ANEMIA HEMOLITIK
Oleh :
Ardhitya Yoga / 1522314037
Pembimbing :
Prof. dr. Soebandiri, SpPD-KHOM
Fakultas Kedokteran
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya
2015
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya saya dapat
menyelesaikan referat ini dengan topik anemia hemolitik. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas kepaniteraan klinik Bagian Penyakit Dalam RSAL Dr. Ramelan Surabaya
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dokter-dokter
pembimbing di RSAL Dr. Ramelan Surabaya atas bimbingan yang didapat selama
kepaniteraan klinik ini.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter
pembimbing untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, saya berharap semoga referat ini membawa
manfaat bagi kita semua.
Penulis
Definisi
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran sel
darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya. Pada anemia hemolitik, terjadi
kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari umur eritrosit normal (rata-rata 110-120 hari).
Anemia hemolitik terjadi karena meningkatnya penghancuran sel eritrosit yang diikuti
dengan ketidakmampuan dari sumsum tulang tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk
mengatasi kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya jumlah sel eritrosit tersebut,
penghancuran sel eritrosit yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasia sumsum
tulang sehingga produksi sel eritrosit akan meningkat dari normal (Bakta, 2012).
Jika suatu penyakit atau keadaan tertentu menghancurkan eritrosit sebelum waktunya,
maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan
retikulosit sampai pada sepuluh kali kecepatan normal. Namun, jika penghancuran eritrosit
telah melebihi usaha pembentukannya dan masa hidup eritrosit menurun menjadi 15 hari atau
kurang maka akan terjadi anemia hemolitik. Memendeknya umur eritrosit tidak saja terjadi
pada anemia hemolitik tetapi juga terjadi pada keadaan eritropoesis inefektif seperti pada
anemia megaloblastik dan thalasemia (Bakta, 2012).
Epidemiologi
Prevalensi dan angka kejadian anemia hemolitik antara laki-laki dan perempuan
memiliki jumlah yang sama. Angka kejadian tahunan anemia hemolitik autoimun dilaporkan
mencapai 1/100.000 orang pada populasi secara umum. Sferositosis herediter (SH)
merupakan anemia hemolitik yang paling sering dijumpai, angka kejadiannya mencapai
1/5000 orang di eropa, di Indonesia belum diketahui dengan pasti. Hingga saat ini belum
tersedia data epidemiologi SH di Indonesia (Tjokroprawiro dkk., 2015).
Defisiensi G6PD menjadi penyebab tersering kejadian ikterus dan anemia hemolitik
akut di kawasan Asia Tenggara. Di Indonesia insidennya diperkirakan 1-14%, prevalensi
defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%, di Indonesia bagian Timur disebutkan bahwa
insiden defisiensi G6PD adalah 1,6-6,7% (Tjokroprawiro dkk., 2015).
Klasifikasi
Pada dasarnya anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1. Anemia hemolitik karena faktor di dalam eritrosit sendiri (intrakorpuskuler), yang
sebagian besar bersifat herediter-familier
Gangguan Intrakorpuskuler
A. Herediter Familier
1. Gangguan
membran
Gangguan Ekstrakorpuskuler
A. Didapat
eritrosit
1. Imun
(membranopati)
a. hereditary spherocytosis
b. hereditary elliptocytosis
c. hereditary stomatocytosis
a. Autoimun
i. warm antibody type
ii. cold antibody type
b. Aloimun
i. Hemolytic transfussion reactions
ii. Hemolytic disease of new born
iii.Allograft
2. Gangguan
metabolisme/
ensim
(bone
marrow-
transplantation)
2. Drug associated
eritrosit (ensimopati)
a. defek jalur heksosemonofosfat
Defisiensi
G-6PD
(glucose-6
phospate dehydrogenase)
b. defek jalur Embden-Meyerhoff
Defisiensi piruvat-kinase
c. nucleotide enzyme defects
3. Gangguan pembentukan hemoglobin
(hemoglobinopati)
a.
hemoglobinopati
struktural
rantai
alfa
atau
beta)
4. Mikroamgiopatik
a.Thrombotic Thrombocytopenic
purpura
b.Hemolytic uremic syndrome (HUS)
c.Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC)
1. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria
d. Pre-eklampsia
5. March hemoglobinuria
(PNH)
6. Infeksi
a. Malaria
b. Clostridia
7. Bahan kimia dari fisik
a. Obat
b. Bahan kimia dan rumah tangga
c. Luka bakar luas
8. Hipersplenisme
(Bakta, 2012).
Patofisiologi
Pada anemia hemolitik terjadi peningkatan hasil pemecahan eritrosit dalam tubuh
(hemolisis). Berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua yaitu:
a. Hemolisis ekstravaskuler
Hemoliosis ekstrvaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan
hemolisis intravaskuler. Hemolisis terjadi pada sel makrofag dari sistem
retikuloendothelial (RES) terutama pada lien, hepar dan sumsum tulang karena
sel ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi karena kerusakan
membran (misalnya akibat reaksi antigen-antibodi), presipitasi hemoglobin
dalam sitoplasma dan menurunkan fleksibilitas eritrosit. Kapiler lien dengan
diameter yang relatif kecil dan suasana relatif hipoksik akan memberi
kesempatan destruksi sel eritrosit, mungkin melalui mekanisme fragmentasi
(Bakta, 2012).
Pemecahan eritrosit ini akan menghasilkan globin yang akan
dikembalikan ke protein pool., serta besi yang dikembalikan ke makrofag
(cadangan besi) selanjutnya akan dipakai kembali, sedangkan protoporfirin
akan menghasilkan gas CO dan bilirubin. Bilirubin dalam darah berikatan
dengan albumin menjadi bilirubin indirek, mengalami konjugasi dalam hati
menjadi bilirubin direk kemudian dibuang melalui empedu sehingga
Gejala klinis
Penderita anemia hemolitik mempunyai gambaran klinik sangat bervariasi disebabkan
oleh perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis (intravaskuler atau
ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya anemia hemolitik dapat
dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
selalu dapat dipisahkan secara tegas. Gejala klinik anemia hemolitik dapat dibagi menjadi
tiga yaitu (Oehadian, 2012):
Ikterus
Ikterus timbul karena peningkatan bilirubin indirek dalam darah sehingga ikterus
bersifat acholuric jaundice, bahwa dalam urine tidak dijumpai bilirubin. Ikterus dapat
hanya ringan, tetapi dapat juga berat terutama pada anemia hemolitik pada bayi baru
Kolelitiasis
Kolelitiasis merupakan salah satu gejala prominen pada anemia hemolitik kronik
familier-herediter. Batu yang terbentuk disebut black pigment stone, terdiri dari cross
link polymer dari bilirubinat. Sekitar 40-80% batu ini bersifat radioopak. Batu empedu
paling sering dijumpai pada sferositosis herediter dan juga sering pada anemia sel
Diagnosis
Anemia hemolitik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis anemia hemolitik dapat dibedakan menjadi dua golongan
yaitu secara umum dan khusus berdasarkan etiologinya yang sering dijumpai seperti:
sferositosis herediter (SH), thalasemia, dan malaria (Medscape, 2014):
a) Manifestasi atau gejala klinik
Secara umum penyakit hemolitik dapat didasarkan atas 3 proses yang juga
merupakan bukti bahwa ada hemolisis, yaitu:
1) Kerusakan pada eritrosit
Fragmentasi dan kontraksi sel darah merah
Mikrosferosit
2) Katabolisme hemoglobin yang meninggi
Hiperbilirubinemia sehingga muncul ikterus
Hemoglobinemia
Urobilinogenuria atau urobilinuri
Haptoglobin menurun
3) Eritropoesis yang meningkat (regenerasi sumsum tulang)
Darah tepi
-
Sumsum tulang
-
Hiperplasia eritroid
Rasio mieloid : eritroid menurun atau terbalik
Eritropoesis ekstrameduler
-
b) Pemeriksaan fisis
Tampak pucat dan ikterus
Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopati
Dapat ditemukan hepatomegali dan splenomegali
c) Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, hapusan darah tepi, retikulosit,
analisis Hb, Coombs test, tes fragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin, pemeriksaan
enzim-enzim
Sferositosis herediter merupakan salah satu anemia hemolitik yang sering
dijumpai. Gejala klinik SH dapat berupa anemia ringan sampai berat disertai ikterus
dan splenomegali. Pembesaran limpa, hiperpigmentasi kulit dan batu empedu sering
dijumpai pada anak yang lebih besar. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar
Hb masih normal atau turun mencapai 6-10gr/dl, jumlah retikulosit meningkat
mencapai 6-20%, hiperbilirubinemia. Tes Coombs negatif, dan tes fragilitas osmotik
juga negatif. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya polikromasi, sel eritrosit
sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit yang meningkat.
Penatalaksanaan
Prognosis pada anemia hemolitik tergantung pada etiologi dan deteksi dini. Prognosis
jangka panjang pada pasien dengan penyakit ini baik. Splenektomi dapat mengontrol
penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Pada anemia hemolitik autoimun, hanya
sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan dan sebagian besar memiliki perjalanan
penyakit yang kronik.
Kesimpulan
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran sel
darah merah (eritrosit) yang meningkat dari normalnya. Pada anemia hemolitik terjadi
kerusakan sel eritrosit yang lebih awal dari umur eritrosit normal rata-rata 110-120 hari,
sehingga pada umumnya gejala anemia, anoreksia, ikterus, serta splenomegali.
Anemia hemolitik dapat ditegakkan dengan anamnesis yang tepat dan dari hasil
laboratorium sehingga dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Apabila tidak cepat ditangani
maka dapat timbul komplikasi yang berat berupa gagal ginjal akut (GGA) dan syok (seperti:
sesak napas, hipotensi, hiperkalemia). Anemia hemolitik merupakan suatu anemia yang tidak
terlalu sering dijumpai, tetapi bila dijumpai perlu pendekatan diagnostik yang tepat dan harus
segera ditangani sesuai penyebab yang mendasari munculnya anemia hemolitik tersebut.