Anda di halaman 1dari 16

ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIS

Anemia adalah komplikasi yang hampir selalu terjadi pada gagal ginjal kronis (GGK).
Komplikasi ini berperan dalam penurunan kualitas hidup pasien dengan GGK dan telah dikaitkan
dengan banyak luaran klinis yang tidak diharapkan. Sebelum adanya recombinant human
erythropoietin (rHuEPO, atau epoetin), pasien dengan dialisis seringkali menbutuhkan transfusi
darah, menyebabkan risiko kelebihan zat besi, transmisi hepatitis virus, dan sensitisasi HLA, di
mana risiko-risiko ini mengurangi kemungkinan keberhasilan transplantasi. Penemuan rHuEPO
pada akhir tahun 1980an mengubah hal ini. Kemampuan untuk mengoreksi anemia menunjukkan
bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dapat ditangani yaitu kelemahan kondisi umum dan
penurunan kapasitas fisik yang diakibatkan gangguan fungsi fisiologi secara umum. Oleh karena
itu, terdapat pertimbangan rasional yang kuat dalam tatalaksana anemia pada pasien dengan
GGK, meskipun strategi terapi yang optimal masih belum sepenuhnya dipahami. Di samping
terapi dengan erythropoietin-stimulatign agents (ESA), pengembalian zat besai penting dalam
manajemen anemia. Penting untuk diingat bahwa pasien GGK membutuhkan target ambang
batas terhadap parameter zat besi berbeda dengan individu normal untuk memastikan angka
produksi sel darah merah yang optimal. Biaya manajemen anemia perlu dipertimbangkan, dan di
samping itu koreksi anemia secara total mungkin menyebabkan dampak negatif bagi pasien, oleh
karena itu pertimbangan yang rasional dan cermat terhadap keuntungan dan kerugian terapi ini
wajib dilakukan.

PATOGENESIS
Anemia renalis biasanya adalah suatu anemia normokromik normositik terisolasi tanpa
leukopenia atau trombositopenia. Baik rentang waktu hidup dan kecepatan produksi sel darah
merah mengalami penurunan. Sumsum tulang yang normal memiliki kapasitas yang memadai
untuk meningkatkan kecepatan eritropoiesis, dan penurunan waktu hidup eritrosit akibat GGK
dapat secara normal terkompensasi. Namun, kompensasi peningkatan produksi eritrosit yang
diinduksi erythropoietin (EPO) terganggu pada pasien GGK. Kadar serum EPO masih dalam
rentang normal dan gagal menunjukkan hubungan eksponensial terbalik dengan karakterisk
konten oksigen dalam darah pada tipe anemia yang lain. EPO secara normal diproduksi oleh
fibroblas interstisial pada korteks renalis, yang dengan dengan sel epitel tubulus dan kapiler
peritubuler. Sebagai tambahan, hepatosit dan sel Ito perisinusoidal pada hati dapat memproduksi
EPO (gambar 83-1). Produksi EPO hepatis mendominasi selama masa fetus dan awal kelahrian
namun tidak mengompensasi hilangnya produksi pada ginjal pada orang dewasa. Perubahan
yang terjadi pada konten oksigen dalam darah yang diinduksi oleh anemia, penurunan
konsentrasi oksigen lingkungan, dan ketinggian menstimulasi sekresi EPO melalui sistem
ekspresi gen tergantung oksigen. Pusat dari proses ini adalah suatu hypoxia-inducible
transcription factors (HIF). Dua anggora yang paling penting pada famili ini adalah HIF-1 dan
HIF-2, yang membentuk suatu subunit yang diregulasi oksigen (HIF-1 dan HIF-2) dan
subunit . Produksi HIF-1 dan HIF-2 tergantung pada oksigen, namun degradasinya terkait
dengan konsentrasi oksigen pada seluler. Hidroksilasi prolyl dan asparagyl residu HIF-1 yang
spesifik, di mana oksigen molekuler dibutuhkan sebagai suatu substrat, menentukan
penghancuran proteasomal HIF dan menghambat aktivitas transkripsi. Di luar dari EPO, terdapat
lebih dari 100 HIF gen target telah diidentifikasi. HIF-2, dibandingkan HIF-1, adalah faktor
transkripsi yang secara utama bertanggung jawab dalam regulasi produksi EPO.
Peran produksi EPO renalis pada patogenesis anemia renalis didukung oleh pengamatan
bahwa anemia biasanya berat pada pasien anefrik. Meskipun, mekanisme terganggunya produksi
EPO renalis pada penyakti ginjal masih belum dipahami sepenuhnya. Kapasitas produksi EPO
tetap signifikan, meskipun pada penyakit ginjal stadium akhir. Oleh karena itu, pasien dengan
anemia dan GGK dapat merespon dengan peningkatan produksi EPO yang signifikan terhadap
stimulus hipoksia tambahan. Masalah utamanya munculnya kegagalan produksi EPO dalam
responnya terhadap penurunan konsentrasi hemoglobin (Hb) yang kronis. Sejalan dengan
pandangan ini, produksi EPO endogen dapat diinduksi pada pasien GGK dengan inhibisi
farmakologis dari degradasi HIF (lihat pada diskusi selanjutnya).
Erythropoietin adalah suatu hormon glikoprotein yang terdiri dari 165 asam amino
protein penyangga dan 4 kompleks, rantai karbohidrat yang tersialylasi. Selanjutnya penting
untuk aktivitas biologis EPO in vivo karena EPO yang terdeglikosilasi secara parsial maupun
komplit mudah dibersihkan dari sirkulasi. Hal ini juga mengapa rHuEPO telah dibuat pada
deretan sel mamalia; bakteri kekurangan kapasitas untuk mengglikosilasi protein rekombinan.
Erythropoietin menstimulasi produksi sel darah merah dengan mengikat reseptor EPO
homodimer, dimana umumnya terletak pada sel progenitor erythroid awal, burst-forming units
erythroid (BFU-e), dan colony-forming units erythroid (CFU-e). Ikatan EPO terhadap
reseptornya mencegah sel progenitor dan pembentukan eritroblas dari apoptosis sehingga terjadi
pembelahan sel dan maturasi menjadi sel darah merah. Penghambatan produksi sel darah merah
dengan inhibitor uremik eitropoiesis mugnkin berkontribusi dalam patogenesis anemia renalis,
meskipun mereka belum teridentifikasi dengan baik. Dialisis per se dapat memperbaiki anemia
renalis dan efektivitas ESA. Dan lebih lagi, penyesuaian dosis interindividual untuk ESA sangat
bervariasi di antara pasien-pasien GGK, dan dosis rata per minggu jauh lebih tinggi
dibandingkan perkiraan kecepatan produksi EPO endogen pada individu yang sehat. Sebuah
pandangan alternatif terhadap akumulasi inhibitor eritropoiesis pada GGK adalah banyak pasien
terjadi tumpang tindih antara anemia renalis dan anemia pada penyakti kronis, yang ditandai
dengan inhibisi produksi EPO dan efektivitas EPO dan juga dengan penurunan availibilitas zat
besi, yang dimediasi melalui efek sitokin inflamasi. Hepar melepaskan hepcidin, regulator kunci
dalam metabolisme zat besi, yang di-upregulasi dalam kondisi inflamasi. Secara simultan, zat ini
menghambat absorpsi zat besi dari saluran cerna dan menimbulkan sekuestrasi zat besi dalam
makrofag.

EPIDEMIOLOGI DAN PERJALANAN ALAMIAH


Secara umum, terdapat suatu peningkatan progresif pada insiden dan derajat keparahan anemia
dengan penurunan fungsi ginjal. Prevalensi yang dilaporkan pada anemia dengan stadium GGK
bervariasi secara bermakna dan tergantung pada definisi anemia dan apakah partisipan studi
dipilih dari populasi umum, adalah yang berisiko tinggi GGK, diabetes, atau sedang dalam
perawatan klinisi lain. Data dari National Health dan Nutrition Examination Survet (NHANES)
menunjukkan bahwa distribusi kadar Hb mulai mengalami penurunan pada estimated glomerular
filtration rate (eGFR) kurang dari 75 ml/menit/1,73 m2 pada pria dan kurang dari 45
ml/menit/1,73 m2 pada wanita (Gambar 83-2). Prevalensi nilai Hb kurang dari 13 g/dl meningkat
di atas ambang batas eGFR 60 ml/menit/1,73 m2 pada pria dan 45 ml/menit/1,73 m2 pada wanita
pada populasi umum. Di antara pasien yang menjalani perawatan rutin dan mengetahui
mengalami GGK, prevalensi GGK didapatkan lebih tinggi, dengan mean kadar Hb 12,8 1,5
(GGK stadium 1 dan 2), 12,4 1,6 (GGK stadium 3), 12,0 1,6 (GGK stadium 4), dan 10,9
1,6 (GGK stadium 5). Meskipun anemia terjadi secara luas dan bebas akibat penyakit ginjal,
terdapat 2 pengecualian yang penting. Pasien diabetes lebih sering mengalami anemia pada awal
GGK, dan lebih parah pada tingkatan kerusakan ginjal tertentu. Sebaliknya, pada pasien dengan
polycystic kidney disease, Hb secara rata-rata lebih tinggi di antara pasien dengan derajat
kegagalan ginjal yang serupa, dan polisitemia kadang terjadi.
Dengan rHuEPO dan derivatnya, nilai Hb pada pasien dengan GGK telah berubah.
Biasanya pada pasien dengan dialisis, rata-rata kadar Hb meningkat secara stabil selama
bertahun-tahun, dan kemudian mengalami penurunan kembali sesuai dengan bukti baru yang
menyarankan kadar target yang lebih rendah. Rata-rata kadar Hb, masih bervariasi di antara
negara-negra, menunjukkan variabilitas yang perlu dipertimbangkan dalam pola praktik (Tabel
83-1). Lebih lagi, kadar Hb bervariasi di antara pasien dengan kondisi terapi yang sama, hal ini
menunjukkan bahwa perubahan yang persisten dan bergantung pada waktu dalam hal respon
terhadap terapi.

DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


Diagnosis anemia dan penilaian derajat keparahan paling baik mengukur konsentrasi Hb
dibandingkan hematokit. Hb adalah suatu analit yang stabil yang diukur secara langsung dalam
keadaan yang terstandarisasi, di mana hematokrit relatif tidak stabil, secara tidak langsung
diambil oleh analiser otomatis, dan kurang standarisasi. Koefisien variasi within-run dan
between-run pada analiser otomasi pengukuran Hb adalah setengah dan sepertiga dari
hematokrit.
Terdapat berbagai macam ambang Hb yang digunakan untuk mendefinisikan anemia.
Berdsarkan definisi terbaru oleh panduan Kidney Disease: Improving Global Outcomes
(KDIGO), anemia didiagnosis apabila konsentrasi Hb kurang dari 13 g/dL pada pria dan kurang
dari 12 g/dL pada wanita. Nilai ini mewakili definisi anemia oleh World Health Organizition
(WHO). Pada anak-anak, perbedaan berdasarkan usia pada nilai normal harus diperhatikan. Nilai
Hb normal meningkat meningkat pada orang yang tinggal di daratan tinggi. Penting untuk
diperhatikan bahwa ambang batas untuk diagnosis anemia dan evaluasi penyebab sebaiknya
tidak diinterpretasi sebagai ambang batas dalam memberikan terapi anemia.
Sebagai tambahan nilai Hb, evaluasi anemia pada pasien GGK harus meliputi darah
lengkap dengan mean corpuscular Hb concentration (MCHC), mean corpuscular volume
(MCV), perhitungan sel darah putih (termasuk diferensialnya), dan perhitungan platelet.
Meskipun anemia renalis biasanya normokromik dan normositik, defisiensi vitambin B12 atau
asam folat dapat menyebabkan makrositosis, sedangkan defisiensi zat besi atau kelainan
keturunan formasi Hb (seperti talasemia) dapat menyebabkan mikrositosis. Makrositosis dengan
leukopenia atau trombositopenia menunjukkan suatu kelainan hematopoiesis umum disebabkan
oleh toksin, kekurangan nutrisi, atau mielodisplasia. Hipokromia mungkin menunjukkan
eritropoiesis defisiensi zat besi. Jumlah retikulosit absolut, yang memiliki rentang normal di
antara 40.000 50.000 sel/l darah, adalah suatu penanda yang berguna untuk mengetahui
aktivitas eritropoiesis.
Penting untuk identifikasi anemia pada pasien GGK karena hal ini dapat menunjukkan
kekurangan nutrisi, penyakit sistemik, atau kondisi lain yang perlu perhatian khusus, dan pada
derajat yang sedang, anemia menunjukakn suatu faktor risiko independen terhadap rawat inap,
penyakit kardiovaskular, dan mortalitas. Diagnosis anemia renalis, yaitu anemia yang disebabkan
oleh GGK, memerlukan keputusan yang cermat mengenai derajat anemia dalam hubungannya
dengan derajat gangguan ginjal dan eksklusi penyebab tambahan lain. Karena terdapat berbagai
macam derajat anemia dalam hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal, tidak ada kriteria
diagnosis sederhana yang dapat digunakan. Penyebab anemia lain selain defisiensi EPO harus
dipertimbangkan bila (1) derajat keparahan anemia tidak sesuai dengan gangguan fungsi ginjal,
(2) terdapat bukti defisiensi zat besi, atau (3) terdapat bukti leukopenia atau trombositopenia.
Kondisi konkomitan seperti sickle cell disease mungkin mengeksaserbasi anemia, seperti terapi
obat-obatan. Contohnya, inhibitor sistem renin-angiotensin dapat mengurangi kadar Hb oleh (1)
efek langsung angiotensin II pada sel progenitor eritroid, (2) akumulasi N-asetil-seril-lysyl-
proline (Ac-SDKP), suatu inhibitor endogen eritropoisesis pada pasien yang diterapi dengan
angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor, dan (3) reduksi produksi EPO endogen,
mungkin penyebab efek hemodinamik penghambatan angiotensin II. Efek mielosupresif dari
imunosupresan dapat lebih jauh berperan dalam terjadinya anemia. Pengukuran konsentrasi
serum EPO biasanya tidak membantu dalam diagnosis anemia renalis karena terdapat suatu
defisiensi relatif dibandingkan defisiensi absolut, dengan rentan konsentrasi EPO yang luas
untuk konsentrasi Hb tertentu yang terjadi pada rentang normal kadar EPO individu sehat dan
nonanemis. Abnormalitas pada parameter laboratorium harus dicari, seperti MCV atau MCHC
rendah (mungkin mengindikasikan suatu hemoglobinopati yang mendasari), MCV yang tinggi
(mungkin mengindikasikan defisiensi vitamin B12 atau asam folat), atau jumlah leukosit atau
platelet yagn abnormal (mungkin mengindikasikan suatu masalah sumsum tulang primer, seperti
myeloma atau sindrom myelodysplastik), dan uji lebih lanjut harus dilakukan sesuai indikasi
untuk mengeksplorasi kondisi potensial lainnya. Namun, bila tidak ada hal yang menjadi
perhatian terutama penyebab anemia yang lain, dan defisiensi zat besi telah diekslusi, sebuah
percobaan dengan rHuEPO atau derivatnya menunjukkan hasil yang baik, meskipun pada saat
eGFR tidak terlalu banyak mengalami penurunan.

MANIFESTASI KLINIS
Pada awal uji coba rHuEPO dilakukan pada akhir tahun 1980an, mean baseline konsentrasi Hb
adalah sekitar 6 sampai 7 g/dL, dan angka ini secara progresif meningkat menjadi sekitar 11
sampai 12 g/dL setelah terapi. Pasien secara subyektif merasa lebih baik, dengan rasa lemas
berkurang, tingkat tenaga lebih tinggi, dan peningkatan kapasitas fisik, dan juga terdapat
perbaikan obyektif terhadap fungsi kardiorespiratori. Oleh karena itu, hal ini jelas bahwa banyak
keluhan yang sebelumnya berkaitan dengan sindrom uremik mungkin disebabkan oleh anemia
berat terkait dengan GGK (Boks 83-1 dan 83-2). Meskipun penurunan jumlah transfusi darah
dan perbaikan kualitas hidup adalah perubahan awal yang jelas ditunjukkan, terdapat pula efek
yang mungkin terjadi pada sistem kardiovaskular (lihat Boks 83-1). Konsekuensi fisiologis dari
anemia dalam jangka panjang adalah peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi
vaskular perifer. Anemia dikaitkan dengan perkembangan hipertrofi ventrtikel kiri pada pasien
GGK dan hal ini diperkirakan dapat mengeksaserbasi dilatasi ventrikel kiri. Koreksi anemia
berat pada pasien GGK yang terus-menerus cenderung mengembalikan kebanyakan abnormalitas
kardiovaskular ini, dengan pengecualian dilatasi ventrikel kiri. Bila ventrikel kiri teregang
melebihi batas elastisitasnya, koreksi anemia tidak dapat mengembalikan abnormalitas ini. Hal
ini mungkin dapat mencegah perburukan yang lebih jauh pada beberapa pasien. Efek lain dari
koreksi anemia yang dilaporkan pada percobaan klinis meliputi perbaikan kualitas hidup, fungsi
kognitif, pola tidur, nutrisi, fungsi seksual, keteraturan menstruasi, respon imun, dan fungsi
platelet. Mayoritas dari uji coba ini tidak dilakukan plasebo terkontrol sehingga spektrum dan
kemungkinan keuntungan yang ditimbulkan masih belum dapat dipastikan.
Selama bertahun-tahun, terdapat pula perdebatan mengenai rentang target optimal Hb
pada pasien GGK. Perkiraan perbaikan kualitas hidup dan ekspektasi efek positif pada fungsi
kardiovaskular dan progresivitas penyakit ginjal dengan peningkatan konsentrasi Hb mengarah
pada kadar yang disarankan di atas 10 sampai 11 g/dL pada semua pasien GGK, namun beberapa
studi telah mengindikasikan peningkatan risiko terkait dengan percobaan untuk mengoreksi
anemia sepenuhnya. Pada beberapa kasus, tidak ada keuntungan yang didapatkan pada kadar
koreksi anemia yang lebih tinggi, dan percobaan untuk menormalkan konsentrasi Hb telah
menunjukkan berbagai risiko, termasuk peningkatan angka kejadian tromboemboli, stroke, dan
kemungkinan kematian. Oleh karena itu, kemungkinan pertukaran antara perbaikan kualitas
hidup, penurunan kebutuhan transfusi, dan risiko kerugian (lihat diskusi selanjutnya), dan target
kadar Hb di atas 13 g/dL sebaiknya dihindari.
TERAPI
Erythropoiesis-Stimulating Agents
Terapi Epoetin
Pembuatan rHuEPO dilakukan dengan transfer gen ke dalam suatu deretan sel mamalia yang
cocok seperti sel ovarium hamster Cina atau induksi gen manusia pada suatu deretan sel
hepatoma. Percobaan klinis rHuEPO awal dilakukan baik dengan EPO alda dan EPO beta, kedua
diproduksi pada sel ovarium hamster Cina. Seperti hormon endogen, rHuEPO terdiri dari 165
asam amino penyangga dengan satu rantai glikosilasi O-linked dan tiga rantai glikosilasi N-
linked. Terdapat beberapa perbedaan pada pola glikosilasi di antara preparat rHuEPO yang
berbeda dan hormon endogen. Beberapa formulasi EPO saat ini tersedia, termasuk preparat EPO
yang biosimilar, yang telah dikembangkan setelah paten inovator telah kadaluarsa. EPO
salinan lainnya tersedia di berbagai belahan dunia (seperti Cina, India, Peru, Argentina, Rusia,
dan Kuba) dan tidak wajib diproduksi dengan standar regulasi yang sama seperti preparat EPO
yang dijual di Amerika Serikat dan Eropa. EPO lain yang telah dikembangkan untuk pasar Eropa
adalah EPO delta, yang berbeda dengan EPO lainnya pada pola glikosilasinya karena EPO ini
diproduksi dalam deretan sel fibrosarkoma.
Sebelum 1998, EPO alfa di Eropa diformulasikan dengan albumin serum manusia,
namun karena perubahan regulasi di Eropa, ini digantikan dengan polisorbat 80. EPO beta
diformulasikan dengan polisorbat 20, bersama dengan urea, kalsium klorida, dan lima asam
amino sebagai eksipien. Hal yang penting dalam formulasi produk EPO terjadi pada tahun 2002
dengan suatu peningkatan mendadak kasus aplasia sel darah merah murni dimediasi antibodi
yang berkaitan dengan penggunaan EPO alfa subkuran setelah perubahan formulasinya. Pasien
mengalami komplikasi ini membentuk antibodi netralisir terhadap rHuEPO dan hormon
endogen, di mana hal ini mengakibatkan anemia berat dan ketergantungan terhadap transfusi.
Penyebab dari komplikasi serius ini di mana terjadi hilangnya toleransi sel B masih
dipertanyakan, meskipun tampaknya kemungkinan faktor-faktor seperti cold storage chain yang
tidak sesuai mungkin relevan, dan rute pemberian subkutan, bukti sirkumstansial juga
menunjukkan bahwa stopper karet dari spuit yang telah diisi digunakan pada formulasi EPO alfa
bebas albumin mungkin melepaskan senyawa organik yang bersifat sebagai adjuvan imunologis.
Meskipun efek samping kombinasi yang tidak menguntungkan ini spesifik terhadap 1 senyawa,
suatu baseline rendah aplasia sel darah merah murni juga terjadi pada EPO beta dan darbepoetin
alfa.
EPO diberikan baik secara intravena atau subkutan. Bioavailabilitas setelah pemberian
interperitoneal (pada pasien dialisis peritoneal) sangat rendah. Percobaan klinis terbaru dari EPO
menggunakan injeksi intravena 2 atau 3 kali per minggu. Hal ini sebagian diakibatkan waktu
paruh EPO yang pendek (6 sampai 8 jam setelah pemberian intraven) dan sebagian diakibatkan
kenyamanan pasien dengan dialisis. Dengan pengunaan regimen ini, 90% pasien menunjukkan
suatu peningkatan konsentrasi Hb yang signifikan. Manajemen zat besi yang baik penting dalam
keberhasilan terapi EPO (lihat diskusi selanjutnya). Meskipun bioavailibilitas EPO subkutan
adalah 20% sampai 30%, waktu paruh yang diperpanjang setelah pemberian subkutan
dibandingkan dengan pemberian intravena menyebabkan frekuensi injeksi yang leih jarang.
Lebih lanjut lagi, dosis yang dibutuhkan untuk mencapai respon Hb yang sama sekitar 30% lebih
rendah dengan pemberian subkutan dibandingkan pemberian intravena. Hal ini tampaknya
terdapat sedikit perbedaan antara paha, lengan, atau abdomen sebagai lokasi pemberian injeksi.

Darbepoetin Alfa
Darbepoetin alfa adalah ESA generasi kedua yang merupakan suatu analog EPO supersialilasi,
yang memiliki 2 rantai glikosilasi N-linked tambahan. Kemampuan ini memberikan stabilitas
metabolik yang lebih besar dan angka klirens in vivo yang lebih rendah, dan eliminasi waktu
paruh dari zat ini pada manusia setelah pemberian intravena tunggal menunjukkan angka 3 kali
lebih besar daripada epoetin alfa (25,3 jam vs 8,5 jam). Oleh karena itu, agen ini dapat secara
umum diberikan lebih jarang dibandingkan epoetin standar, dengan interval pemberian 1 kali
seminggu dan 1 kali setiap alternate week. Berbeda dengan epoetin, dosis yang dibutuhkan oleh
darbepoetin alfa untuk koreksi anemia dan mempertahankan konsentrasi Hb pada pasien GGK
adalah sama antata pemberian intravena dan subkutan. Faktor konversi untuk mengubah pasien
dari epoetin alfa atau beta menjadi darbepoetin alfa biasanya sebesar 200:1, namun terdapat
variasi yang masih dapat ditoleransi pada penyesuaian dosis ini, tergantung pada populasi pasien,
dosis, dan rute pemberian agen.

C.E.R.A (Methoxy Polyehylene Glycol-Epoetin Beta)


Teknik bioengineering altrernatif untuk memperpanjang waktu paruh EPO menghasilkan
perkembangan C.E.R.A, yang merupakan suatu derivat epoetin beta terpegylasi degnan elimasi
waktu paruh sekitar 130 jam bila diberikan baik melalui intravena atau subkutan. Beberapa studi
fase III acak terkontrol menunjukkan bahwa banyak pasien dapat dipertahankan dengan
pemberian C.E.R.A. satu bulan sekali, dan sebuah studi superioritas (Comparator Study of
C.E.R.A. dan Darbepoetin Alfa in Patients Undergoing Dialysis [PATRONUS]) menunjukkan
efektivitas yagn lebih tinggi dengan frekuensi pemberian seperti ini dibandignkan dengan
pemberian dosis darbepoetin alfa satu kali sebulan bila diberikan secara intravena pada pasien
hemodialisa.

Efek Samping Erythropoiesis-Stimulating Agents


Efek samping terapi ESA meliputi peningkatan derajat sedang pada tekanan darah dan
peningkatan angka kejadian tromboemboli, termasik trombosis akses vaskular. Di mana efek-
efek ini mungkin tergantung pada suatu peningkatan konsentrasi Hb yang tinggi, terdapat
beberapa hal yang diperhatikan yakni terapi ESA dapat meningkatkan trombogenisitas dan
pertumbuhan tumor pada pasien dengan penyakit maligna, juga mengeksaserbasi kejadian
vaskular pada GGK tidak tergantung pada konsentrasi Hb. Oleh karena itu, percobaan harus
dilakukan dengan menggunakan dosis ESA paling rendah untuk menghindari efek pleiotropik
yang diasumsikan akan terjadi dari kelas obat ini. Serupa dengan hal tersebut, karena tidak ada
ambang atas kadar dosis yang aman yang telah ditentukan, hal ini disarankan untuk menghindari
ekskalasi dosis berulang. Pada Trial to Reduce Cardiovascular Events with Aranesp Therapy
(TREAT), pasien dengan riwayat keganasan ditemukan memiliki angka kematian terkait kanker
yang lebih tinggi bila yang diterapi dengan darbepoetin. Meskipun tidak ada studi yang telah
menginvestigasi manajemen anemia pada pasien dengan GGK dan kanker aktif. ESA sebaiknya
hanya digunakan dengan perhatian yang besar pada pasien yagn khususnya yang diterapi kanker
untuk mengantisipasi luaran. Serupa dengan hal tersebut, pada pasien dengan riwayat stroke atau
kejadian tromboemboli vena baru-baru ini, pertimbangan yang cermat harusnya dilakukan
khususnya terhadap rasio keuntungan dan kerugian menggunakan terapi ESA.

Erythropoiesis-Stimulating Agents Lain


Sebagai tambahan pada epoetin orisinil dan 2 derivat waktu kerja panjang, beberapa pendekatan
lain untuk menstimulasi eritropoiesis telah digali, dan ESA yang lebih baru meliputi peginesatide
dan stabiliser HIF.
Peginesatide (sebelumnya disebut Hematide) adalah suatu peptida Epo-mimetik, sekuens
asam amino yang sepenuhnya tidak terkait dengan EPO natif atau rekombinan, meskipun
senyawa ini memiliki fungsi dan sifat biologis yang sama dengan EPO. Senyawa ini telah
menunjukkan sebagai terapi yang efektif untuk aplasia sel darah merah murni termediasi antibodi
anti EP karena kurangnya reaktivitas silang dengan antibodi anti EPO. Peginesatide juga
menunjukkan ekuivalen dengan epoetin dan darbepoetin dalam meningkatkan konsentrasi Hb
pada pasien dialisis dan nondialisis, namun pada pasien nondialisis didapatkan kejadian
kardiovaskular yang lebih tinggi. Oleh karena itu agen ini disetujui di Amerika Serikat hanya
untuk pasien dialisis. Sekitar 1 tahun setelah pengenalan obat ini, peginesatide ditarik dari pasar
karena reaksi hipersensitivitas berat, termasuk kejadian anafilaksis berat.
Stabiliser HIF adalah inhibitor kompetitid HIF prolyl hydroxylase dan asparagyl
hydroxylase, enzim yang terlibat dalam metabolisme HIF dan aktivitas transkripsi. Stabiliser HIF
meneybabkan suatu peningkatan pada produksi EPO endogen. Seperti inhibitor prolyl
hydroxylase secara oral aktif, dan beberapa obat-obatan ini, dibuat oleh perusahaan yagn
berbeda, saat ini sedang dalam percobaan klinis Fase II dan III. Terdapat banyak diskusi
mengenai apakah agen-agen ini dapat meng-upregulasi tidak hanya ekspresi gen EPO namun
juga ekspresi target gen HIF lainnya, seperti yang terlibat dalama metabolisme zat besi dan
noeangiogenesis. Di mana beberapa efek ini mungkin memfasilitasi suatu peningkatan
konsentrasi Hb, konsekuensi jangka panjang efek tambahan yang potensial ini belum diketahui
dan memerlukan pemantauan yagn ketat.

INISIASI DAN PEMELIHARAAN TERAPI DENGAN ERYTHROPOIESIS-STIMULATING


AGENTS
Sebelum terapi ESA dipertimbangkan pada pasien GGK, penting untuk mengeksklusi dan
mengkoreksi penyebab anemia selain defisiensi EPO, seperti defisiensi hematinik (Gambar 83-
3). Jika konsentrasi ferritin di bawah 100 g/l, suplementasi zat besi harus diberikan terlebih
dahulu. Zat besi paling baik diberikan secara intravena, meskipun pemberian zat besi oral dapat
dipertimbangkan pada pasien yang belum memerlukan dialisis. Beberapa pasien mungkin
merespon pemberian zat besi secara intravena saja (lihat diskusi selanjutnya). Jika kadar ferritin
di atas 100 g/l (tanpa adanya inflamasi sistemik) atau terdapat respon zat besi yang suboptimal,
terapi ESA menjadi pilihan. Namun, kadar Hb yang memerlukan ESA masih menjadi
kontroversi, terutama karena topik tersebut belum dilakukan studi yang mendalam. TREAT, uji
ESA yagn terbesar sejauh ini, membandignkan terapi darbepoetin dengan target kadar Hb 13
g/dL dibandingkan dengan plasebo, dengan suatu protokol penyelamatan bila Hb pasien turun di
bawah 9 g/dL. Pada kelompok dengan darbepoetin, jumlah pasien yang ditransfusi lebih sedikit,
dan terdapat sedikit peningkatan kualitas hidup, namun angka kejadian stroke 2 kali lebih tinggi,
sehingga hubungan risiko-keuntungan jelas negatif. Sementara data-data ini secara kuat tidak
setuju dengan inisiasi terapi ESA pada pasien dengan anemia ringan, terdapat hanya satu uji acak
terkontrol yang lebih kecil yang menguji 2 rentang target yang berbeda yaitu 9,5 sampai 11,0
g/dL dan 11,5 sampai 13,0 g/dL dibandingkan dengan plasebo pada pasien dengan anemia berat.
Pasien pada kelompok terapi EPO mengalami perbaikan kualitas hidup dan kapasitas latihan,
namun tidak ada perbedaan antara kelompok-kelompok tersebut. Berdasarkan penemuan ini,
panduan KDIGO merekomendasikan penggunaan ESA untuk mencegah kadar Hb di bawah 9
g/dL. Namun, individualisasi memungkinkan dilakukan, dengan catatan memahami fakta bahwa
beberapa pasien mengalami perbaikan keluhan pada kadar Hb yang lebih tinggi dan dipersiapkan
untuk mengambil risiko yang lebih tinggi.
Dosis awal epoetin biasanya sekitar 25 sampai 50 IU/kg (seperti 2000 IU) 2 samapi 3 kali
seminggu, baik secara intravena atau subkutan. Dosis awal yang memungkinkan pada
darbepoetin alfa adalah 20 sampai 30 g sekali seminggu secara intravena atau subkutan;
sedangkan dosis awal C.E.R.A. adalah 30 sampai 60 g sekali setiap 2 minggu secara intravena
atau subkutan. Dalam 3 sampai 4 hari setelah inisiasi terapi, peningkatan jumlah retikulosit
terlihat, dan dalam 1 sampai 2 minggu, terdapat peningkatan konsentrasi Hb yang signifikan,
biasanya 0,25 sampai 5 g/dl/minggu. Oleh karena itu, selama 1 bulan, peningkatan konsentrasi
Hb signifikan sebesar 1 sampai 2 g/dl dapat tercapai. Jika pasien gagal merespon ESA sesuai
dengan harapan, dosis ditingkatkan bertahap titrasi ke atas 25% sampai 50%, dan jika masih
belum ada respon yang adekuat, penyebab resistensi terapi ESA perlu ditelusuri (lihat diskusi
selanjutnya).
Risiko perlu diobservasi dalam percobaan yang bertujuan untuk normalisasi Hb, hal ini
direkomendasikan bahwa kadar Hb tidak secara sengaja ditingkatkan sampai 13 g/dl atau lebih
tinggi dan secara umum tidak dipertahankan di atas 11,5 g/dl.

Hiporesponsif terhadap Erythropoiesis-Stimulating Agents


Tidak ada definisi absolut mengenai hiporesponsif terhadap terapi ESA, namun menurut panduan
terbaru, hal ini dianggap terjadi bila konsentrasi Hb tidak meningkat dari baseline setelah bulan
pertama terapi ESA pada dosis berdasarkan berat yang sesuai atau jika setelah terapi dengan
dosis stabil, pasien membutuhkan 2 kali dosis sampai 50% di atas dosis pada saat kondisi mereka
stabil sebelumnya. Pasien yang hiporesponsif memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan
yang merespon. Penyebab resistensi terapi ESA dilampirkan pada Tabel 83-2, dan ini penting
untuk mengkoreksinya bila memungkinkan. Penyebab utama meliputi defisiensi zat besi (lihat
diskusi selanjutnya), infeksi atau inflmasi, dan under-dialysis. Jika pasien melakukan pemberian
secara mandiri (seperti untuk pasien dengan dialisis peritoneal), kepatuhan yang buruk atau
ketaatan pada terapi harus dieksklusi. Jika terdapat keraguan mengenai kemungkinan defisiensi
zat besi, suatu percobaan zat besi intravena mungkin berguna. Vitamin B12, asam folat, dan
defisiensi tiroksin dapat dieksklusikan dengan mudah menggunakan uji laboratorium yang tepat,
seperti pada hiperparatiroidisme berat. Toksisitas aluminum tidak lagi menjadi penyebab
signifikan suatu resistensi ESA. Berdasarkan asal etnis pasien, hemoglobinopati harus dieksklusi
dengna melakukan elektroforesis Hb. Beberapa pasien yang menggunakan ACE inhibitor atau
angiotensin receptor blocker mungkin membutuhkan dosis terapi ESA yang lebih tinggi
meskipun hal ini jarang dilakukan atau disarankan untuk menghentikan obat-obatan ini.
Kemungkinan suatu penyakit sumsum tulang primer, seperti sindrom myelodisplastik sebaiknya
ditelusuri dengan melakukan pemeriksaan sumsum tulang (aspirat dan trephine) jika semua
penyebab lain telah dieksklusi. Uji sumsum tulang mungkin juga dibutuhkan untuk mendiagnosis
aplasia sel darah merah murni dimediasi antibodi, meskipun penghitungan jumlah retikulosit dan
antibodi anti EPO dapat memberikan tanda awal. Jika pasien mendapatkan terapi ESA memiliki
jumlah retikulosit yang tinggi, sumsum tulang menghasilkan lebih banyak sel darah merah baru
dibandingkan kuantitas adekuat, dan perdarahan atau hemolisis sebaiknya ditelusuri yaitu dengan
melakukan endoskopi gastrointestinal atas, kolonoskopi, atau skin hemolisis (Coombs test,
serum bilirubin, laktat dehidrogenase, dan kadar haptoglobin).
Tidak ada batas atas dosis ESA yang ditentukan, dan dosis EPO 60.000 IU per minggu
tidak biasanya digunakan di Amerika Serikat, namun terdapat perhatian baru bahwa dosis tinggi
ESA dapat meningkatkan efek samping terhadap konsentrasi Hb, seperti yang dijelaskan
sebelumnya. Pada pasien dengan penyakit akut yang membutuhkan rawat inap, Hb seringkali
mengalami penurunan sedangkan terapi ESA tetap dilanjutkan, mengindikasikan peningkatan
kehilangan darah dan hiporesponsif temporer. Manajemen anemia yang optimal di bawah
kondisi ini masih belum jelas. Sedangkan pertimbangan biaya dapat menjadai alasan
menghentikan terapi ESA sampai respon kembali muncul. Hal ini juga disarankan agar dosis
dinaikan dalam usaha mengatasi kondisi hiporesponsif. Dosis yang sangat tinggi dapat efektif
meskipun pada pasien kritis di intensive care unit, namun suatu percobaan pengganti gagal untuk
menunjukkan penurunan kebutuhan transfusi dan mengobservasi peningkatan pada trombosis
vena dalam. Dari sudut pandang praktis, dan bukti yang masih belum jelas terhadap kontroversi
ini, hal ini tampaknya masuk akal untuk melanjutkan ESA dengan dosis yang sama.
MANAJEMEN ZAT BESI
Zat besi adalah suatu bahan dasar penting untuk sintesis heme, dan jumlah yang adekuat
dibutuhkan untuk memproduksi sel darah merah baru. Oleh karena itu, di bawah peningkatan
stimulasi eritopoetin, jumlah zat besi yang digunakan lebih besar, dan banyak pasien GGK
(khususnya yang menjalani hemodialisis) memiliki jumlah zat besi yang tidak adekuat untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan sumsum tulang. Bahkan sebelum pengenalan terapi ESA,
banyak pasien GGK mengalami keseimbangan zat besi yang negatif yang merupakan akibat dari
poor dietary intake, nafsu makan menurun, dan peningkatan kehilangan zat besi dari kehilangan
darah samar dan nyata (lihat Bab 87). Kehilangan yang terjadi pada pasien GGK adalah 5 sampai
6 mg/hari, dibandingkan dengan 1 mg pada individu yang sehat, dan hal ini mungkin melebihi
kapasitas absorpsi dari traktus gastroinstestinal, khususnya saat terdapat kondisi inflamasi yang
mendasari. Kapasitas absorpsi zat besi pada pasien dengan GGK lebih rendah dibandignkan
dengan individu nonuremik, khususnya yang mengalami inflamasi sistemik, dan hal ini mungkin
dimediasi oleh up-regulasi hepcidin (lihat diskusi selanjutnya). Untuk alasan ini pula, zat besi
oral tidak efektif pada banyak pasien GGK, dan pemberian zat besi parenteral dibutuhkan,
khususnya pada pasien yang menjalani hemodialisis. Namun, meskipun dengan segala
keterbatasan absorpsi zat besi oral, biaya yang murah menggunakan rute ini, juga kenyamanan
pasien, sering membuat klinisi pertama-tama untuk mencoba suplementasi zat besi oral apda
pasien nondialisis, jika terdapat respon yang tidak memadai setelah 2 sampai 3 bulan, pemberian
zar besi intravena sebaiknya diberikan.
Suplai zat besi yang tidak adekuat ke sumsum tulang dapat diakibatkan oleh suatu
defisiensi zat besi absolut atau fungsional. Defisiensi zat besi absolut terjadi bila terdapat
persediaan zat besi yang rendah, seperti yang ditunjukkan dengan kadar serum ferritin yang
rendah di bawah 30 g/l. Defisiensi zat besi fungsional terjadi bila terdapat peningkatan
simpanan zat besi namun tempat penyimpanan gagal melepaskan zat besi cukup cepat untuk
memenuhi kebutuhan sumsum tulang. Beberapa penanda status zat besi tersedia, namun tidak
ada di antaranya yang ideal (Tabel 83-3). Serum ferritin adalah suatu penanda cadangan besi
namun dapat meningkat pada kondisi inflamasi dan penyakit liver. Saturasi transferin adalah
suatu serum zat besi fungsional yang bersirkulasi berhubungan dengan total-iron binding
capacity dan sering dianggap sebagai pengukuran yang lebih baik terhadap zat besi yang
tersedia, meskipun kadarnya dapat berfluktuasi karena variasi diurnal yang signifikan dalam
pengukuran serum zat besi. Persentase hipokromik sel darah merah dan reticulocyte hemoglobin
content (CHr) adalah parameter sel darah merah dan retikulosit, yang secara tidak langsung
mengukur berapa banyak zat besi yang digunakan menjadi sel darah merah dewasa baru. Tidak
ada pengukuran status zat besi yang biasanya adekuat untuk mengeksklusi defisiensi zat besi,
dan kadar yang direkomendasi untuk pengukuran ini berdasarkan data ilmiah yang terbatas.
Defisiensi zat besi fungsional biasanya didiagnosis bila terdapat suatu kadar ferritin yang normal
atau meningkat dan penurunan saturasi transferring (<20%) atau peningkatan sel darah merah
hipokromik (>10%). Panduan KDIGO pada manajemen anemia renalis mengusulkan suatu
percobaan pemberian zat besi pada pasien GGK dengan anemia yang tidak dalam terapi zat besi
dan ESA dan yang dibutuhkan kenaikan konsentrasi Hb dan pada pasien dengan terapi ESA yang
memerlukan kenaikan konsentrasi Hb atau penurunan dosis ESA dibutuhkan saat saturasi
transferrin (TSAT) 30% atau lebih rendah dan kadar ferritin 500 ng/ml atau lebih rendah (lihat
Tabel 83-3). Ambang kadar ferritin di atas biasanya tidak memberikan keuntungan klinis dan
dapat mengeksaserbasi toksisitas zat besi. Saturasi transferrin optimal adalah di atas 20% sampai
30% untuk memastikan ketersediaan suplai zat besi untuk sumsum tulang. Tidak ada batas atas
ferritin atau TSAT yang disebutkan pada panduan anemia KDIGO, karena tidak ada data yang
pasti untuk menentukan ambang batas di mana kerugian atau turunnya efektivitas terjadi.
Namun, sampai beberapa data informatif tersedia, nefrologis disarankan untuk mempraktikan hal
ini dengan cermat dalam memberikan zat besi intravena pada pasien dengan kadar ferritin di atas
800 ng/ml atau kadar TSAT di atas 30%. Beberapa studi mendukung mempertahankan
persentase sel darah merah hipokromik pada kadar di atas 6% dan CHr pada kadar di atas 29
pg/sel. Pengukuran status zat besi lain, seperti kadar serum reseptor transferring dan kadar
protoporphyrin eritrosit seng, merupakan alat untuk riset dan tidak rutin dilakukan pada praktik
klinis.
Zat besi sulit diabsorpsi pada individu yang uremik, dan terdapat insiden yang tinggi
terhadap efek samping gastrointestinal. Pemberian zat besi intramuscular tidak
direkomendasikan pada pasien GGK karena meningkatkan risiko perdarahan, nyeri injeksi, dan
potensi pewarnaan kulit menjadi kecoklatan. Oleh karena itu, pemberian zat besi intravena
menjadi standar perawatan untuk banyak pasien GGK, khususnya yang menjalani hemodialisis.
Terdapat beebrapa preparat zat besi intravena yang tersedia di seluruh dunia, termasuk dekstran
zat besi, sukros zat besi, glukonat zat besi, dan preparat yang lebih baru meliputi ferric
carboxymaltose, ferumoxytol, dan iron isomaltoside 1000. Tiga preparat besi yang terakhir
memudahkan zat besi intravena dosis yang lebih tinggi diberikan lebih cepat, tanpa memerlukan
dosis uji. Semua preparat zat besi mengandung besi elemental yang dikelilingi oleh cangkang
karbohidrat, yang membuat preparat ini dapat diinjeksi secara intravena. Labilitas besi yang
dilepaskan dari preparat ini bervariasi, dengan dekstran besi merupakan preparat yang paling
stabil sedangkan glukonat besi merupakan preparat yang paling tidak stabil. Besi dilepaskan dari
senyawa ini ke dalam plasma transferrin dan iron-binding protein lain dan akhirnya diambil oleh
sistem retikuloendotelial.
Pada pasien hemodialisis, hal ini mudah dan praktis untuk memberikan besi intravena
dosis rendah (seperti 10 sampai mg 20 setiap sesi dialysis), atau, 100 mg per minggu. Pada
peritoneal dialysis dan pasien GGK nondialisis, regimen dosis kecil tidak praktis, dan dosis yang
lebih besar dapat diberikan. Preparat besi yang lebih stabil maka kecepatan pemberian dosis yang
lebih besar dapat digunakan. Contohnya, 1 gr dekstran besi dapat diberikan secara infus
intravena sedangkan dosis maksimum yang direkomendasikan untuk glukonat besi adalah 125
mg. Dosis umum yang digunakan untuk feromoxytol adalah 510 mg, di mana ferric
carboxymaltose sampai 1 gr atau iron isomaltoside 1000 dapat diberikan sebagai pemberian
tunggal. Semua preparat zat besi intravena membawa risiko untuk reaksi hipersensitivitas yang
segera, di mana hal ini ditandai dengan hipotensi, pusing, dan mual. Reaksi ini biasanya jangka
pendek dan disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu besar dalam jangka waktu yang
terlalu singkat. Dekstran besi juga membawa risiko reaksi anafilaksis akut karena pembentukan
antibody dekstran, dan meskipun risiko ini lebih kecil pada dekstran besi dengan berat molekul
yang lebih rendah, potensi anafilaksis masih mungkin terjadi. Efek jangka panjang yang perlu
diperhatian pada pemberian zat besi intravena adalah potensi peningkatan susceptibilitas
terhadap infeksi dan stress oksidatif. Kebanyakan bukti ilmiah untuk kondisi ini didapatkan dari
penelitian in vitro, signifikansi klinis masih belum jelas.
Terdapat bukti baru bahwa zat besi intravena dapat memperbaiki anemia pada GGK
sampai 30% pasien yang tidak menerima terapi ESA yang memiliki kadar ferritin yang rendah.
Pada pasien tersebut, respon besi intravena sendiri dapat terjadi dalam 2 sampai 3 minggu
pemberian zat besi. Pada pasien yang sudah mendapatkan ESA, terdapat bukti yang dapat
dipertimbangkan bahwa zat besi intravena yang konkomitan dapat meningkatkan respon
terhadap ESA dan menghasilkan kebutuhan dosis yang lebih rendah.

Anda mungkin juga menyukai