dalam rokok dan meningkatkan kosentrasi

intrasynapic dopamine (DA) diventral striatum/nucleus accumbens

(VST/Nac) dan seratonin sebagai neurotrasmiter penahan kantuk.

Proses ini akan menyebabkan proses jatuh tidur semakin lama. Vaora

(2014) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa perokok berat

memiliki resiko 9,3 kali lebih besar untuk mengalami insomnia

daripada perokok ringan.

Obat-obatan seringkali mempengaruhi siklus tidur. Medikasi

antidepresan, heterosikli, inhibilator monoamine oksidae (MAOI), dan

litium dapat menyebabkan penurunan dalam tidur REM. Penelitian

dengan obat-obatan heterosiklik tidak menunjukkan timbulnya

toleransi terhadap supresi REM. Terapi lain seperti elektrokonvulsif

dan kokain dapat menyebabkan penurunan tidur REM. Obat-obatan

38
neuroleptic dapat meningkatan rasa kantuk dan tidur REM, namun

dosis klopromazim yang tinggi akan menekan REM.

Benzodiazepine menyebabkan penurunan pada stadium I, II, IV,

peningkatan pada stadium II dan peningkatan dalam kelatenan REM.

Toleransi timbul dengan cepat terhadap sedative-hipnotik. Penggunaan

jangka panjang dapat menimbulkan kelatenan tidur yang teratur,

supresi REM dan sering terjaga.

4) Kebiasaan yang dapat menginduksi tidur

Tindakan non-spesifik untuk menginduksi tidur (sleep hygiene) dapat

dilakukan dengan bangun pada waktu yang sama setiap hari, batasi

waktu ditempat tidur, hindari tidur sekejap disiang hari, aktif olahraga

di sore hari. Meredam dalam air panas menjelang waktu tidur selama

20 menit, hindari makan banyak sebelum tidur, makan pada waktu

yang teratur, lakukan relaksasi sebelum tidur dan mempertahankan

kondisi tidur yang menyenangkan merupakan tindakan yang dapat

menginduksi tidur juga.

Studi yang dilakukan oleh (Gumilar) mengatakan bahwa dengan

memberi perlakuan rendam kaki dengan air hangat selama 5 hari

berturut-berturut memberikan pengaruh yang baik terhadap kualitas

tidur lansia.

2.4.3 faktor-faktor yang mempengaruhi sleep hygiene

Faktor-faktor yang mempengaruhi sleep hygiene seseorang antara lain

jadwal tidur-bangun, lingkungan (suara gaduh, temperatur, termasuk kebiasaan

selain tidur yang dilakukan oleh lansia di tempat tidur), diet dan penggunaan obat-

39
obatan, serta hal-hal umum meliputi kecemasan dan aktivitas di siang hari (Amir,

2007). Hasil penelitian dari Rahman & Syaifudin (2014) menyimpulkan bahwa

semakin rendah perilaku sleep hygiene maka akan semakin buruk pula kualitas

tidur pada lanjut usia.

2.4.4. Sikap sleep hygiene

Menurut Suastari, dkk (2014), sikap sleep hygiene adalah sikap yang dapat

menyebabkan tidur lansia menjadi lebih nyenyak dengan melalui perubahan

perilaku, lingkungan, diet dan olahraga antara lain :

a. Perilaku

1) Memiliki jadwal bangun dan tidur yang teratur setiap hari

2) Membuat pikiran dan tubuh menjadi tenang dan relaks

3) Berada ditempat tidur hanya saat tidur dan mengantuk

4) Tidur siang kurang 30 dari menit

b. Lingkungan

1) Tidur dengan pencahayaan gelap

2) Temperatur kamar tidur nyaman

3) Menghindari suara ribut

4) Membersihkan kamar tidur secara teratur

c. Diet

1) Makan secara teratur setiap hari

2) Tidak makan terlalu banyak sebelum tidur

3) Tidak minum kopi atau kafein sebelum tidur

4) Tidak minum alkohol sebelum tidur

40
5) Tidak merokok sebelum tidur

d. Olahraga

Berolahraga secara teratur selama 20-30 menit sebanyak 3-4 kali dalam

seminggu.

2.4.5. Manfaat sleep hygiene

Menurut Potter & Perry (2006) dalam Manunggaling (2010). “Perilaku

tindakan higiene tidur yang tepat bermanfaat untuk membuat pola tidur yang tepat

sehingga pola tidur baik dan tidak memerlukan penggunaan obat”. Perilaku sleep

hygiene yang baik dapat mencegah berkembangnya gangguan dan masalah tidur.

Hal itu berarti perilaku sleep hygiene yang baik dapat membantu seseorang dalam

memiliki kualitas tidur yang baik pula.

Gangguan-gangguan tidur dan tidur siang hari menandakan bahwa

seseorang mempunyai sleep hygiene yang buruk. Perilaku sleep hygiene yang

buruk pada lansia misalnya lansia sering menghabiskan lebih banyak waktunya

ditempat tidur atau sebentar-bentar tertidur di siang hari lebih banyak terjaga di

malam hari (Amir, 2007).

2.4.6 Alat ukur Sleep hygiene

Sleep hygiene dapat diukur dengan menggunakan kuesioner sleep hygiene

index (SHI). Kuesioner ini digunakan sebagai alat ukur baik atau buruknya

perilaku atau kebiasaan tidur dan lingkungan tidur seseorang. SHI terdiri dari 13

item pertanyaan dengan pilihan jawaban dalam rentang 1-5 per item, 13

pertanyaan dalam SHI adalah :

41
1) saya tidur siang 2 jam atau lebih

2) saya pergi ke tempat tidur dalam waktu yang berbeda setiap hari

3) saya meninggalkan tempat tidur pada waktu yang berbeda setiap hari

4) saya melakukan aktivitas latihan ringan 1 jam sebelum tidur

5) saya berada berdiam ditempat tidur lebih lama

6) saya mengkonsumsi alkohol, tembakau ataupun kafein 4 jam sebelum

tidur atau setelah bangun tidur

7) saya melakukan sesuatu yang dapat membuat saya terjaga seperti

menggunakan internet, bermain games ataupun bersih-bersih

8) saya pergi ke tempat tidur dengan perasaan stress, marah, kecewa, dan

cemas

9) saya menggunakan tempat tidur untuk kegiatan lain selain tidur (seperti :

menonton tv, membaca, makan )

10) saya tidur dengan tempat tidur yang tidak nyaman ( seperti ; matras, atau

bantal yang buruk, selimut yang terlalu tebal atau terlalu tipis )

11) saya tidur diruangan yang tidak nyaman ( seperti; terlalu terang, terlalu

panas, terlalu dingin atau terlalu berisik )

12) saya melakukan pekerjaan yang penting sebelum tidur ( seperti;

menghitung uang, membuat jadwal kegiataan atau belajar )

13) saya berpikir, membuat rencana atau merasa khawatir ketika saya di

tempat tidur

hasil interprestasi SHI dibagi menjadi 3, yaitu skor 13-27 (baik), 28-40

(sedang), 41-75 (buruk).

42
2.5 Hubungan antara sleep hygiene dengan insomnia

Insomnia adalah kesukaran dalam memulai dan mempertahankan tidur.

Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan kecemasan, baik

secara keseluruhan terhadap pengalaman yang mencemaskan atau dalam

menghadapi pengalaman yang menimbulkan kecemasan. Selama ini berbagai

terapi pengobatan telah dikembangkan untuk membantu para lansia mengatasi

keluhannya sehingga meminimalisasi dampaknya terhadap kehidupan, diperlukan

metode dalam penatalaksanaan insomnia pada lansia melalui pendekatan terapi

nonfarmakologis. Terapi nonfarmakologis yang paling efektif untuk mengatasi

insomnia yaitu terapi sleep hygiene. Tujuan dari menjaga sleep hygiene yaitu

untuk meningkatkan periode REM dan mempertahankan durasi REM yang cukup.

Sikap sleep hygiene adalah sikap yang dapat menyebabkan tidur seseorang

menjadi lebih nyenyak dengan melalui perubahan perilaku, lingkungan, diet, dan

olahraga. Perilaku sleep hygiene yang baik dapat mencegah berkembangnya

gangguan masalah tidur dan dapat meningkatkan kualitas tidur pada seseorang.

43
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL

3.1. Kerangka konsep

a. Berkurangnya Meningkatnya
Lansia dengan Gangguan
tingkat kualitas tidur
insomnia tidur
insomnia pada pada lansia di
(Insomnia)
lansia UPT PSLU
b. Dapat Jombang di Pare.
Faktor yang memahami
mempengaruhi akan dampak
: insomnia

1. Lingkungan
2. Rasa Untuk meningkatkan
ketidaknya periode REM dan
man mempertahankan
3. Perubahan durasi REM yang cukup
gaya hidup
4. Diet
5. Obat-
Meningkatkan
obatan
kualitas tidur
6. Stress
emosional
7. Dimensia
Manipulasi lingkungan dengan
cara mengatur jadwal tidur
seseorang, membuat pikiran dan
tubuh menjadi tenang dan rileks,
dan tidur menjadi nyenyak

Sikap yang mempengaruhi


keberhasilan sleep hygiene Sleep Hygiene
:

1. Perilaku
2. Lingkungan
3. Diet
4. Olahraga

Gambar 3.1. kerangka konseptual

44
Keterangan :

Diteliti :
Tidak diteliti :
Arah hubungan :
Keterangan:

Berdasarkan gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa input pada kerangka konseptual

yang akan diteliti adalah pada lansia di UPT PSLU Jombang di Pare. Proses

dalam penelitian ini yaitu terapi sleep hygiene (tindakan-tindakan yang dapat

dilakukan sebelum tidur untuk mendapatkan kualitas tidur yang baik dan

meningkatkan periode REM dan mempertahankan durasi REM yang cukup).

Dengan diberikan terapi sleep hygienie ini diharapkan dapat menghasilkan output

yang diharapkan yaitu dapat berkurangnya tingkat insomnia pada lansia dan dapat

memahami akan dampak dari insomnia, sehingga dengan demikian outcome yang

diperoleh dapat meningkatkan kualitas tidur pada lansia di UPT PSLU Jombang

di Pare.

3.2. Hipotesis Penelitian

Dalam penelitian ini diajukan hipotesis penelitian yaitu (H1) adalah

adanya hubungan tindakan sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia di UPT

PSLU Jombang di Pare tahun 2018. Selanjutnya hipotesis ini diubah menjadi

hipotesis statistik (H0) yang berbunyi tidak hubungan tindakan sleep hygiene

terhadap insomnia pada lansia di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018.

45
BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian dijelaskan dalam beberapa persektif yaitu :

1. Berdasarkan lingkup penelitian termasuk jenis rancangan inferensial.

2. Berdasarkan tempat penelitian termasuk jenis rancangan penelitian

lapangan.

3. Berdasarkan cara pengumpulan data termasuk jenis penelitian survey.

4. Berdasarkan ada tidaknya perlakuan termasuk jenis rancangan penelitian

expost facto.

5. Berdasarkan waktu pengumpulan data termasuk jenis rancangan penelitian

crossectional.

6. Berdasarkan tujuan penelitian termasuk jenis rancangan penelitian Analitik

Korelasi.

7. Berdasarkan sumber data termasuk jenis rancangan penelitian primer.

4.2 Populasi, Sampel Dan Teknik Sampling Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua lansia di UPT PSLU Jombang

di Pare dengan jumlah 85 lansia.

46
4.2.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah sebagian dari lansia di UPT PSLU

Jombang di Pare tahun 2018.

4.2.3 Besar Sampel

Menurut Nursalam (2008), besar sampel dapat dihitung dengan menggunakan

rumus sebagai berikut :

𝑁
n= 1+𝑁(𝑑)2

keterangan :

n =jumlah sampel

N =jumlah populasi

d =tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

Besar populasi 85, maka dapat ditentukan besar sampel adalah :

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁(𝑑)2

85
𝑛=
1 + 85(0,01)2

85
𝑛=
1 + 0,85

n = 45,94

n=46 responden

47
4.2.4 Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel yang di pilih adalah non

prebelity sampling dengan menggunakan cara Random Sampling, yaitu teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.

4.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

4.3.1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel independen (variabel

bebas) dan variabel dependen (variabel tergantung). Variabel independen dalam

penelitian ini adalah insomnia pada lansia sedangkan variabel dependen adalah

sleep hygiene.

4.3.2. Definisi Operasional

4.1. Definisi operasional hubungan tindakan sleep hygiene terhadap insomnia

pada lansi

Variabel Definisi Parameter Alat ukur Skala ukur Klasifikasi


Operasional
Kejadian LKondisi saat Kuesioner Mengisi ordinal Skor tingkat
insomnia seseorang KSPBJ KSPBJ insomnia
mengalami (Insomnia (Insomni 1. Tidak ada
kesulitan Rating a Rating keluhan
untuk tidur Scal) Scal) insomnia
atau tidak (11-19)
bisa tidur 2. insomnia
cukup lama ringan (20-
sesuai dengan 27)
waktu yang 3. insomnia
dibutuhkan sedang (28-
tubuh meski 36)
memiliki 4. insomnia
kesempatan berat (37-
untuk tidur 44)

48
Sleep Menggambar Kuesioner Lembar Ordinal Skor tingkat
hygiene kan sleep observasi sleep hygiene
kebiasaan hygiene 1. 13-27
tidur yang (SHI) baik
baik,yang 2. 28-40
meliputi hal- sedan
hal yang g
dapat 3. 41-75
dilakukan buruk
untuk
memberikan
kesempatan
terbaik untuk
tidur yang
rileks

4.4 Bahan Penelitian


Bahan yang dipersiapkan untuk penelitian ini adalah data calon responden

yaitu lansia yang mengalami insomnia di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018

4.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner untuk

insomnia dan lembar observasi untuk sleep hygiene.

4.6 Lokasi dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian di UPT PSLU Jombang di Pare tahun 2018. Penelitian

ini akan dilakukan pada bulan Maret 2018.

4.7 Prosedur Pengumpulan dan pengolahan data

Peneliti mencari surat ijin penelitian dari institusi pendidikan untuk

melakukan penelitian. Peneliti menyerahkan surat ijin penelitian dari institusi

pendidikan ke Panti Tresna Werdha UPT PSLU Jombang di Pare. Peneliti datang

ke panti Tresna Werdha UPT PSLU Jombang di Pare. Menemui responden dan

49
menjelaskan maksud, manfaat, tujuan, prosedur pelaksanaan dan memberikan

informed consent pada calon responden. Jika calon responden menyetujui baru

kemudian peneliti memberikan lembar kuesioner tentang insomnia dan sleep

hygiene untuk diisi oleh responden, yang sebelumnya peneliti menerangkan cara

mengisi lembar kuesioner tersebut. Mengumpulkan kuesioner dari responden dan

mengecek kembali kelengkapan data. Mengolah data, menganalisa data serta

menginterprestasikan data.

Selanjutnya dilakukan editing, coding,scoring dan tabulating :

a) Editing

Peneliti memeriksa data yang sudah terkumpul secara langsung dan

memastikan bahwa data tersebut sudah lengkap. Apabila data belum

lengkap maka peneliti harus melengkapi data sesuai dengan yang ada.

b) Coding

Coding adalah memberikan tanda/kode pada jawaban atau tindakan

responden. Hal ini bertujuan untuk memudahkan dalam tabulasi dan

analisis data.

Data umum :

1) Usia lansia

a. Usia 60-74 tahun : kode 1

b. Usia 75-90 tahun : kode 2

c. Usia >90 tahun : kode 3

2) Pendidikan lansia

a. Tidak sekolah : kode 1

b. Sekolah dasar : kode 2

50
c. Sekolah menenga : kode 3

d. Perguruan tinggi : kode 4

3) Jenis kelamin

a. Laki-laki : kode 1

b. Perempuan : kode 2

4) Kebiasaan minum kopi

a. Ya : kode 1

b. Tidak : kode 2

5) Kebiasaan merokok

a. Ya : kode 1

b. Tidak : kode 2

6) Penggunaan obat tidur

a. Ya : kode 1

b. Tidak : kode 2

Data khusus :

1) Kejadian insomnia

a. Insomnia berat : kode 1

b. Insomnia sedang : kode 2

c. Insomnia ringan : kode 3

d. Tidak ada gangguan : kode 4

2) Kategori sleep hygiene

a. Buruk : kode 1

b. Sedang : kode 2

c. Baik : kode 3

51
c) Scoring

Setelah kuesioner dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan data

dengan pemberian skor dan penelitian.

Scoring untuk sleep hygiene:

a. Baik : kode 1

b. Sedang : kode 2

c. Buruk : kode 3

d) Tabulating

Menabulasi data dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi yaitu

menuliskan seluruh hasil observasi ke dalam sebuah tabel distribusi

frekuensi, mulai dari penyusunan tabel utama berisi seluruh data informed

yang berhasil dilakukan dengan daftar pertanyaan sampai tabel khusus

yang telah ditentukan, setelah berbentuk tabel maka data tersebut siap

dianalisa dan dinyatakan dalam bentuk penulisan. Hal ini bertujuan untuk

mempermudah penelitian dalam membaca data yang terkumpul.

4.8 Teknik Analisa Data

4.9.1 Analisa Univariat

Analisa univariat menggunakan pedoman disetiap variabel dari hasil

penelitian dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dalam bentuk

prosentase menggunakan rumus :

𝑆𝑝
N= 𝑆𝑚 x 100%

52
Keterangan :

N= Nilai yang didapat

SP= Skor yang diperoleh

SM= Skor maksimum

Teknik interprestasi data menurut Arikunto adalah :

1) 100% : seluruhnya

2) 76%-99% : hampir seluruhnya

3) 51%-75% : sebagian besar

4) 50% : setengahnya

5) 26%-49% : hampir setengahnya

6) 1 5%-25% : sebagian kecil

7) 0% : tidak satupun

4.9.2 Analisa Bivariat

Analisa data yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen dan dependen dalam penelitian ini adalah menggunakan analisa data

kuantatif dengan menggunakan bantuan perangkat lunak komputer (soft ware).

Sedangkan untuk penggujian statistik, penulis menggunakan uji korelasi

Spearman Rank dengan taraf signifikan 0,05.

53
Interprestasi hasil uji hipotesis :

1. Nilai ρ

a. Jika ρ<α maka H0 ditolak H1 diterima maka ada hubungan tindakan

sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia di UPT PSLU Jombang di

Pare tahun 2018.

b. Jika ρ>α maka H0 diterima dan H1 ditolak maka tidak ada hubungan

tindakan sleep hygiene terhadap insomnia pada lansia di UPT PSLU

Jombang di Pare tahun 2018.

2. Kekuatan korelasi (r)

Untuk menentukan kuat hubungan antara variabel berdasarkan korelasi

adalah sebagai berikut :

Tabel 4.2 Pedoman keretan 2 variabel berdasarkan koefisien regresi

No Interval Tingkat hubungan


koefisien
1. 0,00-0,199 Sangat rendah
2. 0,20-0,399 Rendah
3. 0,40-0,599 Sedang
4. 0,60-0,799 Kuat
5. 0,80-1,00 Sangat kuat
Sumber : Sugiyono,2007

Sedangkan untuk mengetahui arah antara variabel bebas dan variabel

terkait, adalah :

1) Hubungan negatif maka negatif, yaitu jika variabel terkait naik maka

variabel bebas turun.

2) Hubungan positif maka positif, yaitu jika variabel terikat naik maka

variabel bebas juga naik.

54
55

Anda mungkin juga menyukai