BAB I
PENDAHULUAN
2
sehat. Pada studi epidemiologi prevalensi insomnia pada usia lanjut adalah sekitar 6%-48%
pada populasi umum.
Banyak penelitian telah mendemonstrasikan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan
masalah gangguan tidur. Pada kondisi fisiologis, banyak substansi dapat mempengaruhi tidur,
termasuk diantaranya adalah substansi dari respon imun. Contohnya seperti, cytokines yang
dapat mengatur hormon inflamasi. Peningkatan dari pro-inflammatory cytokines telah
menunjukkan dapat mengurangi tidur, sebaliknya anti-inflammatory cytokines yang
meningkat dengan aktivitas fisik dapat meningkatkan pola tidur. Dari penelitian yang
1
dilakukan oleh National Institute of health pada tahun 2010 tentang hubungan olah raga
terhadap peningkatan tidur dan kualitas hidup lansia dengan insomnia, menjelaskan bahwa
aktivitas fisik dapat meningkatkan kualitas tidur, durasi tidur dan efisiensi tidur.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai adakah hubungan antara kebiasaan olah raga dengan insomnia pada
lansia di Denpasar, yang pada penelitian ini sebagai populasi terjangkaunya adalah kelompok
senam banjar kaja Sesetan Denpasar Selatan. Diharapkan dengan adanya penelitian ini akan
meningkatkan kualitas hidup lansia.
berolah raga.
Hasil penelitian dapat digunakan sebagai data dasar epidemiologi untuk
penelitian selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Insomnia
2.1.1 Definisi
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders fourth edition (DSMIV),insomnia didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk mengawali tidur,
mempertahankan tidur, bangun terlalu dini, atau tidur yang tidak menyegarkan. Selama lebih
dari 1 bulan. Insomnia menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)
III
Keluhan sulit masuk tidur, mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang buruk.
Gangguan tidur terjadi minimal 3 kali dalam seminggu selama minimal sebulan.
Adanya preokupasi akan tidak bisa tidur dan kekhawatiran berlebihan perihal
5
Adapun tidur normal dibagi menjadi 2 fase:
1
Tidur tahap 1
: Saat transisi antara bangun dan tidur, sekitar 30 detik sampai 7 menit
dengan karakteristik gelombang otak low-voltage pada pemeriksaan
EEG.
Tidur tahap 2
Tidur REM ditandai dengan pergerakan bola mata yang cepat, reflex tendon yang melemah
atau menghilang, tekanan darah dan pernapasan meningkat, dan mimpi biasanya terjadi pada
stadium ini.
2.1.2 Klasifikasi
Insomnia Primer
Adalah insomnia yang tidak disebabkan oleh karena masalah kondisi fisik atau
mental, minimal telah berlangsung lebih dari sebulan dan tiga kali perminggu.
Insomnia Sekunder
Adalah gangguan tidur yang disebabkan oleh karena gangguan mental lain,
gangguan tidur akibat kondisi medik umum, dan gangguan tidur yang diinduksi
oleh zat.
2.1.3 Patogenesis
Insomnia Primer yaitu peningkatan metabolisme basal, katekolamin, dan abnormal
regulasi dari Corticotropin Releasing Factor (CRF). Pada gangguan regulasi CRF ini
diduga terjadi akibat hiperaktivitas dari hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), sehingga
6
terjadi kenaikan Adreno-Corticotropin Hormone (ACTH), ACTH ini menyebabkan
peningkatan cortisol. Pada pasien insomnia primer ditemukan peningkatan kadar cortisol
dan CRF, sehingga diduga peningkatan cortisol ini ada kaitannya dengan insomnia.
Pada insomnia sekunder dikaitkan dengan keadaan hiperarousal yang disebabkan oleh
penyebab insomnia. Hiperarousal adalah suatu kondisi waspada atau keterjagaan yang
berlebihan dimana jantung berdebar, napas semakin cepat (hiperventilasi, yang sering
dirasakan sebagai sesak), mulut kering, keluhan lambung, tangan dan kaki merasa dingin
dan ketegangan otot (biasanya di pelipis, tengkuk atau punggung), sehingga tidak bisa
memasuki tahap-tahapan tidur.
encephalin. Beta endorphin dan encephalin menimbulkan rileks dan perasaan senang.
Dalam kondisi rileks, lansia akan mudah dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
7
2.1.4.2 Merokok
Nikotin dipercaya dapat meningkatkan rasa percaya diri dan ketagihan yang diaktivasi
oleh proyeksi jalur dopamine mulai dari area ventral tegmental ke korteks serebral dan
sistem limbik. Penambahan aktivasi sistem dopamine ini akan menyebabkan peningkatan
konsentrasi dari norepinephrine dan epinephrine dalam sirkulasi serta peningkatan
pengeluaran vasopressin, ACTH, dan kortisol. Hormon hormon ini memiliki kontribusi
dasar dalam memberikan efek stimulan pada SSP. ACTH ini menyebabkan peningkatan
kortisol. Pada pasien insomnia ditemukan peningkatan kadar kortisol dan CRF, sehingga
diduga peningkatan kortisol ini ada kaitannya dengan insomnia.
2.1.4.3 Obat hipnotik sedative
Dengan pemakaian obat hipnotik sedatif yang lama, maka toleransi akan meningkat.
Pada saat obat dihentikan dengan tiba-tiba terjadi kesulitan tidur yang parah.
2.1.4.4 Depresi dan gangguan cemas
Pola tidur pasien depresi berbeda dengan pola tidur pasien tidak depresi. Pada depresi
berat terjadi gangguan pada setiap stadium siklus tidur. Efisiensi tidurnya buruk, tidur
gelombang pendek menurun, latensi REM juga menurun, serta peningkatan aktivitas
rem. Lansia dengan keluhan insomnia harus dipikirkan adanya depresi atau ansietas.
2.1.4.5Penyakit Lain
Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan sering buang air
kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka
yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker,
gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke,
penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
8
2.1.4.6 Aging/penuaan
Pada usia lanjut terjadi perubahan irama sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang
sensitif terhadap perubahan gelap - terang. Pada usia lanjut, ekskresi cortisol dan GH
serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon
yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan
meningkatnya usia.
2.1.4.7 Restless Leg Syndrome (RLS)
Adalah suatu kondisi dimana kaki merasa kesemutan, tidak nyaman. Sering disebabkan
oleh kehamilan, faktor turunan, penyakit ginjal, peripheral neuropati, defisiensi zat besi.
Perasaan tidak nyaman seperti ini akan menyebabkan kondisi waspada/hiperarousal yang
akan mengakibatkan gangguan tidur.
2.1.4.8 Parasomnia
Disebut juga sebagai nightmare disorder, ketika pasien terbangun dari tidur berkali-kali
oleh karena mimpi buruk, keadaan ini akan menyebabkan waspada /hiperarousal
sehingga mengakibatkan gangguan tidur.
2.1.4.9 Kondisi lingkungan
Yang dimaksud kondisi lingkungan di sini termasuk suhu, tempat tidur, keadaan gelap
terang, ventilasi dan lain lain yang berkaitan dengan suasana tidur. Kondisi lingkungan
yang nyaman akan mempermudah memulai tidur serta mempertahankannya. Bila kondisi
lingkungan sudah tidak nyaman, maka kondisi waspada/hiperarousal akan muncul yang
mengakibatkan insomnia.
2.2 Hubungan Olahraga Dengan Insomnia
Dari penelitian yang dilakukan oleh National Institute of health pada tahun 2010 tentang
hubungan olah raga terhadap peningkatan tidur dan kualitas hidup lansia dengan
9
insomnia, menjelaskan bahwa aktivitas fisik dapat meningkatkan kualitas tidur, durasi
tidur dan efisiensi tidur (Mahardika J,2012)
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,
3.1. Kerangka Berpikir
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan untuk tidur. Gejala
tersebut biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun. Banyak faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya insomnia. Salah satu kegiatan yang dapat mencegah terjadinya
insomnia adalah dengan rajin berolahraga. Endorphin akan muncul, bila cadangan glukosa
dalam tubuh berkurang akibat aktivitas fisik yaitu salah satunya dengan berolahraga. Beta
endorphin dan encephalin menimbulkan kondisi rileks, sehingga diharapkan lansia akan lebih
mudah di dalam memenuhi kebutuhan tidurnya.
10
Aktivitas fisik (olahraga)
10
Insomnia (+)/(-)
Olahraga
Tidak olahraga
Lansia (faktor aging)
11
Keterangan :
linier berganda
3.3. Hipotesis
Hipotesis nol (Ho)
dengan insomnia.
Hipotesis alternatif (Ha) : Ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan olah raga
dengan insomnia.
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1.Desain Penelitian dan Variabel
Jenis penelitian yang dilakukan bersifat analitik dengan desain studi cross sectional
dengan kebiasaan berolah raga sebagai variabel bebas dan insomnia sebagai variabel
tergantung.
12
4.3. Populasi
Populasi penelitian adalah sekelompok subjek atau data dengan karakteristik tertentu
(Sastroasmoro, 2010). Populasi kasus dibagi populasi target dan populasi terjangkau.
1
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua lansia yang ada di Denpasar.
Populasi terjangkau adalah semua lansia yang datang ke kelompok senam lansia di Banjar
Kaja Sesetan Denpasar Selatan yang datang pada tanggal 1-15 Junil 2016.
4.5. Sampel
Yang digunakan sebagai sampel adalah semua pasien berusia 60 tahun yang datang ke
kelompok senam lansia di Banjar Kaja Sesetan Denpasar Selatan, yang datang pada
tanggal 1-15 mei 2016., yang memenuhi kriteria inklusi.
4.5.1. Perhitungan Jumlah Sampel
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelatif sehingga besar sampel ditentukan
menggunakan rumus koefisien korelasi (M. Sopiyudin Dahlan. 2014). Besar sampel yang
diperlukan dalam penelitian ini, yaitu:
N= (Z+Z)
0,5ln 1+r
+3
13
1-r
Keterangan :
N = jumlah sampel minimal yang diperlukan
Z=kesalahan tie I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis satu arah sehingga Z = 1,64
Z=kesalahan tipe II sebesar 10%, maka Z= 1,28
r= korelasi minimal yang di anggap bermakna 0,7 , berdasarkan penelitian sebelumnya oleh
Rahmawati (2015)
N= (Z+Z)
0,5ln 1+r
1-r
N= (1,64+1,28)
0,5ln 1+0,7
1-0,7
N= 37
+3
+3
: Olah raga
Variabel tergantung
: Insomnia
Variabel perancu
penyakit lain (artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux
disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer), Aging, RLS,
parasomnia, faktor lingkungan. Variabel perancu di kendalikan dengan analisis regresi
logistik.
14
Variabel
Definisi operasional
Pengukuran
Skala Data
1.
Insomnia
Diagnosa
insomnia
dilakukan
dengan
menggunakan Pittsburgh
Sleep
Symptom
Questionnaire-Insomnia
(PSSQ-I). Ada 3 kriteria
yang digunakan yaitu kriteria
a (frequencies), kriteria b
(duration), dan kriteria c
(gangguan aktivitas seharihari). Jika penilaian ketiga
kategori tersebut (a, b dan c)
adalah
Ya,
maka
responden
dinyatakan
insomnia.
Data
kategorik
skala nominal
15
pertanyaan nomor 6-13 adalah Ya
(gangguan aktivitas sehari-hari)?
2.
Kebiasaan
Olah Raga
data kategorik
skala nominal
3.
Umur
numerik
16
Tidak dijadikan
Tidak
Ditanyakan kesediaan
sample penelitian
bersedia
mengikuti penelitian oleh
peneliti
Bersedia
Mendiagnosa insomnia
Wawancara untuk
berdasarkan(PSSQ-I)
Insomnia
Tidak
Ya
Tidak
17
4.10.
kuesioner:
Kuesioner 1 untuk mendiagnosa insomnia, menggunakan kuesioner Pittsburgh
Sleep Symptom Questionnaire-Insomnia (PSSQ-I)
Kuesioner 2 untuk menilai faktor-faktor resiko yang insomnia
4.11.
18
kategorik adalah uji statistic Chi square dengan batas kemaknaan 5%. Variabel perancu
di kendalikan dengan analisis regresi logistik.
Jika nilai p < 0,05, maka ada hubungan bermakna antara faktor risiko dengan
penyakit.
Jika nilai p 0,05, maka tidak ada hubungan bermakna antara faktor risiko dengan
penyakit.
A / A+B
C / C+D
olah raga)
C/C+D = prevalens penyakit diantara yang tidak terpapar (memiliki kebiasaan
olah raga)
Jika PRR = 1 resiko pasien yang tidak memiliki kebiasaan olah raga sama
dengan resiko pasien yang memiliki kebiasaan olah raga untuk menderita
insomnia.
19
Jika PRR > 1 resiko pasien yang tidak memiliki kebiasaan olah raga lebih
besar daripada resiko pasien yang memiliki olah raga untuk menderita
insomnia.
Jika PRR < 1 resiko pasien yang tidak memiliki kebiasaan olah raga lebih
kecil daripada resiko pasien memiliki kebiasaan olah raga untuk menderita
insomnia.
Daftar Pustaka
Amir, N. 2007. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan penatalaksanaan. Cermin
dunia kedokteran edisi No. 157. http://www.itokindo.org/?wpfb_dl=185 (di akses
tanggal 13 maret 2016 )
Kaplan, H.I., dkk.
Jakarta.h.337
2010.
Mahardika J., dkk. 2012. Hubungan keteraturan mengikuti senam lansia dan kebutuhan tidur
lansia di UPT PSLU Pasuruan di Babat Lamongan. Universitas Airlangga.
http://journal.unair.ac.id/article_4811_media127_category127.html. (di akses tanggal.
10 maret 2016)
Maslim, R. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ III. PT Nuh Jaya.Jakarta
20
Santos R.V.T., dkk. 2011. Moderate exercise training modulates cytokine profile and sleep in
elderly people. Pubmed.Gov. Mar.48(1):79-88
Sapta D. 2014. Insomnia dan diagnosis psikiatri pada pasien di Instalansi Rawat Darurat
(IRD) RSUP SANGLAH.
http://id.portalgaruda.org/?ref=browse&mod=viewarticle&article=295816.(di akses
tanggal 15 maret 2016)
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah.........................................................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................................................3
1.3.1. Tujuan umum...........................................................................................................3
1.3.2. Tujuan khusus...........................................................................................................3
1.4. Manfaat penelitian...........................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................................5
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................5
2.1.Insomnia...........................................................................................................................5
2.1.1 Definisi......................................................................................................................5
2.1.2 Klasifikasi.....................................................................................................................6
21
2.1.3 Patogenesis................................................................................................................6
2.1.4 Faktor resiko insomnia..................................................................................................7
2.1.4.1 Tidak olah Raga......................................................................................................7
2.1.4.2 Merokok.................................................................................................................7
2.1.4.3 Obat hipnotik sedative............................................................................................8
2.1.4.4 Depresi dan gangguan cemas.................................................................................8
2.1.4.5Penyakit Lain..........................................................................................................8
2.1.4.6 Aging/penuaan........................................................................................................8
2.1.4.7 Restless Leg Syndrome (RLS)................................................................................9
2.1.4.8 Parasomnia.............................................................................................................9
2.1.4.9 Kondisi lingkungan................................................................................................9
BAB III.....................................................................................................................................10
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,.........................................10
3.1. Kerangka Berpikir.........................................................................................................10
3.2. Kerangka konsep...........................................................................................................11
3.3. Hipotesis........................................................................................................................11
BAB IV....................................................................................................................................12
METODOLOGI PENELITIAN...............................................................................................12
4.1.Desain Penelitian dan Variabel.......................................................................................12
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian.......................................................................................12
4.3. Populasi.........................................................................................................................12
22
4.4. Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi...........................................................................12
4.5. Sampel...........................................................................................................................13
4.5.1. Perhitungan Jumlah Sampel...................................................................................13
4.5.2.Cara Pengambilan Sampel......................................................................................14
4.6 Identifikasi Variabel Penelitian......................................................................................14
Insomnia...........................................................................................................................15
4.8. Tata Cara Pengumpulan Data........................................................................................16